HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Jumat, 17 Februari 2012

Zaman Re-Ra


Februari 17, 2012 | Ditulis oleh KOPRAL CEPOT


Konflik antara diplomasi dan perjuangan merupakan corak dominan yang mewarnai sejarah Indonesia di masa revolusi. Konflik antara diplomasi dan perjuangan ini tampil pertama kali dalam masalah apakah Indonesia, yang baru merdeka, perlu segera memiliki tentara atau tidak. Pimpinan negara, Soekarno-Hatta, berpendapat dengan segera membentuk tentara, Indonesia hanya akan memprovokasi Jepang, yang masih bersenjata lengkap, meski telah menyerah, dan tentara Sekutu yang segera mendarat. Sebaliknya, para pemuda.

Atas inisiatif sendiri, pemuda-pemuda di berbagai kota bergerak merampas senjata dari Jepang, dan kemudian mengatur diri dalam barisan-barisan ketentaraan. Di kemudian hari, Soekarno, dalam memoarnya mengakui tentara Indonesia tidak diciptakan oleh pemerintah melainkan lahir sendiri secara spontan.

“aneh negara zonder tentara” Ucapan itu datang dari  seorang pensiunan KNIL berpangkat Mayor, Oerip Sumohardjo, mewakili seluruh golongan militer Indonesia yang telah mendapat pendidikan kemiliteran Jepang maupun semasa kolonial Belanda.

Pemikiran para tokoh militer Indonesia itu sejalan dengan pemikiran ahli militer berkebangsaan Italia Niccolo Machiavelli (1469-1527 M) tentang pentingnya keberadaan organisasi kemiliteran dalam satu negara.  Machiavelli mengatakan bahwa. ”...Dasar suatu negara adalah organisasi militer yang baik…”.

Tentara yang menciptakan dirinya inilah yang memilih Soedirman menjadi panglima besar pada 12 November 1945. Pemerintah, di bawah pimpinan Perdana Menteri Sutan Syahrir, yang merasa wewenangnya dilanggar tentara, memerlukan waktu sebulan sebelum akhirnya mengakui Soedirman sebagai panglima besar. Pengakuan dan pelantikan Soedirman menjadi panglima besar adalah monumen pertama dari perjalanan konflik antara diplomasi dan ambisi Belanda untuk menjajah kembali Indonesia.
Hubungan yang kurang serasi itu menjadi makin mencolok tatkala Soedirman, sebagai “Bapak Tentara”, lebih berperan sebagai bapak dari “anak-anak”-nya tinimbang menjadi pejabat pemerintah di bidang pertahanan.
Keadaan seperti ini jelas tidak membahagiakan bagi pemerintah. Sebab, bagaimanakah bisa menjalankan pemerintahan dalam keadaan perang jika tentara mempunyai kebijaksanaannya sendiri? Ini bukannya tidak disadari oleh Sudirman.
Soalnya ialah pertikaian yang hebat antara golongan oposisi dan pihak pemerintah, pada saat negara terancam bahaya pemusnahan oleh tentara Kerajaan Belanda, dianggap tidak beres oleh Sudirman. Maka, Sudirman pun melihat anak-anaknya sebagai lebih mewakili perjuangan.

Usaha menjadikan tentara sepenuhnya alat negara, yang hanya bergerak atas perintah pemerintah, tidak pernah berhasil. Kegagalan ini paling sedikit disebabkan oleh dua hal. Pertama, tentara tidak mudah begitu saja menghapuskan otonomi mereka. Sikap itu bisa dimengerti, karena pada masa revolusi percekcokan terus terjadi antara pemerintah dan partai-partai oposisi. Percekcokan ini menyebabkan lemahnya pemerintah. Lemahnya pemerintah inilah penyebab kedua, yang menyebabkan tentara tidak pernah dapat dijadikan sebagai alat negara semata.

Adalah otonomi politik tentara ini yang diartikulasikan Panglima Besar Soedirman lewat angkah laku politiknya, yang cenderung amat independen terhadap pemerintah. Hanya dengan mengerti tingkah laku politik Panglima Besar itulah kita bisa dengan gampang mengerti sikap tentara yang memutuskan untuk bergerilya, tatkala pimpinan politik memutuskan menyerah kepada Belanda.

Kontras antara Soedirman (yang bergerilya) dan Soekarno (yang menaikkan bendera putih di Gedung Agung) merupakan monumen kedua dari konflik diplomasi lawan perjuangan. Hanya saja, monumen kedua ini amat fatal akibatnya. Ia telah menyebabkan goyahnya kepercayaan tentara kepada kepemimpinan sipil. Menyerah kepada musuh adalah haram bagi tentara, yang telah bersumpah untuk tidak kenal menyerah. Antara lain, karena takut melanggar sumpah itulah Soedirman menolak bujukan Soekarno agar beristirahat saja di dalam kota ketika pesawat tempur Belanda menghujani Yogyakarta dengan bom. Perang gerilya itu berlangsung sekitar setengah tahun. Dan, seperti diduga para pemimpin sipil, diplomasi — terutama berkat tekanan Washington — juga yang menyebabkan Belanda menarik pasukannya dari wilayah Republik.

Mungkinkah Belanda menyerah pada tekanan diplomasi, Jika merasa sanggup menghancurkan Republik secara fisik? Pertanyaan yang sama juga bisa dikemukakan terhadap kesediaan Belanda menyerahkan Irian Barat (kini Irian Jaya) dulu. Tidakkah Belanda menyerahkan Irian Barat setelah Washington — yang kemudian mendesak Den Haag — yakin Komando Mandala di bawah pimpinan Mayor Jenderal (kini Presiden) Soeharto betul-betul siap dan sanggup menyerbu Irian Barat? Soalnya bukan siapa yang benar: pihak diplomasi atau pihak perjuangan. Yang jadi masalah, sebagai akibat perbedaan reaksi terhadap serangan Belanda atas Yogyakarta pada 19 Desember 1948, adalah berkembangnya persepsi kurang percaya di kalangan tentara pada kepemimpinan sipil.

Reorganisasi-Rasionalisasi (Re-Ra)


Awal mula proses reorganisasi dan rasionalisasi (rera),  mula-mula dilancarkan oleh pemerintahan Kabinet Amir Syarifuddin, 1947. Ihwal rera ini memang tidaklah sederhana. Secara singkat, ia muncul akibat keterlambatan pemerintah membentuk tentara. Sebab, sebelum reorganisasi dan rasionalisasi itu para pemuda pejuang yang berhasil merampas senjata dari Jepang telah duluan membentuk barisan-barisan bersenjata sendiri. Maka, ketika pemerintah pada akhirnya membentuk badan ketentaraan, otonomi tentara sudah telanjur lahir.

Tapi rera yang dirintis Kabinet Amir Syarifuddin lewat Perjanjian Renville itu tidak berumur panjang. Mengapa? Selain mendapat tantangan dari kebanyakan anggota tentara, juga serangan Belanda 19 Desember 1948 memaksa semua kekuatan bersenjata Indonesia bersatu kembali dalam perang gerilya di bawah pimpinan Jenderal Sudirman.

Reorganisasi dan rasionalisasi tidak bisa disebut melulu akal pemerintah untuk mengontrol tentara dan sekaligus menyingkirkan Sudirman – sebagai lambang otonomi tentara. Sebab, pada saat golongan politik (pemerintah) bekerja keras mencari jalan untuk mengontrol tentara, sejumlah perwira muda didikan Belanda di kalangan tentara sendiri mendambakan suatu militer yang modern dan teratur rapi. Di mata mereka hanya tentara yang demikianlah yang sanggup melawan kekuatan Belanda yang modern dan bersenjata lengkap.

Termasuk golongan modern ini adalah tokoh-tokoh seperti Letjen (pur) Djatikusumo, Jenderal (pur) A.H. Nasution, Letjen (pur) Dr. T.B. Simatupang, dan  Marsekal (pur) S. Suryadarma.
Kabinet Amir Syarifuddin, yang kemudian jatuh karena Perjanjian Renville, digantikan Kabinet Mohammad Hatta, 23 Januari 1948. Program rera diambil alih oleh Hatta.

Pada tahun 1948, Hatta yang kala itu menjabat sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia mengajukan usul untuk mengadakan Reorganisasi dan Rasionalisasi serta membangun kembali angkatan bersenjata dan seluruh aparat negara. Sundhaussen (1988: 63-64) menjelaskan maksud dari usulan kebijakan Hatta tersebut, yakni:

Tujuan dasar kebijakan tersebut adalah untuk menciutkan jumlah personil angkatan bersenjata, meningkatkan efesiensinya, dan menempatkannya kembali di bawah pimpinan pemerintah. Tujuan yang disebut paling akhir itu sangat penting, karena kesatuan-kesatuan tempur saat itu mulai menguasai daerah-daerah kantong atau daerah-daerah front mereka secara mandiri dengan menempuh kebijaksanaan mereka masing-masing.

Hatta beralasan, kocek negara yang mepet dan wilayah Indonesia yang kian menciut akibat Perjanjian Renville menjadi pertimbangan Re-Ra. Hatta, seperti dikutip dalam otobiografinya, merujuk setidaknya ada 350 ribu tentara plus 400 ribu anggota laskar yang kudu diciutkan menjadi 160 ribu hingga 57 ribu prajurit reguler.

Menurut Himawan Soetanto dalam bukunya, Madiun, dari Republik ke Republik, Program Re-Ra justru bermasalah saat diberlakukan di lapangan. Misalnya friksi akibat audit personel sesuai dengan kepangkatan dan tingkat pendidikan antara perwira eks Peta dan eks KNIL. Eks Peta, misalnya, turun sampai dua tingkat (dari letnan satu menjadi pembantu letnan satu). Adapun perwira eks KNIL naik pangkat dua tingkat.

Menurut Himawan, sebenarnya ada faktor lain yang mendorong penolakan perwira daerah terhadap Re-Ra, yakni sentimen atas perlakuan istimewa Hatta terhadap kesatuan Siliwangi-setelah pasukan Siliwangi terpaksa hijrah ke Surakarta, pasca-Renville, dan Hatta kemudian mempromosikan eks Panglima Siliwangi Kolonel A.H. Nasution sebagai wakil Panglima Sudirman. Sosok Nasution dianggap menjadi ancaman terhadap wibawa Sudirman sebagai panutan mereka.

Istana di Kepung Tentara

Cerita bermula dari ketidakpuasan akibat reorganisasi dan rasionalisasi. 
“Pada masa Kabinet Wilopo itu, ada niat pimpinan TNI menjadikan tentara Indonesia sebagai tentara profesional,” kata T.B. Simatupang.
“Jadi, mengubah kebiasaan dalam perang gerilya.”
Program itu berkaitan dengan rencana pengurangan anggaran belanja militer dari Rp 2,625 milyar pada 1952, menjadi Rp 1,9 milyar pada 1953. Akibatnya, 40 ribu tentara dipensiunkan, 40 ribu lagi diberhentikan dengan alasan tidak memenuhi persyaratan. Artinya, sekitar 40 persen kekuatan TNI yang kala itu berjumlah 200 ribu.

Untuk memacu profesionalisme, pihak TNI memakai jasa Milisi Militer Belanda (MMB). Mengapa? Ada dua alasan. Pertama soal bahasa. “Bukankah masih banyak perwira militer Belanda yang menguasai, atau setidaknya mengerti, bahasa Indonesia. Sementara itu, di kalangan TNI sendiri masih banyak yang fasih berbahasa Belanda,” kata Simatupang. Kedua, MMB itu bisa dipastikan meninggalkan Indonesia setelah tugasnya selesai.
“Sedangkan jika kita memakai jasa negara lain, belum tentu.”
Dampak lain dari program ini adalah dihapuskannya Akademi Tjandradimuka, Bandung, oleh KSAD Kol. A.H. Nasution. Salah seorang pengajarnya adalah Bung Karno, yang menjadi dosen Pancasila. Akademi ini kemudian diganti menjadi Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat.

Pimpinan Akademi Tjandradimuka itu, Kolonel Bambang Supeno, tergolong yang tidak setuju dengan semua program itu. Tokoh tua Peta, yang pernah bertugas di bidang intel di Jawa Timur, itu lantas mengontak beberapa panglima, untuk mengganti pimpinan Angkatan Darat. Kecuali itu, ia berkali-kali pergi ke Istana melapor langsung kepada Presiden tanpa menghiraukan hierarki KSAD-Menhan.

Dalam rapat 12 Juli 1952, yang dipimpin Kolonel Gatot Subroto, benar tidaknya hal itu ditanyakan langsung pada Kolonel Bambang Supeno. Dalam rapat di rumah KSAP Simatupang itu, Kolonel Bambang Supeno telah “diserang” karena bertindak indisipliner. Supeno, sebaliknya, merasa telah diperlakukan tidak wajar dengan adanya rapat itu. Supeno sendiri, sehari setelah rapat itu (13 Juli), menulis surat kepada pemerintah, Presiden, Ikatan Perwira Republik Indonesia (IPRI), parlemen, dan semua pejabat teras AD. Dalam surat itu, ia menyerang secara terbuka berbagai kebijaksanaan, termasuk dalam hal pendidikan dan Misi Militer Belanda.

Ringkasnya, “Tidak menaruh kepercayaan lagi kepada pimpinan Angkatan Perang, khususnya Angkatan Darat, mengenai kebijaksanaan pimpinan Angkatan Darat dalam rangka pertahanan negara”.

Sejak itu konflik di dalam TNI-AD meruncing.
 “Tampillah polarisasi yang tajam sekali,” tulis Nasution. Setelah melakukan konsultasi dengan Staf Umum AD, pada 16 Juli, KSAD A.H. Nasution menjatuhkan hukuman administratif. Dengan alasan untuk mencegah perpecahan dalam AD, Kolonel Bambang Supeno dipecat sementara. SK itu diantarkan seorang perwira, tapi Bambang Supeno mengembalikan surat itu tanpa lebih dulu membuka, apalagi membacanya. Dan perkara makin runyam karena Presiden Soekarno menolak keputusan KSAD itu.
Surat Kolonel Bambang Supeno yang ditujukan kepada parlemen, kemudian ditanggapi dengan serius oleh Seksi Pertahanan. Isi surat itu, menurut Manai Sophiaan, anggota parlemen dari PNI, menyatakan, hubungan antara AP dan Kementerian Pertahanan yang tidak serasi.
“Ada juga isu yang disampaikan Bambang Supeno bahwa pengaruh PSI sangat kuat dalam Angkatan Perang. Bambang menyarankan agar parlemen dapat berbuat sesuatu, mengganti pimpinan dan mengubah beleid kementerian itu,” tambah Manai.
 “Surat Kolonel Bambang Supeno” lantas menjadi topik yang hangat.
Inilah sidang-sidang parlemen yang selalu ramai dihadiri. Akhirnya, Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX tampil dalam sidang tertutup, 16 September 1952. Sri Sultan Hamengkubuwono IX menjelaskan bahwa beleidnya sama dengan yang telah diputuskan pimpinan TNI-AD. Menhan juga membenarkan tindakan memecat sementara Kolonel Bambang Supeno.

Tapi persoalan tak berarti mereda. Parlemen malah makin gigih mengkajinya. Persoalan “rumah tangga” militer itu malah dibicarakan dalam rapat-rapat terbuka yang berlagsung secara maraton sejak 23 September.

Zainul Baharuddin, Ketua Seksi Pertahanan di Parlemen, dengan tajam menelanjangi AP. Mulai dari kebijaksanaan reorganisasi, yang menyebabkan 100 ribu tentara gelisah. Ia juga mengecam Misi Militer Belanda. Zainul lantas mengeluarkan mosi,
“Yang didukung oleh Sakirman,” kata Manai.
Ir. Sakirman (PKI), mempercayai risalah anonim, yang menyebutkan bahwa beleid politik Kementerian Pertahanan dipandang kurang adil, karena tiga tokoh, Sri Sultan, Ali Budiardjo (Sekjen Kementerian Pertahanan), serta T.B. Simatupang, bertugas memperjuangkan keputusan PSI. Soebadio Sastrosatomo, Ketua Fraksi PSI, membantah isu pengaruh PSI itu.
“Jenderal Mayor Simatupang bukan anggota PSI,” katanya.
Pada TEMPO, Soebadio mengakui pembelian kapal Tasikmalaja, yang dikabarkan rusak itu, memang diserahkan oleh Kementerian Pertahanan pada orang-orang PSI. Yang terang, mosi Zainul Baharuddin ditujukan pada Menhan.
“Jadi, otomatis bisa menyebabkan kabinet jatuh,” kata Manai pada Musthafa Helmy dari TEMPO.
Lalu, IJ. Kasimo dan M. Natsir memelopori mosi tandingan.
“Isinya mendesak pemerintah untuk mempercepat Misi Militer Belanda, dan Presiden membentuk suatu panitia yang menampung semua persoalan,” kata Manan. Tapi mosi Zainul Baharuddin yang keras itu berdampak luas. Manai, yang kala itu berusia 37, seorang pengurus DPP PNI (partai yang berkuasa di kabinet kala itu), lantas juga mengeluarkan mosi tandingan. 
“Mosi saya lebih menekankan reorganisasi dan mutasi segera di kalangan AP,” ujar Manai. 
Ketiga mosi itu lalu dibahas dalam rapat 16 Oktober. Hasilnya: mosi Manai Sophiaan mendapat 91 suara lawan 54 suara, mengalahkan mosi lainnya. Tapi kelakuan parlemen itu, meminjam Kolonel Djatikusumo, telah memasangkan jemuran “cucian kotor” di depan umum.
“Bagi kolonel muda, yang usianya awal 30-an, sungguh berat menelan insinuasi dan tuduhan-tuduhan itu,” tulis Nasution. “Kami harus berbuat sesuatu demi membela kehormatan.” Maka, esoknya terjadilah Peristiwa 17 Oktober.
Pada masa Kabinet Wilopo inilah terjadi peristiwa 17 Oktober 1952. Sejumlah besar perwira ABRI dengan dukungan 3.000-an massa berdemonstrasi ke Istana Merdeka, menuntut agar Bung Karno membubarkan parlemen dan mengadakan pemilu untuk memilih parlemen baru. Inilah demonstrasi yang dilakukan tentara, dengan menghadapkan meriam ke Istana. Peristiwa itu,
 “Merupakan titik tolak hilangnya kepercayaan TNI terhadap kejujuran politisi sipil,” kata T.B. Simatupang, Kepala Staf Angkatan Perang kala itu.
“Sejak saat itulah TNI terlibat politik praktis secara terbuka,” ujar A.H. Nasution, Kepala Staf Angkatan Darat waktu itu.
Aksi TNI-AD itu memang tak tanggung-tanggung.
“Sebagai komandan brigade, saya diminta Pak Nas mengorganisasikan pasukan untuk menguasai Kota Jakarta,” kata Letjen (pur) Kemal Idris.
 Berpangkat mayor, berumur 29 tahun, Kemal kemudian mengerahkan 5 batalyon infanteri, satu batalyon kavaleri, dan satu batalyon artileri udara. Bersama dengan Komandan Militer Kota Besar (setingkat Komandan Garnizun), Overste Kosasih, 
“Kami merencanakan supaya gerakan ini seolah-olah gerakan massa rakyat,” tambahnya.
Gerakan dimulai pukul 4 subuh. Dua jam kemudian, tempat-tempat strategis, seperti RRI, Gedung DPRS-MPRS, dan berbagai stasiun kereta api di Jakarta, sudah diduduki pasukan. Pada pukul 8 pagi, rakyat mulai turun ke jalan membawa slogan-slogan. 
 “Untuk melindungi Istana, saya taruh di situ meriam dengan moncong ke arah Istana. Tapi, dengan sudut elevasi yang, kalau ditembakkan betul, tidak akan mengenainya", tutur Kemal.
Pada pukul 10 30, seperti ditulis Jenderal (pur) A.H. Nasution dalam riwayatnya Memenuhi Pangglan Tugas, tibalah rombongan pejabat teras TNI-AD di Istana Rombongan terdiri dari 15 orang, antara lain Kolonel Simbolon, Kolonel A.E. Kawilarang, Letnan Kolonel Kosasih, Letnan Kolonel S. Parman, yang dipimpin KSAD Kolonel A.H. Nasution.

Dalam kesempatan inilah, para pimpinan AD itu menyampaikan pernyataan tertulis pada Presiden Soekarno. Intinya: Mendesak Kepala Negara untuk membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat Sementara, dan membentuk DPR.

Referensi :
Sundhaussen, U. (1988). Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI. Jakarta: LP3ES.

Suksesi 1966-1967

Friday, February 17, 2012



Siapa tidak sangsi kalau Suksesi Soekarno kepada Soeharto berjalan seperti itu. Bukankah Soekarno yang melantik Soeharto sebagai Menpangad menggantikan Akhmad Yani. Lalu Soekarno yang menerbitkan Supersemar yang diserahkan dan diemban Soeharto untuk dilaksanakan. Itu cerita awal peralihan kekuasaan sampai terbentuknya Presidium Kabinet Ampera I dimana Soekarno tetap Presiden dan Soeharto adalah ketua Presidium. Semua mengalir sampai Sidang Umum MPRS ke IV Juni 1966. Supersemar, secarik kertas perintah eksekutif soal pengamanan berubah fungsinya menjadi Tap MPRS no IX 1966 . Sebenarnya tanggal 20 Februari 1967 Soekarno telah menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Soeharto. Tapi saat Sidang Istimewa MPRS Maret 1967 terbitlah Tap MPRS no XXXIII 1967 yang isinya pencabutan kekuasaan dari tangan Soekarno dan menyerahkannya ketangan Pejabat Presiden Jenderal Soeharto. Sejak itu kurang lebih Soekarno bukan apa-apa lagi dan kemudian menjadi tahanan rumah sampai hari wafatnya tanggal 21 Juni 1970. Soekarno mencintai Indonesia sampai akhir hayatnya.

Lunglai di Rawa Klambu

Friday, February 17, 2012



Foto atas, Saat Amir tiba di Yogyakarta dengan kereta api tanggal 5 Desember 1948...masyarakat tidak menyambutnya sebagai Pahlawan.
Sumber: Majalah TEMPO online 8 November 2010

RAMBUT gondrong, jenggot berjuntai tak terurus. Mukanya pucat seperti kehilangan darah. Berhari-hari di rawa dengan bekal minim membuat Amir Sjarifoeddin lunglai dan terserang disentri. Bersama rombongannya, dia sulit keluar dari rawa di hutan Klambu, Grobogan, Jawa Tengah, yang terkenal angker. Mereka dikepung tentara yang menyeru supaya Amir menyerah. Amir menjawab hanya akan berpasrah kepada Pasukan Divisi Panembahan Senopati.

Permintaan Amir dipenuhi. Pasukan Senopati menjemput. Amir berjalan terpincang. Bekas perdana menteri itu hanya memakai piyama, sarung, dan tak bersepatu. Kacamatanya masih bagus. Pipa cangklong, yang biasanya tak pernah terpisahkan dengannya, absen. Siang itu, 29 November 1948, akhir pengembaraan Amir yang diburu TNI karena peristiwa Madiun.

Amir menyerah bersama tokoh PKI Soeripno, serta empat pengawal. Kuda Amir sebelumnya sudah tertinggal, dan anjing kesayangannya, Sora (sering dipanggil Zero), ditemukan tentara pada 26 November. 
"Dalam pernyataan pertamanya, Amir mengatakan akan kembali ke Solo dan Yogya dengan menyamar sebagai pedagang," kata Harry A. Poeze, dalam bukunya, PKI Bergerak: Pemberontakan atau Peristiwa?. Dua hari sebelum Amir ditangkap, tentara melancarkan operasi pembersihan di rawa Godong, dekat Nawangan, Purwodadi, Jawa Tengah. 
Pasukan Kala Hitam, yang dipimpin Kemal Idris, menurunkan Seksi I Siradz dan Seksi III Sarmada. Ketika berpatroli, tentara menemukan beberapa orang di semak. Sewaktu dipanggil, mereka berpura-pura mati. Tentara mengancam akan menembak sehingga semua mengangkat tangan. Mereka mengaku dari desa dan menjadi tawanan PKI. Pasukan Kala Hitam tak percaya pengakuan itu, soalnya mereka memiliki pistol. Komandan Peleton Suratman, seperti ditulis Tempo pada 1976, melihat mereka putus asa, kelelahan, dan kelaparan.
Bagaimanapun, mereka seperti orang kota yang tak terbiasa berkeliaran di hutan dan rawa. "Pertempuran di hutan berawa-rawa itu sulit sekali. Pandangan terhalang oleh pepohonan," kata Suratman.
Setelah dibawa ke pos terdekat, baru diketahui bahwa orang yang mengaku penduduk desa itu pentolan Front Demokrasi Rakyat/PKI, yakni Djoko Soedjono, Maroeto Daroesman, dan Sardjono. Dalam pemeriksaan, Djoko Soedjono mengatakan Amir berada beberapa ratus meter dari tempat dia. Tujuan mereka bukan menyeberang ke daerah pendudukan Belanda, melainkan bergabung dengan pasukan PKI yang dikira masih aktif. Pengembaraan Amir dan pentolan PKI lainnya di rawa-rawa mulai dilakukan setelah Madiun direbut tentara. 

Musso, Amir, dan pucuk pimpinan yang lain buru-buru mengundurkan diri ke Dungus dan Ngebel, Ponorogo. Mereka dikawal pasukan tentara merah dan ribuan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) bersenjata lengkap berikut kaum ibu dan anak-anak. Mereka membawa berjuta ORI (Oeang Republik Indonesia), berkarung beras, mesin tulis, mobil, amunisi, kambing, ayam, bendi, kuda. 

Sebagian perbekalan itu berceceran di jalan. Dokumen tertulis saja yang tak pernah tertinggal. Mereka berjalan kaki, sebagian berkuda. Dalam buku Revolusi Agustus, Soemarsono bercerita semua perbekalan itu akan dipakai untuk persiapan setelah masuk wilayah kekuasaan Belanda. Sampai di Balong, Ponorogo, Musso berselisih dengan Amir. Surat kabar Sin Po menggambarkan konflik kedua pemimpin itu karena perebutan kekuasaan di Madiun. Sumber lain menyebutkan Musso dan Amir berbeda pendapat tentang basis penyerangan baru sesudah Madiun jatuh. Musso menghendaki ke selatan, sedangkan Amir ke utara. Muhammad Dimyati, dalam bukunya, Sedjarah Perdjuangan Indonesia, melontarkan pertanyaan yang belum terjawab. Mengapa Musso seorang diri?

Mengapa ia tak mendapat pengawalan bersenjata, padahal ada ribuan prajurit merah aktif? Dimyati menulis: "Masih mendjadi soal gelap jang tidak mudah diterangkan." Musso dikawal beberapa orang yang bertualang ke selatan dan terdampar di pegunungan sekitar Ponorogo. 

Dia tewas dalam penyergapan pada 31 Oktober 1948. Sedangkan induk pasukan Amir meneruskan perjalanan. Mereka menyusuri jalan menuju Tegalombo ke Pacitan. Pasukan Amir bertemu dan bergabung dengan pasukan Ahmad Jadau di Purwantoro. Atas saran Ahmad Jadau, mereka bergerak ke utara. Iring-iringan lebih dari 2.000 orang itu dikawal Pesindo di depan, belakang, lambung kiri dan kanan. 

Poeze mengatakan rombongan itu meliputi pengikut PKI bersenjata, kader, dan keluarga. Ada juga orang desa yang dipaksa ikut sehingga jumlahnya membengkak terus dalam setiap perjalanan. Tentara mengepung PKI di segitiga Ponorogo-Pacitan-Wonogiri, tapi sama sekali bukan pagar betis kuat. Pasukan TNI tak bisa menutup semua akses sehingga tentara merah berhasil lari ke utara. Tapi long march menggerus sebagian kekuatan PKI. Dalam pertempuran di Purwantoro, PKI kehilangan tim Abdoel Moetolib yang terpisah dari pasukan induk. Pasukan Amir sampai di Wirosari dan masih memiliki 800 personel bersenjata dan seribu anggota keluarga. Bekas Panglima Siliwangi, Himawan Soetanto, mengatakan pasukan Amir menuju ke daerah Belanda karena ada kemungkinan selamat dan terus hidup dibanding berada di daerah Republik.

Dua bulan pasukan PKI melakukan long march. Rombongan akhirnya sampai di daerah rawa di hutan Klambu, Grobogan, sekitar 50 kilometer dari Madiun. Kekuatan mereka tinggal sekitar lima ratus orang karena serangan tentara Indonesia. Dalam serangan 26-29 November di kawasan Klambu, sekitar 1.200 tentara PKI menyerahkan diri, termasuk Amir dan pemimpin lainnya yang menanti eksekusi. Gubernur Militer Madiun PKI Soemarsono selamat karena berhasil masuk ke daerah pendudukan Belanda yang digariskan dalam Perjanjian Renville.

Kabar kedatangan para tahanan dari Klambu ditunggu ribuan warga Yogyakarta. Amir, Soeripno, dan Harjono dibawa ke Yogyakarta dengan kereta api pada 5 Desember 1948. Dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, Soe Hoek Gie menulis kereta sengaja dikosongkan untuk keperluan itu. Wartawan Antara mewawancarai mereka di kereta. Amir diam sambil membaca Rome and Juliet karya William Shakespeare. Dua lainnya mengatakan pasrah sejak meninggalkan Madiun. Amir dan kawan-kawan ditahan berdasarkan aturan yang menetapkan bahwa gubernur militer berwenang menjebloskan tahanan politik atau militer ke penjara. Ada 560 tahanan yang diatur dengan tata cara dan disiplin militer di Yogyakarta. Tahanan dibagi ke dalam tiga kategori, yakni mereka yang sekadar ikut-ikutan, terlibat langsung, dan para pemimpin. 

Pada 19 Desember 1948, Belanda menyerbu pedalaman Republik atau dikenal dengan Agresi Militer II. Tentara Indonesia harus siap perang gerilya karena sulit menandingi kekuatan Belanda. Sejumlah tahanan dibebaskan dan dipersenjatai. Pembebasan itu berlanjut sampai Januari 1949. Sekitar 35 ribu tahanan politik dibebaskan untuk menangkis Belanda. 

Pembebasan itu tak berlaku bagi Amir dan sepuluh orang lainnya yang dibawa ke Desa Ngalihan, sebelah timur Solo. Mereka adalah Amir, Soeripno, Maroeto, Sardjono, Oei Gee Hwat, Harjono, Djoko Soedjono, Sukarno, Katamhadi, Ronomarsono, dan D. Mangkoe. D.N. Aidit, seperti dikutip Lembaga Sedjarah PKI, melukiskan peristiwa di Ngalihan pada 1953. Larut malam di Ngalihan. Sekitar dua puluh orang sibuk menggali kuburan. Kepada Amir diperlihatkan surat perintah Gubernur Militer Kolonel Gatot Subroto mengenai eksekusi pemimpin PKI itu. Amir dan kawannya bercakap dengan tentara. Soeripno sempat menulis surat untuk istrinya. 
Mereka lalu menyanyikan Indonesia Raja dan Internasionale. "Setelah selesai bernjanji Bung Amir menjerukan: bersatulah kaum buruh seluruh dunia! Aku mati untukmu!"
 Amir ditembak lebih dulu. Isu eksekusi Amir beredar beberapa hari kemudian di Jakarta. Namun pemerintah menolak memberikan pembenaran. Penjara Amir kosong, tapi keberadaannya tak terlacak. 

Wartawan Rosihan Anwar mengatakan, sejumlah media, termasuk Pedoman, luput memberitakan peristiwa malam berdarah di Ngalihan. Pada Januari 1949, Sin Po menulis bahwa Amir dan Maroeto dihukum mati. Wawancara Sin Po dengan Ketua Mahkamah Militer Tinggi Koesoemaatmadja menyebutkan pemimpin PKI dibawa ke Solo dan diserahkan ke Gubernur Militer Gatot Subroto ketika penyerangan Belanda. 

Sesudah penyerahan kedaulatan pada 1950, peristiwa eksekusi itu mencuat lagi. Istri Harjono dan Djoko Soedjono menerima kabar bahwa suami mereka dieksekusi pada 19 Desember 1948. Pada 15-18 November 1950, kuburan digali dan jenazah diidentifikasi. Pemakaman kembali pada 19 November disaksikan sepuluh ribu pengunjung.

Di Ngalihan, makam tak bernisan itu kini tak terawat. Penduduk setempat hanya mengenalnya sebagai kuburan PKI. Ngalihan menjadi semacam penutup episode Madiun yang menelan korban ribuan orang. Aidit menyebutkan, operasi tentara dalam Peristiwa Madiun menyebabkan sepuluh ribu buruh dan tani tewas.

Sumber: SejarahKita 

Minggu, 12 Februari 2012

Batu-Asah dari Benua Australia

Cerpen Martin Aleida (Kompas, 12 Februari 2012)

illustrasi: Suta Kesuma

PUCUK cemara sudah merunduk menyongsong malam. Yang menunggu penjemputan sudah meninggalkan pekarangan dengan puji syukur setinggi langit. Tinggal aku sendiri yang masih mencangkung di pojok sambil terus melotot ke pintu pagar, berharap kalau-kalau ada yang mendekat.
Yang ada cuma angin senja, menerbangkan bau rerumputan bercampur debu, memperberat kecemasanku.
“Mas Koyo,” orang yang sebentar-sebentar melemparkan pandang ke arahku dari pagar kawat berduri, tiba-tiba menghampiri, merapat, membuatku tegak. “Saya Kiswoyo, masih ada hubungan sedarah dengan Mbak Uci,” katanya menyebutkan nama akrab istriku. Aku merunduk dibuat ucapannya itu. Istri! Bisikku dalam hati. Ada duka di balik kata itu. “Sudah gelap. Kelihatannya dia tak bakalan datang. Kalau Mas tak keberatan, ikut saya saja. Nginap dulu di rumah saya. Tak jauh dari sini,” sambungnya.
Tiga tahun digelandang dari Salemba, ke Cipinang, ke Tangerang, kemudian digiring ke kapal rusak untuk dikucilkan selama sepuluh tahun di Pulau Buru, maka tawaran tadi membuat hatiku tak percaya bahwa orang yang berdiri di depanku itu manusia Bumi. Aku sangsi, beberapa saat curiga, apa maksud orang ini. Bukankah tadi pagi dia sudah melihat bagaimana aku, dan puluhan tahanan politik yang lain, diturunkan dari truk dan diperlakukan tidak lebih berharga dari kawanan kerbau dan kambing yang sedang dihalau ke pejagalan. Kasar gerendel pintu bak truk diempaskan, papannya dibiarkan terbanting berdentam, kawir-kawir ke bawah. Untuk hewan saja disediakan titian turun. Tidak buat kami. Serentetan bentakan keluar dari muncung seorang sersan supaya kami buru-buru melompat dan masuk ke pekarangan markas militer itu.
Kupikir aku sedang ketiban mukjizat. Manusia Bulan yang bernama Kiswoyo itu seperti bimbang merengkuh tanganku. Aih, nasib apa yang menimpa orang buangan seperti aku ini. Gemetar buku-buku jariku menyambutnya. Dibawanya aku ke rumahnya. Tiga belas tahun kota ini kutinggalkan di luar kehendakku. Nasib orang yang baik hati ini mungkin tak banyak berubah. Dia, istri, dan dua anaknya menempati rumah petak, setengah semen, separuh papan.
Agak repot menyambut kedatanganku, Kiswoyo memepetkan kursi tamunya ke sisi dinding yang satu, dan menggelar dipan kayu nangka ke sisi yang lain. Buntalanku kusurukkan ke bawah. Di atas dipan itulah aku menghabiskan satu malam dari hidupku di dunia bebas. Itulah pertama kali, setelah tiga belas tahun yang gulita, aku melewati malam dengan terang bohlam yang redup. Semalaman gelisah. Bukan bohlam itu benar yang membuat aku tak bisa lelap, tetapi hantu tentang sebuah rencana hidup yang terus menumpati otakku. Bagaimana esok, dan keesokan harinya lagi, aku mempertahankan hidup di surga yang bernama dunia bebas ini? Di Buru, aku dan kawan-kawan punya lahan yang kami buka sendiri dengan tangan telanjang. Ya, benar-benar tangan telanjang! Jangankan traktor. Arit pun tak ada. Walau begitu, pulau buangan itu akhirnya bisa berswasembada pangan berkat tangan-tangan kami orang rantai, meskipun yang menikmati adalah tentara yang mengawasi hidup kami dalam pemencilan dan kerja paksa.
Hari kedua, dan ini pastilah berkat Kiswoyo, satu-satunya anakku muncul. Peluk dan air mata merayakan berakhirnya perpisahan paksa antara kami, membanjir tak tertahankan di bendul pintu rumah tumpanganku itu.
“Nduk,” bujukku lembut, ‘maukah kau membantuku?” Dia merunduk. ‘Bapak harus punya penghasilan. Sebelum kapal membelah ombak Laut Jawa, Bapak sudah punya angan-angan,” kataku pula. “Besok, bawakanlah batu-asah warisan Eyangmu. Tanya Ibumu. Dia tentu tak lupa. Batu-asah itu diperoleh Eyangmu ketika dia di Australia dan sempat dia bawa ke Digul sebagai orang buangan. Batu itu bermuka dua. Yang sebelah kasar, sebelah lagi licin, halus.”
Hatiku gemas tak tahan menunggu. Baru pada hari kelima putriku itu muncul.
“Kenapa lama sekali, Nduk?”
“Sungguh Ibu tak pernah menyangka Bapak akan pulang. Tiga hari, siang-malam, kami mencari-cari. Begitu ditemukan sudah jadi ganjalan ember di sumur kerekan. Di belakang rumah tetangga,” katanya seraya menyerahkan batu dalam lipatan kertas koran itu ke tanganku. Hatiku biru. Kecupan yang dalam kudaratkan ke dahinya tanda terima kasih. Langkahnya pulang kuiringi kata-kata: “Sampaikan salam dan rasa syukurku kepada Ibu.”
Kutimang kuelus permukaannya yang halus bak pauh dilayang. Juga sisinya yang kasar seperti bertabur pasir. Aku yakin batu-asah ini akan menyelamatkan napasku. Akan kubebaskan diriku dari ketergantungan pada Kiswoyo. Kulunasi semua makanan, minuman, dipan kayu-nangka, dan segala kerepotan yang menimpa dirinya. Dengan batu-asah warisan itu aku mengelilingi pusat kota, berjalan kaki, dengan langkah gontai seperti layang-layang putus tali teraju. “Asah gunting! Asah pisau! Batu-asah dari Australia!” Begitulah teriakanku menjajakan. Hari pertama, dua pemilik warung nasi tegal meminta aku membereskan perkakas mereka.
Lancar seperti mimpi dalam membangun hari kebangkitan, sampai hari kedua puluh delapan tak ada hari tanpa asahan. Kalau tidak mempertajam pisau, ya, mengasah gunting. Hari kedua puluh sembilan. Begitu kakiku menikung di perempatan jalan, di wilayah perumahan berpagar tembok tinggi, muncul seorang anak perempuan, berkulit putih, bermata sipit, dalam bimbingan seorang perempuan, yang kuduga adalah pembantu rumah tangga. Mereka menyodorkan sebilah pisau.
“Ini pasti pisau sashimi.”
“Wow… Abang pintar sekari, ya,” sahut anak perempuan itu dengan lidah cadelnya.
Belum selesai kuasah, pembantu itu menimpali: “Bang, sekalian perbaiki yang rompal, ya.”
“Baik, tapi tak bisa buru-buru. Makan waktu agak lama.”
“Tak apa-apa.”
Begitu pisau yang sudah tajam dan mulus hendak kuserahkan, sebuah sedan berhenti di belakangku. Bergaun putih, seorang nyonya menguakkan pintu.
“Ini Nyonya, pisaunya sudah bagus. Tajam sekali,” pembantu itu pamer kepada tuannya. Sang Nyonya menilik pisau itu, dan katanya: “Kore wa yoku kireru. Yokatta[Ini tajam sekali. Syukurlah],” katanya berceloteh, kegirangan.
Sashimi wo kiru tame desu, ne [Untuk memotong sashimi, kan?]?” aku memotong.
Hai, sashimi no tame desu. Nihongo dekimasu, ne [Ya, untuk sashimi. Bisa bahasa Jepang, ya].”
Hai, dekimasu,” cepat kusahut.
“Belajar di mana?”
“Di Universitas Waseda, di Jepang.” Alis mata nyonya itu hendak terbang, menjungkit ke atas.
“Ha?!” Dia bergumam. Matanya mau menelan kepalaku. “Waseda?!” Sang Nyonya memperhatikan ujung kaki sampai ke ubun-ubunku. “Tunggu, ya….” Tergopoh dia masuk ke rumah, diiringi anak dan pembantu tadi. Sekelebat angin, dia muncul lagi, diantar seorang laki-laki. Pastilah suaminya, pikirku.
Laki-laki berkacamata itu menghampiriku. Pipinya tembem. Matanya memberi kesan seorang peramah, suka bercanda. Sapanya: “Kamu cuma tukang asah pisau, tapi bisa bahasa Jepang. Apa kamu intelijen mau memata-matai kantor saya? Ini kantor berita Jepang. Dibuka karena diundang pemerintah. Kamu siapa?” Kedua tangannya tetap menyangga pinggang.
“Saya baru pulang dari Pulau Buru. Saya tahanan politik, tapi sudah bebas,” tukasku, lagi-lagi dalam bahasa Jepang.
“Pulau Buru?!” Lantas dia menggiringku ke dalam. Aku dipersilakan duduk di seberang meja kerjanya. Dijangkaunya sebuah file dan meletakkan dua foto di daun meja. “Kenal?” tanyanya. “Ini siapa?”
“Profesor Doktor Suprapto, ahli hukum. Pramoedya, sastrawan,” jawabku. “Yang ini,” lanjutku, “yang pakai caping ini, saya.” Kacamatanya turun-naik mencocokkan foto dengan tampangku.
“Bahasa Jepang Saudara bagus. Belajar di mana? Di Buru?”
Aku terkekeh. “Tidak. Di Waseda. Di Universitas Waseda. Saya lulus Master.”
“Lulus dari Waseda? Ujian masuknya saja begitu susah,” katanya menggurui dirinya sendiri. Kuceritakan, aku ikut bertempur di Kalimantan mengusir balatentara pendudukan Jepang tahun 1943. Setelah Republik berdiri, aku memperoleh beasiswa untuk belajar di Jepang. Beberapa tahun aku menetap di Tokyo, menjadi koresponden koran Partai Komunis yang terbit di Jakarta. “Tak usah lagi saya teruskan cerita ini. Karena jadi wartawan itulah maka saya dibuang ke Buru,” kataku. Dia nyengir.
“Menyesal sekali, saya sudah punya sekretaris merangkap penerjemah,” katanya. Seraya menghela napas dipandanginya aku dari balik kacamata yang melorot di batang hidungnya. “Tapi, kalau mau, boleh datang tiga hari dalam seminggu,” ucapnya menggenapkan harapanku yang memang menggunung. Nyaris aku melompat waktu dia bilang: “Besok mulai masuk.”
Belasan tahun dizalimi. Aku hafal sakitnya hati jika kita dilangkahi. Menjadi pemantik kecemburuan aku tak sudi. Tapi, apa yang bisa kuperbuat? Nyatanya, akulah yang diajaknya ke mana-mana. Bukan penerjemah yang sudah bertahun bekerja padanya. Terakhir, dimintanya aku turut ke Laguboti, di bibir Danau Toba, mencari seorang insinyur Batak, yang seorang diri, dengan gajinya, ditambah tabungan istrinya, meneruskan pembangunan Proyek Asahan yang diterbengkalaikan presiden kita yang kedua. Jepang ini menjadi-jadi. Disuruhnya aku masuk setiap hari.
Nasibku semulus batu-asah. Memasuki bulan keenam, aku sudah bisa mengontrak rumah yang layak. Bulan kesembilan. Istriku merengek, minta aku membiayainya menunaikan ibadah haji. Aih…. Inilah kesempatan emas bagiku untuk membayar dosa-dosa sebagai suami yang telah menelantarkannya belasan tahun, sampai-sampai lima tahun terakhir dia terpaksa menikah dengan lelaki lain. Aku tak pernah menyesali keputusannya. Kutimpakan seluruh peruntungan yang buruk itu di kepalaku. Uci bilang, dia rela menikahi lekaki itu karena orang itu berjanji mau mengajaknya ke Mekkah. Bertahun menanti. Janji itu cuma angin gurun. Lantaran malu, barangkali, lelaki itu baik-baik meminta maaf, mohon berpisah.
Kuurus segala kebutuhan dan persyaratan sehingga Uci terdaftar sebagai calon jemaah. Dia sendiri sudah khatam seluruh kalimah ibadah, yang wajib maupun sunah.
Mendekati hari keberangkatannya, menjelang magrib, kupegangi tangannya, erat seperti tiga puluh tahun yang lalu mula pertama aku merengkuhnya. “Uci, ingat kuplet ketiga lagu kebangsaan Indonesia Raya. Larik pertama berbunyi ‘Indonesia tanah yang suci…’. Ya, Indonesia tanah yang suci…. Kalau kau melempar jumroh di Tanah Suci, ingatlah Tanah Air kita ini. Tancapkan di hatimu bahwa batu-batu yang kau hunjamkan itu merajam setan-setan kota maupun desa di tanah suci kita ini, yang tak sempat disingkirkan karena presiden pertama keburu ditumbangkan. Lihatlah, sekarang, di samping setan kapitalis birokat, muncul pula setan banggarong. Mereka pesta-pora, gentayangan bermobil mewah meraung-raung suka-suka di Senayan sana. Pernah di antara mereka, suatu ketika, melintas di jalan bebas hambatan. Sudah tak bayar tol, menebas nyawa orang pula. Rajamlah mereka dengan batu-batumu itu. Rajamlah, sayangku….”
“Kang Mas…,” istriku manis berbisik, semanis tiga puluh tahun yang lalu. Seruan azan mengguntur ke langit. Dia mengecup tanganku. (*)
 .
.
(Untuk Trikoyo Tri Ramidjo, dari siapa ilham kisah ini bermula)

https://lakonhidup.com/2012/02/14/batu-asah-dari-benua-australia/

Batu-Asah dari Benua Australia

Cerpen Kompas: Martin Aleida 
"Pucuk cemara sudah merunduk menyongsong malam. Yang menunggu penjemputan sudah meninggalkan pekarangan dengan puji syukur setinggi langit. Tinggal aku sendiri yang masih mencangkung di pojok sambil terus melotot ke pintu pagar, berharap kalau-kalau ada yang mendekat".

Yang ada cuma angin senja, menerbangkan bau rerumputan bercampur debu, memperberat kecemasanku.
”Mas Koyo,” orang yang sebentar-sebentar melemparkan pandang ke arahku dari pagar kawat berduri, tiba-tiba menghampiri, merapat, membuatku tegak. ”Saya Kiswoyo, masih ada hubungan sedarah dengan Mbak Uci,” katanya menyebutkan nama akrab istriku. Aku merunduk dibuat ucapannya itu. Istri! Bisikku dalam hati. Ada duka di balik kata itu. ”Sudah gelap. Kelihatannya dia tak bakalan datang. Kalau Mas tak keberatan, ikut saya saja. Nginap dulu di rumah saya. Tak jauh dari sini,” sambungnya.
Tiga tahun digelandang dari Salemba, ke Cipinang, ke Tangerang, kemudian digiring ke kapal rusak untuk dikucilkan selama sepuluh tahun di Pulau Buru, maka tawaran tadi membuat hatiku tak percaya bahwa orang yang berdiri di depanku itu manusia Bumi. Aku sangsi, beberapa saat curiga, apa maksud orang ini. Bukankah tadi pagi dia sudah melihat bagaimana aku, dan puluhan tahanan politik yang lain, diturunkan dari truk dan diperlakukan tidak lebih berharga dari kawanan kerbau dan kambing yang sedang dihalau ke pejagalan. Kasar gerendel pintu bak truk diempaskan, papannya dibiarkan terbanting berdentam, kawir-kawir ke bawah. Untuk hewan saja disediakan titian turun. Tidak buat kami. Serentetan bentakan keluar dari muncung seorang sersan supaya kami buru-buru melompat dan masuk ke pekarangan markas militer itu.
Kupikir aku sedang ketiban mukjizat. Manusia Bulan yang bernama Kiswoyo itu seperti bimbang merengkuh tanganku. Aih, nasib apa yang menimpa orang buangan seperti aku ini. Gemetar buku-buku jariku menyambutnya. Dibawanya aku ke rumahnya. Tiga belas tahun kota ini kutinggalkan di luar kehendakku. Nasib orang yang baik hati ini mungkin tak banyak berubah. Dia, istri, dan dua anaknya menempati rumah petak, setengah semen, separuh papan.
Agak repot menyambut kedatanganku, Kiswoyo memepetkan kursi tamunya ke sisi dinding yang satu, dan menggelar dipan kayu nangka ke sisi yang lain. Buntalanku kusurukkan ke bawah. Di atas dipan itulah aku menghabiskan satu malam dari hidupku di dunia bebas. Itulah pertama kali, setelah tiga belas tahun yang gulita, aku melewati malam dengan terang bohlam yang redup. Semalaman gelisah. Bukan bohlam itu benar yang membuat aku tak bisa lelap, tetapi hantu tentang sebuah rencana hidup yang terus menumpati otakku. Bagaimana esok, dan keesokan harinya lagi, aku mempertahankan hidup di surga yang bernama dunia bebas ini? Di Buru, aku dan kawan-kawan punya lahan yang kami buka sendiri dengan tangan telanjang. Ya, benar-benar tangan telanjang! Jangankan traktor. Arit pun tak ada. Walau begitu, pulau buangan itu akhirnya bisa berswasembada pangan berkat tangan-tangan kami orang rantai, meskipun yang menikmati adalah tentara yang mengawasi hidup kami dalam pemencilan dan kerja paksa.
Hari kedua, dan ini pastilah berkat Kiswoyo, satu-satunya anakku muncul. Peluk dan air mata merayakan berakhirnya perpisahan paksa antara kami, membanjir tak tertahankan di bendul pintu rumah tumpanganku itu.
”Nduk,” bujukku lembut, ”maukah kau membantuku?” Dia merunduk. ”Bapak harus punya penghasilan. Sebelum kapal membelah ombak Laut Jawa, Bapak sudah punya angan-angan,” kataku pula. ”Besok, bawakanlah batu-asah warisan Eyangmu. Tanya Ibumu. Dia tentu tak lupa. Batu-asah itu diperoleh Eyangmu ketika dia di Australia dan sempat dia bawa ke Digul sebagai orang buangan. Batu itu bermuka dua. Yang sebelah kasar, sebelah lagi licin, halus.”
Hatiku gemas tak tahan menunggu. Baru pada hari kelima putriku itu muncul.
”Kenapa lama sekali, Nduk?”
”Sungguh Ibu tak pernah menyangka Bapak akan pulang. Tiga hari, siang-malam, kami mencari-cari. Begitu ditemukan sudah jadi ganjalan ember di sumur kerekan. Di belakang rumah tetangga,” katanya seraya menyerahkan batu dalam lipatan kertas koran itu ke tanganku. Hatiku biru. Kecupan yang dalam kudaratkan ke dahinya tanda terima kasih. Langkahnya pulang kuiringi kata-kata: ”Sampaikan salam dan rasa syukurku kepada Ibu.”
Kutimang kuelus permukaannya yang halus bak pauh dilayang. Juga sisinya yang kasar seperti bertabur pasir. Aku yakin batu-asah ini akan menyelamatkan napasku. Akan kubebaskan diriku dari ketergantungan pada Kiswoyo. Kulunasi semua makanan, minuman, dipan kayu-nangka, dan segala kerepotan yang menimpa dirinya. Dengan batu-asah warisan itu aku mengelilingi pusat kota, berjalan kaki, dengan langkah gontai seperti layang-layang putus tali teraju. ”Asah gunting! Asah pisau! Batu-asah dari Australia!” Begitulah teriakanku menjajakan. Hari pertama, dua pemilik warung nasi tegal meminta aku membereskan perkakas mereka.
Lancar seperti mimpi dalam membangun hari kebangkitan, sampai hari kedua puluh delapan tak ada hari tanpa asahan. Kalau tidak mempertajam pisau, ya, mengasah gunting. Hari kedua puluh sembilan. Begitu kakiku menikung di perempatan jalan, di wilayah perumahan berpagar tembok tinggi, muncul seorang anak perempuan, berkulit putih, bermata sipit, dalam bimbingan seorang perempuan, yang kuduga adalah pembantu rumah tangga. Mereka menyodorkan sebilah pisau.
”Ini pasti pisau sashimi.”
”Wow… Abang pintar sekari, ya,” sahut anak perempuan itu dengan lidah cadelnya.
Belum selesai kuasah, pembantu itu menimpali: ”Bang, sekalian perbaiki yang rompal, ya.”
”Baik, tapi tak bisa buru-buru. Makan waktu agak lama.”
”Tak apa-apa.”
Begitu pisau yang sudah tajam dan mulus hendak kuserahkan, sebuah sedan berhenti di belakangku. Bergaun putih, seorang nyonya menguakkan pintu.
”Ini Nyonya, pisaunya sudah bagus. Tajam sekali,” pembantu itu pamer kepada tuannya. Sang Nyonya menilik pisau itu, dan katanya: ”Kore wa yoku kireru. Yokatta [Ini tajam sekali. Syukurlah],” katanya berceloteh, kegirangan.
Sashimi wo kiru tame desu, ne [Untuk memotong sashimi, kan?]?” aku memotong.
Hai, sashimi no tame desu. Nihongo dekimasu, ne [Ya, untuk sashimi. Bisa bahasa Jepang, ya].”
Hai, dekimasu,” cepat kusahut.
”Belajar di mana?”
”Di Universitas Waseda, di Jepang.” Alis mata nyonya itu hendak terbang, menjungkit ke atas.
”Ha?!” Dia bergumam. Matanya mau menelan kepalaku. ”Waseda?!” Sang Nyonya memperhatikan ujung kaki sampai ke ubun-ubunku. ”Tunggu, ya….” Tergopoh dia masuk ke rumah, diiringi anak dan pembantu tadi. Sekelebat angin, dia muncul lagi, diantar seorang laki-laki. Pastilah suaminya, pikirku.
Laki-laki berkacamata itu menghampiriku. Pipinya tembem. Matanya memberi kesan seorang peramah, suka bercanda. Sapanya: ”Kamu cuma tukang asah pisau, tapi bisa bahasa Jepang. Apa kamu intelijen mau memata-matai kantor saya? Ini kantor berita Jepang. Dibuka karena diundang pemerintah. Kamu siapa?” Kedua tangannya tetap menyangga pinggang.
”Saya baru pulang dari Pulau Buru. Saya tahanan politik, tapi sudah bebas,” tukasku, lagi-lagi dalam bahasa Jepang.
”Pulau Buru?!” Lantas dia menggiringku ke dalam. Aku dipersilakan duduk di seberang meja kerjanya. Dijangkaunya sebuah file dan meletakkan dua foto di daun meja. ”Kenal?” tanyanya. ”Ini siapa?”
”Profesor Doktor Suprapto, ahli hukum. Pramoedya, sastrawan,” jawabku. ”Yang ini,” lanjutku, ”yang pakai caping ini, saya.” Kacamatanya turun-naik mencocokkan foto dengan tampangku.
”Bahasa Jepang Saudara bagus. Belajar di mana? Di Buru?”
Aku terkekeh. ”Tidak. Di Waseda. Di Universitas Waseda. Saya lulus Master.”
”Lulus dari Waseda? Ujian masuknya saja begitu susah,” katanya menggurui dirinya sendiri. Kuceritakan, aku ikut bertempur di Kalimantan mengusir balatentara pendudukan Jepang tahun 1943. Setelah Republik berdiri, aku memperoleh beasiswa untuk belajar di Jepang. Beberapa tahun aku menetap di Tokyo, menjadi koresponden koran Partai Komunis yang terbit di Jakarta. ”Tak usah lagi saya teruskan cerita ini. Karena jadi wartawan itulah maka saya dibuang ke Buru,” kataku. Dia nyengir.
”Menyesal sekali, saya sudah punya sekretaris merangkap penerjemah,” katanya. Seraya menghela napas dipandanginya aku dari balik kacamata yang melorot di batang hidungnya. ”Tapi, kalau mau, boleh datang tiga hari dalam seminggu,” ucapnya menggenapkan harapanku yang memang menggunung. Nyaris aku melompat waktu dia bilang: ”Besok mulai masuk.”
Belasan tahun dizalimi. Aku hafal sakitnya hati jika kita dilangkahi. Menjadi pemantik kecemburuan aku tak sudi. Tapi, apa yang bisa kuperbuat? Nyatanya, akulah yang diajaknya ke mana-mana. Bukan penerjemah yang sudah bertahun bekerja padanya. Terakhir, dimintanya aku turut ke Laguboti, di bibir Danau Toba, mencari seorang insinyur Batak, yang seorang diri, dengan gajinya, ditambah tabungan istrinya, meneruskan pembangunan Proyek Asahan yang diterbengkalaikan presiden kita yang kedua. Jepang ini menjadi-jadi. Disuruhnya aku masuk setiap hari.
Nasibku semulus batu-asah. Memasuki bulan keenam, aku sudah bisa mengontrak rumah yang layak. Bulan kesembilan. Istriku merengek, minta aku membiayainya menunaikan ibadah haji. Aih…. Inilah kesempatan emas bagiku untuk membayar dosa-dosa sebagai suami yang telah menelantarkannya belasan tahun, sampai-sampai lima tahun terakhir dia terpaksa menikah dengan lelaki lain. Aku tak pernah menyesali keputusannya. Kutimpakan seluruh peruntungan yang buruk itu di kepalaku. Uci bilang, dia rela menikahi lekaki itu karena orang itu berjanji mau mengajaknya ke Mekkah. Bertahun menanti. Janji itu cuma angin gurun. Lantaran malu, barangkali, lelaki itu baik-baik meminta maaf, mohon berpisah.
Kuurus segala kebutuhan dan persyaratan sehingga Uci terdaftar sebagai calon jemaah. Dia sendiri sudah khatam seluruh kalimah ibadah, yang wajib maupun sunah.
Mendekati hari keberangkatannya, menjelang magrib, kupegangi tangannya, erat seperti tiga puluh tahun yang lalu mula pertama aku merengkuhnya. ”Uci, ingat kuplet ketiga lagu kebangsaan Indonesia Raya. Larik pertama berbunyi ’Indonesia tanah yang suci…’. Ya, Indonesia tanah yang suci…. Kalau kau melempar jumroh di Tanah Suci, ingatlah Tanah Air kita ini. Tancapkan di hatimu bahwa batu-batu yang kau hunjamkan itu merajam setan-setan kota maupun desa di tanah suci kita ini, yang tak sempat disingkirkan karena presiden pertama keburu ditumbangkan. Lihatlah, sekarang, di samping setan kapitalis birokat, muncul pula setan banggarong. Mereka pesta-pora, gentayangan bermobil mewah meraung-raung suka-suka di Senayan sana. Pernah di antara mereka, suatu ketika, melintas di jalan bebas hambatan. Sudah tak bayar tol, menebas nyawa orang pula. Rajamlah mereka dengan batu-batumu itu. Rajamlah, sayangku….”
”Kang Mas…,” istriku manis berbisik, semanis tiga puluh tahun yang lalu. Seruan azan mengguntur ke langit. Dia mengecup tanganku.
(Untuk Trikoyo Tri Ramidjo, dari siapa ilham kisah ini bermula)
Copast: CerpenKompas 

Sabtu, 04 Februari 2012

Kronologi pembantaian PKI dan Simpatisan di Banyuwangi

Sabtu, 04 Februari 2012


Situasi politik di Banyuwangi sebelum peristiwa berdarah di Bayuwangi, sudah diwarnai persaingan Nahdlatul Ulama kontra PKI (Partai Komunis Indonesia) dalam pertikaian di wilayah-wilayah lokal  Banyuwangi dan tentunya basis PKI yang mereka sebutb sebagai tanah abang[1] (Karang asem, dukuh Mantekan, Cemetuk).
Pada masa penjajahan kolonial Hindia-Belanda, dalam satu periode Kubu PKI membunuh pemimpin-pemimpin Nahdlatul Ulama di desa Kalipahit karena mereka mengangap para kyai–kyai yang menjadi asuhan atau antek-antek Belanda.

Pada tahun 1960-an persaingan dua kubu; PKI dan Anti-Komunis mewarnai berbagai daerah di Banyuwangi memakai isu tentang Land-Reform. Aksi Kekerasan yang radikal ini juga menyeret orang-orang kaya dan Pemilik tanah.

Menjelang Pemilihan Bupati (Pilbub) di Kabupaten Banyuwangi pada bulan Desember 1964, komposisi fraksi DPRD Tingkat II Kabupaten Banyuwangi sebagai Berikut : NU (15 kursi), PKI (12 kursi), PNI (9 kursi), Golkar (5 kursi), partai-partai gurem (4 kursi). Di dalam Pilbup tersebut, semula NU mengusung Hafid Suroso BA sebagai calon bupati (cabub), PKI mencalonkan Suwarno Kanapi SH, sedangkan PNI tidak memiliki kader untuk dicalonkan, sehingga mengusung Dandim Banyuwangi Kol. Djoko Supaat Slamet (TNI-AD) sebagai cabub.

Di dalam perkembangannya, wakil-wakil NU di parlemen ada ketidak-harmonisan, sehingga terbelah menjadi dua kubu yaitu NU-Utara ini mencakup wilayah Kecamatan Rogojampi, Kecamatan Kabat, Kecamatan Banyuwangi, Kecamatan Glagah, Kecamatan Giri, Kecamatan Wongsorejo, Sedangkan NU-Selatan Kecamatan Srono, Kecamatan Cluring, Kecamatan Muncar, Kecamatan Purwoharjo, Kecamatan Jajag, Kecamatan Gambiran, Kecamatan Genteng, Glenmore, Kecamatan Kalibaru.[2]

PKI dengan upayanya mendekati H. Ali Mansur selaku pimpinan kubu NU-Utara untuk dapat tambahan suara politik yang diusungnya yaitu Cabub Suwarno Kanapi. Ini menjadikan kekhawatiran kubu NU-Selatan terhadap cabub yang diusungnya untuk memenangkan pemilihan bupati di Banyuwangi.
Kubu NU-Selatan akhirnya menarik Hafid Suroso BA dari bursa Cabub, dan menerima ajakan PNI untuk berkoalisi mencalonkan Kol. Djoko Supaat Slamet agar memenangkan Pilbub di Banyuwangi. Namun sia-sia saja dalam perolehan akhir PNI-NU-Selatan-TNI AD kalah melawan PKI-NU-Utara.

Kekalahan ini mengakibatkan kekecewaan massa pendukung PNI-NU-Selatan-TNI AD, sehingga mereka melakukan aksi demonstrasi besar-besaran pada saat pelantikan bupati terpilih Suwarno Kanapi SH pada 3 Januari 1965 untuk menolak hasil Pilbub dan menuntut agar diadakan pemilihan ulang. Tapi kenyataan tuntutan itu ditolak oleh Gubernur Jawa Timur, Wijono dengan alasan proses Pilbub sah di mata hukum.

Ulah demonstrasi ini sempat menunda pelantikan bupati terpilih, Suwarno Kanapi SH. Akhirnya pelantikan bupati Banyuwangi berjalan mulus pada Agustus 1965. Pilbub ini menguatkan persaingan Politik antara PKI dan NU. Sehingga menjadi bom waktu yang setiap saat meledak menjadi konflik horizontal di masyarakat.

Sikap dan Strategi Pemerintah
Di wilayah tingkat nasional terdengar desas-desus bahwa para Panglima Jenderal akan membentuk Dewan Jenderal untuk menggulingkan jabatan Soekarno; di saat Bung Karno sedang sakit parah. Tragedi G30S yang terjadi pada tanggal 1 Oktober dinihari, menandai bergesernya sebuah rezim dari Orde Lama ke Orde Baru.

Tragedi yang ditandai dengan penculikan beberapa perwira tinggi militer dari Angkatan Darat (AD), yakni Jenderal Abdul Haris Nasution, Letjen Ahmad Yani, Mayjen R. Suprapto, Mayjen Harjono Tirtodarmo, Mayjen S. Parman, Brigjen Donald Izacun Panjaitan, dan Brigjen Soetojo Siswomiharjo.
Penculikan yang dikepalai Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa ( pasukan pengawal pribadi presiden yang ditunjukan kepada jenderal-jenderal anggota apa yang menamakan dirinya “Dewan Jenderal”)[3] yaitu Letnan Letkol Untung, Lettu Doel Arif.
Letkol Untung dibantu oleh Batalyon 454,  Brigade Infantri I Latief, Pemuda Rakyat (PR), dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang mendapat tugas sebagai penjaga. 

Pada saat operasi ini, para penculik dibagi menjadi tujuh regu yang masing-masing menangani satu jenderal. Penculikan yang dipimpin oleh Lettu Doel Arief membuahkan hasil. Beberapa jenderal dapat diculik, namun terjadi kesalahan. ketika hendak menculik Jenderal Nasution. Nasution dapat meloloskan diri dari penculikan, tetapi seorang ajudan dan anaknya, yakni Lettu Pierre Tendean dan Ade Irma Nasution, terbunuh pada peristiwa tersebut.[4] 

Sejumlah jenderal telah ditangkap dan alat komunikasi yang penting-penting serta objek-objek vital lainnya sudah berada dalam lindungan Gerakan 30 September. Seorang jenderal senior Angkatan Darat yang tidak menjadi sasaran penculikan ialah Mayor Jenderal Soeharto. Suatu keganjilan G30S tidak menetralisir Kostrad, barangkali karena Kostrad bukanlah merupakan instansi militer utama di Jakarta. Berbeda dengan Kodam Jaya, Konstrad tidak mempunyai pasukan tetap yang di asramakan di dalam atau sekitar kota.[5] 
Meskipun demikian, Kostrad mempunyai arti strategis yang besar, mengingat tokoh yang terkadang bertugas sebagai panglima Angkatan Darat setiap Yani bepergian ke luar negeri. Jika pasukan pemberontak ingin menguasai Jakarta, mereka harus memastikan bahwa Soeharto, orang peringkat pertama yang langsung akan menggantikan Yani, tidak dapat mengerahkan pasukan untuk melakukan serangan balasan.  

Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) mengambil alih pimpinan Angkatan Darat. Hal ini sesuai order tetap Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) tentang pejabat yang sedang berhalangan dapat digantikan dan disetujui oleh beberapa perwira tinggi TNI-AD.

Pada Pukul 07.15 Letkol Untung mengumumkan Dekrit No.1 Dewan Revolusi di siaran RRI Studio Jakarta. Isi Dekrit itu tentang berlangsunya:

A) Gerakan pembersihan terhadap anggota-anggota Dewan Jenderal.
B) Tentang telah di bentuknya Dewan Revolusi Pusat dan Daerah  oleh Gerakan 30 September.
C) Pengumuman tentang telah demisionernya kabinet dwikora dan menyatakan bahwa Dewan Revolusi merupakan sumber dari semua kekuasaan yang ada dalam Negara Republik Indonesia.[6]

Mayjen Soeharto selaku pangkostrad mengambil langkah strategis dengan merebut RRI dari tangan pelaku G30S dan menguasai media cetak serta media elektro seperti Televisi Republik Indonesia (TVRI). Pengambilalihan itu dilakukan untuk keperluan agitasi dan provokasi guna menghancurkan PKI dan menggulingkan Presiden Soekarno.
Setelah pukul 21.00 WIB (1 Oktober 1965) RRI dapat dikuasai oleh pasukan Soeharto sekaligus memberikan pidato singkat dan memberitakan pengambilalihan kepemimpinan TNI-AD melalui pengertian bersama antara AD, Angkatan Laut, dan Kepolisian untuk menghancurkan G30S.[7] 

Kudeta G30S 1965 akhirnya dapat ditumpas pasukan militer di bawah komando Pangkostrad Mayjen Soeharto dan menamai dengan istilah “Gestapu”.[8]

Setelah kudeta G30S 1965 berhasil ditumpas, TNI-AD, Konstrad dan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD)[9] melakukan berbagai pendoktrinan untuk menciptakan ketakutan, kebencian secara umum, dan melakukan pembalasan terhadap PKI berikut underbouwnya.
Foto-foto para jenderal yang terbunuh diberitakan melalui media massa dengan komentar bahwa penganiayaan dan pembunuhan terhadap para jenderal merupakan perbuatan underbouw PKI seperti Gerwani dan Pemuda Rakyat.
Publikasi yang besar-besaran itu merupakan salah satu bentuk propaganda militer yang dikomandoi Pangkostrad Mayjen Soeharto. Klaim rezim Soeharto bahwa PKI bertanggung jawab atas G30S. Pendalangan atas PKI ini, apakah tiga juta lebih anggota partai keseluruhan bertanggung jawab? Atau hanya sebagian? Atau hanya pimpinan partai? Apakah pihak pimpinan itu Cental Comite atau Politbiro?.

Malahan secara terus menerus menggunakan istilah “PKI” masyarakat digiring untuk percaya bahwa bukan hanya tiga juta lebih anggota partai yang bertanggung jawab, tetapi juga siapa saja yang berhubungan dengan PKI di tumpas sampai ke akar-akarnya.  Seruan tersebut tersebut sampai di Banyuwangi, sehingga terjadilah konflik  horisontal antara pendukung Kol Djoko Supaat Slamet (massa NU-Selatan dan PNI yang didukung oleh TNI AD) berhadapan dengan massa Pendukung Suwarno Kanapi SH (massa PKI) 

Dengan alasan balas dendam, Nahdhlatul Ulama (Ansor) mencoba membangun kekuatan untuk membersihkan PKI, dengan menggandeng Pemuda Marhaeinis dan kelompok yang anti terhadap Komunis. Kegiatan-kegiatan Ansor dan pemuda Marhaeinis semakin marak dilakukan untuk melawan Komunis. Kegiatan ini dilakukan karena alasan balas dendam, dan jauh sebelum kegiatan yang dilakukan oleh para orang yang anti-Komunis sekitar  tahun 1965-an para Pemuda di Karangasem menggunakan kekuatan mistik atau kekuatan supranatural.

Mereka mengalungkan janur kuning dan daun salam di masing-masing pemuda yang tidak berbaju di desa Karang Asem. Bahkan pemuda-pemuda anti-Komunis juga mengunakan mantra-mantra atau jimat-jimat untuk menandingi Orang Komunis tersebut.

Selama  minggu ketiga bulan Oktober 1965 kegiatan untuk menghabisi PKI dilakukan oleh Pemuda Ansor dan Pemuda Marhaeinis dengan persiapan-persiapan secara khusus.

Pada tanggal 18 Oktober Mursid seorang kyai yang ditunjuk untuk memimpin sekolompok pemuda dalam operasi untuk menyapu bersih sisa-sisa Gestok di Kalipahit. Sebuah konvoi besar ini dan banyak antusias bermunculan sepanjang jalan yang dilalui, bahkan massa rakyat juga ikut berpartisipasi dalam operasi yang dilakukan Mursid dan kelompok pendukungnya. Dalam perkembangannya Basis PKI di Kalipait, Cemetuk, Karang Asem. Tiba di Karang Asem, Konvoi ini dihadang oleh Pemuda setempat yang tidak memakai baju, yang terlihat mereka hanya memakai kalung janur kuning di leher.

Dengan alasan untuk mempertahankan wilayah mereka, karena massa Ansor membakar rumah warga Karangasem dan sebagian atap masjid juga dibakar. Massa dari Ansor beranggapan bahwa masjid yang berada di wilayah Karang asem itu Masjid PKI dan simpatisannya.
Bentrokan mulai meledak, Banyak warga yang menjadi korban keganasan orang-orang anti-Komunis. Massa Ansor yang lari ke Cemetuk di hadang oleh PKI Cemetuk dan mereka dibunuh dengan cara dikubur hidup-hidup. Sekitar 62 anggota Ansor tewas di Cemetuk[10].

Hari itu regu patroli dari Kodim Genteng menerima laporan tejadinya bentrokan di Karangasem, Mantekan, Dan Cemetuk. Dalam perjalanan ke Karang asem, mereka melihat kerumunan-kerumunan orang di sepanjang jalan. Kebanyakan mereka tidak memakai baju, dan membawa senjata seperti pedang, parang, bambu runcing. Orang-orang di sekitar terlihat menjaga rumah masing-masing. Dan terlihat rumah-rumah ada yang terbakar. Patroli Kodim segera melakukan tindakan evakuasi dan berhasil mengendalikan kondisi. Kekuatan-kekuatan nonkomunis yang mulai kesetanan menyerang PKI, dengan memerintahkan mereka untuk meninggalkan daerah itu sehingga konfrontasi fisik dapat dihentikan.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi di Karangasem yang didahului dengan pembantaian-pembantaian terhadap ribuan anggota PKI dan simpatisannya oleh orang-orang non-komunis. Peristiwa-peristiwa ini bukan hanya merupakan bagian permulaan dari bagian permulaan dari segelombang pasang aksi massa, tetapi juga merupakan permulaan gelombang balas dendam terhadap PKI dan organisasi-organisasi massanya.[11]



Kutipan Sumber:

[1] Tanah abang merupakan wilayah basis PKI di wilayah Banyuwangi selatan. Karang asem, dan Mantekan yang sekarang merupakan admistratif masuk Kecamatan Gambiran, sedangkan dukuh Cemetuk masuk administratif Kecamatan Cluring. Lihat : Firman Syahyudin, Peristiwa Cemetuk Tahun 1965.(Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah-Fakultas Sastra Universitas Jember, 2009).hlm 1

[2] IG Krisnadi, jurnal ilmu pengetahuan sosial, vol ix (Jember:Universitas Jember, 2007) hlm 1
  
[3] Dewan jenderal adalah gerakan subvertif yang disponsori oleh CIA. Dewan ini sangat aktif, terutama sejak Presiden Soekarno menderita sakit yang sangat serius pada minggu pertama bulan Agustus . Mereka berharap, Presiden Soekarno akan meninggal dunia sebagai akibat dari penyakitnya. Lihat: Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang Aksi dan Penumpasannya (Jakarta: PT Galia Indonesia, 1994).

[4] Anderson, Benedict R. O’G. dan Macvey, Ruth T., Kudeta 1 Oktober 1965 Sebuah Analasis Awal (Yogyakarta: LPKSM-SYARIKAT, 2001), hlm. 13-32.

[5] Kostrad yang dibentuk pada 1960 merupakan usaha pertama Angkatan Darat untuk membetuk cadangan pusat. Walaupun pasukannya masih pinjam dari komando-komando daerah, Kostrad dirancang untuk memberi panglima angkatan daerah (yang dipegang Yani sejak Juni 1962) batalyon-batalyon yang berada di bawah komandonya sendiri. http:// en.wikipedia.org/wiki/Gerakan 30 September, (Akses: 19 Desember 2009).

[6] Bahaya Laten Komunisme Di Indonesia Jilid IV, Pemberontakan G30S/PKI Dan Penumpasannya, (Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI,1994), hlm. 235.
[7] M.R. Siregar, Naiknya Para Jenderal (Medan: Sumatera Human Rights Watch Network, 2000), hlm. 4.

[8] Istilah Gestapu dikenalkan oleh direktur koran Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Brigjen Sugandi, yang bermaksud mengaitkannya dengan istilah “Gestapo”. “Gestapo” merupakan singkatan dari Gehieme Staatpolizei yaitu polisi rahasia Jerman di masa pemerintahan Nazi. Dinas inilah yang bertanggung jawab atas keamanan di dalam “Imperium Ketiga”. Tugas mereka mencari, menangkap, dan menahan “musuh-musuh negara” di dalam kamp konsentrasi. Lihat: Hersri Setiawan, op. cit., hlm. 97-98.

[9] Cikal bakal RPKAD berupa satu kesatuan pasukan “kelompok komando” dengan kekuataan sekitar satu kompi yang dilatih secara khusus oleh tentara Eropa. RPKAD dibentuk tahun 1952/53 atas prakarsa Panglima Divisi Siliwangi dalam menghadapi lasykar DI/TII. RPKAD sering disebut tentara langit atau pasukan baret merah. Pasukan ini kemudian berubah nama menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Lihat: ibid, hlm. 248-249.

[10] Untuk memperingati 62 anggota Ansor yang tewas di Cemetuk ini, Rezim Orde Baru membangun monumen Pancasila seperti halnya di Jakarta lubang buaya. 

[11] Robert Cibb. The Indonesian Killings; Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966,(Yogyakarta: mata rantai , cetakan kelima, September 2004), lihat hal 262-263