HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Jumat, 24 Juli 2009

Beberapa Catatan Untuk Diskusi Peristiwa Madiun 1948

Friday, July 24, 2009

Buku Soemarsono ini penting bukan hanya untuk meninjau ulang narasi utama dari negara (pemerintah orba atau tentara) tentang Peristiwa Madiun 1948, tapi juga mengkritisi ‘narasi resmi’ dai PKI, partainya sendiri menyangkut peristiwa 1948.Buku Soemarsono ini unik karena dia secara terus terang berani keluar dari sikap resmi patainya tekait dengan kejadian tersebut.
Mengkritisi “Narasi Resmi” PKI

Ada dua hal Fakta penting menyangkut penerbitan buku ini terkait dengan sikap resmi PKI atas Peristiwa Madiun;

Pertama; Sepertinya sikap resmi PKI atas Peristiwa Madiun 1948 yang ditulis oleh DN Aidit, tidak melibatkan Soemarsono, Gubernur Militer yang dianggap memimpin ”pemberontakan” tapi lolos dari eksekusi ilegal yang dilakukan oleh Kolonel Gatot Subroto. Bukankah saat itu dia segar bugar dan PKI sedang tumbuh berkembang menjadi partai besar?

Jawaban Soemarsono bahwa dia tak punya bakat dan kemampuan menulis jelas tak cukup untuk menjawab pertanyaan diatas. Tampaknya misteri ini ada kaitannya dengan ’pengasingan politik’ yang dilakukan oleh partai (atau mungkin DN Aidit?) atas dirinya paska peristiwa Madiun ke Pematang Siantar di Sumatera Utara hampir 14 tahun lamanya. ’ Pengasingan politik” ini ditambah lagi dengan aturan bahwa ia tak boleh melakukan aktivitas politik dan mengaku sebagai anggota PKI. Dengan batasan seperti ini Soemarsono betul-betul tak punya ’ruang’ untuk memberi pertanggungjawaban atas peristiwa madiun kepada partainya ataupun kepada publik. Terlepas dari kesamaan analisa atas Peristiwa Madiun yang menghubungkannya dengan rencana besar perang dingin Amerika Serikat dibawah skenario ’red drive proposal”.

Kedua; Analisa politik Soemarsono mengaitkan peristiwa Madiun dengan skenario besar perang dingin ’red drive proposal’, persis sama dengan sikap resmi partai. Namun ada satu fakta yang dia nyatakan di buku ini, tapi tidak dinyatakan dalam sikap resmi PKI, yaitu tanggung jawab ’keterlibatan Soekarno’ dalam peristiwa tersebut akibat pidato politiknya. Kita tahu malam tgl 19 September Soekarno membuat pidato di radio yang menyatakan telah terjadi “perampasan kekuasaan di Madiun”, “pemerintah Soviet di bawah pimpinan Musso”, dan “coup yang terjadi di Madiun”. Dalam pidatonya Soekarno juga menyerukan “tindakan korektif” di bagian awal, lalu diakhiri dengan seruan “marilah kita basmi bersama”

Soemarsono mengagumi Soekarno dan mengaku sebagai muridnya, “tapi saya tidak fanatik kepada Soekarno”. Soemarsono menyebut “Soekarno ada positifnya, tapi juga ada negatifnya” .Menurutnya, Soekarno itu juga manusia yang mempunyai “segi baik-buruknya”, karena itu “dia bisa saja berbuat salah”. Ia mengatakan bahwa Soekarno berpihak pada Hatta untuk mendukung “Red Drive Proposal” karena ingin kemerdekaan Indonesia diakui oleh negara-negara Barat, “meskipun itu harus mengorbankan golongan kiri” karena itu “dalam Peristiwa Madiun, Bung Karno ya terlibat”.

Soemarsono tampak kecewa terhadap isi pidato Soekarno yang diakhiri dengan kata “mari kita basmi bersama” untuk mengatasi peristiwa Madiun. Dan menurut DC Anderson, “Akibat dari pidato presiden atas kelompok FDR-PKI di Madiun benar-benar mematikan”

Hal ini membuat kita bertanya kepada misteri baru, mengapa sikap resmi PKI tidak menjadikan ”Soekarno’ sebagai salah satu pihak yang juga dituntut pertanggungjawabanaya atas peristiwa Madiun, secara politik Soekarno tetap mempunyai pengaruh, meskipun Hatta menjadi PM dalam sistem parlementer. Mungkinkah ’lolosnya’ Soekarno berkait dengan strategi partai yang sedang ’berakrab ria’ dengan sang presiden dan menghasilkan simbiosis mutualisma diantara keduanya.

Namun, Peristiwa Madiun tampaknya menjadi ‘duka tersembunyi’ Bung Karno. Di tahun 1960-an, pelukis terkenal S. Sudjojono bertemu dengan Soekarno dan mereka berbicara tidak hanya soal lukisan. Kita tahu bahwa Soekarno penggila seni dan terutama, lukisan, sehingga Istana Merdeka penuh dengan koleksi lukisan yang berkualitas dan bernilai tinggi. Tiba-tiba S Sudjojono bertanya.

“Bung Karno apa masih seorang Marxist?”

Soekarno terhenyak mendengar pertanyaan tersebut dan memandang heran ke arah Sudjojono.

“Tentu saja saya masih seorang Marxist, Bung. Ada apa kok Bung menanyakan itu?”

“ Kalau Bung seorang Marxis, kenapa Bung diam saja ketika Amir dan kawan-kawan dieksekusi di Madiun?” tanya Sudjojono

Soekarno terdiam, lalu butir-butir air mata mengalir di kedua pelupuk matanya.
Konsolidasi Tentara ”Dwi Fungsi TNI”

Peristiwa Madiun juga dapat dipandang sebagai momentum politik dari kekutan militer pengusung konsep ”Dwi Fungsi TNI” dibawah pengaruh Jendral Nasution untuk membersihkan tidak saja seluruh ‘tentara kiri’ dan unsur “laskar rakyat” tapi juga penggagas utama dari gagasan TNI diluar “Dwi Fungsi” yaitu AMIR SJARIFUDDIN.

Pemikiran-pemikiran militer Amir merupakan hal yang jarang dimiliki pemimpin politisi sipil. Kebanyakan pemikiran militer dikembangkan oleh para perwira militer itu sendiri, atau kalaupun ada intelektual sipil yang dilibatkan ia hanya sebagai pelengkap.

Mungkin karena gagasan militernya tersebut, Amir menjadi politisi sipil yang paling dibenci para perwira militer yang berlatar belakang (KNIL) dan (PETA) yang memajukan konsep tentara profesional dan kemudian kebablasan menjadi Dwi Fungsi TNI (Tentara Nasional Indonesia), yang menempatkan TNI sebagai kekuatan ‘supra rakyat’ yang mengendalikan rakyat, bukan bagian dari rakyat itu sendiri.

Pemikiran Amir dalam militer ini, saya duga, menjadi salah satu faktor mengapa Amir ‘dihabisi’ oleh Kolonel Gatot Subroto pada 1948, dalam kerangka ”memusnahkan’ konseptor tentra diluar definisi Dwi Fungsi TNI.

Gagasan tentara rakyat Amir khas, tak mirip dengan konsep revolusioner Tentara Merah ala Bolshevik-Rusia atau Tentara Rakyat ala Mao Tse Tung. Kedua konsep tentara rakyat klasik tersebut menjadikan partai revolusioner sebagai pemimpin gerakan dan mengandalkan rakyat sebagai kekuatan pokok revolusi.

Konsep Amir berdasarkan kondisi kemiliteran Indonesia yang unik di masa kemerdekaan. Di satu sisi ada kesatuan militer formal yang merupakan warisan KNIL dan PETA serta mempunyai hirarki teritorial dan organisasi yang dinamakan TNI. Di sisi lain, ada organisasi laskar rakyat yang militan dan menjadi pejuang terdepan dalam mempertahankan Republik Indonesia dari Agresi Belanda I dan II serta berbagai pertempuran heroik seperti di Surabaya di bulan November 1945.

Badan Pendidikan Tentara (BPT) dalam tubuh Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibentuk pada November 1945. Di bulan Februari 1946 badan ini berhasil membuat kurikulum yang meliputi lima bidang, yakni politik, agama, kejiwaan, sosial dan pengetahuan umum. BPT dipimpin Soekono Djojopratigno. Pada Mei 1946 BPT berada di bawah Kementerian Pertahanan yang dipimpin Amir Sjarifuddin dan namanya berubah jadi Pendidikan Politik Tentara (Pepolit). Amir juga menyatakan dengan tegas bahwa Pepoloit tidak mengabdi pada satu partai atau pandangan politik tertentu, tapi mengabdi kepada UUD 1945. Pendidikan agama Islam di Pepolit membuat lembaga ini memperoleh dukungan dari Masjumi.

Tampaknya militer tidak menyukai intervensi sipil dalam proses pendidikan mereka. Isu politik pun dihembuskan. Pepolit disebut-sebut sebagai alat kaum sosialis meluaskan pengaruhnya. Karena itu tentara mulai melancarkan penolakan terhadap Pepolit. Salah seorang yang paling keras menentang pepolit adalah Kolonel Gatot Subroto, yang kelak memerintahkan eksekusi atas Amir Sjarifuddin. Gatot bahkan menolak Pepolit di kesatuannya. Ketegangan-ketegangan awal antara militer dengan sipil di Kementerian Pertahanan mulai terbuka dan akan terus meruncing seiring dengan dinamika politik masa revolusi. Inilah untuk pertama kalinya terlihat kecenderungan tentara menolak supremasi sipil.

Pada Mei 1946 Amir Sjarifuddin sebagai menteri pertahanan membentuk sebuah badan baru bernama Biro Perjuangan (BP). Tugas biro ini mengkoordinasikan laskar-laskar dan badan perjuangan yang didirikan partai politik. Pada Juni 1946, sehubungan dengan penculikan atas Perdana Menteri Sjahrir, negara mengeluarkan undang-undang dalam keadaan bahaya dan pembentukan Dewan Pertahanan Negara (DPN) dan Dewan Pertahanan Daerah (DPD).

DPN mengeluarkan aturan yang mengakui keberadaan laskar-laskar rakyat dalam organisasi militer di luar tentara resmi dan dibiayai oleh pemerintah. BP lalu membentuk inspektorat di daerah-daerah, yang kemudian dianggap sebagai rival oleh struktur tentara resmi dan menolak keberadaannya. Padahal BP dibentuk untuk membantu menyelesaikan masalah yang terjadi di kalangan tentara. BP hendak mereorganisasi dan mengkoordinasikan laskar-laskar rakyat agar tak bertindak menurut tujuan politik dan kepentingan kelompoknya sendiri atau saling berseteru dalam banyak kasus. Dengan kata lain, Amir hendak menciptakan semacam stabilitas politik dengan mengadopsi kepentingan laskar rakyat di bawah kepemimpinan Kementerian Pertahanan dan membuat program-program pemerintah bisa berjalan. Pada Juli 1947 BP dibubarkan dan melebur dalam TNI.

Amir belum menyerah. Di bulan Agustus 1947 Kementerian Pertahanan kembali membentuk badan baru bernama TNI Bagian Masyarakat (TNI Masyarakat). Badan ini adalah penjabaran Amir atas konsep pertahanan rakyat semesta, yang berkaitan dengan situasi republik yang rawan dari agresi pihak luar.

Badan ini akhirnya dibubarkan ketika Hatta menjabat perdana menteri menggantikan Amir dan mencanangkan rasionalisasi. Konsep rasionalisasi di tubuh militer ini merupakan pembalikan dari semua gagasan Amir. Penerapannya berlanjut pada apa yang kita kenal sebagai Dwi Fungsi TNI di masa Orde Baru, yang selama kekuasaan Soeharto menjadi pondasi untuk membungkam demokrasi.

Pihak tentara tampaknya berhasil ’bermain di air keruh” peristiwa madiun dan mendapatkan keuntungan maksimal dengan menghabisi Amir Sjarifuddik dkk dengan menumpang dari ”pidato Soekarno” dan ‘peristiwa madiun”, tapi menterjemahkan pidato tersebut dengan tujuan-tujuan politik tentara sendiri. Seperti dikatakan oleh sejarawan D. C Anderson bahwa partai-partai politik bisa saja melakukan aliansi taktis dengan kelompok militer, baik di pusat maupun di regional, namun partai-partai politik tersebut tidak dalam posisi yang menentukan “aturan main” di lapangan.

Hatta sendiri tampaknya juga tidak dapat mengendalikan operasi militer di Madiun agar diakhiri dengan cara politik dan jalur hukum. Seperti ditulis oleh DC Anderson bahwa “perencanaan secara terperinci atas operasi penumpasan keseluruhan berada di tangan Nasution dan Gatot Subroto”.

Ketakberdayaan ‘keputusan politik pusat’ atas pimpinan militer dilapangan tampak dari instruksi Hatta yang juga menjabat sebagai menteri pertahanan kepada Gatot Subroto, gubernur militer Surakarta, agar menahan para pemimpin yang terkait peristiwa Madiun dan membawanya ke pengadilan. Namun kita tahu, Gatot Subroto melakukan eksekusi atas Amir Syarifuddin dan kawan-kawan tanpa ada proses pengadilan. Hatta menganggap keputusan itu diambil sendiri oleh Gatot Subroto. Namun, menurut Mavis Rose, penulis buku biografi politik Hatta, “Hatta tampaknya berusaha membersihkan namanya sendiri, karena Gatot pernah menyatakan bahwa ia melakukan eksekusi karena perintah Hatta agar mereka tidak melarikan diri dan dapat kembali berkuasa setelah agresi belanda kedua”.
Keterlibatan Soeharto

Salah satu fakta penting yang juga diungkap Soemarsono adalah keterlibatan almarhum mantan presiden Soeharto dalam Peristiwa Madiun. Soeharto adalah utusan resmi dari markas besar TNI yang dikirim untuk melakukan semacam investigasi atas kejadian ’clash’ antara kesatuan brigade 29 dan ’pasukan gelap’ yang ditengerai telah melakukan penculikan dan provokasi di Madiun.

Soemamasono langsung yang menemui Soeharto dan mengecek situasi dengan bekeliling Madiun, bahkan dia dipesilakan meninjau tahanan dan dan bertemu dengan ‘pasukan gelap’ yang ditangkap oleh ’brigade 29’. Setelah kunjungan berakhir, Soemarsono membantu membuat laporan tentang kondisi di Madiun yang dia tanda tanggani langsung. Laporan itu harusnya di bawa Soeharto ke pimpinan TNI di Yogyakarta.

Di sinilah missing link itu terejadi nampaknya. Tidak jelas apakah laporan pencarian fakta Soeharto sampai ketangan pimpinan TNI saat itu yaitu Jendral Soedirman atau tidak. Ada dugaan laporan itu tak pernah sampai, sehingga keputusan politik Soekarno-Hatta atas peristiwa madiun tidak berdasar laporan tersebut. Pertanyaannya adalah kalau Soeharto tidak menyampaikan laporan tersebut apa tujuannya? Kalau laporan itu sudah diberikan kepada pihak militer, lalu kenapa tindakan yang diambil justru operasi milier kupas tuntas? Ada juga rumor bahwa Soehrto saat itu adalah pendukung Tan Malaka. Kita tahu saat itu ada rivalitas antara FDR dengan pengikut Tan Malaka.

Peran Seoharto ini menurut saya harus ’diusut’ oleh sejarawan, karena sepertinya dia’ seperti ’selalu kebetulan’ muncul dalam berbagai krisis politik yang menghancurkan kaum kiri.

Selamat berdiskusi

Manggarai, 24 Juli 2009

Wilson
Pemerhati Sejarah
 

http://www.andreasharsono.net/2009/07/beberapa-catatan-untuk-diskusi.html

Pengakuan Seorang Anak tentang Siapa Ayahnya


Friday, Juli 24, 2009

Hal yang perlu diketahui dari keinginan orang-orang yang mengharapkan mengenal pribadi seorang Soemarsono dari kehidupan keluarganya.

Pengalaman saya sebagai salah satu anak dari seorang Soemarsono yang merupakan tokoh pelaku sejarah dalam buku Revolusi Agustus, sungguh sangat membuat saya semakin menyadari akan nilai-nilai hidup; bahwa tak seorangpun manusia dapat bahkan sanggup mengerti dan memahami manusia lain, kecuali Tuhan yang Maha Tahu, Maha Pengasih dan Adil, dimana keadaan seperti ini Tuhan mengijinkan saya sebagai anak dari seorang Soemarsono akhirnya berani untuk menyatakan bagaimana perjalanan hidup keluarga, akibat perjuangan yang Ayah saya lakukan untuk bangsa ini.

Penderitaan kami sekeluarga saat itu, sepanjang hidup, menurut ibu saya tidak pernah senang. Sejak muda bapak berjuang, tidak pernah pulang. Lebih mementingkan perjuangannya daripada keluarganya, hidup sederhana, cukup untuk makan. Begitulah pola pemikiran seorang pejuang. Sepanjang perjalanan hidup keluarga, bapak dipenjara Belanda, Jepang, dan setelah merdeka, diasingkan selama 14 tahun di Sumatera, dan terakhir oleh Pak Harto. Praktis hidup seperti itu, bisa dibayangkan, bagaimana seorang istri, ibu dari 6 anak, harus berjuang untuk tetap hidup, survive, apalagi keadaannya terlebih sejak peristiwa G30S, beban itu sungguh amat berat. Tak terbayangkan mengingat masa lalu kami, kami bisa hidup melewati masa-masa suram dan menyedihkan. Tapi luar biasa Tuhan itu, semua hanya karena kasih kemurahan Tuhan dan sungguh anugerah.

Salut hati saya mengingat jerih payah Ibu tercinta, praktis Ibu harus berjuang mengatasi masalah di keluarganya, membesarkan anak-anak, yah sebagai istri pejuang harus menerima konsekuensinya. Itulah sedikit bagian yang terbaca dari gambaran, ingatan anak yang juga harus menanggung akibat dari anak seseorang yang ingin berjuang untuk bangsa ini. Ya kalau diceritakan, keadaan dulu amat sangat berat. Sungguh, bukan hanya tekanan materiil saja, lebih-lebih moril, sangat tertekan untuk bisa diterima hidup dalam masyarakat. Jangankan masyarakat luar yang tak mengenal kami, saudara sendiripun tak bisa menerima atau layak mengakui, kami memaklumi dan memaafkan, karena mungkin begitu menakutkan sekali keberadaan kami sampai-sampai seperti orang yang tidak layak hidup.

Sempat terbersit, inikah hasil perjuangan Bapak, yang selalu menanamkan nilai-nilai pengorbanan sebagai orang yang berjuang?

Tetapi Ibu saya adalah orang yang baik dan terhormat, dia tak pernah meminta-minta pada siapapun, bahkan pada saudara sekalipun, Ibu memberikan teladan yang luar biasa, bagaimanapun Ia selalu bersyukur, punya kekuatan oleh karena punya Tuhan yang membuat kami sanggup melewati masa-masa sulit. Dan Ibu selalu mengatakan, penderitaan dan pengorbanannya sebagai istri merupakan pilihan Ibu sendiri, dan Bapak memang dikenal seutuhnya adalah orang yang baik dan betul berjuang untuk bangsa dan tanah air Indonesia. Saya secara pribadi sangat menghormati Ibu saya, sebagai wanita pejuang dalam keluarga, dan itu terlihat pada masa dimana Ibu meninggal, Tuhan memperlihatkan, nama-Nya / Tuhan saja yang layak dimuliakan. Ibu sangat dihormati, karena nilai-nilai yang ditanamnya semasa hidupnya.

Mengenai bapak saya, saya tidak pernah mengira saya dilahirkan oleh seorang sosok ayah yang begitu gigih berjuang, kalau saya tidak membaca buku Revolusi Agustus. Saya terharu dan merasa bersalah terlebih karena kesulitan /penderitaan masa lalu yang memberikan image keliru dalam pandangan saya sebagai anak tentang citra seorang ayah yang lebih mementingkan perjuangannya daripada keluarga.

Tentunya banyak, anak-anak dari keluarga lain yang pasti mengalami seperti yang saya alami sekeluarga. Anak-anak yang tidak tahu politik, kesalahan orangtuanya yang mungkin juga, bisa tidak salah karena berpolitik dan berjuang. Mereka korban dari ketidakadilan, yang tidak harus ditanggung /dipikulnya, karena anak tidak bisa atau tidak tahu dilahirkan dari seorang siapa, tapi karena keadaan orangtuanya yang belum tentu juga salah, kami-kami dan banyak orang seperti kami harus menanggung penderitaan yang tidak semestinya. Itu musti dipertimbangkan, siapakah yang pernah bisa memilih, saya mau lahir dari siapapun.

Sesungguhnya karena Bapak tidak pernah bercerita macam-macam, apalagi mengeluh tentang penderitaan dan kesulitannya, bahkan yang saya kenal, Bapak adalah seorang bapak yang baik, tegas, tapi lembut dan penuh toleransi. Bukan mudah juga memahami pikiran-pikirannya yang selalu menanamkan: humanisme, rohani, moral dan mental, serta akhlak yang baik yang menurut versinya Bapak, untuk menjalani itu semua orang harus mau berkorban, melayani, semua itu itu adalah hal-hal yang sulit dipahami, dijalani dalam hidup yang masyarakatnya sudah seperti sekarang ini, bahkan disuruh berani bersikap menyatakan kebenaran. Saya sering berpikir (dulu), tidak cukupkah kami sudah menderita, sulit dengan keadaan kami yang tidak dimengerti oleh Bapak, sementara Bapak didalam sana walaupun menderita juga, tetapi kami hidup di luar secara materiil, moril, dengan kondisi masyarakat seperti ini, bisa bertahan dan bisa tetap hidup sudah sangat bersyukur. Begitupun saya sangat menghormati beliau, karena nilai-nilai yang diajarkan Ibu; bahwa Ibu sampai mau ikut begitu sangat menderita adalah karena Bapak orang baik, dan sayapun menyadari, apa yang diajarkan bapak, nilai-nilai moral hidup itu sangat baik. Namun yang selalu jadi pertanyaan dalam benak saya, orang seperti ayah saya dituduh pemberontak? Bagaimana seorang bapak seperti Bapak mengajar anak-anaknya keras, untuk tahu nilai-nilai hidup, salah satunya apa yang beliau katakan, ajaran agama itu bukan untuk dilakukan secara ritual, adat, atau yang dilihat mata; sembahyangnya, tapi harus kongkrit perbuatannya karena ibadah itu perbuatan sehari-hari, tingkah lakunya yang bisa dilihat buahnya dari perbuatan yang didasari oleh moral akhlak, budi pekerti manusianya., dan itu tidak bisa lepas dari buah-buah perbuatan yang bisa dilihat, dirasakan oleh orang lain sebagai hal yang berguna atau menjadi berkat yang dapat memuliakan Tuhan penciptanya.

Sampai sekarang, terngiang di telinga saya, apa yang ditanamkannya tentang humanisme, rohani, mental, moral, akhlak manusia kongkrit dalam perbuatannya. Begitu saya membaca Revolusi Agustus, barulah saya mengerti apa artinya politik. Kami tidak tahu politik, bahwa yang ada trauma dalam politik. Kembali sebagai seorang anak, akhirnya tidak bisa dipungkiri nurani saya, saya bangga menjadi anak Bapak yang baru saya sadari dari apa yang saya baca; bahwa ayah saya bukan maling, perampok, koruptor. Pantas Ibu saya meneladani hidup menderita untuk pengorbanannya bagi seorang suami yang baik dalam pandangan sepanjang hidup yang dikenalnya.

Kebanggaan ternyata tidaklah cukup dengan pengalaman yang turut menderita pada masa lalu. Kebanggaan harus dinyatakan dalam perbuatan yang sekarang ini juga masih tersisa trauma masa lalu yang suram untuk membuka diri saya anak Soemarsono, saking begitu berat beban akibat stigma PKI. Saya dilahirkan bukan dari batu, atau anak maling, perampok, ataupun koruptor. Sebenarnya siapa kita, semua tidak pernah bisa memilih kita mau lahir dari siapa.

Sebagai seorang anak yang ingin hidup saleh dan berbakti pada orangtua selagi masih ada dan dia juga sudah cukup sangat menderita karena keadaannya (dalam pandangan saya sebagai anak yang tahu banyak hubunga dalam keluarga), walau sesungguhnya beban rasa takut, trauma dan sebagainya itu ada, namun nurani saya tidak dapat menghindar untuk menyumbangkan kesempatan ini sebagai rasa hormat dan bakti pada orangtua, bagaimanapun, saya dilahirkan dari seorang Soemarsono, yang sungguh pribadinya saya bangga punya bapak yang begitu kuat pendiriannya tentang nilai-nilai hidup sebagai orang perjuangan yang sampai mati dia katakan, tetap pada pendiriannya; Bapak akan tetap berjuang mengangkat harkat hidup rakyat, manusia yang tertindas lewat pikirannya yang humanisme, rohani, mental moral yang baik dan benar.

Kalau sekarang keadaannya lain, walau sudah banyak perubahan tentang keterbukaan, bukan maksudnya ingin menonjol atau ditonjolkan siapa Soemarsono, sebenarnya kesempatan ini adalah karena keinginan dari pihak yang ingin mengetahui tentang peranan Soemarsono juga di dalam keluarga. Sungguh kalau bukan karena beban moral yang harus saya emban untuk bisa berbuat bakti kepada orangtua atau ada sumbangsih pikiran untuk juga kepentingan bangsa ini supaya bisa belajar dari pengalaman apa yang dialami oleh orangtua – Bapak – tidak sedikitpun keinginan untuk ada kepentingan, lebih memilih untuk tidak dipublikasikan lebih baik, tetapi kalau keberadaan saya ini ada gunanya untuk hal-hal yang baik bagi banyak orang terutama untuk tujuan kemanusiaan juga, saya emban keterbukaan ini sebagai hormat dan kemuliaan bagi Tuhan saja.

1. Pengalaman saya dan keluarga sudah jelas. Mengenai bapak saya, jika sekarang terbuka, cukup sebagai pengalaman yang tak terlupakan. Pribadi dan karakternya bisa membuat teladan kami keturunannya. Apa yang diperjuangkannya selalu dia katakan ikhlas tanpa pamrih. Perjuangannya, penderitaannya dan pengurbanannya, murni karena pandangannya lebih memikirkan bangsa yang harus merdeka seratus persen, bebas secara utuh dari penindasan/penjajahan, kezaliman, dan itu ada bukti buku yang masih saya simpan, dimana Bapak berbicara tentang pikiran dan pendiriannya, merdeka untuk rakyat, dan merdeka atau mati adalah jalan perjuangannya.

Sampai sekarang dia katakan tidak pernah terbersitpun, di pikirannya ingin disebut pahlawan, walau banyak teman-teman Bapak baik yang di Indonesia maupun di luar negeri ada yang menyebut-nyebut bahwa beliau pantas menyandang itu. Bapak tidak pernah mau, sebab Ia bilang, pahlawan itu bukan perorangan kayak begitu, semua dulu berjuang sampai titik darah penghabisan, cuma kebetulan saya yang dipercaya memimpin pertempuran, dimana banyak orang-orang, yang mati di medan pertempuran hanya bermodalkan bambu runcing, kematiannya merobek dada mereka yang punya semangat merdeka. Tidak pantas saya mau jadi pahlawan.

Saya memang berjuang murni, tanpa pamrih, berjuang untuk rakyat dan bangsa Indonesia. Jadi jangan bangga/ sok karena anak Bapak dengar kata orang, sebab itu tunjukkan kalau anak Bapak punya moral, akhlak yang baik, dan hidup berguna, mulai berguna yang kecil, dari keluarga, saudara, masyarakat kalau bisa untuk bangsa dan negara.

2. Tentunya banyak anak-anak dari keluarga lain yang mengalami seperti yang kami alami sekeluarga. Anak yang tidak tahu politik, kesalahan orangtuanya, yang mungkin juga tidak salah karena berpolitik dan berjuang. Mereka korban dari ketidakadilan yang tidak harus dipikulnya, karena anak tidak bisa atau tidak tahu dilahirkan dari seorang siapa, artinya anak tidak bisa minta dilahirkan dari seseorang yang dia mau, tetapi karena keadaan orangtuanya yang belum tentu juga salah karena berpolitik, berjuang, harus menanggung penderitaan yang tidak semestinya. Apakah keadaan seperti ini terus menerus tidak ada solusinya, dan saya rasa ini juga tidak akan membaikkan untuk bangsa ini. Seorang hukuman yang berbuat salah saja ada batasnya, apalagi korban anak-anak yang tidak tahu menahu tentang politik sehingga kesempatan inipun bisa menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah ataupun pemimpin bangsa ini untuk mempertimbangkan atau memikirkan pemulihan nama baik bagi suatu solusi rekonsiliasi agar semua orang tak terkecuali mendapatkan haknya sebagai warga negara yang ikut berperan dapat membangun bangsa ini.

3. Kesempatan ini juga dapat memotivasi anak-anak lain yang mengalami seperti kami ini untuk mempunyai pola pikir yang tidak terpaku pada keadaan masa lalu, tidak menyalahkan orangtua, keadaan, dan pemerintah. Semua sudah terjadi dan berlalu. Bagaimana justru anak-anak ini harus menunjukkan bahwa kita adalah dari anak/ keluarga baik-baik. Tidak kecewa, dendam, dan pemaaf yang harus dinyatakan dalam sikap yang konkrit, mandiri, tegar, dan mempunyai kemampuan membangun diri kita untuk dapat berguna didalam keluarga, masyarat dan bangsa ini.

Pengalaman yang baik juga saya pikir bisa membuat generasi muda bangsa ini apa yang dialami oleh bapak bisa menjadi suatu proses pembelajaran sejarah bangsa, terutama generasi muda dalam berpolitik.

Secara pribadi saya menilai apa yang tidak mengenakkan dalam perjalanan sejarah hidup kami sebagai manusia yang menderita karena opini masyarakat pada waktu itu akibat keadaan penguasa waktu itu baik untuk kami. Mengerti arti nilai-nilai hidup yang benar, membuat kami juga bergantung sepenuhnya kepada Tuhan ( belas kasihan Allah, bukan manusia ), tidak dendam, bahkan bagaimana bisa menunjukkan sikap hidup yang baik dan benar, dan akhirnya walau waktu begitu lama, semua ada akhirnya juga, yang kita lihat apa yang dikatakan orang itu kelihatannya baik, maju, hebat, tetapi tidak selalu yang demikian begitu itu juga benar. Kita juga harus menghargai semua yang dipercayakan Tuhan memimpin bangsa ini, tetapi jangan mengorbankan kebaikan, kebenaran, kepada rakyat yang tidak bersalah, harus menanggung yang tidak seharusnya ditanggungnya. Supaya bangsa ini juga keluar dari masalah dan dosa pemimpin yang hanya memikirkan kekuasaan, kekayaan, dan jabatan bagi kepentingan diri sendiri, kelompok, ataupun golongan. Dengan demikian kemerdekaan yang dicapai dan diusahakan oleh setiap mereka yang dahulunya sudah berkorban hendaknya tidak menjadi sia-sia bagi kepentingan rakyat Indonesia.

Sumber: Andreas Harsono 

Beberapa Catatan Untuk Diskusi Peristiwa Madiun 1948


Teater Utan Kayu, Jumat, 24 Juli 2009

Buku Soemarsono ini penting bukan hanya untuk meninjau ulang narasi utama dari negara (pemerintah orba atau tentara) tentang Peristiwa Madiun 1948, tapi juga mengkritisi ‘narasi resmi’ dai PKI, partainya sendiri menyangkut peristiwa 1948.Buku Soemarsono ini unik karena dia secara terus terang berani keluar dari sikap resmi patainya tekait dengan kejadian tersebut.

Mengkritisi “Narasi Resmi” PKI

Ada dua hal Fakta penting menyangkut penerbitan buku ini terkait dengan sikap resmi PKI atas Peristiwa Madiun;

Pertama; Sepertinya sikap resmi PKI atas Peristiwa Madiun 1948 yang ditulis oleh DN Aidit, tidak melibatkan Soemarsono, Gubernur Militer yang dianggap memimpin ”pemberontakan” tapi lolos dari eksekusi ilegal yang dilakukan oleh Kolonel Gatot Subroto. Bukankah saat itu dia segar bugar dan PKI sedang tumbuh berkembang menjadi partai besar?

Jawaban Soemarsono bahwa dia tak punya bakat dan kemampuan menulis jelas tak cukup untuk menjawab pertanyaan diatas. Tampaknya misteri ini ada kaitannya dengan ’pengasingan politik’ yang dilakukan oleh partai (atau mungkin DN Aidit?) atas dirinya paska peristiwa Madiun ke Pematang Siantar di Sumatera Utara hampir 14 tahun lamanya. ’ Pengasingan politik” ini ditambah lagi dengan aturan bahwa ia tak boleh melakukan aktivitas politik dan mengaku sebagai anggota PKI. Dengan batasan seperti ini Soemarsono betul-betul tak punya ’ruang’ untuk memberi pertanggungjawaban atas peristiwa madiun kepada partainya ataupun kepada publik. Terlepas dari kesamaan analisa atas Peristiwa Madiun yang menghubungkannya dengan rencana besar perang dingin Amerika Serikat dibawah skenario ’red drive proposal”.

Kedua; Analisa politik Soemarsono mengaitkan peristiwa Madiun dengan skenario besar perang dingin ’red drive proposal’, persis sama dengan sikap resmi partai. Namun ada satu fakta yang dia nyatakan di buku ini, tapi tidak dinyatakan dalam sikap resmi PKI, yaitu tanggung jawab ’keterlibatan Soekarno’ dalam peristiwa tersebut akibat pidato politiknya. Kita tahu malam tgl 19 September Soekarno membuat pidato di radio yang menyatakan telah terjadi “perampasan kekuasaan di Madiun”, “pemerintah Soviet di bawah pimpinan Musso”, dan “coup yang terjadi di Madiun”. Dalam pidatonya Soekarno juga menyerukan “tindakan korektif” di bagian awal, lalu diakhiri dengan seruan “marilah kita basmi bersama”

Soemarsono mengagumi Soekarno dan mengaku sebagai muridnya, “tapi saya tidak fanatik kepada Soekarno”. Soemarsono menyebut “Soekarno ada positifnya, tapi juga ada negatifnya” .Menurutnya, Soekarno itu juga manusia yang mempunyai “segi baik-buruknya”, karena itu “dia bisa saja berbuat salah”. Ia mengatakan bahwa Soekarno berpihak pada Hatta untuk mendukung “Red Drive Proposal” karena ingin kemerdekaan Indonesia diakui oleh negara-negara Barat, “meskipun itu harus mengorbankan golongan kiri” karena itu “dalam Peristiwa Madiun, Bung Karno ya terlibat”.

Soemarsono tampak kecewa terhadap isi pidato Soekarno yang diakhiri dengan kata “mari kita basmi bersama” untuk mengatasi peristiwa Madiun. Dan menurut DC Anderson, “Akibat dari pidato presiden atas kelompok FDR-PKI di Madiun benar-benar mematikan”

Hal ini membuat kita bertanya kepada misteri baru, mengapa sikap resmi PKI tidak menjadikan ”Soekarno’ sebagai salah satu pihak yang juga dituntut pertanggungjawabanaya atas peristiwa Madiun, secara politik Soekarno tetap mempunyai pengaruh, meskipun Hatta menjadi PM dalam sistem parlementer. Mungkinkah ’lolosnya’ Soekarno berkait dengan strategi partai yang sedang ’berakrab ria’ dengan sang presiden dan menghasilkan simbiosis mutualisma diantara keduanya.

Namun, Peristiwa Madiun tampaknya menjadi ‘duka tersembunyi’ Bung Karno. Di tahun 1960-an, pelukis terkenal S. Sudjojono bertemu dengan Soekarno dan mereka berbicara tidak hanya soal lukisan. Kita tahu bahwa Soekarno penggila seni dan terutama, lukisan, sehingga Istana Merdeka penuh dengan koleksi lukisan yang berkualitas dan bernilai tinggi. Tiba-tiba S Sudjojono bertanya.

“Bung Karno apa masih seorang Marxist?”

Soekarno terhenyak mendengar pertanyaan tersebut dan memandang heran ke arah Sudjojono.

“Tentu saja saya masih seorang Marxist, Bung. Ada apa kok Bung menanyakan itu?”

“ Kalau Bung seorang Marxis, kenapa Bung diam saja ketika Amir dan kawan-kawan dieksekusi di Madiun?” tanya Sudjojono

Soekarno terdiam, lalu butir-butir air mata mengalir di kedua pelupuk matanya.

Konsolidasi Tentara ”Dwi Fungsi TNI”

Peristiwa Madiun juga dapat dipandang sebagai momentum politik dari kekutan militer pengusung konsep ”Dwi Fungsi TNI” dibawah pengaruh Jendral Nasution untuk membersihkan tidak saja seluruh ‘tentara kiri’ dan unsur “laskar rakyat” tapi juga penggagas utama dari gagasan TNI diluar “Dwi Fungsi” yaitu AMIR SJARIFUDDIN.

Pemikiran-pemikiran militer Amir merupakan hal yang jarang dimiliki pemimpin politisi sipil. Kebanyakan pemikiran militer dikembangkan oleh para perwira militer itu sendiri, atau kalaupun ada intelektual sipil yang dilibatkan ia hanya sebagai pelengkap.

Mungkin karena gagasan militernya tersebut, Amir menjadi politisi sipil yang paling dibenci para perwira militer yang berlatar belakang (KNIL) dan (PETA) yang memajukan konsep tentara profesional dan kemudian kebablasan menjadi Dwi Fungsi TNI (Tentara Nasional Indonesia), yang menempatkan TNI sebagai kekuatan ‘supra rakyat’ yang mengendalikan rakyat, bukan bagian dari rakyat itu sendiri.

Pemikiran Amir dalam militer ini, saya duga, menjadi salah satu faktor mengapa Amir ‘dihabisi’ oleh Kolonel Gatot Subroto pada 1948, dalam kerangka ”memusnahkan’ konseptor tentra diluar definisi Dwi Fungsi TNI.

Gagasan tentara rakyat Amir khas, tak mirip dengan konsep revolusioner Tentara Merah ala Bolshevik-Rusia atau Tentara Rakyat ala Mao Tse Tung. Kedua konsep tentara rakyat klasik tersebut menjadikan partai revolusioner sebagai pemimpin gerakan dan mengandalkan rakyat sebagai kekuatan pokok revolusi.

Konsep Amir berdasarkan kondisi kemiliteran Indonesia yang unik di masa kemerdekaan. Di satu sisi ada kesatuan militer formal yang merupakan warisan KNIL dan PETA serta mempunyai hirarki teritorial dan organisasi yang dinamakan TNI. Di sisi lain, ada organisasi laskar rakyat yang militan dan menjadi pejuang terdepan dalam mempertahankan Republik Indonesia dari Agresi Belanda I dan II serta berbagai pertempuran heroik seperti di Surabaya di bulan November 1945.

Badan Pendidikan Tentara (BPT) dalam tubuh Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibentuk pada November 1945. Di bulan Februari 1946 badan ini berhasil membuat kurikulum yang meliputi lima bidang, yakni politik, agama, kejiwaan, sosial dan pengetahuan umum. BPT dipimpin Soekono Djojopratigno. Pada Mei 1946 BPT berada di bawah Kementerian Pertahanan yang dipimpin Amir Sjarifuddin dan namanya berubah jadi Pendidikan Politik Tentara (Pepolit). Amir juga menyatakan dengan tegas bahwa Pepoloit tidak mengabdi pada satu partai atau pandangan politik tertentu, tapi mengabdi kepada UUD 1945. Pendidikan agama Islam di Pepolit membuat lembaga ini memperoleh dukungan dari Masjumi.

Tampaknya militer tidak menyukai intervensi sipil dalam proses pendidikan mereka. Isu politik pun dihembuskan. Pepolit disebut-sebut sebagai alat kaum sosialis meluaskan pengaruhnya. Karena itu tentara mulai melancarkan penolakan terhadap Pepolit. Salah seorang yang paling keras menentang pepolit adalah Kolonel Gatot Subroto, yang kelak memerintahkan eksekusi atas Amir Sjarifuddin. Gatot bahkan menolak Pepolit di kesatuannya. Ketegangan-ketegangan awal antara militer dengan sipil di Kementerian Pertahanan mulai terbuka dan akan terus meruncing seiring dengan dinamika politik masa revolusi. Inilah untuk pertama kalinya terlihat kecenderungan tentara menolak supremasi sipil.

Pada Mei 1946 Amir Sjarifuddin sebagai menteri pertahanan membentuk sebuah badan baru bernama Biro Perjuangan (BP). Tugas biro ini mengkoordinasikan laskar-laskar dan badan perjuangan yang didirikan partai politik. Pada Juni 1946, sehubungan dengan penculikan atas Perdana Menteri Sjahrir, negara mengeluarkan undang-undang dalam keadaan bahaya dan pembentukan Dewan Pertahanan Negara (DPN) dan Dewan Pertahanan Daerah (DPD).

DPN mengeluarkan aturan yang mengakui keberadaan laskar-laskar rakyat dalam organisasi militer di luar tentara resmi dan dibiayai oleh pemerintah. BP lalu membentuk inspektorat di daerah-daerah, yang kemudian dianggap sebagai rival oleh struktur tentara resmi dan menolak keberadaannya. Padahal BP dibentuk untuk membantu menyelesaikan masalah yang terjadi di kalangan tentara. BP hendak mereorganisasi dan mengkoordinasikan laskar-laskar rakyat agar tak bertindak menurut tujuan politik dan kepentingan kelompoknya sendiri atau saling berseteru dalam banyak kasus. Dengan kata lain, Amir hendak menciptakan semacam stabilitas politik dengan mengadopsi kepentingan laskar rakyat di bawah kepemimpinan Kementerian Pertahanan dan membuat program-program pemerintah bisa berjalan. Pada Juli 1947 BP dibubarkan dan melebur dalam TNI.

Amir belum menyerah. Di bulan Agustus 1947 Kementerian Pertahanan kembali membentuk badan baru bernama TNI Bagian Masyarakat (TNI Masyarakat). Badan ini adalah penjabaran Amir atas konsep pertahanan rakyat semesta, yang berkaitan dengan situasi republik yang rawan dari agresi pihak luar.

Badan ini akhirnya dibubarkan ketika Hatta menjabat perdana menteri menggantikan Amir dan mencanangkan rasionalisasi. Konsep rasionalisasi di tubuh militer ini merupakan pembalikan dari semua gagasan Amir. Penerapannya berlanjut pada apa yang kita kenal sebagai Dwi Fungsi TNI di masa Orde Baru, yang selama kekuasaan Soeharto menjadi pondasi untuk membungkam demokrasi.

Pihak tentara tampaknya berhasil ’bermain di air keruh” peristiwa madiun dan mendapatkan keuntungan maksimal dengan menghabisi Amir Sjarifuddik dkk dengan menumpang dari ”pidato Soekarno” dan ‘peristiwa madiun”, tapi menterjemahkan pidato tersebut dengan tujuan-tujuan politik tentara sendiri. Seperti dikatakan oleh sejarawan D. C Anderson bahwa partai-partai politik bisa saja melakukan aliansi taktis dengan kelompok militer, baik di pusat maupun di regional, namun partai-partai politik tersebut tidak dalam posisi yang menentukan “aturan main” di lapangan.

Hatta sendiri tampaknya juga tidak dapat mengendalikan operasi militer di Madiun agar diakhiri dengan cara politik dan jalur hukum. Seperti ditulis oleh DC Anderson bahwa “perencanaan secara terperinci atas operasi penumpasan keseluruhan berada di tangan Nasution dan Gatot Subroto”.

Ketakberdayaan ‘keputusan politik pusat’ atas pimpinan militer dilapangan tampak dari instruksi Hatta yang juga menjabat sebagai menteri pertahanan kepada Gatot Subroto, gubernur militer Surakarta, agar menahan para pemimpin yang terkait peristiwa Madiun dan membawanya ke pengadilan. Namun kita tahu, Gatot Subroto melakukan eksekusi atas Amir Syarifuddin dan kawan-kawan tanpa ada proses pengadilan. Hatta menganggap keputusan itu diambil sendiri oleh Gatot Subroto. Namun, menurut Mavis Rose, penulis buku biografi politik Hatta, “Hatta tampaknya berusaha membersihkan namanya sendiri, karena Gatot pernah menyatakan bahwa ia melakukan eksekusi karena perintah Hatta agar mereka tidak melarikan diri dan dapat kembali berkuasa setelah agresi belanda kedua”.

Keterlibatan Soeharto

Salah satu fakta penting yang juga diungkap Soemarsono adalah keterlibatan almarhum mantan presiden Soeharto dalam Peristiwa Madiun. Soeharto adalah utusan resmi dari markas besar TNI yang dikirim untuk melakukan semacam investigasi atas kejadian ’clash’ antara kesatuan brigade 29 dan ’pasukan gelap’ yang ditengerai telah melakukan penculikan dan provokasi di Madiun.

Soemamasono langsung yang menemui Soeharto dan mengecek situasi dengan bekeliling Madiun, bahkan dia dipesilakan meninjau tahanan dan dan bertemu dengan ‘pasukan gelap’ yang ditangkap oleh ’brigade 29’. Setelah kunjungan berakhir, Soemarsono membantu membuat laporan tentang kondisi di Madiun yang dia tanda tanggani langsung. Laporan itu harusnya di bawa Soeharto ke pimpinan TNI di Yogyakarta.

Di sinilah missing link itu terejadi nampaknya. Tidak jelas apakah laporan pencarian fakta Soeharto sampai ketangan pimpinan TNI saat itu yaitu Jendral Soedirman atau tidak. Ada dugaan laporan itu tak pernah sampai, sehingga keputusan politik Soekarno-Hatta atas peristiwa madiun tidak berdasar laporan tersebut. Pertanyaannya adalah kalau Soeharto tidak menyampaikan laporan tersebut apa tujuannya? Kalau laporan itu sudah diberikan kepada pihak militer, lalu kenapa tindakan yang diambil justru operasi milier kupas tuntas? Ada juga rumor bahwa Soehrto saat itu adalah pendukung Tan Malaka. Kita tahu saat itu ada rivalitas antara FDR dengan pengikut Tan Malaka.

Peran Seoharto ini menurut saya harus ’diusut’ oleh sejarawan, karena sepertinya dia’ seperti ’selalu kebetulan’ muncul dalam berbagai krisis politik yang menghancurkan kaum kiri.

Selamat berdiskusi

Manggarai, 24 Juli 2009


Wilson
Pemerhati Sejarah

Mendengarkan Narasi Lain

Friday, July 24, 2009

Membaca buku Revolusi Agustus karya Soemarsono
Baskara T. Wardaya


DALAM mengkaji suatu peristiwa historis tertentu dengan bertolak pada kesaksian seorang pelaku sejarah, secara prinsip kita perlu memilah antara “apa yang terjadi” dengan “apa yang diingat oleh pelaku sejarah tentang apa yang terjadi”. Perlu dibedakan antara “peristiwa” dan “ingatan akan peristiwa”. 
Dalam kaitan dengan ini tak kalah penting adalah memilah antara tinjauan dan pemaparan yang sifatnya deskriptif-analitis yang dilakukan oleh seorang sejarawan atas apa-yang-terjadi dan pemaparan atas ingatan seorang pelaku sejarah tentang apa-yang-terjadi itu. Kombinasi narasi yang bertolak dari pemilahan macam itu diharapkan akan dapat membantu memahami suatu peristiwa masa lalu secara lebih utuh, dan mungkin lebih relevan untuk masa-masa selanjutnya.

Legitimasi Kekuasaan

Bekal pemilahan demikian kiranya juga penting kalau kita ingin membaca dan mencermati buku Revolusi Agustus Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah (Hasta Mitra, 2008) yang merupakan penulisan kembali penuturan Soemarsono sebagai pelaku sejarah di seputar Peristiwa Madiun tahun 1948.

Sebelum membahas buku tersebut, perlulah kita melihat apa yang dikatakan oleh “narasi resmi” mengenai Peristiwa Madiun. Oleh narasi resmi, apa yang terjadi di Madiun pada tahun 1948 itu disebut sebagai sebuah “pemberontakan”. Menurut narasi ini, “pemberontakan” tersebut dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) melawan pemerintah pusat RI. Selanjutnya dikatakan, “pemberontakan” itu dilancarkan karena para anggota partai tersebut ingin “merebut kekuasaan” dengan cara mendirikan “negara Soviet” di Madiun dan sekitarnya. Masih menurut narasi resmi, tentara pemerintah bereaksi dengan bergerak cepat guna memadamkan “pemberontakan” tersebut. Dalam waktu relatif singkat “pemberontakan” itupun dipadamkan, dan pemimpin-pemimpinnya dieksekusi.

Karena disampaikan oleh pihak “pemenang”, dengan mudah pemahaman menurut narasi resmi macam itu menyebar ke masyarakat sebagai narasi dominan dan cenderung dianggap sebagai kebenaran tunggal. Hal ini misalnya tercermin dalam penggambaran yang diberikan oleh salah satu situs populer, yakni situs Wikipedia edisi Indonesia (Wikipedia.com). Di situ apa yang terjadi di Madiun tahun 1948 dikatakan sebagai “sebuah konflik kekerasan yang terjadi di Jawa Timur bulan September – Desember1948.” 

Selanjutnya dikatakan: 

“Peristiwa ini diawali dengan diproklamasikannya negara Soviet Republik Indonesia pada tanggal 18 September 1948 di Madiun oleh Muso, seorang tokoh Partai Komunis Indonesia dengan didukung pula oleh Menteri Pertahanan saat itu,Amir Sjarifuddin …Bersamaan dengan itu terjadi penculikan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Madiun …, baik itu tokoh sipil maupun militer di pemerintahan ataupun tokoh-tokoh masyarakat dan agama….”

Masih menurut sumber yang sama, “pada bulan Mei 1948 bersama Suripno, Wakil Indonesia di Praha, Musso, kembali dari Moskwa, Rusia. Tanggal 11 Agustus, Musso tiba di Yogyakarta dan segera menempati kembali posisi di pimpinan Partai Komunis Indonesia. Banyak politisi sosialis dan komandan pasukan bergabung dengan Musso, a.l. Mr. Amir Sjarifuddin Harahap, dr. Setiajid, kelompok diskusi Patuk, dll…. Aksi saling menculik dan membunuh mulai terjadi, dan masing-masing pihak menyatakan, bahwa pihak lainlah yang memulai. … Banyak perwira TNI, perwira polisi, pemimpin agama, pondok pesantren di Madiun dan sekitarnya yang diculik dan dibunuh…. Tanggal 10 September 1948, mobil Gubernur Jawa Timur RM Ario Soerjo (RM Suryo) dan mobil 2 perwira polisi dicegat massa pengikut PKI di Ngawi. Ke 3 orang tersebut dibunuh dan mayatnya dibuang di dalam hutan.” 

Apa yang dikatakan oleh situs ini menarik untuk disimak. Selain karena penggambarannya segaris dengan narasi resmi, juga karena situs populer macam itu sangat mudah diakses oleh publik sebagai sumber informasi maupun sebagai titik tolak wacana. Lagi, penjelasan demikian tentu masuk akal dan mudah dicerna, bahkan kalau beberapa bagiannya masih patut dipertanyakan.

Menarik untuk dicatat, sementara dalam masa pemerintahan Presiden Soekarno apa yang terjadi pada tahun 1948 itu disebut sebagai “Peristiwa Madiun 1948”, oleh pemerintahan Orde Baru istilahnya telah diubah menjadi “Pemberontakan Madiun 1948”. Sebagai konsekuensinya, dalam pengertian yang coba disosialisasikan oleh Orde Baru itu tindakan eksekusi atas Amir Syarifuddin, mantan Perdana Menteri RI dan mantan Menteri Pertahanan RI—yang dituduh menjadi salah satu pemimpin “pemberontakan” tersebut—pada tanggal 19 Desember 1948 lantas menjadi suatu tindakan yang dipandang “logis”, “sah” dan mungkin bahkan “sudah seharusnya”. Sekaligus narasi resmi macam itu dipandang penting sebagai bagian dari perangkat legitimasi kekuasaan Orde Baru itu sendiri. Perlu disimak pula, dalam narasi resmi itu tekanan (atau pretensi?) diberikan pada “apa yang sesungguhnya terjadi” dan bukan mengenai ingatan akan apa-yang-terjadi.

Memahami Narasi

Hal itu tentu sangat berbeda dengan apa yang dapat kita baca dari buku Revolusi Agustus: Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah. Dalam buku ini yang mau ditekankan adalah ingatanseorang pelaku sejarah atas apa yang terjadi waktu itu. Sebagai salah seorang pelaku langsung dari apa yang terjadi di Madiun pada akhir tahun 1948 itu Soermarsono berusaha menuturkan kembali apa yang ia lihat, apa yang ia dengar dan apa yang ia alami sendiri. Buku ini disusun berdasarkan transkrip uraian lisan mengenai apa yang ia ingat dari rangkaian peristiwa yang terjadi, serta tanggapan dia atas peristiwa-peristiwa tersebut.

Bisa kita lihat dalam buku ini, betapa luar biasa kuatnya ingatan Soemarsono sebagai seorang pelaku sejarah. Ia tidak hanya mampu mengingat kembali dan bertutur mengenai apa yang terjadi pada tahun 1948 di Madiun, melainkan juga mengenai jatuh-bangun perjuangan dia dan kawan-kawannya dalam merebut dan mempertahankan Republik Indonesia di awal kemerdekaan. Dengan jelas dan dengan nuansa keterlibatan pribadi yang tinggi ia tuturkan kembali bagaimana ia berjuang sejak jaman Jepang, dalam Pertempuran Surabaya bulan November 1945, kegiatannya setelah itu, keikutsertaannya dalam pergolakan di seputar Peristiwa Madiun, serta apa yang terjadi dalam hidupnya kemudian.

Tak lupa ia ceritakan pula bagaimana atas keterlibatannya dalam berbagai peristiwa itu ia “diganjar” dengan masa pengasingan selama 14 tahun dan hukuman penjara Orde Baru selama 9 tahun. Bahkan setelah itu ia harus tinggal di negeri asing, hingga kini. Dari narasi Soemarsono terlihat dengan jelas semangat yang juga luar biasa dalam memperjuangkan dan membela kedaulatan rakyat Indonesia. Lepas dari apakah orang setuju atau tidak dengan cara-cara dan ideologi yang dipilih oleh penulisnya saat berjuang, dengan membaca buku ini kita akan menjadi bersikap hormat pada komitmen dan dedikasinya yang begitu mendalam demi kemerdekaan negeri ini.

Sebagaimana dikatakan dalam pengantar buku, ada dua argumentasi pokok yang muncul dari narasi Soemarsono. Pertama, peristiwa Madiun sama sekali bukan merupakan pemberontakan apalagi perebutan kekuasaan. Dengan tegas Soemarsono mengatakan bahwa pada tahun 1948 di Madiun tidak ada coup d’tat (perebutan pemerintahan nasional) maupun coup de la ville (perebutan pemerintahan kota). Pun tak ada maksud memisahkan diri dari pemerintahan RI di bawah Bung Karno. Soemarsono tetaplah seorang pengagum Presiden Sukarno sampai sekarang.

Bagi Soermarsono, apa yang terjadi di Madiun lebih merupakan reaksi saja atas provokasi-provokasi yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok tertentu yang ia sebut sebagai bagian dari “teror putih” yang sedang merajalela saat itu. Teror putih itu menurutnya sengaja dilancarkan dengan maksud untuk menggilas gerakan-gerakan kiri pro-rakyat, khususnya para pendukung Front Demokrasi Rakyat (FDR). Berbagai tindakan politis yang diambil oleh dia dan kawan-kawannya lebih merupakan langkah-langkah darurat guna membela diri serta upaya untuk menyelamatkan situasi. Hal ini terbukti dengan surat yang dikirim oleh para pemimpin di Madiun kepada pemerintah pusat di Yogyakarta dengan bunyi “meminta instruksi lebih lanjut.” Jika maunya berontak, kata Soemarsono, tentu tidak akan ada permintaan akan instruksi lebih lanjut ke pemerintah pusat seperti itu.

Kedua, Soemarsono memandang Peristiwa Madiun lebih merupakan akibat, daripadasebab. Ia menuturkan bahwa yang merupakan pangkal penyebab dari semua yang terjadi itu adalah apa yang disebut sebagai Red-Drive Proposal, sebuah dokumen rahasia yang disusun oleh para petinggi Pemerintahan Kabinet Hatta bersama wakil-wakil dari Amerika Serikat untuk menghabisi kekuatan kiri di Indonesia.

Di mata Soemarsono, pidato Bung Karno pada tanggal 19 September 1948 malam memang keras dan emosional, tetapi hal itu terjadi karena menurutnya Bung Karno sedang “digunakan” oleh pemerintahan waktu itu, yang nota bene sangat anti-kiri dan sedang berniat untuk menghantam unsur-unsur kiri di tanah air. Pidato tanggapan dari Musso pada malam yang sama oleh Soemarsono juga dipandang sebagai keras dan emosional, tetapi hal itu dilakukan karena Musso sedang marah karena dituduh memberontak padahal tidak. Di tengah situasi demikian, menurut Soemarsono, sebenarnya pertentangan yang ada masih bisa diselesaikan dengan baik, yakni dengan pencarian suatu solusi politik yang damai. Apa boleh buat, sebelum solusi politik yang damai itu ditemukan sudah terlanjur ada pihak-pihak tertentu yang buru-buru ingin menggunakan kekerasan militer untuk menyelesaikan masalah.

Dikisahkan kembali oleh Soemarsono, di tengah ketegangan yang terjadi di Madiun itu Panglima Besar Jenderal Soedirman sempat mengirim seorang utusan khusus dari Yogyakarta untuk menilik situasi di sana, dan sesampai di Madiun memang didapatinya bahwa tidak ada pemberontakan. Antara sang utusan dan Soemarsono juga berlangsung percakapan dan relasi yang sangat baik, karena keduanya memang telah lama saling mengenal. Apa boleh buat, entah mengapa sekembalinya dari Madiun ternyata utusan tersebut tidak memberi laporan yang sebenarnya kepada pihak yang mengutusnya. Akibatnya pemerintah pusat di Yogyakarta memandang apa yang terjadi di Madiun sebagai sebuah perebutan kekuasaan dan memutuskan untuk menggunakan kekerasan guna menguasi kembali Madiun, serta menangkap mereka yang dituduh telah memimpin suatu upaya perebutan kekuasaan di Madiun.

Oleh Soemarsono dikisahkan pula bahwa meskipun telah dituduh merebut kekuasaan, para pemimpin itu tetap ingin menunjukkan diri bahwa bagi mereka musuh utama bukan pemerintah RI atau saudara sebangsa, melainkan Belanda. Itulah sebabnya ketika dikejar-kejar oleh tentara pemerintah para pemimpin dari Madiun itu kemudian lari ke arah garis demarkasi dengan Belanda di Jawa Tengah bagian utara, dengan maksud untuk berperang melawan Belanda di sana. Termasuk di antara para pemimpin itu adalah Amir Sjarifuddin, mantan Perdana Menteri RI. Ironisnya, justru ketika sedang berada di garis depan dan menyiapkan diri untuk bertempur melawan Belanda inilah mereka ditangkap untuk kemudian dieksekusi tanpa ada proses hukum sebelumnya.

Dari kacamata narasi Soemarsono ini tampaklah bahwa eksekusi terhadap Amir Syarifuddin dan kawan-kawan merupakan sebuah tindakan keji sesama anak bangsa yang sama-sama sedang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari cengkeraman kekuatan asing. Apalagi tanpa proses hukum sedikitpun.

Menjembatani Keduanya

Ketika memaparkan narasinya (lebih dari 50 tahun setelah terjadinya peristiwa), tekanan yang disampaikan oleh Soemarsono adalah apa yang dia ingat mengenai peristiwa tersebut. Tekanan bukan terutama pada uraian mengenai apa yang terjadi menurut dia dengan maksud untuk melegitimasi kekuasaan, mendapat kedudukan politis tertentu, atau hal-hal lain semacam itu (usianya telah lebih dari 80 tahun ketika ia bercerita). Ia hanya bermaksud supaya ada narasi lain atas Peristiwa Madiun di luar narasi resmi, dan kita diundang untuk mendengarkannya. Berbeda dengan narasi resmi, apa yang diceritakan oleh Soemarsono ini merupakan ungkapan pandangan dari perspektif di luar kekuasaan, yakni perspektif mereka yang selama ini telah terbungkam dan terdominasi narasinya.

Menarik untuk disimak bahwa narasi yang disampaikan oleh Soemarsono ini sangat dekat dengan narasi para pemimpin PKI ketika melakukan pembelaan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Dan tampaknya Presiden Soekarno memahami narasi mereka itu, sehingga waktu itu pemerintah RI tak pernah secara resmi melarang PKI. 

Guna memahami kedua narasi tersebut secara lebih utuh, perlulah kiranya kita melihat apa yang terjadi di Madiun itu di dalam konteks yang lebih luas, khususnya konteks Perang Dingin yang waktu itu sedang berkecamuk di panggung internasional. Sebagaimana kita ingat, segera setelah Perang Dunia Kedua usai, Amerika Serikat dan Uni Soviet yang sebelumnya merupakan sekutu, kini telah saling berseberangan dan saling bertentangan dalam sebuah ketegangan internasional yang disebut sebagai “Perang Dingin”. Lahirlah apa yang disebut sebgai “Blok Barat” di bawah Amerika Serikat dan “Blok Timur” di bawah Uni Soviet. Amerika Serikat yang berhaluan kapitalis dan Uni Soviet yang berhaluan komunis/sosialis sama-sama ingin mengembangkan sayap pengaruh mereka di berbagai wilayah dunia, termasuk di Indonesia.

Kita juga ingat, dalam konteks ketegangan Perang Dingin itu tahun 1948 merupakan tahun yang penuh gejolak. Tahun 1948, misalnya, merupakan tahun kedua setelah Presiden AS Harry S Truman mengumumkan kebijakan “pembendungan” (containment) atas ekspansi Uni Soviet di berbagai belahan bumi. Mulai tahun 1948 AS makin agresif dalam rangka menghadang hasrat ekspansif Uni Soviet, demikian pula sebaliknya. Pada tahun yang sama ketengangan antara AS dan Uni Soviet memuncak dalam tindakan Moskwa untuk menutup akses menuju bagian barat kota Berlin, sehingga penduduknya menderita kekurangan logistik. Tindakan ini mendorong AS untuk melancarkan program “Berlin Airlift” guna mensuplai penduduk dengan makanan dan obat-obatan. Ini adalah juga tahun di mana Yugoslavia di bawah Joseph Broz Tito memisahkan diri dari Uni Soviet dan mendorong Soviet untuk mencegah kemungkinan munculnya komunisme nasional ala Tito di tempat-tempat lain. 

Pada tahun 1948 juga pemerintah Inggris melancarkan serangan besar-besaran terhadap kelompok komunis di Semenanjung Malaka, dengan maksud untuk menghadang pengaruh Soviet yang dikhawatirkan akan masuk ke wilayah jajahannya itu melalui unsur-unsur komunis di sana. Singkat kata, pada tahun 1948 itu baik Amerika Serikat dan sekutunya maupun Uni Soviet dan para pendukungnya sedang berusaha keras untuk memperluas wilayah pengaruh (sphere of influence) masing-masing, sambil berusaha mencegat pelebaran sayap yang coba dilakukan oleh pihak lain.

Di Indonesia sendiri tahun 1948 adalah juga tahun penuh gejolak. Pada bulan Januari tahun itu Indonesia di bawah Perdana Menteri Amir Syarifudin menandatangani Perjanjian Renville dengan Belanda. Tetapi karena perjanjian itu dinilai merugikan, dua partai besar pendukung PM Amir, yakni PNI dan Masyumi, menarik dukungannya sehingga Amir harus mengundurkan diri dengan kecewa, dan kabinetnya diganti dengan Kabinet Hatta. Sementara itu, Belanda menggunakan Renville untuk mempersempit wilayah dan pengaruh Republik Indonesia, sambil menciptakan kekacauan di dalamnya. Misalnya melalui blokade ekonomi terhadap RI. 
Pada tahun ini juga terjadi ketegangan luar biasa dalam tubuh RI ketika Kabinet Hatta berencana melakukan program “Re-Ra”, yakni program Reorganisasi dan Rasionalisasi (pengurangan jumlah) angkatan bersenjata yang dinilai akan merugikan kekuatan-kekuatan laskar rakyat.

Pada tahun 1948 juga Musso, tokoh komunis yang sudah 20 tahun beradi di luar negeri, kembali ke tanah air dan segera menjadi figur acuan dan pemimpin gerakan komunis di Indonesia. Konsep “Jalan Baru Republik Indonesia” untuk merebut kemerdekaan 100% dari Belanda yang dicanangkannya telah memompa semangat perjuangan kaum kiri di Indonesia untuk bertempur tanpa kompromi melawan Belanda. Oleh sementara pihak, kedatangan Musso bersama Suripno, yang baru pulang dari Praha untuk berunding dengan pihak Uni Soviet, dipandang sebagai bagian dari upaya pelebaran pengaruh Uni Soviet di Indonesia melalui kelompok-kelompok komunis. Pandangan macam itu membuat semakin meningkatnya kecurigaan kelompok anti-komunis terhadap kelompok-kelompok komunis di Indonesia, dan meruncingnya ketegangan politikpun tak terhindarkan lagi.

Sementara itu pada pertengahan tahun itu juga beredar informasi mengenai adanya Red Drive Proposal. Sebagaimana telah disinggung di depan, informasi ini mengaitkan Kabinet Hatta dengan pihak Amerika Serikat yang juga sedang berusaha mengeliminasi pengaruh komunis dan pengaruh Uni Soviet di Indonesia. Menurut informasi ini, pada tanggal 21 Juli 1948 telah terjadi pertemuan rahasia di Sarangan antara Bung Karno, Bung Hatta dan para pemimpin RI yang lain dengan wakil-wakil dari Amerika Serikat, khususnya Merle Cochran dan Gerarld Hopkins. Pertemuan itu menghasilkan sebuah dokumen rahasia berisi konsep kerjasama untuk menghabisi gerakan kiri di Indonesia. Dokumen itu katanya disebut sebagai Red Drive Proposal, dan Red Drive Proposal inilah yang pelaksanaannya nanti melahirkan Peristiwa Madiun.

Tinjauan dengan melibatkan konteks Perang Dingin macam ini penting, karena olehnya kita jadi terbantu untuk bisa melihat permasalahan secara lebih utuh dan kontekstual. Apalagi mengingat bahwa narasi resmi disampaikan dengan dorongan kepentingan kekuasaan, sementara narasi pelaku sejarah lebih merupakan tuturan atas apa yang terjadi di Madiun sejauh yang dialami oleh orang yang terlibat langsung dan masih perlu dilengkapi dengan kesaksian pelaku-pelaku lain. Konteks Perang Dingin membantu menjembatani keduanya. 

Berkaitan dengan ini, pada satu sisi sumber informasi bagi tuturan Soemarsono mengenai Red Drive Proposal itu masih sulit dipertanggung jawabkan (Swift 1989: 81-83), namun pada sisi lain jelas sekali bahwa dalam konteks Perang Dingin waktu itu Blok Barat di bawah pimpinan AS memang sedang berupaya menghancurkan kekuatan-kekuatan kiri di manapun juga, termasuk di Indonesia.

Komitmen dan Dedikasi

Apapun perspektif yang digunakan dalam melihat Peristiwa Madiun, dengan membaca buku Revolusi Agustus ini kita akan disadarkan kembali bahwa baik kelompok-kelompok “kanan” maupun kelompok-kelompok “kiri” sebenarnya sedang sama-sama ingin mengusir Belanda dari Indonesia dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa mereka. Kita disadarkan pula bahwa dalam rangka mempertahankan kemerdekaan itu masing-masing pihak ingin mendapat dukungan internasional. Bedanya, yang satu berharap dukungan itu datang dari Blok Barat, sedang kelompok lain ingin supaya dukungan itu datang dari Blok Timur. Namun demikian, entah dukungan itu nantinya datang dari Barat atau Timur, jelas sekali bahwa baik mereka yang berada di “kanan” maupun yang berada di “kiri” sedang sama-sama ingin memperjuangkan kepentingan rakyat banyak dan bukan kepentingan-kepentingan pribadi.

Peristiwa Madiun yang diakhiri dengan eksekusi para pemimpin tanpa pengadilan, termasuk Amir Syarifuddin (yang setidaknya bisa dilihat dengan dua kacamata yang berbeda), serta pertumpahan darah rakyat banyak, mendorong kita untuk berharap bahwa yang namanya perbedaan pandangan politik tidak seharusnya selalu diakhiri dengan kekerasan. Dibutuhkan kepiawaian para pemimpin dan warga masyarakat untuk mencari solusi-solusi politik yang lebih manusiawi dan bersifat non-kekerasan.

Berkaitan dengan adanya narasi-narasi yang berbeda, kita merasa perlu adanya wacana yang berkesinambungan antara: (a) narasi resmi, (b) narasi para pelaku dan saksi sejarah, serta (c) narasi para sejarawan yang ditulis berdasarkan konteks historis waktu itu.

Narasi resmi perlu dipelajari, karena meskipun sarat dengan kepentingan politis dan legitimasi kekuasaan, itulah narasi yang “terlanjur” beredar di ruang publik dan dipahami oleh masyarakat selama ini, bahkan sampai sekarang. Upaya untuk mengubah pemahaman yang sudah terlanjur beredar di masyarakat membutuhkan pengertian yang memadai atas apa yang telah terlanjur beredar itu.

Narasi dari para pelaku dan saksi mata seperti Soemarsono ini perlu didengarkan, karena meskipun berbeda dari narasi resmi yang selama ini beredar di masyarakat, apa yang mereka kisahkan merupakan ungkapan ingatan dari para saksi dan pelaku yang secara langsung mengalami dan terlibat dalam peristiwa sejarah saat peristiwa itu berlangsung. Bahwa kita setuju atau tidak setuju dengan apa yang mereka ingat dan ungkapkan, tentunya hal itu merupakan masalah lain.

Pada saat yang sama kita juga perlu mendengarkan narasi para sejarawan. Diharapkan, dalam meninjau sebuah peristiwa sejarah, para sejarawan tidak sekedar menggambarkan ulang apa yang terjadi dengan cara seakan-akan ia pernah mengalaminya sendiri, melainkan mendeskripsikan hasil “rekonstruksi” mereka berdasarkan kaidah-kaidah yang berlaku atas peristiwa tersebut, untuk kemudian menganalisisnya, mengekstrapolasinya, dan mengaitkannya dengan konteks yang lebih luas, termasuk kaitannya dengan masa kini. Uraian para sejarawan yang bersifat deskriptif-analitis diharapkan akan mampu menghasilkan suatu paparan yang lebih utuh, untuk kemudian diberi keterangan dan makna historis secara lebih proporsional.

Dengan demikian jika kita ingin secara sungguh-sungguh belajar dari Peristiwa Madiun kita perlu mempertimbangkan ketiga jenis narasi tersebut. Begitu pula kalau kita ingin memperlajari apa yang dialami oleh Mantan Perdana Menteri RI Amir Syarifuddin dan kawan-kawan dari Madiun. Dalam kaitan dengan ini tak boleh bahwa satu perspektif mendominasi apalagi meniadakan perspektif-perspektif lain. Lahirnya buku Revolusi Agustus memperkaya perspektif kita dalam meninjau kembali dan merefleksikan apa yang terjadi di Madiun pada tahun 1948 itu, berikut faktor-faktor pendorong dan dampaknya kemudian. 
Satu hal yang kuat terasa ketika kita membaca buku Revolusi Agustus ini adalah tak dapat diragukannya komitmen dan dedikasi Soemarsono sebagai pelaku sejarah dalam usahanya memperjuangkan kepentingan rakyat dan bangsanya sejak muda hingga masa tuanya. Kiranya komitmen dan dedikasi serupa juga dimiliki oleh banyak orang lain dari generasinya Soemarsono, entah mereka yang berada di “persimpangan kiri” atau “persimpangan kanan” jalannya sejarah Indonesia. Kita berharap bahwa komitmen dan dedikasi yang sama juga akan lahir dari para pejuang rakyat pada generasi-generasi selanjutnya, termasuk generasi sekarang ini.

*** 

Sumber: Andreas Harsono