HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Kamis, 28 April 2011

Cerita Pendek Dariyun

Kamis, 28 Apr 2011 12:29 WIB



Namlea - Sebuah patung tentara setengah badan berdiri di areal persawahan, di Desa Wanakarta, Kecamatan Waeapo. Pada prasasti di bawah patung tertulis, Telah gugur di tempat ini Pelda Panita Umar, Prajurit Sapta Margais Kodam XV Pattimura tanggal 6 Oktober 1972 jam 13.30 WIT, di dalam menjalankan tugas demi pengabdiannya kepada kemurnian dan keluhuran Pancasila.

Patung ini bukan hanya untuk menghormati Pelda Panita Umar, tetapi lebih dari itu, patung ini ternyata juga sebagai catatan hitam.  Begitu jasad Panita ditemukan tewas dengan tangan terputus, maka tanpa penyelidikan, hari itu juga segera saja 12 orang tahanan politik penghuni barak Unit 5 diciduk. Empat orang ditembak mati, sisanya berhasil melarikan diri,  tetapi empat orang kemudian juga ditemukan mati di Namlea. Sedang sisanya lagi yang empat orang,  berbulan-bulan kemudian baru ditangkap dan langsung dieksekusi.

Gugurnya Pelda Panita Umar menggetarkan sekitar 12 ribu tahanan politik yang menghuni 20 unit barak penampungan di Pulau Buru. Siapa pun bekas tapol yang saat ini masih hidup, pasti tergetar hatinya apabila ditanya tentang peristiwa itu. Karena perlakuan yang dialami oleh seluruh tapol akibat tewasnya Pelda Panita Umar dirasakan amat luar biasa.  Sampai saat ini tidak pernah ada penyelidikan mendalam tentang kematian Pelda Panita Umar. Ia dinyatakan gugur saat menjalankan tugas, dan patungnya bisa dilihat oleh siapapun yang melintas di jalan raya penghubung  Kabupaten Buru dengan Kabupaten Buru Selatan.


Dariyun Suwardi Saiin, 72 tahun, mantan tapol yang setelah dibebaskan lebih memilih tetap tinggal di Pulau Buru daripada pulang ke Cianjur, Jawa Barat, hanya menghela nafas panjang ketika disinggung kembali  peristiwa terbunuhnya Penita Umar. 

 "Sudahlah, saya  kembali merasa sakit kalau mengingat apa yang diterima sebagian besar tahanan setelah peristiwa itu. Saya dan beberapa teman yang masih hidup di sini sudah melupakannya," kata Dariyun, yang sekarang tinggal di Desa Savana Jaya, Kecamatan Waeapo.
Dariyun lebih senang menatap masa depan di sisa usianya. Karena itulah, ketika bulan November 1979 sekitar 12 ribu tahanan dibebaskan, ia bersama 300 temannya memilih tetap tinggal di Pulau Buru. Sebab bersama para transmigran yang mulai didatangkan, para bekas tapol itu memperoleh 2,5 hektar tanah yang terdiri dari 1 hektar sawah, 1 hektar ladang ditambah 0,5 hektar pekarangan untuk mendirikan rumah.  

 "Dari 300 orang yang memilih tetap di sini, lebih dari 50 orang telah meninggal," kata Dariyun hari Rabu (6/4/2011) petang.
Menikah kedua kalinya dengan Rininta di Pulau Buru, Dariyun yang bersama istrinya membuka warung makan sederhana dikaruniai 3 anak, masing-masing Astriani Saraswati, Diyanti Wulaningrum dan si bungsu Dimas Rangga yang masih berusia 7 tahun. 

 "Merekalah masa depan saya. Kalau saya sendiri sudah hampir selesai," kata Dariyun sambil memeluk anak bungsunya, Dimas Rangga.
Rangga merengek. Ia minta dibuatkan mie rebus. Dariyun segera bangkit dan masuk ke warungnya. Tak lama kemudian ia keluar sambil membawa semangkuk mie rebus panas yang diserahkan kepada anaknya. Rangga segera melahapnya. 

 "Tunggu sebentar, biar dingin dulu," kata Dariyun pada Rangga. 
Saat menikah dengan Rininta tahun 1985, usia Dariyun 42 tahun, sedang istrinya berumur 22 tahun. Rininta  putri Kapten Busono, intel Kodam Pattimura.  

 "Waktu hendak menikah, saya banyak diprotes teman-teman ayahnya. Mengapa anak tentara dikawinkan dengan bekas tapol. Saya bilang, yang menjalani dan ayahnya saja tidak keberatan, kok orang lain yang protes. Memangnya kalau bekas tahanan politik juga tidak boleh menikah, tanya saya pada mereka," cerita Dariyun.
Sebenarnya waktu diciduk dari rumahnya tanggal 28 November 1965 oleh aparat  Koramil Kecamatan Pacet, Cianjur, Dariyun sudah mempunyai istri dan seorang anak, Tavip Budiawan, yang saat itu masih berusia 1 tahun. 

 "Tahun 1967 ketika saya masih ditahan di Kodim Cianjur, istri saya datang bersama seorang tentara. Ia minta saya menceraikannya karena mau kawin dengan tentara yang mengantarnya itu. Ya sudah, kalau sudah seperti itu buat apa dipertahankan," kata Dariyun.
Selama 4,5 tahun Dariyun ditahan di Kodim Cianjur. Kemudian dipindahkan ke Nusa Kambangan. Setelah 4 bulan di Nusa Kambangan, pertengahan 1970 dengan KRI Ujung Pandang Dariyun bersama tahanan-tahanan lainnya dibawa ke Pulau Buru. 
 "Dari tahun 1970 sampai sekarang  saya belum pernah meninggalkan Pulau Buru. Kalau nanti saya meninggal, saya ingin dikuburkan  di pulau ini," kata Dariyun sambil mengelus kepala Dimas Rangga yang asyik melahap mie rebusnya. 

 "Tapi sebelum meninggal, saya ingin menengok Cianjur. Anak saya dari istri pertama, Tavip Budiawan yang sekarang bekerja di Singapura, sudah janji mau ngajak saya menengok kampung," tambahnya.
Laki-laki  jangkung ini mengaku ditahan dengan alasan yang tak jelas. 

 "Saya dulu bekerja di perkebunan teh  Ciseureuh, Cipanas, Cianjur, milik PT Mulia. Seperti kebanyakan buruh lainnya, terus terang saya ikut serikat buruh perkebunan Sarbupri yang mungkin dianggap underbouw PKI sehingga saya diciduk Koramil," cerita Dariyun.
"Tetapi selama penahanan, baik di Kodim Cianjur, di Nusa Kambangan maupun  di Pulau Buru, hanya ada tiga pertanyaan yang harus saya jawab dan saya akui, yaitu kamu latihan di Lubang Buaya, kamu anggota PKI atau Pemuda Rakyat,  dan mana senjata yang kamu miliki. Sampai sekarang saya tidak pernah bisa menjawab ketiga pertanyaan itu," tambahnya. "Tapi sudahlah, bertahun-tahun saya ditahan tanpa diadili, adalah juga masa lalu saya. Masa depan saya adalah anak ini," kata Dariyun sambil memeluk Dimas Rangga, yang telah menghabiskan mie rebusnya.
Suara azan Maghrib berkumandang. Begitu azan berhenti, Desa Savana Jaya yang memang tenang   karena tak banyak orang dan kendaraan berlalu lalang di jalan raya, terasa semakin sepi. Di alun-alun, sebuah bangunan besar dengan atap seng dan tiang kayu tak lagi berdinding, nampak gelap dan menyeramkan. Beberapa ekor kuda dan lembu masih merumput meskipun hari mulai gelap. Bangunan semi permanen yang tak lagi berfungsi ini adalah bekas gedung kesenian untuk berbagai kegiatan para tapol.

Desa Savana Jaya, ketika masih dihuni para tapol lebih dikenal dengan sebutan Unit 14. Unit ini pada tanggal 20 Juni 1972  diresmikan namanya menjadi Desa Savana Jaya. Peresmian dilakukan oleh Jenderal M. Panggabean yang ketika itu menjadi Panglima ABRI. Berbaur dengan para transmigran, bekas para tapol, termasuk Dariyun, kini menghabiskan hidup dengan bertani.

Hasil pertanian  bekas para tahanan politik dan para transmigran itu menjadikan Pulau Buru sebagai lumbung padi bagi Provinsi Maluku. Selain hidup tenang, mereka juga bisa hidup dengan layak. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang berhasil, sehingga di Desa Savana Jaya maupun desa-desa lainnya yang dihuni bekas tapol dan transmigran seperti desa Waefele, Waekerta, Kubalahin dan Mako, bisa dijumpai rumah-rumah mewah dengan arsitektur  modern, dengan mobil parkir di garasinya.
"Para bekas tapol dan transmigran memang memberi kontribusi cukup besar bagi perekonomian Pulau Buru, khususnya  Kabupaten Buru. Mereka adalah andalan kami untuk sektor pertanian, karena penduduk asli di sini memang tidak ada yang bertani," kata Bupati Buru, Husni Hentihu, di rumah dinasnya hari Rabu (6/4/2011) malam pekan lalu.  


"Di era demokrasi sekarang ini, kewajiban dan hak untuk setiap warga negara adalah sama," tambahnya.
(asy/asy)

NewsDetik 

Cerita Pendek Dariyun


Kamis 28 April 2011, 12:29 WIB
  • Laporan Dari Pulau Buru (3)


Namlea - Sebuah patung tentara setengah badan berdiri di areal persawahan, di Desa Wanakarta, Kecamatan Waeapo. Pada prasasti di bawah patung tertulis, Telah gugur di tempat ini Pelda Panita Umar, Prajurit Sapta Margais Kodam XV Pattimura tanggal 6 Oktober 1972 jam 13.30 WIT, di dalam menjalankan tugas demi pengabdiannya kepada kemurnian dan keluhuran Pancasila.

Patung ini bukan hanya untuk menghormati Pelda Panita Umar, tetapi lebih dari itu, patung ini ternyata juga sebagai catatan hitam.  Begitu jasad Panita ditemukan tewas dengan tangan terputus, maka tanpa penyelidikan, hari itu juga segera saja 12 orang tahanan politik penghuni barak Unit 5 diciduk. Empat orang ditembak mati, sisanya berhasil melarikan diri,  tetapi empat orang kemudian juga ditemukan mati di Namlea. Sedang sisanya lagi yang empat orang,  berbulan-bulan kemudian baru ditangkap dan langsung dieksekusi.

Gugurnya Pelda Panita Umar menggetarkan sekitar 12 ribu tahanan politik yang menghuni 20 unit barak penampungan di Pulau Buru. Siapa pun bekas tapol yang saat ini masih hidup, pasti tergetar hatinya apabila ditanya tentang peristiwa itu. Karena perlakuan yang dialami oleh seluruh tapol akibat tewasnya Pelda Panita Umar dirasakan amat luar biasa.  Sampai saat ini tidak pernah ada penyelidikan mendalam tentang kematian Pelda Panita Umar. Ia dinyatakan gugur saat menjalankan tugas, dan patungnya bisa dilihat oleh siapapun yang melintas di jalan raya penghubung  Kabupaten Buru dengan Kabupaten Buru Selatan.

Dariyun Suwardi Saiin, 72 tahun, mantan tapol yang setelah dibebaskan lebih memilih tetap tinggal di Pulau Buru daripada pulang ke Cianjur, Jawa Barat, hanya menghela nafas panjang ketika disinggung kembali  peristiwa terbunuhnya Penita Umar. 
 "Sudahlah, saya  kembali merasa sakit kalau mengingat apa yang diterima sebagian besar tahanan setelah peristiwa itu. Saya dan beberapa teman yang masih hidup di sini sudah melupakannya," kata Dariyun, yang sekarang tinggal di Desa Savana Jaya, Kecamatan Waeapo. 
Dariyun lebih senang menatap masa depan di sisa usianya. Karena itulah, ketika bulan November 1979 sekitar 12 ribu tahanan dibebaskan, ia bersama 300 temannya memilih tetap tinggal di Pulau Buru. Sebab bersama para transmigran yang mulai didatangkan, para bekas tapol itu memperoleh 2,5 hektar tanah yang terdiri dari 1 hektar sawah, 1 hektar ladang ditambah 0,5 hektar pekarangan untuk mendirikan rumah.  
 "Dari 300 orang yang memilih tetap di sini, lebih dari 50 orang telah meninggal," kata Dariyun hari Rabu (6\/4\/2011) petang.
Menikah kedua kalinya dengan Rininta di Pulau Buru, Dariyun yang bersama istrinya membuka warung makan sederhana dikaruniai 3 anak, masing-masing Astriani Saraswati, Diyanti Wulaningrum dan si bungsu Dimas Rangga yang masih berusia 7 tahun. 
 "Merekalah masa depan saya. Kalau saya sendiri sudah hampir selesai," kata Dariyun sambil memeluk anak bungsunya, Dimas Rangga. 
Rangga merengek. Ia minta dibuatkan mie rebus. Dariyun segera bangkit dan masuk ke warungnya. Tak lama kemudian ia keluar sambil membawa semangkuk mie rebus panas yang diserahkan kepada anaknya. Rangga segera melahapnya. 
 "Tunggu sebentar, biar dingin dulu," kata Dariyun pada Rangga. 
Saat menikah dengan Rininta tahun 1985, usia Dariyun 42 tahun, sedang istrinya berumur 22 tahun. Rininta  putri Kapten Busono, intel Kodam Pattimura.  
 "Waktu hendak menikah, saya banyak diprotes teman-teman ayahnya. Mengapa anak tentara dikawinkan dengan bekas tapol. Saya bilang, yang menjalani dan ayahnya saja tidak keberatan, kok orang lain yang protes. Memangnya kalau bekas tahanan politik juga tidak boleh menikah, tanya saya pada mereka," cerita Dariyun.
Sebenarnya waktu diciduk dari rumahnya tanggal 28 November 1965 oleh aparat  Koramil Kecamatan Pacet, Cianjur, Dariyun sudah mempunyai istri dan seorang anak, Tavip Budiawan, yang saat itu masih berusia 1 tahun. 
 "Tahun 1967 ketika saya masih ditahan di Kodim Cianjur, istri saya datang bersama seorang tentara. Ia minta saya menceraikannya karena mau kawin dengan tentara yang mengantarnya itu. Ya sudah, kalau sudah seperti itu buat apa dipertahankan," kata Dariyun. 
Selama 4,5 tahun Dariyun ditahan di Kodim Cianjur. Kemudian dipindahkan ke Nusa Kambangan. Setelah 4 bulan di Nusa Kambangan, pertengahan 1970 dengan KRI Ujung Pandang Dariyun bersama tahanan-tahanan lainnya dibawa ke Pulau Buru. 
 "Dari tahun 1970 sampai sekarang  saya belum pernah meninggalkan Pulau Buru. Kalau nanti saya meninggal, saya ingin dikuburkan  di pulau ini," kata Dariyun sambil mengelus kepala Dimas Rangga yang asyik melahap mie rebusnya. 
 "Tapi sebelum meninggal, saya ingin menengok Cianjur. Anak saya dari istri pertama, Tavip Budiawan yang sekarang bekerja di Singapura, sudah janji mau ngajak saya menengok kampung," tambahnya.
Laki-laki  jangkung ini mengaku ditahan dengan alasan yang tak jelas. 
 "Saya dulu bekerja di perkebunan teh  Ciseureuh, Cipanas, Cianjur, milik PT Mulia. Seperti kebanyakan buruh lainnya, terus terang saya ikut serikat buruh perkebunan Sarbupri yang mungkin dianggap underbouw PKI sehingga saya diciduk Koramil," cerita Dariyun. 
"Tetapi selama penahanan, baik di Kodim Cianjur, di Nusa Kambangan maupun  di Pulau Buru, hanya ada tiga pertanyaan yang harus saya jawab dan saya akui, yaitu kamu latihan di Lubang Buaya, kamu anggota PKI atau Pemuda Rakyat,  dan mana senjata yang kamu miliki. Sampai sekarang saya tidak pernah bisa menjawab ketiga pertanyaan itu," tambahnya. "Tapi sudahlah, bertahun-tahun saya ditahan tanpa diadili, adalah juga masa lalu saya. Masa depan saya adalah anak ini," kata Dariyun sambil memeluk Dimas Rangga, yang telah menghabiskan mie rebusnya.
Suara azan Maghrib berkumandang. Begitu azan berhenti, Desa Savana Jaya yang memang tenang   karena tak banyak orang dan kendaraan berlalu lalang di jalan raya, terasa semakin sepi. Di alun-alun, sebuah bangunan besar dengan atap seng dan tiang kayu tak lagi berdinding, nampak gelap dan menyeramkan. Beberapa ekor kuda dan lembu masih merumput meskipun hari mulai gelap. Bangunan semi permanen yang tak lagi berfungsi ini adalah bekas gedung kesenian untuk berbagai kegiatan para tapol.

Desa Savana Jaya, ketika masih dihuni para tapol lebih dikenal dengan sebutan Unit 14. Unit ini pada tanggal 20 Juni 1972  diresmikan namanya menjadi Desa Savana Jaya. Peresmian dilakukan oleh Jenderal M. Panggabean yang ketika itu menjadi Panglima ABRI. Berbaur dengan para transmigran, bekas para tapol, termasuk Dariyun, kini menghabiskan hidup dengan bertani.

Hasil pertanian  bekas para tahanan politik dan para transmigran itu menjadikan Pulau Buru sebagai lumbung padi bagi Provinsi Maluku. Selain hidup tenang, mereka juga bisa hidup dengan layak. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang berhasil, sehingga di Desa Savana Jaya maupun desa-desa lainnya yang dihuni bekas tapol dan transmigran seperti desa Waefele, Waekerta, Kubalahin dan Mako, bisa dijumpai rumah-rumah mewah dengan arsitektur  modern, dengan mobil parkir di garasinya.

\\\"Para bekas tapol dan transmigran memang memberi kontribusi cukup besar bagi perekonomian Pulau Buru, khususnya  Kabupaten Buru. Mereka adalah andalan kami untuk sektor pertanian, karena penduduk asli di sini memang tidak ada yang bertani,\\\" kata Bupati Buru, Husni Hentihu, di rumah dinasnya hari Rabu (6\/4\/2011) malam pekan lalu.  \\\"Di era demokrasi sekarang ini, kewajiban dan hak untuk setiap warga negara adalah sama,\\\" tambahnya.

(asy/asy)

Kayeli, Kota yang Hilang


Kamis 28 April 2011, 10:09 WIB
  • Laporan Dari Pulau Buru (2)


Jakarta - Dari pantai Namlea, ibukota Kabupaten Buru, Desa Kayeli kelihatan hanya sebesar titik putih di seberang lautan. Malam hari, desa yang masuk Kecamatan Waeapo itu berubah jadi seperti seekor kunang-kunang. Sinarnya timbul tenggelam dipermainkan ombak, lantas hilang di kegelapan.

Namlea dan Kayeli berada dalam satu  garis pantai yang melingkari Teluk Namlea. Jalan pintas tercepat menuju desa itu dari Namlea hanya menggunakan perahu, menyeberangi Teluk Namlea dengan jarak tempuh sekitar 45 menit. Dengan kendaraan darat, waktu tempuhnya bisa empat jam melalui daratan dan pegunungan di pedalaman.

Kayeli adalah kota yang hilang. Sebelum tahun 1919, Kayeli menjadi ibukota Pulau Buru, yang luasnya 11.117  km2, dan sekarang wilayahnya meliputi dua kabupaten yaitu Kabupaten Buru, dan Kabupaten Buru Selatan dengan ibukotanya di Namrole. Kabupaten Buru Selatan berasal dari pemekaran Kabupaten Buru, berdasar Undang-undang Nomor 32 Tahun 2008.

Kejayaan Kayeli sebagai pusat pemerintahan Belanda di Pulau Buru ditandai dengan berdirinya sebuah benteng yang dibangun VOC tahun 1785. Benteng setinggi 2,5 meter itu masih berdiri tegar meskipun ditumbuhi semak belukar, melingkari areal seluas hampir satu hektar. Benteng ini dahulu adalah pusat pemerintahan Belanda di Pulau Buru, di bawah administrasi Provinsi Amboina dengan salah satu gubernurnya yang terkenal yaitu Gouverneur Bernadus Van Pleuren.

Karena musibah banjir besar yang meluap di sungai Waepo di pedalaman pada awal abad 19, Kayeli hancur total.  Pemerintah Belanda kemudian memindahkan ibukota Pulau Buru ke Namlea. Pemindahan ibukota secara resmi ini terjadi pada 31 Agustus 1919, bertepatan dengan hari ulang tahun ke 39 Ratu Wilhelmina, yang lahir 31 Agustus 1880.   Ratu Wilhelmina meninggal tanggal 28 November 1962 pada umur 82 tahun.

Saat masih dijajah Belanda, Kayeli dan daerah-daerah sekitarnya di Pulau Buru berada di bawah kekuasaan raja-raja bermarga Wael, Hentihu, Bessy dan Warhangan. Raja Kayeli sendiri bermarga Wael. Setelah kemerdekaan, kekuasaan para raja hanya menyangkut tanah ulayat dan menjaga kebudayaan.  Meski kekuasaannya sebatas masalah  budaya, tetapi sampai sekarang keturunan raja masih dihormati dan diakui oleh masyarakat setempat, terutama masyarakat asli yang tinggal di pedalaman.

Mochamad Fuad Wael, 59 tahun, adalah keturunan raja bermarga Wael yang kini menjadi pemimpin adat. Masyarakat Kayeli dan Namlea memanggilnya Papa Raja.  Ditemui di rumahnya di Desa Kayeli, Papa Raja mengakui bahwa posisinya kini hanya sebatas pemangku adat.
 "Sebagai pemangku adat, saya sering diminta untuk menyelesaikan masalah yang timbul di masyarakat. Kalau ada persoalan, kita coba dahulu menyelesaikannya secara adat. Kalau secara adat tidak selesai, baru kita bawa ke hukum negara. Persoalan yang sering muncul biasanya menyangkut sengketa tanah," kata Papa Raja, putra Raja Ishak Bin Mansyur Wael, hari Kamis (7\/4\/2011) di rumahnya di Kayeli.
Ratusan hektar tanah di Pulau Buru yang sekarang ditempati para transmigran dan para bekas tahanan politik, dahulu adalah tanah milik Raja Wael.
 "Tahun 1954 ayah saya menghibahkannya kepada pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Bung Karno. Tapi tahun 1968 - 1969 pemerintah Indonesia menjadikannya tempat tahanan bagi mereka yang dituduh komunis," cerita Fuad Wael. Tanah-tanah di Pulau Buru sebagian tidak bersertifikat, karena masih banyak yang statusnya tanah ulayat.
Kayeli kini menjadi desa mati. Bekas-bekas kejayaannya hanya ditandai dengan situs benteng VOC, dan sebuah meriam kecil berkarat yang dipasang di depan pintu gerbang kampung. Moncong meriam peninggalan VOC  itu mengarah ke pantai.

Masuk ke desa melalui pintu gerbang, hanya beberapa anak kecil nampak bermain kejar-kejaran. Di seluruh desa hanya ada sebuah warung kecil yang menjual kebutuhan sehar-hari. Itu pun dengan dagangan yang tidak terlalu lengkap. Beberapa wanita berkerumun di depan warung, inilah satu-satunya keramaian yang ada di desa Kayeli. 

Bentaran biji coklat yang dijemur penduduk hampir memenuhi jalan kampung, nyaris tak mengganggu karena memang tak ada lalu lintas kecuali orang berjalan kaki. Jumlah sepeda motor di desa ini bisa dihitung dengan jari, sedang kendaraan roda empat tidak ada sama sekali. Mata pencarian penduduk Kayeli, selain nelayan juga berkebun coklat.
"Desa Kayeli memang belum merdeka," kata Kepala Desa Kayeli, Muhammad Wael. Mengapa?

 "Karena sejak jaman penjajahan sampai sekarang ini kami penduduk Kayeli belum pernah menikmati listrik PLN, " jawab Muhammad. Berpenduduk 181 KK atau 801 jiwa, hanya beberapa rumah di antara 167 rumah di Kayeli  yang memiliki genset untuk pembangkit listrik sendiri.
 "Dari dulu petugas PLN sudah sering datang menyurvei, mengukur dan mendata, tetapi tidak pernah ada realisasinya. Jadi kami pasrah saja, karena kami memang belum merdeka, " kata Muhammad sambil tertawa.
Abdul Jabar Wailusu, anggota Komisi C DPRD Kabupaten Buru ditemui terpisah, mengaku sedih juga melihat penduduk Desa Kayeli yang masih dalam kegelapan.
 "Bukan cuma Kayeli yang belum dijamah listrik PLN, tapi juga desa-desa pesisir sekitarnya seperti Desa Pela, Keyit, Walapia, Masarete dan Desa Kaki Air. Tahun lalu Komisi C berkunjung ke Kementerian ESDM, dan masalah perlunya penerangan untuk desa-desa pesisir itu kami ajukan. Tapi sampai sekarang belum ada respon. Kami juga sudah ke PLN Provinsi Maluku, hasilnya sama saja. Jadi saya cukup memaklumi apabila banyak penduduk Kayeli yang mengaku mereka belum merdeka," kata Abdul Jabar Wailusu ditemui di Namplea hari Kamis (7\/4\/2011) malam.
Berdiri di pelabuhan Namlea  pekan lalu sebelum tengah malam,  Desa Kayeli sudah hilang dari pandangan mata. Kunang-kunang yang berasal dari listrik rumah penduduk bergenset, sudah dipadamkan. Kayeli, kota masa silam, hilang di kegelapan.
(asy/asy)


Pulau Buru Tak Lagi Menyeramkan


 Kamis 28 April 2011, 09:33 WIB
  • Laporan Dari Pulau Buru (1)


Namlea - Brakk!! Suara jembatan apron KMP Temi  menyentuh dermaga feri pelabuhan Namlea, ibukota Kabupaten Buru, Maluku. Feri yang juga mengangkut belasan kendaraan roda 4 itu tiba di pelabuhan tujuan setelah berlayar sekitar 9 jam dari Ambon. Jarum jam masih menunjuk angka 4 pagi. Pulau Buru masih gulita. Hanya tiga buah lampu di pelabuhan yang menyala. Pulau yang namanya terkesan menyeramkan itu telah berada di depan mata.

Pulau Buru memang punya masa lalu yang menyeramkan. Ini akibat pulau  yang luasnya 11.117  Km2 itu pernah dijadikan lokasi penahanan bagi sekitar  12 ribu orang tahanan politik pada awal pemerintahan Soeharto. Tetapi kini Pulau Buru sudah berubah. Penempatan para tapol di Buru pada akhirnya malah meninggalkan berkah. Apalagi setelah pemerintah mendatangkan transmigran dari Pulau Jawa sekitar tahun 1979 - 1980, maka Pulau Buru menjadi lumbung padi terbesar di Provinsi Maluku.

Para bekas tapol yang memilih menetap di Pulau Buru bersama para transmigran, hingga kini  telah berhasil mencetak sawah beririgasi teknis seluas hampir 20 ribu hektar. 
 "Penduduk asli Pulau Buru tidak ada satu pun yang punya keahlian sebagai petani. Karena itu saya berani memastikan, pertanian bisa berkembang di sini karena kedatangan orang-orang dari Pulau Jawa, entah dia sebagai tapol atau sebagai transmigran," kata Emil Salim Malaka, penduduk kota Namlea, Ibukota Kaupaten Buru. 
Di pasar Namlea, beras hasil pertanian lokal melimpah dan dijual dengan harga murah. Meskipun beberapa pedagang masih menjual bahan makanan pokok tradisional yaitu papeda atau sagu dan singkong, tetapi pada umumnya masyarakat setiap hari sudah makan nasi. Papeda atau singkong rebus memang masih dimakan oleh sebagian penduduk, itu pun hanya untuk makan siang  selain juga terhidang nasi.

Memang, di sekitar Kota Namlea yang berada di lembah dan menghadap lautan, sama sekali tidak nampak lahan pertanian kecuali lahan kosong ditumbuhi berbagai jenis tanaman liar termasuk kayu putih (Meialeuca leucadendra L). Bahkan hingga ke pedalaman sekitar 30 kilometer, tanah berbukit di kanan kiri jalan hanya berupa hutan. Tetapi begitu memasuki Desa Savana Jaya di Kecamatan Waeapo yang berjarak 40 kilometer dari Namlea, mulai tampak lahan menguning dengan padi yang siap dipanen, maupun lahan basah yang mulai ditanami bibit-bibit padi. Setelah itu, hingga ke wilayah Kecamatan Air Buaya, pemandangan tak ubahnya pedesaan di Pulau Jawa. 
"Hasil pertanian di Kabupaten Buru makin tahun makin meningkat sehingga sektor pertanian melampaui sektor perikanan," kata Bupati Buru, Husnie Hentihu di rumah dinasnya hari Rabu (6\/4\/2011) dua pekan lalu. 

"Apalagi setelah Presiden SBY melakukan panen raya di sini  Maret 2006, semangat penduduk untuk mencetak sawah makin terpacu sehingga setiap tahunnya  tercetak sawah baru seluas seribu lima ratus hektar," kata Husnie bangga.
Antara tahun 1969 - 1971, ketika sekitar 12 ribu tahanan politik mulai ditempatkan di Pulau Buru, masih belum ada jalan beraspal di luar kota Namlea. Para tapol itu dibawa ke pedalaman dengan perahu melalui Sungai Waeapo, dan kemudian ditempatkan di barak-barak yang disebut unit, yang dibangun di tepi sungai. Mereka ditempatkan secara terpisah di 20 unit dengan jarak satu unit dengan unit lainnya sekitar 5 kilometer.

Sekarang, jalan beraspal mulus sudah menembus pedalaman Pulau Buru, menghubungkan unit satu dengan lainnya, bahkan hingga mencapai kota Namrole, ibukota Kabupaten Buru Selatan,  dan terus ke pesisir selatan Pulau Buru yang menghadap ke Laut Banda. 


Jalanan selebar 4 meter yang menembus pedalaman dari Namlea itu, sayangnya, sempat dipersoalkan oleh para kontraktor di Kabupaten Buru bahkan juga di Ambon. Sebab proyek besar itu dikerjakan oleh kontraktor yang juga anggota DPR-RI bernama Sonny  Waplau melalui beberapa perusahaannya antara lain Pt Multididya Tehnical, PT Tarawesi dan PT Equator.
"Pembangunan  jalan hotmix itu adalah proyek multiyears. Tahun lalu nilainya Rp 200 miliar, tahun ini Rp 100 miliar. Lumayan besar, tapi kontraktor lokal sama sekali tidak ikut menikmati, meskipun Sonny Waplau asalnya  juga dari Maluku," kata Amir Latuconsina, Ketua DPD Gapeknas (Gabungan Pelaksana Konstruksi) Provinsi Maluku.  

"Sonny  Waplau adalah anggota Komisi 5 yang antara lain membidangi masalah perhubungan. Selain itu  dia juga anggota Panitia Anggaran. Maka perlu dipertanyakan, bagaimana proyek hotmix ini hanya jatuh ke dia," tanya Lutfi Assegaf, Wakil Ketua DPD Gapensi Provinsi Maluku, di tempat terpisah, di Namlea, pekan lalu.
Terlepas dari proyek besar yang dipersoalkan kontraktor lokal itu, tetapi Pulau Buru memang terus memperbaiki diri. Pulau yang terdiri dari  dua kabupeten yaitu Kabupaten Buru dan Kabupaten Buru Selatan ini sekarang tidak terisolir lagi. Sejak tahun lalu, setiap malam secara bergantian dua buah kapal yaitu KMP Temi dan KM Elizabeth melayari Ambon - Namlea - Ambon. Sedang Cassa 220 berkapasitas 20 kursi yang dioperasikan PT Nusantara Buana Air setiap hari Kamis dan Jumat terbang dari Ambon - Namlea - Namrole - Ambon.

Pulau Buru adalah anugerah Tuhan. Di Dunia, hanya ada dua negara yang menghasilkan kayu putih, yaitu Indonesia dan Vietnam. Di Indonesia, tempat penghasil kayu putih itu tak lain adalah Pulau Buru. Di semua lahan kosong, hutan dan bukit-bukit yang ada di pulau ini, pohon kayu putih tumbuh liar sebagai semak belukar. Sebelumnya, selama bertahun-tahun pemanfatan kayu putih itu dimonopoli oleh seorang pengusaha. Tetapi sejak tahun lalu, beberapa warga termasuk seorang pemuda bernama Agil Buftan, 35 tahun, menangkap dan mengembangkan tanaman yang jadi ikon Pulau Buru ini. 

Dengan mendidirkan badan usaha CV Elan Vital, Agil memiliki 4 ketel penyulingan dengan kapasitas produksi antara 2 sampai 2,5 ton/bulan, dan mempekerjakan sekitar 70 orang. 

"Delapan orang operator ketel berstatus pegawai tetap, sedang sisanya pegawai borongan yang tugasnya memetik daun-daun kayu putih di hutan. Sekilo daun kayu putih hasil petikan mereka saya beli Rp 400. Kalau setiap orang setiap harinya bisa memperoleh 100 sampai 140 kilo, hasil mereka termasuk lumayan untuk ukuran Namlea," kata Agil menjelaskan. Saat ini, lanjutnya, harga sekilo minyak kayu putih produksinya Rp 130 ribu/kilogram. 
 "Saya akan  meningkatkan kapasitas produksi, dan BRI telah setuju untuk memberi KUR kepada saya. Mudah-mudahan segera terealisasi," kata alumnus perguruan tinggi swasta di Malang, Jawa Timur ini.
Pertanian, kayu putih, sayur mayur, buah-buahan, adalah hasil tanah Pulau Buru yang tidak saja bisa dinikmati oleh penduduk pulau yang seluruhnya berjumlah sekitar 120.000 jiwa, tetapi juga dinikmati penduduk pulau-pulau sekitarnya termasuk penduduk ibukota Provinsi Maluku, Ambon. 
"Saya yakin, Pulau Buru terutama Kabupaten Buru akan terus berkembang untuk mengejar ketertinggalannya dari  wilayah  lain di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Persoalannya kan cuma satu, belum ada investor yang  menanamkan modalnya di sini," kata Wakil Bupati Buru, Ramly Umasugi, hari Jumat (8\/4\/2011)  lalu.
(asy/asy)

Rabu, 27 April 2011

Membongkar Sejarah Makam Kalibata

Bonnie Triana | 27 April 2011

Karena dituduh komunis, makam Heru Atmodjo di Kalibata dibongkar. Revanchisme atau ahistorisme?


AWAN mendung menaungi Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata Selasa sore, 26 April 2011. Aroma hujan terbawa angin. Bulir-bulir air mulai berjatuhan dari langit. Seorang petugas keamanan yang duduk di depan gerbang utama langsung berdiri dan menanyakan tujuan kedatangan Historia Online.
Merasa tak punya kuasa, dia memanggil rekannya yang lain, yang ternyata juga tak berani memberikan izin masuk ke areal pemakaman. Sejurus kemudian dia menelpon seseorang.
“Ini bapak bicara sendiri saja pada atasan,” katanya sambil menyodorkan handphone Nokia type E71 miliknya.
“Lapor dulu ke Garnizun Kodam Jaya di Gambir dan Depsos, kalau sudah ada surat izin nanti baru bisa masuk,” kata suara di ujung telpon kepada Historia Online.  
Kabar pembongkaran makam Letkol. (Pnb) Heru Atmodjo yang wafat pada 29 Januari itu telah banyak diberitakan media massa. Pembongkaran makam dan pemindahan jasad orang yang disebut-sebut terlibat peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965 itu pun jadi topik hangat di berbagai situs jejaring sosial. Gencarnya pemberitaan membuat pengelola makam jadi tertutup dan hati-hati menerima pengunjung. Makam Heru dibongkar pada Jumat malam, 25 Maret 2011. Jasadnya diterbangkan ke Surabaya dan dikuburkan kembali pada 26 Maret di Sidoarjo, tepat di sebelah pusara ibunya.

Dari siaran pers yang dikirim oleh Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965/1966 disebutkan bahwa pemindahan jenazah Alm. Heru Atmodjo dilakukan oleh keluarga dalam keadaan terpaksa. Tak beberapa lama setelah Heru dimakamkan, sekelompok orang yang menamakan diri Gerakan Umat Islam Bersatu (GUIB) berunjuk rasa di kantor DPRD Jawa Timur  pertengahan Maret lalu. Mereka menganggap jenazah Heru Atmodjo tidak layak dimakamkan di sana karena dia komunis yang terlibat dalam  G30S 1965. 
Tak lama kemudian tujuh aparat tentara Angkatan Darat yang mengaku dari Markas Besar TNI di Cilangkap –berpakaian dinas dan sipil– mendatangi pihak keluarga dan meminta paksa agar mereka memindahkan jenazah Alm. Heru Atmodjo. Pihak keluarga yang merasa tertekan akhirnya terpaksa memindahkan jenazah Heru.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam suratnya kepada Panglima TNI Republik Indonesia Laksamana TNI Agus Suhartono mempertanyakan pembongkaran dan pemindahan itu. Menurut KontraS, sebagai pemegang Gelar Bintang Gerilya Heru berhak untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. 
“Apabila terjadi  pemindahan makam jenazah almarhum maka seharusnya  melalui keputusan hukum yang setara, baik dengan keputusan hukum pemberian Gelar Bintang Gerilya maupun keputusan hukum yang dikeluarkan untuk pemakaman di Taman Makam Pahlawan,” kata Kordinator KontraS Haris Azhar dalam surat bertanggal 27 April 2011 itu.  
Dalam surat yang sama KontraS mengatakan dugaan keterlibatan Heru Atmodjo dalam peristiwa G30S/PKI tidak bisa hanya didasarkan pada stigma, kecurigaan dan desakan pihak-pihak tertentu. Tetapi harus dilihat dalam fakta sejarah yang proporsional dan menyeluruh. 
“Dan dalam hal ini,” demikian surat KontraS, “almarhum telah membantah tentang keterlibatannya dalam G30S/PKI. Lebih jauh dari itu sampai saat ini belum ada proses pengadilan yang fair dan jauh dari intervensi politik ataupun upaya pengungkapan kebenaran terhadap mereka yang dituduhkan terlibat dalam peristiwa G30S/PKI.”
Dampak dari stigmatisasi komunis yang dilakukan pemerintah Orde Baru selama puluhan tahun masih terjadi sampai hari ini. Beberapa tahun lalu, ketika sekelompok keluarga korban pembunuhan massal 1965 bermaksud menggali kubur orangtua mereka di daerah Wonosobo pun mendapat hambatan dari sejumlah warga yang menolak penggalian itu. Keributan tersebut sempat direkam dalam film Mass-Grave karya Lexy Rambadeta. Stigmatisasi terhadap komunisme berdampak pada cara pandang yang tak seimbang dan main pukul rata dari kelompok-kelompok tertentu terhadap sejarah eksistensi gerakan kiri di negeri ini.

Alergi terhadap komunisme, sebagai musuh kolektif zaman Orde Baru, terbawa sampai sekarang. Serangan yang dilakukan kelompok-kelompok fundamentalis terhadap apa yang mereka sebut sebagai komunis pun tak jelas berdasar apa: apakah mereka melakukan itu karena menganggap komunis itu atheis yang bertentangan dengan akidah Islam atau karena tuduhan keterlibatan PKI dalam peristiwa G30S 1965? Agaknya kedua tuduhan itu diberlakukan pada kasus Heru Atmodjo: seorang komunis-atheis yang terlibat dalam peristiwa G30S 1965 tak pantas dimakamkan di makam pahlawan sekelas Kalibata.

Tentu saja pandangan demikian tak lepas dari peran Orde Baru yang menjadikan sejarah sebagai alat legitimasi belaka. Penyeragaman versi sejarah telah menyeragamkan pemahaman orang pada peristiwa sejarah yang pernah terjadi, khususnya tentang peristiwa G30S 1965 dan secara umum pada sejarah gerakan kiri di Indonesia. Semua yang berlabel komunis disetarakan dengan pemberontak nista yang tak layak dicatat dalam sejarah, dihargai jasa-jasanya dan bahkan dikubur di pemakaman pahlawan.

Di taman makam pahlawan Kalibata sendiri terdapat makam ribuan tokoh, baik yang bergelar pahlawan maupun yang mendapatkan bintang mahaputra. Sebagian besar militer. Belakangan setelah tokoh veteran perang kemerdekaan menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, veteran pun boleh dimakamkan di TMP Kalibata. Karena alasan itu pula Heru Atmodjo, yang pernah terlibat dalam perang kemerdekaan, dimakamkan di sana.

Lantas siapa saja yang dimakamkan di Kalibata? Apakah makam ini dibangun khusus untuk orang-orang antikomunis?

TMP Kalibata, Jakarta Selatan, mulai dibangun pada 1953. Gerbang utama TMP didesain oleh arsitek masyhur Frederich Silaban yang juga pernah mendesain masjid Istiqlal. Sebelum dibangun di Kalibata, taman makam pahlawan terletak di Ancol. Namun karena kawasan tersebut semakin sumpek, Presiden Sukarno memerintahkan pemindahan makam pahlawan ke Kalibata. Tepat pada hari pahlawan 10 November 1954, Presiden Sukarno meresmikan TMP Kalibata sebagai tempat pemakaman yang baru menggantikan Ancol.

Kerangka para pahlawan yang sebelumnya dikubur di Ancol pun dipindahkan ke Kalibata. Selain Haji Agus Salim ada ratusan jasad pahlawan yang dipindah kuburnya ke Kalibata, di antaranya adalah mereka yang di tembok nama disebut sebagai “Pahlawan Kapal Tujuh.” Ada 21 orang pahlawan dari Kapal Tujuh atau kapal Zeven Provincien yang dikubur di TMP Kalibata. Mereka adalah: Martin Paradja (tertulis di tembok nama TMP Kalibata “Paradja”), Gosal, Rumambi, Kuluot, Kesehung, Getinoatu, I Duwan Njoman, Aritonang, Amir, Moh. Basir, Suwandi, Sugino, Sakam, Miskam, Misman, Sukimin, Sukirto, Simun, Sukiran, Jasir dan Kemas Umar.

Pemberontakan kapal Zeven Provincien dipicu oleh pengumuman pemerintah kolonial pada 1 Januari 1933 untuk menurunkan gaji pegawai sebesar 17 persen. Akhir Januari, ratusan pelaut di Surabaya berunjuk rasa menentang keputusan itu. Kapal Zeven Provincien yang sedang berpatroli di Aceh pun mendengar kabar unjuk rasa tersebut. Adalah Maud Boshart, kelasi Belanda pro Indonesia, yang pertama kali mendengar berita itu dari ruang komunikasi di kapal. Dia membocorkan info itu kepada para pelaut Indonesia.

Pelaut Indonesia seperti Martin Paradja, Rumambi, Hendrik dan Gosal yang tersulut oleh berita aksi pemogokan di Surabaya diam-diam mengadakan rapat saat kapal merapat di Pelabuhan Sabang, Aceh. Beberapa kelasi Belanda pimpinan Maud Boshart turut dalam rapat itu. Para kelasi Indonesia dan segelintir kelasi Belanda pro Indonesia sepakat untuk melancarkan pemberontakan serta menguasai kapal. Usai rapat mereka menyanyikan lagu “Internasionale”, lagu wajib yang biasa dibawakan oleh gerakan buruh dan komunis. 

Pada 4 Februari 1933, pukul 22:00 malam, pemberontakan dimulai bersamaan dengan bunyi tiupan peluit. Pemberontak berhasil menguasai kapal selama seminggu. Pemerintah mengirim dua kapal perang dan beberapa pesawat pembom. Karena menolak menyerah, pesawat membom kapal Zeven Provincien. Martin Paradja, pemimpin pemberontakan tewas seketika. 
Begitu juga dengan 20 kelasi Indonesia dan 3 kelasi Belanda. Keduapuluh kelasi Indonesia yang tewas (plus Martin Paradja) itulah yang dimakamkan di Kalibata.  
Kapal dapat kembali dikuasai pemerintah. Sejumlah pemberontak yang masih hidup ditangkap dan diadili. Maud Boshart dijatuhi hukuman 16 tahun penjara dan Kawilarang, juga pemimpin pemberontak, dihukum 18 tahun penjara. Pemerintah kolonial menuduh keterlibatan gerakan komunis dalam pemberontakan itu.

Selain para pemberontak kapal Zeven Provincien, juga ada tokoh kontroversial lain yang juga dimakamkan di TMP Kalibata. Dia adalah Adam Malik. Tokoh politik pengikut Tan Malaka dan anggota partai Murba itu sempat dituduh jadi agen CIA di Indonesia. Dalam sebuah laporan rahasia CIA, Adam disebut-sebut sebagai “seorang Marxis”. 
Sampai saat ini ajaran Karl Marx dilarang di Indonesia, tentu juga tabu mengaku secara terbuka sebagai seorang Marxis. Adam Malik mencapai puncak karier politiknya sebagai wakil presiden. Di masa mudanya dia dikenal termasuk pemuda kiri yang progresif dan terlibat di dalam pusaran arus revolusi Indonesia.

Dari sekian tokoh yang dimakamkan di TMP Kalibata yang paling menarik dibahas adalah Alimin. Alimin bin Prawirodirdjo lahir di Solo pada 1889 dan wafat di Jakarta, 24 Juni 1964. Alimin salah satu dari sekian tokoh utama di balik berdirinya Partai Komunis Indonesia (PKI). Pascapemberontakan PKI 1926, Alimin pergi ke Moskow, Uni Soviet untuk bergabung dengan organisasi komunis internasional, Komintern. 
Sebagai tokoh komunis terkemuka dia bersahabat baik dengan Ho Chi Minh, pemimpin partai komunis Vietnam yang melancarkan perang melawan Amerika Serikat pada saat negeri Paman Sam itu menginvasi Vietnam. Alimin pulang ke Indonesia pada 1946. 
Ketika PKI mulai berada di bawah kendali triumvirat Aidit-Njoto-Lukman, Alimin tersingkir dari pucuk kepemimpinan partai namun sesekali kader-kader muda PKI menyambanginya untuk sekadar mendapat nasihat darinya. Dia meninggal pada 1964 dan karena jasa-jasanya berjuang melawan Belanda Alimin dimakamkan di TMP Kalibata.
“Dia jelas komunis. Saya sempat melihat fotonya dipasang di ruang perpustakaan di TMP Kalibata karena di sana ada beberapa foto para pahlawan yang dikubur,” kata sejarawan Asvi Warman Adam.
Presiden Sukarno menetapkan bahwa semua orang yang terlibat di dalam pemberontakan PKI 1926 diangkat sebagai perintis kemerdekaan. Mereka mendapatkan piagam penghargaan dan pemerintah, melalui Departemen Sosial, memberikan tunjangan pensiunan sebagai veteran kepada mereka yang terlibat di dalam pemberontakan melawan Belanda itu. Sementara itu dalam buku putih terbitan Sekretariat Negara zaman Moerdiono jadi Mensesneg pemberontakan PKI 1926 direken sebagai bibit awal tradisi memberontak yang dimiliki oleh PKI. 

Pada buku itu disebutkan bahwa PKI telah memberontak sebanyak tiga kali, yakni pada 1926, 1948 dan 1965. Tak dijelaskan pemberontakan 1926 itu ditujukan kepada siapa.

Pembongkaran makam Heru Atmodjo mungkin memuaskan bagi pihak-pihak yang tak menghendakinya dikubur di sana. Mungkin pula mengecewakan bagi mereka yang yakin bahwa Heru layak dimakamkan di TMP Kalibata. Namun lebih dari semua, pembongkaran makam Heru yang belum genap seratus hari itu –dan baru pertama kali terjadi sepanjang sejarah– menjelaskan bahwa kita tak pernah berani menatap masa lalu. 
Sekaligus menunjukkan sisi ketidakjujuran kita memandang sejarah: bahwa seorang komunis pun pernah punya jasa bagi negeri ini sebagaimana pejuang Republikein yang berjibaku menentang penjajahan di bawah panji-panji agama: Islam, Kristen, Hindu, Budha apa pun agamanya demi Republik Indonesia. Dan tentu karena negara ini berdiri untuk semua golongan.

Sumber: Historia 

Selasa, 26 April 2011

YPKP: Heru Atmodjo Tak Sadar Namanya Dicatut Letkol Untung


SELASA, 26 APRIL 2011, 09:20 WIB | LAPORAN: TEGUH SANTOSA

letkol untung/ist

RMOL. Tuduhan bahwa Letkol Heru Atmodjo pernah terlibat dalam peristiwa penculikan enam perwira tinggi dan seorang perwira muda TNI Angkatan Darat pada 1965 silam hanya salah sangka, kalau bukan fiksi belaka. Nama Heru Atmodjo memang dicantumkan dalam daftar pimpinan Dewan Revolusi yang dimumkan Letkol Untung pada pagi hari 1 Oktober 1965.

Beberapa jam sebelumnya ketujuh perwira TNI AD diculik dan dibunuh oleh kelompok Detasemen Kawal Pribadi Presiden Cakrabirawa pimpinan Untung yang juga merupakan perwira TNI AD.

Kehadiran Heru Atmodjo di Istana Negara pada 30 September malam atas perintah Panglima AURI Marsdya Oemar Dhani adalah untuk menginformasikan perkembangan konstelasi politik dan melindungi Presiden Sukarno. Namun menurut catatan sejarah konvensional Heru ke Istana karena diperintahkan menculik Sukarno.

Menurut Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966, Heru Atmodjo sama sekali tidak sadar bahwa namanya dicatut oleh kelompok Untung pada keesokan pagi. YPKP merasa perlu menjelaskan hal ini menyusul berkembangnya kabar mengenai pemindahan makam Heru Atmodjo dari TMP Kalibata.
“Beliau merasa dijebak oleh skenario operasi intelejen yang didukung oleh Amerika Serikat dengan CIA dan Angkatan Darat faksi Soeharto. Mereka ingin menjatuhkan kepemimpinan Sukarno yang anti imperialis secara tidak langsung. Penghancuran Sukarno tanpa penghancuran dukungan rakyat, terlebih dukungan penuh dari massa Partai Komunis Indonesia, sama artinya tidak mungkin. Oleh karena itu, rekayasa G30S menjadi dalih atas pembunuhan dan penangkapan seluruh kekuatan gerakan revolusioner saat itu. Alm. Heru Atmodjo berada di barisan revolusioner itu,” tulis YPKP 65/66 dalam keterangan yang ditandatangani Ketua YPKP 65/66, Heru Suprapto, dan Sekretaris, Bedjo Untung.
YPKP juga mengingatkan bahwa Heru Atmodjo adalah seorang pejuang yang telah membuktikan kecintaannya pada republik sejak masa revolusi kemerdekaan menghadapi kolonial Belanda. Sebagai pilot pesawat tempur Heru Atmodjo juga pernah ditugaskan dalam operasi pembebasan Irian Barat serta penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta dan DI TII yang diduga memperoleh dukungan dari kaum nekolim.

Sedianya Presiden Sukarno menyematkan bintang Bintang Gerilya kepada Heru Atmodjo. Tetapi, karena kisruh politik menyusul peristiwa G30S, pemberian bintang itu tertunda hingga beberapa lama. Bintang Gerilya inilah, menurut hemat YPKP, yang membuat Heru Atmodjo pantas dimakamkan di TMP Kalibata.
“Pada acara pemakaman (29 Januari), wakil pemerintah dan AURI mengucapkan penghargaan atas jasa Alm. Heru Atmodjo. Upacara kemiliteran AURI dengan salvo senjata, pengheningan cipta, iringan musik untuk penghormatan terakhir, dan penutupan peti jenasah dengan Bendera Merah Putih menunjukan Alm. Heru Atmodjo layak untuk dihormati sebagai anak bangsa yang berjasa di dalam revolusi kemerdekaan Indonesia,” demikian YPKP. [guh]
Sumber: RMOL.Co

Selasa, 19 April 2011

Provokasi Madiun Korban Perdana Perang Dingin

Selasa, 19 April 2011



Pada pertengahan Pebruari 1948, pemerintah Hatta mengerluarkan rencana rasionalisasi dan rekonstruksi angkatan perang sebagai berikut :

1. Menyingkirkan unsur-unsur revolusioner dan progesif dalam kalangan militer.
2. Menempatkan sebanyak-banyaknya perwira-perwira yang dapat diterima oleh Belanda, supaya dalam perundingan mengenai militer dengan Belanda tidak mengalami kesulitan dan memudahkan pemasukan tentara federal ke dalam angkatan perang RIS.

Pertengahan Februari 1948, Kolonel AH Nasution datang dari Yogya sebagai Komandan Divisi Siliwangi yang hijrah dari Jawa Barat. Kedatangan pasukan hijrah ke daerah pusat pemerintah republik, menimbulkan perobahan imbangan kekuatan antara yang pro dan kontra rasionalisasi yang direncanakan Pemerintah Hatta. Ini adalah suatu langkah dalam melaksanakan rencana bersama dengan Belanda untuk pembentukan tentara federal yang baru. Pada 4 Mei 1948 diumumkan suatu dekrit presiden mengenai rencana ini. Timbulah protes keras dari 30 komandan battalion dan 2 panglima divisi yaitu Kolonel Sungkono dari Kediri dan Kolonel Sutarto dari Solo. Panglima Besar Sudirman juga mengeluarkan surat edaran untuk menghentikan rasionalisasi ini.

Pada 10 Juni 1948, Critehley (Austria) dan Abu Boris, pengganti Frank Graham, wakil Amerika mengajukan usul, bahwa akan dibentuk suatu pemerintah federal sementara, angkatan perang harus dikurangi, bahwa republik akan menyerahkan kedaulatannya kepada pemerintah Federal sementara dan lain-lain. Pada 17 Juni 1948, pemerintah Hatta mengeluarkan komunike yang menyatakan bahwa “Usul Australia-Amerika dianggap oleh pemerintah republik sebagai suatu hal yang baik.”

Amerika Serikat merasa kurang puas dengan program rasionelisasi dan rekonstruksi, karena dianggapnya terlalu lambat, dan dengan segera menempuh usaha yang kasar, sebagaimana yang sudah dilakukannya di Eropa, Tiongkok, Birma, India, dan lain-lain, yaitu dengan aktif mencampuri secara langsung soal dalam negeri Indonesia.

Pada tanggal 21 Juli 1948 diselenggarakanlah Konferensi Sarangan, yaitu pertemuan antara dua orang Amerika, Gerard Hopkins, penasehat urusan politik luar negeri dari Presiden Truman, dan Cohran, Wakil Amerika pada komisi jasa-jasa baik PBB dengan enam orang Indonesia: Presiden Sukarno, Moh. Hatta, Natsir, Sukiman, Sukamto, dan Moch. Roem.

Konferensi Sarangan yang rahasia itu telah menelorkan putusan yang bernama “Red Drive Proposal” (usul-usul pembasmian kaum merah), dengan biaya yang disetujui kedua belah pihak. Pemerintah Indonesia menerima bantuan uang dari state department (kementrian luar negeri Amerika Serikat) sebanyak 56.000.000 US$, yang diterima langsung dari Biro Konsultasi Amerika Sarikat di Bangkok. “Red Drive Proposal” dipraktekkan dengan bermacam-macam provokasi.

Pemalsuan dokumen FDR berlangsung untuk memfitnah, bahwa FDR dan PKI mempersiapkan pemberontakan, dan disiarkan oleh Surat Kabar Murba pada tanggal 7 April 1948. Dokumen palsu inilah yang dijadikan dasar alasan Hatta, dalam pidatonya di depan Badan Pekerja KNIP tanggal 20 September 1948, Perdana Menteri Hatta meminta kepada BP KNIP memberikan kuasa penuh kepada Presiden selama waktu tiga bulan dengan alasan: “PKI Musso telah mengadakan Coup, perampasan kekuasaan di Madiun, dan di sana mendirikan suatu pemerintahan baru sebagai permulaan untuk merobohkan Pemerintah Republik Indonesia”…”Tersiar pula berita – entah benar entah tidak – bahwa Musso akan menjadi Presiden Republik rampasan itu dan Mr. Amir Syarifuddin sebagai perdana menterinya.”

Pada 3 Juli 1948 berlangsung terror pembunuhan terhadap Kolonel Sutarto, Komandan Divisi IV Panembahan Senopati. Sutarto adalah pengikut setia dari Gerakan Demokrasi Rakyat, dan bersimpati sekali terhadap PKI.

Pada tanggal 5 Agustus 1948, Drs. Muwardi dari Barisan Banteng dan GRR mendapat biaya 3 juta ORI (Oeang Republik Indonesia) untuk memancung suatu insiden militer, supaya kemudian pemerintah mempunyai alasan legal untuk bertindak.

Awal Agustus 1948 Musso kembali ke Indonesia bersama Suripno, 14 Agustus 1948, dalam organ FDR, “Revolusioner”, dimuat artikel Musso: “Usul-Usul tentang Front Nasional”. Dia menulis “Kelemahan Revolusi Nasional kita sejak semula sampai sekarang ini adalah tidak adanya Front Nasional.” Pada 16 Agustus 1948 dimuat tulisan Musso dalam organ “Revoulisoner” mengenai selfkritik dalam revolusi nasional, mengenai kesalahan-kesalahan prinsipil dalam revolusi, dan mengenai jaminan kemenangan revolusi. Dikemukakan bahwa wakil klas buruh Indonesia sekarang ini tidak menduduki tempat dalam permerintah. Ini akan menyebabkan pemerintah tak akan menjalankan politik revolusioner anti imperalis. Menurut Musso, kesalahan umum revolusi kita adalah sejak semula bersifat defensif. Ini tampak dalam hubungan revolusi dengan hak milik kaum kolonial.

Pada 21 Agustus 1948, Politbiro CC PKI mengajukan inisiatif untuk menyatukan PKI dengan Partai Sosialis dan PBI, menjadi satu Partai Komunis Indonesia. Pada 25 – 27 Agustus 1948 di Yogyakarta berlangsung konfrensi luar biasa PKI. Masalah pokok yang dibahas adalah laporan khusus Musso “Jalan Baru Untuk Republik Indonesia”.

“Resolusi Jalan Baru Untuk Republik Indonesia” merupakan selfkritik pimpinan PKI atas kesalahan-kesalahan prinsipil dalam revolusi Indonesia di bidang organisasi, politik dan ideology. Antara lain : “…tahun 1935 PKI illegal didirikan di Indonesia atas inisiatif saudara Musso. Selanjutnya PKI illegal memimpin perjuangan anti fasis selama pendudukan Jepang. Kesalahan pokok dilapangan organisasi yang dibuat oleh organisasi illegal ialah, tidak dimengertinya perobahan-perobahan keadaan politik di dalam negeri sesudah proklamasi kemerdekaan. Sebenarnya pada saat itulah PKI harus melepaskan bentuknya yang illegal dan muncul di hadapan masyarakat Indonesia dengan terang-terangan…adanya tiga partai klas buruh (PKI legal, PBI, Partai Sosialis) yang semuanya dipimpin oleh PKI illegal, telah mengakibatkan ruwetnya pergerakan buruh pada umumnya. Kesalahan selanjutnya yang besar pula ialah, bahwa kabinet Amir Syarifuddin mengundurkan diri dengan suka rela dan dengan tidak ada perlawanan sama sekali. Kaum komunis pada waktu itu tidak ingat akan ajaran Lenin: “Soal pokok dari pada revolusi adalah soal kekuasaan negara”.

Dengan rencana Resolusi Jalan Baru Untuk Republik Indonesia, tapi bagi Amerika Serikat, ini betul-betul merupakan tantangan terhadap pelaksanaan strateginya membendung komunisme di Asia, yaitu pelaksanaan “The Policy of Containment”. Tentu saja PKI-lah yang menjadi sasarannya untuk strategi sejagad membendung komunisme. Dengan terbentuknya kabinet Hatta tanpa ikutnya FDR, usaha Amerika untuk mencegah duduknya komunis dalam pemerintah, telah menang selangkah. Kini tinggal mencegah masuknya PKI kembali, untuk kemudian membasmi seluruhnya.

Pada 1 September 1948, pemerintah mulai dengan operasi Solo, dengan menculik Slamet Wijaya dan Pardjio, keduanya kader PKI Solo. Pada tanggal 7 September 1948, Mayor Esmara, Sugeng, Kapten Sutarto, Kapten Supardi juga diculik. 16 September 1948 gedung Dewan Pusat Pesindo di jalan Singosaren diserbu oleh pasukan Siliwangi dengan memakai kedok Barisan Banteng. 17 September 1948 Konferensi SBKA di gedung SOBSI, Tugu, Yogyakarta, dikepung oleh pasukan-pasukan pemerintah dan pemimpin-pemimpin SBKA ditangkap. Pada 13 September 1948 jam 12.30, Mayor Sutarto dan beberapa pengawalnya, yang hendak mengadakan perundingan, mati ditembak ketika turun dari truk. Akibatnya pertempuran di Solo menghebat antara Divisi IV Panembahan Senopati dibantu ALRI melawan pasukan Siliwangi.

Pada tanggal 17 September 1948 Politbiro CC PKI mengadakan sidang di Yogyakarta. Antara lain membicarakan soal pertempuran di Solo. Politbiro memutuskan untuk berusaha keras supaya pertempuran di Solo dilokalisasi.

Secara ringkas situsai politik di Indonesia pada paruh kedua tahun 1948 dapat digambarkan sebagai berikut. Disatu pihak: PKI dibawah pimpinan Musso, selangkah demi selangkah, dengan secara teliti dan hati-hati mempersiapkan Kongres Nasional ke V PKI bulan Oktober. Berhasilnya kongres ini berarti mengembalikan PKI pada kedudukannya sebagai pemimpin revolusi Agustus 1945 dan selangkah demi selangkah menciptakan kekusaan demokrasi rakyat sebagai fase peralihan ke sosialisme. Maka itu bagi PKI urgensinya adalah: Selamatkan Kongres !!. Dilain pihak: Klik Hatta yang kontra revolusioner, bersama-sama dan dibantu sepenuhnya oleh kaum imperalis Belanda dan Amerika Serikat. Bagi pihak ini Kongres PKI merupakan bahaya yang kongkrit. Suksesnya Kongres Nasional ke V PKI bagi pihak ini artinya adalah berbunyinya lonceng maut. Maka itu bagi mereka diatas segala-galanya adalah usaha : Gagalkan Kongres PKI !!!

Provokasi pertama terjadi di Madiun tanggal 28 Juli 1948. Pada hari itu buruh kereta api Siswosudarmo dalam perjalanan ke tempat kerjanya, ditembak mati oleh seorang anggota tentara. Penguburan jenasahnya menjadi demonstrasi raksasa yang menunjukkan kemarahan rakyat.

Baru saja situasi agak reda, terjadilah provokasi kedua. Seorang buruh kantor balai kota dianiaya oleh seorang perwira tentara. Situasi normal baru saja selesai, muncul provokasi ketiga. Pasukan Siliwangi dan Brimob secara mencolok mata mengadakan patroli di kota. Kesatuan-kesatuan Siliwangi mulai menduduki pabrik-pabrik gula. Kemudian mereka mengadakan latihan perang-perangan tanpa lebih dahulu memberi tahu penduduk dan kesatuan-kesatuan TNI setempat. Akibatnya adalah mulai timbulnya bentrokan-bentrokan kecil antara pasukan Siliwangi dan Brigade 29 TNI. Insiden tersebut mencapai puncaknya pada tanggal 18 September 1948. Pada hari itu, sejak jam 01.00 sampai jam 08.00 oleh Brigade 29 TNI dilancarkan gerakan pelucutan senjata terhadap pasukan Siliwangi.

Dalam situasi yang begitu memanas, Residen Madiun (Samadikun) tidak berada di tempat. Ia sedang di Yogyakarta. Wakil Residen ternyata tidak bisa menguasai keadaan. Walikota Madiun sedang sakit, jadi non-aktif. Dalam keadaan semacam itu partai-partai yang tergabung dalam FDR dan organisasi-organisasi massa pendukungnya mendesak supaya Supardi, Wakil Walikota Madiun, bertindak untuk sementara menjadi residen, selama residen belum kembali, sehingga ketegangan yang terjadi dalam kota Madiun bisa terselesaikan dengan baik. Usul ini disetujui oleh Letkol Sumantri (Komandan TNI Sub-teritorium Madiun), Wakil Residen Sidharto, Walikota Purbosusiswo, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan, menjelaskan situasi terakhir di Madiun dan minta instruksi apa yang harus dilakukan lebih lanjut.

Pada hari itu, 18 September 1948 Musso dan rombongan sedang berada di Purwodadi, kemudian bermaksud ke Yogyakarta, langsung kembali ke Madiun. Tengah malam tanggal 18 September, Musso dan rombongan tiba di Madiun.

Yang dilakukan Musso di Madiun adalah mengkritik keras pimpinan FDR Madiun yang tidak bisa mencegah diri terkena provokasi.

Pada tanggal 19 September 1948 jam 22.00, Presiden Sukarno berpidato di depan corong radio, menjelaskan: “Kemarin pagi PKI Musso mengadakan kup di Madiun dan membentuk pemerintahan soviet di sana di bawah pimpinan Musso.” Pidato diakhiri dengan anjuran pada rakyat untuk “memilih Sukarno – Hatta atau Musso dan PKI-nya.”

Pidato ini sama artinya dengan komando untuk membasmi secara total PKI dan kekuatan-kekuatan revolusioner Indonesia lainnya. Inilah tingkat terakhir pelaksanaan “Red Drive Proposal” Sarangan mencapai titik klimaksnya.

Tanggal 19 September 1948 jam 23.30 Musso mengucapkan pidato balasannya, antara lain: “Pada tanggal 18 September 1948, rakyat daerah Madiun telah memegang kekuasaan negara dalam tangannya sendiri…” Sebagai penutup Musso meneruskan: “Rakyat Indonesia oleh Sukarno disuruh memilih Sukarno atau Musso! Rakyat pasti menjawab: ‘Musso selamanya menghamba rakyat Indonesia!”

Pada tanggal 22 September 1948, Letkol Suharto datang dari Yogya untuk menyaksikan sendiri keadaan di Madiun. Ia kembali ke Yogya membawa surat-surat dari berbagai kepala jawatan yang menyatakan bahwa keadaan di Madiun normal dan aman. Ia juga membawa pesan dari Musso supaya diajukan kepada pemerintah pusat.

Tanggal 24 September 1948, pasukan pemerintah menduduki Sarangan. 25 September 1948, Tegal. 26 September 1948 Kementrian Pertahanan mengumumkan, bahwa seluruh daerah Jawa Timur dan Madura dibawah kontrol pasukan pemerintah.

Kota Madiun diserbu dari berbagai penjuru, terutama dari barat dan timur. Sembilan hari lamanya kota ini bisa diselamatkan dari serbuan tersebut. 30 September 1948 Madiun diduduki pasukan pemerintah. Musso dan pasukannya mundur ke Dungus menuju ke Ponorogo. Pasukan FDR bergerak ke Purwantoro / Wonogiri menuju Sarangan terus ke Purwodadi, dengan tujuan mau menggempur Belanda yang berkedudukan di Semarang. 1 Desember 1948, dalam keadaan luka, Amir Syarifuddin ditangkap di desa Klambu, 20 Km dari Purwodadi. Juga Suripno dan Harjono. 7 Desember 1948, markas besar TNI mengumumkan bahwa “sudah dihancurkan seluruh pasukan FDR.”

Biarpun Presiden Sukarno memerintahkan Amir Syarifuddin dan kawan-kawan tidak boleh dihukum mati, namun atas surat perintah Gubernur Militer Kolonel Gatot Subroto, tanggal 19 Desember malam jam 23.30 di desa Ngaliyan, kelurahan Lalung, kabupaten Karanganyar, karesidenan Surakarta, telah dieksekusi tanpa proses pengadilan terhadap 11 orang yaitu : Amir Syarifuddin, Maroeto Daroesman, Suripno, Oey Gee Hwat, Sardjono, Hardjono, Sukarno, Djoko Sardjono, Katamhadi, Ronomarsono, dan D Mangku. Sebelum ditembak mati mereka sempat menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Internasionale, dan berseru “Bersatulah kaum buruh dunia! Aku mati untukmu!”

Tidak hanya itu, di seluruh Indonesia, ribuan kader komunis dan pejuang revolusioner lainnya dibunuh tanpa proses pengadilan, termasuk Dr. Wiroreno, Sekretaris CS PKI Pati dengan tabah dan gagah berani menghadapi hukuman mati yang dijatuhkan kepadanya. (AS)


(Dikutip dari : “Peristiwa Madiun” PKI Korban Perdana Perang Dingin, oleh: A.Suroso dan “Provokasi Madiun” oleh Sutopo)

Senin, 11 April 2011

Sambutan Ketua YPKP-HAM

Dalam Rangka Ulang Tahun YPKP-HAM Ke-12 


Saudara – saudara sekalian,
Tanpa terasa kita sudah bertemu lagi dengan tanggal 7 April, hari ulang tahun YPKP – HAM yang ke – 12. Perlu saya tegaskan disini bahwa walau dalam kenyataan YPKP yang didirikan 7 April 1999 sekarang sudah menjadi 3 ( tiga ) lembaga yaitu : LPKP, YPKP 1965/1966 dan YPKP HAM, kita tetap mengakui tanggal 7 April sebagai hari lahir YPKP – HAM dengan alas an :
  1. YPKP – HAM adalah penerus YPKP 1965/1966, walau nama YPKP 1965/1966 sekarang sudah di pergunakan oleh salah satu pecahan dari YPKP 1965/1966 semula.
  2. YPKP – HAM merasa dan dalam kenyataanpun demikian, bahwa YPKP – HAM satu-satunya dari tiga lembaga pecahan tersebut yang secara konsekuen melakukan kegiatan sebagai lembaga Penelitian berbentuk yayasan .
Penelitian apakah yang kita lakukan ? yaitu penelitian mengenai jumlah korban pembunuhan dalam peristiwa tahun 1965/1966 yang dikenal dengan peristiwa G30S ( Gerakan 30 September ). YPKP – HAM lah satu-satunya dari tiga lembaga pecahan tersebut yang menyimpan data hasil penelitian itu, dan terus melakukannya.
Di sini perlu saya singgung isi Anggaran Dasar YPKP, yaitu bahwa hasil penelitian itu nantinya akan diserahkan kepada Pemerintah, sebagai salah satu usaha untuk menegakkan hokum, hak asasi dan demokrasi, tetapi apabila Pemerintah masih menginjak-injak Pancasila, ada kemungkinan YPKP – HAM akan menempuh jalur Internasional, untuk itu harus di kaji dahulu, apakah hasil penelitian tersebut sudah disimpulkan. YPKP – HAM pada waktu ini belum membuat kesimpulan atas hasil penelitiannya, karena angka hasil penelitian tersebut dianggap terlalu kecil dibandingkan dengan angka perkiraan korban yang sampai sekarang dikenal oleh umum. Walaupun demikian tidak tertutup kemungkinan bagi pihak-pihak yang berminat untuk mengetahui aspek-aspek hasil penelitian tersebut, asalkan dipenuhi syarat-syarat yang wajar.
Memang akhir-akhir ini, karena langkanya dana, kegiatan penelitian tersebut mengalami hambatan serius, di sini pada tempatnya kita menggalakkan usaha untuk menggalang dana, dan untuk menjaga semangat berkorban untuk tetap melakukan penelitian.
Hambatan disebabkan juga karena sejumlah relawan, baik yang tegabung dalam dewan pengurus maupun relawan biasa, sudah mendahului kita. Secara umum memang dapat dimengerti bahwa para korban dari tahun ke tahun bertambah tua dan meninggalkan dunia yang fana ini, itu berarti obyek penelitian kita pun dari tahun ke tahun mengalami penyusutan. Itu sebabnya dibutuhkan regenerasi relawan yang berpulang digantikan oleh yang masih hidup yang berumur digantikan oleh yang lebih muda.
Namun perlu saya singgung juga di sini bahwa kehiatan penelitian ini tidak terbatas pada pengumpulan data. Dalam misi YPKP – HAM disebutkan, salah satu misi YPKP – HAM adalah meneliti dan menjelaskan kepada umum, apa yang terjadi dengan yang namanya Peristiwa G30S. Untuk itu perlu saya sebut di sini 2 ( dua ) naskah yang saya susun yaitu :
1.    Kronik Adalah Demokrasi Terpimpin ( 1959-1967 )
2.    Pokok dan Tokoh dalam G30S.
Satu hal yang ingin saya mintakan perhatian ialah masa kepengurusan yang sekarang saya pimpin.Masa kepengurusan pengurus sekarang ini resmi dimulai bulan januari 2007 dan berlaku 5 ( Lima ) tahun, yang berarti akan berakhir Januari 2012 nanti, kurang dari setahun lagi. Sehubungan dengan ini saya minta saudara-saudara ikut memikirkan bagaimana membentuk pengurus baru nanti.
Saya tidak pesimis dalam hal ini, terutama kalau saya ingat dua acara besar memperingati meninggalnya salah seorang pendiri YPKP yaitu Pramoedya Ananta Toer dengan tema :
1.    Pram seratus hari, mengenang kepergian seorang pejuang kebudayaan, pada 7 Agustus 2006.
2.    Mengenang 3 tahun kepergian Pramoedya Ananta Toer, Pram dibalik jeruji penjara, pada 24 April 2009.
Kedua acara tersebut dipimpin oleh YPKP – HAM, dengan panitia yang dipimpin oleh Ibu Uchi, dan kedua acara tersebut dapat dinyatakan sukses dengan peluncuran buku masing-masing :
1.    Pramoedya Ananta Toer dari dekat sekali dan
2.    Bersama mas Pram.
Dua-duanya diterbitkan oleh KPG ( Kepustakaan Populer Gramedia ).
Saya ulangi tegas yang masih kita hadapi di masa depan ini, yaitu :
1.    Meneruskan penelitian mengenai jumlah korban dalam peristiwa tahun 1965/1966.
2.    Meneruskan penelitian dan menjelaskan kepada umum mengenai apa yang dinamakan G30S itu.
3.    Memikirkan cara untuk mengganti pengurus sekarang yang masa kepengurusannya akan segera berakhir.
Saya tutup uraian saya ini dengan harapan semoga semua relawan YPKP – HAM sehat wal afiat sehingga dapat melaksanakan tugas-tugas yang masih ada.

Jakarta, 9 April 2011

Koesalah Soebagyo Toer
Ketua YPKP – HAM

Rabu, 06 April 2011

Korban 65 Ajukan Judisial Review Gugat Presiden RI Batalkan Keppres 28/1975


Jakarta  06 April 2011 (YPKP 65)



Hari Kamis 04 April 2011 pukul 14.45 WIB  secara resmi telah didaftarkan  ke Mahkamah Agung R.I dengan Nomor Perkara: 08/2011/HUM.

Gugatan tersebut ditujukan  kepada Presiden Republik Indonesia  Dr. Susilo Bambang Yudhoyono, yaitu berupa Judisial Review (Uji/Peninjauan  Material) atas Keppres No 28 Tahun 1975 mengenai perlakuan diskriminatif atas mantan Tahanan politik Tragedi Kemanusiaan 1965/66*



Judisial Review (JR) ini disampaikan oleh Pemohon yang tergabung dalam Tim Advokasi Hak Konstitusional Warga Negara, yaitu Haris Azhar, SH, MA Koordinator  Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (KontraS), Sandra Yati Moniaga Ketua Badan Pengurus Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Erna  Ratnaningsih, SH, LL.M  Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Bedjo Untung Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65), Sumaun Utomo Ketua Umum Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPR-KORB), dan sejumlah perseorangan warga negara Indonesia, antara lain: Nursyahbani Katjasungkana (Advokat), Zumrotin K. Soesilo (Aktivis Sosial/mantan Komisioner Komnas HAM), Tjasman Setyo Prawiro ( mantan Pegawai Kehutanan/Tapol Pulau Buru 1966-1979), Rusdiarno (mantan Pegawai Departemen Pendidikan dan Kebudayaan/ Tapol Pulau Buru 1965- 1979), Ngatemin ( mantan Pegawai Negeri Markas Besar Angkatan Laut Jakarta, Tapol 1965–1977 Salemba, Jakarta), Suriah dan  Rianto.



Ada pun Kuasa Hukum Pemohon  terdiri dari para Aktivis Hak Asasi Manusia, Pengacara  yang selama ini konsisten membela kepentingan para Korban Pelanggaran HAM, khususnya Korban 65, yaitu: 

Ali Nursahid, SHI, Crisbiantoro, SH, Daud Beureuh, SH, Edy Halomoan Gurning, SH, Feby Yonesta, SH., Maruli Tua Rajagukguk, SH, Pratiwi Febri, SH, Restaria F. Hutabarat, SH, Sinung Karto, SH, Sri Suparyati, SH, LLM, Wahyu Wagiman, SH, Zainal Abidin, SH, Alghiffari Aqsa, SH,  Ikhana Indah B, SH, Indriafernida, SH, Ki Agus Ahmad BS, SH, Muhammad Isnur, SHI, Muhammad Sidiq, SHI, Nurkholis Hidayat, SH, Syamsul Alam, SH, Tommy Albert Tobing, SH, Wahyudi  Djafar, SH, Yati Andriyani, SHI dan  Putri Kanesia, SH.



Gugatan/Judisial Review ini dilandasi oleh latar belakang persoalan yang prinsipil, yaitu:



Dari sudut sejarah dan politik akibat peristiwa yang terjadi pada tahun 1965/66), sampai  saat ini masih menyisakan pertanyaan. Hal ini terjadi karena pemerintah tidak melakukan upaya–upaya pengungkapan kebenaran dan keadilan atas kasus  Tragedi Kemanusiaan 1965/66.



Dari sisi kemanusiaan akibat peristiwa 1965 jutaan  orang yang  ‘dituduh’ berafiliasi atau menjadi simpatisan atau memiliki keterkaitan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), dibunuh tanpa melalui pembuktian proses hukum.



Akibat peristiwa 1965 menyebabkan orang–orang yang dituduh berafiliasi atau menjadi simpatisan atau memiliki keterkaitan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), telah mengalami sejumlah pelanggaran HAM, baik hak–hak Sipil Politik (SIPOL) maupun Ekonomi, Sosial, Budaya (EKOSOB), berupa pembunuhan, penangkapan, penyiksaan, penahanan, pengasingan, pemerkosaan, kekerasan seksual, perampasan hak milik, tanah, pemecatan pekerjaan, stigmatisasi sosial dan politik baik bagi mereka secara langsung maupun secara tidak langsung  bagi keluarga dan keturunannya.



Sampai saat ini belum ada proses hukum, dan atau putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap terhadap mayoritas orang–orang yang mengalami pembunuhan, penangkapan, penyiksaan, penahanan, pengasingan, pemerkosaan, kekerasan seksual, perampasan hak milik, tanah, pemecatan pekerjaan, stigmatisasi sosial dan politik akibat peristiwa 1965.



Akibat dari ketiadaan upaya pemerintah melakukan pengungkapan kebenaran peristiwa 1965, pelanggaran HAM dalam bentuk stigma sosial, politik dan diskriminasi perundang-undangan terhadap orang–orang yang ‘dituduh’ berafiliasi atau menjadi simpatisan atau memiliki keterkaitan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) masih terus terjadi sampai dengan saat ini.



Salah satu diskriminasi perundang–undangan tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 28 Tahun 1975 tentang Perlakuan terhadap Mereka yang Terlibat G.30.S Golongan C. 

Undang –Undang ini menghalangi pemberian hak pensiun bagi orang–orang yang diduga terkait dengan PKI dan masuk dalam golongan C, meskipun sampai saat ini tidak ada keputusan pengadilan ataupun hasil pemeriksaan yang membuktikan orang–orang tersebut terlibat dalam peristiwa G 30 S;



Pada Tragedi kemanusiaan 1965/66 tersebut banyak para Pegawai Negeri Sipil yang ‘dianggap’ bersalah terlibat dalam gerakan politik G 30 S, sehingga dari hal itu ribuan orang diberhentikan tanpa prosedur hukum dan kepastian hukum, sehingga menimbulkan trauma dan ketidakadilan;



Untuk melegalkan pemberhertian tersebut kemudian Pemerintah mengeluarkan KEPPRES RI No.28 Tahun 1975 dan dilanjutkan dengan Keputusan Pangkopkamtib No. Kep. 03/KOPKAM/VIII/1975 tentang Pemulihan Keamanan dan Ketertiban;



Sebelumnya, pada tahun 1966/1967 telah dikeluarkan beberapa Surat Keputusan Gubernur, seperti halnya Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur yang acuannya adalah Instruksi Presiden RI No.09/KOGAM/5/66, yang memberhentikan Pegawai Negeri Sipil tersebut sejak 1 Desember 1965 dan/atau 1 September 1966 yang kemudian dikuatkan dengan KEPPRES RI No. 28 Tahun 1975 tentang perlakuan terhadap mereka yang terlibat G.30 S Golongan C dan Keputusan Pangkopkamtib No.Kep. 03/KOPKAM/VIII/1975 tentang Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Kedua peraturan tersebut, secara nyata telah melahirkan perlakukan diskriminatif terhadap Pegawai Negeri Sipil yang sudah bertugas dan mengabdi kepada negara bertahun tahun.



Sejak dikeluarkanya peraturan tersebut di atas, ribuan Pegawai Negeri Sipil telah kehilangan pekerjaan dan pengabdian pada negara, yang dilakukan dengan cara sewenang-wenang, menjatuhkan martabat, dan tidak mendapatkan uang pensiun sebagaimana Pegawai Negeri Sipil pada umumnya;



Pemberhentian ribuan Pegawai Negeri Sipil tersebut, dilakukan tanpa proses hukum yang seharusnya, akan tetapi hanya disandarkan pada interpretasi peraturan di atas, yang pada praktiknya di lapangan, justru dilakukan sesuai dengan selera pejabat atasannya, sehingga penyimpangan dan kesewenang-wenangan terus  terjadi;



Hingga saat sekarang KEPPRES RI No. 28 Tahun 1975 tentang perlakuan terhadap mereka yang terlibat G 30 S Golongan C dan dilanjutkan dengan Keputusan Pangkopkamtib No. Kep. 03/KOPKAM/VIII/1975 tentang Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, sampai saat ini masih berlaku dan belum ada ketentuan yang mencabut peraturan tersebut.



Pada tahun 2000 ada perkembangan baru dengan keluarnya KEPPRES No. 38 Tahun 2000 tentang Pembubaran Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (yang dibentuk atas dasar KEPRES No.29 Tahun 1988) dan KEPPRES No. 39 Tahun 2000 tentang Pencabutan KEPRES No.16 Tahun 1990 tentang Penelitian Khusus Pegawai Nageri Rl.



Dengan keluarnya kedua Keppres tersebut di atas, sesungguhnya bertujuan untuk menghilangkan unsur subjektif dalam pemerintahan, sehingga setiap Pegawai Negeri Sipil diperlakukan sama sebagai Warga Negara di depan hukum, sesuai dengan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;



Pada intinya KEPRES No. 38 Tahun 2000 tersebut secara substansial sudah menghapus isi yang ada dalam KEPPRES No.28 Tahun 1975 yang mengatur tentang perlakuan Pegawai Negeri Sipil Golongan C yang terlibat G 30 S;



KEPPRES No. 28 Tahun 1975 dan Keputusan Pangkopkamtib No. 03/KOPKAMIVHI/1975 tersebut secara formal masih berlaku, sehingga menyebabkan terus terlanggarnya hak-hak pensiun para mantan Tapol.



Selain latar belakang penyampaian Judisial Review tersebut, para Kuasa Hukum Pemohon juga mendalilkan beberapa argumen/alasan hukum  sehingga patut dipertimbangkan oleh Yang Mulia  Majelis Hakim Mahkamah Agung.



Alasan-Alasan tersebut adalah:



Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa serta bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan konstitusi. Hukum tidak hanya dimaksudkan untuk menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan akan rasa keadilan bagi semua orang tanpa kecuali. Artinya, negara hukum (rechtsstaat) yang dikembangkan bukanlah ‘absolute rechtsstaat’, melainkan ‘democratische rechtsstaat’atau negara hukum yang demokratis. Dengan perkataan lain, dalam setiap negara hukum yang bersifat nomokratis harus dijamin adanya demokrasi, sebagaimana di dalam setiap Negara Demokrasi harus dijamin penyelenggaraannya berdasar atas hukum.



Objek sengketa melanggar negara hukum, rule of law dan prinsip due process of law



Bahwa dalam negara hukum yang demokratis, pelarangan terhadap sesuatu oleh Pemerintah, Instansi maupun Pejabat Negara lainnya, pemberhentian secara tidak hormat pegawai negeri, harus menghormati prinsip due process of Law dimana hanya institusi pengadilanlah yang berwenang untuk melakukannya.



Hal-hal yang berkaitan dengan penegakkan hukum dan keadilan haruslah dilakukan oleh badan peradilan yang merdeka dan independen, sebagaimana ditegaskan di dalam  Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, yang menyebutkan, “kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.



Untuk penegakkan hukum dan keadilan, menurut Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Pelakunya adalah kekuasaan kehakiman  yaitu sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.



Negara hukum seperti Indonesia, mutlak adanya due process of Law yaitu penegakkan hukum dalam suatu sistem peradilan, dalam kerangka menjamin hak-hak warga negaranya, khususnya hak atas keadilan. Apabila ada suatu perbuatan dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum maka prosesnya harus melalui putusan pengadilan sehingga suatu  penghakiman dan atau pemberhentian seseorang pegawai negeri secara sewenang-wenang dengan tuduhan masuk dalam golongan c berdasarkan Keppres No. 28 Tahun 1975,  tidak dapat lagi diterima tanpa melalui suatu putusan pengadilan.



Objek Sengketa melanggar Asas Materi Muatan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik



Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, dalam membentuk suatu peraturan perundang-undangan perlu memperhatikan asas pembentukan peraturan perudang-undangan. Dalam asas pembentukan peraturan perundang-undangan disebutkan bahwa peraturan perundang-undangan harus memperhatikan:

a.    Asas pengayoman adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat . Akibat Pemberlakukan  Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1975 tidak menunjukan diterapkannya asas pengayoman, karena sejumlah korban tidak bisa mengakses sejumlah haknya untuk mendapatkan hak berupa pensiun atas pengabdian mereka terhadap negara dengan menjadi Pegawai Negeri.



b.  Asas kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. Dengan adanya Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1975 tidak mencerminkan perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta harkat dan martabat manusia pada umumnya, karena pemohon tidak mendapatkan haknya sebagai PNS dan dalam proses pengurusanya mendapatkan banyak hambatan dari instansi pemerintah yang berwenang.



c.     Asas keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali, sehingga dengan adanya Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1975 bersifat diskriminatif karena tidak melalui proses hukum untuk membuktikan status seseorang apakah dia bersalah atau tidak.



d.  Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan  pemerintahan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Akibat dari Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1975, pemerintah telah menempatkan posisi sejumlah warga negara yang tidak setara di depan hukum, dimana dalam proses pemenuhan hak sejumlah pegawai diabaikan.



Objek Sengketa Bertentangan dengan Peraturan Perudang-Undangan yang ada di atasnya



Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menyebutkan “kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan”. Pada penjelasannya disebutkan bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dari asas ini terlihat pertentangan antara Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1975 dengan Undang-undang di atasnya, seperti:



Pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu :



a.  Pasal 27 ayat (1)

“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”



b. Pasal 28 D ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945 :

 "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum"



c.  Pasal 28 D ayat (3) Perubahan Kedua UUD 1945 :

 "Setiap warga negara  berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan"



d.  Pasal 28 I ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945 :

"Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan  berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu"



Keppres 28/1975  bertentangan dengan ketentuan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964, yang menegaskan apabila seseorang diduga terkena pidana, maka proses hukum yang harus dilakukan adalah dimuka pengadilan, sebagaimana disebutkan di bawah ini:



Pasal 4

Tiada seorang juapun dapat dihadapkan didepan pengadilan selain daripada yang ditentukan, baginya oleh Undang-undang.



Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dapat dipertanggung-jawabkan, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.



Tiada seorang juapun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan pensitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal-hal dan menurut cara-cara yang diatur dengan undang-undang.



Dalam  hukum  acara  pidana,  hak  setiap  orang  atas “pengakuan,  jaminan,  perlindungan,  dan  kepastian  hukum  yang  adil” tercermin  antara  lain  dari  dihormatinya  dan  diakuinya  asas-asas  hukum yang bertujuan melindungi keluhuran harkat serta martabat manusia  (vide Penjelasan  Umum  KUHAP  butir  3).  Salah  satu  asas  hukum  yang dihormati dan diakui eksistensinya dalam hukum acara pidana Indonesia adalah asas “praduga tidak bersalah” atau  “presumption of  innocence”. Seperti ditegaskan dalam Penjelasan  Umum KUHAP  angka  3  huruf  c, yang menyebutkan, “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.



Keppres 28/1975 Bertentangan dengan Pasal Pasal 23 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian



Pasal 23 UU No. 8 Tahun 1974 menyebutkan: 

(1)  Pegawai  Negeri Sipil dapat diberhentikan dengan hormat, karena:

      Permintaan sendiri; telah mencapai usia pensiun; adanya penyederhanaan organisasi Pemerintah, tidak cakap jasmani atau rohani sehingga tidak dapat  menjalankan kewajiban sebagai Pegawai Negeri Sipil.

(2)  Pegawai Negeri  Sipil  yang meninggal dunia dengan  sendirinya dianggap diberhentikan dengan hormat.

(3)  Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan tidak dengan hormat, karena: melanggar Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil, Sumpah/Janji Jabatan Negeri, atau Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil;  dihukum  penjara, berdasarkan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena dengan sengaja melakukan sesuatu tindak pidana kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara setinggi-tingginya 4 (empat) tahun atau diancam dengan hukuman yang lebih berat.

(4)  Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat, karena:

     dihukum penjara atau kurungan, berdasarkan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan sesuatu tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan;



Keppres 28/1975 bertentangan dengan Pasal 17 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi:



“Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan dan gugatan baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh Hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.”



Keppres  28/1975 Bertentangan dengan Pasal 26 Kovenan tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor  12  Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik)



Pasal 26 Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik menyebutkan:

“Semua orang berkedudukan sama di depan hukum dan berhak, tanpa diskriminasi apapun, atas perlindungan hukum yang sama. Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi apapun, dan menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap diskriminasi atas dasar apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, harta benda, status kelahiran atau status lainnya.



Keppres 28/1975 Bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor  011-017/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor  12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945



Pada putusan MK tersebut, dalam salah satu pertimbanganya dikatakan:

…..terlepas pula dari tetap berlakunya Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 juncto Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002,  tetapi orang perorang bekas anggota Partai Komunis Indonesia dan organisasi massa yang bernaung dibawahnya, harus diperlakukan sama dengan warga negara yang lain tanpa diskriminasi;

.......Banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, antara lain dengan mewujudkan  rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum (undang-undang) yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal, atau dengan melakukan  rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum.



Bahwa berdasarkan keputusan Presiden Nomor 38 Tahun 2000 tentang Pembubaran Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional Seharusnya maka secara otomatis Keppres No.28/1975 dan keputusan pangkopkamtib No. 03/KOPKAM/VII/75 tentang pelaksanaan Keppres No. 28/1975 harusnya tidak berlaku, karena lembaga yang menjalankan sudah dibubarkan.



Bahwa dalam menuntut hak atas pensiun pegawai negeri di departemen terkait masih memakai Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1975 dan Keputusan Panglima Komando Oprasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Nomor: KEP-03/KOPKAM/VIII/1975, bahwa harus ada bukti keputusan perubahan penggolongan non-klasifikasi oleh instansi yang berwenang atau keputusan yang telah ditetapkan oleh Pangkopkamtib atau Laksus Pangkopkamtibda, sementara kedua instansi negara yang menangani persoalan tersebut sudah dinyatakan  bubar.



Bahwa sudah ada keputusan dari beberapa lembaga negara yang meminta untuk Presiden untuk merehabilitasi terhadap mereka yang menjadi korban atas tuduhan/cap/stigma PKI.



Beberapa keputusan tersebut antara lain:



a.    Mahkamah Agung Republik Indonesia pada 12 Juni 2003, telah menyurati Presiden RI dengan Nomor: KMA/403/VI/2003 tentang permohonan rehabilitasi terhadap mereka yang menjadi korban dengan tuduhan/cap/stigma PKI yang isinya adalah menyarankan kepada Presiden agar mengambil langkah-langkah penyelesaian tuntutan Rahabilitas dengan mengembalikan harkat dan martabatnya sebagai warga negara sebagaimana telah diamanatkan dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 amandemen keempat.



b.    Dewan Perwakilan  Rakyat Republik Indonesia Pada tanggal 25 Juli 2003, telah menyampaikan surat kepada Presiden RI Nomor: KS.02/3947/DPR-RI/2003 tentang tindak lanjut surat Mahkamah Agung yang  isinya adalah meneruskan permohonan dan aspirasi para korban peristiwa tahun 1965, dan menyarankan kepada Presiden untuk menggunakan hak prerogatifnya dalam menjawab permohonan tersebut.



c.     Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) Republik Indonesia Pada 25 Agustus 2003, telah menyampaikan surat kepada Presiden RI Nomor. 147/TUA/VIII/2003 tentang Rehabilitasi Terhadap korban G.30/S. yang  isinya ialah meminta kepada Presiden RI untuk memberikan rehabilitasi kepada para korban G.30/S. mengingat bahwa Mahkamah Agung RI telah memberikan pertimbangannya kepada Presiden RI untuk memberikan Rehabilitasi terhadap korban G.30/S. lewat surat Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/403/VI/2003 tentang permohonan rehabilitasi terhadap mereka yang menjadi korban



PERMOHONAN



Dengan latar belakang serta argumen dalil-dalil pengajuan Judisial review atas Keppres 28/1975, maka kuasa hukum pemohon mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung, agar:



1.    Menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1975 tentang Perlakuan Terhadap Mereka yang diduga Terlibat G.30.S Golongan C, yang dikeluarkan pada tanggal 25 Juni 1975 beserta seluruh peraturan di bawahnya;



2.    Presiden segera mengeluarkan Peraturan Presiden guna membatalkan

     Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1975 tentang Perlakuan     Terhadap Mereka yang diduga Terlibat G.30.S Golongan C yang dikeluarkan pada tanggal 25 Juni 1975,



3.  Presiden segera merehabilitasi para korban dengan mengembalikan harkat dan martabatnya sebagai warga negara, yang ditindaklanjuti dengan mengeluarkan Peraturan Presiden yang mengatur mengenai langkah-langkah dan mekanisme rehabilitasi bagi para korban Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1975 tentang Perlakuan Terhadap Mereka yang dituduh  Terlibat G.30.S Golongan C.

         

Demikian rangkuman  permohonan Judisial Review atas Keppres 28/1975 yang disampaikan oleh Tim Advokasi Hak Konstitusional Warga Negara kepada Mahkamah Agung RI. Hadir dalam penyampaian berkas antara lain:

Pratiwi Febri, SH. (LBH), Putri Kanesia, SH. (Kontras), Bedjo Untung (YPKP 65), Mujayin (LPR-KORB), Witaryono  dan Kusnendar



*). Keppres yang dimaksud lengkapnya adalah : ( Keppres No. 28 Tahun 1975 tentang Perlakuan terhadap Mereka yang Terlibat G.30.S/PKI Golongan C.)



Sumber: LPK 1965