HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Sabtu, 29 Oktober 2011

Mas Marco Kartodikromo Dan Cerita Kaum Komunis Di Boven Digoel



Senin, 24 Oktober 2011, saya menulis kisah tentang sebuah kota kecil di Spanyol, Marinaleda, yang sukses menjalankan miniatur masyarakat sosialistik. Tiba-tiba, seusai menulis kisah sukses kota yang dianggap “oase komunis” di Spanyol itu, saya teringat dengan seorang pejuang besar dan salah satu karya terakhirnya.

Ya, saya teringat dengan Mas Marco Kartodikromo, seorang jurnalis besar dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Pada bulan Juni 1927, sebagai akibat dari pemberontakan PKI yang gagal, Mas Marco termasuk dalam rombongan “orang-orang yang dibuang ke Digoel”.

Dari sinilah, saat ia merasa ketidakbebasan dan keterbatasan, ia masih sempat-sempatnya menulis sejumlah karangan. Nah, beberapa karangannya itu juga masih sempat dikirimkan dan disebarluaskan melalui koran-koran. Salah satunya melalui harian “Pewarta Deli”, yang memuat karangan Mas Marco dari tanggal 10 Oktober sampai 9 Desember 1931 dalam 51 angsuran.

Tahun 2002 lalu, Koesalah Soebagyo Toer mengumpulkan semua karangan itu dan menyuntingnya lagi, dan akhirnya diterbitkan (oleh KPG) dengan judul “Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel”. Memang, sudah banyak cerita tentang Digoel yang ditulis, baik oleh para pelaku maupun para peneliti sejarah. Sebut saja dua yang terkenal; “Cerita Dari Digoel” karya Pramoedya Ananta Toer dan “Kisah-Kisah Dari Tanah Merah” karya Tri Ramidjo.

***

Mas Marco tiba di Boven Digoel pada tanggal 21 Juni 1927. Ia disambut oleh kondisi para tahanan politik di Digoel yang sangat memprihatinkan.
“Sembilan puluh persen dari orang-orang itu sebagian badannya di perban atau diplester. Sedang orang-orang yang tidak sakit Malaria diharuskan makan tablet kina 6 biji seminggu,” kata Mas Marco menggambarkan kondisi orang-orang di sana.

Orang-orang yang dibuang di Digoel harus siap menderita. Pemerintah Belanda hanya memberi modal awal yang sangat terbatas: 1 kelambu kecil, 1 tikar kecil, 1 selimut kecil, 1 parang tumpul, 1 kapak yang belum bertangkai, 1 cangkul belum bergagang, dan 1 sekop yang juga belum bergagang. Dengan modal inilah orang dipaksa hidup survival.

Selain itu, seperti diceritakan Mas Marco, setiap orang diberi ransum berupa 9 kg beras, ikan kering, dendeng tengik, garam, gula jawa, kacang ijo, dan teh. Semuanya itu, jika diuangkan, senilai f 6,30.

Setiap orang juga disediakan ruangan seluas 2 x 2 meter untuk tidur dan 2 x 2 meter untuk barang. Sedangkan yang sudah berkeluarga disediakan ruangan seluas 4 x 2 meter (hal. 3). fasilitas-fasilitas publik juga banyak didirikan.

Konon, kehidupan di Boven Digoel masih lebih baik ketimbang Pulau Buru-nya Orde Baru. Tetapi itu pendapat orang. Saya sendiri tidak mengalami keduanya. Tetapi, pada tahun 1934, ketika Sjahrir dibuang ke sana, ia bercerita bahwa Digoel itu seperti Europeschewijk (pemukiman Eropa). Ada bioskop, kamar-bola (ballroom), rumah sakit, sekolah, masjid, dan gereja. Pertunjukan seni dan olahraga digalakkan.

Tetapi, perlu diketahui, Sjahrir tiba di Digoel setelah 7 tahun Mas Marco dan orang-orang PKI berjuang mati-matian di sana. Ia tidak merasakan masa-masa sulit ketika rumah baru dibangun dan hutan baru dibuka.

***

Mas Marco juga bercerita banyak soal kehidupan orang PKI di Digoel. Dengan gaya berceritanya yang sederhana, Ia seolah mengantar kita seperti hidup di tengah-tengah orang PKI di Digoel jaman itu.

Ia misalnya bercerita tentang orang-orang PKI yang berubah sikap: dari anti penjajahan menjadi bersedia bekerjasama dengan penjajah. Diceritakan pula tentang perseteruan tanpa ujung antara orang-orang PKI perihal kegagalan pemberontakan 1926/27.

Seorang PKI dari Bandung, Sanoesi, menjadi motor dari sebuah gerakan untuk mendakwa pimpinan pusat (Hoofdbestuur) PKI perihal kegagalan pemberontakan. Sanoesi dan kawan-kawannya menuding Hoofdbestuur PKI sengaja membuat pemberontakan itu menjadi sebuah kegagalan. Mereka bahkan menuding Sardjono, salah satu pucuk pimpinan PKI, sudah berkolaborasi dengan kaum reaksi (kolonial Belanda).

Bahkan, untuk menghakimi Hoofdbestuur PKI, Sanoesi dan kawan-kawannya mendirikan “Comite Pertanyaan” —selanjutnya berubah menjadi CK (Comite Kebesaran). Tetapi, menurut penuturan Mas Marco, banyak orang yang tidak termakan oleh propaganda busuk CK tersebut.

Situasi pun kemudian berbalik: kelompok Sanoesi dianggap telah menyebabkan perpecahan di kalangan orang buangan. Ia pun dianggap spion (mata-mata) pemerintah Belanda. Karena itu, Sanoesi pun harus berusaha keras untuk membersihkan nama baiknya.

Suatu hari, Ali Archam, salah satu tokoh PKI berpengaruh, merasa kesal juga dengan perilaku orang-orang CK itu. Terjadilah pertengkaran antara Ali Archam dan Sanoesi. Sebuah bogem mentah pun mendarat di muka Sanoesi. “Untung sekali Sanoesi tidak berani melawan. Umpama berani, ia pasti masuk liang kubur, paling tidak diangkut ke rumah sakit,” kata Marco menceritakan pertengkaran itu.

Selain soal pertikaian diantara orang PKI, Marco juga menyinggung soal orang-orang PKI yang mengalami penurunan semangat (demoralisasi). Salah satunya adalah seorang anggota PKI bernama Gondhojoewono. Gondho adalah salah satu contoh orang PKI yang mengalami kehidupan berat di Digoel.
Menariknya, demi menyemangati kawan-kawannya yang mengalami demoralisasi, orang-orang PKI sering mengutip kisah Leo Tolstoy, seorang graaf kaya Rusia yang memilih hidup melarat. Tentu, maksud dari cerita-cerita itu adalah memberi dukungan moral, bahwa pengorbanan memang diperlukan dalam perjuangan.

****

Berhadapan dengan kondisi alam, keterbatasan, dan tekanan pemerintah kolonial, orang-orang PKI tidak pasrah begitu saja. Mereka berusaha mengorganisir diri dan bergotong-royong membangun kampung.
Pada saat itu, ada tawaran kolonial untuk membentuk sistim lurah. Tetapi tawaran itu ditolak mentah-mentah oleh orang kampung. Orang kampung ingin mengurus kampunya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Dibentuklan semacam Majelis Kampung dengan fungsi yang sangat luas.

Majelis kampung inilah yang merespon setiap persoalan rakyat kampung. Setiap persoalan juga didiskusikan secara bersama dan keputusan diambil secara demokratis. Majelis kampung juga mewakili orang buangan melawan berbagai keputusan-keputusan kolonial yang merugikan. Hampir semua keputusan diambil melalui rapat akbar (vergadering).

Seringkali, untuk menjalankan tata-sosial kehidupan kampung, orang-orang PKI merujuk pada teori-teori sosialistik yang dibacanya di buku-buku. Itulah usaha untuk menerapkan masyarakat “Sama rata, sama rasa”.

Pada januari 1928, seluruh Majelis Kampung itu diwadahi oleh organ bernama “Centrale Raad Digoel (CRD)–Dewan Pusat Digoel”. Aliarcham merupakan peraih suara terbanyak dalam pemilihan anggota CRD dengan 515 suara. Sedangkan Mas Marco meraih 305 suara.

Meskipun didorong oleh orang-orang komunis, tetapi CRD sendiri berdiri untuk seluruh golongan rakyat di Digoel. Makanya, Anggaran Dasar CRD sangat memperhatikan kenyataan: tidak semua orang Digoel adalah orang komunis, tidak semua orang Digoel terpelajar, dan tidak semua orang Digoel adalah buangan politik. Tetapi, CRD ini hendak mengorganisir suatu masyarakat yang sejahtera tanpa kapitalisme.

Dan melalui buku “Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel”, saya menjadi faham kenapa orang-orang komunis mampu bertahan di tempat yang berawa-rawa dan menjadi sarang malaria itu. Jawabannya: kolektifisme (gotong-royong) dan keteguhan ideologi.

Rabu, 26 Oktober 2011

Seandainya PKI Berhasil (1)

Rabu, 26 Oktober 2011
Oleh: Bung Samdy*



Sudah 46 tahun berlalu, tapi peristiwa itu masih sulit dilupakan. Kita sebagai generasi muda pun pasti masih ingat masa-masa pemutaran filmPengkhianatan G30S/PKI yang menambah rasa benci pada Partai Komunis Indonesia.
Di sekolah dasar maupun menengah, buku sejarah menggambarkan sadis dan kejamnya PKI. Partai ini begitu buruk rupa karena tega membunuh enam jenderal dalam satu malam untuk merebut kekuasaan dan mendirikan negara komunis Indonesia. Seandainya terwujud, Indonesia tidak lagi ber-Tuhan. Kegagalan PKI membuktikan bahwa Tuhan masih mendengar doa orang Indonesia dan tentu saja: saktinya Pancasila.
Begitulah cerita-cerita Orba yang mencuci otak generasi muda. Setelah rezim tersebut runtuh, kita menemukan fakta ilmiah dari para ahli bahwa PKI bukan satu-satunya pihak yang “terindikasi” terlibat G30S tahun 1965. Ada yang mengatakan murni konflik internal TNI-AD; keterlibatan CIA; permainan Soeharto; atau yang paling tak logis: keinginan Bung Karno sendiri. Saya tidak perlu menjelaskan satu-persatu fakta-fakta dari segala skenario tersebut. Namun yang pasti, kita melihat hingga kini, tidak ada satu anggota DPR yang berkartu anggota Partai Komunis; pun menteri dari partai yang sama. Partai ini, semua ormasnya, dan ideologi komunisme/Marxisme-Leninisme, dilarang di bumi Indonesia untuk selama-lamanya. 
Tapi, marilah kita berandai-andai, bagaimana jadinya jika G30S berhasil, dan PKI berkuasa. Benarkah Pancasila tidak ada lagi? Apakah Indonesia masih tetap “sambung-menyambung menjadi satu” dari Sabang hingga Merauke?
Pada tahun 1960, Partai Nasional Indonesia (PNI) menerbitkan sebuah analisa tentang partai-partai pesaingnya. Mengenai PKI, dokumen PNI menuliskan:
PKI merupakan bagian dari gerakan internasional dengan basis di luar Indonesia…Pada masa lalu PKI mengharamkan nasionalisme tetapi sekarang sangat aktif menggunakan lambang-lambang nasionalisme itu sendiri untuk memperoleh pengaruh…Jika PKI memperoleh kekuasaan, kelompok kanan [seperti Masyumi, NU, partai Protestan/Katolik, dan nasionalis] akan mengobarkan perang saudara dengan bantuan penuh blok Barat. Akibatnya negara kita akan terbagi seperti Vietnam atau Korea.
Begitulah bunyi dokumen yang dikeluarkan Departemen Penerangan dan Propaganda PNI yang dikutip Rocamora dalam bukunya, Nasionalisme Mencari Ideologi: Bangkit dan Runtuhnya PNI 1946-1965.
Katakanlah, apa yang menjadi kekhawatiran PNI tersebut benar adanya. Negara yang dibangun dengan darah dan air mata ini, terpecah gara-gara ideologi. Merujuk pada pemilu 1955, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat merupakan lumbung suara bagi PKI. Di luar Jawa, Masyumi berhasil “menghijaukan” Indonesia dengan menang di hampir semua provinsi. Sedangkan di provinsi yang mayoritas penduduknya Kristen, merupakan basis Parkindo dan Partai Katolik.
Dari komposisi seperti itu, kita bisa menduga, andaikata PKI merebut kekuasaan di Jakarta, maka daerah-daerah akan memilih memisahkan diri. PKI  tentu saja tidak tinggal diam melihat kondisi tersebut. Tentara—dengan asumsi bisa dikuasai—akan dikerahkan untuk menghentikan segala pemberontakan di daerah.
Tapi, merujuk perkiraan PNI, maka segera Amerika Serikat dan sekutunya membantu perjuangan daerah. Amerika bisa saja mengirim senjata M-16, tank, uang atau tentara seperti Rambo demi menghindari serangan pemerintah (PKI). Indonesia pun akan seperti Vietnam. Bahkan bisa lebih buruk karena tidak terpecah menjadi dua negara saja, melainkan banyak negara baru.
Saya tidak bisa bayangkan kalau hal yang seperti itu sampai terjadi. Namun bagaimana sekiranya dugaan PNI keliru, di mana PKI berhasil menciptakan negara komunis seperti halnya Uni Soviet, Cina, dan Kuba?
Negara Indonesia pun akan berganti nama menjadi Republik Sosialis Rakyat Indonesia atau Republik Demokratik Indonesia atau Republik Rakyat Indonesia. PKI akan memberangus partai-partai yang ada sehingga melahirkan sistem satu partai. Pemimpin tertinggi PKI akan otomatis menjadi pemimpin negara. Tentu saja, Undang-undang Dasar 1945 diganti dan asas negara sesuai ajaran Marxisme/Leninisme.
Dalam bidang ekonomi, negaralah yang berkuasa sepenuhnya. Semua perusahaan asing otomatis dinasionalisasi. Tentu tidak ada yang namanya kontrak karya yang merugikan bangsa Indonesia. Di negeri yang kaya raya ini semuanya dikelola negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyatnya. Di bidang sosial pun begitu. Semua sekolah dinegerikan, tidak ada—atau dibatasi—yang namanya sekolah swasta. Konsekuensinya, si miskin tidak perlu takut untuk melanjutkan sekolah atau kuliah di perguruan tinggi. Kenaikan biaya SPP pun tak mungkin karena ditanggung oleh negara.
Semua itu adalah konsekuensi logis dari pemerintahan “proletar” yang mengenyahkan si “kapitalis”. Pemerintahan itu betujuan membentuk masyarakat sosialis yang mana “tiap orang memberi berdasar kemampuan dan menerima berdasar pekerjaan”; untuk nantinya terciptalah masyarakat komunis yang “tiap orang memberi berdasar kemampuan dan menerima berdasarkan kebutuhan”. Kalau sudah sampai ke taraf ini, tidak perlu lagi namanya negara.
Siapapun yang merasa tertindas pasti merasa bak dihembuskan angin surga apabila mendengarnya. Itu pula yang barangkali dirasakan oleh manusia Indonesia yang hidup sepanjang tahun 1960-an. Kalau orang miskin di zaman ini saja masih berjibun jumlahnya, apalagi saat itu di mana Indonesia nyaris tidak memiliki apapun.(Bersambung…)
*Samdysara Saragih-T Fisika ITS
Sumber: LangkahAwal 

Seandainya PKI Berhasil (2)


Sabtu, 26 November 2011 
yasirmaster.blogspot.com
Oleh: Bung Samdy*

Tapi dapat diduga, dalam keadaan yang begitu rancak secara teoritis tesebut, tidak ada lagi yang namanya kebebasan individu. Hak pribadi ditiadakan berganti “hak komunal”. Praktis, hak untuk berdemonstrasi dibatasi, apalagi jika untuk mengkritik pemerintah. Perjuangan dianggap usai karena kaum proletar sudah memimpin.  
Itulah gambaran singkat dari perbandingan dengan negara komunis yang pernah hidup.  

Tapi sejak Bolshewik yang dipimpin Lenin berhasil menguasai Rusia pada tahun 1917; yang kemudian diikuti keberhasilan Mao Zedong (Cina), Kim Il Sung (Korea Utara), Castro (Kuba), Ho Ci Minh (Vietnam) dll., semua impian dari Doktor Karl Marx tidak pernah bisa diwujudkan di muka bumi. Apa yang gampang diidelakan sangatlah sulit penerapannya. Buruknya kondisi perekonomian di negara-negara tersebut memancing rakyat menoleh pada liberalisme yang bisa membuat hidup (tampak) bahagia.

Para pemimpin negara komunis pun sadar diri. Di antaranya pemimpin Partai Komunis Uni Sovyet ex officio (merangkap) presiden, Mikhail Gorbachev, mereformasi negaranya pada 1980-an. Tembok Berlin runtuh tahun 1989, dan kemudian Uni Sovyet dan rezim-rezim komunis di Eropa jatuh.
Sebaliknya, di benua Asia dan Amerika partai komunis tetap berkuasa namun penerapan doktrin baku Marxisme telah “binasa”. Kita lihat apa yang terjadi di Cina dan Vietnam sekarang. Kedua negara ini telah berkembang menjadi negara kapitalis dengan membuka penanaman modal asing. Satu-satunya ciri komunisme tinggallah “kediktatoran proletar” dan pengekangan kebebasan individu.

Sejarah menunjukkan bahwa kegagalan bukanlah monopoli dari ideologi tertentu. Sebagian orang beragama mengatakan dengan enteng bahwa komunisme hancur karena anti-Tuhan sehingga tidak diperkenan-Nya. Padahal di masa silam, negara-negara yang mentasnamakan Tuhan pun hancur pula berkeping-keping. Apakah dapat dengan enteng kita katakan bahwa Tuhan pun ternyata tidak suka namanya dibawa-bawa dalam politik?

Kita boleh saja mengaitkan dengan dimensi spiritual. Tapi fakta mengatakan kegagalan-kegagalan itu terutama terjadi karena adanya pengingkaran atas kemanusiaan. Tatkala sebuah rezim komunis meniadakan hak individu maka sang manusia sesungguhnya bukan manusia lagi. Begitu pula manusia yang “diorientasikan untuk akhirat” sehingga hak duniawinya dibatasi dalam pemerintahan teokrasi yang menatasnamakan kedaulatan Tuhan.  

Padahal, manusia punya kebebasan dan yang satu ini adalah paling hakiki. Manusia boleh memilih mau jadi bodoh atau pintar; apakah mau masuk neraka atau surga; mau miskin atau kaya; dan lain sebaginya. Bahwa agak aneh ada orang yang mau jadi bodoh atau lebih suka masuk neraka dan lain sebagainya; itu adalah hak dari seorang manusia di muka bumi dan tak boleh diganggu gugat oleh siapapun.

Kelemahan rezim komunis terdahulu disebabkan keangkuhan bahwa mereka paling tahu keinginan manusia. Seolah-olah dengan mengenyahkan kaum kapitalis/borjuis atau orang-orang kaya, maka kebahagiaan didapat. Dan semua itu tolak ukurnya adalah uang dan materi—atau alat produksi. Dengan menghilangkan para penghisap seakan-akan telah sirnalah penindasan. Padahal bukan itu.

Bukan Materi

Saya teringat sebuah film berjudul “Enemy at the Gates” yang ditayangkanTrans TV beberapa minggu lalu. Film berlatar perang Sovyet-Jerman di Perang Dunia II itu mengisahkan pertemanan seorang perwira politik Tentara Merah—angkatan bersenjata Uni Sovyet—bernama Danilov dan seorang prajurit sniper bernama Vasely Zeitsev. Danilov ditugaskan oleh atasannya, Nikita Kurshchev (kelak jadi pemimpin Uni Sovyet yang bersahabat dengan Bung Karno), untuk membuat pamflet propaganda yang mengumbar kehebatan Zeitsev supaya membangkitan semangat pasukan lain menghadapi tentara Jerman.  

Dikisahkan keduanya mencintai perempuan yang sama. Namun sayang, dalam sebuah penyerbuan, Danilov mendapati gadis yang dicintainya tertembak dan menduga ia telah meninggal (walaupun kemudian diketahui selamat). Danilov lalu menemui Zeitsev yang sedang mengintai musuh, seorang sniper Jerman. Dalam keadaan putus asa, dia menyampaikan kata-kata yang menyentuh hati. Terjemaahan Bahasa Indonesianya kira-kira begini:
Kita (Uni Sovyet) mendamba menciptakan masyarakat yang setara supaya tidak ada lagi yang iri pada (kekayaan) tetangga. Padahal, itu tidak mungkin. Akan selalu ada yang kaya dan miskin. Kaya memberi, miskin menerima; kaya dalam cinta, miskin dalam cinta.

Saya tidak tahu apakah kata-kata itu rekaan dan dramatisasi dari sutradara Holywood; atau memang nyata pernah diucapkan. Yang pasti, setelah mengatakannya, Danilov menjadikan dirinya sebagai umpan musuh dan mati tertembak. Dia mati bukan demi komunisme melainkan mati karena tiadanya lagi harapan lantaran sang kekasih telah pergi. Dia mati untuk apa yang paling sederhana dalam hidup: cinta!

Kita tentu percaya bahwa cinta—pada apapun—adalah sesuatu yang bersifat sangat peribadi dan tidak bisa didefinisikan dan ditentukan orang lain.
Dengan kata lain cinta bersifat otonom. Filsuf Imannuel Kant menyebut bahwa moral bersifat otonom; tapi kita pernah mendengar “moral kata kiai”, “moral dibilang pendeta”, dan “moral menurut pemerintah”; sehingga tidak lagi otonom sifatnya. Tapi kita pasti percaya bahwa cinta itu mutlak berasal dari seorang individu. Karena cinta kita bisa melawan orang tua, mengkhianati negara, ataupun mengingkari agama.

Yang ingin saya katakan adalah sesuatu yang sifatnya paling azasi takkan pernah bisa ditentukan oleh pihak yang paling berkuasa sekalipun. Yang dibutuhkan manusia adalah kebebasan. Manusia tidak semata-mata butuh materi atau mendasari kecemburuannya hanya pada materi. Dengan terjaminnya kebebasan, manusia dapat memilih sendiri apa yang paling diinginkannya. Mengekang kebebasan akan menjerumuskan kekuasaan tiran pada kejatuhannya.

Karena itu, seandainya pun PKI berhasil berkuasa, akhirnya hnya akan mengikuti jejak partai komunis lain—jatuh atau paling tidak menjadi kapitalis. Tanpa perlu mengaitkan dengan kondisi sosio-religius masyarakat Indonesia, saya yakin dengan sendirinya PKI akan jatuh digantikan oleh pemerintahan yang menjamin kebebasan manusia.

Hal itu memang tidak pernah terjadi. Tapi toh sejarah berkata bahwa sesudah PKI dilarang, rezim Soehato mengalami apa yang mungkin bakal terjadi pada PKI seandainya berkuasa. Pemerintahan Orba, kemudian Aljazair, Mesir, Libya adalah serupa dengan kediktatoran model komunis. Semuanya runtuh!

Namun, di luar konteks politik, sesungguhnya kita akan terus menemukan manusia-manusia yang menginginkan keadilan dan persamaan dalam materi. Sebagaimana seorang Ibu Aminah dalam reportase Langkah Awal edisi sebelumnya yang cemburu pada banyaknya orang kaya sementara dia hidup dalam kemiskinan. Dia justru menghendaki agar sekiranya orang hidup melarat semua.

Seandainya Ibu Aminah tahu bahwa keinginannya juga salah satu impian dari komunisme, barangkali pandangannya pada partai itu akan berubah. Ini merupakan kecenderungan manusia-manusia Indonesia kini yang mudah iri melihat orang lain bergelimang harta sedangkan dirinya tidak.

Tapi dari Danilov kita mendapati bahwa seandainya pun tiada lagi miskin dan kaya, pada akhirnya materi bukanlah keinginan terdalam dari seorang manusia. Dan PKI tidak perlu sampai berkuasa supaya kita dapat menyadarinya!

*Samdysara Saragih-Teknik Fisika ITS 

Seandainya PKI Berhasil (1)


Rabu, 26 Oktober 2011 - Oleh: Bung Samdy*


Sudah 46 tahun berlalu, tapi peristiwa itu masih sulit dilupakan. Kita sebagai generasi muda pun pasti masih ingat masa-masa pemutaran filmPengkhianatan G30S/PKI yang menambah rasa benci pada Partai Komunis Indonesia.

Di sekolah dasar maupun menengah, buku sejarah menggambarkan sadis dan kejamnya PKI. Partai ini begitu buruk rupa karena tega membunuh enam jenderal dalam satu malam untuk merebut kekuasaan dan mendirikan negara komunis Indonesia. Seandainya terwujud, Indonesia tidak lagi ber-Tuhan. Kegagalan PKI membuktikan bahwa Tuhan masih mendengar doa orang Indonesia dan tentu saja: saktinya Pancasila.

Begitulah cerita-cerita Orba yang mencuci otak generasi muda. Setelah rezim tersebut runtuh, kita menemukan fakta ilmiah dari para ahli bahwa PKI bukan satu-satunya pihak yang “terindikasi” terlibat G30S tahun 1965.

Ada yang mengatakan murni konflik internal TNI-AD; keterlibatan CIA; permainan Soeharto; atau yang paling tak logis: keinginan Bung Karno sendiri. Saya tidak perlu menjelaskan satu-persatu fakta-fakta dari segala skenario tersebut. Namun yang pasti, kita melihat hingga kini, tidak ada satu anggota DPR yang berkartu anggota Partai Komunis; pun menteri dari partai yang sama. Partai ini, semua ormasnya, dan ideologi komunisme/Marxisme-Leninisme, dilarang di bumi Indonesia untuk selama-lamanya. 

Tapi, marilah kita berandai-andai, bagaimana jadinya jika G30S berhasil, dan PKI berkuasa. Benarkah Pancasila tidak ada lagi? Apakah Indonesia masih tetap “sambung-menyambung menjadi satu” dari Sabang hingga Merauke?

Pada tahun 1960, Partai Nasional Indonesia (PNI) menerbitkan sebuah analisa tentang partai-partai pesaingnya. Mengenai PKI, dokumen PNI menuliskan:

PKI merupakan bagian dari gerakan internasional dengan basis di luar Indonesia…Pada masa lalu PKI mengharamkan nasionalisme tetapi sekarang sangat aktif menggunakan lambang-lambang nasionalisme itu sendiri untuk memperoleh pengaruh…Jika PKI memperoleh kekuasaan, kelompok kanan [seperti Masyumi, NU, partai Protestan/Katolik, dan nasionalis] akan mengobarkan perang saudara dengan bantuan penuh blok Barat. Akibatnya negara kita akan terbagi seperti Vietnam atau Korea.

Begitulah bunyi dokumen yang dikeluarkan Departemen Penerangan dan Propaganda PNI yang dikutip Rocamora dalam bukunya, Nasionalisme Mencari Ideologi: Bangkit dan Runtuhnya PNI 1946-1965.

Katakanlah, apa yang menjadi kekhawatiran PNI tersebut benar adanya. Negara yang dibangun dengan darah dan air mata ini, terpecah gara-gara ideologi. Merujuk pada pemilu 1955, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat merupakan lumbung suara bagi PKI. Di luar Jawa, Masyumi berhasil “menghijaukan” Indonesia dengan menang di hampir semua provinsi. Sedangkan di provinsi yang mayoritas penduduknya Kristen, merupakan basis Parkindo dan Partai Katolik.

Dari komposisi seperti itu, kita bisa menduga, andaikata PKI merebut kekuasaan di Jakarta, maka daerah-daerah akan memilih memisahkan diri. PKI  tentu saja tidak tinggal diam melihat kondisi tersebut. Tentara—dengan asumsi bisa dikuasai—akan dikerahkan untuk menghentikan segala pemberontakan di daerah.

Tapi, merujuk perkiraan PNI, maka segera Amerika Serikat dan sekutunya membantu perjuangan daerah. Amerika bisa saja mengirim senjata M-16, tank, uang atau tentara seperti Rambo demi menghindari serangan pemerintah (PKI). Indonesia pun akan seperti Vietnam. Bahkan bisa lebih buruk karena tidak terpecah menjadi dua negara saja, melainkan banyak negara baru.

Saya tidak bisa bayangkan kalau hal yang seperti itu sampai terjadi. Namun bagaimana sekiranya dugaan PNI keliru, di mana PKI berhasil menciptakan negara komunis seperti halnya Uni Soviet, Cina, dan Kuba?

Negara Indonesia pun akan berganti nama menjadi Republik Sosialis Rakyat Indonesia atau Republik Demokratik Indonesia atau Republik Rakyat Indonesia. PKI akan memberangus partai-partai yang ada sehingga melahirkan sistem satu partai. Pemimpin tertinggi PKI akan otomatis menjadi pemimpin negara. Tentu saja, Undang-undang Dasar 1945 diganti dan asas negara sesuai ajaran Marxisme/Leninisme.

Dalam bidang ekonomi, negaralah yang berkuasa sepenuhnya. Semua perusahaan asing otomatis dinasionalisasi. Tentu tidak ada yang namanya kontrak karya yang merugikan bangsa Indonesia. Di negeri yang kaya raya ini semuanya dikelola negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyatnya. Di bidang sosial pun begitu. Semua sekolah dinegerikan, tidak ada—atau dibatasi—yang namanya sekolah swasta. Konsekuensinya, si miskin tidak perlu takut untuk melanjutkan sekolah atau kuliah di perguruan tinggi. Kenaikan biaya SPP pun tak mungkin karena ditanggung oleh negara.

Semua itu adalah konsekuensi logis dari pemerintahan “proletar” yang mengenyahkan si “kapitalis”. Pemerintahan itu betujuan membentuk masyarakat sosialis yang mana “tiap orang memberi berdasar kemampuan dan menerima berdasar pekerjaan”; untuk nantinya terciptalah masyarakat komunis yang “tiap orang memberi berdasar kemampuan dan menerima berdasarkan kebutuhan”. Kalau sudah sampai ke taraf ini, tidak perlu lagi namanya negara.

Siapapun yang merasa tertindas pasti merasa bak dihembuskan angin surga apabila mendengarnya. Itu pula yang barangkali dirasakan oleh manusia Indonesia yang hidup sepanjang tahun 1960-an. Kalau orang miskin di zaman ini saja masih berjibun jumlahnya, apalagi saat itu di mana Indonesia nyaris tidak memiliki apapun

*Samdysara Saragih- T Fisika ITS

Kesaksian Istri Penjagal (Orang) PKI


Rabu, 26 Oktober 2011
yasirmaster.blogspot.com

Lalu lalang kendaraan selalu menghiasi Jalan Arif Rahman Hakim, Keputih. Mobil, motor, sepeda, seolah saling berkejaran untuk sampai ke tujuan. Debu dan asap beterbangan ke sisi kiri-kanan tanpa pandang bulu siapa yang disasarnya. Dalam keadaan seperti inilah, seorang kakek, Kholid (bukan nama sebenarnya), menghabiskan hari-harinya. Ia duduk di dekat lapak dagangan yang berada persis di tepi jalan sehingga asap-debu juga menjadi santapannya, demi jaminan hidup di hari tua.  

Pandangan matanya seperti biasa tertuju pada jalan itu, termasuk pada Sabtu (1/10) lalu. Entah apa yang dipikirkan. Tapi pada tanggal 1 Oktober ini, mungkin ada sedikit terbersit dalam memorinya peristiwa yang persis terjadi 46 tahun lalu.

Sebuah malapetaka yang begitu berpengaruh pada nasib bangsa ini. Di Jakarta, dini hari 1 Oktober 1965, enam jenderal diculik oleh kelompok Gerakan 30 September (G30S). Sejak saat itu dan beberapa tahun sesudahnya, Indonesia tiada henti dirundung duka. Daerah-daerah pun ikut terseret pusaran politik yang terjadi di Jakarta. Dan semua orang tua masa kini, tak bisa tidak, pasti punya ceritanya sendiri.
Tapi dari mulut Kholid hanya keluar jawaban, “Tak tahu!”.
Pria kelahiran 1933 ini memalingkan wajah seakan menghindar dari apa yang diketahuinya sepanjang tahun 1965-1966 tersebut. Namun gerak-gerik tubuh dan raut wajahnya memberi pesan ada yang disembunyikan. 
 “Tanya sama Ibu aja!”
Kholid yang tua renta itu tidak berkerja sendiri. Si ibu yang dimaksud tak lain istrinya, sebutlah Aminah  namanya. Saban hari mereka bergiliran menjaga tempat menggantung hidup itu. Untungnya, tak berapa lama, sang istri datang karena sudah gilirannya berjualan. Kholid pun bergegas kembali ke rumah yang tak seberapa jauh dari situ. Berbeda dengan sang suami, nenek satu ini dengan senang hati menjawab semua pertanyaan. Nyaris tanpa beban, ia seperti wanita kebanyakan, yang mau mencurahkan semua yang ada di pikirannya.

Pembunuhan Massal

Tahun 1965 Aminah masih berumur 20 tahun. Namun, ia sudah tahu masalah politik yang jadi “makanan” penduduk di zaman Orde Lama. Bahkan di Jember, tempat ia tinggal, yang jauh dari Surabaya, apalagi Jakarta. Di daerah ini, partai-partai besar yang ada saat itu juga hadir. Termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI).
 “Tapi mereka (anggota PKI, Red) bukan orang asli Jember. Mereka pendatang dari daerah luar seperti Madiun.”
Memorinya masih cukup kuat untuk mengingat kegiatan orang-orang PKI yang hidup tak jauh dari rumahnya.
 “Di dekat rumah ada tempat penggilingan padi yang kosong. Di situlah orang-orang PKI tinggal,” ungkapnya.
 Apa yang dilakukan orang-orang PKI itu pun tidak diketahuinya dengan jelas. Ia tak punya hubungan dengan orang PKI dan tidak mengenal mereka.

Tapi Aminah tak mungkin tidak tahu pembunuhan massal yang terjadi pada orang-orang PKI. Dengan semangat tinggi, diceritakannya pembantaian terhadap orang PKI.

Menurut wanita berkaca mata ini, saat itu penduduk datang dari segenap penjuru mengumpulkan orang PKI. Mereka yang dicurigai PKI ditangkap. Para pelaku umumnya pemuda yang tergabung dalam GP Ansor (salah satu badan otonom Nahdlatul Ulama, Red).

Jember saat itu merupakan basis Partai NU. Aminah terang-terangan mengakui kefanatikannya pada organisasi yang didirikan Hasyim Asy’ari itu.   
“Semua keluarga NU, dari lahir ya otomatis jadi NU. Dari dulu sampai sekarang,” katanya.
 Dengan bangga ia katakan bahwa tidak ada sama sekali anggota keluarga dan tetangganya yang memilih partai lain.
 “PDI (maksudnya Partai Nasional Indonesia—PNI, Red) paling cuma satu-dua orang saja.”
Keadaan sosial seperti itu, ditambah kader PKI yang bukan penduduk asli, membuat massa begitu beringas. Masih diingatnya para pemuda mengumpulkan orang-orang PKI dengan asal-asalan. Para korban yang mati lalu dikuburkan dalam kuburan massal berkapasitas 300-500 orang, atau dibuang ke sungai.

Saat itu hanya ABRI yang bisa mengidentifikasi mana PKI mana yang bukan. Sesudah tentara datang, baru penangkapan bisa lebih lebih teratur.
 “Bapak (Kholid, suami, Red) waktu itu tentara!”
Aminah kemudian menuturkan apa yang dilakukan suaminya kala itu. Sebagai anggota ABRI, perintah atasan tidak bisa dielak. Suaminya pun tidak dapat menghindar dari tugas untuk membunuh orang-orang PKI.
 “Kan takut, diancam sama atasan,” katanya.
Ia dapat cerita dari suaminya kala menangani seorang anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia—organisasi perempuan yang berafiliasi dengan PKI, Red).
 “Waktu itu seorang anggota Gerwani membujuk Bapak agar jangan dibunuh. Bapak dirayu tapi tidak berhasil. Lalu wanita itu disuruh mengucapkan syahadat tiga kali sebelum ditembak,” tutur Aminah sambil mengarahkan telunjuknya ke mulut yang memperagakan orang menembak.
 “Gerwani itu lalu jatuh!”
Ketika ditanya mengapa Kholid tidak mau bercerita pada Langkah Awal, Aminah membela pria yang lebih tua 12 tahun itu. “Mungkin dia lupa,” katanya. Pada 1980, pasangan suami-istri ini pindah ke Surabaya setelah suaminya pensiun.  Hingga usia rentanya ini, sudah dirasakan hidup di tiga rezim yang berbeda. “Zaman Pak Harto lebih baik. Kalau dulu, pencuri langsung ditembak. Tapi coba lihat sekarang ini?” tanyanya dengan nada kesal.

Walau begitu, ia masih lebih cinta pada  Presiden Sukarno. 
 “Zaman Pak Karno orang melarat semua, zaman Pak Harto orang kaya semua,” keluhnya. 
Bahkan Aminah menuduh Soeharto-lah yang sebetulnya orang PKI. 
 “Yang menyuruh Aidit (Dipa Nusantara Aidit—ketua PKI saat itu, Red) untuk melarikan diri (ke Yogyakarta, Red) ya Pak Harto. Habis itu Aidit dibunuh dalam lemari,” katanya. Ia sedih karena sesudah peristiwa G30S, Bung Karno dituduh sebagai anggota PKI hingga akhirnya dilengserkan.
 “Pak Karno ya orang PDI (maksudnya PNI), bukan PKI. Soeharto sengaja menghabisi PKI biar dia selamat.”
Pernyataan Aminah secara ilmiah belum terbukti kebenarannya. Hingga kini dalang sesungguhnya dari G30S pun masih berselimutkan misteri. Tapi sejarah berkata bahwa PKI kemudian dibubarkan—dengan bantuan demonstrasi mahasiswa—dan sesudah itu Soeharto menjadi presiden. Seandainya PKI hidup lagi pun, wanita ini tak ambil pusing,
 “Itu terserah DPR, bukan saya,” ujarnya.
Yang dia takuti kalau PKI hidup, maka anak PKI akan balas dendam. (Hal ini tampak ketika dengan nada curiga saya ditanyai:
 “Sampeyan anak PKI?”
 Saya menjawab: “Bukan. Saya orang Sumatra yang waktu itu basis PNI dan Masyumi.”)
Tuduhan bahwa semua orang PKI atheis tidak disetujui oleh wanita ini. Menurutnya, hal itu tergantung pada masing-masing individu. Sebagaimana seorang beragama, ada yang shalat ada yang tidak, begitu juga orang PKI.

Tatkala ditanya setuju-tidaknya tentang pembunuhan massal, barulah dikemukakan pandangannya terhadap orang PKI.
 “Begini Mas, bagi orang PKI itu, istri sampeyan ya istri saya; suami sampeyan suami saya,” ujarnya dengan penuh keyakinan. Ketika ditanya adakah kenyataan seperti itu terjadi pada masanya, wanita berjilbab ini tidak tahu menahu.
Mungkin inilah stigma yang melekat pada orang PKI, saat itu bahkan hingga kini. Dan akibatnya, membunuh kader PKI pun sah-sah saja. Seperti kata Aminah, membunuh orang PKI bisa dibenarkan karena mereka salah. Dari pandangan seperti ini, satu juta orang yang bersangkut-paut dengan PKI dibunuh di seantero negeri pada masa 1965-1966 dan jutaan lainnya ditahan. Keturunan PKI juga mengalami diskriminasi dalam hidup sehari-hari.

Entah apa yang dipikirkan Kholid malam itu. Barangkali ia tidak bisa tidur nyenyak karena teringat wajah memohon iba seorang wanita Gerwani yang ia antarkan ke Malaikat Maut, lebih empat puluh tahun lalu. Sebagai seorang tentara, ia berhak menjaga rahasia dan menutup rapat perbuatannya.

Sedang generasi muda, akan terus dihantui tanda tanya yang tak pernah beroleh jawaban pasti. Sejarah pun akan dibawa ke kubur bersama para pelakunya. (Samdy)

Kesaksian Istri Penjagal (Orang) PKI

Rabu, 26 Oktober 2011 | 19:11


yasirmaster.blogspot.com
Lalu lalang kendaraan selalu menghiasi Jalan Arif Rahman Hakim, Keputih. Mobil, motor, sepeda, seolah saling berkejaran untuk sampai ke tujuan. Debu dan asap beterbangan ke sisi kiri-kanan tanpa pandang bulu siapa yang disasarnya. Dalam keadaan seperti inilah, seorang kakek, Kholid (bukan nama sebenarnya), menghabiskan hari-harinya. Ia duduk di dekat lapak dagangan yang berada persis di tepi jalan sehingga asap-debu juga menjadi santapannya, demi jaminan hidup di hari tua.  
Pandangan matanya seperti biasa tertuju pada jalan itu, termasuk pada Sabtu (1/10) lalu. Entah apa yang dipikirkan. Tapi pada tanggal 1 Oktober ini, mungkin ada sedikit terbersit dalam memorinya peristiwa yang persis terjadi 46 tahun lalu. Sebuah malapetaka yang begitu berpengaruh pada nasib bangsa ini. Di Jakarta, dini hari 1 Oktober 1965, enam jenderal diculik oleh kelompok Gerakan 30 September (G30S). Sejak saat itu dan beberapa tahun sesudahnya, Indonesia tiada henti dirundung duka. Daerah-daerah pun ikut terseret pusaran politik yang terjadi di Jakarta. Dan semua orang tua masa kini, tak bisa tidak, pasti punya ceritanya sendiri.
Tapi dari mulut Kholid hanya keluar jawaban, “Tak tahu!”
Pria kelahiran 1933 ini memalingkan wajah seakan menghindar dari apa yang diketahuinya sepanjang tahun 1965-1966 tersebut. Namun gerak-gerik tubuh dan raut wajahnya memberi pesan ada yang disembunyikan. 
“Tanya sama Ibu aja!”
Kholid yang tua renta itu tidak berkerja sendiri. Si ibu yang dimaksud tak lain istrinya, sebutlah Aminah  namanya. Saban hari mereka bergiliran menjaga tempat menggantung hidup itu. Untungnya, tak berapa lama, sang istri datang karena sudah gilirannya berjualan. Kholid pun bergegas kembali ke rumah yang tak seberapa jauh dari situ. Berbeda dengan sang suami, nenek satu ini dengan senang hati menjawab semua pertanyaan. Nyaris tanpa beban, ia seperti wanita kebanyakan, yang mau mencurahkan semua yang ada di pikirannya.
Pembunuhan Massal
Tahun 1965 Aminah masih berumur 20 tahun. Namun, ia sudah tahu masalah politik yang jadi “makanan” penduduk di zaman Orde Lama. Bahkan di Jember, tempat ia tinggal, yang jauh dari Surabaya, apalagi Jakarta. Di daerah ini, partai-partai besar yang ada saat itu juga hadir. Termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI). 
“Tapi mereka (anggota PKI, Red) bukan orang asli Jember. Mereka pendatang dari daerah luar seperti Madiun.”
Memorinya masih cukup kuat untuk mengingat kegiatan orang-orang PKI yang hidup tak jauh dari rumahnya. 
“Di dekat rumah ada tempat penggilingan padi yang kosong. Di situlah orang-orang PKI tinggal,” ungkapnya. 
Apa yang dilakukan orang-orang PKI itu pun tidak diketahuinya dengan jelas. Ia tak punya hubungan dengan orang PKI dan tidak mengenal mereka.
Tapi Aminah tak mungkin tidak tahu pembunuhan massal yang terjadi pada orang-orang PKI. Dengan semangat tinggi, diceritakannya pembantaian terhadap orang PKI. Menurut wanita berkaca mata ini, saat itu penduduk datang dari segenap penjuru mengumpulkan orang PKI. Mereka yang dicurigai PKI ditangkap. Para pelaku umumnya pemuda yang tergabung dalam GP Ansor (salah satu badan otonom Nahdlatul Ulama, Red).
Jember saat itu merupakan basis Partai NU. Aminah terang-terangan mengakui kefanatikannya pada organisasi yang didirikan Hasyim Asy’ari itu. 
“Semua keluarga NU, dari lahir ya otomatis jadi NU. Dari dulu sampai sekarang,” katanya. 
Dengan bangga ia katakan bahwa tidak ada sama sekali anggota keluarga dan tetangganya yang memilih partai lain. 
“PDI (maksudnya Partai Nasional Indonesia—PNI, Red) paling cuma satu-dua orang saja.”
Keadaan sosial seperti itu, ditambah kader PKI yang bukan penduduk asli, membuat massa begitu beringas. Masih diingatnya para pemuda mengumpulkan orang-orang PKI dengan asal-asalan. Para korban yang mati lalu dikuburkan dalam kuburan massal berkapasitas 300-500 orang, atau dibuang ke sungai. Saat itu hanya ABRI yang bisa mengidentifikasi mana PKI mana yang bukan. Sesudah tentara datang, baru penangkapan bisa lebih lebih teratur. 
“Bapak (Kholid, suami, Red) waktu itu tentara!”
Aminah kemudian menuturkan apa yang dilakukan suaminya kala itu. Sebagai anggota ABRI, perintah atasan tidak bisa dielak. Suaminya pun tidak dapat menghindar dari tugas untuk membunuh orang-orang PKI. 
“Kan takut, diancam sama atasan,” katanya. 
Ia dapat cerita dari suaminya kala menangani seorang anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia—organisasi perempuan yang berafiliasi dengan PKI, Red). 
“Waktu itu seorang anggota Gerwani membujuk Bapak agar jangan dibunuh. Bapak dirayu tapi tidak berhasil. Lalu wanita itu disuruh mengucapkan syahadat tiga kali sebelum ditembak,” tutur Aminah sambil mengarahkan telunjuknya ke mulut yang memperagakan orang menembak. “Gerwani itu lalu jatuh!”
Ketika ditanya mengapa Kholid tidak mau bercerita pada Langkah Awal, Aminah membela pria yang lebih tua 12 tahun itu. 
“Mungkin dia lupa,” katanya. 
Pada 1980, pasangan suami-istri ini pindah ke Surabaya setelah suaminya pensiun.  Hingga usia rentanya ini, sudah dirasakan hidup di tiga rezim yang berbeda. 
“Zaman Pak Harto lebih baik. Kalau dulu, pencuri langsung ditembak. Tapi coba lihat sekarang ini?” tanyanya dengan nada kesal.
Walau begitu, ia masih lebih cinta pada  Presiden Sukarno. 
“Zaman Pak Karno orang melarat semua, zaman Pak Harto orang kaya semua,” keluhnya. 
Bahkan Aminah menuduh Soeharto-lah yang sebetulnya orang PKI. 
“Yang menyuruh Aidit (Dipa Nusantara Aidit—ketua PKI saat itu, Red) untuk melarikan diri (ke Yogyakarta, Red) ya Pak Harto. Habis itu Aidit dibunuh dalam lemari,” katanya. 
Ia sedih karena sesudah peristiwa G30S, Bung Karno dituduh sebagai anggota PKI hingga akhirnya dilengserkan. 
“Pak Karno ya orang PDI (maksudnya PNI), bukan PKI. Soeharto sengaja menghabisi PKI biar dia selamat.”
Pernyataan Aminah secara ilmiah belum terbukti kebenarannya. Hingga kini dalang sesungguhnya dari G30S pun masih berselimutkan misteri. Tapi sejarah berkata bahwa PKI kemudian dibubarkan—dengan bantuan demonstrasi mahasiswa—dan sesudah itu Soeharto menjadi presiden. Seandainya PKI hidup lagi pun, wanita ini tak ambil pusing, 
“Itu terserah DPR, bukan saya,” ujarnya.
 Yang dia takuti kalau PKI hidup, maka anak PKI akan balas dendam. (Hal ini tampak ketika dengan nada curiga saya ditanyai: 
“Sampeyan anak PKI?” 
Saya menjawab: “Bukan. Saya orang Sumatra yang waktu itu basis PNI dan Masyumi.”)
Tuduhan bahwa semua orang PKI atheis tidak disetujui oleh wanita ini. Menurutnya, hal itu tergantung pada masing-masing individu. Sebagaimana seorang beragama, ada yang shalat ada yang tidak, begitu juga orang PKI. Tatkala ditanya setuju-tidaknya tentang pembunuhan massal, barulah dikemukakan pandangannya terhadap orang PKI. 
“Begini Mas, bagi orang PKI itu, istri sampeyan ya istri saya; suami sampeyan suami saya,” ujarnya dengan penuh keyakinan. Ketika ditanya adakah kenyataan seperti itu terjadi pada masanya, wanita berjilbab ini tidak tahu menahu.
Mungkin inilah stigma yang melekat pada orang PKI, saat itu bahkan hingga kini. Dan akibatnya, membunuh kader PKI pun sah-sah saja. Seperti kata Aminah, membunuh orang PKI bisa dibenarkan karena mereka salah. Dari pandangan seperti ini, satu juta orang yang bersangkut-paut dengan PKI dibunuh di seantero negeri pada masa 1965-1966 dan jutaan lainnya ditahan. Keturunan PKI juga mengalami diskriminasi dalam hidup sehari-hari.
Entah apa yang dipikirkan Kholid malam itu. Barangkali ia tidak bisa tidur nyenyak karena teringat wajah memohon iba seorang wanita Gerwani yang ia antarkan ke Malaikat Maut, lebih empat puluh tahun lalu. Sebagai seorang tentara, ia berhak menjaga rahasia dan menutup rapat perbuatannya. Sedang generasi muda, akan terus dihantui tanda tanya yang tak pernah beroleh jawaban pasti. Sejarah pun akan dibawa ke kubur bersama para pelakunya. (Samdy)
Sumber: LangkahAwal 

Selasa, 11 Oktober 2011

“Soeharto dan diktator2 Nusantara lain"*

oleh: Joss Wibisono* | 11 Oktober 2011



Catatan pengantar: Mohon maaf, kalau ada yang kesulitan, yang tidak bisa, yang merasa tersiksa, yang tidak betah atau yang tidak sudi membaca sebuah tulisan dalam ejaan Suwandi (berlaku dari 1952 sampai 1972), maka dipersilahkan membaca versi EYD tulisan ini yang diumumkan oleh Jurnal Renai, Kajian Politik Lokal dan Sosial-Humaniora, terbitan Yayasan Percik di Salatiga, Tahun VIII No. 2. 2008 – IX No. 1 2009 ISSN 1411-7924. Tulisan ini dicetak pada halaman-halaman 283-315. Terima kasih.
SEMUA bentuk pelanggaran hak2 asasi manusia kedji ulah orde baunja harto bisa sadja tidak memiliki preseden dalam sedjarah Indonesia. Mungkin pula di bumi Nusantara pra Indonesia, pembunuhan sekedjam peristiwa 65 atau langkah mentjaplok sebuah wilajah untuk kemudian menjulapnja mendjadi sebuah rumah djagal, seperti jang dilakukan harto di Timor Portugis (pada awalnja dengan restu Amerika), djuga tidak pernah terdjadi sebelumnja. Tetapi itu sama sekali tidak berarti bahwa di bumi Nusantara tidak pernah tersebar bibit2 otoriterisme jang kemudian tumbuh berkembang mendjadi praktek2 kedji tadi. Bibit2 matjam apa itu dan bagaimana pula bibit2 itu bisa tersemaikan untuk kemudian mekar berkembang sampai begitu ber-darah2 di bumi Nusantara?
Pada abad silam, otoriterisme jang berbuntut tindakan paling kedji tidak lain adalah fasisme di Djerman. Betapa tidak, dengan korban sampai enam djuta orang, Nazi di Djerman bisa digolongkan rezim paling otoriter pada abad XX. Karena itu pertanjaan jang paling menarik adalah, adakah orde bau tjuma bisa me-niru2 atau persisnja terpengaruh oleh fasisme Djerman?
Di atas kertas sadja sudah tampak beberapa kemiripan antara orde baunja harto dengan dritte Reichnja Hitler. Dengan menganut teori ras dan meng-agung2kan ras Arja, Hitler mewadjibkan semua orang jang ada di Djerman dan negara lain jang diduduki Djerman untuk mengisi formulir A dan formulir B. Formulir A harus diisi oleh para keturunan Arja murni, sedangkan Formulir B oleh keturunan Jahudi dan mereka jang rada berbau Jahudi, misalnja orang Arja tapi kawin dengan Jahudi [Micheels, 1993: 169]. Ketika tampil berkuasa, selain membunuhi kaum komunis dan simpatisan kiri lain, harto dan orde baunja djuga masih meng-golong2kan orang komunis itu dalam kategori A, B dan C. Ini djelas ada mirip2nja dengan tjara Hitler tadi, walau pun itu digunakan harto terhadap korbannja, jaitu kalangan komunis dan kaum kiri lain.
Pada zaman harto djuga ada istilah bersih lingkungan, jang hanja boleh dipakai oleh mereka jang tidak punja kerabat komunis. Istilah ini djelas mirip formulir B jang harus diisi oleh mereka jang tidak sepenuhnja Arja, karena walau pun keturunan Arja tetapi menikah dengan kalangan non Arja.
Hitler membuka pelbagai kamp konsentrasi, sementara harto membuka pendjara pengasingan di Pulau Buru. Djangankan diadili, semua jang dikirim ke Buru djuga tidak pernah didakwa. Harto mentjaplok Timor Portugis dan Hitler jang butuh Lebensraummenduduki Austria, Sudeten, Polandia, Norwegia, Denmark, Negeri Belanda, Belgia, Luxemburg dan (sebagian) Prantjis.
Maka djelaslah, di permukaan sadja orang sudah bisa ber-tanja2, benarkah harto terilhami Hitler dalam melantjarkan pelbagai pelanggaran hak2 asasi manusia jang begitu kedji itu?
Per-tama2, upaja menelusur salah satu asal usul orde bau ini akan diawali dengan tindjauan terhadap beberapa tulisan atau buku jang selama ini sudah membahas keterkaitan orde bau dengan dritte Reichnja Hitler. Akan dilihat sampai sedjauh mana keterkaitan orde bau dengan Nazisme sudah dibahas oleh pelbagai penulis jang menekuni Indonesia. Sesudah itu diupajakan untuk membahas seberapa djauh fasisme jang berkembang di Djerman bisa dilatjak pula dalam sedjarah Indonesia. Untuk itu ditindjau Hindia Belanda pada tahun 1930an, ketika fasisme jang mekar di Djerman itu ternjata mendjalar djuga di sana. Dari sini kemudian ditelusur unsur2fasis pada tjorak kekuasaan Soekarno maupun harto.
I. Menjangkal dan Membenarkan
Patut ditegaskan bahwa menelusur dritte Reichnja Hitler sebagai kemungkinan asal usul orde bau bukanlah upaja baru dalam kadjian sedjarah politik Indonesia. Sudah terbit banjak artikel, esei serius bahkan buku mengenai topik ini. Setjara singkat terbitan2 itu bisa dibagi mendjadi dua. 1. Tulisan jang sama sekali menjangkal adanja keterkaitan atau kemiripan orde bau dengan dritte Reichnja Hitler walaupun biasanja tidak dengan alasan jang djelas apalagi masuk akal. 2. Tulisan jang membenarkan bahwa keterkaitan itu ada, tetapi biasanja tidak (bisa) mengetengahkan bukti jang mejakinkan.
Menjangkal
Pendapat jang djelas2 menjangkal kemiripan, persamaan dan keterkaitan orde bau dengan Nazi dikemukakan oleh Ruth McVey melalui karangannja jang berdjudul “The Beamtenstaat in Indonesia” (1977). Dalam esei jang baru diterbitkan pada tahun 1982 itu McVey [1982: 86-87] antara lain menulis,[2]
Ruth McVey
It is this firm rejection of any mass mobilizational politics, which, to my mind, makes the label “fascist” misleading for the New Order and similar regimes. If one is going to mean by fascism anything other than a generalized rightist authoritarianism, one must take into account the populist appeal and mass organizational emphasis so vital to the character of the classical European movements. Suharto’s New Order has also differed from fascism proper in its emphasis on rules. Elections may be rigged, parties hamstrung, and parliament both helpless and stacked; but there are elections, parties, and parliament, and these forms, rather than the plebiscites, rallies, mass movement, and charismatic leader of fascism, are central legitimating elements for the regime.
(Kira2 berarti: Adalah penolakan mati2an terhadap politik mobilisasi massa jang menurut saja membuat sebutan “fasis” menjesatkan untuk diterapkan pada Orde Baru atau rezim2 serupa. Kalau fasisme diartikan tidak lebih dari otoriterisme kanan jang umum, maka seseorang djuga harus memperhitungkan daja tarik populis dan penekanan organisasi massa jang begitu penting bagi gerakan klasik Eropa ini. Orde Baru Soeharto djuga berbeda dengan fasisme standar karena lebih menekankan pemerintahan. Pemilu bisa sadja ditjurangi, partai2politik dihambat dan parlemen melas serta matjet; tetapi tetap ada pemilu, tetap ada partai politik dan djuga tetap ada parlemen, dan semua inilah, djadi bukan plebisit, gerakan massa dan pemimpin karismatik fasis jang merupakan unsur2 penting jang melegitimasikan rezim ini).
Dari kutipan di atas terlibat betapa McVey sangat mementingkan tjara2kalangan fasis menjelenggarakan politik (lihat istilah populist appeal atau daja tarik populis dan mass organizational atau organisasi massanja) dan bukannja ulah atau hasil politik kalangan fasis jaitu korban djiwa jang begitu banjak. Sebuah model politik baru lajak disebut fasis, demikian menurut Ruth McVey, kalau sistem politik itu berdasarkan pada daja tarik populis besar dengan organisasi massal jang besar pula. Orde bau tidak bisa digolongkan sebagai rezim fasis karena, demikian bisa disimpulkan dari alur pikiran McVey, orde bau menerapkan politik massa mengambang jang djustru meniadakan daja tarik dan dukungan massal, dua sjarat jang baginja benar2 mutlak dalam fasisme.
Dengan tjara berpikir seperti ini McVey djelas mengabaikan sadja kenjataan bahwa sedikit berbeda dari Nazi, sudah pada awal kekuasaan harto, orde bau djuga membunuhi banjak orang, terutama kalangan kiri. Tjara berpikir begini djelas sangat bengis bagi para korban orde bau, untuk tidak mengatakan bahwa dengan begitu McVey me-nutup2i kedjahatan orde bau. Mengapa seseorang harus menjibukkan diri dengan analisa sistem politik, dengan tjara2 Nazi mendjalankan sistemnja di Djerman, kalau orang jang sama itu sudah benar2 tahu bahwa korban orde bau sudah masuk pada taraf Nazi? Tjara berpikir seperti ini, paling sedikit bagiku, sulit dipahami kalau merupakan buah pikiran salah seorang penulis Cornell Paper, analisa kritis pertama jang setjara serius mempertanjakan versi orde bau terhadap peristiwa 30 September 1965.
Selain itu dari kutipan di atas djuga djelas terlihat bagaimana Ruth McVey sangat membakukan fasismenja Hitler, jang disebutnja fascism proper. Dengan djalur berpikir seperti ini maka McVey sama sekali tidak memberi peluang adanja variasi lokal bagi fasisme djika tjorak politik ini diterapkan di luar Eropa, dalam hal ini tentunja di Indonesia. Begitu fasisme ditjabut dari Djerman, demikian alur pikiran McVey, maka itu sudah bukan fasisme lagi. Tentu sadja tjara berpikir seperti ini sangat patut dipertanjakan, bahkan diragukan sama sekali. Kalau alur berpikir seperti ini diteruskan maka tidak akan ada satu negara pun jang demokratis karena negara itu bukan Junani purba, tempat demokrasi pada mulanja dikembangkan. Fasisme djelas sederadjat dengan demokrasi, dalam arti bahwa kedua sistem jang bertolak belakang itu tetap terbuka bagi pelbagai variasinja sendiri2 djika diterapkan di luar tempat asal usulnja.
Di atas semuanja dalam artikel tentang tjorak politik orde bau itu, Ruth McVey ternjata tidak setjara chusus membahas korban2 orde bau. Paling banter korban itu hanja sepintas disinggungnja. Besarnja korban 1965 hanja membuat McVey ter-heran2, kenapa orde bau bersembojanrechtsstaat atau negara hukum, bukan negara kekuasaan? Sembojan matjam begini membuat orang penasaran, demikian McVey [1982: 87], mengingat pemimpin orde bau itu kan mensponsori pembunuhan besar2an dan mungkin memiliki tahanan politik terbanjak di dunia. Masalah Timor Timur hanja digambarkannja sebagai kegagalan tentara untuk bertindak profesional [McVey, 1982: 90], tanpa melihat korban invasi tentara Indonesia di Timor Timur.
Bagaimana mungkin Ruth McVey bisa membahas tjorak kekuasaan orde bau tanpa membitjarakan korban2 rezim teror ini? Ini sangat aneh. Ketika menulis eseinja pada tahun 1977, sudah banjak berdjatuhan korban orde bau. Bukan sadja PKI dan kalangan kiri lain. Malari terdjadi pada tahun 1974, Timor Portugis diserbu (atas restu Amerika) pada achir tahun 1975. Dengan demikian pada tahun 1977 ketika artikel tadi ditulis, para korban di Timor Timur sudah diketahui umum. Harus diakui bahwa pada bagian achir tulisannja McVey djuga sudah sedikit menjinggung soal Malari dan protes mahasiswa Bandung tahun 1973. Tetapi lagi2 dia tidak bitjara tentang korban2nja. Ia djustru pesimis terhadap protes massa. Selama tentara tetap bersatu dan bisa menindaknja maka protes itu tidak akan mendjadi massal dan efektif, begitu tulisnja [McVey, 1982: 90]. Dari sini makin djelas sadja bahwa dalam menjangkal bahwa orde bau mirip fasis, McVey hanja bitjara tentang bagaimana orde bau mengorganisir dan menjelenggarakan kekuasaannja. Ia sekali lagi tidak bitjara tentang para korban. Bagaimana seseorang bisa menjangkal bahwa orde bau mirip fasisme, kalau dia sama sekali tidak bitjara soal korban orde bau jang djelas sudah banjak pada achir tahun 1970an itu? Itulah pertanjaan besar jang lajak diadjukan kepada Ruth McVey jang begitu keberatan untuk menjebut Harto dan orde baunja sebagai rezim fasis.
David Bourchier [1997] datang dengan argumen jang djuga tidak terlalu mejakinkan untuk menjangkal bahwa salah satu akar orde bau adalah fasismenja Hitler. Bourchier memusatkan analisanja pada Soepomo (1903-1958) jang dalam sidang BPOPK (Badan Penjelidik Oesaha2Persiapan Kemerdekaan), pada pidatonja tanggal 31 Mei 1945, datang dengan gagasan negara integralistik, setelah menampik teori individualis dan teori kelas. Tentang gagasan negara integralistik itu Soepomo [Yamin, 1959: 112] berudjar sebagai berikut,
Supomo
Lain negara, ialah negara Djerman nasional sosialis sebelumnja menjerah dalam peperangan sekarang. Negara ini berdasar atas aliran pikiran negara totaliter, “das Ganze der politische Einheit des Volkes (integrate theory).” Prinsip Pimpinan (Führung) sebagai Kernbegriff (ein totaler Führerstaat) dan sebagai Prinsip jang dipakainja djuga ialah persamaan darah dan persamaan daerah (Blut und Boden Theorie) antara pimpinan dan rakjat.
Tuan-tuan jang terhormat, dari aliran pikiran nasionalis sosialis, ialah prinsippersatuan antara pimpinan dan rakjat dan prinsip persatuan dalam negara seluruhnjatjotjok dengan aliran pikiran ketimuran.
Kita sekarang menindjau negara Asia, ialah dasar negara Dai Nippon. Negara Dai Nippon berdasar atas persatuan lahir dan batin jang kekal antara Jang Maha Mulia Tennoo Heika, negara dan rakjat Nippon seluruhnja. Tennoo adalah pusat rochani dari seluruh rakjat. Negara bersandar atas kekeluargaan. Keluarga Tennoo jang dinamakan “Kyoshitsu” ialah keluarga jang terutama.
Dasar persatuan dan kekeluargaan ini sangat sesuai pula dengan tjorak masjarakat Indonesia (tjetak miring sesuai asli).
David Bourchier bisa mengerti kalau Soepomo harus omong begitu, terutama bagian achir kutipan di atas, karena Djepang waktu itu memang masih berkuasa, dan BPOPK sendiri memang didirikan berdasarkan kemauan Djepang. Tapi bukan itu sadja, seperti bisa dibatja pada kutiban berikut [Bourchier, 1997: 161-162]
But Supomo went much further in his defence of these totalitarian concepts than the other members of the committee, arguing that they were very much in accord(sangat sesuai) with Indonesia’s traditional political and cultural order and therefore helped illustrate the kind of philosophical basis on which he maintained the future Indonesian state should be built. This is not to say, however, that Supomo was a fascist or that he dreamt of replicating the militaristic Japanese regime or the Third Reich in Indonesia. His vision was of a state which mirrored the institutions and ethos of a (highly idealized) traditional village community in which there was no sense of separation between rulers and ruled. Supomo stressed the centrality of the notion, beloved in Javanese mythology, that the people and their lord (kawulo dan gusti) were as inseparable as the body and the spirit: even today in villages, not only in Java but also in Sumatra and in the other Indonesian islands, state officials remain spiritually united with their people and are committed to forever preserving unity and balance within their communities.
(Kira2 berarti: Tetapi Soepomo lebih djauh lagi dalam membela konsep2 totaliter ini dibandingkan anggota BPOPK lainnja. Ia berpendapat konsep2 itu sangat sesuai dengan budaja politik tradisional dan karena itu djuga merupakan falsafah jang harus mendjadi dasar negara Indonesia merdeka. Walau begitu tidaklah berarti bahwa Soepomo seorang fasis atau ia memimpikan tiruan rezim militeristik Djepang atau dritte Reich di Indonesia. Visinja adalah negara jang mentjerminkan lembaga2 dan etos desa tradisional jang sangat diidealkan, yang tidak memisahkan jang memerintah dan jang diperintah. Soepomo menekankan sentralnja pengertian jang sangat disukai dalam mitologi Djawa bahwa di pedesaan rakjat dan pemimpinnja (kawulo dan gusti) tidak terpisahkan seperti badan dan roh, bukan hanja di Djawa tetapi djuga di Sumatra dan pulau2 Indonesia lainnja. Para pedjabat negara selalu terikat setjara spiritual dengan rakjat dan selalu bertekad melestarikan persatuan dan keseimbangan di dalam masjarakatnja).
Inilah argumen David Bourchier jang tidak terlalu mejakinkan itu. Per-tama2 Bourchier tidak terlebih dahulu bertanja kenapa Soepomo mesti djuga me-mudji2 Djerman, bukankah me-mudji2 Djepang sadja sudah tjukup? Apa pula perlunja me-mudji2 Nazi Djerman jang tiga minggu sebelumnja, tepatnja tanggal 7 Mei 1945, sudah bertekuk lutut, mengaku kalah Perang Dunia Kedua. Karena pertanjaan seperti ini tidak diadjukan, maka sulit djuga untuk bisa memahami kesimpulan Bourchier bahwa Soepomo bukanlah seorang fasis jang memimpikan tiruan rezim militeristik Djepang atau dritte Reich di Indonesia. Bagaimana Bourchier bisa berkata begitu, bukankah Soepomo tanpa alasan djelas terus memudja Nazi, bahkan ketika rezim fasis ini sudah kalah bertekuk lutut tiga minggu sebelumnja?
Selain itu, Soepomo bisa sadja tampil Djawa sentris dengan berpendapat bahwa gagasan negara integralistik tjotjok dengan konsepmanunggaling kawulo gusti jang katanja tidak hanja dianut orang Djawa tapi djuga dikenal oleh orang Sumatra dan kepulauan Indonesia lainnja. Tetapi seberapa djauh pendapat lain ini bisa dipakai sebagai alasan untuk menjatakan tamatan Leiden ini bukan seorang fasis? Soepomo memang bukan anggota Nazi dan ia djuga tidak mengenakan seragam berwarna tjoklat serta tidak mengangkat tangan tanda hormat Hilter, tetapi dengan memperkenalkan dan menanamkan konsep negara integralistik maka Soepomo djelas2 telah menantjapkan gagasan Nazi itu di bumi Nusantara.
Dalam eseinja David Bourchier menjebut dua orang jang bertanggung djawab menghidupkan kembali konsep negara integralistik di zaman orde bau. Mereka adalah Prof. Dr. Padmo Wahjono dan Brigdjen Abdulkadir Besar, keduanja anggota BP7 Pusat (Badan Pelaksana Pembinaan dan Pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), lembaga indoktrinasi orde bau. Kalau Soepomo disebutnja bukan seorang fasis jang memimpikan pengulangan rezim militer Djepang atau dritte Reich di Indonesia, maka sajang Bourchier tidak memberikan predikat jang djelas kepada dua orang ideolog orde bau tadi.
Jang djuga pantas disinggung adalah tjatatan kaki nomer tudjuh pada esei Bourchier [1997: 180], setelah anak kalimat jang menjatakan bahwa gagasan Nazi diperkenalkan pada Soepomo ketika ia sedang menuntut ilmu di Negeri Belanda. Pada tjatatan kaki itu, selain Soepomo, Bourchier djuga menjebut dua tokoh lain jang katanja dibandjiri propaganda Nazi pada awal tahun 1920an. Mereka adalah Achmad Soebardjo dan A.A. Maramis. Tidak hanja itu. Para anggota Perhimpoenan Indonesia di Leiden itu djuga dikundjungi para anggota Nazi untuk dibudjuk supaja mau mendjadi anggota organisasi fasis ini. Berdasarkan pengakuan Achmad Soebardjo dalam otobiografinja, David Bourchier mentjatat bahwa upaja mereka gagal, artinja, tidak ada anggota PI Leiden jang mendjadi anggota Nazi.[3] Walau begitu, masih menurut Bourchier, tiga orang anggota PI Leiden, jaitu Achmad Soebardjo, A.A. Maramis dan Soepomo kemudian berperan penting dalam BPOPK. Sekali lagi, walaupun bukan anggota Nazi, tetapi dalam kasus Soepomo, tidaklah terbantahkan lagi betapa besar perannja dalam mensenjawakan ideologi Nazi dalam roh bangsa Indonesia.
Marsillam Simanjuntak [1994: 82] datang dengan pengamatan djeli. Soepomo ternjata tidak menerbitkan naskah pidatonja itu setjara tersendiri. Tampaknja ia merasa pidato itu tidak lajak dipasang sebagai salah satu karjanja. Penjesalan? Bisa djadi! Apalagi kalau mengingat bahwa Soepomo sendiri achirnja mengetuai komite penjusun UUD 1950 jang lebih liberal dan mengakui hak2asasi manusia [Soepomo, 1950: 9], dasar penting bagi demokrasi parlementer tahun 1950an. Walau begitu, seperti kata orang Belanda: het kwaad is reeds geschied, jang djahat telah terdjadi. Pidato jang me-mudja2 rezim totaliter jang empat bulan sebelumnja sudah kalah Perang Dunia Kedua itu djustru merupakan dasar bagi UUD 45 jang 20 tahun kemudian dipakai oleh orde baunja harto untuk membenarkan semua pelanggaran hak2 asasi manusia kedji jang belum pernah terdjadi pada zaman Indonesia merdeka. Selain itu, apa artinja, djika seseorang begitu me-mudja2 Nazi, sementara rezim totaliter ini sudah kalah? Bisa djadi untuk mengutjapkan pidatonja Soepomo tidak sampai menghabiskan waktu setengah djam. Tetapi penderitaan jang dialami orang Indonesia dan djuga orang Timor Leste akibatnja djelas lebih dari 32 tahun kekuasaan Soeharto belaka.
Walau demikian haruslah diakui bahwa David Bourchier sendiri sebenarnja sudah menampilkan pemikiran jang konsisten mengenai asal usul orde bau dan menurutnja asal usul itu bukanlah fasismenja Nazi. Ia menerima pemikiran bahwa salah satu asal usul Soeharto bukanlah Nazinja Hitler, melainkan Hegel, Spinoza dan Adam Müller, tokoh Romantisme Djerman awal abad 19. Pemikiran mereka antara lain berpusat pada istilah Volksgeist, djiwa rakjat jang harus merupakan sumber tata hukum sebuah negara. Dalam disertasinja, Bourchier [1996] djuga mendalami hal ini, dengan Indonesia sebagai dasar pidjakan. Pemikiran matjam ini banjak diadjarkan di Leiden, dan di sanalah pada tahun 1923 Soepomo menuntut ilmu sampai memperoleh gelar doktor pada tahun 1927 di bidang hukum adat. Bagi Bourchier jang djelas tidak mau berhenti pada fasismenja Nazi sebagai asal usul orde bau, ini semua adalah bagian dari pemikiran politik jang dikenal sebagai organicism atau jang di Indonesia dan oleh Soepomo disebut sebagai integralisme tadi. Tak pelak lagi, pemikiran ini kembali memperoleh perhatian besar pada tahun 1970an di Amerika Latin. Di Indonesia, salah seorang ilmuwan jang mempopulerkan teori2 Amerika Latin itu adalah Arief Budiman.
Membenarkan
Daniel Dhakidae dalam bukunja jang berdjudulCendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru[2003], djelas tergolong kalangan jang mensedjadjarkan harto dengan Hitler. Dhakidae memang sangat bertolak belakang dengan Ruth McVey, ia misalnja langsung sadja menjebut orde bau sebagai rezim neo-fasisme militer. Tetapi aku tjenderung menggolongkan Dhakidae sebagai orang jang tjuma men-duga2 keterkaitan harto dengan Hitler, karena dia gagal menundjukkan kaitan itu persisnja seperti apa.
Dasar analisa Daniel Dhakidae untuk menjebut orde bau neo-fasis adalah paralel jang ditariknja dengan Nazi di Djerman. Ia menghitung ada tiga kemiripan antara Djerman dengan Indonesia [Dhakidae, 2003: 217].
Pertama, catatan harian Goebles sudah menunjukkan dengan jelas upaya memancing ke dalam peristiwa untuk membuat “revolusi menyala lebih dahulu,” baru pada saat yang tepat mengadakan penyerangan. Kudeta Untung dianggap persis sama dengan itu yaitu membuat “revolusi menyala lebih dahulu,” baru setelah itu melancarkan serangan sehabis-habisnya. Kedua, posisi Presiden von Hindenburg yang sudah uzur dan Soekarno yang mulai uzur dan sakit-sakitan hampir serupa. Von Hindenburg dipaksa menandatangani “upaya menangkis kekerasan kaum komunis” dengan menghapus segala jenis kebebasan: kebebasan mengeluarkan pendapat dan kebebasan pers; penyitaan maupun pembatasan hak milik; semuanya menjadi awal fasisme dan Nazisme Hitler. Soekarno dipaksa menandatangani Surat Perintah 11 Maret yang menjadi awal neo-fasisme militer Indonesia di bawah Soeharto. Ketiga, kalau di Jerman gedung yang jadi korban, di sini penjagalan kaum “komunis” dengan konsekuensi yang tidak kalah fatal sebagaimana penjagalan kaum Yahudi di Jerman.
Untuk mejakinkan langkah paralelismenja ini Dhakidae masih mengangkat teori fasisme supaja tetap bisa bersikukuh pada pendapatnja bahwa orde baunja harto adalah neo-fasis jang mentah2 belaka mendjiplak dritte Reichnja Hitler. Tiga hal jang menurutnja sentral untuk bisa menjebut apakah sebuah rezim fasis atau tidak: adanja partai massa, pemimpin jang karismatik dan ideologi jang berbeda dan chas [Dhakidae, 2003: 238]. Orde bau, demikian Daniel Dhakidae, memenuhi sjarat2 ini, sehingga ia pantas disebut neo-fasis.
Keberatan utama terhadap pemikiran Daniel Dhakidae adalah bahwa ia tidak menundjukkan keterkaitan antara dritte Reichnja Hitler dengan orde baunja harto. Keduanja bisa sadja paralel, memiliki lebih banjak lagi dari tiga persamaan jang di atas tadi telah terbilang oleh Dhakidae dan semua itu djuga tak terbantahkan adanja, tetapi apakah dengan begitu orang sudah bisa menjebut harto benar2 terkait dengan Hilter? Untuk bisa mejakinkan chalajak pembatjanja Dhakidae djelas harus lebih banjak lagi melongok sedjarah, menindjau bagaimana situasi Hindia Belanda dulu ketika Hitler dengan Nazinja bangkit menguasai Djerman.
Menarik memang untuk membatja bagaimana Daniel Dhakidae setjara teliti dan sangat kritis mengupas Poedjangga Baroe. Gerakan kesusastraan jang bangkit pada tahun 1930an dengan gagasan een Groot-Indonesische cultuur (budaja Indonesia Raja) ini memang “tidak radikal, militan kekanan-kananan, dan malah boleh dikatakan sangat teknokratik” [Dhakidae, 2003: 148]. Ini djelas pembahasan kritis terhadap Poedjangga Baroe dan bukan sekedar menjebutnja sebagai perlawanan terhadap Balai Poestaka seperti selama ini diadjarkan di sekolah2 Indonesia. Tetapi, walau pun mempropagandakan pikiran kanan, tidaklah otomatis berarti bahwa Poedjangga Baroe adalah gerakan fasis. Dhakidae sekali lagi gagal menundjukkan gerakan fasis itu di Hindia Belanda. Padahal kalau memang berniat untuk itu, si penulis sebenarnja tidak perlu harus djauh2 menindjau banjak pustaka dalam pelbagai bahasa asing, djadi bukan sadja bahasa Inggris, seperti jang sudah setjara pandjang lebar dilakukannja di sekudjur buku itu.
Buku tebal Daniel Dhakidae semula dirantjang sebagai penelitian terhadap jurnal ilmiah Prisma jang terbit antara 1971 sampai 1998, dan setelah istirahat 11 tahun sekarang terbit kembali. Walau pun pembahasan buku itu kemudian melebar, tetapi Prisma tampaknja tetap digunakan sebagai dasar analisa. Di sinilah menariknja, karena ternjata sebuah tulisan tentang pelbagai gerakan fasis di Hindia Belanda jang diterbitkan pada Prisma 10, Oktober 1994 [Wilson, 1994] sama sekali tidak disinggung oleh si penulis. Pertanjaan besar kepada Daniel Dhakidae adalah bagaimana bisa menjebut harto neo-fasis, kalau tidak satu pun gerakan fasis di Hindia Belanda pada tahun 1930an disinggungnja. Terabaikannja tulisan Wilson itu memberi kesan bahwa bagi Daniel Dhakidae jang begitu fasih dalam pelbagai bahasa Eropa (djadi tidak bahasa Inggris belaka, seperti kebanjakan tjendekiawan Indonesia zaman sekarang) kuman di seberang lautan tampak, sementara gadjah di pelupuk mata sendiri tidak.
Pelbagai persamaan antara harto dengan Hitler djuga sudah disebut pada awal tulisan ini, tetapi untuk mengambil kesimpulan bahwa persamaan itu djuga berarti keterkaitan, maka djelas seorang penulis harus bisa mengetengahkan bukti sedjarah. Dan sajangnja buku Dhakidae setebal 790 halaman ditambah 38 halaman pengantar itu tidak bitjara tentang pelbagai gerakan ekstrim kanan di Hindia Belanda tahun 1920an dan 1930an, ketika Nazisme mulai berdjaja di Djerman.
Mempersamakan orang dengan bangunan, seperti jang dilakukan Dhakidae pada paralel ketiga ketika dia membandingkan pembakaran Reichstag, gedung parlemen Djerman, dengan tewasnja begitu banjak orang PKI dan simpatisan kiri lain di Indonesia sewaktu orde bau memaksakan diri tampil berkuasa, djelas membuat banjak pembatja mengernjitkan dahi. Mungkin kurangnja bukti sedjarah jang pas telah menjebabkan Daniel Dhadidae dalam soal ini serasa terlalu men-tjari2dan meng-ada2.
Sampai di sini perlu ditegaskan bahwa tulisan ini hanja bertudjuan untuk menemukan benih2 fasisme di Nusantara jang kemudian mekar sepenuhnja di zaman orde bau. Dengan begitu dalam tulisan ini sama sekali tidak ingin dikatakan bahwa orde bau sepenuhnja mendjiplak Nazi, atau Nazisme adalah satu2nja asal usul orde bau. Nazismenja Hitler merupakan salah satu ilham orde bau, karena di Indonesia pada tahun 1920an dan 1930an jang masih disebut Hindia Belanda sudah tersebar bibit2nja. Dengan begitu orde bau tetap dimungkinkan untuk mentjiptakan variasinja sendiri atas tema Nazisme, tidak sepenuhnja mendjiplak sadja apa jang telah dilakukan Hitler di Djerman.
Fasisme tetap mungkin bangkit di tempat dan zaman lain, demikian Robert Paxton, salah seorang peneliti fasisme terkemuka. Ini akan tetap terdjadi walaupun dunia sudah muak terhadap ulah Hitler dan Mussolini, dua gembong fasisme dunia. Lebih landjut Paxton [2004: 174] menulis sebagai berikut,
In any event, a fascism of the future —an emergency response to some still unimagined crisis— need not resemble classical fascism perfectly in its outward signs and symbols. Some future movement that would “give up free institutions” in order to perform the same functions of mass mobilization for the reunification, purification, and regeneration of some troubled group would undoubtedly call itself something else and draw on fresh symbols. That would make it any less dangerous.
For example, while a new fascism would necessarily diabolize some enemy, both internal and external, the enemy would not necessarily be Jew. An authentically popular American fascism would be pious, anti black, and, since September 11, 2001, anti-Islamic as well; in western Europe, secular and, these days, more likely anti-Islamic than anti-Semitic; in Russia and eastern Europe, religious, anti-Semitic, Slavophile, and anti-Western. New fascism would probably prefer the mainstream patriotic dress of their own place and time to alien swastikas or fasces. The British moralist George Orwell noted in the 1930s that an authentic British fascism would come reassuringly clad in sober English dress. There is no sartorial litmus test for fascism.
(Kira2 berarti: Di atas semua ini, fasisme di masa depan —reaksi darurat terhadap sebuah krisis jang masih belum terbajangkan— tidak harus persis sama dengan fasisme klasik dalam semua bentuk dan simbulnja. Gerakan2 tertentu di masa depan akan bersedia mengorbankan institusi bebas supaja bisa menampilkan fungsi jang sama dengan mobilisasi massa bagi penjatuan, pemurnian dan regenerasi kelompok tertentu jang pasti akan menjebut diri sendiri dengan nama lain dan mengangkat simbul segar. Tapi itu bukan berarti gerakan ini lebih tidak berbahaja.
Misalnja, kalau fasisme baru harus mengkambinghitamkan musuh tertentu, baik internal maupun eksternal, musuh itu tidak harus selalu orang Jahudi. Fasisme Amerika jang asli dan populer akan tampil saleh, anti kulit hitam dan, sedjak serangan 11 September 2001, djuga anti Islam; di Eropa Barat tampil sekuler dan hari2 ini tampaknja akan lebih bersifat anti Islam katimbang anti Semit. Di Rusia dan Eropa timur akan bersifat religius, anti Semit, lebih memilih bangsa Slavia dan anti Barat. Fasisme baru mungkin akan lebih memilih pakaian patriotis mereka sendiri dan menjingkirkan swastika atau simbul2 lain. Tokoh moralis Britania George Orwell mentjatat pada tahun 1930an bahwa fasisme Britania jang asli akan tampil berpakaian inggris tradisional. Jang djelas tidak ada kaidah standar bagi fasisme.)
Dengan perkataan lain, fasisme masih tetap bisa muntjul di tempat dan waktu lain dengan tjiri2 jang lain pula, tidak perlu 100% sama dengan fasisme jang berkembang di Eropa mulai tahun 1920an, termasuk organisasi massanja. Masalahnja sekarang adalah bagaimana membuktikan bahwa fasisme itu benar2 ada di tempat dan waktu lain itu. Dalam membahas fasisme di Asia, Robert Paxton hanja memusatkan perhatian pada Djepang, itupun Djepang semasa Perang Dunia Kedua. Karena itu masih ada peluang besar untuk melengkapinja dengan memperlebar pembahasan fasisme di Indonesia, sebagai salah satu asal usul orde baunja harto.
II. Dua Variasi dan Coda atas Tema Dictatuurschap
Per-tama2 harus ditegaskan bahwa kemiripan harto dengan Hitler bukanlah terletak pada masalah rasismenja (walau pun harto mendjawakan seluruh Indonesia serta berperilaku seperti radja Djawa, bahkan bisa djadi, mengingat begitu banjaknja orang jang tewas ketika ia berkuasa, harto lebih bengis dari Amangkurat I dan II sekaligus), tetapi, paling sedikit bagiku, pada masalah fasismenja. Seseorang jang fasis, tanpa harus rasis, tetap berusaha tampil sebagai penguasa mutlak yang tidak enggan menggunakan kekerasan untuk mempertahankan kekuasaannja. Itulah fasismenja harto jang bagi saja mirip dengan fasismenja Hitler.
Bagaimana kemiripan ini bisa terdjadi? Bagaimana harto bisa berkait dengan Hitler? Siapa jang memperkenalkan fasismenja di Indonesia? Siapakah tokoh jang per-tama2 tampil sebagai penguasa mutlak? Pendek kata, siapakah auctor intelectualisnja?
Tema Utama
Di sini aku tidak perlu susah2 berpaling ke luar negeri. Tetapi sebelum menjebut siapa tokohnja harus aku tekankan bahwa tokoh ini tetap patut mendapat gelar pahlawan nasional. Tiadalah diriku bermaksud mem-buruk2kannja. Kehadirannja dalam pentas sedjarah Indonesia merupakan sebuah kodrat belaka. Perdjuangannja selama periode pra-Indonesia harus tetap diakui sebagai perdjuangan seorang pahlawan sedjati. Lebih dari itu, ia melakukannja dengan gigih dan penuh gelorapassie. Tokoh jang aku maksud tiada lain adalah Soewardi Suryaningrat jang kemudian mengubah namanja mendjadi Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjarlah tokoh jang per-tama2, dalam organisasi pendidikannja Taman Siswa, terpilih sebagai seorang diktator, penguasa mutlak Taman Siswa dalam kondisi tertentu. Dan memang dengan mengangkat seorang diktator maka Taman Siswa tampaknja telah memilih untuk dipimpin oleh seorang pemimpin kuat dan charismatis, persis seperti jang disjaratkan oleh fasisme.
Untuk mendjelaskan apa itu diktator dalam Taman Siswa, terlebih dahulu, perlu dikutip “Sendi atau Statuut Taman-Siswa” hasil “Peratoeran Taman-Siswa Poetoesan Konggeres Persatoean Taman-Siswa di Mataram pada h.b. 6-13 Agoestoes 1930.” Pada butir 7 tertjantum istilah diktator sebagai berikut [Wasita Djilid II No. 3-6, Agoestoes 1931, halaman 88-89]:
Pada bagian B, jaitu Peraturan Besar, masalah diktator ini lebih diperintji, seperti tampak pada bagian VIII, mengenai “Kekoeatan Pengoeasa atau Gezag,” terutama pada butir 8 dan 9 jang tertera pada halaman 97.
Pendjelasan lebih djauh tentang peran diktator ini bisa dibatja pada laporan “besloten vergadering (rapat tertutup – JW) jang pertama” berlangsung pada “Hari Kemis tanggal 7 Agoestoes 1930,” jang antara lain tertera sebagai berikut: [Wasita Djilid Ke II No. 3-6 Agoestoes 1931: 135]:
Di sini tampak bahwa Taman Siswa menganut pendirian setengah hati mengenai diktator itu. Banjak sjarat jang dikenakan terhadap seorang diktator Taman Siswa, termasuk dua kata bahasa Belanda pada achir kutipan di atas jang artinja harus bertanggung djawab (arti harafiahverantwoording schuldig adalah berhutang tanggung djawab).
Patut ditjatat, dalam pelbagai penerbitan Taman Siswa dari periode itu, tidak berhasil ditemukan definisi sebenarnja bagi istilah dictator jang mereka maksudkan. Jang ada hanjalah hal2 jang tidak boleh dilakukan oleh seorang diktator Taman Siswa, dan itu djelas bukan definisi jang baik bagi sebuah istilah. Tiadanja definisi tegas diktator ini bisa berarti bahwa para anggota Taman Siswa memang sudah sama2 merasakan bahwa organisasi mereka perlu dipimpin oleh seorang diktator, karena itu jang dipasang hanja rangkaian peringatan sadja terhadap diktator jang mereka inginkan itu.
Tanpa definisi tegas ini orang djuga tergoda untuk berpikir: djangan2waktu itu diktator punja makna lain, jang tidak senegatif arti zaman sekarang. Tapi godaan itu akan segera tersingkir kalau membatja brosur Taman Siswa jang ditulis oleh Ki Hadjar Dewantara sendiri pada tahun 1935. Dalam ketjaman keras terhadap tjara pendidikan Barat, Ki Hadjar ternjata djuga berbitjara tentang diktator. Begini tulisnja [Dewantara, 1935: 5-6]:
(Djangan perdulikan kata pertama. Itu masih bagian kalimat sebelumnja. Kutipan dimulai dengan kata2 “Immers met de…”)

(Kira2 berarti: Lebih2 lagi dengan makin populernja sistem pendidikan barat maka djuga masuklah radja intelek sebagai “penguasa absolut” sebagai “diktator” dalam keradjaan djiwa kita. Perlahan tapi pasti tersingkirlah perasaan dan upaja mentjapai sesuatu jang lebih tinggi untuk penguasa jang tidak suka ditandingi ini. Betapa penguasa tamak ini menggerogoti djiwa kita sudah bisa diduga, bahwa sedari dini individualisme makin tampak dalam masjarakat kita sebagai faktor paling berkuasa dalam proses penghantjuran sendi2 kehidupan sosial kita.)
Jang paling menarik dari kutipan di atas adalah kenjataan bahwa sebenarnja Ki Hadjar sendiri mengetjam istilah diktator. Diktator disebutnja sebagai “absolute alleenheerscher” (penguasa sendiri jang absolut), jang “geen gelijke naast zich duldde” (tidak mengizinkan orang sederadjat berada di sampingnja) dan djuga sebagai “zelfzuchtige heerscher” atau penguasa tamak. Itu berarti pada tahun 1930an dulu diktator tetap bermakna sama dengan diktator zaman sekarang. Diktator adalah penguasa mutlak jang patut ditentang. Sampai di sini tidaklah sulit dipahami. Tetapi kemudian, ini jang aneh, Ki Hadjar Dewantara sendiri ternjata menjandang gelar diktator, padahal bukankah dia sudah mengetjam diktator itu? Bagaimana mungkin Ki Hadjar dan Taman Siswa bisa mengangkat seorang diktator, jaitu sebuah konsep Eropa, untuk kemudian menolak “dictator jang sering-sering moentjoel di Eropah”? Dengan kata lain, bagaimana Taman Siswa bisa menggunakan istilah diktator, tapi pada saat jang sama menolak diktator itu dengan berbagai matjam alasan?
Dari kontradiksi ini per-tama2 bisa disimpulkan bahwa Taman Siswa, dan terutama Ki Hadjar Dewantara, sangat anti Barat. Djiwa kutipan di atas tidak lain adalah pengulangan perasaan anti barat itu. Selain itu, dengan mengangkat seorang diktator sendiri maka pada zaman itu Taman Siswa dan Ki Hadjar Dewantara telah berupaja membedakan “dictator jang sering-sering moentjoel di Eropah” dari diktator jang diinginkan oleh Taman Siswa sendiri. Ini sangat menarik (untuk tidak berkata menggelikan), karena djelas ini lagi2 adalah sikap anti Barat, berdasarkan kenjataan bahwa diktator adalah konsep Eropa, tepatnja Romawi kuno.
Terhadap kenjataan bahwa Taman Siswa tidak menghendaki “dictator jang sering-sering moentjoel di Eropah,” kita bisa bertanja, lalu bagaimana dengan diktator di Asia atau di Timur? Bukankah Asia atau Timur djuga memiliki diktatornja sendiri jang memang tidak harus sama dengan diktator Eropa? Tak pelak lagi dengan mengatakan “dictator jang sering-sering moentjoel di Eropah” maka Taman Siswa mengakui bahwa diktator adalah konsep Eropa, tapi lebih dari itu, Taman Siswa tidak bersedia mengakui bahwa di Asia atau di Timur djuga ada diktator.
Mussolini dan Hitler: Gembong2 Fasis
Siapa sebenarnja diktator jang pernah berkuasa di Eropa sampai tahun 1930 itu? Djelas bukan Hitler karena der Führer ini bau tampil berkuasa pada tahun 1933. Bisa djadi Mussolini, karena diktator kanan ini sudah berkuasa di Italia dari tahun 1922, tahun ketika Taman Siswa didirikan. Tapi gelar atau sebutan Mussolini bukanlah diktator, melainkan Il Duce. Dan memang diktator hanja istilah jang dipakai di zaman Romawi kuno, sedjak itu tidak dipakai lagi oleh penguasa Eropa lain, semutlak apa pun kekuasaan mereka. Setelah zaman Romawi kuno, diktator bau dipakai kembali oleh Karl Marx jang datang dengan istilah “diktator proletariat” dalam buku Kritik des Gothaer Programms, terbit tahun 1875. [4]
Di sinilah kuntji untuk memahami pengertian “dictator jang sering-sering moentjoel di Eropah” itu. Dan itu erat berkaitan dengan riwajat hidup Ki Hadjar Dewantara jang pernah diasingkan ke Negeri Belanda. Resminja pengasingan itu berlangsung selama tiga tahun, antara 1913 sampai 1916. Tetapi Ki Hadjar bau bisa kembali ke Hindia Belanda tahun 1919, karena di Eropa masih berketjamuk Perang Dunia Pertama. Sementara itu Eropa djuga menjaksikan perubahan besar lain pada tahun 1917 jaitu bangkitnja komunisme di Rusia jang antara lain bersembojankan diktator proletariat tadi. Inilah kuntji pemahamannja. Diktator jang dikehendaki Taman Siswa bukanlah diktator kiri Ã  lakomunis Rusia. Lebih masuk akal untuk menjimpulkan bahwa diktator jang diinginkan Taman Siswa tjenderung pada diktator kanan. Dengan perkataan lain, sjarat bahwa diktator Taman Siswa “tidak boleh disamakan dengan dictator jang sering-sering moentjoel di Eropah” merudjuk pada diktator proletariat Rusia jang berkuasa setelah menggulingkan Tsar Nicholas II dan mendirikan negara komunis. Karena diktator komunis ini tidak boleh, maka satu2nja kemungkinan diktator jang diinginkan Taman Siswa adalah diktator kanan.
Menariknja, pada pendjelasan mengenai hal ini jang diterbitkan hampir 30 tahun kemudian, tepatnja pada tahun 1959, istilah diktator itu dibuang, diganti dengan istilah “pemimpin umum.” [Dewantara, 1959: 14-15 tjetak tebal sesuai aslinja].
Dalam buku ketjil Demokrasi dan Leiderschap (artinja demokrasi dan kepemimpinan) itu Dewantara lebih landjut mendjabarkan bahwa ia terpaksa berperan sebagai diktator ketika pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1932 mengeluarkan Ordonansi Sekolah-Sekolah Liar (Wilde Scholen Ordonnantie) dengan tudjuan utama menutup Taman Siswa. Diakuinja semua itu didjalankan persis seperti jang sudah digariskan dalam azas Taman Siswa. Tetapi toh, di luar pembatasannja itu, orang tetap tergoda untuk bertanja bagaimana mungkin dalam lembaga Taman Siswa jang mengaku “soepaja democratie jang akan kita pakai haroes bersifat democratie jang loeas artinja” setjara formal bisa diadakan peraturan diktator jang djelas2 berlawanan dengan azas demokrasi itu sendiri?
Terdjadi perubahan pendirian jang sulit didjelaskan pada diri Ki Hadjar Dewantara ketika ia diasingkan ke Negeri Belanda pada tahun 1913 bersama Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ernest Douwes Dekker (Setiabudi Danudirdja). Sebelum itu Soewardi Suryaningrat adalah seseorang jang berkepribadian terbuka, menantang dunia moderen dan jang paling penting benar2 memahami tjara berpikir Belanda dan bahasa Belanda untuk kemudian —seperti terlihat pada insiden selebaran Als ik eens Nederlander was jang terdjadi pada bulan Djuli 1913, alasan utama pengasingannja ke Nederland— menggunakan segenap kemahirannja ini untuk menentang pendjadjahan Belanda. Begitu sampai di Belanda, Soewardi mendapati bahwa negeri jang begitu madju, moderen dan rasional itu ternjata punja kontradiksi djuga, jaitu memiliki tanah djadjahan dan memperlakukan penduduk tanah terdjadjah sebagai warga kelas dua. Inilah jang menjebabkan Soewardi Suryaningrat berubah pendirian, meninggalkan modernitas, rasionalitas dan apa sadja jang disebutnja sebagai “tjara berpikir Barat” untuk kemudian berpaling ke “tjara berpikir Timur” jang ditegaskannja dalam bahasa Belanda: “terug van het westersche naar het nationale” [Dewantara, 1935: 8].
Tentu sadja patut dipertanjakan apakah Timur jang murni Timur memang benar2 ada, seperti djuga Barat jang murni Barat. Aliran anti modernitas dan rasionalitas barat jang djustru meng-agung2kan timur sebenarnja djuga sudah lama berkembang, itulah aliran theosofi jang dipelopori oleh Helena Blavatsky. Banjak kalangan nasionalis Hindia Belanda mendukung aliran ini, mereka merasa mendapat pembenaran dari pemikiran Theosofi jang dianggap mengangkat deradjat bangsa terdjadjah. Sampai2 di Batavia ada Blavatskypark atau Taman Blavatksy, tepatnja di Medan Merdeka [Van Miert, 1995: 103]. Perubahan pada diri Ki Hadjar tidak hanja tampak pada pendiriannja belaka, melainkan djuga pada tjara perdjuangannja. Kalau sebelumnja ia menempuh politik praktis, misalnja dengan mendirikan Indische Partij ber-sama2Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, maka setelah pulang dari pengasingan di Negeri Belanda pada tahun 1919 ia meninggalkan tjara berpolitik langsung itu, dan mendirikan Taman Siswa.
Soewardi Suryaningrat, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ernest Douwes Dekker, setiba di Belanda, Oktober 1913
Soewardi Suryaningrat, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ernest Douwes Dekker, setiba di Belanda, Oktober 1913
Begitu mendirikan Taman Siswa pada bulan Djuli 1922, Dewantara langsung mempopulerkan tjara mendidik jang disebutnja tutwuri andajani. Dalam salah satu brosur Taman Siswa, mengenai tutwuri andajani ini, Dewantara [1935: 11] menulis:
Delapan kata pertama djangan dibatja, itu bukan kutipannja, kerna masih bagian kalimat sebelumnja. Kutipan baru dimulai pada tiga kata terachir baris pertama: Zijn ze daarin..
(Kira2 berarti: Mereka kira2 diperlakukan seperti murid sekolah lain, tetapi perbedaannja adalah bahwa mereka bekerdjasama dengan kami, guru mereka, walaupun kami tetap berada di belakang, sebagai penasehat jang berada di belakang barisan, tutwuri andajani berarti berdiri di belakang, tetapi tetap mempengaruhi. Persatuan antara murid dengan guru ini menurut saja sedikit sadja dilihat orang)
Kalau sekembali dari Negeri Belanda Soewardi Suryaningrat berupaja berpaling ke tjara berpikir timur, maka menariknja, Taman Siswa sendiri ternjata bukanlah sistem pendidikan jang benar2 asli Indonesia. Ki Hadjar sendiri mengakui bahwa sistem pendidikannja itu paling sedikit dipengaruhi oleh tiga sistem pendidikan asing, masing2 metoda pengadjaran Shantiniketan tjiptaan Rabindranath Tagore di India, sistem pendidikan Fröbel dari Djerman dan sistem Montessori jang didirikan Maria Montessori (1870-1952) di Italia pada tahun 1907 dan di Negeri Belanda pada tahun 1913. Di Belanda belakangan terungkap bahwa Montessori dulu pernah ber-dekat2an dengan Il Duce Benito Mussolini, sang pemimpin Partito Nazionale Fascista di Italia. Untuk pertama kalinja Montessori bertemu Mussolini pada tahun 1908 di Milano. Sedjak itu hubungan mereka makin dekat, terutama ketika pada tahun 1920an Mussolini berupaja memfasiskan Italia. Marjan Schwegman [1999: 193-194], penulis biografi Montessori mentjatat sebagai berikut,
Bij het tot stand brengen van een fascistische culturele revolutie was het onderwijs een belangrijk instrument. Via het onderwijs konden lichaam en geest van de zo plooibare jeugd worden beïnvloed, zodat een nieuwe mens gecreëerd zou worden; de fascistische mens. Deze hield boven alles van zijn vaderland, het schone Italië met zijn roemrijke verleden.
(Kira2 berarti: Pendidikan merupakan alat penting untuk mewudjudkan revolusi kebudajaan fasisme. Melalui pendidikan bisalah dibentuk badan dan djiwa para pemuda jang masih tumbuh, sehingga tertjiptalah manusia baru, manusia fasis. Manusia seperti ini mentjintai tanah airnja di atas semuanja, itulah Italia indah permai dengan masa lampaunja jang begitu termasjhur.)
Itulah inti persahabatan Maria Montessori dengan Benito Mussolini: masalah pendidikan. Dan memang hubungan keduanja merupakan simbiosis mutualisma, Montessori butuh induk semang jang berkuasa untuk menjebarkan metoda pendidikannja, sedangkan Mussolini butuh seorang pemikir sistem pendidikan fasis untuk mewudjudkan tjita2nja. Paling sedikit di masa awalnja, orang melihat bahwa sistem pendidikan Montessori jang, seperti Taman Siswa, kini masih luas diterapkan, tidak sepenuhnja bebas dari kedekatan pendirinja tadi dengan tokoh fasisme Italia. Dan itu terlihat pada unsur patriotisme dan metoda pendidikan Montessori jang, paling sedikit waktu itu, tampak berlebihan, rupanja karena Montessori ingin menjenangkan Mussolini. Pada tahun 1940, djadi ketika Mussolini berada pada puntjak kekuasaannja, Maria Montessori berkundjung ke Indonesia jang waktu itu masih disebut Hindia Belanda untuk bertemu dengan Ki Hadjar Dewantara [McVey, 1967: 133].[6]
Dalam konteks jang berbeda, djadi sudah bukan konteks pendidikan lagi, ketika peran mereka dihudjat habis2an, kalangan militer Indonesia ikut2an menggunakan salah satu sembojan Taman Siswa, jaitu tutwuri andajani. Lebih dari itu, sama seperti Dewantara di tahun 1930an, militer Indonesia selalu menekankan kechasan Indonesia jang, sudah tentu dalam soal militer, kata mereka berbeda dengan negara2 lain. Baik Dewantara pada tahun 1920an, mau pun militer Indonesia zaman sekarang, selalu menjebut bahwa sebagai negara Timur jang memiliki kebudajaannja sendiri, Indonesia tidak perlu meniru negara2 Barat. Kalangan militer Indonesia menggunakan perbedaan ini untuk membenarkan posisi mereka, karena militer di dunia Barat tidak memiliki peran politik. Selain itu, di zaman Pangab Djenderal L.B. Moerdani, tahun 1983-1988, ABRI mendirikan sebuah Sekolah Menengah Atas Taman Taruna Nusantara dengan model Taman Siswa, sehingga para lulusan sekolah istimewa ini bisa langsung diterima dalam Akademi Militer. Apa sebenarnja kaitan militer Indonesia dengan Taman Siswa? Adakah hal2tertentu dalam Taman Siswa jang menarik pihak militer Indonesia?
Sampai di sini mudah2an mendjadi djelas bahwa benih2 fasisme sudah tersemai di bumi Nusantara. Mungkin, tanpa disadari banjak orang, virus Hitler ternjata sudah sampai di bumi kita, djauh sebelum fasisme berdjaja di Eropa. Sudah sedjak zaman Taman Siswa tahun 1922, terhadap orang Indonesia terus2an ditekankan pentingnja pemimpin jang kuat, militerisme, disiplin rakjat jang ketat serta sistem pemerintahan jang sepenuhnja sentralistis. Dengan begitu djuga terlihat bahwa perbedaan Timur dan Barat itu tjuma tinggal omongan belaka, jang tidak pernah menggambarkan realitas jang sebenarnja.
Segala sesuatu tentang Taman Siswa tadi dengan gampang bisa kita batja pada pelbagai penerbitan lembaga ini, jang dimulai pada awal berdirinja, jaitu tahun 1922. Salah satu penerbitan itu berdjudul Wasita. Dilihat dari ukuran zaman sekarang, Wasita adalah sebuah berkala jang sangat luar biasa. Diterbitkan di Mataram, Jogjakarta, Wasita tampil paling sedikit dalam tiga bahasa: bahasa Melajoe, bahasa Djawa (baik dalam abdjad Latin mau pun aksara Djawa) dan bahasa Belanda. Tidak djarang terbit artikel dalam bahasa Inggris, kadang2 terbit djuga artikel dalam bahasa Prantjis. Dan topik2 jang dibahas tjukup membelalakkan mata pula: antara lain Nieuwe Geestelijke Stroomingen in het Derde Rijk(kira2 berarti Aliran Djiwa Baru dalam Keradjaan Ketiga, jaitu Djerman di bawah Hitler) jang terbit pada Wasita No. 2 Februari 1936.
Kemudian masih ada “Kehidupan Roch bangsa Djepoen Menoeroet keterangan Prof. Chikao Fujisawa” diterbitkan pada Wasita No. 9 Oktober 1935. Ada sematjam kekaguman jang bisa dirasakan pada tulisan2 jang membahas masjarakat Djerman mau pun masjarakat Djepang, dua negara fasis penjulut Perang Dunia Kedua. Salah satu tokoh jang di tahun 1930an radjin menulis untuk Wasita adalah Soepomo, pemudja Nazi jang berkenalan dengan ideologi fasis ini waktu masih bermahasiswa di Fakultas Hukum Rijksuniversiteit te Leiden pada awal tahun 1920an. Pada Wasita No. 9 Oktober 1935 misalnja R. Dr. Soepomo menulis artikel berdjudul “Tjorak communaal pada hidoep-hoekoem bangsa Indonesia.”
Menempatkan diktator Ki Hadjar Dewantara sebagai tema utama, tulisan ini berlandjut dengan membahas harto dan Bung Karno sebagai variasi pertama dan variasi kedua tema diktator itu. Dari sini diharapkan bisa dilihat bagaimana harto dan Bung Karno tampil sebagai diktator, bagaimana tjara2 mereka sama dengan atau berbeda dari tjara Ki Hadjar Dewantara, ketika jang terachir ini tampil sebagai diktator Taman Siswa. Dengan kata lain istilah diktator dipasang sebagai tema utama, untuk kemudian ditjari bagaimana harto dan Soekarno menggubah variasi mereka masing2 atas tema utama itu.
Jang djelas, berbeda dari Bung Karno mau pun harto, Ki Hadjar Dewantara terpilih setjara demokratis sebagai diktator Taman Siswa. Pemilihan itu berlangsung di Mataram (Jogjakarta), dalam Konggres Taman Siswa pada tanggal 6 sampai 13 Agustus 1930. Menurut Tsuchiya Kenji [1987: 106-107] konggres di Mataram ini paling sedikit mempunjai tiga tudjuan pokok. 1. Mempertemukan semua orang jang terlibat dalam penjelenggaraan Taman Siswa jang waktu itu sudah berusia sewindu dan memiliki 52 sekolah jang tersebar di Djawa dan Sumatra. 2. Memutuskan bagaimana harus menjebarkan gagasan2 dasar Taman Siswa. 3. Memurnikan Taman Siswa setelah membetulkan semua kesalahan dan menemukan djalan baru.
Laporan konggres ini diumumkan pada berkala Wasita Djilid II No. 3-6, Agoestoes 1931. Tetapi pada edisi sebelumnja sudah dimuat “pre adivies Madjelis Loehoer” jang berisi usulan agenda konggres, dalam uraian pandjang lebar dengan sistematika jang baik. Termasuk dalam pre advies adalah usulan mengangkat diktator, jang antara lain tertera bahwa:
Tetapi, berlainan dengan jang tertera dalam pre advies, [Wasita, Djilid ke II No. 3-6, halaman 134]
Dari kutipan di atas bisa dibatja bahwa dengan mengangkat diktator, Ki Hadjar Dewantara ingin supaja konggres menjetudjui dan meresmikan djabatan dan fungsi djabatan jang sedjak pendirian Taman Siswa pada tahun 1922 sudah dipangkunja. Setjara hirarkis kedudukan konggres memang lebih tinggi katimbang Madjelis Luhur. Oleh karena itu dengan tepat ditundjuk bahwa Madjelis Luhur tidak selajaknja memilih diktator, diktator harus dipilih oleh konggres. Di sini terlihat bahwa proses demokratis benar2 berlangsung dalam Taman Siswa. Karena per-tama2 setelah djabatan diktator disetudjui, maka harus ditentukan siapa jang memilih diktator, apakah Madjelis Luhur ataukah konggres. Menariknja ketika kemudian diadakan setèman jaitu pemungutan suara, ternjata bahwa “djoemlahnja jang menjetoedjoei itoe beloem ada ¾ (tiga-perempatnja) semoea soeara, maka setèman ini tidak dapat memoetoeskannja” [Wasita, Djilid ke II, No. 3-6 Agoestoes 1931, halaman 135]. Tidak bisa dipungkiri bahwa Ki Hadjar Dewantara sendiri mengalami kesulitan jang tidak ketjil untuk menggolkan usulan mengangkat seorang diktator. Sidang hari itu, 8 Agustus 1930, dihentikan. Masalah pengangkatan diktator terantjam menemui djalan buntu.
Dalam besloten vergadering atau rapat tertutup jang berlangsung keesokan harinja, 9 Agustus 1930, Ki Hadjar Dewantara tampil berbitjara. Ia menekankan, “tidak selajaknjalah bila hak jang sebesar dan loear biasa itoe hanja hendak diserahkan kepada beberapa orang sadja.” [Wasita, Djilid ke II, No. 3-6 Agoestoes 1931, halaman 138]. Maksudnja, tidak lajak kalau hanja Madjelis Luhur jang memilih diktator, konggreslah jang harus memilihnja. Untuk ketiga kalinja diadakan pemungutan suara. Hasilnja: 26 suara setudju bahwa konggres jang berwenang memilih diktator dan delapan suara menolaknja. Dengan demikian diputuskan bahwa konggreslah jang sepenuhnja berhak memilih sang diktator. Tetapi delegasi Bandung tampil dengan pertanjaan, apakah diktator boleh merangkap anggota Madjelis Luhur? Alasannja, kalau diktator berada di luar Madjelis Luhur, maka akan gampang terdjadi pertjektjokan dan perselisihan antara diktator dengan Madjelis Luhur. Bandung mengusulkan siapa sadja jang terpilih sebagai diktator, maka dia otomatis harus mendjadi anggota Madjelis Luhur. Usul ini disetudjui oleh delegasi Djakarta. Konggres pun setudju.
Achirnja bisalah dilangsungkan pemungutan suara memilih diktator. Bisa ditebak kalau Ki Hadjar Dewantara jang achirnja terpilih:
Benar: 32 suara setudju, empat suara menentang dan dua suara abstain. [Wasita Djilid ke II No. 3-6, Agoestoes 1931, hal 139]. Dengan mengangkat seorang diktator maka Taman Siswa telah memilih untuk dipimpin oleh seorang pemimpin kuat, persis seperti jang disjaratkan oleh fasisme.
Walau begitu aku tidak akan terkedjut kalau Ki Hadjar sendiri sebenarnja tidak pernah benar2 berniat tampil sebagai seorang diktator jang berkuasa mutlak dalam Taman Siswa. Bahkan bisa disimpulkan bahwa walau pun telah menjandang gelar itu, Ki Hadjar sendiri bukanlah diktator dalam arti jang sebenarnja. Gelar itu tidak lebih dari tindakan djaga2 dan langkah hati2 jang diambilnja untuk, misalnja, mengambil keputusan penting dan menentukan ketika harus menghadapi penguasa kolonial jang tidak pernah bersimpati terhadap lembaga pendidikannja. Walau begitu, tetap tidak bisa dipungkiri: istilah diktator telah merupakan preseden jang sangat menentukan dalam perdjalanan sedjarah Indonesia selandjutnja.
Variasi Pertama
Kalau Ki Hadjar Dewantara setjara resmi menggunakan sebutan diktator sebagai pemimpin umum Taman Siswa, sementara ia hanja sesekali benar2 bertindak sesuai dengan sebutan itu dan itu pun masih harus bertanggung djawab seperti jang disjaratkan dalam peraturan Taman Siswa, maka harto djustru sebaliknja. Ia tidak pernah tampil dengan sebutan resmi sebagai diktator Indonesia, tetapi tidak seorang pun jang berpikiran sehat meragukan bahwa orang kuat orde bau ini adalah benar2 seorang diktator jang berkuasa mutlak.
Dari awalnja sadja, dari tjaranja tampil berkuasa, sudah tampak unsur otoriterismenja. Kalau dahulu Ki Hadjar Dewantara terpilih setjara demokratis melalui pemungutan suara, maka harto tampil melalui bandjir darah jang tidak pernah dikenal sebelumnja dalam sedjarah Indonesia merdeka. Ratusan ribu, bahkan ada jang menjebut sampai sedjuta orang tewas. Sesudah itu, bukan hanja kebebasan mendirikan partai politik dihapuskannja, tetapi djuga hak fundamental parlemen untuk mengadakan pemungutan suara tidak diakuinja. Semasa djaja2nja orde bau, pada masa Sidang Umum MPR pers selalu ribut membitjarakan bagaimana presiden dan wakil presiden akan terpilih, apakah melalui mufakat bulat jang berarti tanpa pemungutan suara atau djustru mufakat londjong jang berarti melalui pemungutan suara. Dan selalu, tanpa pemungutan suara, harto terus terpilih melalui mufakat bulat. Bahkan sampai pada periode terachir kekuasaannja Maret 1998, harto tetap tidak mengizinkan pemungutan suara, sehingga, seperti panggung sandiwara absurd, di zaman krismon itu ia tetap terpilih setjara mufakat bulat.
Variasi Kedua
Lalu bagaimana dengan Bung Karno? Apakah Bung Karno sudah benar2mendjauhkan diri dari fasisme? Ada dua hal jang mentjolok. Pertama semasa pendudukan Djepang, Bung Karno bekerdjasama dengan Saudara Tua ini. Di Belanda, akibat kerdjasama ini Bung Karno, berbeda misalnja dengan Sjahrir dan Hatta, diketjam total. Bahkan setjara tidak langsung chalajak Belanda menjatakannja sebagai persona non grata, dan memang achirnja selama hidupnja Bung Karno tidak pernah berkundjung ke Negeri Belanda, padahal sang proklamator ini ingin sekali bertandang ke negeri sang pendjadjah.
Kedua, dalam prakteknja Bung Karno memang tampil sebagai diktator, atau istilah kesukaannja adalah “presiden seumur hidup” dan “pemimpin besar revolusi.” Soekarno sendiri sebenarnja djuga tidak pernah menjelenggarakan pemilihan umum untuk memantapkan kedudukannja sebagai presiden. Bahkan semasa 20 tahun kepresidennja, Indonesia hanja menjelenggarakan satu kali pemilihan umum jaitu pada tahun 1955 untuk memilih Dewan Konstituante, bukan untuk memilih presiden dan wakilnja. Lembaga hasil pemilu ini achirnja djuga dibubarkan oleh Sang Pemimpin Besar Revolusi.
Di atas semuanja, jang paling menarik adalah bahwa dalam utjapan2terlihat Bung Karno tidak terlalu bersikap anti fasis. Goenawan Mohamad [2001] sudah mengutip salah satu pidato Soekarno jang njerempet2 fasisme, jaitu “menggembleng satu bangsa jang berantakan mendjadi satu bangsa jang kompak dengan tjara jang keras menumpahkan darah dengan menggunakan besi.” Benedict Anderson dalam bukunja The Spectre of Comparisons tampil dengan tjontoh jang lebih kena lagi tentang Bung Karno. Ketika menerima gelar “Doctor Kehormatan dalam Ilmu Pengetahuan Kemasjarakatan oleh Universitas Indonesia pada tanggal 2 Pebruari 1963”, Bung Karno [Sukarno, 1963: 36] tampil dengan pudjian muluk2 kepada Hitler.
Ambil Hitler, kataku, —wah, Hitler itu bukan main pandainja—, dia mau mengatakan barangkali hidup bahagia materiil tidak bisa, tapi dia lantas adakan satu tjita-tjita jang lain, jaitu jang dinamakan “Dritte Reich” Keradjaan jang Ketiga, “Dritte Reich” itulah keradjaan jang betul-betul membawa bahagia kepada rakjat Djermania. Keradjaan jang pertama, keradjaannja Der alte Fritz, jaitu keradjaan jang dipimpin oleh Kaisar alte Fritz, keradjaan jang kedua ialah keradjaan sebentar sebelum perang dunia, sekarang keradjaan jang kedua ini hantjur-lebur oleh karena perang dunia jang kedua itu.
“Mari kita membentuk keradjaan jang ketiga, Dritte Reich, dan di dalam Dritte Reich itulah, he, wanita, engkau akan hidup bahagia, he, laki engkau akan hidup bahagia, he, engkau anak-anak akan hidup bahagia, he, engkau pentjinta Djermania, engkau akan melihat Djermania duduk di atas singgasana daripada semua bangsa-bangsa di dunia ini”. Pandainja Hitler menggambarkan tjita-tjita ini bukan main, Saudara-saudara.
Terus terang, tangan ini serasa sangat gatal untuk segera mengetik bahwa pidato pemudjaan Hitler di atas, termasuk predikatnja sebagai “pemimpin besar revolusi” dan “presiden seumur hidup,” merupakan bukti bahwa Soekarno adalah seorang fasis. Tetapi hasrat jang bisa berakibat sèwotnja kaum Soekarnois ini serentak padam pada diriku setelah mendengar tjerita Benedict Anderson. Sebagai seorang jang djuga hadir ketika BK mengutjapkan pidato tadi, Benedict Anderson, dalam sebuah pertjakapan pribadi, berpendapat harus dengan serius dipertimbangkan bahwa dengan me-mudja2 Hitler itu, BK tjuma ingin mengedjek, atau paling sedikit bersikap sinis terhadap negara2 Barat, lewat para duta besar mereka jang waktu itu djuga menghadiri upatjara pengukuhannja sebagai doctor honoris causa. Maklum pada zaman itu banjak negara Barat memusuhi Bung Karno jang asjik ber-lirik2kan dengan negara2 komunis, blok Timur. Ben kemudian menafsirkannja sebagai el demonio de las comparaciones [Anderson, 1998: 2] atau silumannja perbandingan, istilah jang per-tama2 dikemukakan oleh José Rizal, sang Filipino pertama atau bapak bangsa Filipina. Pada intinja, Benedict Anderson keheranan: Hitler jang di Eropa dianggap sebagai setannja setan, kok di Asia dan oleh Bung Karno malah dianggap sebagai orang besar. Aku punja pendapat dengan mengutjapkan pidato sematjam itu maka Soekarno tidak pernah benar2 mengetjam fasisme. Dengan kata lain, fasisme djelas bukanlah sesuatu jang haram dan terkutuk bagi Soekarno.
Benedict Anderson sempat memperingatkan: bagi orang segenerasi Soekarno, Hitler adalah tokoh riil dan aktual. Bisa jadi, Hitler sama aktualnja dengan Saddam Hussein untuk zaman sekarang. Karena itu, untuk bisa lebih memahami pidato Bung Karno itu, orang djuga perlu melihat konteks zaman dan masjarakat ketika Hitler, pada tahun 1930an, mengutjapkan pidatonja. Dan untuk kita jang relevan bukanlah masjarakat Djerman melainkan masjarakat Hindia Belanda. Jang djelas, waktu itu, fasisme bukanlah barang asing bagi Hindia Belanda. Ini berarti bahwa Ki Hadjar djuga tidak sendirian dan berada di ruang hampa ketika menerbitkan artikel2 jang sedikit banjak bernada positif soal fasisme, seperti tadi sudah kusebut.
Coda untuk Variasi Kedua
Bung Karno sendiri lulus ITB jang waktu itu masih bernama TH atau persisnja Technische Hoogeschool te Bandoeng, pada tahun 1926, dengan masa studi jang diselesaikannja tepat selama lima tahun, kalau dihitung bahwa ia mulai bermahasiswa tahun 1921 [Giebels, 1999: 75]. Pada tahun 1934, seorang mahasiswa TH jang lain, djelas adik kelas Soekarno, mendjadi anggota partai fasis Nationaal Socialistische Beweging, NSB.[8] Mahasiswa itu tidak lain adalah Joop Manusama, jang kemudian terkenal sebagai presiden RMS di pengasingan, di Negeri Belanda. Di sini berarti bahwa tidak lama setelah Soekarno lulus, di Bandung NSB sudah mengakar, bahkan sampai bisa mempunjai anggota (seorang) mahasiswa TH. Tak pelak lagi, pada tahun 1930an itu, seperti di Djerman, Negeri Belanda dan Italia, fasisme sudah masuk dan berkembang di Hindia Belanda.
Anton Mussert [1894-1946] Pemimpin NSB
Anton Mussert (1894-1946) Pemimpin NSB
Sampai tahun 1935 itu paling sedikit terdapat tiga organisasi ekstrim kanan di Hindia Belanda, masing2 Indo-Europeesch Verbond(IEV), Vaderlandsche Club (VC) dan NSB. IEV dan VC beranggotakan sampai 12 ribu orang, kebanjakan kalangan Belanda atau Indo jang kaja dan terpandang, sedangkan NSB mempunjai 5000 orang anggota. Djumlah orang Indo dan Belanda totok di Hindia Belanda pada tahun 1930an itu mentjapai 250 ribu djiwa. Pada tahun 1935, mendjelang kedatangan Mussert ke Hindia Belanda, semua organisasi kanan itu bersatu di bawah NSB. Organisasi ekstrim kanan tertua di Hindia Belanda adalah Het Verbond Nederland en Indië (VNI) jang pada tahun 1923 didirikan oleh T.A. Ronkes. Semula VNI mentjontoh organisasi fasis Italia pimpinan Benito Mussolini. Ketika bersatu dalam NSB, Mussolini sebagai tjontoh diganti dengan Mussert. Kemudian masih ada Nederlandsch-Indische Fascisten Organisatie (NIFO) jang didirikan oleh J.A.A. de Bree pada tahun 1931. Pada 1933, di bawah pimpinan A.J. Schoof, sebagian anggota NIFO mendirikan FOINI, Fascistenorganisatie in Nederlandsch-Indië.
Bukunja Wilson jang belum terbit ketika artikel ini ditulis, makanja jang dikutip artikel Wilson di Prisma
Bukunja Wilson jang belum terbit ketika artikel ini ditulis, makanja jang dikutip artikel Wilson di Prisma
Sebenarnja pendukung aliran dan organisasi fasis di Hindia Belanda bukan melulu orang2 Belanda atau Indo. Kalangan pribumi inlandersendiri djuga tidak sedikit jang terpesona dan tertarik pada gagasan2kanan. Wilson [1994: 52] mentjatat bahwa perintis gerakan kanan di Indonesia tidak lain adalah Soetatmo dengan gagasan nasionalisme Djawanja. Soetatmo ini tak pelak lagi adalah djuga pemimpin kelompok kebatinan Pagoejoeban Selasa Kliwon jang kemudian melahirkan Taman Siswa. Walau begitu, partai fasis pribumi pertama di Hindia Belanda adalah Partai Fascist Indonesia, PFI jang pada tahun 1933 didirikan oleh Dr. Notonindito di Bandung. Tak pelak lagi, seperti Eropa, Hindia Belanda tahun 1930an ternjata djuga harus menjaksikan mekarnja organisasi ekstrim kanan fasis. Walau kemudian organisasi2seperti ini bubar atau musnah, sulit dibajangkan bahwa gagasan2 fasis mereka djuga begitu sadja terlindas zaman. Jang djelas, ketika berkundjung ke Hindia Belanda pada musim panas 1935, gembong fasis Belanda Mussert djuga sempat mengadakan pertemuan dengan KNIL, salah satu tjikal bakal TNI [Meyers, 1984: 87].
III. Tjatatan Penutup
Pada saat bangkit dan berkuasanja fasisme di Eropa, pemikiran ini sudah dipeladjari dan dikagumi di Hindia Belanda (mungkin oleh kalangan elit jang ketjil sadja, tapi merekalah jang menentukan di Indonesia kelak kemudian hari). Di zaman Soekarno fasisme ini tidak pernah diketjam atau dianggap haram, bahkan BK sendiri me-mudja2Hitler setjara terbuka (walau pun mungkin itu tjuma provokasi sadja terhadap negara Barat) dan menggunakan bahasa Mussolini; maka adalah masuk akal belaka kalau di bawah harto fasisme itu berkembang dan mekar sampai begitu ber-darah2 di Indonesia pada zaman orde bau. Di sini tampak djelas benang merah sedjarahnja, pemimpin kuat jang kalau bisa djuga charismatis, salah satu tjiri utama fasisme. Maka jang penting bukan benarkah harto dan Bung Karno mewarisi pemikiran fasisme dari Ki Hadjar jang memang berkenalan dengan pemikiran ini langsung dari Eropa pada masa itu. Jang penting adalah bahwa pemikiran kanan ini tidak pernah diketjam, ditolak dan dikuburkan setjara massal, seperti halnja pemikiran dan kalangan komunis serta kiri lain. Dengan begitu bisa disimpulkan bahwa fasisme dalam segala wudjudnja masih tetap sadja gentajangan di bumi Nusantara.
Inilah perbedaan utama diriku dengan David Bourchier. Kalau Bourchier [1996] dalam disertasinja berupaja menelusur gagasan fasisme, jang menurutnja berawal pada zaman Romantik di Djerman pada awal abad 19, maka di sini jang penting bukanlah asal usul fasisme itu. Jang penting adalah evolusi fasisme di Indonesia, bagaimana orang2Indonesia berkenalan dengannja, bagaimana fasisme ditanamkan dalam konstitusi Indonesia sehingga bisa berkembang begitu ber-darah2 di zaman orde bau. Itu berarti jang pantas diteliti paling djauh tjuma sekitar 25 tahun, dari tahun 1920an ketika fasisme mulai diperkenalkan di Indonesia sampai tahun 1945, ketika Soepomo berpidato di depan sidang BPOPK. Patut dijakini Soepomo tidak begitu sadja datang dengan pikiran2 Hitler. Pasti sudah ada pikiran2 lain jang mendahuluinja dan itu sudah diperkenalkan di Indonesia.
Kesimpulan seperti ini sebenarnja djuga sudah harus bisa ditjapai baik oleh David Bourchier mau pun Benedict Anderson, ketika mereka mendalami pidato2 Soepomo dan Bung Karno. Tetapi kenapa keduanja tidak sampai pada kesimpulan seperti itu? Benedict Anderson djustru datang dengan kesimpulan silumannja perbandingan dan David Bourchier memperdalam teori negara organis. Memang patut diakui bahwa el demonio de las comparaciones jaitu silumannja perbandingan jang disimpulkan oleh Benedict Anderson mau pun mendalamiorganicist state (negara organik) jang dilakukan oleh David Bourchier djauh lebih rumit dan lebih tjanggih dari sekedar menjatakan harto belepotan fasisme. Tapi menjatakan harto fasis sebenarnja djuga bisa merupakan awal untuk menudju teori2 jang tjanggih itu. Itu pun tidak mereka lakukan. Ada kesan Indonesianis non Indonesia ini seperti merasa sungkan, tidak sreg, tidak enak dan sedjenisnja untuk menjebut bahwa virus fasisme telah menghinggapi Indonesia. Di sinilah menariknja, karena jang berani datang dengan kesimpulan ini adalah para Indonesianis orang Indonesia sendiri, seperti Daniel Dhakidae dan Marsillam Simanjuntak.
Tampaknja bagi para Indonesianis non Indonesia seperti Benedict Anderson atau David Bourchier jang penting bukanlah memberi predikat kepada para politisi Indonesia, bahwa mereka itu fasis atau bukan, melainkan berupaja sebaik mungkin memahami Indonesia, sambil tentunja meningkatkan ilmu atau teori mereka sendiri. Itu berarti bahwa bagi mereka jang bisa salah bukanlah kenjataan jang ada di Indonesia, tetapi pemahaman mereka terhadap kenjataan itu. Karena pemahaman itu bisa salah, maka jang penting adalah memperbaiki atau menjesuaikan pemahaman/teori mereka pada kenjataan jang ada di Indonesia dan bukannja berupaja mati2an untuk mengubah kenjataannja.
Ini sama sekali tidak berarti bahwa Indonesianis luar negeri tidak bersifat kritis. Benedict Anderson sempat ditangkal masuk Indonesia oleh orde bau selama 27 tahun. Itu karena ia bersama Ruth McVey menulis analisa kritis pertama, apa jang disebut Cornell Paper, terhadap versi orde bau peristiwa 30 September 1965. Benedict Anderson tidak sendirian, akademikus Belanda Wim Wertheim djuga dilarang masuk Indonesia, karena dengan kritis mempertanjakan peran harto pada peristiwa kedji itu. Di zaman orde bau, Indonesia memang dikenal bermusuhan dengan banjak akademisi luar negeri. Tapi itu tidaklah berarti bahwa sekarang Djakarta sudah lebih ramah. Pada apa jang disebut zaman reformasi ini, masih ada sadja akademisi jang dilarang masuk Indonesia. Indonesianis Australia Ed Aspinall pernah sampai dua kali dilarang masuk Indonesia, karena dianggap terlalu kritis terhadap perkembangan di Atjeh. Akademikus Belanda Pieter Drooglever tampaknja djuga tidak boleh bertandang ke Indonesia lagi, ia dianggap meng-ungkit2 kembali masalah Papua, karena menulis buku tentang sedjarah Papua. Menariknja, terutama pada zaman orde bau, akademisi Indonesia ternjata djuga berperan dalam larangan masuk para akademisi asing ini.
Di lain pihak, ada djuga akademisi luar negeri jang hanja karena ingin mengindari larangan masuk Indonesia, tidak segan2 bergeser dari pendapat kritisnja. Atau jang djuga pernah terdjadi, mereka tidak berani berpendapat kritis.
Kenjataan bahwa baik Benedict Anderson mau pun David Bourchier tidak berpendapat bahwa orde baunja harto belepotan fasisme harus diartikan bahwa kesimpulan seperti ini tidak tjotjok dengan pemahaman atau teori mereka tentang Indonesia. Ini berarti bahwa sikap kritis mereka djuga harus tertjermin pada pemahaman atau teori mereka tentang Indonesia. Tampaknja inilah sebab utama kenapa mereka tidak berkesimpulan bahwa orde bau itu fasis. Kesimpulan ini tidak tjotjok dengan teori mereka tentang Indonesia.
Tjendekiawan Indonesia tentunja berada pada latar belakang jang berbeda. Bagi mereka ilmu pengetahuan baru bermanfaat kalau itu bisa memperbaiki kehidupan dan penghidupan. Dengan ilmu pengetahuan tjendekiawan Indonesia berupaja bukan sadja memahami kenjataan jang ada tetapi lebih dari itu djuga memperbaiki kenjataan itu, apalagi kalau kenjataan itu tidak baik adanja. Di sinilah manfaat ilmu pengetahuan jang sebenarnja. Tapi terus terang, pada diriku tak adalah tjita2 setinggi itu. Tiada satu pun kenjataan di Indonesia jang ingin kuperbaiki. Apa jang bisa diperbaiki lagi ketika seseorang menulis bahwa orde bau kedjangkitan fasisme? Semuanja sudah terdjadi, bahkan sudah pula berlalu, korban2 djuga sudah pada berdjatuhan. Esei ini tjuma ingin mendesahkan harapan supaja orde bau tidak terulang lagi di bumi Nusantara, apakah itu masih dalam bentuk Indonesia atau sudah dalam bentuk lain lagi.
Karena itu uraian di atas djuga tidak lebih dari sebuah sketsa bagi penelitian lebih landjut terhadap fasisme sebagai salah satu asal usul orde bau. Maklumlah, selain Ki Hadjar Dewantara, belakangan sudah mulai terungkap tokoh2 lain jang djuga menaruh simpati pada gagasan2 kanan fasis, baik ketika aliran itu mulai tumbuh mau pun ketika sudah bersimaharadja lela di Eropa. Seperti disebut, Marsillam Simanjuntak [1994] sudah meneliti pemikiran Soepomo. Bukan dia sadja dan bukan Soepomo sadja jang didjadikan sasaran. Gerry van Klinken [2003] misalnja djuga sudah mendalami pemikiran Ratu Langie. Aku tak akan terkedjut kalau kelak masih akan terungkap lagi tokoh2 lain jang bersimpati pada gagasan2 kanan fasis. Penemuan2Marsillam Simanjuntak dan Gerry van Klinken sadja sudah membuktikan bahwa fasisme bukanlah barang asing di bumi Nusantara.***
Amsterdam, de Jordaan, Februari 2007 (penyesuaian kecil, Agustus 2009)
Tjatetan Kaki:
*) Gagasan awal esei ini muntjul dalam sebuah perdjalanan antara Parapat dan Padang pada awal April 2001. Setelah pengembaraan djauh, antara lain ke Perpustakaan Nasional, Salemba, Djakarta, ke Carl A. Kroch Library pada Cornell University di Ithaca, New York, Amerika Serikat, terus berlandjut ke Perpustakaan Koninklijk Instituut voor de Tropen, KIT, dan Openbare Bibliotheek (Perpustakaan Umum) di Amsterdam, Negeri Belanda, dan djuga setelah writer’s block jang tjukup lama, maka tulisan ini diselesaikan di Kampung Jordaan, Amsterdam pada bulan Februari 2007. Terima kasih kepada Jean van de Kok jang telah memperkenalkan saja pada pemikiran2 Ki Hadjar Dewantara setelah pahlawan nasional ini kembali dari pengasingan di Negeri Belanda. Djuga terimakasih kepada Benedict Anderson jang telah menjelamatkan saja dari pelbagai kesalahan bodoh dan tidak perlu. Kalau pun ternjata masih ada djuga, maka semua kekurangan jang mungkin tersisa pada tulisan ini tetap merupakan tanggung djawab saja belaka.
[1] Artinja Keradjaan Ketiga, panggilan kesajangan Hitler kepada Djerman sewaktu dia berkuasa. Untuk djelasnja lihat pidato Bung Karno ketika memperoleh gelar doctor honoris causa dari Universitas Indonesia [Sukarno, 1963: 36]. Tjuplikan pidato itu bisa djuga dibatja pada bagian lain esei ini.
[2] Semua terdjemahan kutipan dalam esei ini, baik kutipan bahasa Inggris mau pun bahasa Belanda, merupakan terdjemahan saja sendiri.
[3] Sampai pada titik ini harus disebut nama Irawan Soejono, seorang anggota lain PI Leiden jang djustru melawan Nazi dan harus membajar perlawanan itu dengan njawanja sendiri. Ia tewas ditembak pasukan pendudukan Djerman pada tanggal 13 Djanuari 1945 di Leiden, karena kedapatan mengangkut mesin stensil. Stensil adalah salah satu barang vital bagi kalangan perlawanan Belanda semasa pendudukan Djerman, untuk mentjetak pamflet dan berita. Henk van de Bevrijding(Henk Pembebasan) adalah nama samaran Irawan jang tewas pada usia 25 tahun. Ketika Belanda diduduki Djerman semasa Perang Dunia Kedua, anggota PI membentuk kelompok perlawanan sendiri, tapi mereka banjak djuga bekerdjasama dengan kalangan perlawanan Belanda, dan Irawan adalah salah satu pemimpin perlawanan PI [Poeze, 1986: 322]. Pada tanggal 4 Mei 1990, nama Irawan Soejono resmi dipakai sebagai nama sebuah djalan di Amsterdam Osdorp, di bilangan barat ibukota Belanda itu. Adakah Soepomo mengenal Irawan Soejono dan ketika berpidato memudja ideologi Nazi itu, tahukah Soepomo apa jang terdjadi dengan Irawan Soejono hanja empat bulan sebelumnja?
[4] Di sini terlihat betapa kompleks dan menariknja pribadi Ki Hadjar Dewantara. Walau pun dalam sekudjur tulisan ini Ki Hadjar ditampilkan sebagai inspirator kalangan kanan, tetapi sebenarnja pahlawan nasional ini djuga dekat dengan kalangan kiri. Versi Indonesia sjair lagu Internationale jang banjak dinjanjikan kalangan kiri progresif dan di Indonesia sudah tidak pernah terdengar lagi sedjak 1965, merupakan gubahan Ki Hadjar.
[5] Mengenai pengakuan Ki Hadjar Dewantara terhadap tiga pengaruh asing ini, lihat tulisan2nja, “Tentang Fröbel dan Methodenja,” Poesara Tahoen ke XI No. 5 Mei 1941, kemudian “Hoeboengan Kita Dengan Dr. Tagore,” Poesara Tahoen ke XI, No. 8, Agoestoes 1941 dan “Dr. Maria Montessori Pengandjur Pendidikan Merdeka,” Pusara Tahun ke XIV, No. 5 September 1952.
[6] Di sini tampak bahwa walau pun mungkin tidak langsung, fasisme Italia djuga telah berpengaruh ke Indonesia, bisa djadi melalui kaitan Ki Hadjar Dewantara dengan sistem pendidikan Montessori itu. Soekarno sendiri djuga sering menggunakan istilah vivere pericoloso jang aslinja adalah ucapan Mussolini. (Terima kasih kepada Jean van de Kok).
[7] James Siegel [2003: 7-9] menjelaskan dengan tepat dan seksama konteks serta latar belakang peristiwa ini. Menurut Siegel pandangan terhadap Hitler selama ini hanja dimonopolisir oleh Eropa, sedangkan Asia jang mementingkan nasionalisme, seharusnja djuga berhak punja pandangan sendiri terhadap gembong Nazi ini. Sedangkan Ben Anderson sendiri, dalam buku terachirnja [2005] dengan sangat teliti, menegangkan dan penuh pesona tampil sebagai detektif sastra untuk melatjak bagaimana José Rizal dulu bisa sampai pada istilah el demonio de las comparaciones atau silumannja perbandingan itu.
[8] NSB adalah partai fasis jang bisa disebut sebagai Nazinja Belanda. Kalau partai2 lain mengetjam dan kemudian membentuk perlawanan terhadap pendudukan Djerman di Negeri Belanda, maka NSB djustru menjambut “kedatangan” Djerman di Belanda. Kaki tangan NSB merampasi djabatan walikota di sebagian besar kota Belanda, menggeser walikota jang ada. Tragisnja, kekuasaan tertinggi di Belanda semasa pendudukan Nazi antara tahun 1940 sampai 1945, bukan dipertjajakan Hitler kepada Anton Mussert, pemimpin NSB, melainkan kepada Arthur Seyss-Inquart, pentolan Nazi asal Austria.
[9] Mengenai keanggotaan Manusama dalam NSB jang sempat menjadi pemberitaan di Negeri Belanda (walaupun tjuma sehari), lihat misalnja berita harian sore NRC Handelsbladtanggal 20 Agustus 1999, halaman 3, djudulnja “RMS-leider Manusama was lid NSB”, artinya, Pemimpin RMS Manusama pernah mendjadi anggota NSB. Biografinja [Manusama, 1999: 34] djuga memuat pengakuan ini.
Rudjukan
Anderson, Benedict [1998], Spectre of Comparisons, Nationalism, Southeast Asia, and the World, London: Verso. ISBN 1-85964-184-8.
_________________ [2005], Under Three Flags, Anarchism and the Anti-Colonial Imagination, London: Verso. ISBN 1-84467-037-6.
Bourchier, David [1996], “Lineages of Organicist Political Thought in Indonesia,” disertasi doktor pada Department of Politics Monash University Melbourne.
_______________ [1997], “Totalitarianism and the ‘National Personality’: Recent Controversy about the Philosophical Basis of the Indonesian State,” dalam Imagining Indonesia Cultural Politics and Political Cultures, Jim Schiller and Barbara Martin-Schiller (eds.) Athens: Ohio Center of International Studies. ISBN 0-89680-190-X.
Cribb, Robert (ed.) [1991], The Indonesian Killings 1965-1966, Studies from Java and Bali, Clayton: The Publicatons Officer Centre of Southeast Asian studies ISBN 0 7326 0231 9.
K.H. Dewantara [1935], Een en ander over “Nationaal Onderwijs” en het Instituut “Taman Siswa” te Jogjakarta, Jogjakarta: Het Cultureel-Nationaal Instituut “Wasita” te Jogjakarta.
_____________ [1941] “Tentang Fröbel dan Methodenja,” Poesara Tahoen ke XI No. 5 Mei.
_____________ [1941a] “Hoeboengan Kita Dengan Dr. Tagore,” Poesara Tahoen ke XI, No. 8, Agoestoes.
_____________ [1952] “Dr. Maria Montessori Pengandjur Pendidikan Merdeka,” PusaraTahun ke XIV, No. 5 September.
______________ [1959], Demokrasi dan Leiderschap, Jogjakarta: Madjelis-Luhur Taman-Siswa.
Dhakidae, Daniel [2003], Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, ISBN 979-22-0309-5.
Giebels, Lambert [1999], Soekarno: Nederlandsch onderdaan, Een Biografie 1901-1950, Amsterdam: Uitgeverij Bert Bakker ISBN 90 351 2114 7.
Goenawan Mohamad [2001] “Bangsa”, Catatan Pinggir dari Tempo edisi 2-8 April.
Klinken, Gerry van [2003], Minorities, Modernity and The Emerging Nation, Christians in Indonesia, a biographical Approach, Leiden: KITLV Press ISBN 90 6718 151 X.
Ir. J.A. Manusama [1999], Eigenlijk Moest Ik Niet Veel Hebben van de Politiek, Utrecht & ‘s-Gravenhage: M oluks Historisch Museum en Bintang Design & Communicatie ISBN 90-75626-09-6.
McVey, Ruth T. [1967], “Taman Siswa and The Indonesian National Awakening,” dalam Indonesia No. 4, Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project.
______________ [1977] “The Beamtenstaat in Indonesia,” dalam Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to the Debate, Benedict Anderson and Audrey Kahin (eds.) Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project 1987. ISBN 0-87763-028-3.
Meyers, Jan [1984], Mussert: Een politiekleven, Amsterdam: Uitgeverij De Arbeiderspers. ISBN 90 295 31134.
Micheels, Pauline [1993] Muziek in de schaduw van het Derde Rijk, Zutphen: Walburg Pers. ISBN 906011.861.8
Miert, Hans van [1995], Een koel hoofd en een warm hart, Nationalisme, Javanisme en Jeugdbeweging in Nederlands-Indië, 1918-1930, Amsterdam: De Bataafsche Leeuw ISBN 90 6707 388 1.
Paxton, Robert O. [2004], The Anatomy of Fascism, London: Allen Lane ISBN 0-173-99720-6.
Poeze, Harry A. [1986] In het Land van de Overheerser I, Indonesiërs in Nederland 1600-1950, Dordrecht: Floris Publications ISBN 906765 201 6.
Schwegman, Marjan [1999], Maria Montessori Kind van haar tijd Vrouw van de Wereld, Amsterdam: Amsterdam University Press. ISBN 90-5356-300-8.
Siegel, James T. & Kahin, Audrey R. (eds.) [2003], Southeast Asia over Three Generations. Essays Presented to Benedict R. O’G Anderson, Ithaca: SEAP Southeast Asia Program Cornell University ISBN0-87727-735-4.
Simanjuntak, Marsillam [1994], Pandangan Negara Integralistik. Sumber, Unsur dan Riwayatnya dalam Persiapan UUD 1945, Djakarta: Pustaka Utama Grafiti ISBN 979-444-307-7.
Prof. Dr. R. Soepomo [1950], Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, Djakarta: Penerbitan Noordhoff-Kolff N.V.
Sukarno [1963], Ilmu Pengetahuan Sekadar Alat Mentjapai Sesuatu, Djakarta: Departemen Penerangan R.I.
Tsuchiya Kenji [1987], Democracy and Leadership: The Rise of The Taman Siswa Movement in Indonesia, Kyoto: The Centre for Southeast Asia Studies, Kyoto University ISBN 0-8248-1157-7.
Wilson [1994], “Kaum Pergerakan di Hindia Belanda 1930an Reaksi Terhadap Fasisme,” dalam Prisma No 10, Oktober 1994.
Yamin, Prof. Mr. Hadji Muhammad [1959], Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 Djilid Pertama, Djakarta: Penerbit Jajasan Prapantja.
J. Zwaan [1984], “De NSB in Indië,” dalam De Zwarte Kameraden: Een Geïllustreerde Geschiedenis van de NSB, J. Zwaan (ed.) Weesp: Van Holkema en Warendorf.
Sumber: Gatholotjo