HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Selasa, 30 Agustus 2011

#8 Kediri (Bag 3): Banser, Algojo-Algojo Yang Dikirim Tuhan

30 Agustus 2011 | Gelaran Buku Jambu, Kediri | Km 302 | Pkl 20.35

Gelaran Buku Jambu Kediri ternyata menyimpan sebuah buku kecil karya Hairus Salim HS berjudul “Kelompok Paramiliter NU”. Sebuah buku yang mengulik sejarah lahirnya Banser (Barisan Ansor Serbaguna), dan terutama sekali aksi-aksi fisiknya saat menggelar pembunuhan besar-besaran atas kader dan simpatisan PKI di Kediri.

1 Syawal di bulan September. Saat silaturahmi dengan keluarga Plemahan
Kediri rampung, saya bergegas ke Gelaran Jambu. Sebuah perpustakaan
komunitas—satu-satunya di Kampung Jambu, Kecamatan Kayen Kidul (sebelumnya masuk dalam Kecamatan Pagu). Letaknya berhadapan dengan masjid. Di komunitas inilah pelbagai kegiatan literasi dalam kampung dihidupkan. Pelatihan menulis sastra, membaca bersama, dan bahkan kegiatan kesenian dihelat di komunitas yang bersekutu dengan sebuah madrasah yang hanya seteriakan jauhnya.

Awalnya saya hanya menumpang mengetik catatan-catatan mudik yang
terserak di sepanjang perjalanan sebelumnya dan juga mencari buku sejarah yang ditulis Hermawan Sulistyo (2000) untuk mengonfirmasi ingatan saya sewaktu di Alun-Alun Kota. Saat itulah saya tak sengaja menjumpai buku kecil berwarna hitam yang ditulis Hairus Salim HS berjudul “Kelompok Paramiliter NU”.

Buku yang diterbitkan LKiS pada 2004 ini seperti buku yang menyerahkan dirinya tepat saat dibutuhkan. Betapa tidak buku hasil riset untuk kebutuhan tesis Hairus Salim di Jurusan Antropologi UGM ini memberikan uraian bagaimana Banser/Ansor NU lahir dan tumbuh di gelanggang sejarah, terutama hubungannya dengan konflik paling keras dengan PKI.

Ketika Hermawan Sulistyo membabar secara mengesankan bahwa Banser/Ansor
adalah algojo terdepan dalam pembantaian kader dan simpatisan PKI, maka Hairus Salim memberikan gambaran yang cukup utuh bagaimana kiprah Banser/Ansor ini. 
Buku ini boleh disebut sebagai “buku putih” Banser/NU bersampul hitam dengan
ilustrasi karikatur seseorang berperut gendut berseragam umumnya militer dengan jari tangan kiri mengepit sebatang kretek. Sosok itu duduk bersama seorang lagi yang berseragam seperti penabuh drum band.

Dari ilustrasi itu saja, tampak bahwa Banser/Ansor terbayang mirip-mirip
militer. Mirip tapi sesungguhnya tidak. Yang paling gamblang saja, sebagaimana
tergambar di karikatur itu, mana mungkin militer yang aktif berbadan tambun
seperti ini. Sebab umumnya serdadu bertubuh atletis untuk mendukung tugas-tugasnya di lapangan yang membutuhkan gerak cepat dan tangkas.

Ilustrasi di sampul itu menggambarkan Banser/NU adalah paramiliter yang
bersahaja. Bayangan bahwa mereka adalah kekuatan inti paramiliter dalam teater pembantaian di Jawa Timur nyaris tak ada. Termasuk di Kediri tentu saja.
Ciri yang kerap dilekatkan pada Banser/Ansor ini adalah tradisi kanuragan, jago silat, bahkan kebal senjata tajam. Seiring dengan waktu, ternyata “Banser tidak cukup hanya sekedar kebal, tidak bisa disebut Banser kalau hanya sekedar kebal, tapi Banser selain kebal juga harus profesional”. (h. 97)

Demikianlah, dengan “ilmu kebal dan profesional” itu, Banser/Ansor menjadi mesin pembunuh paling diandalkan oleh tentara menghadapi kekuatan PKI
dan ormas-ormasnya yang linglung oleh informasi yang datang sepotong-sepotong dari peristiwa pembunuhan jenderal-jenderal di Jakarta pada 1 Oktober. Sebelum RPKAD datang, sebelum ada konfirmasi dukungan penuh dari serdadu diterima, Banser/Ansor tak bisa bergerak jauh selain menggertak lawannya dengan pawai massa.

Banser adalah lembaga semi-otonom dari Ansor, organisasi pemuda yang berafiliasi dengan NU (Nahdlatul Ulama). Ansor berdiri tahun 1930, empat tahun setelah pendirian NU. Pertama kali didirikan mereka menyandang nama Nahdlatus Syubban (Kebangkitan Pemuda), kemudian berubahmenjadi Persatuan Pemuda Nahdlatul Ulama (PNU, 1931), dan berubah lagi menjadi Ansor Nahdlatul Ulama (ANU, 1931), dan terakhir Gerakan Pemuda Ansor (Pemuda Ansor, 1949) yang dipakai hingga kini. (h. 27) 
Banser didirikan pada tahun 1962. Tujuannya secara formal adalah untuk memberikan pengamanan kegiatan-kegiatan partai NU dan perlindungan fisik kepada para pendukungnya. Kendati demikian, tujuan tersembunyinya adalah untuk menyiapkan konfrontasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). (h. 37)
Dari risetnya dari beberapa literatus Hairus Salim secara blak-blakan menyebut hubungan  yang intim antara Banser dengan militer. Ketika Jenderal Nasution meresmikan Badan Kerja Sama Pemuda Militer (BKPSM), Pemuda Ansor menjadi satu dari empat organisasi kepemudaan yang menandatangani ikrar jika negara memanggil karena situasi darurat perang.

Rupanya, tahun 1965 ditafsir tentara sebagai “darurat perang” yang dengan demikian Banser/Ansor terpanggil. Bukan hanya membantu militer, tapi berada di garis terdepan dalam “penyelamatan negara” atas “pemberontakan” yang
dilakukan PKI, sebagaimana sebelumnya juga terjadi pada 1948 di Madiun.

Di titik ini, militer menangguk sukses besar memakai tangan Banser/Ansor
membantai lawan politiknya paling kuat, yakni PKI. Di Kabupaten Kediri,
Banser/Ansor dengan kecakapan “ilmu kebal dan profesional” menjadi
algojo-algojo yang seakan mendapatkan dirinya sebagai utusan Tuhan
menghancurkan bromocorah-bromocorah komunis yang mengganggu kiai yang menjadi patron hidup mereka dunia akhirat.
Sebelum melakukan operasi pembunuhan, mereka melakukan gemblengan dan khidzib, latihan ritual untuk mendapatkan kekebalan. Misalnya, dengan makan telur mentah yang ditulis kalimat suci dalam Bahasa Arab.
Sebelumnya mereka berwudhu sebagai simbol penyucian spiritual. Selain ritual makan telur, di antara mereka menerima kemampuan spiritual (dan fisik) dengan menyerukan “Ya Allah… Ya Latief, … Ya Latief…” secara berulang-ulang. Ritual ini mereka lakukan di pesantren-pesantren yang dipimpin kiai-kiai makrifat, kiai-kiai yang sudah terkenal karena mencapai kebijaksanaan spiritual yang tinggi. (h. 100)
Prinsip Banser/Ansor di masa-masa “negara darurat perang” sederhana saja, sebagaimana posisi mereka sebagai sayap nonintelektual dalam organ pemuda
NU, adalah “kepruk dulu, persoalan belakang”; atau “kalau menang mendapat kalungan bunga, kalau kalah mendapat tali gantungan”.

Secara dramatis, Hermawan Sulistyo menggambarkan macam-macam dan
“aneh-aneh” perlakuan algojo-algojo muda Banser/Ansor dalam ritual
penyembelihan kader dan simpatisan PKI. Jika setelah membunuh satu orang dan sang algojo muda merasa pusing dan mual diberikan tips oleh algojo yang sudah berpengalaman agar menjilati darah si komunis. Ritual jilat darah si manusia korban itu bertujuan pembebasan diri agar arwah orang-orang komunis tidak mengejar-ngejar.

Selain itu, ritual menjilati darah dipercaya memberi suntikan semangat untuk membantai korban berikutnya dan berikutnya. Untuk menunjukkan keberanian,
warga yang berafiliasi politik ke PKI itu dipotong alat kelaminnya, kuping, atau jari-jarinya.

Sederet kekejian lainnya masih bisa dipanjang-panjangkan untuk memberi efek teror bahwa komunisme harus enyah dari bumi Kediri, walaupun di tanah ini kaum merah ini paling diminati kaum tani dalam “pesta demokrasi” 1955.

Tapi, baiklah, saya tutup dulu buku Hairus Salim “Kelompok Paramiliter NU” ini karena Gelaran Buku Jambu didatangi banyak tamu. Dan ketika saya menyinggung bahwa saya sedang menyusun catatan mudik tentang pembunuhan besar-besaran orang-orang PKI di Kediri, saya dijanjikan untuk “silaturahmi” keesokan harinya pada sekira tujuh rumah warga Desa Jambu yang “diambil” Banser/Ansor cum tentara dan tak pernah lagi kembali. Mereka wassalam selamanya.
  • Seri catatan mudik #syawalitumerah
Muhidin M Dahlan 

Senin, 29 Agustus 2011

#8 Kediri (Bag 2): Teater Pembantaian di Alun-Alun Kediri

29 Agustus 2011 | Masjid Agung, Kediri | Km 280 | Pkl 17.55

Alun-Alun Kediri di seberang selatan Masjid Agung menjadi semacam Ikada kala apel akbar Banser/Ansor NU dan ormas-ormas lainnya yang sokong 100 persen tentara digelar. Kronik penyembelihan besar-besaran terhadap siapa pun yang terkait dengan aktivitas Partai Komunis Indonesia (PKI) dimulai dari sini. Banser adalah nama lain dari Ansor, sayap pemuda dari NU.
Matari sepenuhnya telah jatuh dari cakrawala saat saya memarkir tunggangan di halaman Masjid Agung, sekira 16 kilometer dari Kanigoro. Ekor dari azan baru saja berlalu dan puluhan orang berduyun-duyun menyeberangi jalan utama yang membelahi Alun-Alun Kota dan Masjid Agung.
Di tangga masjid, setelah berwudhu, saya menuang air mineral ke kerongkongan untuk mengibasi haus. Di tangga masjid itu juga pandangan saya bebas berhadapan dengan Alun-Alun Kota. Di Alun-Alun Kota itu, lampu-lampu berkelap-kelip di taman yang mirip “pasar malam” terakhir menjelang lebaran. Lampu-lampu itu menandai kemeriahan, kegembiraan dan sekaligus memungkasi konsumsi besar-besaran di pengujung Ramadan.
Mungkin menjadi aneh dan asing di saat malam kegembiraan dan kemenangan dirayakan di Alun-Alun itu saya justru dicumbu kenangan murung yang pernah melekat dan berlangsung ekstensif dari Alun-Alun Kota ini. Saya membaui kemarahan besar, duka besar, pembunuhan besar-besaran berlangsung semeriah malam takbiran Ramadan menyambut syawal ini. Bukan sekarang, bukan tahun kemarin, tapi masa berpuluh tahun yang silam di mana kenangan padanya lamat-lamat saja dalam memori. Peristiwa geger politik, malapetaka kemanusiaan, tepat setelah September lewat, dan Oktober masuk separuh jalan di tahun 1965.
Di Alun-Alun Kota itu Ansor dan semua ormas Islam yang sepaham yang disokong pesantren menggelar apel besar. Sebelumnya, ormas-ormas ini berkonsolidasi dengan Korem 081 untuk menentukan sikap atas PKI dan bromocorah-nya.
Saya membayangkan di tanggal 13 Oktober pagi itu, bergantian Bupati, Kodim, hingga tokoh-tokoh agama dari NU dan Masyumi, kiai dari Lirboyo menyampaikan tausiah yang memberi latar mengapa apel besar ini harus ada. Dan tentu saja jangan dilupa pemimpin operasi penjagalan dari pesantren Lirboyo, Maksum Jauhari, berpidato berapi-api untuk mengubur PKI dan semua organisasi pendukungnya seperti Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia, Ikatan Pemuda dan Pelajar Indonesia, Serikat Buruh Seluruh Indonesia dari bumi Kediri. 
Selain soal bahwa Maksum Jauhari adalah pendekar dengan ilmu beladiri yang tinggi, penunjukannya sebagai operator penjagalan juga disebabkan bahwa pesantren orangtuanya yang digeropyok PKI di Kras, Kanigoro di awal tahun yang tentu saja membibitkan dendam yang berlarat-larat. Kanigoro adalah luka atas kenangan yang pahit saat pesantrennya digeruduk ratusan orang dari BTI dan Pemuda Rakyat yang dipimpin Suryadi dan Harmono. Hari-hari berikutnya setelah penggeropyokan itu pawai-pawai balasan dilakukan Banser yang dipimpin Maksum Jauhari dan juga kader-kader PII. Sementara Anis Abiyoso sejak peristiwa penggeropyokan Kanigoro mengobar-ngobarkan sentimen bahwa PKI menghina Islam dari kota ke kota di Jawa Timur yang membikin darah siapa pun mendidih.
Benar kata Kiai Makhrus Ali bahwa tanggal 13 adalah hari sial bagi PKI. Ya, ya, 13 Oktober—tanggal yang diusulkan Kiai Makrus untuk apel akbar itu—adalah tonggak pembunuhan besar-besaran. Banser/Ansor diplot menjadi imam pembantaian dengan ribuan santri dikerahkan untuk “menyekolahkan” orang-orang PKI. Militer di barisan kedua yang menyuplai logistik-logistik pembunuh yang diperlukan.
Hal yang membuat bulu kuduk saya meremang saat kata-kata terakhir meredup dari Alun-Alun dan peserta pawai digiring ke jalan-jalan melakukan penjemputan nama-nama orang-orang PKI dari rumah ke rumah, di seluruh jalanan kota. Inilah hasil nyata dari pertemuan rutin antara Ansor, GPII, dan militer sebelum-belum apel akbar ini yang diwakili Toyib Dahlan, Ma’fufin, Safii Sulaiman, Maksum Jauhari, H Idris, Makhrus Aly, serta sejumlah nama lain.
Kenangan atas penggambaran Hermawan Sulistyo dalam disertasinya di Arizona State University tentang pembantaian massal di Kediri dan Jombang melayang-layang kembali. Halaman-halaman disertasi yang dibukukan dengan judul Palu Arit di Ladang Tebu itu membuka dengan suasana yang lain sama sekali ketika saya membacanya di Yogyakarta, di luar kawasan di mana cerita itu digali dan dituturkan. Saat Sulistyo berbicara tentang Alun-Alun Kota sebelum senja saat saya duduk di sini, saya tak merasakan apa-apa. 
Berbeda dengan malam lebaran ini. Alun-Alun Kota yang disebut Sulistyo mendapatkan bobot karena letaknya hanya sekelebatan mata. Ya, di sana, 50 meter dari tempat saya duduk ini, saat ribuan massa yang diimami Banser/Ansor bergerak secara teratur dan sistematis melakukan pawai pembantaian atas nama Tuhan dengan rute yang sudah disusun.
Rumah pertama yang dihancurkan oleh pawai pembantaian ini adalah kantor Ranting PKI yang memang letaknya di dekat alun-alun, lalu massa berarak ke markas PKI yang berada di Pasar Paing, Burengan, yang ditengarai sebagai markas pengonsolidasian PKI untuk membunuh musuh-musuh ideologisnya. Silaturahmi berdarah seperti di hari pertama lebaran ini menggerebek markas CSS PKI di Jl Gudang Garam. Kantor SOBSI, Gerwani, BTI juga disowani dan dibakar. Silaturahmi berdarah di hari pertama “sukses” membunuh 24 orang PKI dan ribuan sepeda menjadi bara.
Merasa tak ada perlawanan sama sekali dari PKI, di hari keempat militer menangkapi 40 ribu kader dan simpatisan PKI. Namun kendala segera menyergap di depan mata, tentara tak ada uang untuk memberi makan tahanan yang begitu banyak. Saat itulah Sjafii Sulaeman dari Ansor mengusulkan jalan keluar yang paling mudah: bunuh semuanya. Ini “operasi teratur”. Artinya, secara teratur sekira 15 ribu orang diserahkan pada algojo-algojo yang sudah disiapkan yang terdiri atas pendekar-pendekar dari Banser/Ansor dan serdadu tentu saja.
Mayat-mayat itu kebanyakan ditinggal begitu saja, dibuang ke jurang-jurang terdekat. Namun tempat paling favorit tentu saja dibuang ke Sungai Berantas. Tubuh-tubuh tanpa kepala yang mengapung tiap hari di bantaran sungai antara Oktober-November menjadi lagu sumbang paling memilukan dari sebuah kota tua Nusantara. 
Sungai Berantas itu hanya beberapa meter dari tempat saya duduk kini, tempat saya menuliskan kenangan bisu yang sukar dinalar bagaimana itu bisa terjadi dengan dilambari semangat dan titah atas nama Tuhan dari institusi-institusi keagamaan.
Perburuan dan penyembelihan itu berlangsung di kota dan merembet di kecamatan-kecamatan, ke desa hingga perbukitan dan lereng-lereng gunung yang menyebabkan Kediri penyumbang jumlah korban pembunuhan terbanyak dan juga penyetor terbesar tahanan di seantero Jawa Timur. Oktober 1965 hingga Agustus 1966 menjadi lini masa bagaimana teater pembantaian dilangsungkan dengan sukacita. Dan itu mula-mula dimulai dari sini, dari Alun-Alun Kota di mana warga Kediri memungkasi konsumsi belanjanya menyambut syawal keesokan harinya.
Teater pembantaian itu, kini, seperti tak ada tersisa gemanya di Alun-Alun Kota ini. Seperti hanya ada dalam dongengan cerita pewayangan. Padahal, algojo dan mesin pembantai itu ada, di sini, dan tenang-tenang saja seperti keluarga dewata yang tak tersentuh hukum buatan siapa pun di mayapada setelah melakukan pembunuhan besar-besaran.
* Seri catatan mudik #syawalitumerah
Sumber: Muhidin M Dahlan 

#8 Kediri (Bag 1): Kanigoro Affair


29 Agustus 2011 | Kras, Kediri | Km 264 | Pkl 17.05

Kanigoro adalah dalih Pelajar Islam Indonesia (PII) untuk membunuh anggota dan simpatisan PKI. Dan ini dituturkan dengan penuh kebanggaan. Dari generasi ke generasi. Kanigoro adalah saksi bagaimana PII menjadikannya sebagai mandat pembantaian di bawah komando Banser/Ansor.
Saya memasuki Kanigoro, Kras, Kediri, ketika matahari sudah rebah. Terhalang oleh bangunan Pabrik Gula Ngadirejo dengan dua tabung asap raksasa yang mengular ke langit. Artinya, saya sudah 12 jam di atas jalan raya jika ditarik dari keberangkatan dari Kotagede. 
Bagi saya pribadi, Kanigoro menyimpan memori yang kelam. Ketika menyebut Kediri yang pertama kali terngiang adalah Kanigoro. Sejak 1995, Kanigoro yang saya tahu adalah Kanigoro di mana PKI harus dibasmi. Di tahun itu, di saat-saat ketika saya dipersiapkan menjadi kader militan Pelajar Islam Indonesia di kota Palu. Sebuah buku bersampul merah karya Anis Abiyoso dan Ahmadun Y Herfanda, “Teror Subuh di Kanigoro” (1995), dijadikan kunci cerita saat tutur perjuangan PII melawan kebejatan orang-orang komunis memasuki periode 1965-1966.
Yang tak pernah saya ketahui, peristiwa “penyerbuan” masjid di lingkungan pesantren Al-Jauhar, Kras, Kanigoro yang diasuh H Jauhari itu dijadikan bara pengobar dendam memperhadapkan PKI dan organisasi-organisasi Islam hingga di struktur paling bawah, yakni desa. Cerita Kanigoro dikipas sedemikian-demikian hingga mencapai titik didih yang tak terbayangkan menjadikan seorang Muslim tak ubahnya algojo-algojo yang datang dari palung gelap Kelud  untuk membantai saudara sekampungnya, sekotanya untuk sebuah misi yang “direstui” Tuhan.
Di senja yang perlahan rebah itu saya mengambil air wudhu, mendirikan sembahyang dan tetirah sejenak. Tak seorang pun dalam masjid itu. Mungkin ke tegalan atau rehat menyiapkan buka puasa terakhir. Dalam kesendirian di masjid di cat warna biru pupus itu ingatan tentang Kanigoro berkelebatan keluar menggarami kelamnya masa silam yang tak ingin diingat kembali. Yang teringat jelas di masjid, PKI dan ormas-ormas pemuda-pelajarnya yang mengamuk, memasuki masjid subuh-subuh, membubarkan mental training yang diikuti sekira 127 kader PII se Jawa Timur. Training yang mestinya dihelat dari tanggal 9 hingga 17 Januari 1965 itu terpaksa dihentikan pada 13 Januari yang bertepatan dengan 10 Ramadhan.
Kanigoro jika dilihat dari segala aspek adalah isu yang paling basah dieksploitasi. Terutama sekali untuk menggerakkan dendam. Semua unsur-unsur pembakarnya jelas tersedia: agama (PII), ateis (PKI dan ormas-ormasnya), masjid (rumah suci), Al-Quran (kitab suci). 
Bayangkan saja jika ada scene cerita orang-orang ateis subuh-subuh mengamuk dalam masjid tanpa melepaskan alas kaki, membubarkan barisan muslimin yang sedang menegakkan salat subuh, menganiaya imam salat dan menodongkan arit di leher kiai, dan mengobrak-abrik kitab suci di almari tua dan memasukannya dalam karung serta selanjutnya menghamburkannya di halaman masjid. Bayangkan jika cerita itu yang  tersebar di seantero Kota Kediri lalu melintas menjadi isu panas di Provinsi Jawa Timur. Bayangkan bagaimana amarah mendidih melihat perilaku orang-orang komunis itu sehingga ketika mereka digorok semuanya perbuatan kotor mereka belum termaafkan.
Pembayangan-pembayangan itu kemudian didramatisasi dengan luar biasa oleh Arifin C Noer saat membuka film paling monumentalnya, “Pengkhianatan G 30 S/PKI”. Di masjid di samping Pabrik Gula Ngadirejo itu, melela kembali adegan dalam remang di masjid dengan diiringi score yang menggidikkan bulu kuduk. Segerembol massa memasuki masjid tanpa perlawanan. Menembaki jemaah yang salat. Sabit-sabit berkelebat membabat kader-kader PII yang sedang khusyuk mendengarkan lantunan imam membaca surah-surah. Dengan arit juga, gerombolan itu memporak-porandakan kitab suci dalam lemari kayu.
Drama film pembuka yang sangat kuat itu diperkenalkan tentara kepada saya sewaktu kelas 5 SD. Saat itu kami diangkut dengan sebuah truk penuh ke bioskop di desa tetangga untuk menyaksikan film horror penuh darah ini. Scene Kanigoro, sejak saat itu, tak pernah menguap dari memori. Kanigoro adalah kata kunci yang tak pernah tercerabut saat mendengar frase “PKI”. Kelamnya memori tentang frase “Kanigoro” dan “PKI” itu bertemu dengan PII yang memasaknya menjadi dendam yang membatu.
Sejak 1993 hingga 2007 saya ternakkan kekelaman itu sebelum saya menemukan cerita pembanding yang menawar racun kejam yang disebar film Arifin C Noer dan buku kesaksian Anis Abiyoso. Saat dalam proses penulisan buku “Lekra Tak Membakar Buku”, kliping Harian Rakjat bulan Januari 1965 perlahan-lahan membangunkan dan membisikkan soal lain dari ingatan selama ini yang terpacak di kerak kesadaran tentang “Kanigoro”.
Dua kliping buram dari Harian Rakjat edisi 11 dan 13 Februari 1965 milik PKI itu, narasi lain tentang “Peristiwa Kanigoro” ditampilkan. Baca kutipannya:
Team PB Front Nasional jang terdiri dari Major Said Pratalikusuma dan Hartojo dengan dibantu anggota pengurus daerah F.N. Djawa Timur ketika mengadakan penindjauan on the spot kedaerah Kanigoro, Kras, memperoleh tjukup bukti, bahwa antara BTI dan Pemuda Rakjat disatu pihak dan NU serta GP Ansor dilain pihak, tidak ada perasaan apa2 bertalian dengan terdjadinja peristiwa Kanigoro.
Dinjatakan oleh anggota team PB FN, bahwa peristiwa Kanigoro sudah dapat diatasi karena kesadaran dan kewaspadaan Rakjat untuk melawan setiap gerakan kontra-revolusi. Di Mental Training Kader PII di Kanogoro, Kras, didaerah Kediri pada waktu itu disinjalir adanja gerakan kontra-revolusi jang dilakukan anggota2 bekas partai terlarang.Major Said Pratalikusuma dalam pertemuan dengan para wartawan Surabaja mengemukakan setjara kronologis mengenai kedjadian2 sebelum dan sesudah terjadinja peristiwa Kanigoro dimana dinjatakan bahwa pada Maret 1964 jl. Partai NU Kras dalam statemennja telah melarang Samelan, bekas anggota partai terlarang [Masjumi] untuk melakukan pengadjian2. Pernjataan serupa telah dikeluarkan djuga oleh Panitia Mental Training Kader PII di Kras pada tgl. 12 Djan. jl. jaitu sehari sebelum terdjadinja penggropjokan.
Mengenai penggeropjokan jg dilakukan oleh anggota2 BTI dan Pemuda Rakjat itu ialah karena alasan2 tersebut diatas, jaitu di Mental Training PII di Kanigoro, Kras, terdapat unsur jang dapat membahajakan revolusi dan membahajakan persatuan nasional revolusioner berporoskan Nasakom….
Dalam memberikan keterangan kepada para wartawan itu Team PB FN djuga menjanggah pemberitaan sementara suratkabar jang menjatakan, bahwa dalam peristiwa Kanigoro telah di-indjak2 Kitab Sutji Al-Quran. Dengan tandas dikatakan ,,itu tidak benar”. Harian Rakjat, 11 Februari 1965
* * *
Ada pula kampanje jang untuk waktu tjukup lama di-sebar2kan orang: ,,anggota PKI meng-indjak2 Al Qur’an”. Tema ini sadjapun sudah menundjukkan, bahwa maksud sipembuat kampanje adalah untuk memainkan sentimen2 rendah massa jang terbelakang.Sekarang tak kurang dari team FN [Front Nasional] dibawah pimpinan Major Said sendiri jang menjangkal kampanje itu. Tidak ada sama sekali kedjadian sematjam itu, malahan, jang ada adalah kongkalingkong kaum Masjumi untuk memetjahbelah FN, chususnja antara PKI dan NU. Harian Rakjat, 13 Februari 1965
Dua hal yang langsung dibantah PKI atas “penggeropjokan” Kanigoro itu. Pertama, “penggeropjokan” itu tak dilambari oleh semangat memusuhi agama Islam, tapi semata karena soal politik; bahwa “pada Maret 1964 jl. Partai NU Kras dalam statemennja telah melarang Samelan, bekas anggota partai terlarang [Masjumi] untuk melakukan pengadjian2”. Oleh Pemuda Rakjat dan BTI, tokoh bernama Saelan itu ditengarai hadir. Sekaligus mereka saat itu meminta tanggung jawab panitia yang sebelumnya sudah berjanji tak menghadirkan Saelan.
Kedua, PKI mengeluarkan keterangan resmi bersama Front Nasional Jawa Timur di mana ada unsur NU di dalamnya bahwa tak ada “anggota PKI meng-indjak2 Al Qur’an”. 
Data tambahan lain yang dihimpun Sari Emingahayu (2007) menunjukkan bahwa Kanigoro adalah basis merah. Secara statistik saja, pada pemilu 1955 di Kediri PKI memperoleh suara 31,2 % (15 kursi), disusul NU 20% (6 kursi), PNI 19,5% (6 kursi), Masyumi 11,3 (5 kursi), PSII (1 kursi), dan Parkindo (1 kursi). 
Tapi mengapa PII “nekad” mengadakan training berskala besar di sini. Belum lagi sudah jadi rahasia umum bahwa PII adalah famili dekat Masjumi yang dibubarkan pemerintah karena keterlibatannya di sejumlah “pemberontakan” di Sumatera. Isu yang lain yang meresahkan juga muncul bahwa elite-elite PII, baik di Pengurus Besar (PB) maupun Pengurus Wilayah (PW), mendapat perintah dari Jenderal Nasution agar mengintensifkan kegiatan-kegiatan Mantra di daerah-daerah basis PKI. 
Artinya yang bisa dibaca adalah ini bagian dari kejahilan yang memancing amarah kader-kader PKI untuk masuk dalam perangkap yang di kemudian hari bisa dipukul sampai kelenger.
Namun sayang, bantahan seperti ini menguap begitu saja dan tak pernah berguna di mahkamah sejarah di mana PKI kalah segala-galanya.
Dan di rembang senja yang rebah itu, saat saya duduk di beranda masjid di samping Pabrik Gula Ngadirejo itu, sesungguhnya adalah cara saya melakukan penyembuhan kenangan yang gelap tentang “Kanigoro”, “PKI”, “PII”. 
Saya berharap, setiap melewati Kanigoro memori saya tak lagi dibekap dan dikejar hantu blawuk tentang peristiwa yang sesungguhnya “kecil” yang dijadikan dalih untuk menyembelih sesama sebagai bangsa, yakni bangsa Jawa dalam ruang besar bernama Indonesia.

* Seri catatan mudik #syawalitumerah
Muhidin M Dahlan 

#4 Wonogiri (Bag 4): Pembuangan Akhir Mayat-mayat Merah

29 Agustus 2011 | Purwantoro | Km 198 | Pkl 12.02


Jika terminal Purwantoro adalah persinggahan “akhir” banyak bus besar dari pelbagai jurusan seperti Solo, Semarang, Bandung, Jakarta, bahkan beberapa kota di Sumatera, maka rumah Mas Yahya Perwita di belakang terminal bus Purwantoro, Wonogiri, itu menjadi persinggahan terlama dalam perjalanan mudik saya yang bertajuk #syawalitumerah.
Dua jam saya beristirahat di belakang gereja jawa itu. Ya, saya datang sekira pukul 10 dan berangkat lagi pukul 12 setelah disuguhi kopi pahit ukuran gelas jumbo dan makan siang dengan opor ayam, tahu, dan daging sapi.
Menurut pendeta yang ditahbiskan pada 1992 ini, memasak makanan lebaran itu sebagai cara menyambut lebaran yang belum jelas jatuh pada hari apa, Selasa atau Rabu, 30 atau 31. Di atas meja ruang tamu di rumah yang masih dikelilingi pohon dan tegalan, terhampar sekira 5 toples berisi kue lebaran dan juga permen. Itu juga untuk menyambut tamu-tamu lebaran yang dirayakan setiap tahun oleh umat Islam itu.
Di rumah yang riuh oleh dua ekor anjing dewasa dan lima bayi anjing itu dikepungi oleh buku-buku. Rak-rak ada di luar (pintu belakang gereja), di dapur, di ruang tamu, bahkan di dapur. Kata Bu Asrie Lesningtyas, buku dan majalah itu adalah koleksi perpustakaan keliling KiRaNa yang didirikan sebulan setelah kopdar Apresiasi Sastra dilangsungkan di rumah ini, Mei 2007.
Mas Yahya adalah lulusan teologi Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta, sementara Mbak Asrie lulusan ekonomi IKIP Semarang.
Di luar semua gambaran dan keramahan Mas Yahya dan Mbak Asrie menyambut “tamu mudik” seperti saya ini, saya beruntung mendapatkan jamuan puisi. Ya, Pak Yahya menghadiahkan sekuplet puisi merah yang dibacakannya sendiri dari laptopnya. Saya merekamnya dengan recorder dan kamera handycam.
Puisi itu berkisah tentang sebuah kawasan pembuangan akhir mayat-mayat kaum kiri hasil bersih-bersih serdadu dengan dukungan golongan masyarakat yang berseberangan pergerakan dengan PKI, seperti NU, PNI, Masyumi dan semua organ jejaring bawahnya. Kisah tentang daerah bernama Luweng Mloko di tepi Desa Johonut, Kecamatan Paranggupito.
Inilah puisi yang diberi judul “Luweng Mloko” dan ditujukan kepada penyair Lekra JJ Kusni a.k.a Kusni Sulang. Saya kutipkan bait awal puisi yang dibikin pada 15 Agustus 2003 ini.
Dengan kehilangan kata-kata di hadapan Luweng Mloko
Tanpa menaburkan bunga peziarahan ini kurasa tetap sah saja
38 tahun berlalu sudah
Dan tetap tergambar jelas
Rentetan tembak dan teriak mengiring jatuh tawanan-tawanan
Terbanting di dinding-dinding bebatuan
Terkapar di dasar kegelapan
Masih hidup, luka-luka, atau langsung mati bukan lagi urusan
Setelah puisi panjang itu dibacakan, Mas Yahya berkisah bagaimana perjalanannya bersama tiga rekannya yang lain pada Agustus 2003 itu ke Luweng Mloko. Mereka berangkat pagi setelah sarapan di warung Pak Tarsa yang belum buka dan beberapa saat mampir menelpon di Slogohimo.
Perjalanan mereka sempat tertunda untuk menolong tiga orang pengendara dua motor bebek yang tergelincir jalan licin dan bertabrakan di tikungan jembatan sebelah timur Pom Bensin Jatisrono, mencegat mobil, mengantar ke Puskesmas Slogohimo yang lebih dekat jaraknya, diserahkan petugas jaga di Puskesmas yang ternyata sedang mempersiapkan pesta pelepasan dan penyambutan dokter baru, motor diantarkan ke bengkel.
Kengerian melihat kecelakaan motor sebelumnya mengarahkan rombongan ini untuk memilih rute jalan yang lebih sepi. Maka diputuskan berbelok di Jatisrono, lewat Jatiroto, gunung Tunggangan, turun di Tirtomoyo, belok di Kayangan, Batuwarno, sampai di Pastori Baturetno pk. 09.10 WIB. Termasuk cepat melewati jalur ini. Pdt. Sunu Prakosa ternyata sudah menunggu rombongan kecil ini.
Sesuai informasi yang mereka terima sebelumnya, mereka kemudian menuju rumah Pak Misdi di desa Selur, Ngargoharjo. Menunggu di rumah adalah Bu Suratmi, Pak Misdi yang sedang mempersiapkan tegalnya untuk persiapan tanam bila nanti turun hujan. Pak yahya ikut Bu Misdi menyusul ke tegalan, baru beberapa rumah berjalan ternyata sudah bertemu. Sesudah berkenalan, pahamlah Pak Misdi maksud tujuan kedatangan mereka.
“Yang saya ceritakan ini apa adanya ya, tidak ditambah-tambah atau dikurangi. Kalau tidak tahu saya juga bilang tidak tahu. Waktu itu saya masih kelas 6 SD (lahir tahun 1950), jadi masih kecil. Waktu kejadian orang-orang yang sudah besar berjaga-jaga di batas kampung, di luar rumah. Anak-anak kecil dilarang keluar rumah. Meski demikian dari cerita-cerita orang kami tahu semuanya karena beritanya memang sudah tersebar sehari sebelum kejadian. Malam itu ada kiriman orang PKI ke Luweng Mloko, jumlahnya berapa saya tidak tahu. Nanti tanya saja penghuni yang dekat luweng itu. Penduduk setempat tidak tahu menahu, pokoknya ada perintah dari atas iya sudah dijalankan tidak ada yang bertanya-tanya. Sesudah kejadian itu, sampai tiga bulan sesudahnya angin membawa bau bangkai ke desa-desa sekitarnya, bau bangkai menyebar ke arah mana angin membawanya. Lebih baik kita meninjau langsung tempat kejadiannya saja.”
Pak Misdi yang ditemui Mas Yahya dan teman-temannya itu asli kelahiran Selur. Selulus SD Pak Misdi melanjutkan SMP Kanisius di belakang Balaikota Solo. Hanya satu tahun di sana, dijemput pulang karena ayahnya meninggal dunia, dan tidak sekolah lagi. SMP Kanisius bersebelahan dengan bangunan militer yang dijadikan kamp tahanan orang-orang PKI di Solo.
“Saya dan teman-teman mengintip dengan memanjat dari celah pagar, mereka yang ditahan kurus-kurus, biasanya hanya duduk-duduk saja. Kalau mereka (tahanan) melambaikan tangan mengusir kami, iya kami lari, takut.”
Mata pencarian sehari-hari adalah bertani. Pak Midi tidak menanam ketela pohon, lebih memilih menanam kacang tanah, jagung, dan padi (tadah hujan) yang bisa dijual dengan harga lebih tinggi dari ketela. Bila ada pesanan, Pak Midi menukang kayu, mengerjakan perabot rumah atau bakal rumah (kusen, pintu dll.). Putri satu-satunya sudah lulus D-3 Akademi Uang dan Bank di Solo, dan sekarang melanjutkan sarjana di Universitas Slamet Riyadi Solo.
Kondisi wilayah khas pegunungan karst Gunung Kidul. Batu-batu karang dasar laut purba jutaan tahun lalu menyembul ke daratan, menjadi bukit-bukit kapur tandus. Sepanjang perjalanan ke lokasi ada pipa-pipa dan tandon air minum. Banyak penduduk antre dengan ember dan jerigen air. Sama sekali tidak ada sumur. Telaga-telaga sudah mengering, beberapa kali berpapasan dengan truk tanki air yang membawanya ke rumah penduduk yang memesan, satu tanki air dihargai Rp 40-60 ribu, tergantung jaraknya. Biasanya ada tandon air tadah hujan di rumah penduduk, katanya cukup untuk persediaan rumah 2-3 bulan sesudah hujan terakhir, setelah itu Pak Midi harus antre ke bak-bak penampungan air untuk umum, atau beli.
Luweng Mloko ada di wilayah Desa Bringin, tetapi letaknya tepat di perbatasan desa Johunut. Ada satu bukit kecil di kiri (timur) jalan aspal ke jurusan Paranggupito, tepat di pertigaan jalan tanah ke barat, di kaki bukit selatan ada tanah lapang, dan SD Johunut II, selanjutnya rumah-rumah penduduk Dusun Johunut, Desa Johunut, Kecamatan Paranggupito.
Di hari pertemuan itu Pak Misdi datang bersama Pak Paimo, Pak Lik-nya. Mereka duduk-duduk di teras sekolah yang lenggang siang hari sesudah murid-murid dan guru pulang. Sementara berkenalan dengan Pak Paimo, seseorang bercaping menggembalakan 6 ekor domba yang beberapa lama mengawasi mereka di lapangan datang mendekat.
Setelah tahu maksud kedatangan Pak Yahya dan teman-temannya untuk mencari tahu kisah-kisah peristiwa 1965 berkaitan dengan Luweng Mloko, langsung saja penggembala itu lancar bercerita, sambil berpesan, tidak usah dicatat namanya.
“Waktu itu tahun 1965 PKI mengadakan kudeta, membunuh jendral-jendral di Jakarta, maka di daerah-daerah pengikut-pengikutnya ditahan di penjara. Tahun 1968, bulan Besar, malam Kamis Legi ada satu mobil jeep dan tiga truk RPKAD dari Kandang Menjangan Kartosuro, membawa tahanan kemari. Mereka dibunuh di Luweng Mloko. Benar, tentaranya berbaret merah. Tidak tahu jumlah yang dibunuh ada berapa.”
Penggembala itu, yang kemudian dari Pak Paimo diberikan namanya adalah Kepala SD Johunut, terus pamit setelah Pak Yahya mengkonfirmasi keterangannya bahwa bagaimana bisa tahu tentara itu dari Kandang Menjangan Kartosuro. Apa betul harinya Kamis Legi, apa betul sungguh-sungguh menyaksikan peristiwa itu atau hanya mendengar dari orang lain. Ternyata benar perasaan Mas Yahya. Orang itu hanya menjawab, “Katanya, katanya”. Sambil terus berpesan, jangan menyebut namanya, menyangka bahwa rombongan Mas Yahya adalah wartawan.
Mas Yahya bisa memastikan bahwa orang itu tidak mengatakan yang dia ketahui benar karena RPKAD yang berubah nama jadi Kopasandha lalu Kopassus baru bermarkas di Kandang Menjangan Kartosura sekitar tahun 1970-an.
Pak Paimo jauh lebih apa adanya. Tuturnya:
“Saya hanya cerita apa yang saya tahu. Malam itu adalah malam Jumat Pon, saya catat betul karena keesokan harinya saya mendirikan kandang sapi. Anak saya Satinem waktu itu umurnya masih belum selapan, jadi tahunnya 1965, bukan 1968, ini apa adanya lho. Kamis Pahing sebelumnya ada perintah dari Lurah Dusun untuk membuat jalan ke Luweng Mloko, sedusun ikut serta.
“Tapi kami tak tahu jelas untuk apa pekerjaan itu. Ketika malam, pk. 12.00 tengah malam datang 3 truk tentara, bukan polisi, mereka berhenti di pertigaan di tepi bukit tempat Luweng Mloko itu. Saya tahu betul karena saya berjaga di bukit sebelah selatan itu, mencegat orang-orang yang berangkat ke pasar Giritontro, hari pasarannya itu Pon, waktu itu belum ada kendaraan, maka orang ke pasar jalan kaki saja memikul jualannya. Saya mencegat mereka karena disuruh tentara, supaya orang-orang tidak mendekat ke Luweng Mloko.
“Waktu itu bukit di selatan gundul, tidak ada pohon-pohon jatinya seperti sekarang, maka apa yang terjadi di sini terlihat jelas. Lampu-lampu menyala bersinar di sekitar Luweng Mloko ini. Sunyi sekali, terus ada rentetan tembakan serta teriakan. Orang-orang tidak tahu apa yang terjadi.
“Dua tiga hari setelah kejadian itu, bau bangkai menyebar dari Luweng itu. Oleh karena itu penduduk sekitar dikerahkan untuk menutup luweng itu dengan semak-semak dan daun-daunan. Ada mayat pria bersarung, tangannya diikat di belakang, tersangkut di batu. Saya ikut mendorong mayatnya masuk ke Luweng memakai bambu. Katanya ada juga perempuan yang jadi korban di luweng itu. Sampai tiga bulan angin membawa bau bangkai ke desa-desa sekitarnya.”
Ketika ditanya siapa yang memilih tempat itu untuk membunuh orang-orang PKI, katanya ada seorang tokoh PNI Wonogiri asalnya dari daerah itu, kemudian ia jadi anggota DPRD mewakili PNI pada pemilu 1971).
Semula yang akan dipakai adalah luweng di tengah perumahan Johunut, tetapi penduduk sekitar tidak menyetujui, akhirnya luweng Mloko yang dipilih.
Sudah ada yang pernah menuruni luweng itu, pernah ada tukang becak yang turun ke sana, karena katanya ada harta karun, tetapi tidak ada. Lalu terakhir rombongan mahasiswa KKN 2001 dari Unisri pernah menuruni luweng itu dan luweng-luweng di sekitarnya, ada banyak tulang-tulang manusia ditemukan di Luweng Mloko. Tetapi penduduk tidak pernah mengurus hal itu, jadi tidak tahu menahu.
Demikian kisah Luweng Mloko. Salah satu pembuangan akhir mayat-mayat kiri yang dibunuh secara brutal dan dianggap sewajarnya oleh sebuah rezim dan masyarakat dalam kurun semasa. Luweng Mloko hanyalah salah satu pekuburan massal dari sebuah periode mass murder yang bersembunyi di balik dalih pemberontakan PKI yang tak pernah bisa dibuktikan secara meyakinkan itu.
Dari Purwantoro, kini perjalanan mudik ini akan berlanjut ke Ponorogo. Mengikuti sepotong rute long march yang pernah dilalui Amir Sjarifuddin seusai peristiwa Madiun Affair 48 meletus.
Ya, ya, Purwantoro memang pernah dilalui ribuan pengikut Amir yang terdiri dari laskar merah, perempuan, dan anak-anak keluarga Komunis yang setia. Dan di Purwantoro pula, keluarga besar yang dikejar-kejar tentara KNIL pimpinan persekutuan Nasution-Hatta ini kehilangan satu brigade Abdoel Moetolib yang terpisah dari pasukan induk yang sebagian besar adalah brigade Pesindo. 
(Bersambung ke #5 Ponorogo)
Sumber: Muhidin M Dahlan 

#4 Wonogiri (Bag 3): Kuburan Merah

29 Agustus 2011 | Purwantoro | Km 198 | Pkl 10.10


Jawa menjadi kuburan bagi PKI dan simpatisannya.Dalam sepotong dialog film propaganda yang terus diputar rezim militer-dagang Suharto, Aidit (Syubah Asa) tampak mengepalkan tangan kiri penuh yakin bahwa pertarungan sejati dan habis-habisan di Jawa, lantaran Jawa adalah kunci. Dan kita tahu kemudian Jawa juga menjadi kuburan bagi keyakinan itu. Yahya Perwita dari belakang terminal bus Purwantoro, Wonogiri, menyimpan cerita dua kuburan yang tertutur oleh Mbah Madi dan Mbah Padmo. Kisah itu tergali dalam sebuah ikhtiar melawan lupa antara tahun 2002-2004.
Cerita Mbah Madi
Suatu malam, semua yang apel disuruh membuat pagar betis di kuburan Kendal (sekira 3 km arah selatan Kec. Girimarto, sebelah barat jalan). Suasana sangat mencekam, dua lubang besar sudah digali di pojok baratlaut kuburan. Ada ratusan orang malam itu.
Akhirnya yang ditunggu datang. Pada pukul 10 malam itu satu truk tentara tiba membawa 6 tawanan. Tangan mereka terikat di belakang. Aku lupa mata mereka ditutup atau tidak, tetapi aku ingat dengan jelas, aku menuntun salah seorang di antara mereka, jalan dari truk sampai kuburan. Katanya 6 orang yang lain sudah ditinggal di Ngledok, belokan irung petruk sebelum Sidoharjo. Jadi hanya 6 orang ini yang dibawa ke kuburan Kendal.
Orang-orang berjejal di sekitar lubang. Jadi aku terhalang melihat langsung apa yang terjadi. Tapi mereka didorong masuk ke lubang, dalamnya lebih dari 2 meter, masing-masing lubang tiga orang. Masih terlalu besar karena sebenarnya tiap lubang disiapkan untuk 6 orang. Selanjutnya orang-orang itu diberi kesempatan untuk berdoa, dan ditembak dengan senapan LE. Satu polisi dari Sidoharjo ngewel, amat sangat gemetar sehingga tak jadi menembak, malah disuruh pergi. Waktu itu semua diam, sama sekali tidak ada sorak.
Di kuburan itu, di lubang-lubang penembakan itu, kedua orangtua dan saudara-saudaraku juga dikubur. Kami memang tinggal tak jauh dari kuburan itu. Sampai sekarang saya selalu memotong dahan kamboja di kuburan itu. Dulu aku yang menanamnya, bibitnya saya bawa dari Wonogiri.
Cerita Mbah Padmo
Waktu itu awal tahun 1966, hujan masih sering datang. Sebagai anggota wanra (hansip) dari unsur agama (gereja), maka aku dan dua teman yang lain ikut berjaga di Kecamatan. Apalagi sebelumnya sudah ada perintah, bahwa malam ini akan ada kiriman hukuman dari Wonogiri ke Bulukerto. Sejak sore sudah berkumpul anggota wanra sekecamatan.
Pukul 12 malam yang ditunggu akhirnya datang. Satu truk dari Wonogiri membawa orang tahanan PKI. Truk berhenti di selatan jembatan Wates, lalu dari sana 14 orang tahanan yang tangannya dikrincung (diikat jempolnya dengan kawat atau tali senar) di depan dan mata tertutup kain hitam dituntun lewat jalan setapak ke kuburan Wates. Lubang makam sudah dibuat oleh warga Kebayanan Dagangan.
Rupanya orang-orang itu baru sadar bahwa mereka akan dibunuh. Oleh karena itu ada yang menyuruh supaya cincin dan jam tangannya dilepas, supaya tidak ikut dikubur. Salah satu di antaranya adalah Kepala Desa di Eromoko. Ia termasuk yang ditembak dua kali, karena tembakan pertama masih saja tegak. Kalau yang lain ditembak satu kali sudah roboh. Satu per satu disuruh lompat ke lubang yang sudah digali dan jongkok, lalu ditembak dari belakang.
Di sebelah Kepala Desa Eromoko itu ada anak kecil, katanya anggota IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia). Ia termasuk korban yang ditembak juga. Nyala api puluhan obor dan lampu petromaks menerangi kuburan malam itu. Hanya ada sekitar 80-an anggota wanra dan tentara serta polisi. Sama sekali tidak ada penduduk. Kemudian tentara menembak satu per satu, mulai dari sebelah timur ke barat. Senapan ditembakkan dari atas liang kuburan, tepat ke belakang kepala orang hukuman itu. Otak dan tulang tempurung kepala ada yang berhamburan ke sekitarnya.
Aku lihat sendiri, kalau ada seorang wanra lari sembunyi karena takut, padahal bawa parang sepanjang lengan kalau pas tugas jaga.
Sesudah selesai, wanra yang ada menimbuni lubang kuburan itu. Semua ditata dibujurkan utara selatan. Sesudah selesai, semua wanra yang bertugas kembali ke kecamatan, di depan pasar disuruh makan soto, lalu pulang.
Kutipan kisah-kisah mereka yang dituduh merah, disangkakan PKI, yang dihimpun dari belakang terminal bus Purwantoro, akan dilanjutkan. Kini ke “tempat pembuangan akhir/TPA” Luweng Mloko. Tujuannya tak lain agar dari Purwantoro, Wonogiri, ini kisah orang-orang dilumpuhkan suara itu terabadikan. Walau masih samar dengan ketakutan yang masih mengiang. (Bersambung)
* Serial catatan mudik #syawalitumerah (Purwantoro, Wonogiri)
Sumber: Muhidin M Dahlan 

#4 Wonogiri (Bag 2): Kisah-Kisah Perburuan 29 Agustus 2011 | Purwa

29 Agustus 2011 | Purwantoro | Km 198 | Pkl 10.10


Kisah-kisah mereka yang dituduh merah, disangkakan PKI, dihimpun Yahya Perwita dari belakang terminal bus antara tahun 2002-2004. Dari Purwantoro, Wonogiri, kisah orang-orang dilumpuhkan suara itu terabadikan. Walau masih samar dengan ketakutan yang masih mengiang. Inilah cerita Mbah Darso, Mbah Kimin, Mbah Sarno, dan Mbah Tiyem.
Cerita Mbah Darso
“Langsung bawa saja ke penjara!”
Dan akhirnya tibalah kami di penjara. Tanpa ba bi bu, kecuali aku dan tiga orang yang lain semua dipukuli, disiksa, dan ditendang, dimasukkan ke dalam sel.
Sel ini normal untuk 7 orang penghuni, akan tetapi sel yang ada sudah penuh sesak, minimal 35 orang. Bahkan sel ukuran besar di sisi barat diisi sampai 80 orang. Semua berdempet, yang kuat berdiri, yang duduk gantian, kepalanya sudah dipepet pantat orang.
Jatah makan hanya satu sendok tiap kali, baik jagung, bulgur atau kadang nasi. Memakai kaleng yang disorongkan di bawah terali. Tetapi lebih dari itu yang paling ditakutkan adalah “bon malam hari”. Selama satu setengah bulan di penjara Wonogiri itu, dari 37 orang sekamar tiap malam ada yang diambil satu dua, sampai akhirnya hanya tinggal enam orang.
Suatu malam ada yang memanggil namaku, pimpinan SD Gondang Purwantoro. Teman-temanku menyuruhku diam saja, karena ternyata salah memanggilnya. Panggilan itu diulang sampai tiga kali, dan karena dianggap tidak ada lalu yang memanggil pergi. Menurut keponakanku yang ajudan inspektur polisi, mereka yang dibon keluar malam hari itu dibunuh, entah di mana kuburnya.
Sekali aku dibawa ke Kejaksaan, di sana aku ditanya, “Benar Saudara ketua Cabang PGRI Purwantoro?” Tentu saja kujawab iya, karena sebagai guru SD aku memang ikut organisasi PGRI ini. “Apakah mengadakan rapat gelap sebanyak 120 kali?”
Apa mungkin mengadakan rapat gelap sampai sebanyak itu? Aku membantah tuduhan itu.
“Apa Saudara pimpinan organisasi?”
“Ya, tetapi ini karena pilihan dan mewakili anggota, bukan kehendak dan ambisi saya pribadi.”
“Pernah ceramah kepada masyarakat?”
“Tentu, tetapi setiap kali ceramah, pasti juga disaksikan wakil dari organisasi tingkat kawedanan, juga tiga pimpinan daerah kecamatan: Camat, komandan polisi dan tentara. Jadi sama sekali tidak ada hal yang disembunyikan, apalagi gerakan gelap.”
Di akhir pemeriksaan, Jaksa yang tahu aku sudah punya anak tiga mengatakan semoga nanti dapat bertemu keluarga dengan selamat. Ditunjukkan pula surat laporan palsu yang dibuat oleh orang yang kukenal, ia guru pula, lebih muda dariku. Sekarang ia sudah mati. Waktu aku kembali dari P. Buru ia datang minta ampun padaku.
Cerita Mbah Kimin
Sebelum goro-goro ’65, tak ada kejadian khusus yang terjadi. Hanya memperjuangkan ideologi antar partai yang ada. Pemilu 1955 PKI menang di desa Nguneng, lebih dari 50%. Ada dilakukan aksi agraria, agar tanah OO Desa yang digarap Perhutani tanpa ada keputusan desa itu bisa diserahkan dan digarap oleh rakyat. Tapi keburu meletus peristiwa 30 September sehingga tinggal sebagai program saja.
Pada 11 November 1965 itu aku dijemput wanra dari PNI: Sarsan dan Marsidi. Bersama Wita anak mantu nomor 2, Yono (BTI), dan Mikun (Badran). Waktu itu PNI Bulukerto memang sewenang-wenang, mungkin merasa sudah jadi pemenang. Tidak ada dari golongan agama yang ikut menangkap. Masyumi kecil sekali jumlahnya. Tak ada tentara sampai Purwantoro. Tahun 1965 itu tiga ijasah yang kupunya dirampas, juga buku-buku. Padi yang disimpan di rumah bahkan yang panen di sawah juga dirampas. Meja almari dibawa ke kecamatan.
Tahun 1968, yang menangkap tentara dari Batalyon 426. Di jalan karena hujan aku dicarikan payung, ditawari rokok, dan dalam perjalanan dengan truk tentara yang jaga berkata, “Maaf Pak, ini hanya menjalankan tugas, berdasarkan surat dari Kepala Desa”. Mungkin karena melihat postur tubuhku yang kecil dan sudah tua, maka ada tentara yang nyelutuk: “Kaya ngono digawa menyang Solo arep ngopo?”
Ideologi PKI sama sekali tidak anti agama. Banyak anggota PKI yang haji. Saya sendiri sekalipun tidak lewat agama tetapi juga berbakti secara langsung kepada Tuhan. Malah dalam organisasi semua agama itu harus bersatu, tidak membeda-bedakan, karena yang baik itu hanya Tuhan.
Aku ikut kursus kader partai, materi utamanya adalah MDH dan filsafat Marxis, materialisme, dialektika dan historis. Bila tidak mambu MDH rasanya ketagihan, maka diadakan self studi terus, sambil ngadep kamus. Untuk materi MDH sampai sekarang masih kesulitan menangkap bagian penjelasan tentang hal ekonomi negara. Sampai sekarang masih tetap mengikuti berita. Paling suka BBC London, biarpun berita jelek tentang negara mereka sendiri tetap disiarkan.
Saat peristiwa 30 September 1965 itu, sama sekali tidak ada berita yang sampai kemari. Pekerjaan tiap hari iya mencangkul dan makan. Lain tidak. Tahu-tahu ditangkap. Jadi berita tentang dewan jendral, kudeta, dan macam-macam itu baru sesudah di penjara. Kalau bisa baca koran itu pun dengan sembunyi-sembunyi. Dan setelah itu sampai pemerintah reformasi (sesudah Mei 1998) adanya hanya intimidasi terus menerus dari Orba. Beda usul dengan yang berkuasa langsung saja dicap PKI!
Sekarang PKI sudah tidak ada. Tapi ilmunya saya yakin masih dipelajari.
Cerita Mbah Sarno dan Mbah Tiyem
Tahun 1964 PGRI Sudihadinoto vs Subandri PGRI Non Fak Sentral yang afiliasi ke PKI. Tahun itu ibu sakit di rawat di Solo, pulang dari sana mampir di kantor P&K ketemu PS Saryoko.
“PGRI pecah, melu sapa?”
Terus dicatatkan ikut PGRI Non Fak Sentral. Ternyata itu yang kemudian membawa ke penjara selama 5 tahun 28 hari.
Desember 1965 ditangkap. Disuruh ke Kecamatan oleh pemuda Masyumi, waktu itu sudah pukul 14.00. Di sana sudah ada Bu Ronggo Gesing, Sugiyarti (Pala Lemah Bang), Pokadi tani, Misiran tani (Lekra) dan ada 25 orang lain. Setelah didaftar, lalu dinaikkan truk. Sampai di Wonogiri di kantor CPM diabsen. Waktu itu hujan deras, disuruh copot baju dan celana, jungkir balik, laku dodok, mbrangkang, lalu dimasukkan penjara Wonogiri malam hari. Apel gelap-gelap.
Mulai Maret 1966 boleh ada kiriman makanan dari rumah, kamar ukuran 3×4 meter diisi 35 orang, tidur gantian, minum satu cangkir kecil untuk 5 orang dua kali sehari, makan kabluk dan gereh, gronthol 40 biji. Kiriman dari rumah biasanya sega aking.
Kami ingat, pernah suatu kali Polisi Perintis Sugeng menyuruh dibawa ke Bengawan Solo untuk mandi dengan kawalan Polisi Warno, “Aja mlayu!” Lha mlaku saja tidak jejeg.
Guru Didik yang ngusut perkara. Lalu ada usul supaya kerja di luar, buat bata di jembatan Suma Ulun yang waktu itu hancur diterjang banjir. Terus kerja di Kismantoro, mindah pasar dari Puskesmas ke lokasi Kelurahan sekarang.
Waktu bebas sempat ngampir ke Sriyono, teman tahanan dari Klitik. Eh malah dituduh buat gerakan PKI bawah tanah. Masuk lagi penjara 1 tahun. Tapi kemudian diperkerjakan tanpa upah. Ya namanya saja tahanan negara. Kami dikerjapaksakan buat jalan dari Kismantoro sampai Nawangan, jalan tanah, dengan sistem padat karya bersama masyarakat, sampai jadi jalan batu beraspal. Dari Kismantoro sampai Trolelo 500 orang tahanan kerja perhari. Bukan hanya tahanan dari Wonogiri, tetapi juga banyak remaja pemuda dari Klaten dan Solo yang ikut. Ketika tahun 1970 banyak remaja yang diambil dibawa ke Pulau Buru.
Yang ngusut itu mahasiswa dari Yogya. Mereka itu kejem-kejem. Mereka bawa dakwaan, kalau jawaban tidak sama dengan catatan yang dibawa langsung main pukul, atau kaki dijepit kaki meja, atau jari-jari tangan dipukul satu satu. (BERSAMBUNG)
* Serial catatan mudik #syawalitumerah (Purwantoro, Wonogiri)
Sumber: Muhidin M Dahlan 

#4 Wonogiri (Bag 1): Kisah-Kisah Pembunuhan

29 Agustus 2011 | Wonogiri | Km 81 | Pkl 07.40


Kisah-kisah mereka yang dituduh merah, disangkakan PKI. Dari Purwantoro, Wonogiri, kisah orang-orang dilumpuhkan suaranya itu tersiar. Walau masih samar dengan ketakutan yang masih mengiang.
Dari arah kiri, saya memasuki Kota Wonogiri. Sesaat saya ngelangut di depan pasar kota sambil membuka koran “nasional” satu-satunya yang terbit: Jawa Pos. Maklum, Kompas memutuskan libur lebih dahulu.
Apa yang merah di Wonogiri?
Awalnya saya tak punya informasi sama sekali tentang merahnya merah di kota ini. Secuil pun. Yang saya ingat dari kota di mana hulu Bengawan Solo ini berada adalah di sini Presiden Epistoholic berkantor. Dialah Bambang Haryanto. Peternak blog yang tekun. Dia adalah lulusan ilmu perpustakaan dari Unversitas Indonesia. Kategorinya sangat senior. Macam-macam ditulisnya di blog piaraannya. Dan yang teringat dari postingan terakhirnya adalah Wonogiri sebagai kota juragan bus. Di sini, manol di mana-mana.
Transportasi.
Itulah dunia kehidupan sebagian dari warga kampung Kajen, kampung domisili saya di Wonogiri. Hampir setiap rumah memiliki anggota keluarga yang bekerjadi bidang transportasi. Utamanya bis.
Ada yang menjadi pemilik, tetapi sebagian besar bekerja sebagai supir, kondektur atau mekanik. Dua adik ipar saya, juga bekerja di kancah yang sama. Sehingga bila berada di terminal bis, baik misalnya di Tangerang, Bogor, Pulogadung sampai Kampung Rambutan, tak jarang kami sesama warga Kajen akan saling bertegur sapa.
Saya tidak tahu apakah ada warga kampung Kajen yang bekerja sebagai manol. Saya juga tidak tahu asal-muasal sebutan ini. Manol fungsinya, kurang-lebih, dapat disamakan dengan traffic announcer dalam dunia penerbangan. Mereka bertugas memberitahu kepada penumpang tentang lalu-lintas pesawat terbang di bandar udara.
Tetapi yang pasti, para manol itu lebih tepat disebut sebagai calo bis. Lahan kerja para manol tersebut, tentu saja, di terminal atau di pos-pos pemberhentian bis di jalanan. Mereka memberitahukan kepada calon penumpang tentang bis-bis jurusan tertentu yang akan segera berangkat.
Awalnya saya hendak sowan ke rumah Sang Presiden “surat pembaca” itu. Seperti sedyakala. Namun urung dengan pelbagai alasan. Setelah 30 menit istirahat di depan Masjid Agung At-Taqwa di sisi Alun-Alun Kota, saya memutuskan melanjutkan perjalanan dengan pemberhentian Purwantoro, kecamatan paling timur kabupaten. Catatan saya menunjuk, berhenti di Purwantoro berarti saya telah menempuh 198 km jika diukur dari Kotagede, Yogyakarta.
Walau hanya kelasnya kecamatan, terminal Purwantoro sesak oleh bus-bus besar jurusan Solo, Semarang, Jakarta, bahkan sampai melintas ke Sumatera.
Dari Purwantoro inilah saya menyusuri sejarah kelam penangkapan, pengebonan, dan pembantaian warga masyarakat yang dituduh sebagai gerombolan pemberontak Negara Kesatuan Republik Indonesia. Awalnya saya cemas tak bisa menuliskan apa pun soal Wonogiri di serial “syawal itu merah”. Pasalnya, sedikit sekali literatur yang berkisah ihwal kecemasan dan ketakutan warga di sebuah periode pagebluk itu.
Tapi dari belakang terminal bus Purwantoro, di sebuah gereja jawa, di sebuah rumah yang di sisinya terdapat sebuah taman bacaan yang digerakkan dengan sepenuh-penuh hati, kisah tentang padamnya merah di Wonogiri dikisahkan.
Dari sana, data-data yang berisi suara-suara parau dan tua itu menembus sesaknya rasa takut. Kisah dari Mbah Darso, Mbah Narto, Mbah Paryo, Mbah Yatno, Mbah Pawiro, Mbah Sumo, Mbah Marto, Mbah Hadi, Mbah Kimin, Mbah Timan, Mbah Parno, Mbah Darmo, Mbah Sardi, Mbah Sarno, Mbah Pardi, Mbah Tisna, dan Mbah Padmo. Kisah-kisah itu dipungut dari pelbagai daerah di kecamatan-kecamatan tetangga Purwantoro seperti Bulukerto, Pelem, Kismantoro, Tlogohimo. Termasuk dari Purwantoro sendiri.

* Serial catatan mudik #syawalitumerah (Purwantoro, Wonogiri).

#3 Klaten (Bag 3): Pembangkangan Bayat

29 Agustus 2011 | Bayat | Km 40 | Pkl 6.37

Sebelum sampai di SMP Bayat, Klaten, di pertigaan pohon ringin besar ada sebuah papan penunjuk ke arah kanan: Makam Ki Ageng. Saya hanya melintas. Tidak singgah dan nyekar. Kelak saja jika tema perjalanan adalah nyekar kubur para pesohor. Saya mengonfirmasi makam itu ke budayawan rakyat Bondan Nusantara, benarkah Ki Ageng yang dimaksudkan papan penunjuk itu adalah Panembahan Kajoran? Jawaban penulis roman “Rembulan Ungu” (2011) itu ringkas: betul!
Lengkaplah sudah. Jika Klaten memerah riuh meriah di tahun-tahun 1960-an hingga Gestok 1965 dan Prambanan menjadi pelatuk pertama merancang pemberontakan di akhir tahun 1925, maka jauh berabad-abad sebelumnya, abad 16, Klaten menjadi kawasan pemusatan pembangkangan. Dari Bayat, Raja Mataram Amangkurat I ditumbangkan.
Amangkurat I adalah raja yang bengis, hidup mewah, memiliki stok selir yang tiada habisnya, dan tak segan-segan menggantung di Alun-Alun siapa saja yang tidak mematuhi titahnya. Termasuk yang digantungnya paman dan bibinya sendiri, Pangeran Pekik dan Ratu Pandan.
Bayat menjadi pusat merancang pembangkangan untuk menggulingkan Amangkurat I yang lalim lantaran Panembahan Kajoran tinggal di kawasan itu. Ia adalah salah satu yang dipanggil panglima perang Sultan Agung untuk menyerang Batavia bersama Pangeran Pekik, namun ditolak secara halus.
Dikisahkan dalam babad-babad, Panembahan Kajoran lebih memilih tinggal di luar Keraton karena tidak mau terlibat konflik dan rebutan kekuasaan antar dua saudaranya yang lahir dari garwa prameswari: Pangeran Rangsang dan Pangeran Jolang. Pangeran Rama—nama muda Panembahan Kajoran—adalah putra Panembahan Senopati dari selir.
Atas permintaan Pangeran Rama, Panembahan Senopati memberikan tanah perdikan (Tanah Merdeka) yang bebas pajak di Bayat. Sang pangeran yang sejak muda menyukai ilmu kewaskitaan itu kemudian memilih menjadi guru bagi para petani. Bayat adalah alam yang membesarkan Panembahan Kajoran. Di atas tanah itu, ketika Amangkurat I naik takhta, dijadikan pusat pembangkangan.
Ketegangan Bayat/Kajoran-Mataram itu dipicu lantaran Amangurat I tidak mengakui tanah perdikan kakeknya itu adalah tanah merdeka pemberian Panembahan Senopati yang bebas dari campur tangan Mataram. Amangkurat I menganggap, Kajoran di Bayat itu bukan desa biasa, melainkan tempat berlindungnya para pembangkang, baik yang berasal dari wilayah kekuasaan Mataram maupun bangsa lain.
Cerita seru bagaimana Bayat digembleng menjadi pusat pembangkangan atas Mataram bisa dibaca dalam babad kontemporer yang ditulis dengan cerkas bergaya ketoprak oleh Bondan Nusantara. “Rembulan Ungu”, demikian judul roman itu, sebelumnya adalah naskah ketoprak dan sudah beberapa kali dipentaskan di atas panggung.
“Mataram sudah di ambang kehancuran. Kesombongan, kesewanang-wenangan, dan salah urus telah menjadikan rakyat sebagai tumbal kekuasaan. Demikian juga hubungan ayahmu dengan para pedagang asing yang telah membuat rakyat menjadi kuli di negeri sendiri. Untuk itulah, kami berbagi tugas memperbaiki keadaan. Aku bekerja di luar keraton mengumpulkan kekuatan, sedangkan Pangeran Pekik dan Ratu Pandan berupaya memperlemah kekuatan Amangkurat dari dalam.” – Panembahan Kajoran
Dalam ketegangan Bayat-Mataram, jalur Wedi-Cawas-Bayat menjadi ajang saling selidik dengan titik sebar telik sandi di mana-mana. Di warung-warung kecil, di dangau-dangau petani, atau pun di bawah pohon besar selalu ada teliksandi yang ditanam.
Ketika saya beristirahat di depan warung, saya terngiang-ngiang bagaimana Wiguna dari Mataram dibongkar penyamarannya oleh teliksandi Bayat yang dipimpin pemuda bermata elang yang ternyata pelarian dari Makassar, Karaeng Galengsong. Galengsong adalah panglima perang Hasanuddin yang dikejar-kejar VOC.
Selain Galengsong, jagoan-jagoan muda Mataram juga merapat ke Bayat, seperti Panjalu, Sempana, dan srikandi cerdas dari hutan Mantingan, Sekar Pandan. Selain itu, Trunojoyo dari Sampang, Madura juga berdiam di sekitar pondok Panembahan Kajoran. Ia ditunjuk menjadi panglima perang tertinggi Bayat untuk menggempur Mataram. Sebelumnya, pemuda Sampang itu adalah pemberontak paling dicari Cakraningrat II. Pernah raja itu mengirimkan red notice kepada Mataram untuk meringkus pembangkang itu.
Musuh mereka, selain prajurit-prajurit Amangkurat yang dikendalikan pemuda ambisius Wirapatra, juga pendekar-pendekar hitam cum gali-gali dari Merbabu, seperti Suragobang, Suragedug dengan trisum muridnya yang berangasan: Jrabang, Jliteng, dan Brangas. Ada juga bantuan yang direkrut dari Alas Lodaya, yaitu Kelelawar Hijau dan Setan Bongkok dari Gua Cerme serta kepala rampok Kelabang Curing dari Nusakambangan. Dari nama dan asal mereka, seperti Merbabu, Gua Cerme, dan Nusakambangan, sudah terbayang-bayang tingkat kegalian dan kebanditan hasil rekrutan punggawa Mataram itu.
Sementara itu, pasukan perang yang digelar angkatan muda Bayat terdiri dari pasukan gabungan dari Brang Wetan Surabaya dan pasukan Mangunwijaya Banyuwangi. Dan tentu saja pasukan yang telah berlatih gelar perang siang malam di Bayat, seperti prajurit panah yang berlatih di sawah yang habis panen, atau prajurit pemanjat yang berpeluh di lereng-lereng bukit. Di antara pimpinan pasukan itu ada juga pendekar tua seperti Demang Bagelen dari Banyumas dan Ki Gede Gedong Sanga dari lembah Tidar.
Pasukan dari petani Bayat, Klaten, inilah yang memporak-porandakan istana Mataram yang belum lama dipindah: dari Kerta ke Plered.
Krisak | Km 58 | Pkl 07.07
Dan Bayat pun, kawasan yang menjadi leluhur “nasi-kucing” (Jogja: angkringan; Solo: hik), lewat sudah. Tapi saya sempat kebingungan di pertigaan Weru, Sukoharjo. Untuk tidak mengulangi kesalahan sebelumnya, saya bertanya ke mana arah Wonogiri. Ini jawaban salah satu warga yang nangkringdi atas motornya yang sedang parkir di dekat tugu pendek berwarna kuning pudar itu: Arah kanan kiri semuanya ke Wonogiri. Ke kanan menuju Manyaran sementara ke kiri Krisak.
Saya pernah beberapa kali “tersesat” mengambil kanan dan memasuki Wonogiri via Waduk Gajah Mungkur. Lebih lama 45 menit perjalanan tentu saja.
Saya pun kemudian memilih Kiri. Ke arah Krisak. Walaupun jalannya satu kilo rusak (sama dengan rusaknya jalan Ds Tegalrejo, Weru), Krisak menuntun saya memasuki Wonogiri via Kota. Memilih Krisak, berarti memasuki Wonogiri dari Kiri.
setelah Bayat, Klaten, sampai jumpa di catatan mudik berikutnya, #4 WONOGIRI (syawalitumerah).
* Serial catatan mudik #syawalitumerah
Sumber: Muhidin M Dahlan