HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Kamis, 30 September 2010

Mendokumentasikan Kekerasan di Indonesia


Kemerdekaan dari Belanda pada tahun 1949 menjadikan Indonesia negara Muslim terbesar di dunia, tetapi juga mencakup banyak orang Kristen, Hindu, Budha, dan animisme. Republik Indonesia mengadopsi ideologi multikultural resmi. Setelah merebut kekuasaan dalam kudeta militer 1965 di Jakarta, Jenderal Suharto meluncurkan pembantaian yang disponsori tentara dari oposisi Komunis yang sangat besar tetapi sebagian besar tidak bersenjata, Partai Kommunis Indonesia (PKI). PKI adalah partai Komunis terbesar yang tidak berkuasa di dunia, dan Suharto kemudian menggambarkan kehancurannya sebagai perjuangan melawan kontaminasi politik: "Saya harus mengorganisir pengejaran, pembersihan, dan penumpasan." Ia memerintahkan "pembersihan yang mutlak perlu" dari PKI dan partai tersebut. simpatisan dari kehidupan publik dan pemerintah. Kedutaan Besar Australia di Jakarta melaporkan pada akhir Oktober 1965 bahwa “di semua sisi dan di semua wilayah,
Sebagian besar korban adalah petani Jawa, biasanya Muslim nominal, dan petani Hindu Bali yang juga mendukung PKI atau dicurigai melakukannya. Baik di Jawa maupun Bali, PKI telah memenangkan banyak suara dalam pemilihan umum selama tahun 1950-an. Tentara menjalankan kampanye antikomunis sementara kelompok pemuda Muslim yang kuat melakukan banyak pembunuhan. Komandan pasukan payung Sarwo Edhie dilaporkan mengakui bahwa di Jawa, "kami harus mengomeli orang untuk membunuh Komunis." 
Sejarawan Geoffrey Robinson menyatakan bahwa di Bali, intervensi pasukan memastikan bahwa "hanya pasukan PKI yang terbunuh dan mereka dibunuh secara sistematis." Namun di beberapa bagian Sumatra dan Sulawesi, menurut laporan kedutaan Kanada kontemporer, "di mana ada kelompok-kelompok agama Muslim yang fanatik, semua anggota PKI telah dipenggal." Duta Besar AS sepakat bahwa di Sumatra utara, “Semangat Muslim” di Aceh “tampaknya telah menyingkirkan semua kecuali beberapa PKI” dan “menempatkan kepala mereka di tiang di sepanjang jalan [itu].” Di Medan, dua pejabat kelompok pemuda Muslim Pemuda Pancasila secara terpisah mengatakan kepada AS. perwakilan bahwa "organisasi mereka bermaksud [untuk] membunuh setiap anggota PKI yang dapat mereka tangkap." 
Dalam beberapa bulan, tentara dan kelompok Muslim sekutu membantai lebih dari setengah juta tersangka komunis. Badan Intelijen Pusat AS menggambarkan pembunuhan itu sebagai "salah satu pembunuhan massal terburuk abad kedua puluh, bersama dengan pembersihan Soviet tahun 1930-an, pembunuhan massal Nazi selama Perang Dunia Kedua, dan pertumpahan darah Maois awal 1950-an." dua pejabat kelompok pemuda Muslim Pemuda Pancasila secara terpisah mengatakan kepada perwakilan AS bahwa "organisasi mereka bermaksud [untuk] membunuh setiap anggota PKI yang dapat mereka tangkap." 
Dalam beberapa bulan, tentara dan kelompok Muslim sekutu membantai lebih dari setengah juta tersangka komunis. Badan Intelijen Pusat AS menggambarkan pembunuhan itu sebagai "salah satu pembunuhan massal terburuk abad kedua puluh, bersama dengan pembersihan Soviet tahun 1930-an, pembunuhan massal Nazi selama Perang Dunia Kedua, dan pertumpahan darah Maois awal 1950-an." dua pejabat kelompok pemuda Muslim Pemuda Pancasila secara terpisah mengatakan kepada perwakilan AS bahwa "organisasi mereka bermaksud [untuk] membunuh setiap anggota PKI yang dapat mereka tangkap." 
Dalam beberapa bulan, tentara dan kelompok Muslim sekutu membantai lebih dari setengah juta tersangka komunis. Badan Intelijen Pusat AS menggambarkan pembunuhan itu sebagai "salah satu pembunuhan massal terburuk abad kedua puluh, bersama dengan pembersihan Soviet tahun 1930-an, pembunuhan massal Nazi selama Perang Dunia Kedua, dan pertumpahan darah Maois awal 1950-an."
Di bawah dan di bilah sisi kiri Anda akan menemukan produk-produk penelitian dari Proyek GSP tentang Mendokumentasikan Kekerasan di Indonesia. Lihat juga sidebar kiri untuk Proyek GSP di Timor Timur dan Papua. 
1. Nasionalisme Indonesia Awal: 
- Frank Dhont, Nationalisme Baru Intelektual 
Indonesia Tahun 1920-An
 (Universitas Gadjah Mada 
Press, 2005) 
- “ Pandangan Kaum Intelektual Nasionalis 
Indonesia Muda Akhir 1920-An Terhadap Demokrasi, 
Politik Lokal Dan Otonomi. 
”Oleh: Frank Dhont
2. Kerja Paksa di bawah Pendudukan Jepang: Frank Dhont, “Kesaksian kami: Romusha yang masih diterima”
Sumber: gsp.yale.edu 

Rabu, 29 September 2010

Menanti keadilan melalui rehabilitasi

BBC Indonesia | 29 September 2010



RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibahas DPR

Bertahun-tahun dipenjara tanpa diadili dan diberangus hak-hak sipilnya, ribuan eks narapidana dan tahanan politik peristiwa kekerasan pasca 1965, terus menuntut keadilan.
Para korban yang sebagian besar berusia di atas 60 tahun itu menuntut diberi rehabilitasi atas dosa politik rezim Orde Baru yang telah merampas hak-hak mereka sebagai warga negara.
"Sulit untuk melupakan kejadian yang menimpa saya," ungkap Lestari, 79 tahun, bekas Ketua Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Kota Bojonegoro, Jawa Timur.
Gerwani adalah salah-satu organisasi sayap Partai Komunis Indonesia (PKI), yang sejauh ini dinyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia.
"Saya kehilangan anak saya, yang saat itu berumur 4 tahun," ungkapnya kepada BBC, saat ditemui di sebuah rumah jompo yang menampung sebagian tapol 1965 di kawasan Jalan Kramat, Jakarta Pusat.
Setelah peristiwa penculikan tujuh jenderal di akhir September 1965, Lestari diminta para petinggi partainya untuk menyelamatkan diri.
Dia kemudian memilih bersembunyi di wilayah Blitar Selatan, tidak lama setelah peristiwa 1965.
Namun dia beserta para pelarian lainnya tertangkap tak lama setelah tentara melancarkan Operasi Trisula di wilayah itu.
Terpisah dari anak dan suaminya, ibu lima anak ini kemudian dihukum penjara -tanpa pernah diadili- selama 11 tahun di Kota Malang, sebelum dibebaskan tahun 1979.
Sejak saat itulah hak-haknya diberangus.
"Bahkan jatah makan saya dan teman-teman tapol dibedakan dengan napi lain," ungkapnya.
Minta rumah dikembalikan
Setelah rezim Orde Baru runtuh dan reformasi digulirkan, Lestari dan ribuan eks napol '65 mulai berani "bersuara".



Sebagian tuntutan mereka juga didengarkan, seperti pemulihan hak memilih dalam pemilu sampai penghilangan tanda 'anggota partai terlarang' di setiap KTP mereka.
Namun di mata Lestari dan para korban '65 lainnya, semua ini belumlah cukup untuk menyembuhkan luka masa lalunya.
Selain menuntut agar para pelakunya diadili, mereka juga menuntut agar negara melakukan penyelidikan terhadap kasus kekerasan tahun 1965.
Tidak semua setuju dengan penyelesaian melalui jalur hukum, yang dianggap "sulit digelar".
Maka muncullah konsep rekonsiliasi, rehabilitasi, dan kompensasi, yang dianggap sebagai jalan paling bijaksana untuk menyelesaikan masalah-masalah kekerasan masa lalu.
Lestari, misalnya, tidak terlalu banyak berbicara soal peradilan. Namun dia berharap pemerintah dapat mengembalikan rumahnya di Kota Surabaya yang disebutnya "diambil alih oleh tentara".
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Pemerintah saat ini tengah menyiapkan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, sebagai jawaban terhadap tuntutan para korban kasus-kasus kekerasan di masa lalu -- termasuk para korban kejadian 1965.


Image captionUsman Hamid mengatakan RUU baru tetap membuka jalur pengadilan.

Draf RUU ini pada pertengahan September 2010 telah diserahkan ke Sekretariat Negara, sebelum nantinya dibahas oleh DPR.
Rancangan ini disiapkan sebagai pengganti undang-undang serupa yang empat tahun lalu dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Pembatalan itu menjawab pengajuan uji materi oleh Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan yang menuntut. pembatalan tiga pasal.
Ketiganya adalah pasal 1 angka 9 yang menyebut amnesti bagi pelaku pelanggaran ham, kemudian pasal 27 tentang kompensasi dan rehabilitasi dapat diberikan bila permohonan amnesti dikabulkan.
Adapun yang ketiga adalah pasal 44 yang menyebutkan peniadaan pengadilan dengan pengadilan ham adhoc bila pelanggaran telah diungkapkan dan diselesaikan Komisi.
Direktur Jenderal Perlindungan Hak Asasi Manusia Kementrian Hukum dan ham Harkristuti Harkrisnowo menyatakan aturan baru ini merupakan koreksi atas kelemahan undang-undang sebelumnya.
"Misalnya, pasal yang menyebut rehabilitasi dapat diberikan bila permohonan amnesti dikabulkan, itu tidak kita cantumkan dalam rancangan ini," ungkap Harkristuti.
Peradilan tetap terbuka
Mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Usman Hamid, yang dilibatkan sejak awal dalam pembahasan RUU yang baru, menganggap isi RUU ini lebih adil buat korban dibanding UU yang lama.
Dia menyebut RUU sekarang sebagai "tidak merugikan seperti yang dahulu".



Dia kemudian memberi contoh: "UU yang lama tidak memungkinkan perkara '65 untuk dibawa ke pengadilan. Tetapi yang sekarang membuka kemungkinan pengadilan."
Harkristuti menegaskan, walaupun RUU ini tidak mengatur tentang pengadilan, peluang digelarnya proses hukum ini masih terbuka.
Dia mengacu kepada Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan ham, yang disebutnya dapat menyelesaikan kasus ini di pengadilan ham adhoc.
Namun Harkristuti berharap persoalan masa lalu itu bisa selesai melalui rekonsiliasi.
Sikap serupa juga ditunjukkan Gayus Lumbun anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan.
"Nanti akan ada pengakuan pemerintah bahwa ada pelanggaran HAM atas kasus kekerasan itu. Kemudian akan diberikan kompensasi kepada korban. Jadi, tidak perlu lagi ada tuntutan dari korban, atau tidak ada lagi putusan hukuman," kata Gayus.
Masih belum diketahui secara pasti kapan RUU ini akan masuk ke DPR.
Namun dipastikan bahwa pembahasan rancangan undang-undang ini bakal menyita waktu yang panjang, seolah berlomba dengan sisa masa hidup para korban yang rata-rata di atas 70 tahun.
Itulah sebabnya, sebagian pegiat HAM usul agar Presiden menggelar rekonsiliasi politik, tanpa harus menunggu komisi terbentuk.
Lestari sendiri tidak terlalu berharap dengan RUU ini.
"Apa iya bisa terealisasi, wong penyelesaian kasus orang hilang 1998 saja belum jelas," katanya seraya tertawa.
Sumber: BBC.Com 

Rekonsiliasi di akar rumput

Sri Lestari | 29 September 2010


Put Mui'nah menerima wartawan BBC Indonesia Sri Lestari di rumahnya, di Kabupaten Blitar.

Put Mu'inah, yang sudah berusia 82 tahun, menyambut kedatangan saya di rumahnya di Desa Pakisrejo, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar.
Masih tampak sehat, Put Mu'inah masih jelas mengenang peristiwa hampir setengah abad lalu, ketika dia masih menjabat Ketua Gerwani, Gerakan Wanita Indonesia, Kabupaten Blitar dan anggota DPRD selama tiga periode.
Namun setelah peristiwa 30 September 1965, Put Mu'inah ditangkap di kawasan Blitar Selatan, dan dijatuhi hukuman penjara selama delapan tahun.
Kawasan Blitar Selatan memang dikenal sebagai salah satu basis Partai Komunis Indonesia, PKI.
Itulah sebabnya pada masa pergolakan pasca G30S/PKI, Blitar menjadi salah satu tempat penangkapan dan pembunuhan atas orang-orang yang dituduh anggota maupun simpatisan PKI.
"Kalau yang saya temui, mereka itu tidak ada prasangka apa-apa". Put Mui'nah
Upaya penangkapan dan pembunuhan di kawasan ini dilakukan oleh militer dengan dukungan masyarakat NU, dan untuk menandai operasi tersebut di Desa Bakung, Kabupaten Blitar.

Gagasan rekonsiliasi

Awal 2000, Put Mu'inah terlibat dalam sebuah proses rekonsiliasi korban 1965 dengan kalangan NU yang digagas oleh Lakpesdam NU, Blitar.
Put Mu'inah pun mengontak sejumlah korban 65 untuk bergabung dalam proses rekonsiliasi, salah satunya adalah Sugiman.
"Kalau yang saya temui, mereka itu tidak ada prasangka apa-apa," tuturnya.
Salah satu bentuk upaya rekonsiliasi adalah pagelaran kesenian bersama para eks Tapol/Napol 1965 dengan warga NU, yang digelar di monument Trisula.
Mantan Ketua Lakpesdam NU yang mengagas rekonsiliasi ini, M. Munif, menjelaskan alasan di balik upaya tersebut.
"Intinya bahwa kepingin demokrasi Indonesia ini bagus, harus ada rekonsiliasi. Diharapkan agar tidak terjadi lagi di kemudian hari problem antar warga karena korban 65 sudah banyak."
Selain pagelaran kesenian bersama, Lakpesdam NU juga membuat pipanisasi untuk menyalurkan air di daerah Blitar selatan dan memberikan dana Rp 500.000 sebagai modal awal bagi masyarakat di tiga desa itu.

Sempat dicurigai


Monumen Trisula di Blitar untuk memperingati operasi pasca G30S
Di Desa Pasiraman, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar, bantuan tersebut dikelola oleh jemaah Yasinan, sebuah kelompok pengajian yang beranggotakan pemuda NU dan keturunan eks Tapol/Napol.
Dan setelah berjalan tujuh tahun, dana yang dikelola itu terus berkembang, seperti dituturkan pimpinan jemaah Yasinan, Dwi Purwanto.
Dwi menjelaskan awalnya pemberian dana sempat dicurigai karena banyak yang mengkaitkan dengan dua orang pamannya yang pernah di penjara sehubungan dengan kegiatan mereka di dalam gerakan pemuda rakyat di masa lalu.
"Ya wajarlah kalau kawan-kawan ada yang curiga, jangan-jangan menggiring untuk ke kegiatan masa lalu."
Tetapi proses rekonsiliasi antara NU dan para eks Tapol/Napol berhasil menghapus rasa saling curiga, kata Yatman yang ikut proses rekonsiliasi.
"Kurasa, sebenarnya seluruh Blitar sudah tidak ada masalah, itu dengan kelompok-kelompok NU. Namun ada kelompok lain yang kami sulit menembus, ya belum. Kelompok yang istilahnya sekarang Islam radikal. Setiap apa langkah, keinginan kami, selalu dicurigai semacam untuk come back," katanya.

Sulit diperluas

Sejarawan dari LIPI, Asvi Warman Adam, menilai proses rekonsiliasi eks Tapol/Napol tidak bisa dilakukan di seluruh kelompok masyarakat Indonesia, sebab selama ini hanya kalangan NU yang gencar terlibat dalam proses rekonsiliasi.
"Itu berjalan pada kalangan tertentu dan dengan peralihan jaman dengan hilangnya satu generasi lagi, masalah itu akan bisa diselesaikan."
Walaupun demikian di kalangan lebih luas diperlukan waktu yang lebih panjang.
"Artinya yang dulu masih ngotot untuk mengatakan walau mereka membunuh orang tapi tidak salah, akan hilang dan meninggal. Kemudian anak cucunya akan membaca bukunya yang sudah berubah."
Itu berarti kalau rekonsiliasi ala Blitar sulit untuk ditularkan ke daerah lain, apalagi kecurigaan di kalangan masyarakat masih tinggi.
Bagaimanapun jika RUU Rekonsilasi yang baru kelak disahkan, mungkin saja juga mendorong terwujudnya rekonsiliasi Blitar Selatan di wilayah lain dan kontroversi dalam sebuah bagian penting sejarah Indonesia bisa dituntaskan.

Sumber: BBC.Com 

Eksaminasi ‘Post Mortem’ Peristiwa 30 September 1965 (2)

 SOCIOPOLITICA

“Peristiwa 30 September 1965, merupakan ‘kesalahan’ kolektif dari semua unsur dan tokoh yang berada di lini terdepan medan pertarungan kekuasaan disekitar tahun 1965 itu. Semua memiliki andil yang menciptakan akhir berdarah serta rentetan pembunuhan massal yang terjadi beberapa waktu setelahnya. Mulai dari Soekarno, Soebandrio, Chaerul Saleh, Omar Dhani sampai Soeharto, dan dari Aidit hingga para pemimpin partai Nasakom lainnya serta lapisan pimpinan pada berbagai tingkat dari institusi militer waktu itu. Tampaknya, ‘teori dalang’ atau yang semacamnya dalam rangkaian peristiwa di tahun 1965 ini, harus ditinggalkan”.
Di mana posisi Soeharto dalam rangkaian peristiwa? Ia memiliki satu posisi sendiri. Soeharto telah bekerja untuk dirinya sendiri, dan untuk tujuan dan kepentingannya sendiri, tidak untuk ‘siapa-siapa’. Kaitannya dengan kepentingan Amerika Serikat misalnya, hanyalah bersifat dugaan, terutama karena kesejajaran dalam hal pembasmian PKI.
Dr Soebandrio ikut menyumbang dalam penciptaan dan penajaman situasi konfrontatif melalui posisinya yang amat dekat dengan Soekarno, sehingga dalam rangkaian peristiwa politik ini ia dijuluki sebagai Durno oleh para mahasiswa –suatu julukan yang diakuinya sebagai amat menyakitkan hati. Laksamana Madya Omar Dhani, menyumbang melalui keikutsertaan dukungan terhadap apa yang digambarkannya sebagai masalah internal Angkatan Darat, dan membiarkan adanya gerakan yang akan menindaki para jenderal yang dianggap tidak loyal kepada Soekarno. Keterlibatan beberapa anggota AURI dalam gerakan dengan menggunakan senjata dan fasilitas Angkatan Udara, tidak dicegahnya, padahal ia cukup mengetahui informasi mengenai apa yang akan terjadi. ‘Salah membaca situasi’ dan ‘terlalu dini’ –dan dengan demikian amat tidak taktis– mengeluarkan suatu perintah harian, pukul 09.30 1 Oktober 1965, yang menyokong Gerakan 30 September.
Pernyataan Omar Dhani hari berikutnya, 2 Oktober, selaku Menteri Panglima Angkatan Udara –yang menyatakan tidak turut campur dalam Gerakan 30 September dan tidak turut campur dengan urusan rumah tangga lain Angkatan– tidak lagi bisa ‘menghapus’ akibat perintah hariannya. Sehingga, untuk seluruh perannya yang sedikit naif itu akhirnya harus ia bayar dengan hukuman melalui Mahmillub dan mendekam  dalam penjara puluhan tahun sebagai akhir dari karirnya yang semestinya cemerlang. Brigadir Jenderal Soepardjo dan Kolonel Latief adalah perwira-perwira yang terlibat, selain karena pengaruh-pengaruh politik atas dirinya, juga terutama karena ambisi-ambisi pribadi untuk mengambil peran dan posisi dari situasi yang muncul. Letnan Kolonel Untung, selain analisa mengenai pengaruh politik anggota-anggota Biro Khusus PKI atas dirinya, perlu pula dianalisa lebih jauh dalam kaitan sejarah hubungannya dengan Soeharto yang untuk sebagian masih cukup misterius. Secara jelas, dari dirinyalah rencana penindakan terhadap para jenderal berubah menjadi perintah pembunuhan, yang diteruskan dan dilaksanakan melalui Letnan Satu Doel Arief dan pasukan penyergap Gerakan 30 September yang mendatangi rumah para jenderal dinihari 1 Oktober 1965.
Secara ringkas, bila direkonstruksi kembali, Peristiwa 30 September 1965, adalah sepenuhnya hasil akhir sebagai puncak pertarungan politik yang terjadi di antara tiga unsur dalam segitiga kekuasaan. Cetusan Soekarno yang memerintahkan penindakan para jenderal yang tidak loyal pada dirinya, terutama dalam ‘perintah’nya kepada Letnan Kolonel Untung –karena ia juga meminta beberapa jenderal lain, seperti Brigjen Sabur dan Brigjen Soedirgo untuk bertindak– adalah penggerak mula dari suatu reaksi berantai dari peristiwa. Letnan Kolonel Untung lah yang mengantar masalah ke dalam suatu format peristiwa ‘politik’ dan kekuasaan, ketika menginformasikan ‘perintah’ ini kepada Walujo dari Biro Khusus PKI yang meneruskannya kepada Ketua Biro Khusus Sjam. Adalah Sjam yang mengolah informasi dan membawanya kepada Aidit yang baru pulang dari Peking. Dalam suatu koinsidensi, Aidit yang baru tiba ke tanah air, berbekal dorongan dari Mao-Zedong untuk mendahului daripada didahului oleh Angkatan Darat yang akan mengambilalih kekuasaan –terkait dengan kesehatan Soekarno yang menurut Mao ‘memburuk’– diramu informasi dari Sjam, melihat ‘peluang’ mengatasi Angkatan Darat melalui Letnan Kolonel Untung. Satu formula lalu ditetapkan, yakni gerakan ‘internal’ Angkatan Darat.
Pada waktu yang bersamaan, kalangan intelijen Amerika Serikat, juga mengambil peranan dengan mempertajam informasi dengan menyusupkan insinuasi ke Biro Khusus PKI tentang adanya rencana tindakan Angkatan Darat untuk mengambilalih kekuasaan bertepatan dengan Hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober 1965. Suatu hal yang juga sebenarnya dilakukan oleh intelijen Angkatan Darat, untuk ‘memprovokasi’ PKI untuk bertindak agar bisa ditindaki. Ada petunjuk samar-samar bahwa informasi serupa berhasil disusupkan CIA ke kalangan intelijen Cina, sehingga memperkuat konklusi “mendahului atau didahului”. KGB melalui dinas rahasia Ceko, juga memperkuat dengan informasi adanya kemungkinan Angkatan Darat melakukan kudeta pada 5 Oktober 1965.
Dengan terminologi ‘mendahului atau didahului’ itu, Aidit terdorong ke dalam kebimbangan, merasa menghadapi dilema. Di satu pihak ia menyadari partainya belum siap untuk suatu ‘revolusi’ saat itu, tetapi di sisi lain ia kuatir untuk didahului dan dieliminasi. Dan inilah yang membuat Aidit melihat kemunculan Letnan Kolonel Untung selaku ‘pengemban’ perintah Soekarno untuk menindaki para jenderal yang tidak loyal, sebagai suatu momentum emas. Namun, di luar ‘perhitungan’, Letnan Kolonel Untung merubah rencana sekedar penjemputan sejumlah jenderal untuk diperhadapkan kepada Panglima Tertinggi, menjadi perintah “tangkap hidup atau mati” yang diformulasikan lagi oleh Letnan Satu Doel Arief menjadi “tembak mati siapa yang melawan”. Dan ketika ada yang sudah tertembak mati, tak ada pilihan lain lagi, selain bahwa seluruh yang disergap dan ditangkap itu harus ditembak mati seluruhnya dan disembunyikan jejaknya.
Adalah perlu dicatat, bahwa tak ada petunjuk sedikit pun bahwa Soekarno pernah memberi perintah terperinci kepada Letnan Kolonel Untung tentang siapa-siapa saja jenderal yang harus dijemput pada dinihari 1 Oktober 1965 itu, kecuali secara khusus menyebut nama Jenderal Nasution. Sedang Ahmad Yani, dijemput karena memang sejak mula ia sudah terjadwal untuk diperhadapkan kepada Spoekarno. Daftar nama selengkapnya disusun oleh para perencana gerakan itu sendiri di Penas. Lolosnya Jenderal Nasution dari penyergapan, merubah situasi. Soekarno yang pada pagi hari 1 Oktober akan menuju istana karena memperkirakan akan menerima para jenderal yang akan diperhadapkan kepadanya, membelokkan tujuannya ke Halim Perdanakusumah ke tempat yang diyakininya aman karena berada di bawah kekuasaan Laksamana Madya Omar Dhani yang setia kepadanya. Selain itu, Soekarno pagi itu juga sudah memperoleh laporan tentang ketidakjelasan keberadaan maupun nasib para jenderal yang dijemput, berarti ada pembelokan dalam pelaksanaan di luar yang semula merasa diketahuinya setelah pada malam hari 30 September 1965 ia menerima surat dalam acara di Senayan dari Letnan Kolonel Untung.
Di antara semua rangkaian peristiwa, mungkin gerakan yang dilakukan Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto –yang banyak tahu namun tak segera bertindak, tapi menunggu sampai korban jatuh– adalah yang paling di luar dugaan siapa pun. Di luar perkiraan Letnan Kolonel Untung, dan juga di luar perkiraan Kolonel Latief maupun Brigjen Soepardjo. Bagi para perwira Gerakan 30 September ini, Soeharto bukan ‘lingkaran luar’, karena peranannya mendatangkan Batalion 454 dan Batalion 530. Setidaknya, sesuai ‘laporan’ Kolonel Latief, Soeharto digolongkan sebagai perwira yang tak akan ikut campur bila gerakan terjadi. Bagi Soekarno pun, kemunculan Soeharto dalam satu peran pada 1 Oktober 1965, adalah surprise. Begitu pula bagi para panglima angkatan yang ada. Bahkan bagi Kolonel Sarwo Edhie, yang dikenal sebagai perwira yang dekat dengan Letnan Jenderal Ahmad Yani, pada mulanya Mayjen Soeharto adalah tokoh yang ‘meragukan’, setidaknya perlu ‘ditelusuri’ lebih dahulu. Maka ia tak segera memenuhi panggilan Soeharto, apalagi ia tak mengenal Herman Sarens Soediro yang diutus Soeharto kepadanya.
Kelak di kemudian hari, beberapa puluh tahun setelah peristiwa berlalu, Sarwo sesekali mencetuskan ‘keraguan’ tentang peran Soeharto yang sesungguhnya, yang diucapkan secara terbatas kepada kalangan terbatas. Sarwo tampaknya melihat adanya bagian-bagian artifisial dalam catatan ‘sejarah’ versi Soeharto, namun Sarwo telah ‘terikat’ pula oleh versi rezim pemerintahan Soeharto yang telah terlanjur diposisikan secara kuat dalam memori masyarakat selama puluhan tahun. Dilema –dan kesangsian– serupa agaknya dihadapi oleh sejumlah jenderal terkemuka yang ikut berperan di sekitar peristiwa 1965-1966 selain Sarwo Edhie, seperti misalnya Jenderal Muhammad Jusuf yang sempat disebut salah satu de beste zonen van Soekarno, Hartono Rekso Dharsono ataupun Kemal Idris, meskipun dengan alasan dan ‘pemaknaan’ berbeda-beda satu sama lain.
Tetapi, secara keseluruhan, terlepas dari kaitan-kaitan yang masih penuh tanda tanya di seputar Soeharto, Peristiwa 30 September 1965, merupakan ‘kesalahan’ kolektif dari semua unsur dan tokoh yang berada di lini terdepan medan pertarungan kekuasaan disekitar tahun 1965 itu. Semua memiliki andil yang menciptakan akhir berdarah serta rentetan pembunuhan massal yang terjadi beberapa waktu setelahnya. Mulai dari Soekarno, Soebandrio, Chairul Saleh, Omar Dhani sampai Soeharto, dan dari Aidit hingga para pemimpin partai Nasakom lainnya serta lapisan pimpinan pada berbagai tingkat dari institusi militer waktu itu. Tampaknya, ‘teori dalang’ atau yang semacamnya dalam rangkaian peristiwa di tahun 1965 ini, harus ditinggalkan.
– Dari Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1965, Kata Hasta Pustaka, 2006.
Sumber: Socio-Politica 

Selasa, 28 September 2010

Terdampar di negeri asing