HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Jumat, 17 Desember 2010

Barak-barak Soeharto


Dari keimubu hingga Peta, keseharian Soeharto hanya beranjak dari satu barak pelatihan ke barak lainnya.

Judul: Soeharto di Bawah Militerisme Jepang. Penulis: David Jenkins. Penerbit: Komunitas Bambu. Terbit: 2010. Tebal: xx + 252 halaman.

Bila dalam teks-teks biografi Soeharto selama ini terdapat sejumlah kejanggalan dan pengakuan yang tak masuk akal, terutama mengenai karier militernya selama pendudukan Jepang, David Jenkins mengurainya dalam buku ini.

Jenkins seorang wartawan-cum-peneliti asal Australia yang memiliki daya jelajah luas sehingga berhasil mewawancarai sejumlah perwira militer Jepang yang sempat bersinggungan dekat dengan Soeharto. Dia kali pertama mempublikasikan risetnya ini dalam jurnal terbitan Cornell University, Indonesia, dengan judul “Soeharto and The Japanese Occupation” pada Oktober 2009.

Sebagai wartawan The Sidney Morning Herald, Jenkins bukanlah sosok asing lagi dalam tautannya dengan Soeharto. Dia salah satu dari segelintir wartawan yang pernah mewawancarai Soeharto. Artikelnya pada 10 April 1986 yang berjudul “After Marcos, Now for the Suharto Billion” sempat membuatnya dicekal masuk Indonesia sampai 1994.

Seperti penelitian Jenkins sebelumnya, Soeharto and His Generals: Indonesian Military Politics, dalam buku ini tak ada petikan wawancara dengan Soeharto. Tak mudah mendapatkan kesempatan wawancara empat mata dengan tokoh kontroversial itu, terlebih wawancara soal politik (Orde Baru). Untung, ada sejumlah buku dan artikel tentang Soeharto yang membantu Jenkins melacak karier militer Soeharto pada masa pendudukan Jepang (Maret 1942-Agustus 1945).

Tahun 1942 menjadi momen akhir sekaligus awal bagi karier kemiliteran Soeharto: masa akhir sebagai serdadu KNIL (Koninklijke Nederlandsch-Indisch Leger) dan awal karier sebagai perwira Peta (Pembela Tanah Air). Sebelum mendaftar Peta, Soeharto sempat masuk dalam korps kepolisian Jepang. Dia menjalani pelatihan selama tiga bulan, lalu ditempatkan di Yogyakarta. Setahun lamanya Soeharto menghabiskan waktu dalam institusi yang sangat ditakuti rakyat masa itu. Di sinilah Soeharto ditempa dalam disiplin tinggi, otoriter, dan paternalis.

Selama berdinas di Yogya, Soeharto ingat pangkatnya adalah keibuho (inspektur polisi). Inilah yang dicatat Jenkins dari keterangan Soeharto sendiri dalam buku OG Roeder ) The Smiling General: President Soeharto of Indonesiadan otobiografi Pikiran, Ucapan, dan Tindakan SayaKeibuho merupakan jenjang kepangkatan keempat dalam tangga promosi setelah anggota polisi (junsa), polisi senior (junsacho), lalu sersan polisi (junsabucho). Menurut penelusuran Jenkins, di Jepang saja, pangkat keempat hanya bisa disandang perwira polisi yang berpengalaman atau pemuda lulusan universitas –dan selalu Universitas Kekaisaran Tokyo (kini Universitas Tokyo).

Jenkins menduga, Soeharto salah menyebutkan istilah Jepang untuk menunjuk kesatuan polisi (keimubu) dengan keibuho. Jenkins pun sangsi atas keterangan Soeharto yang sukses menyembunyikan fakta sebagai bekas KNIL ketika mendaftar sebagai polisi Jepang. Kecuali, Jepang benar-benar terpesona dengan kepintaran Soeharto –di tengah keterbatasan jumlah pribumi terdidik yang diharapkan mendaftar dalam kesatuan polisi. Dan, itu pun tak cukup menghalangi tangga kehidupan Soeharto berikutnya sebagai prajurit Peta.

Pada Oktober 1943, Soeharto mendaftar sebagai tentara sukarela Peta. Sekelompok pemuda Indonesia memperoleh kursus militer dalam waktu singkat sebagai kekuatan perang cadangan bila Sekutu menyerang Jepang, yang diperkirakan dari pesisir selatan Jawa. Hingga Peta dilucuti senjatanya oleh Jepang pada Agustus 1945, praktis keseharian Soeharto hanya beranjak dari satu barak pelatihan ke barak lainnya. Dia bukan sosok yang taktis untuk mengambil kesempatan dari pembentukan Peta sebagai kekuatan “pemberontak” layaknya Supriyadi.

Enam minggu pertama setelah dinyatakan lolos, Soeharto menjalani pemusatan pelatihan komandan peleton (shodancho) di Bogor, bersama 230 calon shodancho dari Jawa Tengah di Kompi Empat. Setiap perwira Peta mengenang periode pelatihan keras itu, yang pada akhir 1944 melahirkan 37.000 tentara dari golongan pribumi. Tak salah bila Peta kemudian menjadi anatomi angkatan bersenjata Indonesia pascaproklamasi. Para perwiranya pun mengisi jabatan tinggi dalam militer Indonesia selama 30 tahun pertama.

Walau bukan lulusan terbaik Peta, Soeharto termasuk sedikit shodancho yang dipercayai militer Jepang. Dari 10 Mei sampai 10 Agustus 1944, Soeharto “ditarik kembali” ke Bogor untuk menjalani pelatihan sebagai komandan kompi (chudancho), yang akan membawahkan tiga peleton. Soeharto pun tercatat sebagai komandan yang selama lima bulan (dari Maret sampai Agustus 1945) melatih sisa-sisa prajurit batalyon Peta Blitar, yang sudah tak dipersenjatai dan ditepikan di kaki Gunung Wilis menyusul aksi “pemberontakan” pada Februari 1945.

Maka, kalau dalam berita Watashi no rirekisho (Sejarah Pribadi Saya) yang dimuat koran Nihon Keizai Shimbun pada 6 Januari 1998, Soeharto memoles citranya sebagai orang yang diamat-amati Kenpeitai (polisi militer Jepang) lantaran bersikap kritis terhadap Jepang, tak sedikit mantan perwira militer Jepang yang menyangkalnya. Marimoto Takeshi, penulis buku Jawa boei giyugun-shi (Sejarah Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa) yang juga bekas tentara Jepang, mengatakan, “Semua orang, termasuk saya sendiri, diawasi oleh Kenpei. Jadi dia bukan satu-satunya.” Soeharto memang tak ingin kita mengenalnya bukan dari siapa dia melainkan dari bagaimana dia ingin kita mengenalnya.

Dalam konteks keikinian, terutama di tengah pasang-surut wacana penyematan gelar pahlawan kepada Soeharto, buku ini amat berguna sebagai bahan pertimbangan objektif. Selama beberapa tahun terakhir, wacana tersebut selalu mengemuka dan pandangan pro-kontra tak pernah berhenti bergulir. Kelak, tak ada jaminan perdebatan serupa bakal tutup buku atau minimal dipandang tak perlu diulang-ulang.

Yang jelas, Jenkins menutup buku ini dengan kesimpulan sinis. Dia melihat sosok Soeharto sebagai orang yang “mengabdi pada dua kubu militer” (Belanda dan Jepang) justru saat para tokoh nasionalis Indonesia tengah jatuh-bangun meniti kemerdekaan republik. Soeharto “mendapat cukup makanan, pakaian yang baik, dan gaji yang bagus” justru ketika rakyat Indonesia tersungkur dalam kemelaratan oleh praktik kerja paksa Jepang (romusha).

Kontras seperti itu tentu tak bisa ditelan mentah-mentah dan dipahami sebagai realitas sejarah an sich. Jenkins, biarpun tekun meneliti sosok Soeharto, bukanlah seorang dokumentator dan sejarawan murni. Acapkali dia terjebak untuk memungkasi tulisan dengan kalimat-kalimat spekulatif dan berani.

Semisal ketika menulis, Soeharto “pasti akan dipandang dengan penuh skeptisisme oleh para pemimpin nasionalis, sebagian karena dia pernah berdinas di KNIL dan sebagian karena dukungannya tanpa kritik terhadap apa yang mereka anggap sebagai fasisme Jepang”. Padahal buku ini jelas tak sedang mendalami hubungan Soeharto dengan kelompok nasionalis pada masa-masa sensitif dan tak keruan di awal pembentukan republik.

Di luar itu, riset Jenkins ini tak memberi ruang secara menyeluruh, kalau memang dipersoalkan, terhadap orang-orang di lingkaran keluarga Soeharto. Jenkins tak memasukkan mereka dalam daftar narasumber yang diwawancarai. Baik dari anggota keluarga setelah Soeharto menikah dan membangun dinasti politik Orde Baru maupun anggota keluarganya semasa muda. Tentu hal itu tak lepas dari sosok Soeharto sebagai pribadi yang cenderung tertutup dan tak ingin diketahui masa lalunya.

Sumber: Historia 

Kamis, 16 Desember 2010

Sejarah Gerakan Wanita Indonesia -


December, 2010


Gerwani dan Perjuangan Lewat Pena Pembibitan jurnalis perempuan sejatinya sudah jauh dirintis Tirto Adhi Surjo lewat Poetri Hindia. Suratkabar ini terbit pertama pada 1 Juli 1908. Tertulis di bawah nama koran, "SOERAT KABAR DAN ADVERTENTIE BOEAT POETRI HINDIA".
Sebenarnya, ruang bagi wanita pribumi pada suratkabar berbahasa Melayu sudah muncul pada koran Soenda Berita (terbit pertama pada Februari 1903).

Di Soenda Berita Tirto menuliskan pemikirannya yang diberi judul "Pengajaran Buat Perempuan Bumiputera" (lihat, Soenda Berita, Th. II No. 20, 1904). Namun Poetri Hindia jauh lebih leluasa menyoal perempuan dengan jumlah halaman lebih banyak.


Poetri Hindia bukan saja tempat belajar mengelola suratkabar, ia juga ajang perempuan belajar menulis. Salah satunya Siti Soendari, yang nantinya menjadi punggawa suratkabar Wanita Swara. Siti Soendari adalah adalah satu di antara perempuan yang pada masanya punya ketajaman pena, cerdas, dan berani. Malahan ia berulangkali berurusan dengan polisi rahasia Belanda.

Siti Soendari adalah wanita yang dicitrakan radikal, tak segan membela dan turun langsung ke akar rumput membela kaum buruh. Keradikalannya dan ideologi yang dianut semakin tampak ketika bergabung dengan Marco Kartodikromo di Doenia Bergerak. Siti Soendari adalah titik semai perempuan pribumi yang memadupadankan sosialis dan feminisme.

Setelah Poetri Hindia gulung tikar, muncullah Soenting Melajoe dari tanah Minang yang dipunggawai oleh Rohana Kudus. Pada tahun terbitnya Soenting Melajoe, di Jawa (Brebes) terbit juga suratkabar bernama Wanita Swara, yang memperkenalkan nama Siti Soendari.

Wanita Swara adalah sebuah suratkabar yang diterbitkan oleh perkumpulan Boedi Oetomo cabang Pacitan. Soendari hanya menyebut demikian, dan tak diketahui pasti apakah organ pers Boedi Oetomo atau sayap wanita Boedi Oetomo cabang Pacitan. Jika memang diterbitkan oleh sayap wanita, berarti Wanita Swara adalah suratkabar perempuan awal yang dijadikan sebagai organ atau corongnya organisasi perempuan meski hanya sayap wanita dari sebuah organisasi.
Dari sinilah bermunculan suratkabar atau majalah perempuan yang notabene adalah organ dari organisasi perempuan. Tradisi ?pers? sebagai corong organisasi hingga kini pun terus bertahan.

Di tahun-tahun gelap sesudah penjajahan Jepang, yang waktu itu hanya membolehkan keberadaan satu organisasi perempuan Fujinkai, muncullah Gerwis yang tergolong organisasi wanita radikal. Keradikalan Gerwis tak lepas dari pengaruh tokoh-tokohnya, yakni S.K. Trimurti, Salawati Daud, Sujinah, Sulami dan Sri Panggihan, yang memang telah kenyang merasai asam manis perjuangan. Selain itu terdapat nama Moenasiah, aktivis perempuan PKI dan Sarekat Islam "merah" bagian perempuan awal tahun 1920-an.

Ia juga menjadi dedengkot "Aksi Caping Keropak" atau demonstrasi buruh perempuan menuntut perbaikan nasib. Corong organisasi yang radikal ini adalah majalah "Wanita Sedar". Seiring dengan perubahan nama organ Gerwis menjadi Gerwani pelahan "Wanita Sedar" harus menemui ajalnya. Melalui Api Kartini plus Harian Rakjat itulah Gerwani menyatakan dirinya keluar.

Selain Api Kartini Gerwani juga menerbitkan Berita Gerwani. Keduanya beda segmen pembaca sesuai klasifikasi perempuan ala Gerwani, yakni perempuan yang telah "sadar" dan perempuan lapisan menengah ke bawah yang sedang tumbuh menuju "sadar". Api Kartini ditujukan bagi pembaca lapisan tengah yang sedang tumbuh.

Berita Gerwani adalah majalah intern organisasi, sehingga lebih banyak berisi kegiatan organisasi, dan kunjungan-kunjungan ke organisasi perempuan di negeri-negeri sosialis. Isi Berita Gerwani jauh lebih radikal, guna mendukung kinerja kader organisasi. Hanya saja usia Berita Gerwani tak panjang, lantaran persoalan ekonomi.

Api Kartini masih lumayan, bernafas lebih panjang daripada Berita Gerwani. Ada banyak rubrik yang disediakan untuk kaum menengah yang sedang tumbuh , misalnya rubrik semacam mode, pengasuhan anak, Busana, Tokoh, Sruk (puisi), Arena Remaja, Masakan, Rawat Muka dan Rambut, Bacaan Anak-Anak Kita, dan Ruangan Pendidikan. Dengan aneka rubrik itu, Gerwani ingin mencitrakan bahwa ia peduli juga dengan persoalan-persoalan perempuan tradisional.

Politik keredaksian yang dianuti Api Kartini jelas, yakni keberpihakan terhadap persoalan perempuan akar rumput termasuk buruh tani dan buruh industri. Ada berita Seminar Wanita Tani yang diadakan Gerwani pada 20 Januari 1961 di Gedung Wanita, Jakarta, dan berita serupa juga diwartakan di lembar Harian Rakjat.

Yang membedakan Api Kartini dengan majalah perempuan lain selain persoalan ideologi dibalik pengelola majalah adalah sebagaimana yang ia rumuskan sendiri dan pernah termuat dalam Api Kartini:

"Ada majalah wanita yang hanya berupa hiburan, ada pula majalah yang lahirnya dibuat sangat menarik tapi isinya mencegah kaum wanita menjadi sadar akan keadaan yang tidak adil. Tetapi sebagaimana tumbuhnya gerakan wanita yang progresif, pesat juga perkembangan Pers Wanita yang demokratis. Tidak saja berisi hiburan, tetapi juga berbicara ke hati mereka (perempuan), mendidik mereka, meninggikan kesadaran?untuk berjuang sampai cita-cita mereka tercapai."

Sedangkan PKI memberikan fasilitas kepada Gerwani space khusus "Ruangan Wanita" di koran Harian Rakjat. ? Ruangaan Wanita? hadir setiap hari rabu, mengisi setengah halaman III Harian Rakjat. Lewat Harian Rakjat teman-teman satu ideologi seperti Gerwani, Lekra, BTI, SOBSI dan PKI saling dukung satu sama lain dalam berbagai kegiatan. Misalnya saat Gerwani mengadakan seminar wanita tani, Lekra turut serta memberikan materi pada seminar tersebut, BTI memberi sambutannya. Tak lupa ketua CC PKI D.N. Aidit turut serta memberi dukungan dalam pidatonya:

"Kaum wanita tani adalah tenaga produktif jang sangat penting. Oleh karena itu, untuk melaksanakan ?landreform? para wanita harus ambil bagian jang se-aktif2nja. Tanpa kaum wanita tani ambil bagian, dan bagian yang aktif, "landreform" tidak mungkin terlaksana. Djuga pelaksanaan Undang2 Bagi Hasil tidak mungkin baik selama kaum wanita tani tidak ambil peran aktif. Pendeknja tiap2 kemadjuan di desa, walaupun bagaimana ketjilnja harus dengan ikut serta setjara aktif kaum wanita tani." (Harian Rakjat, 21 Januari 1961).

Nj. Umi Sardjono ketua DPP Gerwani mengatakan bahwa Harian Rakjat adalah suratkabar yang membela emansipasi wanita:

"Harian Rakjat sebagai organisator dan agistor kolektif partai dan massa Rakjat, telah memainkan peranan penting dalam membangkitkan, memobilisasi dan mengorganisasi massa Rakjat, chusunja massa wanita setjara luas kepada perdjuangan melawan imperialisme, feodalisme....." (Harian Rakjat, 30 Januari 1965).

Nj. Umi Sardjono nampaknya sadar betul peran Harian Rakjat salah satu koran politik terbesar dalam memfasilitasi Gerwani:

"...dalam perdjuangan Gerwani "HR" telah memberikan bantuan jang berharga sekali dalam berbagai lapangan. Di samping "HR"memuat berita2 kegiatan organisasi dan kegiatan perdjuangan aksi2 wanita menuntut perbaikan nasib...."HR" djuga setjara terus menerus mengadakan ruangan rubrik chusus ruangan wanita, memuat artikel2 penting jang selalu diikuti dengan teliti oleh massa anggota terutama oleh kader2 Gerwani....."HR" telah memberikan dorongan timbulnja berbagai aktivitet di lain2 daerah dan telah melahirkan penulis2 wanita muda di lingkungan kader2 Gerwani...." (Harian Rakjat, 30 Januari 1965).

"Ruangan Wanita" tidak hanya menjadi ajang Gerwani mewartakan organisasi dan kegiatannya. Di "ruangan wanita" juga menjadi ajang berbagi informasi, disuguhkan dari masalah wanita dan politik, kegiatan organisasi sampai belajar menyulam, memasak, menulis cerpen, atau mendidik anak.

Lewat pelbagai media yang tersebut di muka, Gerwani telah menyebarkan pandangan politik, tujuan-tujuan, dan kegiatan-kegiatan organisasi yang akhirnya memberikan andil besar pada perkembangan organisasi.
Sekitar 4 Juni 1950 pada saat di mana Rakjat Indonesia dihadapkan pada suatu kenyataan dengan telah ditandatanganinya Perjanjian KMB, yang pada hekekatya merestorasi kedudukan modal monopoli Belanda di Indonesia.

Pada waktu itu organisasi wanita harus menjawab dua problem politik sesuai dengan situasi tanah air: setuju atau tidak dengan perjanjian KMB. Selain itu juga apakah setuju atau tidak menggabungkan diri dalam dalam Gabungan Wanita Demokratis Sedunia (GWDS) atau keluar dari keanggotaan GDWS.
 Saat itulah Gerwis dilahirkan. Enam organisasi perempuan, yakni Rupindo dari Semarang, Persatuan Wanita Sedar dari Surabaya, Istri Sedar dari Bandung, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwindo) dari Kediri, Wanita Murba Madura, dan Perjuangan Putri Republik Indonesia dari Pasuruan bersepakat meleburkan diri dalam satu organisasi yang dinamai Gerwis. Jadilah tersusun pengurus besar Gerwis yang dipanglimai Tris Metty.

Gerwis didirikan atas dasar pengertian bahwa perempuan mempunyai kepentingan dalam perjuangan anti penjajahan. Karena perempuan seringkali menjadi korban paling riil, terutama menyangkut kebutuhan hidup sehari-hari keluarga. Penjajah yang dimaksud adalah mereka yang dikategorikan sebagai kaum pemodal alias para kapitalis dan imperialis, yang sulit berdamai dengan kaum proletar.

Gerwis juga identik dengan kaum merah ataupun kaum kiri. Apalagi ada kemungkinan bahwa PKI turut andil dalam pembentukan Gerwis. Dalam Gerwis ada juga tarik menarik antara sayap feminis dengan mereka yang ingin menonjolkan pengaruh PKI dalam organisasi, sekaligus menjadikan Gerwis bukan semata organisasi kader (terbatas) tetapi adalah organisasi massa.

Pertarungan dua kubu makin memuncak saat kongres I Gerwis pada 1951. Sayap feminis makin terpencil, meski PKI harus tergopoh menempatkan kadernya agar menjadi pucuk pimpinan Gerwis. Nama organisasi pun diputuskan berubah dari Gerwis menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Namun adanya perlawanan dari sebagian anggota Gerwis yang tidak menghendaki dominasi PKI, membuat terjadinya kompromi, bahwa untuk sementara waktu nama Gerwis tetap dipakai. Perubahan nama baru terlaksana pada 1954, ketika diadakan kongres II Gerwis. Namun demikian, sebelum 1954, nama Gerwani mulai akrab, dan dipakai di beberapa daerah.

Gerwani sendiri merefleksikan Gerwis sebagai organisasi cikal bakal yang mampu mengambil sikap dan terus berkembang: ?dari 500 orang menjadi 6000 orang pada waktu konggres ke I 1951 dan menjadi 74. 977 orang waktu konggres II Januari 1954. Ini merupakan hal yang sangat baik. Akan tetapi Gerwis juga memiliki kelemahan-kelemahannya yang serius, yaitu karena Gerwis dihinggapi penyakit sektarisme, sehingga kurang berkembang luas dikalangan massa wanita.

Kemudian hari Gerwani melihat penyakit sektarisme Gerwis:

"... sikap yang kurang mau kerjasama dengan ormas-ormas lain dan kurang bekerja dengan garis massa. Nama Gerwis sendiri, yaitu Gerakan Wanita Indonesia Sedar berarti membatasi keanggotaan organisasi. Yang diterima menjadi anggota organisasi hanyalah mereka wanita-wanita yang telah sadar saja, padahal berjuta-juta massa wanita banyak yang belum "sedar" dan harus ditarik dalam perjuangan. Selama itu Gerwis berkembang." (Harian Rakjat, Januari 1965).

Ini Gerwani bukan Gerwis

"Apa hak moril tuan-tuan di Barat akan mengedjek2 wanita kita?" (Harian Rakjat, 17 Januari 1965),
Demikian Njoto dalam artikelnya bertajuk "Wanita dan Marxisme; kerdja di kalangan wanita tani jang utama" yang dimuat bersambung pada Harian Rakjat. Njoto melanjutkan:

"Timur dihuni oleh pengembara2 dan orang2 liar, kata tuan, dan sebagai ilustrasi atas keliaran Timur tuan sebutkan kedudukan wanita Timur. Baik kita diskusikan soal keliaran ini. Di pentas2 ruangan2 musik di Eropa berpuluh-puluh dan beratus-ratus wanita diseluruh mempertontonkan keterlandjangannja. Tidaklah bagi tuan lajak bahwa menarik perhatian umum kepada tubuh wanita telandjang harus membangkitkan protes2 tertentu dari ibu2, isteri2 dan kakak2 dari kaum intelektuil Eropa?... Bagi saja, penarikan minat jang memuakkan dan vulger ini tak ajal lagi bukti atas kenjataan bahwa borjuasi Eropa melorot kedalam keliaran dan dekadensi".

Lalu bagaimana dengan Gerwani salah satu gambaran wanita Indonesia yang dibela-bela Njoto dengan kesamaan dan seperkawanan ideologi?
Gerwani cepat-cepat berbenah diri, tak mau mengulang penyakit sektarisme Gerwis yang menghambat perkembangan organisasi dan untuk melaksanakan garis massa.

Perubahan dilakukan, cara kerja lebih revolusioner untuk mengimbanginnya. Anggaran Dasar pun diubah. Gerwani mulai meluaskan aksi-aksi untuk pembelaaan hak-hak wanita dan anak-anak serta memperkuat aksi-aksi untuk kemerdekaan nasional dan memperkuat setiakawan internasional.

Euforia politik yang terus memanas sejak Soekarno memutuskan hubungan dengan PBB disikapi Gerwani dengan tegas yaitu mendukung situasi perjuangan terutama dalam mensukseskan Dwikora dan mengganyang Malaysia dan mendukung sepenuhnya keluarnya RI dari PBB. Sikap PBB dianggap tidak mengindahkan perjuangan Rakyat Indonesia dengan mendudukkan Malaysia dalam Dewan Keamanan PBB dan menunjukkan bahwa PBB masih didominasi kaum imperialis, terutama imperialis AS.

"DPP Gerwani telah menjatakan sikap memprotes PBB, mendukung sepenuhnja komando presiden agar Indonesia keluar dari PBB dan menuntut agar semua perwakilan PBB maupun organisasi/lembaga2 PBB lainnja segera angkat kaki dari bumi Indonesia." (Harian Rakjat, 14 Januari 1965).

Dukungan untuk mensukseskan DWIKORA, meningkatkan perjuangan penggayangan "Malaysia" proyek neokolonialisme Inggris dan imperialis AS diujudkan nyata dengan membuka dan melatih sukarelawati untuk mempersiapkan ketahanan keamanan yang diserukan pada perayaan hari Wanita Internasional oleh DPP Gerwani:

"Basis2 Gerwani supaja segera mempersiapkan latihan2 sukarelawati, membentuk brigade2 tempur/produksi....mempertinggi kewaspadaan nasional sehingga kampung dan desa2, mengembangkan aksi2 seluruh rakjat Indonesia dalam melawan subversi dan intervensi imperialis Amerikat, jang semakin nekad berhubung dengan keluarnja Indonesia dari PBB... (Harian Rakjat, 8 Maret 1965)

Tak main-main, sekira tiga bulan kemudian tepatnya tanggal 4 Juni 1965 dilembar Harian Rakjat melangsir foto sukarelawati Gerwani di daerah Bali yang tengah berlatih militer. Kredit title foto itu berbunyi "Sukwati Gerwani Bali mengadakan latihan-latihan kemiliteran dalam training center untuk menggajang projek "Malaysia". Gerwani memang bersegera membentuk unit-unit sukwati terkecil di basis tempat tinggal terdiri dari 10-12 orang. Dibentuk pula Sukwati tingkat cabang. Sukwati Gerwani ini adalah salah satu bagian teraktif dalam tubuh Gerwani.

Pembentukan sukarelawati ini sejatinya dicetuskan Gerwani bertolak dari komando PJM presiden Sukarno yang mengomandokan kepada seluruh seluruh sukarelawan Dwikora untuk membentuk unit-unit sukarelawan kecil dan kemudian mengadakan gerakan turun ke bawah (turba). Menurut Gerwani, gerakan Sukwati ini adalah salah satu upaya mendongkrak pandangan-pandangan kolot yang menempatkan kaum wanita pada tempat yang terbelakang untuk sebatas mengurus dapur, anak-anak dan rumah tangga:

...Sukwati sebagai panggilan revolusi telah menarik kaum wanita dari keadaan dan pandangan jang kolot dan terbelakang tersebut, dan tampillah ke depan ibu2, wanita2, jang tidak hanja pandai menggurus rumahtangga, tetapi djuga siap sedia memikul tugas2 dalam masjarakat.? (Harian Rakjat, 8 Juli 1965)

Dengan lima azimat revolusi Indonesia (1) Nasakom, (2) Pancasila, (3) Manipol, (4) Trisakti Tavip, dan (5) Berdikari, sukwati-sukwati dan para sukarelawan kian giat mengintensifkan latihan-latihan untuk berjuang lebih keras untuk melaksanakan Dwikora, menggayang Malaysia dan imperialis AS. Inilah sekilas gambaran Sukwati Gerwani:

"Seorang Ibu jang djuga menjatakan dirinja sebagai sukwati Gerwani, sambil menggendong anaknja jang sapihan di belakang dan jang masih menjusu di depan, dan karena sulitnja perhubungan dengan djalan kaki menempuh djarak 17 km siap dalam appel dan menjatakan kesiapannja melaksanakan tugas dan segala instruksi DPP Gerwani.

"Sukwati dari daerah Wonogiri, Prajumantoro dengan tidak bersepatu berbaris tegap2 dari djarak tidak kurang 40 km. Diorama mukanja terlukis kesanggupannja untuk mempertahankan tanahairnja dan menjelematkan revolusi dari rorongan nekolim, setan dunia, dan tudjuh setan desa, djuga siap untuk menghadapi dan terus berkonfrontasi dengan Malaysia". (Harian Rakjat, 27 September 1965).

Sikap Gerwani ini sejatinya adalah kompas bahwa organisasi wanita pada massanya berkembang dan tak anti dengan masalah politik bangsa. Dalam perpolitikan DPP Gerwani juga mendukung keputusan-keputusan Presiden melarang ?BPS? dan melarang untuk sementara kegiatan Partai Murba beserta ormas-ormas pendukungnya. Menurut Gerwani keputusan-keputusannya ini adalah usaha? untuk menjelamatkan RI dan mensukseskan Dwikora sangat tepat dan perlu diteruskan dengan adanja retooling terhadap aparat-aparat dan lembaga-lembaga negara dari semua oknum2?
Lalu diserukan bagi kaum wanita sendiri mengahalau bahaya imperialis dengan ? mempertinggi kewaspadaan dan memperkuat persatuan nasional revolusioner berpatokan Nasakom, untuk menghadapi kegiatan dari kombinasi 3 kekuatan jahat, yaitu kaum imperialis, kapitalis birokrat dan Trotskis.

Di bidang Internasional, Gerwani senantiasa aktiv mengikuti sidang-sidang GWDS dan mengirim delegasi-delegasi ke berbagai negeri untuk mengumandangkan cita-cita wanita Indonesia dan tujuan revolusi Indonesia.Gerwani memperkuat setiakawan dengan perjuangan Rakyat Vietnam Selatan, Kongo untuk menggayang agresi imperialis AS, bertekat untuk turut serta menentang pangkalan-pangkalan asing dan memboikot film-film AS:

"DPP Gerwani dalam tilgramnja djuga menjatakan protes keras dan menuntut agar pemerintah AS menghentikan serangan dan menaati persetudjuaan Djenewa, menarik semua pasukan AS dari Vietsel. ...Selain itu djuga dinjatakan ucapan selamat dan sukses atas hasilnja Tentera Rakjat Vietnam menembak djatuhnja pesawat terbang AS!" (Harian Rakjat, 10 Februari 1965).

Untuk mengembangkan organisasi, Gerwani meluaskan sayapnya tidak hanya di Jawa, tetapi juga di pulau-pulau lainnya. Sedangkan untuk kepentingan regenerasi dimulai adanya pendidikan kader-kader wanita yang menjadi tulang punggung organisasi. Satu hal yang penting dalam usaha Gerwani ialah dengan berjuang secara gigih dalam pemilihan umum dimana Gerwani mengorganisasi lebih 30.000 aktivis untuk memenangkan daftar calon pimpinan-pimpinan dari Gerwani.

Untuk mengintensifkan gerakan dan mencetak kader-kader wanita revolusioner, berfikiran cerdas dan berkemauan keras maka sidang Pleno ke IV DPP Gerwani 15-18 Januari 1965, memutuskan untuk mendirikan Yayasan Pendidikan Wanita Revolusioner dengan nama "Sri Panggihan". Yayasan pendidikan ini yang akan mendirikan institute pendidikan sekolah-sekolah wanita revolusioner dari tingkat pusat sampai anak cabang. Sebagai mata pelajaran pokok adalah Marxisme:

"Untuk mempersiapkan institute, Pleno menugaskan Dewan Harian untuk segera mengadakan kursus aplikasi guru agar segera dapat mentjukupi tenaga2 chusus di bidang pendidikan wanita revolusioner, Marxisme adalah ilmu jang kompeten untuk mendjelaskan revolusi... sebelum tugas2 institut bisa dilaksanakan, maka Pusat, Daerah Tjabang sampai Anak Tjabang harus tetap mengusahakan adanja pendidikan jang bermatjam bentuknja..."

Gerwani nampaknya menyadari bahwa pendidikan adalah salah satu senjata penting untuk menciptakan kader revolusioner, hal tersebut bisa dilihat dengan segera mereka berbenah dan merapikan dan mengintensifkan bidang pendidikan kader. Pembentukan Yayasan? Sri Panggihan? secara resmi diumumkan pada hari Wanita Internasional 8 Maret 1965, dan bentukan cabang-cabang yayasan akan diresmikan pada peringgatan Hari Kartini 21 April 1965.

Bulan Juni 1965 pada rapat umum Gerwani diumumkan pembukaan angkatan pertama pendidikan wanita revolusioner? Sri Panggihan?. Angkatan pertama ini beranggotakan wanita-wanita dari berbagai daerah untuk mengikuti pendidikan. Pendidikan ? Sri Panggihan? ini berjalan kurang lebih selama dua bulan, pada tanggal 9 September 1965 diwisudalah anggkatan pertama ? Sri Panggihan? (Harian Rakjat, 9 September 1965).
Kendati demikian realisasi lulusan ?Sri Panggihan? dalam Gerwani tak terlihat nyata menggingat pada bulan yang sama pecah peristiwa September 1965.

Masalah pendidikan anak tak luput dari perhatian Gerwani, sejak tahun 1954 mulai didirikan 24 Taman Kanak-kanak dibawah naungan "Jajasan Pendidikan". Taman Kanak-kanak yang diasuh Gerwani berlandaskan; (1) Tjinta tanah air, (2) Tjinta Ilmu Pengetahuan, (3) Tjinta kerdja dan Rakjat Pekerdja, (4) Tjinta Perdamaian dan Persahabatan antar bangsa2 dan (5) Tjinta orang tua (Harian Rakjat, 15 Juni 1965).

Taman Kanak-kanak (TK) Melati ini didirikan untuk menyediakan sekolah murah bagi para buruh dan tani. Dan hingga tahun 1963 TK Melati Gerwani terus berkembang bahkan mulai dipikirkan untuk mendirikan sekolah lanjutan, serta pendidikan untuk guru-guru, maka ketika berlangsung konggres ke II dari GTKI Gerwani menaruh perhatian besar dan ikut bergabung di dalamnya dan memberikan prasarana meningkatkan mutu guru-guru TK dan sekolah lanjut dengan kursus dan training.

Dengan adanya usaha-usaha yang giat Gerwani mengalami perkembangan yang pesat. Hal ini bisa dilihat dari naiknya keanggotaan Gerwani, yaitu dari 74.977 orang menjadi 631.342 pada kongres ke III di Solo tahun 1957 dan menjadi 1.056.436 pada konggres ke IV 1961 di Jakarta. Cabang-cabang Gerwani mulai berkembang di seluruh kepulauan Indonesia.

Gerwani juga menyelenggarakan seminar-seminar wanita tani di daerah dan nasional. Seminar wanita tani pertama kali diselenggarakan pada tanggal 17-20 Januari 1961, tujuannya adalah untuk meningkatkan sumbangan kaum wanita tani dalam meningkatkan masyarakat adil makmur, melaksanakan manipol, meningkatkan taraf hidup wanita tani dan melaksanakan Undang-undang bagi hasil dan Landreform. (Lihat Harian Rakjat, 7 Januari 1961).
Menurut Hj. Umi Sardjono seminar wanita tani ini diselenggarakan dalam rangka melaksanakan kongres ke-3 Gerwani dan Sidang pleno ke-1 DPP Gerwani, yang menekankan pentingnya menyimpulkan hasil penelitian dari aktivis-aktivis Gerwani, baik pusat maupun daerah setelah melakukan gerakan turun ke bawah di desa-desa. Di samping untuk menyambut ketetapan MPRS serta komando Presiden tentang pelaksanaan pembangunan pertama yang menggariskan bahwa basis-basis pembangunan adalah landreform. (Harian Rakjat, 18 Januari 1961)

Seminar ini diikuti delegasi-delegasi dari Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimanatan Selatan, Kalimantan Timur, Manado, Djawa Timur, Djawa Tengah, Djawa Barat dan Djakarta Raja. (Lihat Harian Rakjat,17 Januari 1961)

Perlu digarisbawahi meskipun Gerwani segaris dan pendukung setia Sukarno namun tidak berarti organisasi ini tak kritis pada pemerintah, buktinya ketika pemerintah menaikkan harga-harga kebutuhan 50-150% dalam satu bulan Gerwani ikut berteriak pada kebijakan pemerintah:

"Gerwani mengusulkan agar distribusi beras bagi pegawai negeri tidak diganti dengan uang, kenaikan tarif ditindjau dan mentjegah kenaikan tarif lainnja, penjaluran 9 bahan pokok kebutuhan se-hari2 diawasi dengan mengikut sertakan Rakjat jang terorganisasi dan melaksanakan ketetapan MPRS, untuk mempertinggi produksi". (Harian Rakjat, 27 Juli 1965)

Untuk memperkuat basis massa kegiatan Gerwani memang menyentuh berbagai aspek kehidupan politik, sosial, pendidikkan, anak, dan ekonomi secara nasional maupun internasional. Gerwani sebagai organisasi wanita revolusioner harus bernasib naas seperti organisasi-organisasi seideologinya. Peristiwa 1 Oktober 1965 adalah awal gemuruhnya lonceng kematian bagi siapapun dan organisasi mana pun yang sekawan atau seideologi dengan PKI. Begitu pula dengan aktivis, anggota Gerwani, bahkan simpatisannya.

Catatan ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu tertentu, wanita Indonesia pun memiliki keahlian memainkan penannya sendiri. Mereka pun mengikuti dan mencebur dalam perkembangan politik, ekonomi, pendidikan dan masalah-masalah sosial bangsa hingga bergerak dalam identitasnya sendiri. [ki]

Senin, 13 Desember 2010

Melarung Bro di Nantalu

December 13, 2010 | Cerpen: Martin Aleida | (Jawa Pos, 12 Desember 2010)

TAK pernah kami perkatakan bagaimana nanti kami menjemput ajal. Kami sadar, pertanyaan itu di luar jangkauan kodrat kami untuk menjawabnya. Tetapi, niat kami sudah teguh. Kalau kami mati, kami ingin dikuburkan di daratan Nantalu, di hulu sungai ini, di mana hutan tak mengenal tepi. Kami merasa tak nyaman dengan pekuburan umum, yang membuat kami terus-menerus merasa dikejar-kejar perasaan bersalah, karena membiarkan orang tua kami menjalani istirahat penghabisan dengan ancaman banjir dan limbah rumah tangga yang amis.
Angan-angan kami adalah sebuah istirahat kubur yang damai di bawah langit biru di lingkungan hutan hujan. Betapa bahagianya kami nanti dari dalam liang lahad bisa menyaksikan air yang menderu tak habis-habisnya, berebutan jatuh meluncur membasuh tebing. Akangkah nikmatnya menyaksikan hablur air yang deras menghanyutkan jutaan kiambang buih ke Selat Malaka, meninggalkan jejak pelangi di pucuk-pucuk pohon.
Tetapi, apa mau dikata, cita-cita yang sudah berusia lebih setengah abad itu hanyut sudah. Sekarang aku berdiri seorang diri di tubir sungai ini, di Nantalu. Hati terluka, karena apa yang dulu telah bulat kami tancapkan sebagai niat tinggal angan-angan hampa belaka. Paling tidak untuk Bro, kawanku….
Dulu, ketika baru balig, tak pernah kami bayangkan bahwa kematian tidak selamanya harus berakhir di liang persegi panjang di sebidang tanah. Agama yang kami anut tidak memungkinkan khayal kami untuk berpikir tentang akhir hayat seperti itu. Yang tidak memerlukan tanah barang sejengkal pun sebagai kuburan. Dan bahwa dengan panasnya tungku krematorium, tulang dan daging seonggok jasad bisa tinggal hanya segumpal debu. Namun, justru jalan kematian yang berapi seperti itulah yang telah ditempuh Bro, setelah dia mengembara berpuluh tahun di dua daratan benua.
Sendirian aku di tepi sungai ini. Di kakiku air berkecipak berlomba ke muara. Di tanganku telentang cawan seputih gading. Di dalamnya tertumpuk jasad Bro yang hanya tinggal abu, seujung tajuk bunga kamboja banyaknya. Dari Prancis, anaknya, Suilien, memohon agar aku berkenan melarung abu ayahnya itu di sungai ini, di tumpah darahnya ini. Suilien tak bisa datang. Bukan karena tak ada waktu untuk sang ayah. Masalahnya, dia membayangkan betapa dia takkan kuasa menahan getirnya perasaan melihat mulut-mulut yang mencibir, yang ditujukan kepadanya. “Cis najis, cucu berdarah iblis….” Begitulah mungkin umpat semua mata begitu menyaksikan kedatangannya.
Suilien ingat bagaimana jasad atoknya, ayah dari ayahnya, 45 tahun lalu, dibiarkan dingin membatu, sampai-sampai cairan tubuhnya sudah merembes dari celah kuku. Lalat dan belatung mengerubung, tapi tak ada warga yang mau merapat. Tak ada yang ridho menguburkannya baik-baik, dengan doa, walau hanya selenting. Dendam yang sesat telah menjadikan orang tua itu lebih hina daripada ikan patin yang terapung membusuk. Padahal, dia yang terbujur itu bukanlah pembangkang Tuhan. Dia pernah menjadi anggota parlemen, berulang-ulang naik kapal laut untuk menunaikan ibadah haji. Tetapi, di mata mereka yang telah merampas pedang dari tangan Tuhan, jasadnya tak layak dimakamkan, karena anaknya dipercaya jadi dalang pembantaian para jenderal.
Beberapa tahun sebelum peristiwa berdarah yang menjungkirbalikkan jalannya sejarah negeri ini, Bro dan istrinya bertolak memenuhi undangan ke Tiongkok. Dia mendapat tawaran yang baik, menjadi guru Bahasa Indonesia di sana. Malang, hanya sekejap dia menikmati hidup sebagai seorang guru besar. Ajakan penyair Boejoeng Saleh melalui puisi pendeknya, “Datanglah ke Tiongkok/tengok hari esok,”hanya menemukan kenyataan seperti tuba di dasar gelas. Revolusi Kebudayaan melanda Tiongkok. Bukan cuma kaum komunis yang dicap jadi borjuis di negeri itu saja yang jadi sasaran. Juga orang-orang Indonesia yang menjadi tamu perayaan hari jadi Republik Rakyat Tiongkok. Mereka tak bisa kembali ke kampung, kecuali siap untuk ditangkap dengan tuduhan terlibat persekongkolan membantai para jenderal.
Bro dan kawan-kawannya disingkirkan dari kota. Sama dengan kaum komunis lokal, yang dituduh terjangkit penyakit borjuis dan harus dicuci otaknya, Bro juga menemukan nasib yang tak kalah buruk. Bersama kawan-kawannya, dia digiring ke pedesaan. Dia dipaksa melakukan kerja badan, bertani, sebagai hukuman untuk gaya hidup yang dicap berleha-leha ala tuan tanah selama ini. Bro yang semasa kecil di kota kami ikut mengejek dan melempari apek, yaitu Cina tua dan papa yang sedang membuang kotoran manusia ke sungai, sekarang nyahok. Dia dipaksa memungut kotoran manusia untuk disiramkan ke tanaman sebagai pupuk, semacam pembenaran terhadap petuah Ketua Mao bahwa pabrik pupuk terbesar di dunia ada di perut manusia.
Akhirnya, Bro berniat melarikan diri, dan dia menemukan jalan untuk menyingkir dari siksaan berkepanjangan. Melalui perjalanan darat beribu kilometer, yang tak pernah dia bayangkan, sampailah dia di Paris. Di kota itu dia bertemu dengan seorang kawan yang juga tak bisa pulang ke Jakarta, kecuali siap ditangkap, disiksa, dan dibunuh.
Museum yang mengagumkan, restoran-restoran dengan bangunan antik yang menggiurkan, menyaksikan Bro dan kawan-kawan yang bertubuh kecil itu, menyeret-nyeret kaki, luntang-lantung mencari jalan untuk bertahan hidup. Didorong angin musim panas, terkadang tubuh Bro yang gembor kelihatan sempoyongan seperti layang-layang putus tali teraju. Sambil berjalan, hernianya kerap kumat. Untung di Paris. Orang-orang di sini takkan melirik pisak celananya yang menjendol sebesar kelapa. Di kota kami, penyakit itu akan menjadi olok-olok. Akan ada orang yang iseng, membeli jeruk purut, dibubuhi garam, diperas, dan ditiupkan jampi dari kejauhan, bikin kantong buah pelir membengkak, gatal tak karuan.
Pada sebuah daun pintu, di sebelah gereja tua, harap-harap cemas dua sahabat sepenanggungan itu mengetuk dengan kepala merunduk. Bolak-balik beberapa kali bertemu dengan pengurus perkumpulan yang berkantor di sebelah gereja itu, akhirnya mereka memperoleh pinjaman untuk mendirikan restoran masakan Indonesia. Turis rupa-rupa bangsa, yang mencari-cari makanan eksotis, menemukan yang mereka buru di situ. Mereka yang dikejar-kejar pemerintah Indonesia menjadikan restoran yang taplak mejanya berwarna merah itu sebagai pusat temu kangen. Buat pejabat dari Jakarta, kecuali seniman, yang mampir di Paris, restoran tersebut adalah tujuan yang harus dihindari. Seperti ada wabah lepra di situ.
Restoran bertaplak merah itu menarik perhatian Jio, teman Bro ketika masih di Jakarta. Jio yang tak tahan menanggung siksa membelot menjadi interogator terhadap para tahanan politik yang adalah kawan-kawannya sendiri. Dia pelukis, dan dialah yang memberikan ilham jahat kepada penguasa militer, bahwa di pedestal, di atas tempat patung Dirgantara akan ditempatkan, yang lancip berdiri diperempatan Pancoran, Jakarta, adalah patung pencungkil mata. Untuk membangkitkan amarah masyarakat terhadap pembunuhan jenderal, koran-koran yang berada di bawah kontrol militer, yang bernafsu untuk menjatuhkan Soekarno dengan membantai para pendukungnya, melansir berita bahwa para jenderal, setelah dibunuh, dimutilasi dalam seribu potong. Dicungkil matanya. Patung pencungkil mata itu buktinya.
Sebelum meninggal karena dibunuh kencing manis, Jio berniat memata-matai restoran bertaplak merah itu. Tak sulit buatnya. Kekuasaan dekat ketiaknya. Duit, apalagi. Dia pun terbang ke Paris. Bro kaget ketika melihat Jio sudah berdiri di depan hidungnya. Nama Jio dan seluruh kelakuannya sudah lama jadi bahan cemooh di kalangan mereka yang terdampar di Eropa. “Apakah sudah sejauh ini tugas yang diterima kawan ini…?” tanya Bro di dalam hati.
Tenang, dengan keramahan setengah hati, dia melayani tamu istimewanya hari itu. Yang tidak bisa dia patuhi adalah ketika Jio ingin menginap di apartemennya. “Apakah sebagai interogator dan intel, tugasnya termasuk memenggal kepalaku selagi tidur?” teriak Bro di dalam hati.
“Ingat kau,” tiba-tiba dia berbicara dalam nada tinggi, tak tahan membendung amarah. “Ini bukan Kota Paris, sarang lonte di Senen, Jakarta. Ini Paris, ibu kota negara di mana hukum jadi ukuran peradaban. Ini bukan negaramu, negara hukuman…!” Sebagai warga negara Prancis, Bro tentu tak bisa disentuh seorang pendurhaka semacam Jio.
Bro adalah sebuah perjalanan hidup yang tidak biasa, yang tiada tara. Bertahun menetap di Beijing. Dihinakan Revolusi Kebudayaan. Kehilangan istri di sini. Melompati Tembok Besar, melarikan diri ke Eropa. Berpuluh tahun hidup bukan dari buku, tetapi dari ulekan sambal di dapur.
Semasa anak-anak, kami sepengajian. Kuingat benar, tiga kali kami tamat membaca Alquran. Tiga kali pula diupah-upah berbarengan. Tapi, ah…. Lututku lemas. Empat tahun sebelum Bro jatuh terduduk dan tak bangun-bangun lagi di restoran bertaplak merah itu, agama yang sama-sama kami yakini ternyata dia tinggalkan. Ke mana pun pergi, sebentuk salib perak menggantung pas di tentang jantungnya. Apakah perjalanan hidup yang kelabu, yang dia tempuh berpuluh tahun, sama menyiksanya dengan yang dialami kawan-kawannya di tahanan dan di pulau pembuangan Indonesia, di mana para penceramah agama dan Pancasila menyumpahi mereka sebagai komunis, biang kufur?! Membuat iman si pesakitan guncang?!
“Seberat apa pun cobaan, pantang kami menyerahkan iman.” Itu kata penyair Aceh, sahabat Bro, begitu mendengar kabar terakhir tentang dirinya. Pengusung salib sejati Bro juga tidak. Dia bersahabat dengan seorang pendeta Buddha yang sama-sama ditindas komunis radikal di Tiongkok tempo hari. Cahaya persahabatan itulah yang di kemudian hari mengilhami Bro dalam mengatasi kemusykilan ketika akan menuliskan wasiat kepada anaknya, dengan jalan bagaimana dia akan kembali kepada pencipta-Nya. Sebab, dia ingin jasadnya yang sudah ditinggalkan rohnya—ibarat rumah yang sudah kosong—tidak hanya berada di Paris, tetapi juga ada di Amsterdam, Beijing, Berlin, dan Nantalu. Bro memilih jalan kematian seorang Buddhis: kremasi.
Bro telah menulis beberapa buku kenang-kenangannya semasa dia masih berada di Indonesia. Dalam bayanganku, Bro tentulah akan menulis sebuah buku dengan kisah yang merenggut perhatian, juga simpati, apabila dia menceritakan perjalanan hidupnya di daratan jauh. Dan menumpahkan pengakuan bagaimana kepercayaan, juga iman, telah menjadi permainan yang lapuk dalam sebuah perjalanan hidup yang buruk dan tak pernah dia mimpikan.
Di Nantalu, ya, di Nantalu, nama yang bermakna “yang kalah,” air terus berpendar berkecipak menciumi tebing. Tinggi-tinggi kuangkat cawan berisi sejumput abu Bro. “Tuhan, siapa pun Kau, terimalah kawanku ini. Dia orang baik-baik, sebagaimana yang telah kau tentukan bagi jalan hidupnya.” Lututku ngilu. Aku membungkuk dalam-dalam, membenamkan cawan perlahan ke pusaran air. Bro lenyap dalam sekejap. Aku percaya, kawanku itu sedang berenang-renang ke surga…. (*)
______________________
*Martin Aleida, lahir pada 1943 di Tanjung Balai, Asahan, Sumatera Utara. Menulis cerita pendek dan novel. Kumpulan cerita pendeknya yang terakhir berjudul Mati Baik-Baik, Kawan
https://lakonhidup.com/2010/12/13/melarung-bro-di-nantalu/ 

Misteri Tiga Orang Kiri

SEORANG pria berparas dingin, dengan mulut berlumur asap, serius berkata, “Jawa adalah kunci…”, “Djam D kita adalah pukul empat pagi…”, “Kita tak boleh terlambat…!”

Jumat, 10 Desember 2010

Resensi Buku: Menguak Sejarah Kelam Tapol di Moncongloe


Desember 2010

Judul Buku : Camp Pengasingan Moncongloe
Penulis      : Taufik
Penerbit    : Desantara Foundation dan LAPAR
Cetakan     : Pertama, 2009 
Pengantar   : Erwiza Erman
Tebal         : xxii + 270 halaman
ISBN           : 978-979-19646-1-6

Dalam buku ini di bagi beberapa bagian, yakni bab I pendahuluan; bab 2 mengupas kemunculan dan perkembangan PKI di Sulawesi Selatan; bab 3 mengutarakan Moncongloe: dari hutan menjadi kamp pengasingan tapol; bab 4 mengutarakan tahanan politik di Moncongloe; bab 5 menjelaskan pembebasan tahanan politik; dan bab 6 menjelaskan kesimpulan dan saran.

Masuknya Partai Komunis Indonesia (PKI) Di Sul-Sel

Makassar yang di kenal sebagai kota pelabuhan berpuluh-puluh pedagang singgah, berdagang, hingga bertempat tinggal di Makassar menyebabakan arus pergerakan nasional juga menampakkan wajahnya. Menurut catatan Taufik, pada tahun 1916 organisasi syarikat Islam adalah organisasi yang pertama kali menapakkan jejaknya di “Butta Daeng” ini, yang pemimpinnya kala itu adalah Ince Abdurrahman, Ince Tajuddin, Ince Taswin dan Burhanuddin.

Kemudian di susul oleh Muhammadiyah membuka cabangnya di Makassar pada tahun 1926 lewat seorang pedagang batik asal Surabaya, yakni KH. Abdullah dan Mansyur al-Yamami. Kemudian PKI juga mulai membuka cabangnya di Makassar

Pada tahun 1922, PKI telah menanamkan pengaruhnya dan melakukan propaganda dan menyebarluaskan program-programnya dengan memakai corong “Pemberita Makassar”. 

Dengan surat kabar ini, PKI dengan langkah pasti menggemakan ajaran-ajarannya yang melawan penindasan atas kolonial Belanda. Melakukan pendidikan politik kepada rakyat Sul-Sel untuk bersama-sama, bergerak-berbareng dalam melawan dan mengusir penjajah. Dan PKI cabang Makassar ini diakui dan menjadi utusan di antara empat cabang dari luar pulau Jawa dalam konggres kesembilan partai ini.

Dengan gagalnya pemberontakan Prambanan yang dilancarkan segelintir elit PKI, berimbas pada pelarangan PKI di nasional maupun daerah. Perlawanan sosial terhadap colonial Belanda menjadi “berhenti dan tiarap”. Dan banyak para akitivisnya yang di tangkap, bahkan ada yang di buang keluar negeri.
 Dengan tiarapnya pergerakan sosial, maka di pusat maupun di daerah-daerah “tidak terdengar” lagi pergerakan dan perlawanan sosial yang besar, kecuali letupan-letupan amarah yang dengan sekejap dan mudah dapat dipatahkah. 

Pada tahun 1953, PKI cabang Makassar belum dapat memberikan pengaruh besar terhadap warga masyarakat Sul-Sel pada umumnya, dan warga Makassar pada khususnya. Hal ini didasari oleh kuatnya control aparat pemerintah dan berkembangnya DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar yang merupakan “anti-tesa” dari PKI tersebut. Tergerusnya ruang publik bagi PKI di Sul-sel menjadikan partai ini “melunakkan” propagandanya dengan menjelaskan lebih awal bahwa lambing palu, arit dan kembang bunga di bendera PKI dapat diartikan buruh (palu), petani (arit) dan kemakmuran (kembang bunga). 

Walaupun giat melakukan propaganda turun ke grass-root, tetapi pada pemilu pertama 1955, PKI hanya mendapatkan urutan 10 dengan jumlah suara 17. 831 atau 1, 6 persen, tak mendapatkan kursi di dewan legislative. Sedangkan pada tahun 1961, susunan DPR-GR menempatkan utusan PKI, satu orang yang diwakili oleh Aminuddin Muchlis.
Awalnya, pada tahun 1960 telah disahkan UU PA dan UU PBH yang mana di daerah-daerah telah terjadi aksi sepihak PKI dalam melakukan pembagian tanah Negara kepada para petani penggarap.

Aksi sepihak ini memicu konflik keras antara tuan tanah dengan para petani, sehingga pimpinan pesantren Darul Da’wah Wa Al-Irsyad (DDI) KH. Ambo Dalle dalam muktamarnya di Makassar menyatakan kepada pemerintah untuk membubarkan PKI dan ormas-ormasnya karena telah memicu pertentangan di tengah-tengah masyarakat. 

Camp Pengasingan Moncongloe

Kebencian Ulama terhadap PKI tambah menjadi-jadi akibat terdengar kabar bahwa telah terjadi kerusuhan di Jakarta yang didalangi oleh PKI, maka kekerasan fisik terhadap PKI pun tidak dapat dihindarkan. Pelbagai organisasi non-PKI bergabung untuk melakukan “perlawanan-balik” terhadap PKI yang telah meresahkan masyarakat akibat aksi land reformnya.

Berita-berita yang menyudutkan PKI beserta ormas-ormasnya sebagai pelaku penyiksa, pembantai dan pembunuh para Jenderal terpublikasikan di media-media pada bulan Oktober, November dan Desember 1965. Akibat pemberitaan ini, maka bermunculanlah kelompok dan gerakan anti komunisme dan anti-PKI yang semuanya tergabung dalam Front Pancasila. 

Di Makassar, pada bulan Oktober gerakan yang tergabung dalam anti PKI pun mulai melakukan penggeroyokan massa, pengrusakan perabot rumah tangga, dan sebagainya terhadap orang-orang yang teridentifikasi mempunyai hubungan dengan PKI (lihat 112-116) Razia, pengejaran dan penangkapan terhadap aktivis dan simpatisan PKI terus terjadi, tidak hanya di kota Makassar, akan tetapi di daerah-daerah pun terjadi, seperti Bone, Pare-pare, Jeneponto, Bantaeng, dll. 

Penjara merupakan tempat persinggahan terakhir dari aktivis dan simpatisan PKI, hingga akhirnya “dijebloskan” ke kamp pengasingan di Moncongloe. Sebelum ke Moncongloe, para tapol tersebut di tempatkan di penjara-penjara militer di kodim-kodim di daerahnya masing-masing.

Sejak Oktober 1965 sampai Maret 1966, jumlah tapol mencapai 9. 765 orang. Di penjara, para tapol di tindak secara keras, disiksa hingga terdengar jeritan-jeritan yang suaranya didengar seluruh penghuni penjara hampir tiap malam. 

Mendengar kata Moncongloe, mungkin terasa asing di ruang dengar kita sekalian, tak hanya di luar kota Sulawesi Selatan, bahkan di dalam kota pun banyak masyarakat yang belum dengar tempat dan berkunjung ke sana.

Sebagaimana diteliti oleh penulis buku ini, bahwa Moncongloe berada di daerah perbatasan Maros dan Gowa, sekitar 20 Km dari ibukota Kabupaten Gowa dan 15 Km dari ibukota Kabupaten Maros, ketinggian sekitar 250 meter dari permukaan laut dengan struktur tanah yang tidak rata. Daerah ini dikenal pula dengan sebutan “Tanah Merah”.

Sesuai dengan surat keputusan Pepelrada Sulselra No.KEP.024/10/1965/PDD/1965 tanggal 18 Oktober 1965 tentang perintah membebastugaskan untuk sementara para anggota PKI dan ormas-ormasnya.
Kodam XIV Hasanuddin yang dikomandani oleh Brigjend Solihin mengeluarkan kebijakan pembubaran PKI di Sul-Sel dan instruksi kepada semua instansi pemerintah agar melakukan pengawasan ke setiap pegawai yang mempunyai hubungan dekat dengan PKI. 

Pengamanan dan penangkapan aktivis dan simpatisan PKI di tangkap dan dipekerjakan secara paksa, sebagaimana yang terjadi di kampong Tabaringan, Kabupaten Takalar, sekitar 600 orang dijadikan tahanan politik (tapol) dan wajib lapor dan dikenakan sanksi bekerja membuat jalanan dari kota Takalar hingga perbatasan kabupaten Jeneponto.
Begitupula di tempat lain, kabupaten Pare-pare, Barru, Selayar, sekitar 1.470 petani di tangkap karena mempunyai hubungan dengan ormas petaninya PKI, Barisan Tani Nasional (BTI). Hal ini sesuai dengan petunjuk pelaksanaan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban No. PELAK-002/KOPKAM/10/68. 

Dalam wawancara peneliti kepada tapol (Cak Gun, namanya) berkata:
 “Saya selalu bertanya-tanya dalam hati, apa salah saya, atau mungkin leluhur saya pernah membuat kesalahan sehingga sayalah yang harus menanggung akibatnya. Saya ditahan pada usia 15 tahun ketika itu saya duduk di bangku SMP kelas II, mana mungkin saya terlibat dalam Gerakan 30 September, sejak di penjara sampai pengasingan, saya tidak mengerti mengapa saya di tahan. Ada apa dengan nasib saya.”
Ini hanya sekedar salah satu contoh bahwa dalam penangkapan G 30 S/PKI, banyak dari tapol adalah salah tangkap. Dan ini bukan hanya terjadi di Sul-Sel, akan tetapi (mungkin) dapat terjadi di tempat lain di luar Sul-Sel.

Sebagai penutup, buku ini sangat penting untuk melengkapi “serpihan” sejarah Indonesia yang tercecer dan belum dikuak-publikasikan kepada khalayak ramai. Semoga buku ini menjadi bermanfaat bagi generasi masa kini dan generasi masa depan. Semoga...

Sejarah: Sebongkah Ingatan di Punggung Gelombang

Friday, December 10, 2010 | Maria Hartiningsih


TAMAN kecil di halaman rumah di atas lahan berukuran sekitar 150 meter persegi di kawasan Depok, Jawa Barat, itu terlihat asri. Pemilik rumah, Mia Bustam (90), merancang dan merawatnya dengan kesungguhan, seperti ia merawat sejarah hidupnya.

Ibu delapan anak, eyang dari 20 cucu, dan eyang buyut dari 11 cicit itu hidup sendiri di rumah berukuran 35 meter persegi. Menurut Nasti (64)—anak kedua pasangan Mia Bustam-Sudjojono, pelukis besar Indonesia—sampai usia 80 tahun, Mia mengerjakan sendiri seluruh pekerjaan rumah tangga, sebelum menerima tawaran Nasti. Sampai setahun lalu, Mia masih merawat sendiri taman kecil itu.

Di kamar tamu rumah yang dihuni sejak tanggal 14 Januari 1996 itu tergantung lukisan (reproduksi) separuh badan Mia Bustam. Cantik dan segar. Saat itu ia sedang hamil muda, anak kelima, yang lahir kembar. Lukisan asli karya Sudjojono tahun 1952 itu tersimpan di Museum Afandi, Yogyakarta.

Tak sulit menengarai bahwa segala sesuatu di rumah itu disentuh oleh cita rasa yang hanya dimiliki sosok terdidik dan berdisiplin tinggi. Selain risban warisan keluarga dan sejenis tempayan yang usianya lebih dari 200 tahun, seluruh perabotan rumah sederhana, tetapi serba terawat sehingga debu pun menyingkir dari buku, kliping koran, majalah, dan segala catatan, yang dikatakan Nasti sebagai ”harta Ibu yang sangat berharga”.

Bisa dibayangkan perasaan Mia ketika hujan badai hari Sabtu (27/11) menerjang atap rumah. Air tumpah dari plafon, membasahi tempat tidur dan hartanya itu. ”Sekarang Ibu di rumah saya, sementara rumahnya dibetulkan,” ujar Nasti. Rumah Nasti tak lebih dari 300 meter jaraknya dari rumah Mia.

Terus menulis

Ketika ditemui di rumahnya suatu pagi, akhir pekan awal November, Mia baru beranjak dari meja tulisnya. Menulis dan membaca adalah kegiatan rutin sehari-hari, diselingi jeda istirahat, satu jam pada pukul 10.00 dan satu jam pada pukul 13.00. Ia terus menulis dengan bolpoin di atas lembaran-lembaran kertas. Kalau sudah selesai, Nasti yang mengetik dan membacakan ulang untuk sang ibu.

”Tedjo minta saya menulis segala hal setelah saya dibebaskan,” ujar Mia, menyebut nama anak sulungnya itu.

Suaranya masih keras dan tegas. Hanya indera pendengarannya yang berkurang. Memorinya masih sangat tajam. Ia masih mengingat seluruh detail rangkaian peristiwa dalam hidupnya. Katanya, ”Seperti gambar bioskop saja....”

Dari perempuan yang lahir dan tumbuh di kalangan keluarga priayi—dan mengenyam pendidikan Belanda—yang kemudian bergulat dengan ideologi kerakyatan itu, kita membaca perca sejarah yang hilang dari lembar besar sejarah nasional.

Mia telah menerbitkan dua buku penting; Sudjojono dan Aku, yang melatari sejarah seni rupa modern Indonesia (2006), dan Dari Kamp ke Kamp: Cerita Seorang Perempuan (2008), yang melatari sejarah pergerakan perempuan di Indonesia.

Buku terakhir itu diawali kisah hidup Mia bersama delapan anaknya setelah perpisahannya dengan Sudjojono. Namun, fokusnya adalah pengalamannya dalam situasi pahit Tragedi 1965, dimulai dengan ditangkapnya si sulung—lahir di masa Revolusi 1945—dan dibuang ke Pulau Buru.

Mia Bustam dibebaskan dari Penjara Wanita Bulu, Semarang, 27 Juli 1978. Ia ditangkap dan ditahan tanggal 23 November 1965 di Sleman. Itulah awal dimulainya masa-masa pelanggaran hak asasi manusia berat yang tak terbayangkan bisa terjadi dalam masyarakat beradab. Tindakan penghilangan, penahanan, penyiksaan, pembuangan dan pembunuhan ratusan ribu, bahkan jutaan orang yang dituduh punya hubungan dengan Partai Komunis Indonesia, terjadi terutama di Jawa dan Bali. Korban termasuk keluarga yang harus menanggung penderitaan sampai bertahun-tahun kemudian.

Tragedi kemanusiaan itu adalah lubang hitam sejarah Indonesia modern, yang pada masa Perang Dingin dihilangkan dari daftar genosida dunia karena korban dianggap komunis sehingga ”sah dihabisi”.

Tanpa pengadilan

Selama 13 tahun, Mia yang dianggap tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat, organisasi kebudayaan sayap kiri di Indonesia, enam kali dipindahkan dari rumah tahanan satu ke rumah tahanan lain, dari penjara satu ke penjara lain, tanpa pengadilan, tanpa pernah dinyatakan bersalah, bahkan tanpa tuduhan jelas.

Mia dan kawan-kawannya dibebaskan bertahap karena desakan masyarakat internasional kepada Pemerintah Orde Baru. Ia masih menjadi tahanan kota, sebelum diizinkan bepergian di dalam provinsi, waktunya dibatasi. Kemudian boleh ke luar provinsi, paling lama dua minggu, dengan izin dan surat jalan dari RT, RW, Kelurahan, dan Kodim. Pulang harus apel ke Kodim.

Sejak itu, kartu tanda penduduk diberi tanda khusus ET, bukan extra-terrestrial, makhluk lucu di film ET itu, melainkan eks-tapol, stigma yang menempatkan tapol tahun 1965 (dan keluarganya) sebagai ’outcast’, meminjam istilah Gayatri Spivak, ahli teori post-kolonial, sehingga hak-haknya sebagai warga negara sah untuk diabaikan.

”Cap itu terus melekat di KTP. Ketika Ibu pindah ke Depok, Ibu tidak berhasil meminta surat pindah dari Subditsospol kota Semarang,” kenang Nasti, ”Suami saya berusaha mengurus surat pindah itu, tetapi baru turun dari mobil, kena serangan jantung, lalu meninggal dua minggu kemudian.”

Berkali-kali Nasti mencoba mengurus KTP Mia, tetapi selalu terhenti di kecamatan, padahal sudah mulus di tingkat RT, RW, dan lurah. Baru 10 tahun kemudian, tahun 2006, Mia mendapat KTP bersih seumur hidup.

Merawat ingatan

Kata orang bijak, waktu akan meluruhkan kenangan atas pengalaman tak menyenangkan dalam hidup. Namun, Mia tampaknya tak tunduk dengan hukum itu. Baginya, pengalaman adalah pengalaman. Baik dan buruk adalah soal persepsi.

Ia tak pernah menyimpan dendam, termasuk kepada Sudjojono, yang sampai meninggal tahun 1986 tak pernah mengunjungi anak-cucunya dari pernikahannya dengan Mia. ”Semuanya adalah sejarah,” ujar Mia.

Toh, masih banyak kenangan tertinggal di benaknya. Ia bercerita kejadian kecil setelah perpisahannya dengan Sudjojono tahun 1959. ”Waktu itu umur Rhino tiga tahun,” tuturnya. Rhino adalah anak bungsunya, lahir tahun 1956.

”Rhino sedang menggembala kambing sambil nyanyi lagu-lagu rohani di dekat asrama Realino. Di sela lagu-lagu itu tiba-tiba ia menyanyi lagu ’Internasionale’ yang digubah Ki Hajar Dewantoro itu. Seorang biarawan mendekat, tanya namanya. ”Apa Bapakmu masih ada?” Rhino bilang, ”Sudah pergi, Romo....” Lalu ditanya lagi, ”Siapa namanya?” Rhino menjawab, ”Sudjojono.”

”Jadi, Romo itu tahu mengapa Rhino hafal lagu ’Internasionale’,” kata Mia. Dalam buku Sudjojono dan Aku, Mia menulis, Sudjojono pernah menjadi anggota DPR dari Fraksi PKI, sebelum dipecat oleh partai itu tahun 1958, bersamaan dengan ontran-ontran dalam kehidupan rumah tangganya.

Oleh banyak seniman, Mia dipandang punya kemampuan melukis yang garis-garisnya tak kalah dengan Sudjojono. ”Dulu kalau Bapak melukis, saya disuruh nungguin di sebelahnya. Lama-lama saya lihat, oo... melukis itu gampang ternyata,” kenang Mia.

Di punggung gelombang

Perjalanan hidup Mia ibarat mengendarai punggung gelombang. Sepanjang itulah ia memegang erat kehormatan dan martabatnya sebagai manusia, sebagai perempuan. Itulah yang membuatnya mampu memeluk penderitaan, tanpa sudi menetaskan air mata di depan mereka yang membencinya; dan mampu menatap hidup setelah masa-masa paling kritis. Anak-anak adalah kekuatannya, yang menjadi paku janji untuk pulang dengan selamat.

Pengalaman hidup mengajari Mia untuk memandang kekejian sebagai kekerdilan jiwa. Ia terlatih menjadi kokoh. Ketika pertama kali bertemu lagi dengan si sulung yang baru dibebaskan setelah sembilan tahun di Pulau Buru dari total masa tahanan 14 tahun di berbagai penjara, Mia hanya memberi senyum hangat dan menjabat tangannya seperti dua sahabat yang lama tak jumpa, dan berkata mantap, ”C’est la vie.” Inilah hidup!

Mia menyimpan keinginan sama dengan korban dan keluarga korban peristiwa politik yang melakukan aksi diam setiap hari Kamis di depan Istana Negara. Ia menemani mereka dalam doa dan semangat karena tak mampu hadir secara fisik.

”Bu Sumarsih pernah bilang mau terus ikut Kamisan sampai mendapat keadilan, biar pun tinggal tiga orang,” ujar Bu Mia tentang ibu dari Wawan, korban Tragedi Semanggi 1998 itu.

Pun Mia. Dia tak pusing dengan sejarah formal. Ia tahu, dalam politik, benar dan salah adalah soal sudut pandang. Namun, ia melihat bagaimana permainan kotor politik kekuasaan telah menyeret ribuan orang, anak sekolah, mahasiswa, petani, dan perempuan, bahkan yang buta huruf, yang tak tahu apa-apa, ke kubangan penderitaan selama belasan tahun di dalam tahanan. Orang boleh berdebat tentang ”kebenaran”, tetapi pengalaman hidup adalah otentik.

Ia tak lagi menunggu pengganti Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi, Desember 2006. Yang terpenting baginya adalah pemulihan nama baik. Seperti dikatakannya, ”Dulu saya menunggu Orde Baru runtuh, lalu menunggu sampai Pak Harto meninggal, sekarang saya menunggu rehabilitasi nama eks tapol 65....”

Sumber: Kompas, Jumat, 10 Desember 2010

Sumber: CabikLunik