HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Selasa, 24 Maret 2020

Korban pembersihan anti-komunis Indonesia memenangkan Hadiah Gwangju

Bedjo Untung memenangkan pengakuan di Korea Selatan untuk pencarian keadilan bagi korban pembantaian tahun 1960-an

Bedjo Untung memegang foto Soeharto saat demonstrasi di luar Istana Kepresidenan di Jakarta pada tahun 2019. Untung dianugerahi Penghargaan Gwangju 2020 untuk Hak Asasi Manusia pada 20 Maret. (Foto: Konradus Epa / Berita UCA)

Konradus Epa, Jakarta
Indonesia - 24 Maret 2020

Seorang korban pembersihan anti-komunis Indonesia dan aktivis terkenal, Bedjo Untung, telah memenangkan Hadiah Gwangju 2020 untuk Hak Asasi Manusia dari Yayasan 18 Mei di Korea Selatan.

Moon Kyu-hyun, seorang imam Katolik dan ketua komite penyaringan hadiah, mengumumkan Untung sebagai pemenang pada 20 Maret.
Untung adalah pendiri Yayasan Riset Pembunuhan Korban 1965, sebuah kelompok yang mencari keadilan bagi para korban pembersihan anti-komunis yang melihat kematian sedikitnya 500.000 orang di tangan kediktatoran militer negara itu pada 1960-an.

Hadiah Gwangju memperingati pemberontakan pro-demokrasi tahun 1980 di Gwangju, Korea Selatan, di mana ratusan orang terbunuh dalam protes terhadap junta militer Chun Doo-hwan.

Untuk menandai tragedi itu, yayasan telah memberikan penghargaan sejak tahun 2000 kepada berbagai kelompok, individu dan lembaga yang berjuang untuk demokrasi dan keadilan.

Pemenang sebelumnya termasuk Xanana Gusmao, pejuang kemerdekaan dari Timor-Leste, dan Aung San Suu Kyi dari Myanmar.

“Hadiah ini menghormati perjuangan saya untuk menemukan keadilan bagi semua korban dan mendorong saya untuk melanjutkan perjuangan,” Untung, 78, mengatakan kepada UCA News pada 22 Maret.

US $ 50.000 yang diberikan bersama hadiah akan digunakan untuk mendanai kegiatan organisasinya. Namun, ia harus menunggu untuk mengambil hadiahnya karena upacara penghargaan di Korea Selatan telah ditunda hingga Oktober karena pandemi Covid-19.

Untung mengatakan dia dikenal karena perjuangannya melawan kediktatoran Suharto dan karena dia berbicara menentang pembantaian 1965.

Pada 1970, ia ditangkap oleh badan intelijen militer Indonesia dan ditahan selama sembilan tahun tanpa proses hukum apa pun sebelum dibebaskan pada 1979.

Aktivis dan beberapa mantan tahanan politik mendirikan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 pada 7 April 1999, untuk mencari kebenaran dan keadilan tentang tragedi itu.

Sejak itu ia mencari kuburan massal, bertemu dengan para korban dan keluarga mereka, dan berkampanye untuk hak-hak politik mereka.

"Kami semua senang dan bangga karena perjuangan kami telah menerima dukungan dari komunitas internasional," kata Untung tentang penghargaan tersebut.

Pada 2015, Untung bertindak sebagai saksi atas kengerian itu dalam sidang di Pengadilan Kriminal Internasional di Den Haag, Belanda, yang mengakui pembantaian pada 1960-an sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Untung menerima penghargaan dari Yayasan Kebenaran Korea Selatan pada tahun 2017.

Putri Kanesia, wakil koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), mengatakan Untung merasa terhormat karena kegigihan dan perjuangannya untuk memperbaiki ketidakadilan pembantaian dan penganiayaan yang terjadi setelahnya.

"Saya berharap hadiah ini semakin mendorong para korban dan keluarga mereka karena mereka terus menghadapi diskriminasi," katanya kepada UCA News.

Beka Ulung Hapsara, seorang komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, mengatakan hadiah itu adalah pengakuan atas dedikasi dan perjuangan Untung untuk kemanusiaan dan keadilan.

"Ini menunjukkan upaya Bedjo Untung untuk mempromosikan hak asasi manusia dan keadilan bagi para korban telah diakui oleh berbagai komunitas hak asasi manusia internasional," katanya kepada UCA News.

Dia mengatakan hadiah itu adalah pengingat bagi pemerintah untuk menyelesaikan semua pelanggaran HAM berat.
https://www.ucanews.com/home_images/FB_Share.svg
https www.ucanews.com/news/indonesian-anti-communist-purge-victim-wins-gwangju-prize/87530://

Kebenaran di masa korona: Hari internasional tentang hak atas kebenaran, martabat korban


Jakarta / Sel, 24 Maret 2020 / 02:46 siang

Galuh Wandita*
Direktur di Asia Justice and Rights (AJAR)

Komisi Nasional untuk Kamar Pengaduan Hak Asasi Manusia. (JP / Dhoni Setiawan)

Dalam beberapa minggu terakhir, kami telah ditangkap oleh narasi tunggal kelangsungan hidup kami melawan COVID-19. Ini adalah waktu introspeksi, waktu untuk melihat fakta-fakta sulit dan mempelajari pelajaran dari masa lalu. 

Hari Internasional untuk Hak Kebenaran dan Martabat Korban jatuh pada tanggal 24 Maret — hari untuk mengingat kebenaran tentang pelanggaran HAM berat- - yang menjadi korban, apa akar masalahnya, bagaimana pelanggarannya menjadi begitu masif dan bagaimana Apakah kita sebagai masyarakat berurusan dengan mereka.

Ini juga merupakan kesempatan untuk merenungkan bagaimana pelajaran-pelajaran dari masa lalu dapat membantu kita dalam menghadapi tantangan utama yang kita hadapi saat ini. Anda tidak dapat memecahkan masalah atau mencoba untuk menyembuhkan tanpa berani menghadapi kebenaran objektif. Penyimpangan fakta hanya bisa membuat masalah menjadi lebih buruk dalam jangka panjang.

Pengalaman kami tentang pelanggaran massal di Asia telah menunjukkan hubungan antara kesehatan dan hak asasi manusia: bagaimana situasi pelanggaran massa menyoroti dampak sosial, ekonomi dan kesehatan yang mengerikan. Contohnya termasuk kelaparan besar di Cina (1948), Timor Leste (1978-1979), ratusan kematian akibat malaria di antara para tahanan politik yang dipenjara di Pulau Buru (1968-1978) dan kematian karena kelaparan dan penyakit di ladang-ladang pembunuhan di Kamboja (1975-1979). Mereka juga termasuk, ancaman penyakit yang berkelanjutan di antara para pengungsi dan pengungsi internal yang tinggal di kamp-kamp di Nduga di Papua, kepada 1 juta pengungsi Rohingya dari Rakhine di Cox's Bazaar, Bangladesh.

Amartya Sen, peraih Nobel untuk Ilmu Ekonomi (1998), telah menulis tentang bagaimana kurangnya demokrasi - ditunjukkan oleh pembuatan dan penegakan kebijakan yang buruk - dapat menjadi faktor pendukung kelaparan, seperti yang disebutkan di atas.

Pada 2010, Majelis Umum PBB memutuskan bahwa 24 Maret adalah hari untuk memperingati hak atas kebenaran dan martabat para korban pelanggaran HAM berat. Hari itu menandai pembunuhan tahun 1980 oleh Uskup Agung Oscar Romero dari San Salvador, seorang pembela kaum miskin yang berani berbicara menentang regu kematian yang terkait dengan junta militer pada waktu itu.

Hari ini juga merupakan hari yang penting bagi Indonesia, karena kita merenungkan masa lalu kita yang tidak terhitung. Lebih dari dua dekade dalam reformasi kita, kita masih tidak tahu berapa banyak orang yang tewas selama pembunuhan 1965-1966, dan berapa banyak lagi yang mati karena penyakit dan kelaparan di kamp-kamp dan penjara-penjara di seluruh Indonesia.

Tidak ada perhitungan resmi tentang bagaimana kita sebagai masyarakat membiarkan pembunuhan massal ini terjadi. Apa kebijakan dan penghilangan yang diizinkan untuk dibentuk, sehingga penahanan massal dan pembunuhan dapat terjadi tanpa hukuman?

Selama 34 tahun pemerintahan Soeharto, anak-anak sekolah diminta menonton film yang menggambarkan versi tertentu dari peristiwa-peristiwa itu. Saya ingat, sebagai siswa kelas enam, melakukan perjalanan sekolah ke berbagai museum dan situs untuk menyaksikan ketidakbenaran yang telah dilatih dengan baik ini. Sarjana tidak diizinkan untuk meneliti acara ini dan buku-buku dilarang. Sayangnya, ini bukan satu-satunya bab berdarah.

Dari sudut terjauh negeri ini, dari Papua hingga Aceh, kekerasan digunakan sebagai alat untuk menekan perbedaan pendapat, dan menutupi kejahatan, pencurian, dan pelanggaran massal. Sejarah kita dipenuhi dengan para pahlawan yang tak terucapkan, orang-orang yang membela hati nurani mereka dan secara brutal dibungkam.

Setelah jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, beberapa korban mulai berbicara tentang apa yang terjadi pada mereka. Tetapi tanggapan resmi telah menjadi memekakkan telinga memekakkan telinga. Dengan pencabutan undang-undang komisi kebenaran, belum ada kebijakan resmi untuk menangani kebenaran sulit ini. Indonesia mengesahkan undang-undang untuk membentuk komisi kebenaran pada tahun 2004, tetapi hukum tersebut dibatalkan dua tahun kemudian - tanpa dilaksanakan.

Sementara itu, komisi kebenaran lokal di Aceh, yang didirikan berdasarkan Perjanjian Damai Helsinki, telah mengumpulkan lebih dari 3.000 pernyataan, dan melakukan audiensi publik untuk ratusan orang yang selamat. Di Papua, di bawah undang-undang otonomi khusus lainnya, janji komisi kebenaran telah bertahan lama dan sebagian besar ditinggalkan.

Pekan lalu, Jaksa Agung kembali ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tentang dokumen pembunuhan Paniai 2014. Pepatah lama bahwa sejarah akan diulang berdering benar dalam situasi ini.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo penuh dengan pandemi saat ini. Di masa-masa ketidakpastian ini, kita harus memberi perhatian khusus kepada yang paling rentan — di antara mereka ada ribuan lansia yang selamat dari pelanggaran HAM. Kita harus ingat bahwa selama masa-masa kelam itu negara mengabaikan tugas utamanya untuk melindungi mereka. Banyak korban hidup dalam kemiskinan ekstrem dan masih mengalami dampak stigmatisasi sosial.

Hukum internasional menetapkan bahwa negara memiliki kewajiban hukum untuk mencoba memperbaiki kerusakan yang terjadi pada para korban yang tidak bersalah; kita perlu mengingat dan memenuhi tugas itu. Tentu saja, kita perlu memikirkan cara-cara baru untuk mengumpulkan dan mengarsipkan cerita dari masa lalu kita, dengan menggunakan teknologi online baru yang dikombinasikan dengan pendekatan akar rumput yang telah teruji oleh waktu.

Kita perlu menjangkau mereka yang telah terpinggirkan. Ini juga diperlukan untuk penyembuhan sosial dan moral, untuk membangun masyarakat yang lebih adil, bermoral dan berbelas kasih.

Hari ini hidup dan pekerjaan kita dipenuhi dengan prioritas baru yang mendesak. Namun, penting bahwa pada hari internasional hak atas kebenaran, kita ingat bahwa kebenaran perlu diungkap, dibagikan, dibahas, dan digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan kebijakan yang baik. Ini selalu benar dan benar hari ini karena kami berjuang untuk melindungi yang paling rentan dalam konteks yang berubah dengan cepat.

Penyimpangan kebenaran pasti menyebabkan kegagalan untuk melindungi mereka yang membutuhkan. Waktu kita singkat. Ada pelajaran dari masa lalu kita yang memegang kunci untuk kelangsungan hidup kita bersama.

***
Direktur Asia Justice and Rights (AJAR). Ia juga seorang penasihat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh.

Penafian: Pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan sikap resmi The Jakarta Post.

https://www.thejakartapost.com/academia/2020/03/24/truth-in-the-time-of-corona-international-day-on-right-to-truth-dignity-of-victims.html

Kamis, 12 Maret 2020

Pemerintah Bahas RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Kamis, 12 Maret 2020

RUU KKR sebagai payung hukum untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat pada masa lalu melalui jalur nonyudisial.

Sejumlah korban kasus Talangsari Lampung 1989 saat berunjuk rasa di depan Kejagung, Jakarta. Mereka menuntut Kejagung segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi 25 tahun lalu dan menghilangkan 426 nyawa. Agus Sahbani/ANT

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan, M. Mahfud MD bertemu Direktur Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM (Dirjen HAM Kemenkumham) Mualimin Abdi yang membahas tentang Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). RUU KKR merupakan salah satu RUU Prolegnas Prioritas 2020 yang masuk kategori RUU Kumulatif Terbuka usulan pemerintah. 
"Kami diperintahkan Pak Menko untuk mendalami informasi yang berkembang di kawan-kawan Civil Society Organization (CSO), tokoh-tokoh gitu, kan memang yang akan kita ke depankan masalah pemulihan (keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat, red)," kata Mualimin Abdi di Kantor Kemenkopolhukam Jakarta, Kamis (12/3/2020) seperti dikutip Antara.
Dia mengatakan pembahasan RUU KKR ini untuk mendalami mengenai penyempurnaan draf RUU KKR. Menurut dia, RUU KKR sebagai payung hukum untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat pada masa lalu melalui jalur nonyudisial. 
"Memang tujuannya itu, penyelesaian yang sifatnya non-yudisial, pemulihan untuk korban," kata dia.
Mualimin menegaskan skema nonyudisial itu akan ditujukan kepada korban pelanggaran HAM masa lalu yang sudah terdata oleh Komnas HAM ataupun Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Di sisi lain, Mualimin juga mengungkapkan saat ini draf RUU KKR belum tuntas karena masih memerlukan perbaikan.
"Kita kan masih bekerja terus ya, perbaikan-perbaikan, mana yang paling baik," ungkapnya.
Dalam kesempatan itu, Mualimin menuturkan Menkopolhukam Mahfud MD akan mengadakan rapat pimpinan tingkat menteri atau RPTM untuk membahas RUU KKR tersebut. "Pak Menko minggu depan mau mengadakan RPTM untuk membahas draf RUU KKR ini," ungkapnya.

Setelah RPTM, tahap selanjutnya ialah menyampaikan permohonan izin prakarsa dan kumulatif terbuka kepada presiden. Setelah disetujui, tambah dia, Presiden Jokowi akan mengeluarkan surat presiden (Surpres) RUU KKR ke DPR.

Seperti diketahui, pembentukan RUU KKR ini merupakan salah satu yang pernah direkomendasikan Komnas HAM kepada Presiden untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 47 UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM terkait penyelesaian pelanggaran HAM melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dibentuk berdasarkan UU.

Menurut Komnas HAM, meskipun MK telah menyatakan bahwa UU No.27 Tahun 2004 tentang KKR tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (dibatalkan), bukan berarti penyelesaian melalui KKR tidak dimungkinkan lagi. Mengingat mendesaknya penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu dan ketiadaan payung hukum, Presiden dapat (sementara) mengeluarkan Perppu mengenai KKR.

Selain itu, Komnas HAM meminta Presiden tetap memastikan agar Jaksa Agung menggunakan kewenangannya untuk melakukan penyidikan terhadap hasil penyelidikan yang telah dituntaskan Komnas HAM sebelumnya.  

Dalam perkembangannya, RUU KKR sempat menimbulkan perdebatan karena sejumlah pihak, terutama korban pelanggaran HAM berat, tetap menginginkan agar penyelesaian kasus dilakukan melalui jalur yudisial atau pengadilan. Namun, ada alternatif lain yang beberapa kali dilontarkan pemerintah yaitu penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui jalur nonyudisial.

Tahun lalu, Komnas HAM mencatat dalam 5 tahun pemerintahan Jokowi (periode I) tidak ada upaya serius untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat. Anam mencatat narasi yang berkembang mengarahkan penyelesaian kasus itu melalui rekonsiliasi atau mekanisme lain seperti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Mengacu hasil survei Komnas HAM dan Litbang Kompas pada Oktober-September 2019 yang melibatkan 1.200 responden di 34 provinsi di Indonesia, salah satu hasilnya menunjukan lebih dari 90 persen responden menginginkan pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat melalui mekanisme pengadilan.
“Sebanyak 62,1 persen responden menginginkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melalui pengadilan nasional, dan 37,2 persen melalui pengadilan internasional,” kata Anam dalam jumpa pers di kantor Komnas HAM Jakarta, Rabu (4/12/2019) lalu.
Komnas HAM bisa membantu Presiden Jokowi untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat itu secara cepat, bahkan dalam kurun waktu satu tahun. Sebagai upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, Presiden Jokowi bisa menerbitkan Keppres yang intinya memberikan pemenuhan hak-hak korban tanpa menunggu putusan pengadilan.
“Atau Presiden bisa juga menerbitkan Perppu untuk memperkuat kewenangan Komnas HAM untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dan memberi pemenuhan hak korban tanpa menunggu proses di pengadilan,” sarannya.
https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5e6a223e4f42d/pemerintah-bahas-ruu-komisi-kebenaran-dan-rekonsiliasi

Minggu, 01 Maret 2020

Semua Adalah PKI


Oleh : Dandhy Dwi Laksono

Seperti halnya 'Genjer-Genjer" yang diciptakan M Arief, lagu "Garuda Pancasila" juga diciptakan seniman Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Ia bernama Sudharnoto, pada 1956.

Karena militer dan Orde Baru menganggap Lekra sama dengan PKI, Sudharnoto yang pernah bekerja di RRI Jakarta kemudian ikut dikejar-kejar dan dibui. Setelah keluar penjara sekitar 1968-1969, ia bekerja sebagai penjual es dan sopir taksi. Nasibnya memang sedikit lebih beruntung daripada M Arief yang hilang setelah peristiwa 30 September.

Di mata Orde Baru, kesalahannya sangat fatal: Menciptakan lagu "Genjer-Genjer" pada tahun 1942 dengan konteks penderitaan rakyat menghadapi invasi Jepang, dan lalu lagu itu digemari Njoto (tokoh PKI) yang sedang singgah ke Banyuwangi.

Lho, apa hubungannya dengan dia sebagai pencipta lagu? Sejak kapan watak fasis perlu alasan yang masuk akal atas segala sesuatu?

LBH Jakarta dan YLBHI yang secara historis membela semua kelompok dan ideologi (termasuk kubu Islam garis keras), dihasut sebagai "sarang PKI" dan diserang.

Patung Tani yang merupakan simbol mobilisasi umum untuk merebut Papua dari Belanda juga disebut simbol PKI. Buku "Das Kapital" yang berisi dasar-dasar pemikiran komunisme, justru disebut "mengajari generasi muda menjadi kapitalis".

Hanya karena sama-sama berjenggot, foto Mikhail Bakunin yang dicetak di kaos merah salah satu peserta yang datang ke LBH, dikira foto Karl Marx dan dianggap sebagai bukti keberadaan komunis di acara itu. Padahal Bakunin penentang komunisme (negara) seperti yang terjadi di Soviet yang dianggapnya sama menindasnya dengan kapitalisme.

Kelompok fasis yang membalut identitasnya dengan agama ini bahkan ngotot menyebut Jokowi adalah komunis meski kebijakan dan proyek-proyek pembangunannya justru sangat kapitalistik dan menimbulkan konflik di mana-mana, seperti reklamasi Teluk Jakarta, sawah sejuta hektar di Papua yang akan dikelola perusahaan (bukan rakyat), atau PLTU-PLTU dan bendungannya yang tidak mencerminkan keadilan ekologis.

Kelompok ini tidak mau tahu dan tidak peduli.

Jokowi dan Istana tetap disebut mendukung kebangkitan PKI. Padahal ia tidak merebut dan membagi-bagikan tanah kepada petani seperti BTI atau PKI. Ia hanya membagi-bagikan sertifikat yang secara jelas menguatkan konsep kepemilikian pribadi terhadap tanah. Jauh dari ide tanah sebagai faktor produksi yang harus dikuasai secara komunal.

Dengan disertifikasi, tanah yang milik pribadi, lebih mudah dibeli dan dikuasai modal, seperti kasus komunitas Sunda Wiwitan di Kuningan, Jawa Barat. Beda dengan tanah di Baduy Dalam atau Tenganan Pegringsingan di Karangasem yang tak dapat diperjualbelikan ke pemodal resort atau hotel karena milik adat.

Jokowi harus disebut PKI. Begitu juga PDIP yang dalam sejarahnya merupakan fusi partai nasional seperti PNI dan agama (non-Islam). Meski dalam sejarahnya PNI dan PKI sengit berkonflik (sesengit saling serang antara koran Suluh Indonesia-PNI dan Harian Rakyat -PKI), tapi gerombolan ahistoris ini tak peduli.

PDIP dianggap sama dengan komunis. Padahal menjadi Marhaenis saja, partai ini gagapnya setengah mati. Kader-kadernya seperti Ganjar Pranowo di Jawa Tengah, lebih sibuk membela pabrik semen daripada para petani seperti Pak Marhaen yang sedang mempertahankan sumber air untuk mengairi sawahnya sendiri yang sepetak-dua petak.

Partai ini bahkan mendukung Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama yang kebijakan pembangunannya menggusur, bahkan dengan melibatkan tentara. Ahok sendiri adalah pejabat yang dengan enteng menyebut warga bantaran Waduk Pluit sebagai "komunis", karena dianggap menduduki "tanah negara".

Tapi bagi kelompok sejenis "massa 299" ini, semua itu tak penting dan tak relevan. Mereka kawin mawin dengan para jenderal dan pensiunan yang rindu masa-masa kejayaan Dwifungsi ABRI di era Orde Baru. Yang bisa memegang tongkat komando, tapi juga bisa duduk di pemerintahan sebagai pejabat yang mengatur APBN atau APBD. Yang bisa mengerahkan pasukan, tapi juga bisa duduk di DPR ikut membuat Undang Undang. Yang tetap mempertahankan baret dan seragamnya, tapi juga bisa duduk di komisaris perusahaan negara, daerah, dan swasta.

Siapa yang tak rindu masa-masa itu? Dan jalan paling murah untuk mewujudkannya adalah menggalang sentimen anti-komunisme, dibalut agama. Karena itu semua harus di-PKI-kan. Semua adalah PKI. Padahal merekalah yang PKI: Penduduk Kurang Informasi.

***
(Matipa, Refleksi_Menolak Lupa,01-03-2020)

Sabtu, 29 Februari 2020

Kisruh di Awal Kemerdekaan


Andreas JW - 29 Februari 2020


Tidak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan, Pemerintah RI mengeluarkan Maklumat Pemerintah 3 November 1945 tentang seruan pembentukan partai-partai politik, dalam kaitan rencana Pemilu pada 1946. Sejumlah partai pun berdiri, antara lain Partai Masjumi, Partai Kristen Nasional, PNI, Partai Sosialis, Partai Katolik, PBI, PKI dll.

Sedangkan Mr. Mohammad Jusuf dan Mr. Suprapto (Yusuf-Suprapto) telah mendeklarasikan berdirinya "PKI", sejak 21 Oktober 1945. Tapi partai pimpinan Yusuf-Suprapto itu belakangan menimbulkan masalah. Karena, banyak kaum komunis dan tokoh-tokoh komunis eks-Digul tidak mau bergabung.

Rewang dalam memoarnya, "Saya Seorang Revolusioner", mendeskripsikan suasana di Kota Solo begini: "... Suatu hari, ketika sedang tugas jaga di suatu tempat, saya melihat ada orang memasang plakat yang berisi pengumuman dibangunnya kembali PKI. Sontak saya tertarik... Maka selesai menjalankan tugas, saya bersama seorang teman bernama Suripto, medaftarkan diri ke kantor pendaftaran di daerah Laweyan, Solo...
... Namun saya merasakan ada gejala lain yang menunjukkan ketidakwajaran. Sebab sejumlah tokoh-tokoh eks-Digoel serta aktivis-aktivis revolusioner muda di Solo, justru tidak mau bergabung dengan PKI pimpinan Yusuf, S.H. dan Suprapto, S.H., tersebut. Setahu saya, mereka antara lain Ronomarsono, Achmad Dasuki Sirad, A. Rojis, Daliman, Sunaryo, Suprapto, Suharti, dan Tumini. Gejala yang tidak wajar ini mencerminkan adanya ketidakberesan, pikir saya..."

Dideklarasikannya partai pimpinan Yusuf-Suprapto memang bermasalah dan salah. Sebab, PKI yang didirikan 23 Mei 1920, pada saat meletusnya Revolusi Agustus1945, masih ada. Partai mempertahankan kedudukannya yang ilegal persisnya sejak gagalnya pemberontakan tahun 1926.

Namun partai yang didirikan kelompok Yusuf-Suprapto, markas besarnya berada di Jakarta, tidak menghiraukan. Mereka malah menerbitkan Majalah Bintang Merah, yang edisi perdananya terbit pada 17 November 1945, dengan alamat redaksi di Jl. Petjenongan No. 48 C, Jakarta. Bahkan dalam edisi ini diturunkan pula sebuah berita dengan judul "PKI Australia akan menggaboengkan diri dengan PKI disini". Mungkin melalui pemberitaan ini, dimaksudkan untuk meyakinkan khalayak ramai yang berkepentingan.

Kelompok Yusuf-Suprapto memang cukup punya pengaruh di kalangan pemuda-pemuda pergerakan terpelajar di Jakarta, misalnya Grup Menteng 31. Mereka juga mengklaim mendapat sambutan dari sejumlah daerah di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Lantas pada 11 Desember 1945 mendirikan Laskar Merah.

Selanjutnya tanggal 6 hingga 10 Februari 1946, mereka menyelenggarakan kongres di Cirebon. Namun terjadi insiden antara Laskar Merah dengan CPM, yang berujung dilucutinya Laskar Merah oleh TKR. Insiden ini meluas hingga sekitar wilayah Cirebon, dan baru berakhir setelah Yusuf-Suprapto ditahan.
Mengapa tokoh-tokoh maupun kader partai yang didirikan pada 23 Mei 1920, tidak mau bergabung?

Karena mereka berpendapat bahwa Jusuf-Suprapto tidak berwenang menyatakan dirinya sebagai pimpinan partai. Sementara itu tokoh-tokoh “partai illegal” tidak segera berinisiatif membangun partai legal, pada saat situasi memungkin untuk itu. "Menurut saya, di sinilah letak kesalahannya. Di Solo, pimpinan partai illegal adalah Suhadi alias Pak Karto. Sementara Suhadi sendiri tampil secara legal dengan bendera organisasi massa GRI," papar Siswoyo dalam memoarnya.

Kelak hal tersebut dikritik sebagai suatu kesalahan organisasi. Dan kesalahan organisasi ini baru terbuka ketika Muso mengoreksi kesalahan-kesalahan dan kelemahan-kelemahan partai pada waktu itu

Di tengah-tengah kekisruhan itu, awal tahun 1946, mulai berdatangan sejumlah tokoh eks-Digul; seperti Sulaiman, Sabarman, Ngadiman, Ruskak, termasuk Sardjono. Sejak kalah dalam pemberontakan tahun 1926, Sardjono dibuang ke Digul, selanjutnya diungsikan ke Australia oleh pemerintah Hindia Belanda, menyusul pecah Perang Dunia II. Selain itu, datang pula tokoh-tokoh partai dari Belanda dan negeri-negeri lainnya; antara lain Drs. Maruto Darusman, Mr. Abdul Madjid, Drs. Setiajid, dan Jusuf Muda Dalam. Dua yang disebut terdahulu adalah anggota CPN.

Masalah partai pimpinan Jusuf-Suprapto memang akhirnya dapat diselesaikan dengan baik. Dan Jusuf-Suprapto mengakui kesalahannya, akibat ketidaktahuannya. Ini terjadi setelah ada pertemuan antara Maruto Darusman dengan Mr. Soetan Moehamad Sjah.

Kemudian dalam bulan Maret 1946, ...kelompok-kelompok ini mengadakan rapat di Jakarta, yang memutuskan untuk mengadakan pembersihan di kalangan PKI. Juga diputuskan akan diadakan konperensi partai di Solo, pada akhir April... (Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, Soe Hok Gie 1997: 63).

Bersamaan dengan diumumkannya pembangunan kembali PKI, Laskar Merah, organisasi kekuatan bersenjata di bawah pimpinan PKI, usai Peristiwa Cirebon ditata kembali. Seperti diketahui, waktu itu salah satu ciri kehidupan politik pada awal revolusi di Indonesia ialah partai politik mempunyai pasukan bersenjata. Misalnya, PKI mempunyai Laskar Merah, atau Masyumi mempunyai Laskar Hizbullah.

"Tetapi orang-orang komunis di Solo yang mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata tidak semuanya berada di dalam Laskar Merah. Hanya sebagian kecil yang bergabung," jelas Rewang. Sebagian lainnya ada yang masuk Laskar Rakyat, pimpinan Ir. Sakirman, juga seorang komunis. Kemudian ada pula yang berada dalam Laskar Buruh, Laskar Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI), dan ada juga yang membangun Angkatan Laut RI di Solo.

Pada Juli 1946, Kantor CC sudah pindah ke Kota Solo, di Jalan Purwosari No. 313, menyatu dengan redaksi Bintang Merah. Hal ini menyusul perkembangan baru, pada 4 Januari 1946, Ibukota RI pindah dari Jakarta ke Jogjakarta. Kepindahan ibukota dilakukan karena Belanda datang kembali ke Indonesia dengan membonceng Sekutu, dan Jakarta berhasil diduduki pada 29 September 1945.

Akhirnya, bertempat di Sitihinggil Keraton Surakarta, dari tanggal 11 hingga 13 Januari 1947, diselenggarakan Konferensi Nasional, yang kemudian dinyatakan sebagai Kongres IV, karena menghasilkan Konstitusi dan memilih CC baru.

Peserta yang hadir mayoritas eks-Digulis. Mereka datang ke Solo sebagai utusan daerah, dan sebagian besar menginap di Kantor GRI. Melalui Pak Suradi, Siswoyo sempat diperkenalkan dengan K.H. Tb. Achmad Chatib . “Ini lo Bung Sis, kenalkan kawan kita Kyai Chatib,” begitu kata Suradi, eks-Digulis kepala batu. Kyai Chatib, adalah Ketua SC Banten, dan tercatat sebagai Residen Banten yang pertama.

Konfernas atau Kongres IV menghasilkan pengurus baru; yakni Ketua I Sardjono, Ketua II Drs. Maruto Darusman, Ketua III Djokosoedjono, Sekum I Ngadiman Hardjosubroto, Sekum II Soetrisno. Politbiro terdiri dari Alimin, Sardjono, Maruto Darusman, Ngadiman Hardjosubroto, Soeripno. Kemudian Biro Organisasi terdiri dari Djokosoedjono, D.N. Aidit (Agitprop), Soekisman (Agitprop), dan Roeskak (Bendahara), Koenadi (penghubung). Lalu Pembantu Sekretariat Umum terdiri Sabariman (urusan ketentaraan dan laskar), Boeyoeng Saleh (urusan buruh), Koebis (urusan tani), Karsali (urusan pemuda), Sàpardiatmi (urusan wanita).

Struktur organisasi partai masih menggunakan pola lama, seperti yang digunakan PKI Angkatan 1926. Yakni, badan tertinggi adalah CC, kemudian SC untuk tingkat karesidenan, OSC untuk tingkat kabupaten, Resort untuk tingkat kecamatan, dan Sarikat Rakyat sebagai onderbouw resmi partai.

Sedangkan Pesindo, BTI, dan SOBSI, masih tergabung di dalam Sayap Kiri. Oleh karena itu, secara organisatoris, mereka tidak punya hubungan langsung dengan partai.

Selasa, 25 Februari 2020

Tim Antropologi Forensik Argentina mendokumentasikan pelanggaran HAM yang dinominasikan untuk Hadiah Nobel Perdamaian


25 Februari 2020 10:48 GMT 
  • Tim telah melakukan investigasi di lebih dari enam puluh negara

Seorang anggota EAAF yang bekerja di penggalian. Foto dibagikan secara publik di Facebook .

Tim Antropologi Forensik Argentina (EAAF),  LSM ilmiah non-profit, telah 
dinominasikan untuk Hadiah Nobel Perdamaian 2020 untuk pekerjaan investigasi ke dalam pelanggaran hak asasi manusia di Amerika Latin, Afrika, Asia, dan Eropa. The  Latin American Council of Social Sciences (CLACSO ) dan  National University of Quilmes (UNQ ) mengemukakan nominasi.

EAAF dibentuk pada 1984 melalui inisiatif antropolog Amerika Clyde Snow , dengan tujuan mendukung LSM Nenek Plaza de Mayo dalam penyelidikan mereka pada kasus-kasus orang hilang selama kediktatoran militer di Argentina (1976-1983). 

Pada tahun 1986 mereka memperluas kegiatan mereka di luar perbatasan negara dan telah berpartisipasi dalam misi di lebih dari enam puluh negara di seluruh dunia hingga saat ini. EAAF memelopori penggunaan ilmu forensik -dan terutama arkeologi forensik dan antropologi forensik- dalam dokumentasi pelanggaran hak asasi manusia.

Anggota EAAF sedang bekerja dalam penggalian di Siprus, 2006. Foto dibagikan secara publik di  halaman Facebook -nya .

Salah satu penyelidikan ahli internasional yang penting EAAF adalah tentang  penculikan massal dan hilangnya 43 Ayotzinapa Teachers College siswa pada September 2014, di negara bagian Meksiko, Guerrero. Mereka secara khusus diminta oleh kerabat korban, dan investigasi mereka menimbulkan kontroversi karena bertentangan dengan versi resmi yang diberikan oleh pemerintah Meksiko. Pencarian untuk siswa sedang berlangsung. 

Bersamaan dengan organisasi Justice for Our Daughters, EAAF melakukan 
penyelidikan forensik lain yang berbasis di Meksiko untuk membawa keadilan bagi ratusan wanita yang terbunuh selama 1990-an di Juarez, sebuah kota yang berbatasan dengan El Paso, Texas , di Amerika Serikat. 

Di Afrika Selatan, EAAF telah berkolaborasi dengan upaya pencarian dan identifikasi atas nama para korban apartheid sejak 2007. Di El Salvador, mereka menggali ribuan tulang korban dari pembantaian Mozote 1981 yang dilakukan oleh Angkatan Darat Salvador yang dikutip EEAF dalam laporan  
kesaksiannya di pengadilan.

EAAF dalam misi pencarian dan identifikasi untuk orang hilang di Chihuahua, Meksiko. Oktober 2019. Foto publik Facebook .

Kembali di Argentina, bersama dengan pencarian orang-orang yang hilang dari era kediktatoran, EAAF juga berpartisipasi dalam mengidentifikasi tentara Argentina yang dimakamkan sebagai “NN” (untuk “tanpa identifikasi”) di Pemakaman Militer Darwin di Malvinas, Kepulauan Falkland.

Pekerjaan mereka juga meliputi berbagai kasus femicides, perdagangan manusia, kejahatan politik dan etnis, dan kasus-kasus yang kompleks seperti serangan1994  pada Reksa Asosiasi Israelita Argentina (AMIA). 
Selain itu, mereka mengajar kursus antropologi forensik di Argentina dan di negara lain juga.

Prinsip-prinsip dasar EAAF yang paling dihargai adalah, di atas segalanya, penghormatan terhadap keinginan keluarga korban dan komunitas mereka, dan perhatian terhadap ketelitian ilmiah yang telah memenangkan mereka pamor internasional yang hebat selama 36 tahun sejarah mereka. 

Mereka dikenal karena kepeduliannya yang besar melalui setiap langkah proses, dari laporan awal dan investigasi hingga penggalian dan identifikasi sisa-sisa dan penyelesaian kasus.

Karina Batthyány, sekretaris eksekutif CLACSO, menyatakan dalam artikel La Nación:


"Setiap tulang yang ditemukan dan sisa yang teridentifikasi adalah kemenangan kebenaran dan keadilan yang penting untuk memelihara ingatan yang dibawa orang sepanjang sisa hidup mereka dan seterusnya ke generasi selanjutnya".
Hadiah Nobel Perdamaian akan menjadi pengakuan tidak hanya lintasan tanpa cacat dari para anggotanya, tetapi dari setiap kasus di mana mereka terlibat, dan setiap anggota keluarga yang telah menempatkan semua kepercayaannya pada mereka dan menerima uluran tangan mereka .

Senin, 24 Februari 2020

PKI Cirebon Brontak

Februari 24, 2020


Pemberontakan PKI Cirebon jarang diekspos ke permukaan, padahal pemberontakan PKI di Cirebon adalah pemberontakan tertua selepas diproklamasikannya Kemerdekaan Republik Indonesia. Peristiwa pemberontakan tersebut terjadi pada 12 Februari 1946.

PKI Cirebon brontak ketika negara sedang dirundung ketidak pastian, menyerahnya Jepang pada sekutu membuat kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 dibayang-bayangi ketidak pastian, karena diam-diam sekutu menyerahkan kekuasaan Indonesia pada Belanda.

Ketika Tentara Nasional Indonesia (dahulu TRI) sedang mempersiapkan perlawanan pada Belanda, pada saat itu pula PKI cabang Cirebon justru mengadakan pemberontakan, bahkan pemberontakan tersebut berhasil menguasai Kota Cirebon, sementara Tentara Republik dibuat tak berdaya oleh tentara merah kaum komunis.

PKI Cirebon sebetulnya baru didirikan pada 7 November 1945, sedangkan yang menjadi ketua dan wakilnya adalah Mohamad Joesoef dan Suprapto. Ini artinya pendirian PKI Cabang Cirebon baru dilakukan selepas 3 Bulan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia. Meskipun begitu, PKI Cabang Cirebon ini rupanya agresif, sebab pemberontakan yang mereka lakukan hanya berselang 3 bulan selepas partai itu membuka cabangnya di Cirebon (7 November 1945-12 Februari 1946).

Pemberontakan PKI di Cirebon didalangi langsung oleh pemimpinnya. Dalam memuluskan aksinya, Mohamad Joesoef dan Suprapto mendatangkan Laskar (tentara) Merah PKI dari Jawa Tengah, tujuan utamanya adalah melakukan kudeta lokal di Cirebon.

Para Laskar Merah PKI tiba di Stasiun Kereta Api Cirebon pada 9 Februari 1946 dengan bersenjata lengkap, selanjutnya setelah dikordinir maka pada 12 Februari 1946 laskar merah PKI menginap di Hotel Ribrink, sekarang hotel tersebut berganti nama menjadi Grand Hotel, berlokasi persis sebelah utara alun-alun Kejaksan. Sesampinya di hotel, mereka menjadikannya sebagai markas pemberontakan.

Pada mulanya, ketika laskar merah PKI baru saja tiba di stasiun, seisi kota Cirebon heboh sebab laskar merah secara terang-terangan menengteng senjata, sehingga kedatangan para milisi PKI tersebut mengagetkan pihak keamaanan republik. 

Letda D Sudarsono selaku Polisi Tentara Cirebon yang mendapat info kedatangan orang-orang bersenjata ke cirebon mendatangi stasiun menemui seorang bintara jaga untuk memastikan kebenaran kabar, namun baru saja sampai di stasiun, Letda D Sedarsono disambut dengan tembakan, Ia dikepung, senjatanya dirampas kemudian ditawan.

Selanjutnya, dalam upaya PKI menguasai pemerintahan, kekuatan bersenjata (TNI-POLRI) di Cirebon dilucuti, tentara ditangkap dan dijadikan tawanan. Kala itu kondisi kota mencekam, seluruh kota dikuasai oleh Laskar Merah. Bahkan tindakan laskar merah semakin brutal, merampok dan menguasai gedung-gedung fital.

Menghadapi ancaman serius yang dilancarkan PKI dengan lascar merahnya, Panglima II/Sunan Gunung Jati, Kolonel Zainal Asikin yang lolos dari penangkapan segera mengambil tindakan. Ia mengirim utusan untuk berunding dengan Mohamad Joesoef di Hotel Ribink. Dalam perundingan tersebut pihak PKI mulanya berjanji akan menyerahkan senjata hasil rampasan esok harinya, tetapi janji tersebut rupanya tidak ditepati.

Karena perundingan gagal, Panglima Divisi II meminta bantuan pasukan dari Komandan Resimen Cikampek untuk dikirim ke Cirebon, maka dikirimlah 600 prajurit Banteng Taruna dipimpin Mayor Banuhadi. Akhirnya pada tanggal 13 Februari  1946 dilakukan penyerbuan yang pertama oleh pasukan gabungan dari TRI (Polisi Tentara Indonesia), yang mana tujuannya merebut Hotel Ribink yang kala itu dijadikan markas PKI. 

Penyerbuan pertama gagal, karena persenjataan di pihak TRI dan kawan-kawan kurang. Sedangkan senjata musuh lengkap.

Pada 14 Februari 1946, dilakukan penyerbuan yang kedua, oprasi dipimpin langsung oleh Komandan Resimen Cikampek, Kolonel Moefreini Moekmin. Hasilnya, mereka berhasil melumpuhkan PKI , sehingga pasukan PKI menyerah. Pimpinan pemberontak, Mohamad Joesoef dan Suprapto berhasil ditangkap, kemudian diajukan ke pengadilan tentara.


Meskipun kisah pemberontakan PKI Cirebon ini diakhiri dengan dijebloskanya pimpinan PKI Cirebon, yaitu Mohamad Joesoef dan Suprapto ke pangadilan, namun sejauh ini belum ada kisah lanjutan mengenai nasib keduanya serta nasib para pengikutnya. Mengingat pada masa itu selain menghadapi PKI, negara juga sedang mempersiapkan diri menghadapi agresi militer Belanda.