HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Jumat, 23 September 2011

#7 Tulungagung: Interogasi Teluk Brumbun

29 Agustus 2011 | Tulungagung | Km 240 | Pkl 15.36
Di Kebonsari, Punung, Pacitan, hanya karena sering ngrawit gending genjer-genjer, seorang seniman Lekra disembelih.Sebelum eksekusi penyembelihan itu, warga yang merindukan suara sang guru itu meminta didendangkan satu tembang: Dandanggula. Justru dari Tulungagung, saya mengetahui cerita itu.
Saya menuju Tulungagung dengan perasaan bahagia. Selain lurus jalannya dari Trenggalek, juga kota ini lumayan akrab; walau tahun 2008, ketika menuju Kediri, saya dibuangnya ke barat Brantas dengan was-was.
Setahun silam juga saya pernah ke sini melakukan wawancara di rumah serang seniman lulusan ASRI, Moelyono. Perupa yang terkenal dengan slogan “Seni Rupa Penyadaran” ini memang terlahir dan berkesenian di Tulungagung. Tujuan saya: wawancara proses berkeseniannya. Dan tentu saja minta tandatangan pada dua bukunya yang sudah terbit: Seni Rupa Penyadaran dan Pak Moel Guru Nggambar.
Tapi, kedatangan 4 April 2010 waktu itu tak disertai dengan “ritual” menyinggahi Alun-Alun Kota. Karena itu, setelah behenti sejenak di bukit makam Bong Cina Bolo Jl Raya Gondang. Setelah 15 menit berkendara, saya mulai mencari-cari arah memasuki alun-alun.
Alun-alun ini bernama Taman Kusuma Wicitra. Diapit jalan-jalan kecil serta “hutan buatan”, alun-alun ini memanjakan. Ada tempat outbond dan rekreasi buat anak-anak. Menara air yang ditongkrongi Garuda dikelilingi pohon-pohon besar. Juga empat sangkar yang dihuni puluhan merpati itu. Setiap sore ritual anak-anak memberi makan merpati menjadi hiburan gratis. Bagi yang ingin sehat, patut membuka alas kaki. Sebab sepanjang jalan yang dikeraskan dalam alun-alun mungil itu, tersedia pemijat alami.
Saya “menduduki” alun-alun ini sudah senja. Hampir jam 4. Empat toa yang ditanam di empat sudut alun-alun sudah memulai program religius mengantar kaum Muslim berpuasa di hari akhir Ramadan: Pildacil. Awalnya saya menduga empat toa itu adalah berasal dari posko informasi. Tapi ternyata tidak. Toa itu bersambung ke radio bernama Kembang Sore, sepotong nama yang mengingatkan saya pada sosok ciptaan S Tidjab dalam sandiwara radio Pelangi di Atas Gelagahwangi (Roro Kembangsore adalah perempuan cantik yang tak beroleh cinta hingga akhir hayat).
Sebelum memasuki kota saya baca plang iklan dengan tulisan jumbo radio ini di papan yang catnya sudah mengelupas saking lamanya: Kembang Sore, Radionya Tulung Agung. Saya berkesimpulan bahwa ini semacam RRI di daerah. Buktinya, punya keistimewaan untuk “menghibur” orang-orang sealun-alun dengan bantuan empat toa.
Setengah iseng, setelah tengok kiri-kanan, bergerombol-gerombol anak muda berkumpul, berpasang-pasangan muda-mudi yang mungkin sedang ngabuburit cinta, mengirim sms ke Endah “Velista” SR. Pemudi yang lahir dan besar di kota ini. Saya tanyakan, apakah semasa remaja ting-ting memanfaatkan juga “boulevard” di antara alun-alun dan kantor bupati itu untuk “ketemuan-ketemuan”. Dan jawabannya setengah mengejutkan: Tidak! Mengapa? Maklum, masa itu adalah masa jilbaber. Jadi tidak berkesempatan “ketemuan-ketemuan”.
Satu jam di alun-alun. Menulis kesan di memo handphone. Merajut kembali ingatan. Di rindangnya pepohonan di kota ini, Tulungagung juga menjadi kawasan di mana membunuh beramai-ramai adalah kewajaran. Ya, tak jauh dari kota ini, di kawasan antara jalan utama perbatasan Kediri dan kota, sebelum dipecah jembatan Brantas, saya mengingat sepotong nama. Guru Nggambar Moelyono.
Nama ini dalam peta seni rupa Indonesia diperhitungkan. Teringat pada suatu waktu, 22 Februari 1985, untuk memungkasi masa kerjanya sebagai “mahasiswa” di kampus ASRI jurusan “seni lukis”, Moelyono memboyong benda-benda dari Desa Waung, Tulungagung. Tema “seni lukis”nya adalah KUD atau Kesenian Unit Desa. Di lapangan badminton di bawah tower air depan gedung FSRD ASRI Gampingan, Moelyono menghampar 23 tikar pandan. Pada tiap tikar diletakkan pincuk daun pisang berisi sejumput tanah dengan semaian biji jagung, bayam, tangkai kangkung, dan ketela rambat jenis bibit tanaman ladang apung di atas rawa. Pada ujung sudut kiri jejeran tikar, berdiri podium lengkap dengan corong mikrofon bersuara berisik siaran berita radio transistor.
Dan jajaran pengajar ASRI bersepakat: menolak karya KUD Moelyono sebagai bagian “seni lukis”. Moelyono shock. Dengan langkah gontai ia berdiri di tengah bangunan KUD-nya yang rubuh dan menegak di podium dengan masygul. Pesan dialog dan rembukan yang ingin diungapkan dalam karyanya gagal total.
Di akhir Ramadan ini, di sore yang sudah melelahkan ini, saya mengingat lagi Moelyono yang tinggal di Desa Winong, Kedungwaru. Tapi bukan cerita KUD-nya itu. Melainkan usahanya “menaklukkan” ketertinggalan pendidikan kepada anak-anak Teluk Brumbun dan Nggerangan. Jauhnya dari Tulungagung sungguh aduhai. Sekira 85 Km dari kota. Dan dilanjutkan dengan jalan kaki 5 km. Di teluk inilah Moelyono menjadi guru nggambar bagi anak-anak nelayan itu.
Dikisahkan Moelyono, aparat pemerintah desa pernah mencurigainya. Seorang terpelajar. Datang ke desa terpencil. Mengajar. Mendatangkan pihak luar. Aparat Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) pernah menginterogasinya: siapa nama lengkap? Alamat? Pekerjaan? Siapa nama orang tua, apa partai dan pekerjaan? Apa masih ingat peristiwa politik G 30 S PKI? Dan apa saja kegiatan di Brumbun dan Nggerangan?
Syakwasangka aparatur kecamatan itu beralasan. Ya, teluk itu masuk dalam daftar hitam kawasan persembunyian orang-orang PKI. Karena itu, kawasan ini jadi operasi Koramil sekaligus menjadi ladang pembantaian tahun 1965. Di teluk itu pula, Moelyono menjadi guru gambar bagi anak-anak nelayan itu. Mula-mula menggambar dengan peralatan seadanya. Menggambar di atas tanah. Tak hanya menggambar, anak-anak itu juga ditanamkan sifat sosial, kegotongroyongan, kepedulian sesama, hingga gambar-gambar mereka keluar dari teluk endemik kemiskinan itu: dipamerkan di salah satu rumah warga, di kota kabupaten, hingga Salatiga, Yogyakarta, dan Jakarta.
Kisah Sisipan
“Seniman Lekra itu Disembelih karena Genjer-genjer”
Moelyono juga bergiat di Yayasan Seni Rupa Komunitas (YSRK). Pada 1999, Moelyono dan rekan-rekannya memasuki Desa Kebonsari, Kecamatan Punung, Kabupaten Pacitan untuk sebuah pemberdayaan komunitas berkesenian petani.
Perupa yang menyandang “gelar” pembawa panji “Seni Rupa Penyadaran” oleh Adiyati Subangun ini bercerita tentang sebuah pertemuan para mbah di Kebonsari seusai latihan nabuh gamelan. Guru Nggambar itu heran, mengapa para mbah ini memainkan musik-musik itu tidak dengan perasaan tidak canggung. Bahkan mereka tergolong mahir. Dari keheranan itu terkuak sebuah kenyataan, Kebonsari adalah desa di mana pernah menjadi Pusat Budaya Tani. Waktunya direntang 1960-an, sebagaimana dikisahkan kembali oleh Moelyono dalam buku Pak Moel Guru Nggambar.
Masa-masa itu, kisah Moel, lima dusun di Kebonsari riuh rendah dengan suara-suara musik. Ngasem, Trosobo, Kebonagung, Kayen, dan Krajan. Masing-masing dusun itu memiliki kelompok seninya masing-masing.
Ngasem, misalnya, terdapat kesenian tetek atau musik kentongan ronda dengan anggota laki-laki dewasa. Di Kasun Ngasem ada pula karawitan warga dengan penggerak suami istri, Sarimo dan Kasimo. Lalu di Kebonagung di atas bukit ada kesenian sholawatan yang digerakkan oleh kelompok perempuan semua: Wagiyem, Semi, Partin, Tumini, Mijem, Suyati, dan Sugiyem. Selain sholawatan itu, di dusun ini pula terdapat seni pertunjukan ogleng dan wayang kulit yang didalangi Tukiran, Narto, dan Guno.
Di dusun Kayen nyaris setiap sore terdengar lesung bertalu-talu yang dimainkan kelompok kesenian lesungan ibu-ibu: Minem, Wagiyah, Cemblek, Jebrk, dan Ngadinah. Ketika malam tiba, saat suara lesung redup, gantian alunan seni sholawatan pimpinan Tukimin yang ambil alih suara.
Adapun Krajan yang disebut-sebut pusat kesenian desa Kebonsari. Alasannya, selain di dusun ini terdapat makam Danyang Singo Barong yang dikeramati, juga nyaris semua jenis kesenian Rakyat ada. Mulai dari karawitan, seni pertunjukan sendratari ogleng, sholawatan, wayang kulit, tarian gambyongan, hingga reog. Semuanya digerakkan warga sendiri.
Dalam kesenian yang puspa ragam itu, politik berkesenian tidak kalis. Lembaga-lembaga kesenian seperti LKN (Lembaga Kesenian Nasional) yang berafiliasi ke PNI dan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berafiliasi ke PKI turut hadir. Saling menggarami. Seperti cerita Mbah Sogi yang biasanya berperan sebagai Semar kalau pentas wayang orang. Ia mengaku rombongan keseniannya adalah LKN, padahal di desa Krajan itu mayoritas seniman Lekra.
Seorang yang dituakan di dusun Krajan, Mbah Pardi, menuturkan pengalamnnya menjadi penggerak kesenian di Kebonsari:
Lha wong saya itu merintis kesenian jaranan dan ketoprak sejak tahun 1952 kok. Itu usaha saya sendiri. Tahun 1954 saya beli alat-alat ketoprak lengkap dengan layarnya. Di tahun 1960-an semuanya sudah bagus. Eh, malah ketabrak Gestok. Lha kan katanya mambu-mambu (berbau) gerombolan PKI-Lekra itu lho, ha ha ha…. Saya sampai ditangkap dan diserbu tentara 12 orang. Kelir-kelir (layar) dan jaranan semuanya diangkut. Saya ditanya, kamu Lekra ya? Weealah saya tidak tau, saya tidak ngerti, saya itu Lekra atau bukan, wong kalau rapat Banteng (PNI) di balai desa ya ikut, rapat PKI ya ikut, tapi saya tidak pernah mendaftar. Saya ini ya blak penak wae, karena katanya semua partai itu bagus. Lha nek akire ada yang nyalahi (dianggap salah), kan bukan saya yang nyalahi. Tapi penggede (pimpinan) saya, ketua jaranan saya, yang memang ketua PKI betul. Ada anem (enam) orang pada jaman itu yang dibawa ke Penung dan dipateni di sana.”
Salah satunya adalah Pak Sarnen. Ia adalah guru kharismatik Sekolah Rakyat (SR) Kebonsari. Dia seniman tulen di desa. Pandai menggambar dan melukis realis. Gambarannya untuk saat ini, ya seperti Moelyono itu. Guru Nggambar murid-muridnya menyebutnya. Pak Sarnen juga punya suara bagus. Ia pintar nembang dan ngrawit gending. Tak seperti sosok seniman yang mendapat cap kumuh dan kumal, Pak Sarnen justru tampil klimis, rapi, dan wangi, karena itu berwibawa. Maklum, ia juga tampil sebagai guru.
Dengan semua keahlian dan tampilan seperti itu pantas saja banyak gadis-gadis desa tergila-gila pada Pak Sarnen. Jika ketoprak Pak Sarnen tampil, warga—dan terutama para gadisnya—yang menyaksikan mbludak. Bahkan setiap malam jika kelompok Pak Sarnen ini latihan, rumah Pak Sukir sesak dengan warga penyaksi.
Lakon yang kerap dtampilkan diambil dari Babad Tanah Jawi. Bedanya dengan ketoprak yang dimainkan seniman LKN dan Lekra ada di bagian pembuka. Kalau ketoprak LKN, jika warga sudah berkumpul langsung dimulai. Kalau Lekra yang tampil, biasanya dimulai dengan pidato tokoh PKI dari kecamatan dan desa lalu dilanjutkan dengan tarian oleh anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dengan pakaian yang khas. Atas putih, bawah hitam, memakai caping bergambar palu arit, membawa senik (tempat nasi dari anyaman bambu), dan menyanyikan tembang genjer-genjer.
Tapi jangan bayangkan pertunjukan itu dipentaskan di atas panggung. Di Kebonsari mereka tampil memakai ruang depan rumah warga. Alasannya tentu saja penyatuan antara seniman dan peontonnya.
Dan datanglah tahun Gestok itu, tahun wabah hijau, dan tahun ketika membunuh menjadi sesuatu yang lumrah. Ketoprak Lekra dibubarkan. Semua prangkat keseniannya juga turut diangkat bersama para penabuh dan seniman yang menghidup-hidupkannya di malam-malam sepi di desa. Enam orang yang kena cap PKI di Kebonsari dieksekusi. Guru Sarnen salah satunya. Mbah Sogi bilang: “ Guru Sarnen disembelih tentara karena sering nembang dan ngrawit gending genjer-genjer. Padahal kan tembang genjer-genjer sudah ada sejak saya kecil dan jauh sebelum Gestok terjadi di Kebonsari.”
Di ingatan warga Kebonsari, Tulungagung, Pak Sarnen adalah guru, panutan yang perbawa. Suaranya indah, khas, dan berkarakter. Karena itu, sebelum eksekusi penyembelihan dilaksanakan tentara-tentara yang tak punya pengalaman perang yang panjang, warga memintanya untuk melantunkan satu bait tembang: Dandanggula. (Bersambung #8 Kediri)
* Seri catatan mudik #syawalitumerah

Minggu, 18 September 2011

#6 Trenggalek: Kesepian di Alun-Alun


29 Agustus 2011 | Trenggalek | Km 207 | Pkl 14.30
Sejak di kecamatan Sawoo, Ponorogo, saya sudah berpikir keras, jejak merah yang seperti apa yang bisa saya tuliskan tentang Trenggalek di seberang bukit itu. Sejak rambu bahwa di hadapan saya ada gundukan bukit yang harus dilalui, saya masih belum bisa mengumpulkan ingatan, potongan-potongan kisah yang tragis macam bagaimana yang menimpa kaum merah di kota dengan pariwisata andalannya adalah pantai ini.
Bahkan setelah melewati desa pertama, Pucanganak, seusai 40 menit memasak sabuk pengaman kewaskitaan melewati puluhan belokan-belokan tajam yang curam dan cadas-cadas yang seperti siap runtuh, saya belum juga bisa menemukan titik terang yang merah. Bahkan dengan cahaya merah kedap-kedip sekalipun.
Anak muda, naiki bukit itu, naiki dan dapati Trenggalek di baliknya (Ancang2 dari Kec. Sawoo, Ponorogo)

Melampaui bukit-bukit ini untuk mendapatkan Trenggalek


Meninggalkan gerbang rombongan reog Ponorogo. Menjejak desa pertama Trenggalek

Tapi 100 persen saya meyakini, Trenggalek juga memiliki kisah merahnya yang tak kalah heboh dengan Madiun lantaran ia berada di kawasan dengan kontur tanah dan situasi psike masyarakat yang sama dengan kota-kota merah sekitarnya. Tapi apa. Tapi bagaimana. Dan ke mana membaca buku-buku yang berkisah lirih seperti itu.
Yang lamat-lamat saya ingat ketika mulai bermunculan petunjuk-petunjuk agar ke pantai ke pantai ke pantai sepanjang jalan yang ditanam Dinas Pariwisata Trenggalek, adalah bahwa saya pernah ke kota ini. Bahwa saya, 9 tahun silam pernah ke pantai-pantai yang ditunjukkan gerbang-gerbang dan rambu-rambu yang dipasang raksasa itu. Dengan menaiki truk terbuka seperti sapi-sapi yang hendak dijual, sekira 25 orang, saya dan teman-teman “menikmati” pantai-pantai itu. Juga melewati deretan pohon-pohon kelapa yang bergesekan pucuk satu dan lainnya diguncang angin sore dari Laut Selatan.
Hingga di Alun-Alun yang dikitari jalan-jalan utama yang sempit dan lengang, belum juga teringat apa pun. Di mana dan di kitab yang mana cerita kaum merah menangis dan menyesal kenapa harus masuk PKI dna lebih penting lagi mengapa mereka disangkakan melakukan sesuatu yang mereka tak tahu sama sekali kecuali segelintir kecil elite partai merah yang pernah mereka masuki dengan satu cita: hanya yang merah itu yang paham dan benar-benar mau memperjuangkan nasib mereka sebagai tani tertindas.
Hingga saya pun berbaring di atas trotoar Alun-Alun yang berhadapan muka-muka dengan Hall Kabupaten Trenggalek lantaran kelelahan menempuh perjalanan 200-an kilometer dari Kotagede, Yogyakarta, tak terbetik pun. Kecuali satu, sebuah roman cinta: “The Souls: Moonlight Sonata” karya Wina Bojonegoro. Roman musikal dan tragika cinta yang dibumbui “keajaiban-keajaiban” pernah dibedah di halaman Indonesia Buku, Yogyakarta sebulan lebih beberapa hari sebelum perjalanan #sayawalitumerah ini dilakoni.
Hulu batih cerita Wina Bojonegoro itu berkisah tentang sebuah desa di Trenggalek. Gandusari adalah tanah tumpah darah Padma, tokoh utama novel itu, yang kemudian menjadi cinderalla Jawa dalam perebutan posisi di sebuah orkestra di Yogyakarta.
“Penduduk di desa kami terdiri dari dua golongan, yaitu golongan santri dan golongan abangan. Bapak tergolong yang terakhir. Penduduk santri tidak menyukai gamelan. Anak-anaknya dilarang menari. Mereka tinggal saling berdekatan dalam salah satu wilayah yang secara tidak resmi diberi nama santren. Pondok pesantren yang seluruh penghuninya adalah kaum santri selalu berbondong-bondong ke masjid jika bedug sudah dipukul. Sebaliknya, kelompok abangan tidak pernah salat. Mereka menjalani upacara megengan, menabuh gamelan, dan melakukan ritual-ritual aneh, seperti ayahku. Abangan dan santri sungguh bagai bumi dan langit. Dan, aku ada di antara keduanya…. (hlm. 191)
Tapi sayang, roman itu tak menyebutkan kakek Padmaningrum itu merah atau hijau. Apakah keluarga ini menyaksikan penyembelihan besar-besaran di lereng-lereng gunung dan atau di sekitaran jurang-jurang dan atau di pantai-pantai eksotis yang kemudian diperkenalkan sebagai beranda depan Kabupaten yang patut dikunjungi agar rekening pemerintah mendapatkan tambahan secara reguler.
Merahkah Gandusari. Hijaukah Gandusari. Tak ada jawaban. Karena galian roman itu hingga pada kedalaman 80-an dan bukan hingga 40-an tahun yang silam.
Dan satu-satunya yang saya potret di Alun-Alun Kabupaten yang penuh galian dan ditumbuhi 4 bringin besar adalah Masjid Agung. Tapi gelap. Karena itu saya hapus dari arsip. Belasan galian yang masih menganga itu tentu bukan kuburan massal merah, tapi kemungkinan peruntukan pohon-pohon taman agar Alun-Alunnya makin rimbun, makin senyap.


Dalam hati berjanji, mungkin perpustakaan raksasa temuan peradaban abad 21 bisa memberitahu kelak. Dan kelak itu tiba. Tapi ini jawabannya: mencari PKI di Trenggalek? Mungkin yang Anda maksud adalah PKS. (Bersambung #7: Tulungagung)

Kamis, 15 September 2011

#5 Ponorogo (Bag 2): Musso Yang Dibakar di Ponorogo


29 Agustus 2011 | Ponorogo | Km 155 | Pkl 12.45
Ponorogo, 31 Oktober 1948, di sebuah Minggu yang terik, sebuah tragedi mengenaskan terjadi. Musso, Sekertaris Jenderal PKI, ditembak mati di sebuah kamar mandi. Mayatnya lantas dibawa ke Ponorogo. Di sana, mayat yang disimbahi darah dan luka itu dipertontonkan. Dan…. dibakar!
Paragraf pembuka yang tragik itu saya kutipkan dari review kawan Zen RS atas booklet propaganda Jalan Baru Musso. Saya tidak tahu dari mana kutipan itu didapatkannya. Mungkin dari Soe Hok Gie, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan. Saya belum mengeceknya. Tapi pasti bukan dari Laporan dari Banaran-nya T.B. Simatupang (1980).
Ponorogo adalah jalan paling akhir dari rentetan kegagalan yang dialami manusia merah yang kerap digelari stalinis garis keras. Musso yang lahir dari keluarga alim pada 1897 di Desa Jagung, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, itu bernama Munawar Musso.

Ketika remaja indekos dan belajar pergerakan dari Sjarekat Islam Tjokroaminoto di Paneleh VII, Surabaya. Jalan radikalnya tampak ketika ia berselisih jalan dengan Tjokro dalam soal taktik pergerakan di hadapan pemerintahan kolonial. Musso pun mengambil kiri bersama rekan seperguruannya, Semaoen.
Musso dan Semaoen kemudian dikenal sebagai pendiri PKI pada Mei 1921 yang pada usianya yang kelima digulung pemerintahan kolonial karena tuduhan memberontak.
Tapi Musso lolos dari interniran sebagai otak Prambanan. Dari kegalalan Prambanan itu praktis puluhan tahun hidupnya berada dalam pelarian. Ia loncat dari satu negara ke negara lain dengan menyaru dalam berbagai nama atau alias. Untuk soal memalsukan identitas dan dokumen, Musso memang jagoannya.
Setelah merancang pemberontakan Prambanan Desember 1925, Musso menyeberang ke Singapura. Berkumpul bersama kawan-kawannya yang lain seperti Sardjono, Budisutjitro, Sugono, Winanta, Subakat, dan Agam Putih. Di situ mereka mematangkan aksi Pemberontakan 1926 yang gagal total itu.
Musso pun melanjutkan pelariannya ke Canton/Tiongkok dan berlabuh di Moscow. Musso beruntung, karena di Moscow inilah dia beroleh kesempatan mengikuti Kongres Komunis Internasional (Komintern) keenam pada Juli 1928 di bawah pimpinan Joseph Vissarionovich Stalin. Saat itulah kemudian Musso dikenal sebagai stalinis garis keras berdarah jawa. Musso ditunjuk sebagai anggota Komite Eksekutif Komunis Internasional. Sempat kuliah di sebuah universitas di Moskow, tapi drop out karena lebih sibuk berorganisasi ketimbang hadir di kelas perkuliahan.
Kedatangannya kembali membereskan jawa dengan jalan baru yang diketahuinya ditunggu dengan optimisme kaum merah yang disingkirkan dari semua medan politik dan militer.
Khusus untuk awal 1948, duet Nasution-Hatta menghabisi kekuatan kiri dalam militer dengan mengumumkan reorganisasi militer dari faksi laskar-laskar di mana golongan kiri bernaung.
Langkah Nasution-Hatta itu mula-mula mencopot Amir Sjarifuddin dari kursi Perdana Menteri usai Perjanjian Renville. Setelah itu diikuti pencopotan berbagai pucuk pimpinan resimen di Solo dan Jawa Tengah, serta Jawa Timur.
Dalam situasi penantian datangnya Ratu Adil bagi kaum merah yang diliputi kegamangan itulah Musso datang. Di salah satu fragmen buku Matu Mona, Pacar Merah Indonesia (Jilid II), Paul Mossote a.k.a Musso digambarkan Matu Mona sebagai patriot merah yang ditunggu-tunggu, serupa Ratu Adil. Di tengah masyarakat Jawa yang masih terbelakang, Musso disebut-sebut punya ilmu melenyapkan diri. Seperti seorang dewa berhati dermawan, Musso membagi-bagikan beras dari rumah ke rumah di masa ketika rakyat dicekik masa paceklik dan kelaparan di mana-mana.
Ya, ya, puluhan tahun setelah pengembaraan itu, Musso dengan memakai nama alias dan penyamaran yang rapi mendarat dengan pesawat di Campurdarat, Tulungagung. Menumpangi sebuah jeep mengarah ke Solo. Disambut gempita kader-kader merah. Bahkan dari Solo itu berhamburan pernyataan Musso yang termuat di halaman surat kabar semasa.
Pada Medio Agustus 1948 Musso bertemu kawan lamanya satu kos sewaktu masih sama-sama muda di Surabaya, yakni Soekarno. Tapi kawan yang remajanya jago pidato dan bikin brisik malam-malam di rumah Peneleh VII Surabaya di tahun belasan itu kini sudah menduduki pucuk pimpinan tertinggi Republik.
Sukarno jadi presiden, sementara Musso bertahun-tahun menghabiskan umur dalam pelarian, menjadi jajaran elite Komunis Internasional di Moscow, dan kini kembali ke tanah tumpah darahnya dengan semangat Moscow yang tetap menyala. Keduanya bertemu di Gedung Agung, Yogyakarta. Sebagaimana karib lama, keduanya berpelukan lama dan saling memuji.
Usai berbasa-basi, di akhir pertemuan Sukarno merangkul Musso untuk turut serta membantu meredakan konflik antarfaksi di tubuh Republik yang berusia belia. Dialog keduanya itu adalah dialog kunci yang penulis mana pun pastilah akan mensiternya. Sebabnya? Tragisme di ujungnya.
“Saya harap Pak Musso, setelah kembali ke Tanah Air, bisa membantu menciptakan rust en orde,” ajak Sukarno.
Musso menjawab dengan tangkas dalam bahasa Belanda, “Ik kom hier om orde te scheppen (Saya memang datang ke sini untuk menciptakan ketertiban).” Seperti biasa, jawaban tangkas yang datang dari seorang–pinjam kata-kata Sukarno–manusia yang jago pencak yang suka berkelahi, “…yang kalau berpidato akan nyincing lengan bajunya”.
Mungkin karena terinspirasi oleh dialog itu dan ucapan Sukarno yang menyebut Musso suka memperlihatkan otot tangan kalau berpidato itu, maka pada awal tahun 2010 sekelompok dosen dan mahasiswa Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta mengumumkan alat pencatat kekuatan otot digital bernama Musso yang kroniknya bisa dibaca dalam kabar yang direkam Tempo No 3848/18-24 Januari 2010. Yang lebih ajaib tentu saja, Dinamo Musso ini juga berguna menguji seberapa mujarab obat kuat yang Anda minum. Keampuhan obat pengobar vitalias itu terlihat dalam getaran garis di laptop. Karena itu, alat ini sebetulnya bisa dipakai untuk menguji otot penis pemakai obat kuat. Untuk keperluan ini, Anda cukup diminta meletakkan ujung alat ini di otot kebanggaan lelaning jagad seperempat jam sebelum dan sesudah minum obat kuat. Namun, karena ini departemen faal, maka Musso belum dipakai untuk konsultasi seksologi.
Tapi sudahlah, kita tinggalkan dulu alat pengukur kekuatan otot bernama Musso itu. Yang pasti otot yang diperlihatkan Musso kepada Sukarno di Gedung Agung itu langsung diuji di Madiun–dua bulan lebih beberapa hari sejak pertemuan dengan Sukarno yang diakhiri tukar menukar buku itu. Sukarno memberi Musso buku Sarinah karangan Sukarno sendiri.
Front Nasional yang dibentuk FDR/PKI di seluruh Karesidenan Madiun yang diproklamirkan pada 18 September 1948 itu menjadi pembuktian bahwa Musso serius mengembalikan “kejayaan” Komunis sebagaimana dalam cita-cita yang nyaris selalu tertumbuk tembok kegagalan. Tapi pembentukan Front Nasional itu gagal total. Sukarno dan Musso yang dua bulan sebelumnya saling berpelukan mesra, di corong radio, kemudian jual beli gertakan yang berakibat sungguh memilukan.
Dan ceritanya kita tahu, pasukan Siliwangi yang diotaki Wakil Panglima Angkatan Bersenjata A.H. Nasution yang menusuk dari Lawu-Sarangan/Magetan berhasil melumpuhkan otot Musso yang tergelar pada 18 September 1948. Otot itu lunglai pada 30 September 1948 oleh operasi gabungan yang efektif di bawah komando Siliwangi yang dikomandani Mayor Sambas yang muncul dari arah Lawu-Magetan.
Dan setelah lumpuhnya FDR/PKI dalam kota Madiun, ribuan pengawal merah yang sebagian besar adalah kader Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) itu menempuh jalan pelarian bersama keluarga komunis yang masih loyal. Sebuah iringan merah yang kandas oleh adu lihai dengan kubu borjuasi nasional dan militer lulusan KNIL.
Dalam perjalanan mundur itu Musso berselisih jalan dengan Amir Sjarifuddin usai sebuah debat panas tentang rencana-rencana memperlakukan Madiun dan implikasinya yang sama sekali mereka tak perhitungkan. Amir kemudian memilih ke utara dalam kawalan dan ditangkap di sebuah rawa di Grobogan. Sementara Musso memilih selatan tanpa kawalan yang membikin banyak sejarawan diliputi misteri mengapa Musso berjalan sendiri. Hingga ia menemui hari akhirnya. Ahad yang terik, 31 Oktober 1948.
Saya kutipkan lagi paragraf akhir kawan Zen RS saat mereview karya utama Musso “Jalan Baru untuk Republik Indonesia” (Jajasan Pembaruan, Jakarta: 1953).
Di hari Minggu yang mengenaskan itu, ia menemukan sebuah mobil yang ditumpangi pasukan TNI dan berniat menggunakannya. Ia berhasil melumpuhkan prajurit TNI yang berjaga di mobil sasaran.
Sial, mobil itu ternyata tak bisa distater. Prajurit TNI malah berhasil menguasai keadaan dan balik menodong Musso. Tapi Musso tak bergeming. Dengan keberanian yang penuh, Musso berteriak lantang: “Engkau tahu siapa saya? Saya Musso. Engkau baru kemarin jadi prajurit dan berani meminta saya menyerah pada engkau. Lebih baik mati daripada menyerah, walau bagaimana saya tetap merah putih.”
Prajurit TNI itu kalah wibawa dan malah melarikan diri ke desa terdekat. Tapi pasukan TNI pimpinan Kapt. Sumadi keburu datang. Musso lantas bersembunyi di sebuah kamar mandi. Ia menolak menyerah. Baku tembak tak terhindarkan. Akhirnya Musso tertembak mati. Mayatnya di bawa ke alun-alun Ponorogo, dipertontonkan dan kemudian dibakar. Di alun-alun itu kini saya berada, mencari peneduh dari tenda-tenda pedagang yang saling berimpitan di hampir sema jengkal tanah lapang itu.
Ya, ya Ponorogo kemudian menjadi cerita akhir dari semua cerita derita, patriotisme, dan kegagalan cita-cita yang dikepit stalinis garis keras berdarah jawa itu. Musso dibakar di sini, di kota yang dibaptis Lekra di kemudian tahun sebagai ibu kandung kesenian Rakyat bernama Reog. (Bersambung #6 Trenggalek-Tulungagung)

# Catatan mudik #syawalitumerah

Rabu, 14 September 2011

#5 Ponorogo (Bag 1): Kongres Reog Lekra


29 Agustus 2011 | Ponorogo | Km 155 | Pkl 12.45
Memasuki gerbang selatan Ponorogo, Jawa Timur, disambut pintu terbuka bertartalkan aksara: Ponorogo Bumi Reog. Pintu itu berada dalam barisan kayu-kayu jati yang tumbuh menusuk langit. Di suatu masa, ada keyakinan Lekra dan budayawan merah bahwa kesenian rakyat Reog haruslah abadi. Karena itu rakyat Ponorogo bersatu. Ada sikap dan optimisme kuat dalam Musyawarah Reog pada Februari 1965 Pertemuan pelopor yang dikerjakan dengan sepenuh kesadaran. Jauh sebelum Malaysia obral klaim bahwa reog adalah bagian dari kesenian mereka.
Di benak saya terpacak asumsi yang gawat yang selalu menggoda; bahwa semua laki-laki Ponorogo berkumis tebal. Asumsi banal dan sangat laki itu dipelihara oleh sebuah gambaran yang disodorkan oleh film yang saya nonton di bioskop kampung Ujung Bou, tetangga kampung saya. Judulnya Suromenggolo. Film yang disutradarai Dasri Yacob (1991) itu saya tonton ulang pada 2010. Walau dengan pengetahuan yang sudah jauh berbeda, tetap saja asumsi banal yang laki itu susah dikibaskan.
Buktinya saya masih tergoda di siang bolong ketika saya sudah menempuh jarak perjalanan 155 km dari Kotagede Yogyakarta. Di alun-alun Ponorogo yang masih kuyuh dan kumuh karena baru bangun setelah semalam suntuk menghelat pasar malam, saya masih memperhatikan wajah kaum lelaning jagad reog ini. Dan hasilnya: sedikit sekali yang masih memelihara kumis tebal dengan berpakaian hitam, seperti leluhur-leluhur penjaga tradisi dan jago kelahi di tebing-tebing jurang serta ilmu gaib mahasakti yang tergambar dalam Suromenggolo.

Barulah saya terjaga, bahwa Ponorogo bukan hanya gambaran dalam film itu. Banyak spektrum tradisi bekerja di sana. Bahwa Ponorogo masyhur dengan tradisi santrinya yang dipresentasikan oleh Pondok Pesantren Modern Gontor yang sewaktu mudik 2008 pernah saya singgahi. Dan kini berkibar-kibarlah presentasi kemasyhuran Gontor yang pernah melahirkan cendekiawan-cendekiwan Indonesia berkelas jagad seperti Nurcholish Madjid, Emha Ainun Nadjib, Din Syamsudin, Hidayat Nur Wahid, setelah buku A. Fuady berjudul Negeri 5 Menara membukukan rekor sebagai salah satu novel terlaris pada 2011 ini.
Tapi bumi Ponorogo bukan bumi santri. Bumi Ponorogo adalah bumi reog. Dan pernyataan itu sudah diberitahu kepada siapa pun yang memasuki Ponorogo di semua pintu terdepannya dari segala jurusan. Ya, ya, Ponorogo bumi reog. Selamat datang!
Dan Lekra serta barisan budayawan merah menyadari betul posisi reog dalam spektrum budaya masyarakat Ponorogo. Campur tangan Lekra itu saya temukan dalam sebuah guntingan berita yang dimuat di Harian Rakjat pada 7 Maret 1965. Berita itu mengabarkan Musyawarah Reog Ponorogo se-Indonesia yang dihadiri perwakilan dari Sumatera Selatan, Jawa Barat, dan Jawa Timur dan khususnya daerah Ponorogo pada 25 – 28 Februari 1965.
Dalam musyawarah itu, demikian Harian Rakjat menggambarkan, reog tak hanya dilihat semata sebagai kesenian untuk menghibur, tapi menjadi karnaval politik di jalanan yang banyak menyedot perhatian Rakyat. Karena itu, musyawarah itu lewat beberapa resolusinya, mendorong bagaimana mutu ideologi reog menaik.
Bagi Lekra Jawa Timur, mutu artistik Reog Ponorogo tak usah disangsikan lagi. Ia sudah menjadi tradisi yang dipagelarkan secara turun-temurun. Tugas Lekra kini adalah bagaimana menaikkan mutu ideologi reog sehingga menjadi senjata paling depan untuk menghantam musuh-musuh Rakyat. Musuh-musuh Rakyat itu adalah kaum reaksioner dalam negeri dan juga persekutuan negara-negara nekolim seperti Malaysia.
Wajar kemudian, selain berikhtiar mengadakan pembaharuan dan menciptakan syarat-syarat guna mengembangkan kreasi, Lekra juga mendorong agar daerah-daerah yang memiliki unit-unit reog menyatukan diri ke dalam suatu organisasi yang progresif revolusioner.
Lekra memang tak langsung menyediakan diri menjadi pemersatu kelompok-kelompok reog itu. Kelompok reog itu sendirilah yang didorong membentuk lembaga bersama yang menjadi payung besar mereka untuk bermusyawarah, seperti kelompok ketoprak yang memiliki lembaga bersama bernama Badan Kontak Ketoprak se-Indonesia (Bakoksi).
Lewat organisasi besar itulah pelbagai permasalahan dalam dunia reog bisa dibahas dan dipecahkan. Lewat forum itu pula kelompok reog dan dibantu Lekra bisa mendiskusikan format ideologi, pembaharuan isi, dan arah perjuangan seperti apa agar reog tak tercerabut dari akar tradisi awalnya yang menyebabkan kenapa reog lahir.
Ancaman tergerusnya tradisi reog itu memang mencemaskan bagi budayawan Lekra dan barisan budayawan merah lainnya, khususnya perkembangannya di perkotaan. Secara sosiologis, masyarakat kota telah mendapatkan kompensasi hiburan dari maraknya film-film Amerika dan India yang mendominasi gedung-gedung bioskop. Nasib reog nyaris sama dengan lenong yang terus terdorong ke pinggiran Jakarta. Dalam catatan Lekra, lenong pada 1964 hanya beroperasi di Cakung, Cibinong, Bekasi, Pasarminggu, dan Cengkareng.
Reog adalah anak kandung kebudayaan rakyat Ponorogo. Karena itu seluruh perkembangan reog mestilah mengabdi kepada kepentingan ibu yang melahirkannya. Jika ada usaha yang memisahkan kebudayaan dan rakyatnya, maka reog akan tampil menjadi pemukul musuh.
Maka pahamlah kita kemudian mengapa dalam Musyawarah Reog Ponorogo pada 1965 itu muncul resolusi-resolusi yang secara sambil-lalu tak berhubungan dengan reog secara artistik, tapi secara ideologi memiliki kaitan yang erat, seperti meritul Adam Malik dan Chairul Saleh, mendukung deklarasi Indonesia keluar dari PBB, menjatuhkan hukungan mati bagi pelaku korupsi 50 juta ke atas, mendukung keputusan untuk mempersenjatai buruh-tani, mendukung pembubaran BPS, HMI, Manikebu, dan ormas-ormas yang abu-abu memberikan dukungan bagi perikehidupan Rakyat.
Reog juga ikut turun ke jalan bersama laskar-laskar kebudayaan lainnya mengganyang film-film imperialis dan menyingkirkannya dari bioskop.
Tapi, keyakinan itu bertahan tak cukup setahun. Pada Oktober 1965, justru tentara hasil reorganisasi 1948 oleh Nasution yang berada di bawah pimpinan serdadu yang pernah didakwa koruptor di Divisi Diponegoro Jawa Tengah, Soeharto, memimpin perburuan manusia-manusia merah. Warga yang dituduh progresif itu diganyang dan dibantai. Yang tak terbantai disiksa, dipenjarakan, dan mengalami pembuangan seperti leluhur merah mereka sejak 1926, 1935, dan 1948.
Kawan Dwi Raharyoso yang berasal dari Ponorogo berkisah via Facebook, daerah Kali Keyang di Kecamatan Jetis merupakan kawasan pembantaian warga yang dianggap menjadi anggota dan simpastisan PKI.
“Lebaran kemarin ketika kami berkunjung ke rumah pakde di kawasan Jetis (daerah yang dulu terkenal dengan daerah tukang jagal sapi), setelah pulang orang tua saya mengatakan bahwa pakde saya yang tadi kami kunjungi itu juga termasuk salah satu ‘tukang jagal’ dari rombongan pemuda Ansor yang memang ditunjuk langsung (entah oleh siapa) untuk menjadi algojo bagi kaum merah tersebut,” tutur penyair yang sekolah di salah satu universitas “keren” Yogyakarta itu. (Bersambung ke #5 Ponorogo: Jalan Musso, Bermula dari Prambanan Berakhir di Ponorogo)

# Catatan mudik #syawalitumerah (Serial: #Ponorogo)

Selasa, 13 September 2011

#4 Wonogiri (Bag 4): Pembuangan Akhir Mayat-mayat Merah


29 Agustus 2011 | Purwantoro | Km 198 | Pkl 12.02
Jika terminal Purwantoro adalah persinggahan “akhir” banyak bus besar dari pelbagai jurusan seperti Solo, Semarang, Bandung, Jakarta, bahkan beberapa kota di Sumatera, maka rumah Mas Yahya Perwita di belakang terminal bus Purwantoro, Wonogiri, itu menjadi persinggahan terlama dalam perjalanan mudik saya yang bertajuk #syawalitumerah.
Dua jam saya beristirahat di belakang gereja jawa itu. Ya, saya datang sekira pukul 10 dan berangkat lagi pukul 12 setelah disuguhi kopi pahit ukuran gelas jumbo dan makan siang dengan opor ayam, tahu, dan daging sapi.
Menurut pendeta yang ditahbiskan pada 1992 ini, memasak makanan lebaran itu sebagai cara menyambut lebaran yang belum jelas jatuh pada hari apa, Selasa atau Rabu, 30 atau 31. Di atas meja ruang tamu di rumah yang masih dikelilingi pohon dan tegalan, terhampar sekira 5 toples berisi kue lebaran dan juga permen. Itu juga untuk menyambut tamu-tamu lebaran yang dirayakan setiap tahun oleh umat Islam itu.
Di rumah yang riuh oleh dua ekor anjing dewasa dan lima bayi anjing itu dikepungi oleh buku-buku. Rak-rak ada di luar (pintu belakang gereja), di dapur, di ruang tamu, bahkan di dapur. Kata Bu Asrie Lesningtyas, buku dan majalah itu adalah koleksi perpustakaan keliling KiRaNa yang didirikan sebulan setelah kopdar Apresiasi Sastra dilangsungkan di rumah ini, Mei 2007.
Mas Yahya adalah lulusan teologi Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta, sementara Mbak Asrie lulusan ekonomi IKIP Semarang.
Di luar semua gambaran dan keramahan Mas Yahya dan Mbak Asrie menyambut “tamu mudik” seperti saya ini, saya beruntung mendapatkan jamuan puisi. Ya, Pak Yahya menghadiahkan sekuplet puisi merah yang dibacakannya sendiri dari laptopnya. Saya merekamnya dengan recorder dan kamera handycam.
Puisi itu berkisah tentang sebuah kawasan pembuangan akhir mayat-mayat kaum kiri hasil bersih-bersih serdadu dengan dukungan golongan masyarakat yang berseberangan pergerakan dengan PKI, seperti NU, PNI, Masyumi dan semua organ jejaring bawahnya. Kisah tentang daerah bernama Luweng Mloko di tepi Desa Johonut, Kecamatan Paranggupito.
Inilah puisi yang diberi judul “Luweng Mloko” dan ditujukan kepada penyair Lekra JJ Kusni a.k.a Kusni Sulang. Saya kutipkan bait awal puisi yang dibikin pada 15 Agustus 2003 ini.
Dengan kehilangan kata-kata di hadapan Luweng Mloko
Tanpa menaburkan bunga peziarahan ini kurasa tetap sah saja
38 tahun berlalu sudah
Dan tetap tergambar jelas
Rentetan tembak dan teriak mengiring jatuh tawanan-tawanan
Terbanting di dinding-dinding bebatuan
Terkapar di dasar kegelapan
Masih hidup, luka-luka, atau langsung mati bukan lagi urusan
Setelah puisi panjang itu dibacakan, Mas Yahya berkisah bagaimana perjalanannya bersama tiga rekannya yang lain pada Agustus 2003 itu ke Luweng Mloko. Mereka berangkat pagi setelah sarapan di warung Pak Tarsa yang belum buka dan beberapa saat mampir menelpon di Slogohimo.
Perjalanan mereka sempat tertunda untuk menolong tiga orang pengendara dua motor bebek yang tergelincir jalan licin dan bertabrakan di tikungan jembatan sebelah timur Pom Bensin Jatisrono, mencegat mobil, mengantar ke Puskesmas Slogohimo yang lebih dekat jaraknya, diserahkan petugas jaga di Puskesmas yang ternyata sedang mempersiapkan pesta pelepasan dan penyambutan dokter baru, motor diantarkan ke bengkel.
Kengerian melihat kecelakaan motor sebelumnya mengarahkan rombongan ini untuk memilih rute jalan yang lebih sepi. Maka diputuskan berbelok di Jatisrono, lewat Jatiroto, gunung Tunggangan, turun di Tirtomoyo, belok di Kayangan, Batuwarno, sampai di Pastori Baturetno pk. 09.10 WIB. Termasuk cepat melewati jalur ini. Pdt. Sunu Prakosa ternyata sudah menunggu rombongan kecil ini.
Sesuai informasi yang mereka terima sebelumnya, mereka kemudian menuju rumah Pak Misdi di desa Selur, Ngargoharjo. Menunggu di rumah adalah Bu Suratmi, Pak Misdi yang sedang mempersiapkan tegalnya untuk persiapan tanam bila nanti turun hujan. Pak yahya ikut Bu Misdi menyusul ke tegalan, baru beberapa rumah berjalan ternyata sudah bertemu. Sesudah berkenalan, pahamlah Pak Misdi maksud tujuan kedatangan mereka.
“Yang saya ceritakan ini apa adanya ya, tidak ditambah-tambah atau dikurangi. Kalau tidak tahu saya juga bilang tidak tahu. Waktu itu saya masih kelas 6 SD (lahir tahun 1950), jadi masih kecil. Waktu kejadian orang-orang yang sudah besar berjaga-jaga di batas kampung, di luar rumah. Anak-anak kecil dilarang keluar rumah. Meski demikian dari cerita-cerita orang kami tahu semuanya karena beritanya memang sudah tersebar sehari sebelum kejadian. Malam itu ada kiriman orang PKI ke Luweng Mloko, jumlahnya berapa saya tidak tahu. Nanti tanya saja penghuni yang dekat luweng itu. Penduduk setempat tidak tahu menahu, pokoknya ada perintah dari atas iya sudah dijalankan tidak ada yang bertanya-tanya. Sesudah kejadian itu, sampai tiga bulan sesudahnya angin membawa bau bangkai ke desa-desa sekitarnya, bau bangkai menyebar ke arah mana angin membawanya. Lebih baik kita meninjau langsung tempat kejadiannya saja.”
Pak Misdi yang ditemui Mas Yahya dan teman-temannya itu asli kelahiran Selur. Selulus SD Pak Misdi melanjutkan SMP Kanisius di belakang Balaikota Solo. Hanya satu tahun di sana, dijemput pulang karena ayahnya meninggal dunia, dan tidak sekolah lagi. SMP Kanisius bersebelahan dengan bangunan militer yang dijadikan kamp tahanan orang-orang PKI di Solo.
“Saya dan teman-teman mengintip dengan memanjat dari celah pagar, mereka yang ditahan kurus-kurus, biasanya hanya duduk-duduk saja. Kalau mereka (tahanan) melambaikan tangan mengusir kami, iya kami lari, takut.”
Mata pencarian sehari-hari adalah bertani. Pak Midi tidak menanam ketela pohon, lebih memilih menanam kacang tanah, jagung, dan padi (tadah hujan) yang bisa dijual dengan harga lebih tinggi dari ketela. Bila ada pesanan, Pak Midi menukang kayu, mengerjakan perabot rumah atau bakal rumah (kusen, pintu dll.). Putri satu-satunya sudah lulus D-3 Akademi Uang dan Bank di Solo, dan sekarang melanjutkan sarjana di Universitas Slamet Riyadi Solo.
Kondisi wilayah khas pegunungan karst Gunung Kidul. Batu-batu karang dasar laut purba jutaan tahun lalu menyembul ke daratan, menjadi bukit-bukit kapur tandus. Sepanjang perjalanan ke lokasi ada pipa-pipa dan tandon air minum. Banyak penduduk antre dengan ember dan jerigen air. Sama sekali tidak ada sumur. Telaga-telaga sudah mengering, beberapa kali berpapasan dengan truk tanki air yang membawanya ke rumah penduduk yang memesan, satu tanki air dihargai Rp 40-60 ribu, tergantung jaraknya. Biasanya ada tandon air tadah hujan di rumah penduduk, katanya cukup untuk persediaan rumah 2-3 bulan sesudah hujan terakhir, setelah itu Pak Midi harus antre ke bak-bak penampungan air untuk umum, atau beli.
Luweng Mloko ada di wilayah Desa Bringin, tetapi letaknya tepat di perbatasan desa Johunut. Ada satu bukit kecil di kiri (timur) jalan aspal ke jurusan Paranggupito, tepat di pertigaan jalan tanah ke barat, di kaki bukit selatan ada tanah lapang, dan SD Johunut II, selanjutnya rumah-rumah penduduk Dusun Johunut, Desa Johunut, Kecamatan Paranggupito.
Di hari pertemuan itu Pak Misdi datang bersama Pak Paimo, Pak Lik-nya. Mereka duduk-duduk di teras sekolah yang lenggang siang hari sesudah murid-murid dan guru pulang. Sementara berkenalan dengan Pak Paimo, seseorang bercaping menggembalakan 6 ekor domba yang beberapa lama mengawasi mereka di lapangan datang mendekat.
Setelah tahu maksud kedatangan Pak Yahya dan teman-temannya untuk mencari tahu kisah-kisah peristiwa 1965 berkaitan dengan Luweng Mloko, langsung saja penggembala itu lancar bercerita, sambil berpesan, tidak usah dicatat namanya.
“Waktu itu tahun 1965 PKI mengadakan kudeta, membunuh jendral-jendral di Jakarta, maka di daerah-daerah pengikut-pengikutnya ditahan di penjara. Tahun 1968, bulan Besar, malam Kamis Legi ada satu mobil jeep dan tiga truk RPKAD dari Kandang Menjangan Kartosuro, membawa tahanan kemari. Mereka dibunuh di Luweng Mloko. Benar, tentaranya berbaret merah. Tidak tahu jumlah yang dibunuh ada berapa.”
Penggembala itu, yang kemudian dari Pak Paimo diberikan namanya adalah Kepala SD Johunut, terus pamit setelah Pak Yahya mengkonfirmasi keterangannya bahwa bagaimana bisa tahu tentara itu dari Kandang Menjangan Kartosuro. Apa betul harinya Kamis Legi, apa betul sungguh-sungguh menyaksikan peristiwa itu atau hanya mendengar dari orang lain. Ternyata benar perasaan Mas Yahya. Orang itu hanya menjawab, “Katanya, katanya”. Sambil terus berpesan, jangan menyebut namanya, menyangka bahwa rombongan Mas Yahya adalah wartawan.
Mas Yahya bisa memastikan bahwa orang itu tidak mengatakan yang dia ketahui benar karena RPKAD yang berubah nama jadi Kopasandha lalu Kopassus baru bermarkas di Kandang Menjangan Kartosura sekitar tahun 1970-an.
Pak Paimo jauh lebih apa adanya. Tuturnya:
“Saya hanya cerita apa yang saya tahu. Malam itu adalah malam Jumat Pon, saya catat betul karena keesokan harinya saya mendirikan kandang sapi. Anak saya Satinem waktu itu umurnya masih belum selapan, jadi tahunnya 1965, bukan 1968, ini apa adanya lho. Kamis Pahing sebelumnya ada perintah dari Lurah Dusun untuk membuat jalan ke Luweng Mloko, sedusun ikut serta.
“Tapi kami tak tahu jelas untuk apa pekerjaan itu. Ketika malam, pk. 12.00 tengah malam datang 3 truk tentara, bukan polisi, mereka berhenti di pertigaan di tepi bukit tempat Luweng Mloko itu. Saya tahu betul karena saya berjaga di bukit sebelah selatan itu, mencegat orang-orang yang berangkat ke pasar Giritontro, hari pasarannya itu Pon, waktu itu belum ada kendaraan, maka orang ke pasar jalan kaki saja memikul jualannya. Saya mencegat mereka karena disuruh tentara, supaya orang-orang tidak mendekat ke Luweng Mloko.
“Waktu itu bukit di selatan gundul, tidak ada pohon-pohon jatinya seperti sekarang, maka apa yang terjadi di sini terlihat jelas. Lampu-lampu menyala bersinar di sekitar Luweng Mloko ini. Sunyi sekali, terus ada rentetan tembakan serta teriakan. Orang-orang tidak tahu apa yang terjadi.
“Dua tiga hari setelah kejadian itu, bau bangkai menyebar dari Luweng itu. Oleh karena itu penduduk sekitar dikerahkan untuk menutup luweng itu dengan semak-semak dan daun-daunan. Ada mayat pria bersarung, tangannya diikat di belakang, tersangkut di batu. Saya ikut mendorong mayatnya masuk ke Luweng memakai bambu. Katanya ada juga perempuan yang jadi korban di luweng itu. Sampai tiga bulan angin membawa bau bangkai ke desa-desa sekitarnya.”
Ketika ditanya siapa yang memilih tempat itu untuk membunuh orang-orang PKI, katanya ada seorang tokoh PNI Wonogiri asalnya dari daerah itu, kemudian ia jadi anggota DPRD mewakili PNI pada pemilu 1971).
Semula yang akan dipakai adalah luweng di tengah perumahan Johunut, tetapi penduduk sekitar tidak menyetujui, akhirnya luweng Mloko yang dipilih.
Sudah ada yang pernah menuruni luweng itu, pernah ada tukang becak yang turun ke sana, karena katanya ada harta karun, tetapi tidak ada. Lalu terakhir rombongan mahasiswa KKN 2001 dari Unisri pernah menuruni luweng itu dan luweng-luweng di sekitarnya, ada banyak tulang-tulang manusia ditemukan di Luweng Mloko. Tetapi penduduk tidak pernah mengurus hal itu, jadi tidak tahu menahu.
Demikian kisah Luweng Mloko. Salah satu pembuangan akhir mayat-mayat kiri yang dibunuh secara brutal dan dianggap sewajarnya oleh sebuah rezim dan masyarakat dalam kurun semasa. Luweng Mloko hanyalah salah satu pekuburan massal dari sebuah periode mass murder yang bersembunyi di balik dalih pemberontakan PKI yang tak pernah bisa dibuktikan secara meyakinkan itu.
Dari Purwantoro, kini perjalanan mudik ini akan berlanjut ke Ponorogo. Mengikuti sepotong rute long march yang pernah dilalui Amir Sjarifuddin seusai peristiwa Madiun Affair 48 meletus.
Ya, ya, Purwantoro memang pernah dilalui ribuan pengikut Amir yang terdiri dari laskar merah, perempuan, dan anak-anak keluarga Komunis yang setia. Dan di Purwantoro pula, keluarga besar yang dikejar-kejar tentara KNIL pimpinan persekutuan Nasution-Hatta ini kehilangan satu brigade Abdoel Moetolib yang terpisah dari pasukan induk yang sebagian besar adalah brigade Pesindo. (Bersambung ke #5 Ponorogo)
* Seri catatan mudik #syawalitumerah

Senin, 12 September 2011

#4 Wonogiri (Bag 3): Kuburan Merah


29 Agustus 2011 | Purwantoro | Km 198 | Pkl 10.10
Jawa menjadi kuburan bagi PKI dan simpatisannya.Dalam sepotong dialog film propaganda yang terus diputar rezim militer-dagang Suharto, Aidit (Syubah Asa) tampak mengepalkan tangan kiri penuh yakin bahwa pertarungan sejati dan habis-habisan di Jawa, lantaran Jawa adalah kunci. Dan kita tahu kemudian Jawa juga menjadi kuburan bagi keyakinan itu. Yahya Perwita dari belakang terminal bus Purwantoro, Wonogiri, menyimpan cerita dua kuburan yang tertutur oleh Mbah Madi dan Mbah Padmo. Kisah itu tergali dalam sebuah ikhtiar melawan lupa antara tahun 2002-2004.
Cerita Mbah Madi
Suatu malam, semua yang apel disuruh membuat pagar betis di kuburan Kendal (sekira 3 km arah selatan Kec. Girimarto, sebelah barat jalan). Suasana sangat mencekam, dua lubang besar sudah digali di pojok baratlaut kuburan. Ada ratusan orang malam itu.
Akhirnya yang ditunggu datang. Pada pukul 10 malam itu satu truk tentara tiba membawa 6 tawanan. Tangan mereka terikat di belakang. Aku lupa mata mereka ditutup atau tidak, tetapi aku ingat dengan jelas, aku menuntun salah seorang di antara mereka, jalan dari truk sampai kuburan. Katanya 6 orang yang lain sudah ditinggal di Ngledok, belokan irung petruk sebelum Sidoharjo. Jadi hanya 6 orang ini yang dibawa ke kuburan Kendal.
Orang-orang berjejal di sekitar lubang. Jadi aku terhalang melihat langsung apa yang terjadi. Tapi mereka didorong masuk ke lubang, dalamnya lebih dari 2 meter, masing-masing lubang tiga orang. Masih terlalu besar karena sebenarnya tiap lubang disiapkan untuk 6 orang. Selanjutnya orang-orang itu diberi kesempatan untuk berdoa, dan ditembak dengan senapan LE. Satu polisi dari Sidoharjo ngewel, amat sangat gemetar sehingga tak jadi menembak, malah disuruh pergi. Waktu itu semua diam, sama sekali tidak ada sorak.
Di kuburan itu, di lubang-lubang penembakan itu, kedua orangtua dan saudara-saudaraku juga dikubur. Kami memang tinggal tak jauh dari kuburan itu. Sampai sekarang saya selalu memotong dahan kamboja di kuburan itu. Dulu aku yang menanamnya, bibitnya saya bawa dari Wonogiri.
Cerita Mbah Padmo
Waktu itu awal tahun 1966, hujan masih sering datang. Sebagai anggota wanra (hansip) dari unsur agama (gereja), maka aku dan dua teman yang lain ikut berjaga di Kecamatan. Apalagi sebelumnya sudah ada perintah, bahwa malam ini akan ada kiriman hukuman dari Wonogiri ke Bulukerto. Sejak sore sudah berkumpul anggota wanra sekecamatan.
Pukul 12 malam yang ditunggu akhirnya datang. Satu truk dari Wonogiri membawa orang tahanan PKI. Truk berhenti di selatan jembatan Wates, lalu dari sana 14 orang tahanan yang tangannya dikrincung (diikat jempolnya dengan kawat atau tali senar) di depan dan mata tertutup kain hitam dituntun lewat jalan setapak ke kuburan Wates. Lubang makam sudah dibuat oleh warga Kebayanan Dagangan.
Rupanya orang-orang itu baru sadar bahwa mereka akan dibunuh. Oleh karena itu ada yang menyuruh supaya cincin dan jam tangannya dilepas, supaya tidak ikut dikubur. Salah satu di antaranya adalah Kepala Desa di Eromoko. Ia termasuk yang ditembak dua kali, karena tembakan pertama masih saja tegak. Kalau yang lain ditembak satu kali sudah roboh. Satu per satu disuruh lompat ke lubang yang sudah digali dan jongkok, lalu ditembak dari belakang.
Di sebelah Kepala Desa Eromoko itu ada anak kecil, katanya anggota IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia). Ia termasuk korban yang ditembak juga. Nyala api puluhan obor dan lampu petromaks menerangi kuburan malam itu. Hanya ada sekitar 80-an anggota wanra dan tentara serta polisi. Sama sekali tidak ada penduduk. Kemudian tentara menembak satu per satu, mulai dari sebelah timur ke barat. Senapan ditembakkan dari atas liang kuburan, tepat ke belakang kepala orang hukuman itu. Otak dan tulang tempurung kepala ada yang berhamburan ke sekitarnya.
Aku lihat sendiri, kalau ada seorang wanra lari sembunyi karena takut, padahal bawa parang sepanjang lengan kalau pas tugas jaga.
Sesudah selesai, wanra yang ada menimbuni lubang kuburan itu. Semua ditata dibujurkan utara selatan. Sesudah selesai, semua wanra yang bertugas kembali ke kecamatan, di depan pasar disuruh makan soto, lalu pulang.
Kutipan kisah-kisah mereka yang dituduh merah, disangkakan PKI, yang dihimpun dari belakang terminal bus Purwantoro, akan dilanjutkan. Kini ke “tempat pembuangan akhir/TPA” Luweng Mloko. Tujuannya tak lain agar dari Purwantoro, Wonogiri, ini kisah orang-orang dilumpuhkan suara itu terabadikan. Walau masih samar dengan ketakutan yang masih mengiang. 

* Serial catatan mudik #syawalitumerah (Purwantoro, Wonogiri

#4 Wonogiri (Bag 2): Kisah-Kisah Perburuan



29 Agustus 2011 | Purwantoro | Km 198 | Pkl 10.10

Kisah-kisah mereka yang dituduh merah, disangkakan PKI, dihimpun Yahya Perwita dari belakang terminal bus antara tahun 2002-2004. Dari Purwantoro, Wonogiri, kisah orang-orang dilumpuhkan suara itu terabadikan. Walau masih samar dengan ketakutan yang masih mengiang. Inilah cerita Mbah Darso, Mbah Kimin, Mbah Sarno, dan Mbah Tiyem.
Cerita Mbah Darso
“Langsung bawa saja ke penjara!”
Dan akhirnya tibalah kami di penjara. Tanpa ba bi bu, kecuali aku dan tiga orang yang lain semua dipukuli, disiksa, dan ditendang, dimasukkan ke dalam sel.
Sel ini normal untuk 7 orang penghuni, akan tetapi sel yang ada sudah penuh sesak, minimal 35 orang. Bahkan sel ukuran besar di sisi barat diisi sampai 80 orang. Semua berdempet, yang kuat berdiri, yang duduk gantian, kepalanya sudah dipepet pantat orang.
Jatah makan hanya satu sendok tiap kali, baik jagung, bulgur atau kadang nasi. Memakai kaleng yang disorongkan di bawah terali. Tetapi lebih dari itu yang paling ditakutkan adalah “bon malam hari”. Selama satu setengah bulan di penjara Wonogiri itu, dari 37 orang sekamar tiap malam ada yang diambil satu dua, sampai akhirnya hanya tinggal enam orang.
Suatu malam ada yang memanggil namaku, pimpinan SD Gondang Purwantoro. Teman-temanku menyuruhku diam saja, karena ternyata salah memanggilnya. Panggilan itu diulang sampai tiga kali, dan karena dianggap tidak ada lalu yang memanggil pergi. Menurut keponakanku yang ajudan inspektur polisi, mereka yang dibon keluar malam hari itu dibunuh, entah di mana kuburnya.
Sekali aku dibawa ke Kejaksaan, di sana aku ditanya, “Benar Saudara ketua Cabang PGRI Purwantoro?” Tentu saja kujawab iya, karena sebagai guru SD aku memang ikut organisasi PGRI ini. “Apakah mengadakan rapat gelap sebanyak 120 kali?”
Apa mungkin mengadakan rapat gelap sampai sebanyak itu? Aku membantah tuduhan itu.
“Apa Saudara pimpinan organisasi?”  
“Ya, tetapi ini karena pilihan dan mewakili anggota, bukan kehendak dan ambisi saya pribadi.”
 “Tentu, tetapi setiap kali ceramah, pasti juga disaksikan wakil dari organisasi tingkat kawedanan, juga tiga pimpinan daerah kecamatan: Camat, komandan polisi dan tentara. Jadi sama sekali tidak ada hal yang disembunyikan, apalagi gerakan gelap.”
“Pernah ceramah kepada masyarakat?”

Di akhir pemeriksaan, Jaksa yang tahu aku sudah punya anak tiga mengatakan semoga nanti dapat bertemu keluarga dengan selamat. Ditunjukkan pula surat laporan palsu yang dibuat oleh orang yang kukenal, ia guru pula, lebih muda dariku. Sekarang ia sudah mati. Waktu aku kembali dari P. Buru ia datang minta ampun padaku.
Cerita Mbah Kimin
Sebelum goro-goro ’65, tak ada kejadian khusus yang terjadi. Hanya memperjuangkan ideologi antar partai yang ada. Pemilu 1955 PKI menang di desa Nguneng, lebih dari 50%. Ada dilakukan aksi agraria, agar tanah OO Desa yang digarap Perhutani tanpa ada keputusan desa itu bisa diserahkan dan digarap oleh rakyat. Tapi keburu meletus peristiwa 30 September sehingga tinggal sebagai program saja.
Pada 11 November 1965 itu aku dijemput wanra dari PNI: Sarsan dan Marsidi. Bersama Wita anak mantu nomor 2, Yono (BTI), dan Mikun (Badran). Waktu itu PNI Bulukerto memang sewenang-wenang, mungkin merasa sudah jadi pemenang. Tidak ada dari golongan agama yang ikut menangkap. Masyumi kecil sekali jumlahnya. Tak ada tentara sampai Purwantoro. Tahun 1965 itu tiga ijasah yang kupunya dirampas, juga buku-buku. Padi yang disimpan di rumah bahkan yang panen di sawah juga dirampas. Meja almari dibawa ke kecamatan.
Tahun 1968, yang menangkap tentara dari Batalyon 426. Di jalan karena hujan aku dicarikan payung, ditawari rokok, dan dalam perjalanan dengan truk tentara yang jaga berkata, “Maaf Pak, ini hanya menjalankan tugas, berdasarkan surat dari Kepala Desa”. Mungkin karena melihat postur tubuhku yang kecil dan sudah tua, maka ada tentara yang nyelutuk: “Kaya ngono digawa menyang Solo arep ngopo?”
Ideologi PKI sama sekali tidak anti agama. Banyak anggota PKI yang haji. Saya sendiri sekalipun tidak lewat agama tetapi juga berbakti secara langsung kepada Tuhan. Malah dalam organisasi semua agama itu harus bersatu, tidak membeda-bedakan, karena yang baik itu hanya Tuhan.
Aku ikut kursus kader partai, materi utamanya adalah MDH dan filsafat Marxis, materialisme, dialektika dan historis. Bila tidak mambu MDH rasanya ketagihan, maka diadakan self studi terus, sambil ngadep kamus. Untuk materi MDH sampai sekarang masih kesulitan menangkap bagian penjelasan tentang hal ekonomi negara. Sampai sekarang masih tetap mengikuti berita. Paling suka BBC London, biarpun berita jelek tentang negara mereka sendiri tetap disiarkan.
Saat peristiwa 30 September 1965 itu, sama sekali tidak ada berita yang sampai kemari. Pekerjaan tiap hari iya mencangkul dan makan. Lain tidak. Tahu-tahu ditangkap. Jadi berita tentang dewan jendral, kudeta, dan macam-macam itu baru sesudah di penjara. Kalau bisa baca koran itu pun dengan sembunyi-sembunyi. Dan setelah itu sampai pemerintah reformasi (sesudah Mei 1998) adanya hanya intimidasi terus menerus dari Orba. Beda usul dengan yang berkuasa langsung saja dicap PKI!
Sekarang PKI sudah tidak ada. Tapi ilmunya saya yakin masih dipelajari.
Cerita Mbah Sarno dan Mbah Tiyem
Tahun 1964 PGRI Sudihadinoto vs Subandri PGRI Non Fak Sentral yang afiliasi ke PKI. Tahun itu ibu sakit di rawat di Solo, pulang dari sana mampir di kantor P&K ketemu PS Saryoko.
“PGRI pecah, melu sapa?”
Terus dicatatkan ikut PGRI Non Fak Sentral. Ternyata itu yang kemudian membawa ke penjara selama 5 tahun 28 hari.
Desember 1965 ditangkap. Disuruh ke Kecamatan oleh pemuda Masyumi, waktu itu sudah pukul 14.00. Di sana sudah ada Bu Ronggo Gesing, Sugiyarti (Pala Lemah Bang), Pokadi tani, Misiran tani (Lekra) dan ada 25 orang lain. Setelah didaftar, lalu dinaikkan truk. Sampai di Wonogiri di kantor CPM diabsen. Waktu itu hujan deras, disuruh copot baju dan celana, jungkir balik, laku dodok, mbrangkang, lalu dimasukkan penjara Wonogiri malam hari. Apel gelap-gelap.
Mulai Maret 1966 boleh ada kiriman makanan dari rumah, kamar ukuran 3×4 meter diisi 35 orang, tidur gantian, minum satu cangkir kecil untuk 5 orang dua kali sehari, makan kabluk dan gereh, gronthol 40 biji. Kiriman dari rumah biasanya sega aking.
Kami ingat, pernah suatu kali Polisi Perintis Sugeng menyuruh dibawa ke Bengawan Solo untuk mandi dengan kawalan Polisi Warno, “Aja mlayu!” Lha mlaku saja tidak jejeg.
Guru Didik yang ngusut perkara. Lalu ada usul supaya kerja di luar, buat bata di jembatan Suma Ulun yang waktu itu hancur diterjang banjir. Terus kerja di Kismantoro, mindah pasar dari Puskesmas ke lokasi Kelurahan sekarang.
Waktu bebas sempat ngampir ke Sriyono, teman tahanan dari Klitik. Eh malah dituduh buat gerakan PKI bawah tanah. Masuk lagi penjara 1 tahun. Tapi kemudian diperkerjakan tanpa upah. Ya namanya saja tahanan negara. Kami dikerjapaksakan buat jalan dari Kismantoro sampai Nawangan, jalan tanah, dengan sistem padat karya bersama masyarakat, sampai jadi jalan batu beraspal. Dari Kismantoro sampai Trolelo 500 orang tahanan kerja perhari. Bukan hanya tahanan dari Wonogiri, tetapi juga banyak remaja pemuda dari Klaten dan Solo yang ikut. Ketika tahun 1970 banyak remaja yang diambil dibawa ke Pulau Buru.
Yang ngusut itu mahasiswa dari Yogya. Mereka itu kejem-kejem. Mereka bawa dakwaan, kalau jawaban tidak sama dengan catatan yang dibawa langsung main pukul, atau kaki dijepit kaki meja, atau jari-jari tangan dipukul satu satu. (BERSAMBUNG)
* Serial catatan mudik #syawalitumerah (Purwantoro, Wonogiri)
Muhidin M Dahlan 

Minggu, 11 September 2011

Tokoh PKI Hasan Raid : “G30S/SOEHARTO, BUKAN G3OS/PKI”

September 11, 2011

Berikut adalah tulisan tokoh PKI Hasan Raid alm (dengan nama samaran
Sulangkang Suwalu) yang berjudul « G30S/Soeharto, bukan G30S/PKI », dan
disiarkan di berbagai mailing-list


Tulisan ini diambil dari apakabar@access.digex.net , 8 Agustus 1998
G30S/SOEHARTO, BUKAN G3OS/PKI


« Sudah hampir 2 bulan Soeharto dipaksa berhenti sebagai presiden oleh
kekuatan mahasiswa dan rakyat. Dengan demikian gagallah rencananya untuk
terus menjadi Presiden sampai dengan 2003. Sementara itu 21/2 bulan lagi
adalah hari genapnya 33 tahun meletusnya G30S.


Ki Oetomo Darmadi (Swadesi, No 1541/Th XXX/Juli 1998) mengemukakan, “Sudah
33 tahun tragedi nasional, apa yang disebut G30S menjadi ganjalan sejarah.
Sudah seyogianya di era reformasi sekarang misteri tersebut disingkap secara
transparan, jujur terbuka”.


“Mengapa, ini penting sebagai pelajaran sejarah, betapa dahsyatnya
akibat-akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa tersebut terhadap kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Antara lain bangsa ini terbelah
menjadi dua: Orde Lama dan Orde Baru, dengan implikasi luas pada sektor
kehidupan sosial, politik, ekonomi dan pertahanan keamanan. Terlebih-lebih
jika ditilik dari hak dasar azasi manusia (HAM) hampir seluruh Deklarasi HAM
PBB (10 Des 1948) dilanggar. Pancasila hanya dijadikan lips-service, dan
hampir semua hak warga sipil yang termaktub dalam batang tubuh UUD 45
dinodai. Terlalu banyak lembar catatan keganasan rezim Soeharto selama 32
tahun berkuasa, sehingga ada yang menjuluki ‘drakula’, pembunuh berdarah
dingin den sebagainya. Tidak mengherankan jika Indonesia ditempatkan sebagai
pelanggar HAM terberat, sebab korban penubunuhan massal peristiwa G.30-S/PKI
1965 saja melampaui korban Perang Dunia II.”


Sesungguhnya sudah lama dituntut supaya misteri G30S yang sesungguhnya
diungkap secara terbuka, jujur dan adil. Hanya saja tuntutan semacam itu di
masa Soeharto berkuasa suatu yang mustahil bisa dilaksanakan. Sebab dengan
membuka misterinya, akan terbuka lah bahwa G3OS yang sesungguhnya ialah
G30S/Soeharto, bukan G30S/PKI. Mari kita telusuri!



HUBUNGAN SOEHARTO DENGAN G30S 


Hubungan Soeharto, terutama dengan Kolonel Latief, seorang tokoh G3OS,
begitu akrab dan mesranya. Lepas dari persoalan apakah hubungan yang erat
itu karena Soeharto yang menjadi bagian atau pimpinan G30S yang tersembunyi,
atau karena kelihaian Soeharto memanfaatkan tokoh-tokoh G30S untuk mencapai
tujuannya menjadi orang pertama di Indonesia.


Hubungannya itu dapat diketahui, ketika pada 28 September 1965, Kolonel
Latief bersama isterinya berkunjung ke rumah Jenderal Soeharto di jalan H.
Agus Salim. Menurut Kolonel Latief (Kolonel Latief: “Pembelaan sidang
Mahmilti II Jawa Bagian Barat” 1978) maksud kunjungannya ialah guna
menanyakan adanya info Dewan Jenderal, sekaligus melaporkan kepada beliau.


“Oleh beliau justru memberitahukan kepada saya, bahwa sehari sebelum saya
datang, ada seorang bekas anak buahnya berasal dari Yogyakarta, bernama
Soebagiyo, memberitahukan tentang adanya info Dewan Jenderal AD yang akan
mengadakan coup d’etat terhadap kekuasaan pemerintahan Presiden Soekarno.
Tanggapan beliau akan diadakan penyelidikan”.


Seterusnya Kolonel Latief mengemukakan bahwa 30 September 1965 (malam), ia
berkunjung ke RSPAD untuk menjumpai Jenderal Soeharto, yang sedang menunggui
putranya yang tersiram sup panas. Sambil menjenguk putrandanya itu, juga
untuk melaporkan bahwa dini hari l Oktober l965 G30S akan melancarkan
operasinya guna menggagalkan rencana kudeta yang hendak dijalankan Dewan
Jenderal. Kunjungannya ke Jenderal Soeharto di RSPAD tersebut, adalah
merupakan hasil kesepakatan dengan Kolonel Untung dan Brigjen Supardjo.

Seperti diketahui menurut Brigjen Supardjo (Tempo, 1 Oktober 1988) tanggal
16 September 1965 telah terbentuk gerakan tsb, di bawah pimpinan Letnan
Kolonel Untung. Kolonel Latief semula berkeberatan Letkol Untung menjadi
pimpinannya dan meminta supaya gerakan dipimpin seorang jenderal. Tetapi
karena Kamaruzzaman (Syam) memtahankan supaya tetap Untung, karena ia
pengawal presiden, maka akhirnya Letnan Kolonel Untung yang memimpinnya.


Kamaruzzaman ini menurut Wertheim (Wertheim: “Sejarah tahun 1965 yang
tersembunyi” dalam Suplemen Arah, No 1 th 1990) adalah “seorang double
agent”. Yang dimaksud “double agent” Wertheim ialah agennya Aidit (dalam
Biro Khusus) dan agen Soeharto (yang diuntungkan oleh Peristiwa G30S).


Sesungguhnya G30S tak akan bisa melancarkan operasi militernya dini hari
lOktober 1965 itu, sekiranya Jenderal Soeharto mencegahnya dan bukan
membiarkannya. Tampaknya karena Soeharto berkepentingan agar Men/Pangad A.
Yani terbunuh, maka dengan diam-diam direstuinya operasi militer G30S yang
hendak dilancarkan itu. Jika Soeharto tidak berkepentingan terbunuhnya
A.Yani, tentu rencana operasi G30S itu akan dicegahnya, atau langsung saja
Kolonel Latief ditangkapnya, atau rencana G30S itu dilaporkannya kepada
atasannya, misalnya kepada Jenderal Nasution. Dengan demikian operasi G30S
itu gagal.


Bagi Kolonel Latief dengan tidak ada pencegahan dari Jenderal Soeharto,
berarti Jenderal Soeharto merestuinya dan operasi G30S dini hari l Oktober
dilaksanakannya.


Soeharto merestui operasi G30S itu secara diam-diam, karena ia mengetahui
ada sebuah konsensus dalam TNI-AD bahwa bila Pangad berhalangan, otomatis
Panglima Kostrad yang menjadi penggantinya. Dan Panglima Kostrad ketika itu
adalah dirinya sendiri.



MALING BERTERIAK MALING 


Paginya (pukul 6.30), dengan dalih ia mendapat informasi dari tetangganya,
Mashuri, bahwa Jendral A. Yani dan beberapa jenderal lain telah terbunuh,
Soeharto dengan Toyotanya, sendirian (tanpa pengawal) berangkat ke Kostrad.
Melalui Kebun Sirih, Merdeka Selatan. Soeharto sudah tahu benar siapa
sasaran G30S.


Sejalan dengan laporan yang disampaikan Kolonel Latief kepada Jenderal
Soeharto di RSPAD malam itu, maka daerah, dimana markas Kostrad terletak,
tidak diawasi atau dijaga pasukan G30S. Yang dijaga hanya daerah lain saja
di Merdeka Selatan. Ini menjadi indikasi adanya saling pengertian antara
G30S dengan Panglima Kostrad. Jika tidak ada saling pengertian, tentu daerah
di mana Markas Kostrad berada juga akan dijaga pasukan G30S.


Menurut Yoga Sugama (Yoga Sugama: “Memori Jenderal Yoga” [hal: 148-153])
pada pagi 1 Oktober 1965 itu, dirinyalah yang pertama tiba di Kostrad.
Kepada Ali Murtopo, Yoga Sugama memastikan bahwa yang melancarkan gerakan
penculikan dini hari tersebut, adalah anasir-anasir PKI. Ali Murtopo tidak
begitu saja mau menerima keterangan Yoga Sugama tersebut.

Setelah ada siaran RRI pukul 7.20, yang mengatakan telah terbentuk Dewan
Revolusi yang diketuai Kolonel Untung, maka Yoga Sugama memperkuat
kesimpulannya di atas. Sebab Yoga Sugama kenal Untung sebagai salah seorang
perwira TNI-AD yang berhaluan kiri. Untung pernah menjadi anak buahnya
ketika RTP II bertugas menumpas PRRI di Sumatera Barat.


Jenderal Soeharto juga bertanya kepada Yoga Sugama, “Apa kira-kira Presiden
Soekarno terlibat dalam gerakan ini.” Yoga Sugama dengan tegas menjawab
“Ya”. Tuduhan Yoga Sugama bahwa dibelakang gerakan itu adalah anasir-anasir
PKI dan Presiden Soekarno terlibat, tentu saja sangat membesarkan hati
Soeharto. Karena dengan demikian rencananya untuk menghancurkan PKI dan
menggulingkan Presiden Soekarno mendapat dukungan dari bawahannya.


Pada pukul jam 9.00 pagi itu Jenderal Soeharto (Tempo, 1 Oktober 1998)
memberikan briefing. Dengan tegas ia mengatakan: “Saya banyak mengenal
Untung sejak dulu. Dan Untung sendiri sejak 1945 merupakan anak didik tokoh
PKI Pak Alimin”. Ini tentu bualan Soeharto saja. Sebab Pak Alimin baru
kembali ke Indonesia pertengahan tahun 1946. Bagaimana ia mendidik Untung
sejak tahun 1945, padahal ketika itu Pak Alimin masih berada di daratan
Tiongkok.


Tidak lah kebetulan Kamaruzzaman mempertahankan Kolonel Untung menjadi
pimpinan G30S. Sudah diperhitungkannya, bahwa suatu ketika nama Untung tsb
akan dapat digunakan sebagai senjata oleh Soeharto untuk menghancurkan PKI.

Kamaruzzaman memang seorang misterius. Secara formal dia adalah orangnya
Aidit (dalam BC). Sedang sesungguhnya dia adalah di pihak lawannya Aidit,
dia bertugas menghancurkan PKI dari dalam.


Untuk itu lah maka Kamaruzzaman, seperti dikatakan Manai Sophian (Manai
Sophiaan (“Kehormatan bagi yang berhak”) membuat ketentuan bahwa persoalan
yang akan disampaikan kepada Aidit, harus melalui dirinya. Banyak hal yang
penting yang tak disampaikannya pada Aidit. Akibatnya setelah gerakan
dimulai terjadilah kesimpangsiuran, penyimpangan yang merugikan Aidit/PKI.


Sesuai dengan rencananya, maka Soeharto (G.30-S pemberontakan PKI”, Sekneg,
1994, hal 146, 47) pada 1 Oktober tersebut tanpa sepengetahuan, apalagi
seizin Presiden/Pangti Soekarno mengangkat dirinya menjadi pimpinan TNI-AD.
Padahal jabatan Panglima suatu angkatan, adalah jabatan politik. Itu
merupakan hak prerogatif Presiden untuk menentukan siapa orangnya.

Dikesampingkannya hak prerogatif Presiden/Pangti ABRI tersebut, diakui
Soeharto dalam 4 petunjuk kepada Presiden Soekarno yang harus disampaikan
oleh Kolonel KKO Bambang Widjanarko yang berkunjung ke Kostrad 1 Oktober
1965 itu. Kedatangan Bambang Widjanarko adalah untuk memanggil Jenderal
Pranoto Reksosamudro yang telah diangkat menjadi caretaker Menpangad
sementara oleh Presiden, untuk datang ke Halim menemui Presiden Soekarno.

Usaha Bambang Widjanarko untuk meminta Jenderal Pranoto Reksosamudro ke
Halim itu dihalangi Soeharto. Empat petunjuk tersebut ialah:


1. Mayjen TNI Pranoto Reksosamudro dan Mayjen TNI Umar Wirahadikusumah tidak
dapat menghadap Presiden Soekarno untuk tidak menambah korban. (Ini berarti
Soeharto menuduh Presiden Soekarno lah yang bertanggungjawab atas penculikan
sejumlah jenderal dini hari 1 Oktober tersebut. Sesuai dengan jawaban Yoga
Sugama kepadanya tentang keterlibatan Presiden Soekarno dalam G30S. Karena
Ketua Dewan Revolusi adalah Kolonel Untung, pasukan pengawal Presiden
Soekarno)


2. Mayjen TNI Soeharto untuk sementara telah mengambil oper pimpinan TNI-AD
berdasarkan perintah Tetap Men/Pangad. (Ini berarti perintah tetap
Men/Pangad, maksudnya konsensus dalam TNI-AD lebih tinggi dari hak
prerogatif presiden dalam menentukan siapa yang harus memangku jabatan
panglima suatu angkatan).


3. Diharapkan agar perintah-perintah Presiden Soekarno selanjutnya
disampaikan melalui Mayjen TNI Soeharto. (Ini berarti Mayien TNI Soeharto
yang mengatur Presiden Soekarno untuk berbuat ini atau itu, meski pun
dibungkus dengan kata-kata “diharapkan”. Semestinya Presiden yang mengatur
Mayjen Soeharto, bukan sebaliknya. Presiden adalah Panglima Tertinggi ABRI).


4. Mayjen TNI Soeharto memberi petunjuk kepada Kolonel KKO Bambang
Widjanarko agar berusaha membawa Presiden Soekarno keluar dari Pangkalan
Udara Halim Perdanakusumah, karena pasukan yang berada di bawah komando
Kostrad akan membersihkan pasukan-pasukan pendukung G3OS yang berada di
Pangkalan Udara Halim Perdana Kusumah sebelum tengah malam 1 Oktober 1965.
(Ini berarti Soeharto “memerintahkan” Soekarno meninggalkan Pangkalan Udara
HPK, karena Halim akan diserbu. Padahal sebelumnya Presiden Soekarno telah
memerintahkan kepada Brigjen Supardjo supaya menghentikan operasi militer
G30S dan jangan bergerak tanpa perintahnya. Tampaknya perintah lisan
Presiden/Pangti Soekarno demikian, dianggap tidak berlaku bagi dirinya.
Malahan situasi itu digunakannya untuk “memukul” pasukan G30S.


Empat petunjuk Mayjen Soeharto kepada Presiden Soekarno melalui Kolonel KKO
Bambang Widjanarko menunjukkan: dengan menggunakan G30S, Jenderal Soeharto
mulai l Oktober 1965 secara de facto menjadi penguasa di Indonesia. Sebagai
langkah awal untuk memegang kekuasaan de jure di Indonesia nantinya. Ya,
maling berteriak maling. Dirinya yang kudeta, PKI yang dituduhnya melakukan
pemberontakan.



PEMBANTAIAN MASSAL 


Sesudah kekuasaan secara de facto berada di tangannya, hunting (perburuan)
terhadap anggota dan simpatisan PKI dilancarkannya sejadi-jadinya. Menurut
MR Siregar (MR Siregar: “Tragedi Manusia dan Kemanusiaan”, Amsterdam 1993,
hal: 214-217) betapa ganasnya perburuan untuk meruntuhkan moral orang-orang
komunis sehingga tak berani melakukan perlawanan. Istilah hunting
(perburuan) ini digunakan Sumitro dalam wawancaranya dengan BBC.


Sekadar ilustrasi dari hunting Sumitro dapat dikemukakan, di antaranya:
Di Jakarta: Sekawan progrom menjerang air dalam drum. Ketika air sudah
menggelegak, seorang yang mereka “amankan”, kalau tidak lupa dari IPPI,
dengan posisi kepala ke bawah dan kaki ke atas, dicelupkan ke dalamnya.
Adegan mengerikan dan memilukan yang tak dapat disaksikan mata manusia biasa
menggelitik pembunuh-pembunuh berdarah dingin itu.


Di Jawa Tengah: HJ Princen mengatakan dia yakin sekitar 800 orang telah
dibunuh dengan pukulan batang-batang besi pada kepala, tapi bahwa jumlah tsb
mungkin lebih tinggi. Selain daripada itu pasukan di bawah pimpinan Sarwo
Edhie pergi dari desa ke desa, membawa pergi korban-korban mereka dengan
truk-truk untuk dibunuh. Banyak dari mereka diwajibkan menggali kuburannya
sendiri.


Di Jawa Timur: Banser, sayap militer dari ANSOR menjelajahi desa-desa.
Mengambil orang-orang komunis. Mereka membawa korban-korban mereka ke desa
berpenduduk padat dan membunuhnya. Beberapa diantaranya ditanam dalam
kuburan yang dangkal, yang digali sendiri oleh para korban, dan
jenazah-jenazah lain dilemparkan ke dalam sungai atau sumur-sumur. Tumpukan
mayat terhampar pada pesisir sungai, dan sejumlah sungai sampai tersumbat
oleh apungan mayat-mayat.


Di Kupang: Seorang pemimpin PKI dikeroyok kawanan progrom. Setelah lemah
dihajar, kedua belah tangannya diikat dengan seutas tali panjang. Ujung lain
dari tali itu diikatkan pada sebuah jeep tentara. Jeep ini kemudian meluncur
ketengah-tengah kota, menyeret sang korban yang terbanting-banting sepanjang
route yang dilalui. Sang korban memekik-mekik dan mengerang bukan
kepalang.Jalan-jalan yang dilalui berbelang ceceran darah sang korban. Muka
dan tubuhnya terkelupas.


Di Sulawesi Utara: Sejumlah tangkapan kader PKI dihajar habis-habisan.
Dengan tangan terikat dibawa berlayar ke lepas pantai. Sesampai di geladak,
setiap kaki mereka digantungi batu-batu besar. Kemudian jangkar diangkat dan
kapal pun segera melaju ke lepas pantai. Pesta pesiar maut ini dimulai
dengan membuang hidup-hidup para korban seorang demi seorang ke laut.

Menurut Sarwo Edhie (MIK: “50 tahun Merdeka & Problema Tapol/Napol”, 1995,
hal 59), seperti yang dikemukakannya kepada Permadi SH dan oleh Permadi SH
disampaikannya dalam Seminar Sehari 28 Januari 1995 di LBH Jakarta, bahwa
jumlah yang dibunuh dalam peristiwa G30S itu bukan 1,5 juta orang, melainkan
3 juta orang. Sebagian besar atas perintahnya.


Mengenai pembantaian terhadap massa anggota dan simpatisan PKI ini, menurut
Manai Sophiaan (Manai Sophiaan: “Kehormatan Bagi yang Berhak”, 1994, hal
311) korban penumpasan sangat besar. Abdurrahman Wahid, Ketua PBNU ketika
diwawancarai oleh “Editor”, mengaku bahwa orang Islam membantai 500.000 eks
PKI. Tentu masih ada lagi yang dibunuh oleh orang-orang yang tidak masuk
orang Islam. Maka angka 1 juta, seperti yang diumumkan oleh Amnesti
Internasional, bisa dimengerti.


Sedang Dawam Rahardjo (Masalah Tapol & Napol dari Perspektif Konstitusi,
1994, hal 58-59) mengemukakan dalam Seminar di LBH bahwa dalam film “Riding
a Tiger” diceritakan mengenai keterangan seorang yang sangat lugu sekali,
bagaimana membunuh orang-orang PKI secara sangat teratur dan sopan, pokoknya
diatur dengan baik, sehingga tidak menimbulkan gejolak-gejolak dsb. Padahal
bagi orang lain, itu merupakan suatu pertunjukkan yang mengerikan sekali.
Demikian jugalah dengan bagaimana tahun 1965 telah terjadi pembunuhan bangsa
kita oleh bangsa kita sendiri, termasuk oleh orang Islam dimana bila
mengingat itu semua, timbul rasa ngeri bercampur malu, rasa berdosa yang
besar.


Dawam Rahardjo juga mengemukakan bahwa tapol mulia karena mereka adalah
orang-orang yang berpendirian. Sebenarnya pemrasaran takut mengatakan hal
ini, tapi kalau konsekuen kita sebenarnya harus menghargai orang-orang PKI
juga, sebab orang-orang PKI juga mempunyai cita-cita luhur. Mereka bukan
orang kriminal.



G30S BUKAN PEMBERONTAKAN PKI 


Permadi SH (50 tahun Merdeka & Problema Tapol/Napol, 1995, hal 59) dalam
Seminar Sehari di YLBHI pada 28 Januari 1995 mengemukakan “Saya kesulitan
menjawab pertanyaan anak-anak muda sekarang. Kalau memang PKI itu berontak,
berontak terhadap siapa? Sebab pemerintah waktu itu yang dipimpin Bung Karno
menguntungkan posisi mereka. Kemudian berapa orang yang dibunuh PKI?

Benarkah PKI punya bedil dan membunuh orang-orang lain, kecuali yang 7
jenderal dan beberapa kolonel dan lain sebagainya dan itu pun masih
dipertanyakan: apakah PKI atau tentara sendiri yang membunuhnya.


Menurut Oei Tjoe Tat (Oei Tjoe Tat: “Memoar Oei Tjo Tat”, hal 171) yang
jelas Presiden Soekarno tidak merasa diberontaki PKI. Kalau G30S itu
pemberontakan PKI, berarti PKI berontak pada pemerintah Soekarno 1 Okt 1965.
Bila demikian, mengapa Nyoto (orang ketiga dalam PKI) tidak ditangkap
Soekarno ketika hadir dalam sidang Kabinet 6 Okt 1965? Malah ketika sidang
Kabinet 6 Oktober tsb, kebetulan saya berdekatan duduk dengan Nyoto, oleh
Bung Karno disilakannya untuk ngomong-ngomong.


Juga dalam pidato Presiden Soekarno (Dalam buku “Memenuhi Panggilan Tugas”,
jilid 7, hal 172-173) tanggal 21 Desember 1965 mengatakan: Gestok (Gerakan 1
Oktober -pen) harus kita hantam, tetapi komunisme tidak bisa, karena ajaran
komunis itu adalah hasil keadaan objektif dalam masyarakat Indonesia,
seperti halnya nasionalis dan agama. Nasakom telah kutulis sejak aku berumur
25 tahun dalam tahun 1926, dan ini akan kupegang teguh sampai aku masuk
liang kubur.


Menurut Manai Sophiaan (Manai Sophiaan: “Kehormatan Bagi yang Berhak”, hal
312) sesudah Brigjen Supardjo (dari G30S) melaporkan apa yang terjadi dini
hari 1 Oktober pada Presiden Soekarno di Halim, Presiden Soekarno
memerintahkan Brigjen Supardjo untuk menghentikan semua operasi militer
G30S. Perintah itu diberikan, pada saat G30S secara militer dalam posisi
memegang inisiatif. Ini terjadi di Halim 1 Okt 1965. Perintah lisan Presiden
Soekarno itu ditaati, operasi militer berhenti seketika. Senjata yang berada
di tangan para militer, yang berkekuatan dua batalyon, diperintahkan oleh
AURI supaya dikembalikan ke dalam gudang.


Seorang saksi mata yang berada di Halim 1 Okt 1965 itu mengatakan bahwa DN
Aidit yang juga berada di Halim ketika mendengar perintah supaya operasi
militer dihentikan, memberi reaksi marah.


Melapornya Brigjen Supardjo kepada Presiden Soekarno dan bukan kepada Aidit,
menjadi bukti yang hidup bahwa G3OS bukan pemberontakan PKI dan bukan PKI
yang menjadi dalagnya. Kalau PKI yang berontak atau menjadi dalangnya, tentu
Brigjen Supardjo melapornya kepada Aidit dan bukan kepada Presiden Soekarno.
Padahal Brigjen Supardjo dengan tidak memperdulikan bagaimana reaksi Aidit
terhadap perintah lisan Presiden Soekarno untuk menghentikan operasi
militer. Perintah itu ditaati sepenuhnya.


Manai Sophiaan (Manai Sophiaan: “Kehormatan Bagi yang Berhak”, hal: 151)
melalui bukunya juga mengatakan bahwa Sunardi SH pada tanggal 10 Des 1981
telah mengirim surat kepada 500 alamat pejabat tinggi, termasuk Presiden
Soeharto. Isinya menuduh Presiden Soeharto terlibat G30S. Sunardi SE
ditangkap dan diadili. Dinyatakan sebagai pengkhianat. Oleh Pengadilan
Negeri 7 Oktober 1982 dituntut hukuman 4 tahun 6 bulan, potong masa tahanan.


Di dalam pidato pembelaannya, Sunardi SH mengatakan bahwa coup d’etat G.30-S
1965 yang dikatakan gagal, justru berhasil dengan baik, sesuai dengan
rencana lebih dulu, telah diatur dan diperhitungkan dengan cermat, yaitu
menjatuhkan kekuasaan Presiden Soekarno sebagai pemegang pemerintahan yang
sah.


Jelasnya, menurut Sunardi SH bahwa G30S adalah kudeta Soeharto, bukan
pemberontakan PKI. Jika G30S pemberontakan PKI tentu Sunardi SH tidak akan
mengatakan G.30-S berhasil. Karena kenyataannya bersamaan dengan
tergulingnya Presiden Soekarno dari kekuasaannya, PKI pun turut hancur.

Sedang Oei Tjoe Tat (Memoar Oei Tjoe Tat, hal 170) mengatakan: menurut
pengamatan saya sejak 1 dan 2 Oktober 1965 kekuasaan de facto sudah terlepas
dari tangan Presiden Soekarno selaku penguasa RI. Memang padanya masih ada
corong mikrofon, tetapi inisiatif dan kontrol jalannya situasi sudah hilang.
Yang ada hanya tinggal sedikit kekuasaan atas piranti dan sarana untuk
mewujudkan kehendak politiknya. Dengan kata lain, pada 1 Oktober 1965
berakhirlah sesungguhnya rezim Soekarno.


Sementara itu Ny Dewi Soekarno (Vrij Nederland tanggal 16 April 1970)
melalui Surat terbuka yang ditujukannya kepada Jenderal Soeharto antara lain
mengatakan: Tuan telah meyakinkan orang banyak (memfitnah) dengan
melancarkan berita bahwa G.30-S dilakukan oleh PKI. Hal itu jelas tidak
benar. Bukankah yang melakukan gerakan itu orang-orang militer. Jelas bahwa
peristiwa G.30-S adalah akibat pertentangan yang ada di kalangan ABRI
sendiri.


Dalam pada itu Soeharto pada Minggu 23 Januari 1994 menerima rombongan
peserta pembekalan back to basic TNI AL di Tapos Bogor. Di tengah
perbincangan yang santai dan penuh keakraban sepanjang satu setengah jam
itulah Pak Harto, kata Tabloid Detik mengungkapkan: Saya menerima sebuah
buku berjudul “Prima Dosa”. Isinya menggugat pemerintahan sekarang dan
menggugat saya, bahwa yang menciptakan G30S itu saya. Mereka memutar balikan
fakta.


Sementara pengamat luar negeri tentang G30S ini menyimpulkan beberapa hal.
Peter Dale Scott, profesor ahli bahasa Inggeris dari University of
California, Berkeley, AS, menerbitkan tulisan yang berjudul: “The
UnitedStates and the Overthrow of Soekarno 1965-1967” (AS dan penggulingan
Soekarno). Karyanya itu dimuat dalam Pacific Affairs pada tahun 1984, isinya
menguraikan peranan CIA dalam menggerakkan TNI-AD, terutama oleh SESKOAD. Ia
menyimpulkan: G30S kudeta yang dilakukan Soeharto.


Sedang ACA Dake, dalam bukunya setebal 480 halaman, yang berjudul “In Spirit
of the Red Banteng” yang diterbitkan pada 1974 di Den Haag, mengemukakan
bahwa ia berhasil mendapatkan copy dari pemeriksaan Kolonel Widjanarko yang
mengungkapkan bahwa Bung Karno telah memutuskan pengamanan para jendral yang
tidak loyal pada satu rapat rahasia di Bali dalam bulan Juni 1965 dan
merundingkan dengan Untung pada Agustus 1965. Pada 23 September 1965
Komandan Cakrabirawa JenderaL Sabur diperintahkan “untuk secepat mungkin
mengambil tindakan terhadap para jenderal yang tidak loyal.”


Wertheim dalam tulisannya yang berjudul “Soeharto and the Untung Coup the
Missing Link (1970)” menyimpulkan bahwa AD yang melakukan kudeta. Ia
meragukan keterlibatan komunis, karena di saat itu PKI sudah berada diambang
puncak kekuasaan. Jadi buat apa susah-susah lagi merebut kekuasaan.

Menurut Cornell Papers, persoalan G30S adalah persoalan intern AD. Jadi
bukan PKI yang mendalangi peristiwa itu. Namun pada saat-saat terakhir ada
usaha memancing supaya PKI terlibat. Kalau toh PKI terlibat, keterlibatannya
hanya insidentil.


Dan menarik apa yang dikatakan Leo Suryadinata (Golkar dan Militer, hal
19-20) bahwa “jika PKI menjadi dalang kudeta, ia adalah dalang yang sama
sekali tidak siap”. Artinya, PKI memang tidak menyiapkan G30S.


KESIMPULAN


Sudah tiba waktunya untuk mengatakan yang benar sebagai benar dan yang salah
sebagai salah. Sejarah G30S yang selama 32 tahun ini diputarbalikkan oleh
kekuasaan Soeharto, harus ditempatkan pada tempat yang sebenarnya. Yaitu
G30S adalah G30S/Soeharto dan bukan G30S/PKI.


Menurut AM Hanafi (AM Hanafi Menggugat, 1998, hal 262) bahwa “G30S
menggunakan Soekarno dan Soeharto menggunakan G30S”. Jadi, “G30S/Soeharto”.

  

https://jurnaltoddoppuli.wordpress.com/2011/09/11/tokoh-pki-hasan-raid-g30ssoeharto-bukan-g3ospki/