HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Senin, 25 Juli 2011

Maulwi Saelan, Dari Penjaga Gawang Hingga Penjaga Bung Karno


Risal Kurnia

Pada tahun 1936, saat berlangsunya olympiade di Berlin, Jesse Owens, pelari Amerika, tampil sangat memukau dengan menggondol empat medali emas sekaligus.

Kisah Jesse Owens ini kemudian naik ke layar lebar. Kelak, Film tentang Jesse ini ditonton oleh seorang pemuda Sulawesi. Namanya Maulwi Saelan. Ia begitu terpikat dengan film itu dan berniat melakukan hal serupa demi negerinya. Tentu saja melalui cabang olahraga kegemarannya: Sepak Bola.

17 November 1956, mimpi Maulwi Saelan benar-benar terkabulkan. Ia menjadi penjaga gawang tim nasional Indonesia di olympiade XVI di Melbourne, Australia. Saat itu tim nasional Indonesia, yang lolos seleksi tingkat Asia, tampil mewakili Asia melawan raksasa beruang merah, Uni-Soviet.

Pertandingan perempat final itu berakhir dengan skor 0-0, meskipun sudah ada perpanjangan waktu 2 kali 15 menit. “Kalau pertandingan berakhir seri (draw), maka pertandingan harus diulang,” kata Maulwi mengenang pertandingan itu. Pada saat itu kondisi pemain Indonesia sudah kelelahan dan banyak yang menderita cidera. Akhirnya, Indonesia menyerah 0-4.

Sekalipun begitu, itu adalah sejarah tertinggi dalam sepak-bola Indonesia, dan sampai sekarang belum pernah terulang lagi. Maulwi Saelan jatuh bangun mempertahankan gawang Indonesia dari serangan pemain Soviet.

“Saya jatuh bangun menahan gelombang serbuan beruang merah. Pokoknya, kami bertekad tidak menyerah. Waktu itu masih belum ada peraturan, kalau hasil pertandingan draw, harus dilakukan sudden death tendangan penalti,” kata Maulwi Saelan mengenang.

***

Maulwi Saelan lahir Makassar, Sulawesi Selatan, pada 8 Agustus 1928. Ayahnya, Amin Saelan, adalah seorang tokoh pendiri Taman Siswa di Makassar dan seorang tokoh pejuang nasionalis.

Gelora revolusi Agustus 1945 sampai juga di Makassar. Maulwi Saelan, yang ketika itu baru berusia 20-an tahun, memilih untuk ikut berjuang. Saat masih menjadi pelajar SMP Nasional, ia dan pelajar-pelajar lainnya mengorganisir penyerbuan Empress Hotel, yang saat itu berfungsi sebagai markas NICA. Ia ditahan karena kejadian itu. Di situlah ia bertemu dengan Wolter Monginsidi, tokoh pemuda yang kelak menjadi salah satu pemimpin perlawanan rakyat di Makassar.

Ia bersama dengan Wolter Monginsidi membentuk laskar gerilya yang diberi-nama “Harimau Indonesia”. Kesatuan gerilya ini kebanyakan beranggotakan pelajar, termasuk salah-satunya kakak-kandung Maulwi,  Emmy Saelan. Emmy Saelan, seorang perempuan pemberani, gugur dalam pertempuran gagah berani di Kassi-Kassi, Makassar.

Setelah perjanjian Linggarjati pada maret 1947, Maulwi Saelan meneruskan perjuangan di Pulau jawa. “Saya dan rekan-rekan meneruskan perjuangan di Jawa, meninggalkan Sulawesi dengan perahu,” katanya dalam buku Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 1945 Sampai Kudeta 1966.

Maulwi Saelan konon bertempur melawan Belanda di daerah Malang selatan. Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949, ia ditunjuk sebagai Wakil Komandan Yon VII/CPM Makassar.

***

Nama Maulwi Saelan akhirnya terdengar oleh Bung Karno saat olympiade Melbourne. “Bung Karno tanya siapa ayah saya,” kata Saelan. Ia pun menjawab, “Amin Saelan, seorang pendiri taman siswa di Makassar.”

Saelan kembali bertemu Bung Karno pada tahun 1958 saat kunjungan ke Sulawesi Selatan. Saelan bertemu Bung Karno di Pare-Pare.

Tahun 1962, Resimen Tjakrabirawa dibentuk. Saelan dipanggil Bung Karno untuk mengisi jabatan sebagai staff, dan kemudian menjadi wakil Komandan menjelang peristiwa Gestok meletus.

Lalu, pada tahun 1966, Maulwi Saelan menjadi ajudan Bung Karno. Saelan menjadi penjaga Bung Karno yang paling setia. Ia menemani Bung Karno hingga akhir hayatnya. “Bung Karno meninggalkan Istana memakai kaus oblong, piyama, serta sandal usang. Bajunya disampirkan ke pundak,” katanya.

Tidak mengherankan, ketika Bung Karno sudah meninggal dan Soeharto naik ke tampuk kekuasaan, Maulwi Saelan sempat dipenjara beberapa tahun tanpa pengadilan. Ia, sebagaimana tahanan yang dituding terlibat G/30/S, mendapatkan diskriminasi politik ketika orba berkuasa.

Ketika beberapa penulis asing berusaha melibatkan Bung Karno sebagai pelaku G/30/S, Maulwi tampil ke depan untuk membantah habis-habisan. Bahkan, ketika seorang bekas ajudan bung Karno lainnya, Kolonel Bam­bang Widjanarko, membuat kesaksian bahwa Bung Karno terlibat G/30/S, Saelan membantahnya.

Dalam bukunya, Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 1945 Sampai Kudeta 66, Saelan mengatakan bahwa pengakuan Bambang Widjanarko bukan fakta, seluruhnya adalah karangan yang diarahkan untuk keperluan mencari-cari kesalahan Bung Karno.

Ketika diperiksa Teperpu (Team Pemeriksa Pusat), Saelan menolak menanda-tangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang sudah dipersiapkan pemeriksa, yang isinya sangat jelas mau memojokkan Bung Karno, kendati Bambang Widjanarko sudah menandatangi BAP itu. Maulwi Saelan harus membayar keteguhannya itu dengan penjara selama 4 tahun 8 bulan.

Terkait peristiwa G.30/S, Saelan juga bersikukuh bahwa gerakan tersebut merupakan kudeta merangkak Soeharto untuk menjatuhkan Bung Karno.
Pembelaan terhadap Bung Karno juga pernah dilakukan pengikut-pengikut setianya, seperti Manai Sophiaan (Kehormatan bagi yang Berhak, 1994), Oei Tjoe Tat (Memoar Oei Tjoe Tat, 1995), Hanafi A.M. (A.M. Hanafi Menggugat Kudeta Jenderal Soeharto, 1996), serta tulisan H. Mangil Martowidjojo yang terbit pada 1999 (Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967).

Ya, begitulah pengabdian dan loyalitas Saelan kepada negerinya dan pendiri bangsa kita, Bung Karno.

Jumat, 22 Juli 2011

TNI Diharapkan Menerima Mahkamah Internasional

Kompas.com - 22/07/2011, 01:56 WIB

Jakarta, Kompas - Kementerian Pertahanan dan TNI diharapkan menerima ratifikasi Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional. 
Keengganan yang ada selama ini tidak beralasan dan merugikan seluruh bangsa dan negara. 

Hal ini disampaikan Koalisi Masyarkat Sipil Indonesia untuk Mahkamah Pidana Internasional, Kamis (21/7). 

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ifdhal Kasim mengatakan, pada 2008, Indonesia nyaris meratifikasi Statuta Roma tersebut. Namun, ada resistensi dari Kementerian Pertahanan dan TNI. 

Alasannya, Mahkamah Pidana Internasional akan membuka berbagai pelanggaran HAM yang telah dilakukan dan pelakunya dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional. 
Kedua, mahkamah ini akan menggantikan pengadilan nasional. 
”Ini alasan yang tidak mendasar dan imajiner,” katanya. 
Hal sama disampaikan Direktur Eksekutif Human Rights Working Group Marzuki Darusman bahwa dari Dirjen HAM, Kementerian Hukum dan HAM diperoleh masukan tidak ada masalah mendasar lagi bagi Indonesia untuk meratifikasi Statuta Roma. 

Namun, berdasarkan pengalaman pada 2008, Kementerian Pertahanan yang menjadi saluran aspirasi TNI resisten terhadap statuta ini. 
”Statuta ini tidak berlaku retroaktif sehingga hanya tindakan-tindakan pelanggaran setelah penandatanganan oleh pemerintah yang kena,” kata Marzuki. 
Menurut Ifdhal, ratifikasi ini akan berdampak pada penguatan dan perbaikan mekanisme pengadilan HAM yang saat ini kolaps. 

Ratifikasi ini akan jadi dasar amandemen UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM yang selama ini tidak efektif. 
Manajer Penelitian Imparsial Bhatara Ibnu Reza mengatakan, ratifikasi ini akan mengubah cara kerja TNI. 

Kalau ada pelanggaran HAM, yang kena tidak hanya prajurit rendah, tetapi hingga pembuat kebijakan. (EDN)

Sumber: Kompas.Com