HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Rabu, 20 Februari 2008

SOEHARTO INC.

Naskah ini diterjemahkan oleh UTT (Urgent-Translator Team) dari laporan utama Majalah TIME edisi 24 Mei 1999, SOEHARTO INC. yang ditulis John Colmey dan David Liebhold. Terjemahan dalam bahasa Indonesia ini diterbitkan International NGO Forum on Indonesia Development (INFID), Solidaritas Perempuan (SP), dan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Juni 1999. Untuk kepentingan publik, tulisan ini dapat digandakan dan disebarluaskan secara bebas kepada masyarakat sebagai respons atas menghilangnya majalah TIME edisi 24 Mei 1999 dari pasaran.
(1) Perusahaan Keluarga
KETIKA tiba masa akhir Suharto, presiden Indonesia terlama, ia hanya nampak pasif. Sementara para mahasiwa dan massa rakyat yang marah turun ke jalan-jalan, dan disambut dengan tembakan dan gas air mata; jendral berbintang lima itu mundur ke belakang sambil mencoba menata segala sesuatunya dengan baik. Ketika ia akhirnya turun tahun lalu, ia hanya berdiri menyingkir ke sebelah, sementara B.J Habibie mulai diambil sumpahnya. Setelah itu Suharto jarang kedengaran lagi.
Tetapi nyatanya Suharto jauh lebih sibuk dari yang disadari oleh banyak orang. Sesaat setelah Soeharto jatuh dari kekuasaan, telah tercium adanya usaha-usaha untuk menyelamatkan harta pribadinya.
Di bulan JulI 1998, serangkaian laporan mengindikasikan bahwa uang dalam jumlah luar biasa yang berhubungan dengan Indonesia telah dipindahkan dari sebuah Bank di Switzerland ke Bank lain di Austria, yang dipertimbangkan sebagai tempat berlindung yang lebih aman untuk deposito-deposito rahasia. Pemindahan tersebut memperoleh perhatian dari kementerian keuangan Amerika, yang mengikutinya secara seksama, dan menggerakkan penyelidikan-penyelidikan diplomatik di Wina.
Sekarang, sebagai bagian dari penelitian empat bulan yang meliputi 11 negara, TIME telah menemukan bahwa $ 9 milyar dari uang Soeharto dipindahkan dari Switzerland ke sebuah account Bank di Austria. Nilai yang tidak jelek untuk seseorang yang gaji kepresidenannya sebesar $ 1.764 per bulan.
Jumlah milyaran ini hanyalah sebagian dari kekayaan Soeharto. Meski pun krisis keuangan Asia telah memotong kerajaan keluarga secara signifikan, bekas presiden ini dan anak-anaknya masih menguasai kekayaan luar biasa. Kerajaan ini dibangun dalam waktu lebih dari tiga dekade yang mencakup perusahaan-perusahaan dari skala kecil hingga besar.
Menurut data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan majalah properti Indonesia, keluarga Soeharto baik yang dimiliki sendiri maupun melalui perusahaan-perusahaannya, mengontrol 3,6 juta hektar real estate di Indonesia, sebuah area yang lebih besar dari Belgia. Luas ini mencakup 100.000 meter persegi ruangan kantor di Jakarta dan hampir 40 persen dari luas seluruh propinsi Timor Timur.
Di Indonesia, enam anak Soeharto memiliki saham dalam jumlah signifikan sekurang-kurangnya di 564 perusahaan, dan kekayaan luar negeri mereka mencakup ratusan perusahaan-perusahaan lainnya, tersebar dari Amerika ke Uzbekistan, Belanda, Nigeria dan Vanuatu. Keluarga Soeharto juga memiliki sejumlah besar hiasan-hiasan berharga.
Selain itu, sebuah ranch untuk berburu seharga $ 4 juta di Selandia Baru and memiliki setengah dari kapal pesiar (yatch) seharga $ 4 juta yang ditambatkan di luar Darwin, Australia. Hutomo Mandala Putra (nama kecilnya Tommy) putra terkecil, mempunyai 75 persen saham di sebuah lapangan golf 18 lubang dengan 22 apartemen mewahnya di Ascot, Inggris.
Bambang Trihatmojo, putra kedua Soeharto, memiliki sebuah penthouse seharga $ 8 juta di Singapura dan sebuah rumah besar seharga $ 12 juta di sebuah lingkungan esklusif di Los Angeles, letaknya dua rumah dari rumah bintang rock Rod Steward dan hanya beda satu jalan dari rumah saudaranya Sigit Harjoyudanto yang bernilai $ 9 juta.
Putri tertua, Siti hardiyanti Rukmana, mungkin telah menjual Boeing 747-200 jumbo jetnya, tetapi armada kapal terbang keluarga Soeharto masih mencakup, sekurang-kurangnya sampai saat ini, sebuah DC-10, sebuah Boeing 737 biru dan merah, sebuah Canadian Challenger 601 dan sebuah BAC-111. Yang terakhir pernah dipunyai oleh the Royal Squadron of Britain’s Queen Elizabeth II, menurut Dudi Sudibyo, managing editor dari Angkasa, majalah terbitan Indonesia.
Setelah melakukan ratusan wawancara dengan teman-teman Soeharto, baik yang dahulu mau pun sekarang, pegawai pemerintah, kalangan bisnis, ahli-ahli hukum, akuntan-akuntan, bankir-bankir dan keluarga mereka, serta meneliti berlusin-lusin dokumen (termasuk catatan-catatan Bank tentang pinjaman luar negeri terbesar), para koresponden TIME menemukan indikasi bahwa sekurang-kurangnya $ 73 milyar melewati tangan-tangan keluarga Soeharto antara tahun 1996 hingga tahun lalu.
Sebagian besar berasal dari pertambangan, perkayuan, komoditi-komoditi dan industri-industri perminyakan. Investasi-investasi buruk dan krisis keuangan di Indonesia telah menurunkan jumlah kekayaan tersebut.
Tetapi bukti mengindikasikan bahwa Soeharto dan enam anaknya tetap memiliki kekayaan $ 15 milyar tunai, saham.saham, modal-modal perusahaan, real estate, perhiasan dan benda-benda seni -termasuk karya-karya Affandi dan Basoeki Abdullah dalam koleksi Siti Hediati Hariyadi, putri tengah yang dikenal sebagai “Titiek”.
Soeharto membuat fondasi untuk kekayaan keluarganya dengan menciptakan sistem patron yang berskala nasional yang mempertahankannya dalam kekuasaan selama 32 tahun.
Anak-anaknya, pada gilirannya, memfungsikan kedekatan dengan Presiden kedalam peranan calo (perantara) untuk pembelian dan penjualan dari produk-produk minyak, plastik, senjata, bagian-bagian pesawat terbang dan petrokimia yang dimiliki pemerintah. Mereka memegang monopoli pada distribusi dan import komoditi-komoditi utama.
Mereka mendapatkan pinjaman dengan bunga rendah melalui kerjasama dengan bankir-bankir, yang seringkali takut untuk menanyakan pembayaran kembali Subarjo Joyosumarto, managing director Bank Indonesia menyatakan bahwa selama pemerintahan Soeharto, “ada sebuah situasi yang membuat sukar bagi Bank-Bank negara untuk menolak mereka.”
Sekarang, dengan setengah penduduk dibawah garis kemiskinan sebagai hasil dari krisis keuangan, tidak ada keraguan bahwa keluarga Soeharto menumbuhkan kekayaan diatas penderitaan rakyat. Seorang bekas kolega bisnis anak-anak Soeharto memperkirakan bahwa mereka tidak membayar pajak antara $ 2,5 milyar dan $ 10 milyar pada komisi saja.
“Sangat mungkin tidak ada perusahaan-perusahaan Soeharto telah membayar 10 persen dari kewajiban pajak yang sebenarnya”, kata Teten Masduki, seorang anggota eksekutif Indonesian Corruption Watch, sebuah NGOs. “Dapatkah dibayangkan berapa besar pendapatan yang telah hilang?”
Kebanyakan orang Indonesia juga menyalahkan Suharto karena menciptakan iklim korupsi yang mempengaruhi seluruh perekonomian Indonesia. Bank Dunia memperkirakan bahwa sampai sebanyak 30% anggaran pembangunan di Indonesia selama dua dekade telah menguap karena korupsi yang meluas di lingkungan pegawai negeri dari atas sampai ke bawah.
“Kalau anda tidak membayar suap, orang akan menganggap anda aneh”, kata Edwin Soeryadjaya, Direktur perusahaan patungan telekomunikasi Indonesia-Amerika. “Sungguh sedih. Saya sampai tidak bisa bilang bahwa saya bangga menjadi orang Indonesia. Ini adalah satu dari negara paling korup di dunia”.
(2) Harapan yang Besar
BAGAIMANA perusahaan keluarga Suharto mendapatkan kekayaan dan kekuatannya; dan memperpanjang impian jutaan orang Indonesia lainnya? Ketika Suharto menjadi Presiden pada tahun 1967, gabungan yang unik antara kekuatan dan kepintaran politik orang Jawa telah terwujud.
Penyingkiran kehidupan presiden Sukarno, nasionalis pendiri negara, terlaksana selama dua tahun dengan disertai pembersihan anti-komunis yang memakan korban sebanyak lebih dari 500.000 orang. Namun Suharto, seorang jenderal yang tidak dikenal dari sebuah desa di pelosok Jawa Tengah, mengawalinya dari sebuah kehidupan yang tampaknya sederhana.
Ia dan istrinya Siti Hartinah (Ibu Tien) pada awalnya hidup di rumah peristirahatan yang sederhana di daerah Menteng, Jakarta dan biasa mengendarai Ford Galaxy. Hal inilah yang menandai perbedaan yang kontras antara dia dengan Sukarno, yang dengan gaya hidup bak seorang raja, dengan istana megah kepresidenannya dan istri ketiganya yang glamour Dewi, yang sebelumnya sebagai penyanyi Jepang di night club Cobacabana di Tokyo. Akan tetapi di balik topengnya, sesungguhnya Suharto telah menunjukkan awal kesukaannya untuk menghasilkan uang.
Di tahun 1950an, ia diduga terlibat dengan sengaja dalam penyelundupan gula dan kegiatan extra-militer lainnya di Jawa Tengah, yang menyebabkannya kehilangan kedudukan sebagai panglima KODAM Diponegoro ketika terjadi gerakan anti korupsi di tahun 1959.
Dalam otobiografinya, Suharto menegaskan bahwa ia menukar gula untuk mendapatkan beras, dalam upaya mengatasi kekurangan pangan lokal dan secara pribadi ia tidak mendapatkan keuntungan darinya. Pada akhirnya, pihak militer memindahkan Suharto ke posisi yang tidak memiliki pengaruh kuat yaitu di sekolah staf angkatan bersenjata di Bandung, Jawa Barat.
Pada tahun 1966, bisnis keluarga Suharto mulai terbentuk. Ketika menjadi pejabat Presiden, Suharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah no. 8 untuk merampas dua konglomerasi yang dikuasai Sukarno yang memiliki aset sebanyak $ 2 milyar. Konglomerasi tersebut kemudian menjadi PT Pilot Project Berdikari, di mana Suharto menempatkan pengelolaannya di bawah Achmad Tirtosudiro, seorang pensiunan jenderal yang pada saat ini mengetuai sebuah organisasi muslim yang kuat yang didirikan oleh Presiden Habibie. Perusahaan ini menjadi salah satu jantung utama kerajaan bisnis Suharto.
Keberuntungan presiden mulai melambung bersama-sama dengan beberapa teman dekatnya, yang paling terkenal adalah Liem Sioe Liong dan The Kian Seng, yang lebih dikenal sebagai Mohammad “Bob” Hasan. Di akhir tahun 1969, Suharto memberikan sebagian monopoli – yang pada akhirnya menjadi monopoli penuh – pada barang-barang impor, pabrik penggilingan dan distribusi gandum dan tepung pada PT Bogasari Flour Mills, yang dikuasai oleh Kelompok Salim milik Liem.
Bertahun-tahun Liem dikenal sebagai Oom Liem pada keluarga Suharto dan Hasan menjadi orang terpercaya Suharto dari luar kalangan keluarga, yang pada akhirnya memperluas kerajaan bisnisnya sendiri dengan cepat.
Dasar keberuntungan Suharto adalah yayasan kepresidenan. Lusinan yayasan telah didirikan
seolah-olah sebagai yayasan amal, dan yang membiayai sejumlah besar rumah sakit, sekolah, dan mesjid. Tetapi yayasan-yayasan tersebut juga merupakan dana raksasa yang tidak resmi untuk investasi proyek-proyek Suharto dan kroninya, maupun untuk mesin politik
presiden, yaitu Golkar.
Menurut George Aditjondro, pengajar Sosiologi di Universitas Newcastle, Australia, terdapat sekitar 79 yayasan yang dikuasai oleh Suharto, istrinya (meninggal tahun 1996), saudara-saudara istrinya dari desa, sepupunya dan saudara tirinya, enam anaknya, keluarga dan orang tua pasangan anak-anak tersebut, orang-orang militer yang dipercaya, dan teman-teman dekat lainnya seperti Habibie, Hasan dan Liem.
“Yayasan-yayasan tersebut membeli berbagai saham, mendirikan berbagai perusahaan, meminjamkan uang kepada para pengusaha,” kata Adnan Buyung Nasution, pengacara yang pada akhir tahun lalu mencoba membentuk komisi independen terhadap kekayaan Suharto. Yayasan menerima “sumbangan”, yang seringkali tidak dalam bentuk sukarela.
Diawali di tahun 1978, seluruh Bank milik pemerintah diminta memberikan 2,5 persen keuntungannya untuk Yayasan Dharmais dan Yayasan Supersemar, demikian menurut Jaksa Agung terdahulu Soedjono Atmonegoro. Keppres no. 92 tahun 1996 memerintahkan bahwa setiap pembayar pajak dan perusahaan yang berpenghasilan $ 40.000 setahun, diharuskan menyumbang 2 % pendapatannya untuk Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, yang dibentuk untuk mendukung program pemberantasan kemiskinan (perintah ini kemudian ditiadakan pada bulan Juli 1998).
Saat ini, pegawai negeri dan anggota militer menyumbang sebagian penghasilan mereka setiap bulannya kepada Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, yang digunakan Suharto untuk memenangkan dukungan bagi kalangan umat Islam. Sementara “sumbangan” tersebut menjadi bagian besar dari penghasilan yayasan, masih terdapat sumber-sumber keuangan lainnya.
Di tahun 1978, Yayasan Suharto menguasai 60% saham Bank Duta — sebuah Bank swasta terkemuka, kata seorang bekas pejabat Bank Duta. Saham tersebut bertambah secara perlahan menjadi 87 %. Kemudian yayasan-yayasan tersebut menginvestasikannya ke dalam berbagai perusahaan swasta yang didirikan anggota keluarga Suharto dan kroninya. Setelahnya, dengan pertolongan menteri-menteri atau perusahaan milik negara, perusahaan-perusahaan tersebut akan mendapatkan sebuah kontrak atau sebuah monopoli.
Sejak jatuhnya Suharto, yayasan-yayasan tersebut telah menjadi target utama para penyelidik Indonesia. Segera setelah pengunduran Suharto, Jaksa Agung Soedjono menyelidiki pembukuan empat yayasan terbesarnya. Apa yang ditemukannya sungguh mengejutkan.
“Yayasan-yayasan tersebut didirikan untuk menyalurkan layanan sosial”, ia mengatakan, “tetapi Suharto menyalurkan uangnya ke anak-anak dan teman-temannya.”. Soedjono menemukan bahwa salah satu yayasan yang terbesar, Supersemar, telah menyebarkan 84 % dananya pada sasaran yang tidak diketahui, termasuk pinjaman kepada perusahaan milik anak-anak dan teman-temannya.
Suharto, sebagai pimpinan, harus menandatangani cek diatas $ 50.000. Sodjono menyampaikan laporan pendahuluan atas temuannya kepada Presiden Habibie Juni lalu. Ia dipecat lima jam kemudian. (Presiden berkata Soedjono dipecat karena ia melewati garis komando untuk masuk masalah yang lain.)
(3) Minyak dan Tanah
DALAM dasawarsa pertama masa kekuasaannya, Suharto melalui Ibnu Sutowo menjadikan Pertamina seakan-akan milik pribadinya. Ketika Ibnu Sutowo dipecat di tahun 1976, tidaklah jelas apa sebabnya, apakah karena salah mengelola perusahaan atau karena memiliki ambisi politik yang kelewat besar.
Saat ini, di usianya yang ke 84, Ibnu Sutowo menceritakan kepada TIME mengenai hal tersebut. Menurutnya, tahun 1976 Suharto menyuruhnya mendirikan perusahaan untuk mengangkut minyak mentah Indonesia ke Jepang. “Suharto bilang, saya ingin kamu menarik $ 10 sen untuk setiap barrel yang terjual oleh perusahaan baru itu.” Ibnu Sutowo ingat saat itu. “Ketika saya mengatakan tidak, ia kelihatannya kaget”.
Setelah Ibnu Sutowo dipecat, Pertamina melakukan ekspor dan impor minyak di pertengahan tahun 80-an melalui Perta Oil Marketing dan Permindo Oil Trading, dua perusahaan di mana Tommy dan Bambang memiki saham.
Menurut seorang pejabat senior di pemerintahan Habibie, dua perusahaan tersebut menerima komisi sekitar $ 30-35 sen per barrel. Di tahun fiskal pertama tahun 1997-1998, kedua perusahaan itu menjual rata-rata 500.000 barrel per hari, dengan komisi lebih dari $ 50 juta per tahun.
Menurut Subroto, mantan Menteri Pertambangan dan Energi: “Pertamina sebenarnya bisa mengekspor langsung. Dua perusahaan itu sebenarnya tidak dibutuhkan”.
Selanjutnya, seorang mantan mitra bisnis Tommy dan Bambang mengatakan bahwa ‘mark up’ tidak resmi dalam ekspor dan impor minyak telah memberikan dua perusahaan itu sekitar $ 200 juta per tahun selama tahun 1980-an ketika harga minyak bumi tinggi, dan sekitar separuhnya di tahun 1990an.
Keluarga Suharto juga mendapatkan kontrak-kontrak Pertamina untuk asuransi, keamanan, suplai makanan dan jasa-jasa lainnya –170 kontrak secara keseluruhan. Tahun lalu, ketika Suharto jatuh, Pertamina membatalkan banyak kontrak-kontrak tersebut dan mengumumkan bahwa Pertamina berhasil menghemat $ 99 juta per tahun karenanya. Seorang mantan mitra bisnis keluarga Suharto mengatakan: “Mereka memerah Pertamina seperti layaknya sapi”.
Salah satu penghasil uang utama bagi Suharto adalah PT. Nusantara Ampera Bakti, atau Nusamba, didirikan tahun 1981 oleh tiga yayasan Suharto dengan modal $ 1,5 juta bersama Bob Hasan dan Sigit Suharto (masing-masing memperoleh saham 10%).
Perusahaan ini menjadi jaringan besar dengan lebih dari 30 anak perusahaan di bidang keuangan, energi, pulp dan kertas, baja dan otomotif. Jantung Nusamba adalah saham sebesar 4,7 % pada Freeport Indonesia, sebuah perusahaan AS yang merupakan penambang emas terbesar di dunia dengan kegiatan di Papua Barat. Tahun 1992 tiga yayasan itu memindahkan 80% sahamnya ke Bob Hasan, meskipun tidak jelas berapa banyak yang ia bayar untuk itu.
Sampai kini, penyelidik dari pemerintah tidak pernah memeriksa keuangan Nusamba. OC Kaligis, ketua penasehat hukum Suharto mengatakan: “Bila ingin tahu tentang Nusamba, tanya Bob Hasan. Dalam penyelidikan Suharto, Jaksa Agung tidak pernah bertanya soal Nusamba”.
Keluarga Suharto mendapatkan uang tidak saja melalui kontrak-kontrak pemerintah, tetapi juga dari menyusahkan kehidupan orang Indonesia. Ketika Suharto ingin membangun peternakan sapi di Jawa Barat, ia merampas tanah lebih dari 751 ha yang dihuni oleh 5 desa.
Menurut pemerintah, ia membayar ganti rugi sebesar $ 5.243. Beberapa penduduk mengatakan, mereka tidak memperoleh ganti rugi apapun. Muhammad Hasanuddin, yang saat itu masih anak-anak, ingat ketika keluarganya kehilangan tanah mereka seluas dua hektar. “Kami melihat sapi gemuk-gemuk dijaga oleh serombongan penjaga berkuda, menginjak-injak ladang kami yang sudah hancur. Seluruh keluarga hanya bisa menangis”. Ayah Hasanuddin akhirnya menjadi tukang becak di Jakarta.
Banyak cerita sama. Di tahun 1996 sebuah perusahaan milik Tommy merampas tanah penduduk desa di Bali seluas 650 hektar untuk resort. Perusahaan itu sebenarnya hanya memperoleh ijin untuk 130 ha, yang kemudian diperluas secara ilegal, demikian menurut Sonny Qodri, ketua LBH Bali.
Penduduk yang menolak untuk menandatangani perjanjian menjual tanah, diintimidasi, dipukuli dan sering direndam dalam air sebatas leher. Dua dari mereka dibawa ke pengadilan dan dipenjara 6 bulan. Sekarang tak ada yang tertinggal dari proyek itu: resesi datang ketika buldozer akan bekerja.
Hasan Basri Durin, Ketua BPN dan Menteri Agraria, mengatakan bahwa keluarga Suharto bisa dikatakan tidak membayar untuk tanah-tanah yang mereka inginkan–nilai yang dibayar hanya 6% dari nilai pasar sebenarnya, dan pemilik tanah biasanya berubah pikiran dan bersedia menjual tanah setelah kedatangan tentara.
“Kadang-kadang mereka tidak membayar satu sen pun”, kata Hasan. “Namun semuanya legal karena mereka (keluarga Suharto) memiliki dokumen”. Hanya separuh petani Indonesia yang memiliki sertifikat tanah, sehingga sulit bagi mereka untuk membuktikan kepemilikannya — dan lebih sulit lagi untuk membuktikan terjadinya intimidasi. Hasilnya, hanya sedikit yang mengajukan gugatan.
(4) Anak-anak Keberuntungan
SELAMA bertahun-tahun, korupsi di Indonesia adalah semacam bentuk pemberian komisi dari pembelian, yang umum dijumpai di negara-negara berkembang. Ada dua faktor yang menyebabkan Indonesia agak berbeda dari yang lainnya.
Pertama, posisi Indonesia sebagai bintang panggung baru dalam keajaiban ekonomi Asia, yang membawa aliran dana yang mengalir ke sektor bisnis dan real estate. Bank Dunia memperkirakan bahwa antara tahun 1988 sampai tahun 1996, Indonesia telah menerima lebih dari $ 130 milyar dari investasi asing. Ini semua hanya mungkin di bawah pengaruh Barat, yang telah mendukung Suharto selama 30 tahun, kata Carel Mohn, juru bicara Transparansi Internasional, sebuah Organisasi non-pemerintah (Ornop) yang berbasis di Berlin.
Faktor kedua, adalah anak-anak Suharto. Ke-enam anak-anak tersebut masuk ke dalam bisnis, panggilan hati yang telah ada semenjak usia dini mereka. Saya ingat ketika kami masih remaja, saya dan Bambang dan teman-temannya datang kerumah Oom Liem, kata seorang teman kecil anak Suharto yang kedua. Oom Liem akan selalu memberi kami sepaket uang yang dibungkus kertas koran. Paket itu, katanya, berisi cek senilai sekitar $ 1.000 atau lebih.
Wati Abdulgani, seorang pengusaha perempuan yang juga berhubungan dengan perusahaan keluarga Suharto di tahun 1980an mengatakan: “Anak-anak ini mengamati apa saja yang diberikan oleh Oom-nya tersebut, dan kemudian mereka berpikir, Bagaimana dengan kami nanti bila kami sudah besar, apakah bisa seperti dia?”
Sigit, anak yang tertua, secara jelas dipaksa oleh ibunya untuk masuk ke bisnis. Peran ibunya sebagai orang di belakang layar membuatnya terkenal dengan sebutan “Madam Tien Percent”.
Seorang teman bu Tien pernah berbicara dengannya pada saat pemerintah sedang membangun bandara internasional Soekarno-Hatta. “Ia bilang pada saya, saya ingin Sigit belajar tentang Bisnis”, katanya. Saya katakan sebaiknya Sigit menyelesaikan dulu universitas-nya. Jawab ibunya, “Jangan, jangan, Sigit tidak bisa berpikir jelas”.
Dua narasumber yang bekerja untuk proyek Bandara tersebut berkata bahwa ketika kedua terminal bandara telah selesai di tahun 1984, sebanyak $78,2 juta harus diserahkan ke Sigit dalam bentuk mark-up yang kelihatannya akan seperti biaya berjalan. Sigit kemudian beranjak ke bisnis yang lebih besar lagi.
Di tahun 1988, Departemen Sosial menetapkan adanya karcis SDSB(Sumbangan Dana Sosial Berhadiah), yang dipegang oleh perusahaannya. SDSB tersebut dapat terus beroperasi sampai kemudian terpaksa harus dihapus karena protes anti-judi dari kalangan Islam di tahun 1993. Pola judi tersebut membuat Sigit dan perusahaannya mendapat jutaan dollar setiap minggunya, kata Christianto Wibisono dari PDBI (Pusat Data Bisnis Indonesia), yang telah mengumpulkan berbagai informasi diseputar bisnis dan perusahaan-perusahaan yang terkait dengan Suharto semenjak tahun 1980.
Anak keduanya, Bambang, mendirikan Group Bimantara di tahun 1981 bersama dengan dua teman bekas anggota kelompok band rock-nya. Mereka dibimbing masuk ke bisnis oleh Oom Liem. Dari tahun 1967 sampai tahun 1998, BULOG(Badan Urusan Logistik) mengimpor dan mendistribusikan bahan-bahan pokok, seperti terigu, gula, kacang, dan beras melalui perusahaan-perusahaan yang terkait dengan Suharto, termasuk enam diantaranya milik Liem.
Sesuai permintaan Bambang, Liem memberikan sebagian bisnis kepadanya. Dari perdagangan gula saja, Bambang mendapat keuntungan sebesar $ 70 juta setahunnya, hanya untuk menstempel dokumen. Sistem itu berjalan dengan begitu baiknya, sehingga setiap anak yang mau masuk ke bisnis diberi sebagian-sebagian dari bisnis tersebut.
Praktek tersebut terus berjalan sampai tahun 1998. Dari tahun 1997 sampai 1998, Liem mendapat kontrak dari BULOG untuk mengimpor sekitar 2 juta ton beras yang bernilai $ 657 juta. Sebagai bagian dari kontrak itu, disebutkan bahwa anak terkecil Suharto, Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek) mengimpor 300.000 ton beras yang bernilai $ 90,3 juta.
Selama 18 tahun terakhir, lewat adanya keinginan pemerintah untuk menstabilkan harga beras, anak-anak Suharto telah berhubungan dengan BULOG untuk menghasilkan sekitar $ 3 milyar sampai $ 5 milyar bagi mereka sendiri, demikian menurut seorang bekas pejabat pemerintah.
Anak tertua, Tutut, tumbuh menjadi ratu lebah dari klan Suharto. Basis kerajaan bisnisnya adalah Group Citra Lamtoro Gung. Bisnis besar pertamanya adalah membangun dan mengoperasikan jalan tol. Proyek jalan tol-nya yang pertama dimenangkannya tahun 1987, setelah pemerintah mengalahkan dua pesaing tender lainnya. Pembiayaannya berasal dari dua bank pemerintah, sebuah perusahaan semen milik pemerintah, dan yayasan milik Suharto.
Ketika presiden Bank Bumi Daya menolak permintaan Tutut akan pinjaman-bebas-bunga, ia langsung dipecat. Di pertengahan tahun 1990, jalan tol-nya menghasilkan $ 210.000 per-hari. Di tahun 1995 , konsesi sistem jalan tol yang dipunyainya, bisnis yang paling menguntungkan di Indonesia, diperpanjang sampai tahun 2004. Kata Teddy Kharsadi, Direktur corporate-affair perusahaan jalan-tol PT Citra Marga Nusaphala, “Perpanjangan ini merupakan konsekuensi yang wajar dari investasi kami”.
Kerajaan bisnis Tutut meliputi juga telekomunikasi, perbankan, perkebunan,penggilingan tepung terigu, konstruksi, kehutanan, serta penyulingan dan perdagangan gula. Para pengusaha asing tidak bisa lain selain menjadikan keluarga Suharto sebagai partner-nya, bila mereka hendak ber-bisnis diIndonesia, dan Tutut akan selalu berada di deretan pertama di dalam daftar.
“Banyak perusahaan multinasional besar menginginkan adanya koneksi yang kuat, dan hal ini tentu saja berguna bagi mereka”, kata Graeme Robertson, seorang Australia kelahiran Indonesia, yang perusahaannya – Group Swabara – bergerak di pertambangan emas dan batubara. Pada puncak kekuasaan Tutut, investor yang berkeinginan untuk menemuinya, harus membayar terlebih dahulu uang sebesar $ 50.000 sebagai “jasa konsultasi” kepadanya.
Di awal tahun 1990an, Indonesia mulai memperhatikan saran bagi dijalankannya ekonomi berorientasi pasar dengan menswastakan perusahaan-perusahaan negara. Keluarga Suharto adalah penerima manfaat terbesar. Suharto meniadakan monopoli negara dalam telekomunikasi di tahun 1993, dengan memberikan lisensi pengoperasian sambungan langsung internasional dan jaringan telpon bergerak digital yang pertama di Indonesia kepada perusahaannya Bambang, PT Satelit Palapa Indonesia (Satelindo).
Pada saat yang sama, perusahaan negara PT Telkom menyerahkan basis pelanggannya kepada Satelindo, ketika Satelindo meluncurkan satelitnya sendiri, yang ketiga di Indonesia, lewat bantuan hutang sebesar $ 120 juta dari Bank Export-import Amerika.
TIME telah meneliti bahwa pemerintah telah memberikan lisensi dan basis pelanggan Telkom kepada Satelindo tanpa tender atau pembayaran. Dengan bantuan cuma-cuma pemerintah inilah, Bambang mengontrol perusahaannya, yang menurut harga pasar bernilai $ 2,3 milyar di tahun 1995. Ketika perusahaan Deutsche Telekom Jerman membeli 25% saham Satelindo, mereka membayar sebesar $ 586 juta. Bambang juga menerima saham utama sebesar $ 90 juta sebagai jasa fasilitasi dari Deutsche Telekom sebagai bagian dari penjualan tersebut.
(5) Terlalu Banyak Hal yang Bagus
KEPENTINGAN anak-anak Suharto menjadi semakin membesar sehingga mereka mulai bentrok satu sama lain. Bambang dan Tutut bersaing dalam mendirikan stasion televisi mereka masing-masing. Tommy bersaing dengan Sigit dalam penerbangan, serta dengan Bambang dalam produksi mobil dan perkapalan.
Di tahun 1990 pemerintah mengadakan lelang bagi kontrak pengadaan peralatan pemindah 350.000 sambungan telpon. Perusahaan NEC Jepang bergabung dengan sebuah perusahaan milik Bambang. Pesaingnya perusahaan AT&T, memberi Tutut 25% saham dalam perusahaan lokal mereka bernama PT Lucent Technologies Indonesia.
Pada akhirnya proyek tersebut dibagi 50-50 diantara AT&T-Tutut dengan NEC-Bambang. Di tahun 1996, Tutut berselisih dengan Sigit guna mendapatkan hak pengembangan tambang emas terbesar Busang di Kalimantan Timur. Partner Tutut, perusahaan Barrick-Gold dari
Kanada, berlawanan dengan partner Sigit, Bre-X Minerals. Kali ini, dua-duanya mendapat hasil nihil. Busang ternyata hanyalah cerita bohong-bohongan terbesar dalam sejarah pertambangan.
Persaingan menjadi semakin keras ketika anak-cucu Suharto mulai mencari berbagai monopoli di bisnis pinggiran. Bambang mendapat kontrak untuk mengimpor kertas khusus untuk mencetak uang. Tutut mengambil-alih usaha pemrosesan SIM (Surat Ijin Mengemudi). Perusahaan istri Sigit, Elsye, menjadi produsen tunggal dalam pembuatan KTP.
Di tahun 1996, cucu Suharto, Ari Sigit, merencanakan skema penjualan stiker pajak minuman bir dan alcohol sebesar $ 0,25 per-botol di Indonesia (bisnis ini akhirnya hancur karena para produsen menstop pengapalan bir ke Bali sebagai protes). Sembilan bulan sebelum Suharto turun, Ari berusaha untuk mengadakan proyek “sepatu nasional”, di mana semua anak Indonesia diharuskan untuk membeli sepatu sekolah dari perusahaan miliknya.
“Pada akhirnya”, kata seorang pengacara Amerika yang telah 20 tahun bekerja di Indonesia, “satu hal yang paling transparan di Indonesia adalah korupsi”.
Ketika rejim Soeharto jatuh, anak-anaknya mempergunakan pengaruh yang mereka miliki untuk dapat melepaskan diri dari belitan hutang dan bisnis yang hancur. Pada bulan April 1994, Tommy beserta dua rekan bisnisnya dan Pusat Koperasi Unit Desa (PUSKUD) — organisasi petani yang dijalankan oleh pemerintah — meresmikan sepermarket Goro.
Berdasarkan catatan Bank Bumi Daya, untuk kepentingan ini mereka memperoleh pinjaman sebesar $ 100 juta, dimana angsuran untuk pinjaman ini tidak pernah dibayar. Pada tanggal 4 Mei 1998, Tommy kemudian menjual dengan harga kontan seluruh saham atas supermarket ini kepada petani dan koperasinya seharga $ 112 juta, sehingga memindahkan seluruh beban hutang yang ada ke pundak petani dan PUSKUD.
Menurut Ibnu Hartomo, adik lelaki ibu Tien, anak-anak Suharto itu sangat liar dan tampaknya sudah tidak lagi mengingat arti etika. Pada saat kerusuhan Mei, satu minggu sebelum Suharto mengundurkan diri, massa yang marah membakar habis salah satu toko Goro yang ada di Jakarta Selatan.
Walaupun banyak dari kekayaan Suharto hilang karena manajemen yang buruk dan juga karena ekonomi negara yang hancur – misalnya PT. Sempati Air milik Tommy bangkrut pada tahun 1998- keluarga ini masih tetap memiliki banyak usaha yang masih memberikan keuntungan.
Satu dari banyak contoh adalah PT. Panutan Selaras milik Sigit yang memproduksi 25% dari bensin Premix High Octane yang banyak digunakan oleh mobil-mobil di Indonesia dan juga ia memiliki 22 tempat pengisian bensin di Jakarta, Surabaya dan Jawa Tengah. Sedangkan PT. Humpuss Trading milik Tommy juga memproduksi bensin High End
Bisnis yang lain lagi adalah bisnis Real Estate. Saat harga-harga property berjatuhan, kekayaan property keluarga ini diperkirakan sebesar $ 1 Milyar, dan banyak lagi termasuk perkebunan tebu, mal-mal, hotel-hotel yang sampai saat ini masih terus membawa keuntungan.
Di pertengahan tahun 1980, Bambang membayar pemerintah $ 700 per m2 untuk sebidang tanah di Jakarta Pusat dimana saat ini berdiri Hotel Grand Hyaat, asset utama PT. Plaza Indonesia.
Di Bali, anak-anak tersebut juga berhasil menyabet permata yang paling berharga dari industri pariwisata; seperti: Bali Cliff Hotel (Sigit), Sheraton Nusa Indah Resort (Bambang), Sheraton Laguna Nusa Dua (Bambang), Bali Intercontinental Resort (Masih milik Bambang
sampai 2 bulan yang lalu), Nikko Royal Hotel (milik Sigit sampai 6 bulan lalu), Four Seasons Resort di Jimbaran (Tommy) dan Bali Golf dan Country Club di Nusa Dua (Tommy).
Tutut dan Tommy juga membeli Mabes Polri Pusat di Jakarta dengan harga 1/5 dari harga pasar. Menteri kehutanan Muslimin Nasution mengatakan terdapat 4.5juta hektar hutan dan perkebunan yang terkait dengan anak-anak Suharto.
Pengamat ekonomi Michael Backman dari Melbourne, yang telah menulis tentang Suharto dalam bukunya “Asian Eclipse: Exploring the Dark Side of Business in Asia”, menyatakan, “Bila ada yang mengatakan bahwa kerajaan bisnis keluarga Suharto sudah hancur, maka dia salah. Mereka masih mempunyai saham-saham di perusahaan kayu, perkebunan kelapa sawit, dan hotel-hotel. Semuanya itu masih menghasilkan banyak dollar”.
(6) Roda Keadilan
SUHARTO tetap bertahan bahwa aset kekayaan yang dimilikinya tidaklah banyak dan semuanya berada di Indonesia. Pengacara top-nya Kaligis mengatakan bahwa Suharto tidak punya satu sen pun di luar negeri. “Jika seseorang ketahuan membuka account atas namanya di
luar negeri, dia (Suharto) menginstruksikan saya untuk mengajukan tuntutan terhadap mereka”, kata Kaligis.
Sejak Suharto mengundurkan diri, Bambang dan keluarganya lebih banyak menggunakan waktu mereka di Los Angeles, Titik di Boston dimana anak lelakinya bersekolah, dan sisanya hampir sepanjang tahun berada di Indonesia. Sedangkan Sigit mempergunakan sebagian besar waktunya di sofa Versace favoritnya (dimana tak seorangpun diijinkan mendudukinya), bermain video game, dan menonton rekaman wayang kulit.
Ghalib mengatakan bahwa Suharto telah memindahkan tujuh yayasan miliknya dengan aset seharga $ 690 juta ke tangan pemerintah. Beberapa staff Ghalib menyatakan bahwa walaupun begitu Suharto masih tetap mengontrol yayasan-yayasan tersebut, dan harga yayasan-yayasan tersebut sebenarnya jauh lebih mahal.
Reformasi yang masih berlangsung di sektor perbankan tampaknya juga menolong anggota keluarga Suharto dan associate-nya dalam menutupi kewajiban untuk membayar hutang-hutang mereka.
Oktober tahun lalu, Pemerintah merencanakan untuk menyatukan 4 bank pemerintah – dengan total hutangnya (performing loan) sebesar $ 11,5 milyar. Ke enam anak Suharto dan beberapa perusahaan yang berafiliasi dengan mereka terdaftar di pemerintah sebagai pemilik hutang (bad debts) sebesar $ 800 juta di ke 4 bank tersebut.
Bila jumlahnya diperinci, diantara mereka, Bambang dan Tommy saja sudah memiliki hutang sebesar $ 635 juta hanya di satu dari empat bank tersebut, yaitu Bank Bumi Daya. Seorang staf perbankan malaporkan bahwa laporan-laporan mengenai account mereka sering dipalsukan, termasuk $ 172 juta yang dipinjamkan ke Hashim Djojohadikusuma, kakak ipar Titiek, untuk membeli saham di salah satu bank lain. Meminjam uang untuk membeli saham bank lain di Indonesia dianggap ilegal.
Ketika hal ini ditanyakan, kantor Hashim menyatakan bahwa dia tidak dapat diwawancarai karena kesibukannya. Ketika TIME melaporkan hal ini kepada Habibie, presiden ini baru mulai meneliti hal tersebut.
Penelitian yang sungguh-sungguh atas harta rampasan Suharto mungkin harus menunggu pemerintah yang baru. Pemilihan wakil-wakil rakyat yang dijadwalkan tanggal 7 Juni, yang kemudian akan diikuti dengan pemilihan presiden bulan November, dapat merubah secara mendasar keseimbangan politik.
Dua calon utama presiden; Amien Rais dan Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa mereka akan mengadili Suharto atau mungkin memberikan pengampunan bila sebelumnya harta tidak halal keluarga Suharto dikembalikan. Megawati Suukarnoputri, anak perempuan presiden Sukarno dan juga calon presiden, belum meyatakan pendapatnya dengan jelas. Beberapa analis berpikir bahwa dia akan melepaskan Suharto sebagai ucapan terimakasihnya untuk tidak memenjarakan bapaknya.
Walau bagaimanapun ada kemungkinan anak-anak tersebut akan diperlakukan lebih buruk. Seorang kenalan keluarga Suharto mengatakan bahwa selama Suharto masih hidup, dia masih mungkin untuk melindungi mereka. Tetapi setelah dia pergi, mereka harus melarikan diri. Tiga dari mereka memiliki rumah di Amerika, sehingga jaksa-jaksa penuntut disana dapat mengejar mereka dengan Undang-Undang yang baru yang lebih keras dalam hal korupsi dan pencucian uang.
Sedangkan Bambang yang mengontrol 2 perusahaan Amerika, ternyata masih dapat diperiksa dengan peraturan praktek korupsi untuk orang asing (Foreign Corrupt Practices Act). Pengawas korupsi dari Masyarakat Transparasi Indonesia; bekas menteri keuangan Mar’ie Muhammad menyatakan bahwa 79 dari 528 keppres yang dikeluarkan sejak tahun 1993 – Mei 1998 adalah tidak sah.
Tetapi Suharto cukup hati-hati. Keppres-keppres tersebut– yang umumnya dilakukan pada setiap akhir 5 tahun masa tugasnya, terlebih dahulu telah di setujui oleh anggota DPR yang sebenarnya tidak banyak berfungsi dan hanya bisa menyetujui apa saja yang diajukan presiden.
Lagipula, menurut pengacara Suharto, Juan Felix Tampubolon, di Indonesia terdapat aturan mengenai pembatasan dari tindakan semacam itu, “bagi setiap kejahatan yang dilakukan seseorang, bila ada, sebelum tahun 1981, maka hak untuk menghukum yang bersangkutan telah habis masa berlakunya sesuai dengan aturan”. Bagi Suharto, maka jumlah $ 9 milyar di sebuah Bank Austria – akan mencukupi baginya untuk hidup enak di masa pensiunnya. Selesai
Sumber: TeguhTimur.Com

Jumat, 15 Februari 2008

Seribu Nisan dan Pengadilan Rakyat tentang Suharto di Tugu Proklamasi

Oleh: A. Umar Said 
Paris, 15 Februari 2008
 

Berikut di bawah ini disajikan tiga berita dari harian Kompas, harian Analisa dan Liputan 6 SCTV mengenai aksi-aksi berbagai organisasi di kompleks Tugu Proklamasi (Jakarta) yang berkaitan dengan meninggalnya Suharto, dan tuntutan untuk mengadili kroni-kroninya. Berita Kompas (11 Februari 2008) itu adalah sebagai berikut :
“Belum genap 40 hari pasca meninggalnya mantan Presiden Soeharto, suara-suara gerakan anti-Soeharto kembali meraung. Mulai Senin (11/2), kelompok yang menamakan Kesatuan Rakyat Adili Soeharto (KERAS), "menduduki" Tugu Proklamasi di Jakarta.

Bersama ratusan mahasiswa dari 13 propinsi, aktivis-aktivis dan korban-korban almarhum Soeharto, mereka menginap di Tugu Proklamasi dengan mendirikan tenda-tenda rakyat.

Puluhan tenda tampak berjajar di seberang 1000 makam simbolis yang mereka bangun pekan lalu sebagai simbol korban-korban Soeharto. Mereka akan berada di sana sampai Rabu (13/2). "Agenda ini kami namakan panggung kesaksian rakyat. Para korban-korban kejahatan Soeharto akan bercerita tentang apa yang mereka alami selama zaman Soeharto," tegas Jimmy Mapitaputty, koordinator KERAS di Jakarta.

Pesan kesaksian itu kata Jimmy, penting untuk disampaikan ke khalayak umum sebagai bentuk penolakan mereka terhadap wacana pemberian gelar pahlawan bagi almarhum Soeharto. Menurutnya, wacana tersebut sangat mengada-ada jika merujuk pada kejahatan yang telah dilakukan Soeharto selama 32 tahun memerintah.

"Karena itu, kesaksian para korban ini akan mengungkap bagaimana perlakuan Soeharto. Mulai kasus 65, atau pasca 65 seperti Malari, Petrus, Priok, Trisakti," lanjut Jimmy.

Selain panggung kesaksian, Jimmy menegaskan, pertemuan tersebut juga dimaksudkan untuk kembali menyuarakan tuntutan menangkap dan mengadili kroni-kroni Soeharto. Ia mengatakan, jika pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tidak bersikap tegas untuk menguak kroni-kroni Soeharto, Keras akan turun sendiri. "Kami akan tandai rumah-rumah kroni Soeharto. Bagaimanapun, uang yang telah mereka makan itu uang negara. Dan itu harus dikembalikan, " lanjut dia dengan suara lantang.

Bahkan, Jimmy mengatakan, pertemuan 300-an orang (125 berasal dari daerah dan 175 dari Jakarta) di Tugu Proklamasi itu tidak menutup kemungkinan akan membicarakan rencana datang langsung ke kediaman keluarga almarhum Soeharto di Cendana.

Jimmy menyebut, Keras ingin menyuarakan langsung tuntutan mereka ke Cendana. "Itu kalau kekuatan sudah memungkinkan. Bukan tidak mungkin besok (hari ini) kami akan ke Cendana sebagai pemanasan sebelum rencana sebenarnya kemungkinan besar bulan depan," katanya. (kutipan dari Kompas selesai)
Pengadilan Rakyat digelar di Tugu Proklamasi
Sedangkan berita dari Liputan 6 SCTV (12 Februari) yang berjudul “Korban pelanggaran HAM gelar Pengadilan Rakyat “ berbunyi sebagai berikut :

“Korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) Orde Baru menggelar pengadilan rakyat di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Selasa (12/2) siang. Dalam aksinya, mereka menuntut pelanggaran HAM yang dilakukan oleh almarhum mantan Presiden Soerharto diusut tuntas.

Salah satu korban pelanggaran HAM adalah Tjasman Setyo Prawiro. Pria 86 tahun ini terpaksa mendekam selama 14 tahun di Pulau Nusakambangan tanpa proses peradilan. Tjasman ditahan atas tuduhan menyebarkan ajaran komunis. Saat Tjasman di dalam penjara, sang istri harus berjuang menghidupi 10 anak.

Lain lagi kisah Lita. Cewek bertubuh gempal ini terpaksa lahir ke dunia tanpa ditemani sang ayah yang harus bersembunyi dari para penembak misterius (petrus) pada 1983. Kisah ini kemudian dituangkan Lita dalam lagu Tirai Kelahiran. Cerita Tjasman dan Lita hanyalah sepenggal rentetan kisah para korban pelanggaran HAM Orde Baru.

Namun setidaknya kegetiran hati para korban pelanggaran HAM Orde Baru untuk sementara bisa sedikit terhibur. Sebab siang tadi, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan keenam putra putri almarhum Pak Harto sebagai ahli waris akan yang meneruskan kasus gugatan perdata. Dalam kasus perdata ini, pemerintah menggugat secara materiil kepada almarhum mantan Presiden Soeharto sebesar US$ 420 juta dan Rp 185 miliar serta gugatan immateriil sebesar Rp 10 triliun atas kasus penyalahgunaan keuangan negara melalui Yayasan Supersemar (kutipan dari Liputan 6 selesai).__,_._,___

Lima dosa Suharto, menurut Sri Bintang
Harian Analisa ( 12 Februari 2008) menurunkan berita tentang pernyataan Sri Bintang Pamungkas ya mengenai kejahatan atau kesalahan Suharto dalam rangka aksi-aksi di Tugu Proklamasi. Berita tersebut adalah seperti berikut ini :

“Meski sudah wafat, bukan berarti dosa-dosa Soeharto terlupakan begitu saja. Setidaknya ada lima poin dosa penguasa Orde Baru itu yang harus diadili. Demikian disampaikan mantan Ketua Umum Partai Uni Demokrat Indonesia (PUDI) Sri Bintang Pamungkas. Dia tetap menuntut pemerintah menggelar pengadilan mendiang Soeharto.

“Setidaknya ada lima dosa yang ditinggalkan Soeharto, mulai kasus pelanggaran HAM sampai korupsinya,” kata Sri Bintang di sela-sela aksi Kesatuan Rakyat Adili Soeharto (Keras) di Tugu Proklamasi, Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, Rabu (13/2).

“Kelima dosa Soeharto itu, tutur dosen UI yang sempat ditahan era Soeharto ini, pertama, banyaknya korban nyawa yang melayang di zaman Orde Baru. Antara lain korban kasus Talang Sari, Tanjung Priok, DOM di Aceh dan Irian, serta Timtim.

Kedua, banyak utang Indonesia kepada luar negeri sekitar 80 miliar dolar AS, dan setiap tahun pemerintah hanya mampu bayar bunga saja.

Ketiga, banyaknya sumber daya alam yang rusak, mulai dari hutan yang telah dikavling-kavling untuk keluarga dan kroni-kroni Cendana. Bahkan saat itu, Soeharto begitu mudahnya mengeluarkan hak pengusahaan hutan (HPH).

Keempat, merajalelanya tindak pidana korupsi, mulai dari keluarga Cendana, pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif hingga menjalar ke masyarakat. “Bahkan sejumlah tokoh militer pun ikut-ikutan korupsi juga,” tandas Bintang.

Dan terakhir, sistem pemerintahan sentralistik, militerisme, dan otoriter. Akibatnya, banyak kekayaan daerah dikuras habis oleh pusat.

“Untuk itu, Bintang setuju dengan aksi di Tugu Proklamasi tersebut. Setidaknya, bisa mengingatkan pemerintahan sekarang untuk mengusut dan menyelesaikan kasus Soeharto. Sebab sejak era Habibie hingga sekarang belum ada yang mampu mengusut tuntas kasus pelanggaran yang dilakukan Soeharto. “Bahkan SBY hanya meminta Rp10 triliun kepada Soeharto yang sebenarnya mencapai Rp400 triliun. Kalau SBY-JK tidak mampu mengusut tuntas kasus Soeharto, lebih baik mundur!” tantang Bintang.(kutipan dari Harian Analisa selesai)


Serentetan aksi-aksi yang penting
Meskipun tidak diberitakan secara luas oleh pers Jakarta, serentetan aksi-aksi yang dilakukan oleh berbagai organisasi dan kalangan masyarakat di Tugu Proklamasi ini mempunyai arti penting sekali. Sebab, serentetan aksi-aksi tersebut merupakan kelanjutan dari aksi-aksi yang telah dilakukan di Jakarta dan tempat-tempat lainnya di Indonesia, dalam rangka menolak usul (dari Golkar dan para Suhartois lainnya) untuk mmberi gelar pahlawan nasional kepada Suharto dan menuntut diadilinya para kroni Suharto.

Selain itu, bahwa aksi-aksi tersebut dilakukan di Tugu Proklamasi mempunyai arti simbolik yang berbobot politik dan sejarah yang penting. Yang menonjol dalam aksi-aksi itu adalah telah ikut sertanya para mahasiswa dari 13 provinsi di Indonesia dan kaum muda lainnya, di samping berpartisipasinya kalangan korban peristiwa 65 yang tergabung dalam Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rejim Orde Baru (LPR-KROB) dan YPKP (Yayasan Penelitian Korban Peristiwa 65) dll dll. Artinya, aksi-aksi politik ini mendapat dukungan yang cukup luas dari kalangan kekuatan anti-Suharto (anti-Orde Baru).

Sebab, kegiatan yang dipelopori oleh KERAS (Kesatuan Rakyat Adili Suharto) merupakan gabungan berbagai organisasi dalam masyarakat, yang membikin front luas, dan bukan hanya terdiri dari golongan “kiri” atau simpatisan PKI saja. Memang, mungkin saja ada sejumlah kecil di antara mereka yang berhaluan kiri, tetapi sebagian terbesar adalah dari segala golongan (terutama kaum muda) yang tidak menyetujui politik Orde Barunya Suharto. Oleh karena itu, bisa diharapkan bahwa front luas dari organisasi-organisasi yang anti-Suharto semacam itu dapat ditiru dan dikembangkan lebih lanjut di berbagai daerah di Indonesia.

Yang menarik sebagai kegiatan yang kreatif adalah dibuatnya 1000 makam simbolis berupa “nisan” yang melambangkan besarnya pembunuhan orang-orang tidak bersalah oleh Orde Baru dan diselenggarakannya “pengadilan rakyat” dimana para korban dapat menggugat banyak kejahatan-kejahatan yang telah dilakukan oleh rejim militer Suharto;

Didirikannya kemah-kemah rakyat di kompleks Tugu Proklamasi yang berdekatan dengan 1000 “nisan” simbolik dan “panggung pengadilan rakyat” juga mencerminkan kekreatifan para penyelenggara, yang bertekad untuk mengadakan serentetan aksi-aksi politik selama beberapa hari untuk menentang wacana pemberian gelar pahlawan kepada Suharto dan menyuarakan kemarahan rakyat atas dosa-dosa Suharto di bidang HAM dan KKN

Bangkitnya kaum muda untuk melawan sisa-sisa Orde Baru, untuk menentang wacana pemberian gelar pahlawan kepada Suharto, dan menuntut diadilinya kroni-kroni Suharto, adalah penting bagi kelanjutan perjuangan bersama melawan sisa-sisa rejim militer Suharto, terutama Golkar dan sebagian kekuatan militer yang Suhartois.

Ikut sertanya Sri Bintang Pamungkas dalam aksi-aksi di Tugu Proklamasi ini menunjukkan bahwa berbagai kalangan intelektual di negeri kita juga telah mengambil sikap yang tegas terhadap masalah Suharto dan Orde Baru. Ini memberikan indikasi bahwa perlawanan terhadap berbagai kejahatan Suharto (dan keluarganya atau anak-anaknya) akan tetap berlangsung terus di kemudian hari, selama Golkar dan kaum Suhartois lainnya masih mau mengangkangi kekuasaan politik Orde Baru jilid II di negeri kita.

Paris, 15 Februari 2008

A. Umar Said