HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Jumat, 28 Desember 2012

Eks-Tapol Minta Kerangka Suaminya Dikembalikan

28/12/2012


Mariyam Labonu, korban kekerasan hak asasi manusia (HAM) di Palu pada 1965 sudah 45 tahun mencari keberadaan suaminya. Mariyam telah kehilangan suaminya, Abdul Daeng Maselo, pada Mei 1967.

Mariyam saat memberikan keterangan pada acara Dengar Kesaksian Korban Kekerasan di Palu, Kamis (27/12), mengatakan suaminya saat itu terkait Partai Komunis Indonesia (PKI) yang saat itu dilarang keberadaannya. Berdasarkan informasi yang diperoleh, suaminya ditahan oleh aparat negara namun tidak diketahui tempatnya.

Bahkan Mariyam juga sempat ditahan selama satu tahun sejak 1967 bersama ketiga anaknya. Saat itu Mariyam juga ditahan bersama tujuh perempuan lainnya karena dianggap menjadi pengikut partai politik terlarang.

Setelah bebas, perempuan yang mengaku berumur sekitar 75 tahun ini harus menghidupi ketiga anaknya dengan berjualan kue. Dia pun masih dikenai wajib lapor dua kali sepekan hingga tahun 1975, dan berkurang menjadi sekali sepekan pada 1978. Dalam masa wajib lapor itu, Mariyam tetap berusaha mencari keberadaan suaminya.

Hingga pada pertengahan tahun 2000, ada keterangan dari sesama mantan tahanan politik yang mengaku pernah melihat adanya tulang belulang di Markas Korem Sulawesi Tengah di Kota Palu. Dari tulang-tulang itu terdapat gigi palsu yang mirip gigi Abdul Daeng Maselo.
“Saya hanya minta kerangka suami saya dikembalikan,” kata Mariyam berkaca-kaca.
Selain Mariyam, terdapat lima korban kekerasan HAM lainnya yang menuturkan kisah pahitnya antara lain tentang kerja paksa pada 1965/1966. Selanjutnya ada kasus Bohotokong di Kabupaten Banggai pada 1982 tentang penangkapan dan kekerasan terhadap petani yang dilakukan oleh oknum aparat negara.

Terdapat pula kasus kekerasan di Kabupaten Poso pada 2001 tentang penghilangan orang secara paksa yang hingga saat ini tidak jelas keberadaannya.

Anggota Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran Nurlaela Lamasitudju mengatakan pemberian kesaksian itu dalam rangka mendorong penegakan HAM di Indonesia.

Dia mengatakan selama lebih 40 tahun pegiat HAM di Indonesia telah berjuang untuk menuntut keadilan namun selalu menemui jalan buntu saat meminta pertanggungjawaban kepada negara.
“Jangan sampai korban kekerasan HAM hanya dibiarkan berlalu saja. Olehnya perlu gerakan moral untuk menggugah semua pihak,” katanya. [ant/dem]
Sumber: SKP-HAM  

Selasa, 25 Desember 2012

Max Lane: Pram Sejarawan Terbaik Indonesia

 Tuesday, 25 December 2012


PENERJEMAH enam karya Pramoedya Ananta Toer asal Australia, Max Lane, menjadi dosen tamu selama lima pertemuan untuk mata kuliah Hubungan Internasional dan Politik Indonesia di Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta. Hari ini, 11 Desember 2012, adalah kuliah terakhir dengan tema Papua. Empat hari sebelumnya berturut-turut membahas sejarah politik Indonesia, (2) politik Indonesia pra-Orba, 1960-1965, (3) politik Orba, dan (4) Indonesia di Timor Leste. Bertempat di ruang Ki Hadjar Dewantara, FIS, semua kuliah disampaikan dalam bahasa Indonesia.
Pada penutupan kuliah, Lane menyampaikan kesan positifnya terhadap mahasiwa peserta kuliah. Antara memberi kuliah di Indonesia—di UGM, UI, Universitas Udayana, dan kali ini UNY—dan di Australia, ujarnya, respons mahasiswa jauh berbeda. Berkebalikan dengan di Australia, mahasiswa di Indonesia acap berebut kesempatan di sesi tanya jawab. 
“Di Australia, mahasiswa apatis terhadap politik. Berbeda dengan mahasiswa 10 tahun yang lalu,” ujarnya.
Usai kuliah yang berlangsung dari pukul 9 hingga 11 itu, kami menemui beliau di kantor Jurusan Pendidikan Sejarah. Sempat mengira ia akan lelah berbicara, ternyata Max Lane murah senyum dan tak ragu bercerita panjang.
Negara tanpa Sastra
“Satu-satunya negara modern di dunia yang tidak mengajarkan sastra di SMP dan SMA adalah Indonesia,” ia membuka dialog.
Kemungkinan kondisi itu terjadi sejak tahun 70-an, setelah Ali Moertopo, kolonel pengomando Operasi Khusus di Irian Barat yang kelak menjadi Menteri Penerangan, merilis esai “yang buruk sekali,” menurut Max Lane. Esai tersebut menerjemahkan kebudayaan Indonesia sebagai gabungan dari kebudayaan etnik. “Padahal itu kebudayaan pra-Indonesia,” tambahnya.
Sejak itu sastra tak lagi dianggap penting. Padahal, terang Lane, “Pengalaman bersama suatu bangsa hanya diwariskan lewat sastra.” Jika sejak sekolah warga negara tak dikenalkan dengan sastra terbaik di negaranya, hasilnya adalah orang-orang tanpa minat baca serta tak terwariskannya pengalaman berbangsa.
“Saya membuat fan page di Facebook yang mengampanyekan sastra sebagai pelajaran wajib di SMP dan SMA Indonesia.” Sayangnya, ia lupa nama fan page itu.

Pertemuannya dengan Pramoedya berawal ketika ia bekerja untuk Kedutaan Australia di Jakarta, setahun setelah Pram bebas. 
“Tahun 80 saya lihat naskahnya (Tetralogi Buru). Ini luar biasa bagus, harus bisa dibaca oleh orang di luar (Indonesia).”
Pada akhirnya, Lane menerjemahkan Tetralogi Buru plus Hoakiau di Indonesia dan Arok Dedes. Pertama kali keluar di tahun 83, Lane bilang, kini This Earth of Mankind—terjemahan Bumi Manusia, sudah dicetak untuk ke-23 kalinya oleh penerbit Penguin di Amerika Serikat. “Cetak terus, tidak pernah out of print.” Di situs Amazon.com, buku tersebut dihargai 10 dolar 88 sen, setara dengan Rp105.000.
Kabarnya, karena aktivitasnya dengan karya-karya Pram, ia “disingkirkan” dengan halus dari Kedutaan. Lane kemudian menjadi koordinator Action in Solidarity with Indonesia and East Timor (ASIET) yang memperjuangkan demokratisasi di Timor Leste.
Apa Pentingnya Tetralogi?
Lane mengisahkan bahwa karya-karya Pram dipelajari di SMA dan kampus-kampus di Amerika Serikat. Hal serupa juga ditemui di Filipina, Malaysia, dan negara-negara lain, bahkan di Singapura yang terkenal konservatif. Hanya di Indonesia, karya tersebut tak singgah di sekolah. Mengapa karya Pram, terutama Tetralogi, dianggap sedemikian penting?
Menurut Lane, nilai penting tersebut ditera dalam dua aras. Pertama, dari segi penceritaan, alurnya sangat asyik. “Ketegangannya; karakter-karakternya; sangat mengikat pembaca. Sebagai sastra bercerita, (Tetralogi) sangat sukses.”
Kedua, Tetralogi membuka pengertian terhadap sejarah asal-usul manusia Indonesia. Serial ini oleh banyak orang disebut sebagai pembicaraan mengenai kebangkitan nasional. “Namun tak ada satu pun kata Indonesia di sana,” kata Lane. Alasannya, sebab di masa hidup Tirto Adhi Soerjo maupun Kartini, Indonesia—sebagai negara—tak pernah terbayangkan. Lewat Tetralogi, Pram seperti mengatakan, “Kamu harus sadar, Indonesia adalah ciptaan, kreasi, bukan warisan atau sesuatu yang jatuh dari langit,” jelas Lane. Pram menyadarkan bahwa Indonesia diciptakan sendiri oleh manusia Indonesia.
Adanya pembacaan tersirat, atau “pesan rahasia”, yang diselipkan dalam karya. Hal inilah yang membuat Lane menganggap sebagai sejarawan terbaik Indonesia.
Lainnya: dari apa yang dilakukan Minke dan Ontosoroh, terbaca alasan yang mendorong terbentuknya Indonesia. “Indonesia tercipta oleh usaha melawan pelanggaran hak asasi manusia,” kata Lane. Atau dengan kata lain, keinginan mendapatkan keadilan.
Dalam kuliah bertopik Timor Leste dan Papua, Lane banyak memaparkan bukti-bukti kejahatan HAM yang dilakukan tentara Indonesia pada warga sipil setempat. Keadilan yang melatarbelakangi munculnya sebuah “komunitas imajiner”—dalam bahasa Ben Anderson—bernama Indonesia, justru dilangkahi sendiri di kemudian hari.
Sejarah yang “terbaca” dalam sastra semacam ini membuat pelajaran sastra penting. “Apa kebudayaan Indonesia yang sejati?” tanyanya. Orang Indonesia menganggap tari dan batik, misalnya, sebagai kebudayaan Indonesia, yang oleh Lane disebut sebagai kebudayaan pra-Indonesia. Sastra Indonesia dalam wujud roman, syair, drama, esai, cerpen yang ditulis dalam bahasa Indonesialah yang dapat disebut sebagai kebudayaan Indonesia.
Ia kemudian mengajukan pertanyaan yang kami tak bisa jawab. “Apa pengaruhnya jika sastra terbaik Indonesia diberikan sejak umur 12 tahun (usia SMP)?” Sastra yang ia maksud tak terbatas cakrawalanya. Kiri, kanan, religius, surealis… semuanya.
Kami balas bertanya, kali ini ringan sifatnya. “Dari empat buku Tetralogi, mana yang jadi favorit Anda?”
Ia jawab sambil tertawa, “Tergantung mood.” Ia tak sebut satu judul. Hanya saja ada bagian-bagian tertentu yang memesonakannya. Pertama, adegan dalam Rumah Kaca ketika mata-mata Pangemanann menemukan tiga naskah (yang dalam cerita itu merupakan karya) Minke yang berjudul Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Jejak Langkah—tiga karya Pram sebelum Rumah Kaca.
Kedua, posisi Pangemanann yang menganalisis tulisan-tulisan Minke. 
“Padahal dua-duanya ciptaan Pram,” imbuh Lane. (Prima SW, Jihan RI)
Sumber: EkspresiOnLine 

Sabtu, 22 Desember 2012

Agraria 2: Reforma Agraria

Konflik agraria terjadi karena UUPA tidak dijalankan.




Historia 

Jumat, 21 Desember 2012

Agraria 1: Tanah Untuk Rakyat

Dalam pepatah Jawa terdapat pameo: sedumuk bathuk senjari bumi, toh pati dilakoni, seorang lelaki akan melawan orang yang mengganggu istri dan tanahnya sekalipun nyawa taruhannya.


Historia.Id 

Jumat, 14 Desember 2012

Kejagung Belum Bisa Usut Kasus HAM 1965

Jumat, 14 Desember 2012

Kejagung menyatakan Komnas HAM tidak melengkapi laporan penyelidikan mengenai pelanggaran berat Hak Azasi Manusia pada kurun waktu 1965/966, sehingga Kejaksaan belum dapat menanganinya atau menaikan ke tingkat penyidikan.

"Komnas HAM mencoba mengirimkan laporannya tanpa melengkapi petunjuk dari kami," kata Jaksa Agung Basrief Arief di Jakarta, Jumat.

Menyinggung lambannya pengusutan kasus itu, Jaksa Agung membantah telah menolak laporan Komnas HAM itu. Dia berujar pernyataan Komnas HAM yang mengatakan berkasnya sudah lengkap perlu dikritisi karena syarat formal dan materil belum dipenuhi.

Sementara itu, Ketua Komnas HAM Otto Nur Abdullah belum dapat memberikan komentar karena belum membaca surat tanggapan resmi dari Kejaksaan Agung.

Jaksa Agung enggan menjelaskan rincian syarat formal dan materil dari laporan itu. Namun berdasarkan keterangan Otto pada Selasa (11/12) (setelah laporan itu dikirim ke Kejagung), dia mengatakan tidak ada hal yang substansial yang kurang dilengkapi dalam laporan itu.

"Hal-hal teknis itu seperti syarat sumpah saksi atau kop surat mengenai proses peneyelidikan," kata Otto.

Jikapun ada, kata Otto, hal itu berupa surat otopsi korban yang sukar atau bahkan tidak mungkin untuk diperoleh lagi.

Komnas HAM selama empat tahun melakukan penyelidikan mengenai kasus ini di beberapa kota yang dianggap terdapat banyak fakta atas kejadian tragedi 1965/1966 itu.

Otto menegaskan pelanggaran berat HAM memang telah terjadi.

"Wewenang hukum kita sebeagai penyelidik terbatas, Kejagung agar segera meneliti kasus ini di penyidikan," kata dia.

Laporan Komnas HAM, sebelumnya, menyatakan telah ditemukan adanya indikasi atas dugaan pelanggaran HAM yang berat, berupa pembunuhan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, kerja paksa, pemerkosaan, pemenjaraan tanpa proses hukum serta berbagai pelanggaran lainnya.


http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50cb466f413c5/kejagung-belum-bisa-usut-kasus-ham-1965

Kejagung belum dapat usut kasus HAM 1965

 

Basrief Arief. (ANTARA)

 "Kejagung agar segera meneliti kasus ini di penyidikan."
Jakarta (ANTARA News) - Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tidak melengkapi laporan penyelidikan mengenai pelanggaran berat HAM periode 1965/966, sehingga belum dapat menanganinya atau menaikan ke tingkat penyidikan.

"Komnas HAM mencoba mengirimkan laporannya tanpa melengkapi petunjuk dari kita," kata Jaksa Agung, Basrief Arief, di Jakarta, Jumat.

Menyinggung lambannya pengusutan kasus itu, ia membantah telah menolak laporan Komnas HAM.

Pernyataan Komnas HAM yang mengatakan berkasnya sudah lengkap, menurut dia, perlu dikritisi karena syarat formal dan materil belum dipenuhi.

Ketua Komnas HAM, Otto Nur Abdullah, secara terpisah mengemukakan bahwa belum dapat memberikan komentar karena belum membaca surat tanggapan resmi dari Kejaksaan Agung.

Jaksa Agung tidak menjelaskan rincian syarat formal dan materil dari laporan itu. Namun, Otto pada Selasa (11/12) mengatakan, tidak ada hal yang substansial yang kurang dilengkapi dalam laporan itu.

"Hal-hal teknis itu seperti syarat sumpah saksi atau kop surat mengenai proses peneyelidikan," kata Otto.

Jikapun ada, katanya, hal itu berupa surat otopsi korban yang sukar atau bahkan tidak mungkin untuk diperoleh lagi.

Komnas HAM selama empat tahun melakukan penyelidikan mengenai kasus ini di beberapa kota yang dianggap terdapat banyak fakta atas kejadian tragedi 1965/1966 itu.

Otto menegaskan pelanggaran berat HAM memang terjadi. 

"Wewenang hukum kita sebeagai penyelidik terbatas. Kejagung agar segera meneliti kasus ini di penyidikan," katanya.

Laporan Komnas HAM, menyatakan telah ditemukan adanya indikasi atas dugaan pelanggaran HAM yang berat, berupa pembunuhan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, kerja paksa, pemerkosaan, pemenjaraan tanpa proses hukum serta berbagai pelanggaran lainnya.
(T.I029)
Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2012


http://www.antaranews.com/berita/348605/kejagung-belum-dapat-usut-kasus-ham-1965

Jumat, 30 November 2012

Perempuan Korban & Penyintas Tragedi ’65 di Nusa Tenggara Timur


30 Nov 2012
  • Launching Buku Memori-memori Terlarang

Bagi kita sekarang tidak penting lagi menelusuri siapa dalang. Tapi yang penting adalah siapa yang menjadi korban. Tentu saja para jendral adalah korban. Tapi harus diingat ada korban kemanusiaan setelah Tragedi '65. Korban ini jauh lebih banyak dan sadis

Hal tersebut disampaikan Ketua PGI, Pdt. DR. A.A. Yewangoe dalam acara Launching Buku Memori-Memori Terlarang – Perempuan Korban & Penyintas Tragedi ’65 di NTT, beberapa pekan lalu di Fakultas Teologi, Universitas Kristen Artha Wacana Kupang. Menurutnya, Versi Orde Baru hanya beberapa ribu tapi versi lain hampir setengah juta. Oleh karena itu keprihatinan kita harus kepada manusia. Buka pro atau kontra tapi manusia yang utama.

Pdt. Yewangoe mengatakan, sejak PKI dilarang saat Supersemar dan ada penangkapan, maka ada penggolongan orang menjadi A/B/C (dibunuh, dibuang atau dilepas). Refleksi mengenai ini pernah ditulis oleh Pramodya Ananta Toer. Korban ini akan mengalami pembunuhan karakter, tidak hanya dia tetapi semua keluarganya. Ini dilakukan oleh Orde Baru.

Karena itu menurutnya, stigma ini yang harus dihapuskan. Ia mengaku senang bahwa presiden SBY mengatakan bahwa mau mengatakan permintaan maaf. “Saya termasuk yang diundang untuk pertimbangan presiden untuk meminta maaf. Kami sangat senang. Tapi sayang sekali ada ormas lain yang tidak setuju. Tapi marilah kita berjuang agar ia dapat meminta maaf, karena dapat menyembuhkan luka sejarah” tutur Pdt. Yewangoe.

Masih dalam kesempatan yang sama, Pdt. Yewangoe menuturkan, presiden Gus Dur pada masa jabatannya pernah berusaha menghapus Tap MPR berkaitan dengan PKI karena alasan kemanusiaan. Tetapi ditolak dan ia malah dianggap sebagai pendukung PKI. Apakah dengan demikian ia membenarkan PKI? Tidak! Ia memaafkan tetapi tidak melupakan. Ia berusaha rekonsiliasi tetapi berusaha agar ini tidak terulang lagi.

Ia mencontohkan seperti yang terjadi di Afrika selatan, di mana Nelson Mandela menunjukan bagaimana ia memberi inspirasi bagi pemulihan suatu bangsa. Kita harus melepaskan diri dari beban-beban sejarah. Kalau kita terus ada dalam beban sejarah, maka kita tidak akan maju. Tapi saya yakin, kalian mampu menganalisa sejarah dan maju ke depan.

Mengenai buku menurut Pdt. Yewangoe ini adalah tindakan melukai diri sendiri agar ada perubahan. Banyak cerita yang mengharukan. Banyak kali gereja sendiri (GMIT dan GKS) tidak memperhatikan. Situasi waktu itu membuat gereja tidak mampu menganalisa dengan baik. Kita menyayangkan ketika tragedi ’65 gereja tidak mampu menjalankan tugas pastoralnya. Ini adalah self critic. Pada saat tragedi ada pendeta di Sumba tetapi tidak dapat menjalankan tugasnya. Tapi sekarang semuanya sudah terjadi dan buku ini sudah ada. Marilah kita belajar untuk maju ke depan.

Sementara itu, Pdt. DR. Nicolas Woly dalam tanggapannya dikatakan, apa yang dihasilkan oleh JPIT ini, merupakan satu bentuk “bijaksana”. Mengapa? Karena menurutnya, melalui belajar kita akan terlebih dahulu menjadi bijaksana.

Dan juga menurutnya dengan buku ini, JPIT telah ikut serta dalam parade “masuk ke kekekalan”. Buku ini akan dibaca dalam rentang waktu lintas generasi. Buku ini akan menambah lagi deretan buku-buku yang dibutuhkan masyarakat dunia beradab yang salah satu agenda utamanya belajar membaca, karena “buku-buku adalah universitas keseharian kita”

Buku ini disusun oleh Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT) bekerjasama dengan Fakultas Teologi Universitas Kristen ARTHA WACANA, ICTIJ dan Kerk in Actie ini terdiri dari 8 Bab, yakni  Memori-memori terlarang: Perempuan Korban dan Penyintas Tragedi '65 di NTT, SUMBA: * Korban Tragedi 1965 sebagai Orang Berdosa? (Sumba Barat), SABU: Penghancuran Perempuan Guru Sabu-Raijua oleh Negara, KOTA KUPANG : Peristiwa 1965 dan Aktivis Perempuan di Kota Kupang, KUPANG TIMUR : Ada Jurang di antara Kita: Kekerabatan, dan Peran Pastoral Gereja di Kupang Timur, TIMOR TENGAH SELATAN: Peristiwa 1965 dan Pergumulan Identitas Perempuan TTS,  ALOR: Janda Melawan Ketidakadilan di Alor dan EPILOG: Mulai Dengan Korban: Makna Tragedi '65 untuk Teologi.

Buku yang diedit oleh Pdt. Dr. Mery Kolimon dan Lia Wetangterah ini, juga memuat gambar-gambar tempat pembantaian, kuburan massal, selain foto penjara dan rumah-rumah tempat penahanan.

Selasa, 20 November 2012

Memecah Pembisuan, Membongkar Tabu: Mendengar Suara Korban Tragedi 1965

20/11/2012

Oleh Yoseph Yapi TaumDosen Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Editor:  Putu Oka Sukanta; Tebal: 315 h.

Pengantar

KARENA judul buku ini adalah Memecah Pembisuan, saya ingin mengawali ulasan ini dengan menjelaskan istilah serupa, yaitu Breaking the Silence.  Breaking the Silence (BtS) adalah sebuah LSM Israel yang terletak di wilayah Barat Yerusalem, didirikan tahun 2004 oleh veteran tentara Angkatan Bersenjata Israel.[1] Kegiatan mereka antara lain mengumpulkan dan mempublikasikan kesaksian-kesaksian dan pengalaman para tentara dalam tugas dan operasi mereka di wilayah pendudukan: Tepi Barat, Jalur Gaza, dan wilayah Timur Yerusalem selama Intifada Kedua. Misi LSM ini adalah ‘memecah pembisuan’ dalam diri tentara-tentara Angkatan Bersenjata Israel yang sudah kembali dalam kehidupan sipil di Israel dan ‘mengungkap adanya ganjalan yang mereka rasakan dalam menghadapi realitas di wilayah pendudukan dan pembisuan mereka di rumah.’

Sejak tahun 2004, LSM ini telah menerbitkan serial bunga rampai berjudul Kesaksian Para Tentara. Serial ini memuat ratusan kesaksian ‘dari para penjaga perbatasan, pasukan keamanan, dan mereka yang bertugas di wilayah pendudukan.’ Tujuan penerbitan buku itu adalah ‘memaksa masyarakat Israel melihat realitas yang sesungguhnya’ dan menyadari adanya ‘pelecehan, pengrusakan, dan penghancuran harta benda milik warga Palestina.’ Sebelumnya mereka dibisukan, seolah-olah perbuatan itu wajar dilakukan dan pembicaraan mengenai tindakan tentara Israel di wilayah pendudukan adalah tabu. Tentu saja organisasi ini dimusuhi pemerintah Israel. Tekanan pemerintah Israel semakin kuat ketika LSM ini mengungkap kesaksian tentara Israel yang ikut dalam pemboman Gaza tahun 2009.

Contoh kesaksian (1). ‘Saya tidak tahu apa yang dilakukan Hamas di kota Hebron, tetapi ketika terjadi ketegangan di Hebron, saya tidak pernah menyaksikan satu pun orang Arab yang mengancam keselamatan orang Yahudi. Maksudku, saya tidak pernah melihat adanya kekerasan yang dilakukan dari pihak orang Arab, atau tindakan mereka yang mengganggu orang Yahudi. Saya pikir tidak ada alasan apapun bagi orang Israel untuk takut. Orang Yahudilah yang selalu mengganggu dan membuat marah orang Arab. Mereka membuang sampah kotor ke halaman rumah orang Arab. Jika ada seorang anak Arab berlari mendekati tiga anak Yahudi, para tentara Israel akan memukul atau menghinanya. Ada begitu banyak pelecehan yang dilakukan terhadap orang Arab’ (Breaking the Silence: Soldiers’ Testimonies from Hebron 2008-2010. Booklet. Printed in Jerusalem, 2011).

Contoh kesaksian (2). Dalam serangan ke Gaza, ada 54 kesaksian tentara Israel yang mengungkap tentang penggunaan gas fosfor yang diarahkan ke pemukiman penduduk, pembunuhan korban-korban yang tidak bersalah, penghancuran ratusan rumah dan masjid tanpa tujuan dan alasan militer. Dalam serangan tersebut, taktik ‘Neighbor Procedure’ juga dipakai: penduduk sipil digunakan sebagai tameng dan dipaksa memasuki gedung-gedung bersama para tentara (Breaking the Silence: Soldiers’ Testimonies from Operation Cast Lead, Gaza 2009. Booklet. Printed in Jerusalem, 2010).

Hal yang ingin saya sampaikan dengan cerita-cerita ini bahwa pelaku pembantaian (perpetrators)sebenarnya juga merupakan korban (victims) dari sebuah sistem yang dibangun. Ketika pelaku kejahatan ‘diharuskan’ menjalankan perintah atasannya untuk melecehkan, merusak, membunuh, memperkosa, ataupun melakukan kejahatan terhadap korban yang dipandang sebagai liyan, selalu ada sisi kemanusiaan yang tidak bisa dibungkam. Bagi saya, ‘hukum’ ini merupakan sebuah kebenaran abadi.[2] Dalam sejarah pembantaian tentara Nazi terhadap orang-orang Yahudi, selalu ada orang seperti Schindler yang berjuang dengan berbagai resiko menyelamatkan sebanyak mungkin orang-orang Yahudi.

Perspektif semacam ini sangat jarang – untuk mengatakan tidak pernah terungkap dalam sejarah Tragedi 1965, kecuali di dalam karya-karya sastra Indonesia yang terbit tahun 1966-1970.[3] Yang ada dalam sejarah Tragedi 1965 adalah ‘penyesalan’ pelaku, seperti Sarwo Edhie Wibowo yang disampaikan Ilham Aidit. Buku Memecah Pembisuan: Tuturan Penyintas Tragedi ’65-66, yang dieditori oleh Putu Oka Sukanta ini memuat sebuah kisah ‘pertobatan’ itu. Bersama empat belas tulisan lainnnya yang diungkap dari perspektif korban Tragedi 1965, buku testomini semacam ini tentu saja sangat berharga untuk mengungkap tragedi bangsa Indonesia yang begitu dahsyat, yang saat ini cenderung diabaikan begitu saja.

Pertobatan: Pelaku sebagai Korban

Buku ini memberi kesempatan kepada seorang pelaku pembunuhan (eksekutor), seorang pensiunan polisi bernama Benny, untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan pengalamannya dalam pembantaian Partai Komunis Indonesia (PKI) di Pulau Timor, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Dalam feature berjudul ‘Benny: Mencari Penyembuhan’ tulisan Nina Junita (h. 25-44), ada beberapa pokok kesaksian yang layak kita cermati.

Pada awalnya Benny ‘masih sangat yakin bahwa pembunuhan terhadap para anggota PKI adalah sesuatu yang harus dilakukan dan benar adanya.’ Namun, ia kemudian meragukan, apakah pembunuhan itu dapat dibenarkan?

Menurut Benny, kesalahan yang jelas-jelas dilakukan oleh aparat adalah: pertama, perintah dari Jakarta untuk membunuh semua tahanan di penjara di SoE (pembunuhan tahap pertama: kasus pencurian, perkelahian, pembunuhan). Tahanan ini tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan PKI; kedua,pembunuhan tahap kedua dan ketiga: sekalipun ada pemeriksaan, tetapi dasarnya tetap tidak jelas, yaitu hanya karena seseorang menjadi anggota PKI dan berafiliasi pada ormas PKI seperti Barisan Tani Indonesia (BTI), Pemuda Rakyat, dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Benny bersaksi bahwa masyarakat penerima bantuan BTI (seperti jagung, beras, gula pasir, pakaian, cangkul, benang) terdesak oleh kelaparan di Pulau Timor akibat gagal tanam dan gagal panen.
Mereka tidak peduli dengan ideologi di balik pemberian bantuan itu. Bantuan seperti itu pun diberikan oleh Gereja Masehi Indonesia Timur.
Tetapi pada saat itu, semua orang percaya bahwa PKI-lah yang membunuh para jendral di Lubang Buaya. Tidak ada orang yang berani mempertanyakan kebenaran keyakinan itu. Benny bersaksi bahwa pembunuhan itu perintah Soeharto. ‘Soeharto menyuruh kami membunuh orang-orang PKI itu. Pak Kapolres memerintahkannya pada kami. Saat itu tak ada orang yang berani mempertanyakan keyakinan itu. Bahkan mengucapkan kata kasihan kepada korban dianggap bersimpati pada PKI dan bisa ikut dibunuh’ (hlm. 34).

Masyarakat diyakinkan bahwa PKI adalah partai yang berbahaya karena (1) mengkampanyekan land-reform yang melawan tuan-tuan tanah; (2) mereka telah menggali lubang dan berencana membunuh polisi, tentara, dan bupati; dan (3) mereka adalah kaum ateis yang tidak mengenal Tuhan, karena ideologi mereka komunis. Benny tidak percaya pada isu tersebut karena: pertama,  bagaimana mungkin PKI akan menyerang mereka karena mereka tidak punya senjata sama sekali; dan kedua, orang-orang yang dibunuh itu sangat khusuk berdoa.

Dengan jelas, Benny merekonstruksi pola pembantaian terhadap orang-orang PKI yang mereka lakukan sebagai berikut. (1) Orang-orang yang dicurigai sebagai anggota PKI dijemput dari rumah mereka dan ditahan; (2) Tentara (sebanyak 30 orang, kebanyakan suku Jawa, datang dari Kupang) menentukan giliran siapa yang dibunuh terlebih dahulu; (3) Para tahanan diperintahkan menggali lubang pemakaman mereka sendiri di siang hari; (4) Sebelum dibawa ke tempat eksekusi, para tahanan disiksa hingga babak belur, tangan mereka diikat dan disuruh naik truk; (5)
Sebelum tiba di tempat eksekusi, mata mereka ditutup; (6) Tiba di lokasi eksekusi, mereka disuruh menghadap regu tembak membelakangi lubang; (7) Orang-orang PKI diberondong peluru. Jika setelah ditembak masih belum mati, mereka ditusuk dengan sangkur dan didorong masuk ke dalam lubang; (8) Lubang ditutup dan regu penembak meninggalkan tempat itu (hlm. 35-36).

Selama dua tahun, 1966-1967, Benny mengaku telah membunuh 17 orang PKI. Hal itu hampir membuatnya gila (mei nawa, pusing darah). Seorang temannya, Baltazar, dari Flores benar-benar menjadi gila dan berhenti dari dinas kepolisian.

Kisah selanjutnya adalah menyeruaknya rasa bersalah, pertobatan, dan pemulihan batin Benny. Tiga tahun setelah menikah, mereka tak dikaruniai anak. Pada saat yang sama, perilaku Benny menjadi sangat temperamental, rasa bersalah karena telah membantai manusia layaknya membantai binatang selalu menghantuinya. Atas saran beberapa orang, Benny menjalankan ritus penyembuhan adat dan agama. Ketika pada tahun ketiga lahir putri sulung mereka,Maria, Benny percaya bahwa Tuhan telah mengampuni dosa-dosanya.

Sebuah fenomena lain yang muncul, yang barangkali akan menemukan momentumnya adalah dendam dan pembalasan dari pihak korban. Dalam kisah Benny, seorang anggota keluarga korban mendatangi rumah Benny dan menudingnya sebagai pembunuh anggota keluarganya. Hal yang menarik dari kisah ini adalah visi dan semangat anak-anak Benny (seluruhnya berjumlah tujuh orang), yang berusaha untuk mengenal dan berdamai dengan keluarga korban: para istri dan anak-anak orang PKI yang ditinggalkan. Mereka bahkan merekam cerita-cerita keluarga korban ini tentang penderitaan dan kekuatan mereka dalam bertahan hidup, sebagai bagian dari upaya untuk penyembuhan luka batin dan trauma kolektif.

Beberapa Skenario Soeharto yang Terbantahkan

Sejak berakhirnya rezim totaliter Orde Baru di tahun 1998, kisah-kisah mengerikan yang dialami korban Tragedi 1965 mulai dipublikasikan.
Beberapa di antaranya adalah: Menembus Tirai Asap: Kesaksian Tahanan Politik 1965 karya Haryo Sasongko (2003); Kesaksian Tapol Orde Baru: Guru, Seniman, dan Prajurit Tjakra karya Suyatno Prayitno (2003); Tahun yang Tak Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65, Esai-esai Sejarah Lisan karya John Rossa, Ayu Ratih, dan Hilmar Farid (2004); Memoar Pulau Buru karya Hersri Setiawan (2004); Diburu di Pulau Buru karya Hersri Setiawan (2004);  Di-PKI-kan: Tragedi 1965 dan Kaum Nasrani di Indonesia Timur karya R.A.F Webb dan Steven Farram (2005), Dari Kalong sampai Pulau Buru karya Adrianus Gumelar Demokrasno (2006); Kidung pada Korban: Dari Tutur Sepuluh Narasumber Eks-Tapol karya Hersri Setiawan (2006); Menyeberangi Sungai Air Mata: Kisah Tragis Tapol ’65 dan Upaya Rekonsiliasi karya Antonius Sumarwan (2007); dan Memecah Pembisuan: Tuturan Penyintas Tragedi ’65-66 karya Putu Oka Sukanta (2011). Daftar ini agaknya masih akan terus bertambah.[4]

Membaca dan mempelajari buku-buku kesaksian tersebut, tampak jelas bahwa skenario, grand design atau big picture yang dibuat di Jakarta oleh rezim Orde Baru mengenai G30S, seperti yang terungkap dalam Buku Putih Sekretariat Negara RI (1994), Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya (Jakarta: PT Dana Bhakti Wakaf), tidak terbukti.

Disebutkan  bahwa Gerakan 30 September merupakan sebuah gerakan massal. Gerakan itu tidak hanya dilakukan di Jakarta (Lubang Buaya), melainkan secara serempak direncanakan, diketahui, dan dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia. Dalam Bab IV ‘Persiapan Perebutan Kekuasaan/Pemberontakan Partai Komunis Indonesia Melalui Gerakan 30 September,’ dijelaskan persiapan ‘perebutan kekuasaan’ yang dilaksanakan di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, DIY, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Riau, Bali, dan NTT. Dalam Bab V ‘Pelaksanaan Aksi Perebutan Kekuasaan/Pemberontakan Partai Komunis Indonesia Melalui Gerakan 30 September,’ diungkap pelaksanaan G30S di berbagai wilayah di Indonesia (seperti disebutkan di atas, ditambah daerah Kalimantan Selatan dan daerah-daerah lain).

Sudah banyak sekali kesaksian yang telah beredar dan membuktikan bahwa gambaran-gambaran tersebut tidak benar serta sangat tidak beralasan. Perhatikan beberapa kesaksian berikut ini.
(1)  Tentang dokumen PKI dan senjata yang sudah disebar ke daerah-daerah

Asman Yodjodolo (ketua Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia Sulawesi Tengah, yang memiliki sekitar 60.000 anggota): mengaku dipaksa menandatangani secarik pengakuan ‘buatan’ yang menyatakan bahwa ia menerima beberapa senjata untuk dipergunakan sewaktu-waktu. Jika menolak mengakuinya, dia akan menerima siksaan bertubi-tubi.[5]
Lambatu Bin Lanasi (Buton, Sulawesi Tenggara): selalu ditanyakan tentang dokumen G30S PKI yang konon sudah tersebar ke Buton. Dituduhkan juga bahwa ada sebuah Kapal TNI AL yang singgah dan menurunkan 500 pucuk senjata untuk melakukan kudeta di kawasan Buton. Lambatu dan tahanan-tahanan lainnya membantah dengan keras bahwa dia mengetahui dokumen dan senjata-senjata itu. Akibatnya sangat jelas: mereka mengalami siksaan di luar peri kemanusiaan yang adil dan beradab (hlm. 71-72).

Wardik (Medan): ditahan, disiksa, dan dipaksa untuk mengaku bahwa dia menyembunyikan senjata PKI dalam jumlah banyak. Bukan hanya Wardik yang disiksa tetapi juga kakak perempuannya. Ayah Wardik bahkan dibunuh tanpa alasan yang jelas (hlm. 294-296).

(2)  Tentang lubang-lubang yang sudah disiapkan di daerah
PKI di daerah-daerah disebutkan telah menggali lubang dan berencana membunuh polisi, tentara, dan bupati. Benny, pensiunan polisi yang menjadi salah satu algojo dalam pembantaian PKI di SoE, NTT, tidak melihat kemungkinan itu karena dia tahu bahwa PKI tidak memiliki senjata (hlm. 33). Adapun Lambatu Bin Lanasi (Buton, Sulawesi Tenggara) membantah tuduhan bahwa pengurus PKI telah menyiapkan lubang-lubang untuk mengubur para korbannya (hlm. 71).

Penutup

Dalam delapan tahun, BtS Israel telah mempublikasikan ratusan testimoni mengenai perlakuan di luar perikemanusiaan tentara Israel terhadap warga Palestina. Dalam 47 tahun pasca-Tragedi 65, testimoni korban Tragedi 1965 belum mencapai ratusan. Buku ini menyumbang 15 buah testimoni para penyintas yang tinggal di Medan, Palu, Kendari, Yogyakarta, Jakarta, Bali, Kupang, dan Pulau Sabu. Semakin banyak kesaksian yang membuktikan bahwa pembantaian pasca-Tragedi 1965 tidak hanya terjadi di Jawa dan Bali saja, melainkan hampir merata di seluruh pelosok tanah air, termasuk daerah pelosok yang sangat terisolasi.

Mengingat Tragedi 1965 merupakan salah satu Tragedi terdahsyat di dunia pada abad ke-20, kita membutuhkan lebih banyak lagi testimoni untuk menghalau lupa yang terlalu mudah menyerang bangsa kita. Tragedi 1965 tidak boleh dilupakan. Ia perlu terus direnungkan agar kita senantiasa mendapat pelajaran darinya untuk tidak mengulanginya lagi di masa depan.

Salah satu model publikasi yang belum banyak dilakukan di Indonesia adalah menuliskan berbagai macam kesaksian tentang berbagai tragedi yang terjadi dalam bentuk cerita anak-anak dengan ilustrasi yang menarik untuk dikonsumsi anak-anak. Berbagai contoh penerbitan seperti ini mudah kita temukan. Untuk tragedi Holocaust, terdapat buku anak-anak seperti: The Underground Reporter: Kisah Nyata (Kathy Kacer), Hanna’s Suitcase (Karen Levine). Dalam tragedi Pol Pot Khmer Merah, buku-buku seperti First They Killed My Father: A Daughter of Cambodia Remembers (Luong Ung), When Broken Glass Floats: Growing Up Under the Khmer Rouge (Chanrithy Him), dan Stay Alive My Son (Pin Yathay), yang benar-benar ditujukan untuk dikonsumsi anak-anak.

Kisah-kisah nyata yang dialami anak-anak pada zamannya dapat dituturkan secara mengagumkan sekaligus mengharukan. Dengan demikian, anak-anak sekarang dapat mengetahui perjuangan anak-anak dan pemuda Indonesia dalam masa-masa gelap (dark past). Dengan memahami berbagai tragedi bangsa yang besar, yang membawa korban ribuan nyawa dan harta benda, anak-anak sekarang dapat tumbuh dengan sense of history dan membangun kesadaran serta penghormatan akan hak-hak dasarnya sebagai manusia.
——————————————
Catatan Redaksi:
Review ini sebelumnya merupakan makalah yang dibacakan dalam acara Peluncuran Buku Memecah Pembisuan: Tuturan Penyintas Tragedi ’65-66, (Putu Oka Sukanta, Ed, 2011 Jakarta: Lembaga Kreativitas Kemanusiaan), tanggal 29 Januari 2012.
Penulis saat ini tengah melakukan studi tentang ‘Representasi Tragedi 1965: Sebuah Kajian New Historicism atas Teks-teks Sastra Tahun 1966-1998.’ Dapat dihubungi di email: khmer_rouge2000@yahoo.com).

[1] Eksekutif Direktor BtS adalah Yehuda Shaul dan Direkturnya adalah Mikhael Manekin. BtS muncul tahun 2004, diawali dengan pameran foto tiga personel tentara (Avichai Sharon, Yehuda Shaul, dan Noam Chayut) yang pernah bertugas di Hebron. Ketiga personel ini berkeinginan untuk membuka mata orang Israel tentang apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Pameran ini menarik minat banyak orang untuk bergabung dan terbentuklah LSM BtS. (lihat Breaking the Silence: Woman’s Soldiers’ Testimonies, Booklet, Printed in Jerusalem, 2009. Breaking the Silence: Soldiers’ Testimonies from Hebron 2008-2010. Booklet. Printed in Jerusalem, 2011. (Breaking the Silence: Soldiers’ Testimonies from Operation Cast Lead, Gaza 2009. Booklet. Printed in Jerusalem, 2010). Buku-buku ini tersedia secara online di: http://www.breakingthesilence.org.il.
[2] Saya tidak percaya pepatah yang menyebut “homo homini lupus” (manusia cenderung menjadi serigala yang memangsa manusia lainnya). Istilah itu hanya benar pada level hasrat kekuasaan tetapi bukan pada naluri purba insani.
[3] Lihat cerpen Di Titik Kulminasi karya Satyagraha Hoerip, Perempuan dan Anak-anaknya karya Gerson Poyk, Ancaman karya Ugati. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk oleh Ahmad Tohari juga memperlihatkan simpati dan tindakan tokoh Rasus yang menyelamatkan Srintil. Dalam permenungannya tentang fungsi dan peranan tentara, Rasus memutuskan untuk ‘keluar’ dari dinas ketentaraan karena tentara Indonesia di tahun 1960-an tidaklah seperti yang diidealkan masyarakat Jawa: serupa Gatot Kaca.
[4] Selain itu, telah hadir pula kesaksian-kesaksian dalam bentuk VCD.
[5] Asman memberi kesaksian bahwa tahun 1965, PKI di Sulawesi Tengah sangat maju karena pimpinannya hebat, serba bisa.

Dipetik dari indoprogres.com

Sumber: SKP-HAM 

Senin, 19 November 2012

Kami Bukan PKI

19/11/2012


“Saya bukan PKI! Kami hanyalah korban tragedi 1965- 1966 yang menyisakan penderitaan dan trauma berkepanjangan bagi kami dan orang terdekat kami. Kami dipaksa menerima stigma buruk yang disematkan oleh pemerintah yang berkuasa saat itu.”
Itulah sepotong komentar Rafin Pariuwa (74) ketika menerima Mercusuar di kediamannya di Kelurahan Kayumalue Pajeko, Palu Utara, Kamis (15/11) pekan lalu. Dialah saksi sekaligus korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang masih hidup karena dituduh sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan raut wajah sedih, Rafin menceritakan masa kelamnya di tahun-tahun penyiksaan itu.
Rafin muda adalah Pimpinan Pemuda Raya Kecamatan Tawaeli. Ketika ditangkap pada tahun 1965, usianya baru 27 tahun dan bekerja sebagai Guru di SDN Negeri Bale Tawaili. 
“Saya ditahan karena sebagai Pimpinan Pemuda Raya di sini (Tawaeli). Pokoknya disapu rata, biar bukan orang PKI. Saya punya orang tua biar bukan PKI tetapi juga ditahan, malah bapak saya ikut wajib lapor di Palu lagi bukan Koramil (Tawaeli) selama sebelas bulan,” cerita Rafin.
Ia masih ingat pertama kali ditangkap pada 12 November 1965 hingga baru bisa mengirup udara bebas 5 Desember 1979. Selama 14 tahun mendekam sebagai tahanan politik (Tapol), tidak sedikit penderitaan yang diperoleh, mulai dari penyiksaan fisik hingga harus menahan malu akibat ditelanjangi karena dipaksa mengakui kesalahan yang tidak satupun diperbuat. 
“Waktu diperiksa, saya disiksa karena saya tidak mau mengaku. Saya ditelanjangi dan juga disetrum. Sebab kita tidak tahu persolan yang di Jakarta yakni gerakan 30 September 1965,” tutur Rafin.
Pada tahun 1966 atau setahun masa penahanan, para Tapol setiap hari dibawa keluar untuk melakukan kerja paksa dari pagi hingga malam. Rafin dan ratusan rekannya hanya diberi makan sekali sehari tanpa dibayar. Kerja paksa pertama yang ia rasakan adalah pembendungan Sungai Palu di Kalikoa untuk pembuatan tanggul sejak 1966 hingga 1967.
Saat peristiwa itu, pemerintahan di Sulteng masih berumur belia dan dipimpin oleh Gubernur pertama, Anwar Dato Madjo Basa Nan Kuning. Sebanyak 650 kasus kekerasan dialami laki-laki dan 143 kasus dialami perempuan, dengan jumlah keseluruhan sebanyak 1.210 orang Tapol.
Rafin mengingat, pada peristiwa kelam 14 tahun itu, satu orang Tapol hilang/hanyut, banyak yang jatuh sakit akibat kelelahan fisik dan tak tahan dengan penyiksaan.
Senada diceritakan Asman Yojodolo (69). Pada tahun 1965, ia menjabat sebagai pimpinan Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI). Ia kemudian dijebloskan karena IPPI waktu itu dicap sebagai organisasi PKI. “Saya ditangkap padahal saya sudah jelaskan organisasi saya ini organisasi pelajar bukan PKI, namun kekuasaan waktu itu kekuasaan militer yang otoriter. Mereka tidak punya bukti namun memaksakan tanpa alasan yang tidak jelas juga,” ujarnya.
“Penyiksaan demi penyiksaan kami alami, tenaga kami diperas secara gratis, bahkan bila telat sedikit saja kita harus disuruh berendam di sungai pada waktu tengah hari dalam keadaan telanjang,” cerita Asman
Para korban pelanggaran HAM ini mengungkapkan keinginan mereka kepada pemerintah. Minimal nama baik mereka di masyarakat dipulihkan, karena stigma terlanjur telah disematkan pemerintah Orde Baru yang membatasi hak-hak hidup mereka sebagai warga Negara. Walaupun telah bebas dari penjara, mereka tetap diwajibkan melapor. Bahkan di KTP dibubuhi tanda ET atau eks Tapol. Akibatnya, keluarga mereka tidak mendapat hak untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun militer. Yang lebih menyakitkan adalah dikucilkan dalam pergaulan di masyarakat.
Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Sulteng mencatat ada 173 laki-laki korban pelanggaran HAM korban kerja paksa 1967-1978. 71 orang di antaranya sudah meninggal dunia. Mereka diperkerjakan di Jalan Palu-Parigi, Palu-Kulawi, membendung Sungai Palu, di rumah-rumah pribadi penguasa militer saat itu, dipekerjakan di sawah sebagai pengganti kerbau, kerja pengaspalan di Kalukubula membangun gedung-gedung pemerintah seperti kantor camat, dan kantor gubernur.
Sementara itu, korban perempuan yang tercatat 57 orang, 25 orang di antaranya meninggal dunia. Para korban perempuan juga mengalami pekerjaan berat. Setelah apel mereka kemudian dipekerjakan tanpa diberi makan. Antara lain di kantor Camat Tavaili atau di rumah pejabat.
***
Laporan : ANDI BESSE FATIMAH
Sumber berita: HarianMerusuar.com
Sumber: SKP-HAM