HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Minggu, 21 Oktober 2012

Asman Yodjodolo: Tak Akan Pernah Berhenti

21/10/2012




Seorang yang bermartabat adalah seorang yang ditauladani oleh sebab sikap dan tindakannya secara nyata, bukan semata-mata bergelimang penghormatan dan pujian lantaran kata-kata manisnya. Itulah yang dipegang teguh oleh Asman Yodjodolo sepanjang berjuang memerdekakan hak asasinya, sebagai manusia dan warga negara, dari tempurung picik budaya politik dan kekuasaan. Itu pula yang bisa selalu mengobarkan ketegarannya melewati hari-hari dengan cap ‘ET’ – Eks Tahanan Politik.
“Saya lahir dari keluarga biasa, tidak ada yang istimewa di keluarga kami, yah seperti keluarga kampung kebanyakan. Kemudian saya sekolah mulai masuk SR istilahnya saat itu, saya lahir di Tompe kemudian saya ikut nenek ke sini (Tawaeli). Orang tua saya tetap di Tompe, karena ternyata nenek itu lain, nenek itu lebih menyayangi dari pada ibu. Jadi pengalaman saya hidup ini begitu, nenek lebih menyayangi dari pada ibu, jadi saya sekolahlah di sini.”
Tahun 1957, Asman lulus Sekolah Rakyat (SR). Ia berusaha keras untuk bisa melanjutkan pendidikannya hingga ke tingkat yang paling tinggi. Ia mengenyam bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Donggala dan tamat tahun 1960. Tak ingin berpuas diri terlalu dini dengan pencapaian pendidikannya, Asman meneruskan ke tingkat SGA (Sekolah Guru A atau Sekolah Guru Atas) dan merampungkannya pada tahun 1964. Pada waktu itu juga terdapat SGB (Sekolah Guru B). Setamat SGA, Asman bisa bekerja sebagai pengajar di SMP.
Asman muda adalah siswa yang berprestasi. Baginya, hidup susah tidak lantas membuatnya malas, apalagi menyia-siakannya. Namun, layaknya anak-anak muda lainnya, Asmanpun suka berulah. Bedanya, ulah Asman justru selalu membuatnya terlihat istimewa dibanding kawan-kawan lainnya. “Saya di sekolah termasuk nakal, kepala batu, dan melawan guru,” Kemudian Asman menceritakan salah satu kenakalannya.
“Hukumannya itu, sekolah dulu itu hukumannya lebih keras dari pada saat ini. Saya dihukum misalnya karena ribut-ribut di sekolah sementara sekolah di sebelah itu belajar. Oleh pimpinan atau direktur sekolah saat itu istilahnya, saya disuruh keluar pukul-pukul batang kayu jawa. Selama pelajaran tidak boleh istirahat. Direktur itu dulu tidak ada jam mengajar hanya kalau ada kelas tidak ada gurunya baru dia masuk mengajar. Tapi dia perhatikan terus saya kalau berhenti dia perhatikan. Berapa lama kemudian, saya lempar pemukul itu ke atas atap. Hahaha keluar dia, “ siapa yang lempar tadi…?” Hah ternyata dia intip dari lubang di dinding. Saya lempar lagi, trus dia langsung ke mari, marah sama saya.
Dipanggil saya menghadap di kantor. Saya dipukul dengan tas, tapi karena saya merunduk tasnya kena tiang, putus talinya. Tambah marah dia. Tapi bagus ada segi positifnya sejak saat itulah saya ini karena dianggap sangat nakal, artinya posisi saya lebih istimewa lagi. Dulu itu saya duduk di belakang, sekarang duduk di muka. Mungkin duduk di muka ini tidak terlalu berani karna dekat sekali dengan guru. Hukuman sebenarnya itu, tapi saya menganggap itu baik. Karena dengan begitu saya focus belajar, karena kalau di belakang saya sering mengganggu teman. Saya juga di sekolah termasuk siswa berprestasi.” kisah Asman. “Guru kalau sudah tidak sesuai dengan apa yang saya pikirkan, saya lawan,” lanjutnya.
Tak Kenal Lelah
Pendidikan tinggi tidak pernah mudah untuk diraih, apalagi pada masa itu. Meski sudah merdeka, Indonesia tak lepas dari pergolakan-pergolakan politik di kalangan elit penguasanya. Sementara itu, taraf hidup masyarakat masih belum sepenuhnya adil merata. Hal itu pula yang harus dilewati oleh Asman muda.
Sekolah Asman letaknya di atas gunung, jauh dari rumahnya. Ditambah lagi, tinggal beramai-ramai dengan enam anak perempuan dan enam anak laki-laki, termasuk dirinya, membuatnya menjadi sosok yang tak putus-putus ditempa kehidupan yang berat. Namun, kekurangan itu tidak serta merta membuatnya menyesal. Asman justru bertekad untuk menjadi pribadi yang tegar dan pantang menyerah. Ia harus bisa menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri, menjadi penentu masa depannya kelak. Semasa menempuh pendidikan SGA, Asman menumpang. Ia bersama lima anak laki-laki dan enam anak perempuan tinggal beramai-ramai di ruman Tante Ratu, atau yang akrab mereka sebut Pue Ratu. Pagi-pagi sekali mereka semua dibangunkan untuk mengerjakan tugas masing-masing. Anak-anak perempuan membuat kue dan anak laki-laki mencari kayu bakar. Asman berdua dengan Sukiman, yang waktu itu lebih kecil di antara anak laki-laki lainnya, mendapat tugas untuk berjualan kue.
Asman dan Sukiman harus berjualan kue sebelum berangkat ke sekolah. Semua kue-kue dagangan diletakkan di atas baki besar. Macam-macam kue, mulai dari surabe, putu ambon, hingga apang dan lain sebagainya. Asman dan Sukiman membagi dua jalur yang akan mereka lewati untuk berjualan kue itu. “Saya biasa ke arah Jembatan Merah dan Sukiman ke arah Jembatan Guntur, jadi ditoo sanggani… disebut semua kue itu,” ujar Asman, mengingat masa susahnya dahulu.
Karena harus berjualan kue terlebih dahulu, tak jarang Asman terlambat sampai di sekolah. Dan lagi-lagi ia dicap sebagai anak nakal. “Waktu itu saya terlambat, pas, pas posisi sudah di depan, di dekat jendela. Jendela itu tidak ada pake terali. Cuma daun jendela saja terbuka. Saya naik dari samping terus lompat di atas meja.”
“ Kamu ini nakal sekali. Mengapa masuk lewat jendela?” kata gurunya yang marah sekali.
“ Pintu sudah dikunci, tetapi jendela terbuka. Saya masuk lewat jendela saja.” Sahut Asman.
Meskipun situasinya demikian, Asman tidak pernah menganggap itu sebagai suatu hal yang akan menyurutkan langkahnya dalam meraih cita-citanya. Ia justru semakin bertekad untuk menjadi yang terbaik. Ia ingin orang-orang melihat dirinya secara tidak timpang. Tidak selalu tertuju pada kenakalan atau perlawanannya, melainkan juga harus melihat sepak terjang prestasinya. Dan, hal itu terbukti. Meski dengan lima orang dalam geng-nya Asman selalu membuat ulah dan mendapat peringatan dari kepala sekolah, namun Asman justru terpilih menjadi ketua PP SGA (Persatuan Pelajar SGA).
Saat pemilihan ketua PP SGA, Asman menginjak kelas dua. Seperti halnya OSIS, PP SGA bertanggung jawab dalam memelihara fasilitas sekolah, seperti alat-alat musik, buku-buku perpustakaan, semua peralatan sekolah, mulai dari meja, lemari, hingga kursi. Tak hanya itu, yang lebih penting lagi, Asman juga harus bertanggung jawab untuk pelaksanaan semua kegiatan di sekolah, seperti misalnya pertandingan-pertandingan antar sekolah, peringatan hari-hari besar nasional, termasuk penyelenggaraan hari krida saban hari Sabtu. Tidak ada kegiatan belajar mengajar selama satu hari itu.
Sepanjang hari hanya diisi dengan berkesenian dan kegiatan-kegiatan santai lainnya, seperti misalnya membuat kue, bubur jagung, atau bubur kacang ijo untuk dimakan bersama. Itu semua dilakukan oleh murid-murid perempuan, sedangkan murid laki-laki membuat kerajian dan lain sebagainya. “Dulu peranan dari PP besar sekali, sedangkan guru tidak bisa interfensi,” katanya, menegaskan.
Jika mengingat kembali masa sekolahnya di SGA, Asman merasa sangat berterima kasih kepada para guru yang pernah menghukumnya dahulu. Pernah terbesit dalam pikirannya, bahwa kepala sekolah SGA dahulu memilihnya sebagai ketua Persatuan Pelajar SGA agar ia tidak berani lagi membuat ulah, karena segala kelakuannya akan selalu diawasi dan menjadi contoh murid-murid lainnya. Sehingga, kepala sekolah dan para gurunya dahulu, dipikirnya, bertujuan agar ia tidak lagi menjadi murid yang nakal dan suka melawan. Namun, di lain sisi, terpilihnya Asman sebagai ketua PP SGA justru semakin memberikan pondasi yang kuat bagi jiwa kepemimpinannya di waktu-waktu selanjutnya.
Pantang Surut Langkah
Menjadi seorang ketua, atau lebih elitnya, menjadi seorang pemimpin, adalah menjadi seseorang yang harus tahu suatu tujuan, berjalan ke arah tujuan itu, dan mewujudkannya. Maka dari itu, hanya segelintir orang mampu mengemban tampuk kepemimpinan itu. Namun, sebuah kepemimpinan tidak serta-merta selalu mengacu pada menjadi penguasa sebuah negara atau dalam tingkat kekuasaan tinggi lainnya. Akan tetapi, menjadi pemimpin bagi diri sendiri merupakan suatu emban yang tidak mudah. Begitulah yang dialami oleh Asman.
Sebagai ketua PP SGA, Asman selalu menunjukkan sikap-sikap kepemimpinan dan seorang pemimpin yang ideal di depan kawan-kawan juga guru-gurunya. Ia bisa menerapkan disiplin yang tinggi dalam setiap tindak-tanduknya. Meski terkadang cara Asman menunjukkan ketegasannya dinilai tidak sesuai dengan pemikiran banyak orang, namun, pada akhirnya, seringkali ia bisa memberi bukti nyata dari ‘kenakalan’nya itu tentang bagaimana seorang pemimpin seharusnya bersikap dengan tetap memegang teguh idealismenya.
Pernah ada satu kejadian. Selepas ujian, anak kelas tiga akan pergi rekreasi ke Tanjung Karang dengan memakai uang dari Persatuan Pelajar. Ketika Asman bertanya kepada bendaharanya, ternyata uang tersebut dibawa oleh Pak Mudoko, guru olahraga. Esok harinya, Asman memanggil Pak Mudoko dengan sepengetahuan kepala sekolah. Asman meminta kejelasan tentang uang tersebut, karena uang tersebut digunakan tanpa pengetahuan dan persetujuan, dan itu melanggar ketentuan. Ketika akan diminta untuk menggantinya, Pak Mudoko merasa tidak sanggup karena gaji yang dia terima hanya cukup untuk menafkahi keluarganya. Akhirnya, kasus tersebut diselesaikan secara damai dengan permohonan maaf dari Pak Mudoko. Sejak saat itu, Asman dikenal sebagai seorang yang sangat menjunjung kedisiplinan, sehingga ia pun disegani kawan-kawannya dan mendapat perhatian lebih dari para gurunya.
Semasa kepemimpinannya, Asman benar-benar mendayagunakan PP SGA sebagai ajang untuk berkreativitas dan berekspresi, untuk mengembang-tingkatkan potensi kawan-kawannya. Setelah sekolah, setiap jam empat sore, Asman meminta para siswa untuk datang.
“Di sekolah itu sorenya kalau sudah pulang sekolah saya suruh datang itu teman-teman mulai dari jam ampat datang. Ada yang latihan musik, menyanyi, drama, ada yang menyiram bunga, bacangkul datang semua, karna apa juga dorang kerjakan di rumah. Sehingga sekolah kita itu boleh dikata sekolah teladan, karna apa, tamannya bagus, kebun sekolah ada, perpustakaan ada, alat kesenian lengkap. Nah dengan begitu saya gunakan ini, saya memang idealismenya tinggi saya gunakan momentum membentuk satu organisasi pelajar IPAS (ikatan pelajar anak seberang)” Cerita Asman mengenang masa mudanya.
Tepat pada saat momentum kepemimpinannya yang gemilang itulah, ia membentuk IPAS (Ikatan Pelajar Anak Seberang). Ikatan pelajar tersebut beranggotakan pelajar-pelajar yang berasal dari seberang Donggala. Agenda pertamanya adalah tur ke Tompe, kampung halaman Asman, dengan naik motor laut. Ternyata, yang mendaftar lebih dari seratus orang dari berbagai daerah. Asman sama sekali tidak menyangka dengan antusiasme para pelajar tersebut.
Asman mengatur tur pertama itu dengan sangat terorganisir. Ia membawa tiga naskah drama hasil karyanya sendiri untuk dipertunjukkan, juga band sekolah yang beranggotakan murid-murid perempuan. “Saya ini tidak mengerti musik, tapi saya suruh orang yang pintar musik melatih,” terang Asman. Ada seorang guru SMP yang ikut, dari Tambu, dari lain sekolah.
Sesampainya di Tompe, kelompok tur yang diketuai Asman bertemu dengan Camat, Kapolsek, dan Danramil. Kemudian, dengan meminjam gedung SD Tanjung Padang, digelarlah sandiwara dari sekolah mereka. Banyak sekali penonton yang datang. Selama tiga malam, gedung SD Tanjung Pandang penuh sesak hingga uang pintu (baca: karcis masuk) pun ludes terjual. Tak hanya itu, kegiatan tur semakin meriah dengan adanya pertandingan-pertandingan seperti bulu tangkis, bola kaki, bola voli, dan tenis meja. Sehingga, selama di Tompe, kelompok tur Asman tidak hanya bersenang-senang, melainkan sekaligus juga memperkenalkan kepada masyarakat luas tentang kesenian daerah agar generasi penerus bangsa ini pada umumnya dan masyarakat Tompe dan sekitarnya pada khususnya tidak melupakan warisan leluhur.
Sikap kepemimpinan Asman benar-benar terbukti selama tur tersebut berlangsung. Ia menjadi penanggung jawab utama dari kelompok tersebut dan semuanya berjalan lancar. Ia bisa mendanai kelompok tur tersebut dari pemasukan uang pintu dan uang bunga (uang yang didapat dari bunga hasil rangkaian murid-murid perempuan yang disematkan di dada pengunjung, kemudian pengunjung akan memberi uang secara sukarela). Bahkan ketika motor yang harus menjemput mereka belum juga datang, Asman menulis naskah drama baru untuk ditampilkan, sehingga setidaknya uang pintu dari pertunjukan tersebut bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan mereka selama itu. Asman pantang surut langkah ketika ia harus berhadapan dengan masalah apapun. Bukan hanya dirinya saja yang harus bebas dari masalah itu, melainkan banyak orang lainnya yang bergantung pada dirinya dan ia tidak bisa membiarkan orang-orang tersebut karena ia tidak cakap menjadi pemimpin yang baik.
Berbakti Kepada Ibu Pertiwi
Tur ke Tompe menjadi ajang pemersatu masyarakat dan pelajar lewat kesenian. Pertama kalinya, pada saat itu, tarian momonte dipentaskan. Asman secara langsung belajar sendiri tarian itu kepada Hasan Baswan. Tidak seperti sekarang yang penarinya perempuan semua, pada saat itu laki-laki juga bisa menarikan momonte. Tarian momonte ini pula yang menjadikan sekolah SGA lebih menonjol dengan pemikiran yang tidak stagnan dan selalu ada perkembangan, dibanding sekolah-sekolah lainnya seperti SMEA, SMI, dan SGB.
“Saya ada pacar dulu… jadi pacar saya ini yang saya ajarkan (tarian momonte), baru dia ajarkan lagi,” kisah Asman dengan sumringah. Kenangnya juga, ia memiliki dua pacar waktu itu dan merekalah yang melatih para penari. Selanjutnya, uang dari menari mereka gunakan untuk membantu perbaikan sekolah yang hancur dan diberikan kepada beberapa pejabat setempat.
Ya, meski terkenal tegas, namun Asman juga mempunyai sisi yang lembut. Baginya, melakukan apapun jika tidak disertai dengan hati yang bersih, maka akan berujung pada keburukan. Prinsip demikian itu juga ia terapkan dalam kepemimpinannya.
dengan kepemimpinan Asman pun menjadi penyokong kemajuan sekolah, hingga kemudian Asman mendirikan koperasi IPAS, di mana ia juga menjadi ketuanya. Langkah pertamanya adalah membuat anggaran dasar, kemudian anggaran rumah tangga, barulah anggaran belanja. Alhasil, koperasi ini maju sekali. Semua kebutuhan pelajar terpenuhi dan harganya murah, mulai dari alat tulis-menulis hingga kebutuhan hidup sehari-hari.
Asman terbukti pekerja keras. Ia mengerjakan semua tugas dan kewajibannya dengan penuh tanggung jawab. Sebab, ia tidak ingin pelajar-pelajar pengurus yang meneruskan apa yang sudah dipimpinnya dengan pondasi yang sangat kuat, tidak bisa melanjutkan dan mengembangkannya. Ia ingin memberikan contoh dan warisan yang patut ditauladani kepada mereka. Karena itu, ia benar-benar mempersiapkan segala sesuatu dengan baik, sebelum akhirnya ia harus lengser dan digantikan oleh kepengurusan yang baru.
Akan tetapi, sebelum hal itu terjadi, SGA terbakar sehingga harus dipindahkan ke Palu. Syukurlah, koperasi yang dipimpinnya masih bertahan. Sebab, barang-barang yang dijual di koperasi disimpan di toko dan hanya diambil pada saat diperlukan saja. Sedangkan koperasinya? “Tidak, karena koperasi itu kantornya sama saya ini, jalan-jalan dengan saya ini saja. Di kepala saya ini saja.” Demikian jawaban Asman, tegas.
Di Palu, pergaulan keorganisasian Asman semakin luas. Ia didatangi oleh pengurus IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) dari Manado.
“Saya tidak tahu kenapa. Mungkin dia tanya sama orang di luar. Dia datang di sekolah perkenalkan diri, dia bilang pelajar dari Manado. Lama saya bicara di kantor sekolah. Jadi dia sampaikan maksudnya untuk buat bentuk IPPI kabupaten Donggala. Apa itu IPPI? Dia jelaskan. Tapi dia bilang bagaimana caranya supaya bisa ngundang semua sekolah yang ada di sini, dan siapa yang mereka harapkan untuk duduk sebagai pengurus nantinya itu, itu yang kita harapkan hadir, begitu ditulis di dalam undangan. Saya bantu bikin undangan, kemudian saya punya teman-teman bantu untuk edarkan undangan. Akhirnya beberapa hari kemudian jadilah pertemuan IPPI di SGA. Saya minta permisi sama direktur untuk pakai sekolah untuk rapat. Akhirnya terpilih pengurus, saya sebagai ketua dan Markus itu sebagai sekretaris.” Asman sangat bergairah menceritakan kembali pengalamannya. Markus sebagai sekretaris, seorang pemuda peranakan Indo-Jerman yang ahli mengetik 10 jari.
“Saya ini kalau bangun organisasi non-stop, terus-menerus. Saya tidak mau apa yang saya usahakan itu gagal,” ujar Asman dengan penuh keyakinan. Maka, dimulailah penyusunan program kerja untuk IPPI. Program pertama adalah pengenalan IPPI ke semua sekolah. Lagi-lagi, Asman lah yang bertanggung jawab sebagai pembicaranya. “Sampai tamat pun, kalau bisa tetap peduli dengan pelajar. Karena pelajar ini adalah tunas bangsa. Kalau sekarang ini, dibilang penyambung tonggak estavet.” Demikian salah satu seruannya. Tak lama, terbentuklah IPPI di setiap sekolah yang dikunjunginya.
Namun, bagaimanapun juga, yang diharapkan tidak sesuai yang terjadi dalam kenyataannya. Asman menghadapi sedikit masalah ketika pembentukan IPPI Donggala dengan Kisman yang merencanakan untuk membentuk GSMI. GSMI adalah Gerakan Siswa Muslim Indonesia, dari PNI, dan Kisman adalah ketua PNI.
Pada tahun 1964, semua IPPI telah terbentuk di Sulawesi Tengah, kecuali di Donggala, dan barulah di konferensi IPPI di Manado, Asman terpilih sebagai ketua IPPI Sulawesi Tengah hingga dikukuhkan di Jakarta setelahnya.
Disertai Markus, Maspa, dan sekitar lebih dari 10 orang mewakili kabupaten Donggala untuk berkonferensi di Jakarta pada tahun 1964. Ada suatu kejadian yang membekas di hati Asman saat berada konferensi IPPI tersebut. Pada waktu itu, rombongan Asman mendapat tempat menginap di Sekretariat, padahal para undangan lainnya diberi fasilitas hotel. Tentu saja, Asman merasa jengkel karena dibedakan, ditambah lagi keriuhan aktivitas di Sekretariat tersebut membuatnya susah untuk instirahat. Akan tetapi, Asman bersabar, hingga suatu malam terjadilah keributan antara rombongan Toli-toli dan Bolaan Mongondo yang memperebutkan ibukota provinsi. “Bah, ini kesempatan menjadi penengah!” Asman bersemangat.
Pelajar dari Poso berpendapat bahwa Poso lebih tepat untuk dijadikan sebagai ibukota provinsi, dengan argumen sejarah tua Poso dalam sejarah perjuangan Indonesia. Sedangkan, alasan mendasar yang diusung oleh pelajar rombongan Asman adalah, bahwa hubungan pemerintahan baik Sulawesi Tengah bagian Timur maupun ke tingkat nasional bagian barat, semuanya telah mewakili secara geografis. Pelabuhannya bisa dimasuki kapal-kapal besar dari pemerintahan daerah yang dari Indonesia barat, dan dari Timur, apalagi yang dari Poso, bisa melalui darat.
Sekembalinya dari pengukuhannya sebagai ketua IPPI Sulawesi Tengah di Jakarta, Asman langsung menemui Gubernur Datuk Maso Basanankuning. Ia memperkenalkan diri sebagai ketua pelajar provinsi. Selain gubernur, ada juga Front Pemuda dan Front Nasional. “Nah, yang duduk di Front Pemuda mewakili pelajar, saya,” ujar Asman bangga.
Pada saat kepemimpinan Asman, IPPI se-Sulawesi Tengah memiliki sekitar 60 ribu anggota, sehingga organisasi yang lain sulit berkembang, karena IPPI terus-menerus tumbuh di tingkat provinsi, kabupaten, dan nasional. Asman pun tak pernah berhenti berkiprah untuk memajukan organisasinya. Cita-cita Asman untuk meningkatkan pendidikan di kotanya setamat ia sekolah ternyata tidak semudah yang ia inginkan. Tak dipungkiri, kompetensinya dalam memimpin beberapa organisasi dan terbukti telah berhasil membesarkan nama organisasi tersebut, membuatnya dipinang banyak sekolah untuk mengajar. Namun, apa daya, ia masih terlalu sibuk dengan organisasi. Dedikasi dan loyalitasnya sangat tinggi untuk organisasi. Ditambah lagi, ia masih belum menemukan orang yang tepat untuk menggantikannya meneruskan organisasi yang ia pimpin. Padahal ia sudah diminta langsung oleh Kepala Dinas PDK, bahkan SK-nya pun sudah ada.
Asman menyadari sepenuhnya bahwa ia tidak bisa selamanya mengurus organisasi ini. Di lain sisi, ia juga berharap sepenuhnya bahwa siapa saja yang menggantikan atau meneruskan apa yang telah dibangunnya dengan sepenuh hati. Sebab, baginya, organisasi adalah juga media perjuangan di mana ia bisa mewujud-nyatakan kepedulian nasionalisnya untuk negara dan bangsa yang ia cintai. Karenanya, ia harus benar-benar memilih orang-orang yang bisa dipertanggungjawabkan kapabilitas mereka. Termasuk ketika ia memilih langsung orang-orang tersebut, ketimbang menggelar konferensi. “Konferensi juga belum tentu menghasilkan yang baik, karena konferensi ini ada dukung-mendukung yang bisa saja akhirnya tidak baik,” Asman berargumen.
Dan, terbukti. Orang-orang pilihan Asman sungguh mengemban amanah mereka seperti yang ia harapkan. Seperti saat seorang bendaharanya di IPPI menghubunginya untuk menanyakan tentang alokasi uang IPAS selepas ia tamat. Pada saat itu beginilah jawaban Asman: “Begini saja, Bu, kalau Ibu setuju, berikan saja pada yang membutuhkan, yayasan panti asuhan atau panti jompo yang ada di Palu”. Hingga satu bulan berikutnya bendahara-nya itu mengirimkan surat pemberitahuan bahwa uang IPAS telah disalurkan sebagaimana perintahnya. Bahkan setelah Asman tidak lagi memegang posisi kepemimpinan itu, ia masih memiliki orang-orang yang loyal padanya.
Setamat SGA, Asman mengajar. Sebagai seorang pengajar, Asman sangat ingin sekali memajukan pendidikan di tanah kelahirannya, di Tompe. Konsekuensinya, ia harus memimpin IPPI dari jarak jauh. Meskipun demikian, sayap kepemimpinan Asman justru kian melebar. Pejabat-pejabat di Tompe mempercayakannya untuk membentuk organisasi kesenian yang bertujuan untuk menggali kebudayaan kesenian Kaili.
“Saya diajak oleh Pak Sompa Yusuf waktu itu. Dia wakil Camat, lalu pindah ke kantor bupati, baru sekolah lagi dan terakhir dia jadi kepala Bapeda hingga dia di Perhubungan. Saya diminta itu…” ujar Asman merunut aktivitasnya dalam pengembangan kebudayaan Kaili. Lanjutnya, “Lalu dibikin undangan kepada semua guru-guru, tokoh masyarakat, tokoh perempuan, pemuda, tokoh adat. Kemudian, kita membicarakan (tujuan organisasi) mengali kebiasaan Kaili. Misalnya, yang diprogramkan waktu itu, Raego dari Poso, sejenis tarian mirip Dero, tarian selamatan waktu panen, kemudian dadendate dan banyak lagi mau digali. Kemudian di dalam program menggali kebudayaan Kaili ini, kita banyak berdialog dengan orang-orang tua, lalu kita menuliskan kembali, misalnya, apa yang dimaksud dengan moraego, bagaimana bentuk tariannya, menari atau menyanyi, dan apa pesan-pesannya.”
Dalam organisasi barunya ini, Asman benar-benar menanamkan prinsip bekerja dalam organisasi dengan hati. Dalam artian, ia sama sekali tidak ingin organisasi yang ia pimpin dan memiliki tujuan-tujuan mulia untuk bangsa disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan satu pihak semata. “Saya bilang, jangan organisasi kita ini nantinya bikin malu, karena kita semua ini adalah tokoh-tokoh masyarakat, ada guru-guru,” kisah Asman mengingat wanti-wantinya dahulu. Asman juga menjadwalkan kunjungan para kepala sekolah ke satu dan lain desa untuk mengampanyekan kebudayaan Kaili ke semua kalangan masyarakat. Selepas kunjungan tersebut, mereka pun diwajibkan untuk menyusun laporan perkembangannya.
Semuanya berjalan sesuai rencana, hingga akhirnya pecah peristiwa 1965. Sebelumnya, Asman telah memberi peringatan kepada para anggotanya tentang kemungkinan organisasi Andolia dikaitkan dengan organisasi politik yang gemar berkonflik pada tahun tersebut. Namun, Asman dan kawan-kawannya tak gentar, sebab sejak pertama kali mendirikan organisasi ini, mereka telah bersepakat pada satu tujuan, yakni menggali kebudayaan Kaili, dan tidak ada kaitannya dengan organisasi politik apapun. Organisasi ini murni bergerak untuk seni, tak ada tendensi apapun, kecuali semata-mata digerakkan oleh keinginan hati untuk membekali generasi penerus bangsa dengan kekayaan seni-budaya tanah air.
Satu tahun kemudian, pada 1966, Asman didatangi oleh Muhsen yang membawa pasukan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) dan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) bersama dengan Polisi untuk menangkapnya. Setelah dibawa Polisi ke Donggala, beberapa lama kemudian ia dipaksa menandatangani secarik pengakuan ‘buatan’ yang menyatakan bahwa ia menerima beberapa senjata untuk ia pergunakan sewaktu-waktu. Jika menolak mengakuinya, Asman harus siap menerima siksaan bertubi-tubi.
Kisah Asman, saat ditangkap waktu itu, ia menjabat sebagai pimpinan IPPI dan tidak berafiliasi dengan PKI. Ia mengetahui PKI secara mendalam karena ia kenal dengan Abdul Rahman Dg Maselo. Selain satu kampung, Asman masih memiliki ikatan keluarga dengan Ketua I Partai Komunis Indonesia di Sulawesi Tengah itu. “Jadi, bagaimana saya tidak mau kenal Abdul Rahman, bagaimana saya tidak kenal PKI. Di sini saat itu PKI menjadi partai yang sangat maju. Soalnya, pimpinannya hebat, serba bisa, hebat seni, mengaji, orasi, main voli, main gitar, suara bagus, dan ganteng,” jelas Asman.
Intensitas pertemuannya dengan Abdul Rahman Dg Maselo terjalin karena saling bertemu dalam Front. Asman di Front Pemuda, dan Abdul Rahman di Front Nasional. Namun, tujuan pertemuan mereka sama sekali bukan untuk urusan partai. Karenanya, Asman terkejut ketika ia ditangkap dengan tuduhan terlibat gerakan terlarang pada masa itu.
Dari ‘Cinta Lokasi’ Ke Cinta Sejati
Hari-hari Asman selama penahanan dilewatkannya dari satu ke lain tempat kerja paksa. Ia dan para tahanan politik lainnya diperkerjakan dengan paksa tanpa bayaran. Karena berpindah-pindah tempat kerja paksa, Asman hampir tidak pernah dapat dikunjungi oleh keluarganya. Maka, tak jarang Asman merasa tak punya siapa-siapa. Namun demikian, ia kembali bangkit untuk berjuang dan bertahan hidup ketika ia berkumpul bersama para tahanan lainnya yang senasib dengannya. Ia seakan memperoleh gairah hidupnya kembali. Satu sama lain saling memberi semangat dan dukungan untuk tetap bertahan demi kelak membuktikan bahwa mereka bukan musuh berbahaya apalagi penghancur bangsa yang mereka cintai.
Di sisi lain, sebagai laki-laki, rasa kesepian Asman terkadang muncul karena ia jauh dari seseorang yang istimewa yang memberinya cinta kasih dan perhatian. Namun, sepanjang rasa sepinya itu, Asman tidak pernah mencari seorang yang istimewa itu, melainkan justru pemberi cinta itu sendiri yang datang menghampirinya. Karena, bagaimanapun juga, Asman sadar dengan putaran hidup yang dilakoninya saat itu. Ia adalah seorang tahanan, terlebih lagi ia adalah tahanan politik, yang tanpa kepastian akan hari kebebasannya. Ia pasti akan mengecewakan seseorang yang menjadikannya pemimpin bagi biduk rumah tangga yang kelak akan ia arungi bersamanya, dan itu sama sekali bukan prinsip kepemimpinan yang selama ini ia pegang teguh.
Asman memiliki kisah perjalanan cinta yang menarik. “Sebenarnya waktu ditahan itu, banyak juga perempuan yang suka sama saya. Saya heran juga. Hahaha…,” gelaknya.
Kisah cintanya dengan gadis Masaingi bernama Lina Momi, dilaluinya dengan penuh liku. Mulai dari kesepakatan untuk nekat lari ke Kalimantan tanpa ada uang hingga melanjutkan hubungan asmara yang kian pelik ketika Asman di penjara. “Saya bukan tahanan pencuri, saya tahanan politik. Saya tidak tahu, tidak ada vonis kapan saya bebas. Saya juga tidak bisa melarang (kamu menerima lamaran orang lain) karena itu hak kamu,” Asman menuturkan. Satu tahun kemudian, gadis pujaan hatinya itu menikah dengan seorang dosen.
Tak hanya itu, di setiap tempat kerja paksa, Asman selalu terlibat ‘cinta lokasi’, istilahnya pemudapemudi zaman sekarang. Seperti ketika ia kerja paksa di Donggala, di perumahan bea cukai. Ia bertemu dengan seorang perempuan peranakan Bugis Cina, anak perempuan seorang tetangga yang ia tumpangi memasak semasa kerja paksa saat itu. Nur, namanya. Lalu, ada perempuan lain peranakan Kaili Bugis juga menaruh hati pada Asman. Ketika Asman akan dipulangkan kembali ke penjara, mereka berdua bahkan ingin ikut dengannya. Namun, terang saja, Asman mencegah mereka.
Lain lagi ketika Asman melakukan kerja paksa di Soulowe. Asman terlibat kisah cinta dengan seorang perempuan bernama Rusia yang ternyata sudah dipinang oleh seorang duda tua kaya beranak lima. Kali ini, kisah cinta Asman terbilang berisiko, mulai bertemu secara sembunyi-sembunyi di luar tahanan hingga Asman harus mengganti hantaran pernikahan karena perempuan tersebut tidak mau menikah dengan si duda. Asman disidang oleh ketua adat dan dikenai sanksi mengembalikan hantaran duda itu berupa satu ekor sapi, dua karung goni beras, beberapa ratus ribu uang.
Tiga kali sidang adat, Asman pun bebas dari denda ganti rugi, namun dengan syarat, akan menikahi perempuan itu. “Saya janji paling lama dua bulan setelah bebas, saya sudah akan datang melamar,” tutur Asman, menirukan janjinya dalam sidang adat saat itu. Meski begitu, perjalanan cinta Asman justru tidak berakhir bersama Rusia. Asman dijodohkan oleh keluarganya dengan seorang perempuan yang masih memiliki ikatan keluarga dengannya juga. Sena, nama perempuan yang akhirnya menjadi cinta sejati Asman.
Berjuang Demi Semangat Hidup
Dalam sebuah perjalanan, pastilah seseorang akan menemukan setapak terjal, yang bagaimanapun juga harus ia lalui untuk menggapai tujuannya. Demikian pula perjalanan hidup. Banyak aral melintang yang harus dilalui demi menggapai tujuan hidup. Gunanya, proses selama melalui masa-masa kelabu dalam hidup itu dapat menempa seseorang agar bisa lebih tangguh dalam memperjuangkan akhir yang baik di
setiap tujuan hidupnya.
Hingga dalam putaran hidup yang sekarang ini, telah banyak pasang surut kehidupan yang Asman lampaui. Pun, telah banyak pelajaran hidup yang ia terima, termasuk ketika ia harus menjalani hukuman tanpa proses peradilan terkait tuduhan keterlibatannya dalam PKI.
“Saya sudah pertanggungjawabkan. Berkali-kali diperiksa di Laksusda, Teperda, Sapujagad, saya pertanggungjawabkan,” kisah Asman, berkobar. “Saya sudah bilang IPPI ini bukan organanisasi partai politik atau onderbouw apa, atau ada aktivitas mengarah ke partai apa. Ini aktivitas murni pelajar tujuannya. Jadi, kalaupun ada yang IPPI, saya yang bermain di dalam. Saya tidak katakan bahwa ini nanti kalau besar jadi PKI. Tidak!”
Sebagai pemimpin, Asman adalah juga pengayom. Ia berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan semua hal yang telah tercetus dari pikirannya untuk organisasinya. Ia menolak untuk menjadi pemimpin yang hanya menikmati kekuasaan, namun tidak berani berdiri di garda depan ketika organisasinya diterjang masalah. Asman pun menerima segala siksaan dan hukuman dengan hati yang besar. Yang ada dalam benaknya adalah bahwa ia sedang memperjuangkan cita-citanya lewat IPPI untuk melahirkan pelajar-pelajar yang tidak hanya berilmu tinggi tapi juga menghargai seni budaya tanah air sendiri sebagai aset dan kekuatan untuk berkiprah di skala pergaulan internasional.
Asman sama sekali tidak pernah terpikir akan berada pada satu momen yang menjadikannya seolah musuh bebuyutan dari bangsa yang selama ini ia bela dan perjuangkan. Namun, ia tidak ingin menjadi seorang anak bangsa yang durhaka pada komitmennya untuk mencintai tanah air dengan jiwa raganya.
Karena itu, ia tetap berjuang demi kebenaran yang ia pegangi sungguh-sungguh, termasuk, sebagai individu, ia meyakinkan keluarganya bahwa ia sama sekali tidak terkait dengan PKI dan, sebagai pemimpin, ia sendiri yang mempertanggungjawabkan bahwa IPPI yang ia pimpin sejatinya organisasi kemasyarakatan untuk mengembangkan potensi pemuda Indonesia. “Saya mati-matian bertahan, apalagi waktu diperiksa di Laksus di kantor CPM, saya mati-matian dengan Kapten Sarwan itu bentakbentak,” kenangnya, dengan tatapan bergejolak di matanya.
Setelah skenario penangkapan itu, Asman diproses di Donggala. Interogasi pertama di tangan Muhsen dilaluinya hingga berdarah-darah. Tapi, Asman gigih melawan hingga Muhsen tak berkutik. Selanjutnya, hal baik berpihak padanya ketika Sang Komandan yang mendengar dari balik dinding ruang interogasi itu datang dan memerintahkan Muhsen untuk keluar. Sang Komandan bersikap baik padanya. Esok hari, seorang Toraja bernama Piter Lobo ditugaskan untuk menginterogasinya. “Pak, saya kalau diperiksa, periksa. Kalau mau dipukul, jangan diperiksa. Kalau mau diperiksa, jangan dipukul,” pesan Asman sebelum interogasi dimulai. Asman harus menjawab beberapa pertanyaan formalitas, menandatanganiberkas, lalu dipindahkan ke Polres. Saat perjalanan menuju Polres, Asman hampir saja dibunuh di tengah jalan oleh Muhsen, tetapi lagi-lagi Asman beruntung terhindar dari niat jahat Muhsen.
Di Polres, Asman bertemu dengan Letnan Semen, Kasi I, yang sangat ia kenal karena setiap kegiatan IPPI, ia selalu melapor kepada Letnan Semen. Alhasil, sel Asman disediai dengan tikar dan bantal atas perintah Letnan tersebut dan perintah Letnan itu lagi, “Ini kamarnya jangan dikunci, tidak lari, saya kenal orangnya.” Meski merasa heran dengan sikap Letnan Semen, karena kebanyakan orang tidak akan berani mengaku mengenal orang-orang yang terlibat PKI, namun Asman sangat berterima kasih dengan kebaikannya.
Satu bulan di Polres, Asman dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Maesa. Di sinilah siksaan demi siksaan mulai semakin acap ia terima tanpa bisa berbuat apa-apa, dari Tim Sapujagad Indonesia Timur di bawah komando Kris Montolalu. Namun, setidaknya, ia bisa bertemu dengan kawan-kawannya dan rasa sakit lahir-batin yang dilakoninya bisa sejenak ia alihkan ketika berkumpul bersama mereka meski lewat
berbagi cerita derita, termasuk bertukar cerita tentang kerja paksa.
Pada saat di penjara, Asman selalu meminta ingin bertemu dengan Abdul Rahman Dg Maselo, akan tetapi permintaannya itu tidak pernah dikabulkan. Ia ingin sekali mengetahui keberadaan dan keadaan terakhirnya, sebab banyak beredar kabar yang simpang siur tentang orang yang disebutnya sebagai Singa Podium itu. Ada yang mengatakan bahwa Abdul Rahman Dg Maselo dibunuh, ada berita Abdul Rahman Dg Maselo dikirim keluar negeri, dan ada juga yang mengabarkan bahwa Abdul Rahman Dg Maselo disembunyikan.
Asman dan kawan-kawannya tidak pernah tetap di penjara sampai satu tahun, kecuali pada waktu-waktu tertentu, seperti misalnya Pemilu. Biasanya, satu bulan saja mereka di penjara dan bulan-bulan selanjutnya mereka dipekerjakan tanpa gaji untuk membangun jalan, jembatan, sungai, dan lain-lain di tempat-tempat yang berbeda, seperti Kantor Korem, Manggala Sakti, Aula Batalyon 711, juga rumah, 11 rumah di perumahan Korem. Mereka kebanyakan kerja paksa untuk proyek TNI. Jika harus mengerjakan proyek pemerintah, TNI memiliki Kompi Seni Bangunan yang menjadi semacam kontraktornya dan para tahanan politik seperti Asman dan kawan-kawannya yang mengerjakan proyek-proyek bangunan militer dan bangunan pemerintah. “Kita hanya makan siang sama malam, pagi tidak,” ujar Asman, menghela napas panjang.
Mereka bekerja seperti binatang, tanpa upah. “Kita seperti hewan saja, disuruh membajak, ya membajak,” kisah Asman menumpahkan rasa kecewanya. Ia sangat kecewa terhadap Pemerintah yang tidak bisa menentukan mana yang benar dan mana yang tidak. Namun, ia sama sekali tidak merasa malu dengan nasibnya saat itu. Yang ada di pikirannya bahwa ia harus bertahan hidup. Tidak digaji untuk kerja paksa yang ia jalani, itu tidak menjadikannya menyerah pada keadaan. Bersama para tahanan politik lainnya, Asman mencari cara lain untuk mendapatkan uang. Seperti misalnya, ketika bekerja di kebun kopi. Setelah kerja seharian, mereka masuk ke dalam hutan mencari rotan untuk dibuat pemukul kasur, tali untuk pengikat, atau apa saja yang bisa dijual. Kemudian jika kerja paksa di kampung, uang tambahan mereka dapatkan dengan reparasi kursi, meja, tempat tidur, dan sebagainya.
Perjuangan Asman tidak berhenti pada saat-saat menjalani kerja paksa saja. Belum lagi saat-saat lebaran atau natal. Saat-saat yang seharusnya bisa berkumpul dengan sanak keluarga, tetapi mereka harus mendekam di penjara. Bahkan di kamp-kamp, para tahanan tidak bisa bebas berkumpul, apalagi merayakan hari besar keagamaan mereka.
Semua tahanan politik pada saat itu, baik anggota PKI maupun yang bukan anggota PKI, mendapatkan hukuman yang sama. Mulai dari disetrum, dicambuk, hingga didera sampai mati. Kesemuanya disiksa tanpa proses pembuktian dalam peradilan yang ada. Melakoni semua ini, Asman berserah, tapi bukan karena ia menyerah atau bersalah seperti yang dituduhkan kepadanya, melainkan lantaran ia harus bertahan untuk membuktikan bahwa segala tuduhan yang ditudingkan padanya adalah tidak benar, bahwa ia adalah anak bangsa yang sangat mencintai tanah air dan ingin memberikan yang terbaik untuk Ibu Pertiwi lewat kiprahnya dalam organisasi kemasyarakatan yang memberdayakan potensi para pemuda sebagai generasi penerus sejarah Indonesia kelak.
“Tidak Akan Pernah Berhenti!”
Setelah bebas pada tahun 1979, perjuangan Asman tidak berhenti dan justru semakin gigih. Ia harus meluruskan penyimpangan sejarah hidupnya sendiri, sekaligus sejarah bangsa Indonesia pada umumnya. Ia bertahan hidup hingga detik ini untuk menegakkan kebenaran yang ia yakini.
Bertahun-tahun menjadi tahanan, tak pelak Asman kehilangan sumber-sumber kehidupan yang bisa menopangnya sekeluarnya dari penjara. “Selama itu (dalam tahanan) tenaga kita dikuras, dan sekarang lahan pekerjaan yang tersisa adalah pekerjaan berat, sementara kita sudah tua, tenaga tidak kuat lagi. Jadi hanya jualan di warung begini saja. Kecuali jika ada modal besar,” ujar Asman, berserah. Syukurlah, keluarganya tak putus-putus membesarkan hatinya untuk terus melangkah ke depan. Setelah bebas dari tahanan, ia sama sekali tidak mendapatkan perlakuan yang berbeda dari seluruh keluarganya.
Ditambah lagi, anak-anaknya juga masih bisa berjalan tegak tanpa harus malu karena menjadi ‘anak PKI’. Semua itu dikarenakan semasa Asman menjadi orang bebas maupun orang tahanan, ia selalu menjalin pergaulan yang baik dengan orang-orang di sekitarnya, semaksimal mungkin menjadi panutan yang baik dengan potensi yang ia miliki untuk orang-orang sekitarnya. Karena itulah penerimaan masyarakat paska
kebebasannya sungguh semakin membangkitkan gairah kepemimpinannya kembali.
Setelah keluar dari penjara, Asman masih berorganisasi. Ia sering diundang sebagai tokoh masyarakat ke acara-acara diskusi yang membahas kemaslahatan masyarakat. Meski tidak lagi berkecimpung dalam LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat), Asman aktif di kepengurusan lansia Kecamatan Palu Utara, sebagai sekretaris.
Asman tetap menjadi sosok yang disegani. Bukan karena ia pernah ‘terlibat’ PKI atau apapun juga, melainkan karena ketegasan dan sikap disiplinnya yang tinggi. Selama sepuluh tahun di LPM, Asman banyak mengungkap kasus korupsi terhadap dana LPM untuk bantuan desa yang tidak terprogram dan tidak diarahkan dengan baik. Ia bahkan pernah mempermasalahkan proyek pertambangan karena berdampak buruk bagi masyarakat. Saat itu, mewakili masyarakat Palu Utara, Asman membuka sidang bersama semua anggota DPRD bersidang dan Kepala Dinas Pertambangan. Tak ayal, masyarakat semakin menaruh penghormatan yang tinggi atas sikap kepemimpinan Asman, tanpa melihat masa lalu kelam yang pernah ia jalani.
Asman tidak pernah menyesal dengan pengalaman hidupnya sebagai tahanan politik. Baginya, seorang pemimpin harus mampu mengambil pelajaran yang baik dari segala pasang surut kehidupan, dengan begitu ia akan lebih memiliki karakter kepemimpinan yang tangguh yang pada akhirnya pasti akan sangat berguna bagi generasi penerusnya agar tidak mudah surut langkah. Perjuangannya demi harga diri yang telah terinjak-injak tidak bisa tidak memerlukan ketekunan. “Peristiwa pelanggaran HAM ini sudah mendunia. Mengapa ini tidak digunakan? Kalau satu kali gagal, ulang lagi. Karena, kita ingin stigma yang selama ini digantung di leher kita, kita sendiri yang melepaskannya,” Asman bertekad kuat.
Setiap kali mengingat bagaimana ia dan para tahanan politik lainnya bertahan dari rasa sepi, sakit, kecewa, dan diinjak-injak hak asasi mereka, Asman selalu teringat sekali ketika mereka menghabiskan malam nan panjang setelah capek seharian bekerja, dengan bercerita apa saja, termasuk tentang keadaan keluarga yang mereka tinggalkan, bagaimana mereka bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dan apakah mereka dapat menjalani hari-hari sebagaimana sebelum pecah peristiwa 1965. Di lain waktu, jika sudah merasa bosan, Asman dan sesama tahanan mengadakan lomba notuntu (mendongeng) di penjara. Yang terbaik dongengnya, tahanan lainnya akan memberikan hadiah. “Ada satu orang yang hebat mendongeng, tapi sudah meninggal, namanya Aminudin Lajamana,” kenang Asman.
Mereka mendongeng cerita dari mana saja. Ada yang dari kampung halaman, ada pula yang dikarang sendiri oleh masing-masing tahanan. Yang paling penting, dongeng-dongeng itu mengandung semangat perjuangan, supaya satu sama lain tidak akan pernah padam semangat perjuangan mereka. Dan, dongeng yang menang dan paling berkesan adalah dongeng ikan gabus dan tikus. Alkisah, di sebuah sungai yang besar, ada balok kayu menjorok ke dalam sungai. Balok kayu itu adalah sarang keluarga tikus, dengan seekor anak betina yang sudah beranjak dewasa. Pada suatu hari, seekor ikan gabus bermain-main di sungai itu dan terlihat menawan di mata si tikus yang bertengger di atas kayu.
Selanjutnya, ikan gabus sering mengunjungi tikus di darat. Sebaliknya, tikus tak pernah absen menyambangi ikan gabus di air. Suatu hari, tikus memberitahu kepada orang tuanya bahwa dia ingin kawin dengan ikan gabus. Tentu saja, itu mustahil. Keduanya berasal dari dua dunia yang berbeda. Tikus berkeras hati, hingga ia hampir mati di dalam air. Ketika bertemu ikan gabus, tikus berkata bahwa dia akan hidup kembali jika diberikan telur ayam. Ikan gabus pun mencari telur ayam di darat. Ketika ada orang mengambil air dengan wadah bambu, ikan gabus cepat-cepat masuk ke dalam bambu itu. Sesampainya di rumah orang itu, saat menuangkan air dari bambu ke dalam baik air, maka saat itu juga ikan gabus melompat turun, mengambil telur ayam dan menelannya, lalu kembali lagi ke dalam bambu. Ketika orang itu kembali ke sungai, ikan gabus pun segera menemui tikus dan memberikan telur ayam kepada kekasihnya.
Di lain hari, keadaan berbalik. Ikan gabus sakit keras karena hampir dimakan manusia saat berjuang mendapatkan telur ayam. Ikan gabus bisa sembuh jika diberikan hati buaya. Maka, tikus pun langsung pergi ke muara dan memanjat pohon kelapa. Tikus menjatuhkan buah kelapa ke dalam sungai hingga masuk ke dalam mulut buaya. Dari dalam buah kelapa yang sudah berada di dalam perut buaya, tikus pun cepat-cepat mengambil hati buaya, dan tikus berhasil keluar ketika buaya memuntahkan buah kelapa itu.
Perjuangan ikan gabus untuk menyelamatkan tikus, dan sebaliknya pengorbanan tikus untuk menyembuhkan ikan gabus menjadi perlambang bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika kita berupaya keras untuk mewujudkannya. Di lain sisi, dengan cerita-cerita pembangkit semangat semacam itu, Asman dan para tahanan politik lainnya seakan menemukan kebebasan dan kemerdekaan mereka meski dalam kungkungan bangsal besar yang lembab dan kotor. Mereka berupaya keras dengan berbagai cara, termasuk menghibur diri dengan mendongeng, untuk melapangkan banyak hal yang menggerogoti semangat mereka; kepahitan, kegetiran, kesakitan, dan kekejian yang mereka alami sebagai tahanan politik Orde Baru.
Mencuplik pendapat Gertrude Hartman dalam kata pengantar bukunya, Builders of the Old World, yang terbit tahun 1959. Katanya, ”Menyebarkan fakta dan gagasan melalui buku, majalah, dan surat kabar (baca: tulisan) adalah salah satu cara terkuat untuk belajar tentang kebenaran mengenai apa yang sedang terjadi di dunia. Kita harus tahu kebenaran, dan kebenaran akan membuat kita bebas.” Lebih dari itu, Asman secara pribadi juga sekaligus menyuarakan derita dan kepedihan tak tertanggungkan kawan-kawannya sesama tahanan politik; bagaimana mereka bebas hanya sebagai tahanan, tetapi sesungguhnya kemerdekaan dan nasib baik tidak pernah berpihak kepada mereka.
Sejak dahulu hingga hari-hari senjanya kini, Asman tidak pernah berhenti untuk menggalakkan kekuatan potensial generasi muda. “Saya sudah tua, sudah cukup. Kalau ada anak-anak muda yang belum tahu apa-apa, datang ke sini saja, nanti saya ajar. Di Tawaeli ini, mungkin daerah paling banyak sarjana, kenapa tidak digunakan mereka?” ujarnya dengan semangat juang yang seakan takkan pernah padam. Asman juga yang mencetuskan adanya pengobatan cuma-cuma bagi para lansia di Palu Utara, setiap hari Kamis.
“Cukup kami saja yang merasakan ini. Harapan saya, mudah-mudahan apa yang kami rasakan ini bisa menjadi motivasi bagi kami dan mendukung kami bahwa memang telah terjadi pelanggaran HAM,” tegas Asman mengakhiri kisahnya.
Pewawancara : Nurlaela AK Lamasitudju
Penulis : Fati Soewandi
Sumber: SKP-HAM.Org 

Sabtu, 20 Oktober 2012

Memecah Pembisuan, Membongkar Tabu: Mendengar Suara Korban Tragedi 1965

20/11/2012 | Oleh Yoseph Yapi Taum*




Memecah Pembisuan: Tuturan Penyintas Tragedi ’65-’66Akhmad Zakky; Lembaga Kreativitas Kemanusiaan 2011
Editor:  Putu Oka Sukanta; Tebal: 315 h.

Pengantar
KARENA judul buku ini adalah Memecah Pembisuan, saya ingin mengawali ulasan ini dengan menjelaskan istilah serupa, yaitu Breaking the Silence.  Breaking the Silence (BtS) adalah sebuah LSM Israel yang terletak di wilayah Barat Yerusalem, didirikan tahun 2004 oleh veteran tentara Angkatan Bersenjata Israel.[1] Kegiatan mereka antara lain mengumpulkan dan mempublikasikan kesaksian-kesaksian dan pengalaman para tentara dalam tugas dan operasi mereka di wilayah pendudukan: Tepi Barat, Jalur Gaza, dan wilayah Timur Yerusalem selama Intifada Kedua. Misi LSM ini adalah ‘memecah pembisuan’ dalam diri tentara-tentara Angkatan Bersenjata Israel yang sudah kembali dalam kehidupan sipil di Israel dan ‘mengungkap adanya ganjalan yang mereka rasakan dalam menghadapi realitas di wilayah pendudukan dan pembisuan mereka di rumah.’
Sejak tahun 2004, LSM ini telah menerbitkan serial bunga rampai berjudul Kesaksian Para Tentara. Serial ini memuat ratusan kesaksian ‘dari para penjaga perbatasan, pasukan keamanan, dan mereka yang bertugas di wilayah pendudukan.’ Tujuan penerbitan buku itu adalah ‘memaksa masyarakat Israel melihat realitas yang sesungguhnya’ dan menyadari adanya ‘pelecehan, pengrusakan, dan penghancuran harta benda milik warga Palestina.’ Sebelumnya mereka dibisukan, seolah-olah perbuatan itu wajar dilakukan dan pembicaraan mengenai tindakan tentara Israel di wilayah pendudukan adalah tabu. Tentu saja organisasi ini dimusuhi pemerintah Israel. Tekanan pemerintah Israel semakin kuat ketika LSM ini mengungkap kesaksian tentara Israel yang ikut dalam pemboman Gaza tahun 2009.
Contoh kesaksian (1). ‘Saya tidak tahu apa yang dilakukan Hamas di kota Hebron, tetapi ketika terjadi ketegangan di Hebron, saya tidak pernah menyaksikan satu pun orang Arab yang mengancam keselamatan orang Yahudi. Maksudku, saya tidak pernah melihat adanya kekerasan yang dilakukan dari pihak orang Arab, atau tindakan mereka yang mengganggu orang Yahudi. Saya pikir tidak ada alasan apapun bagi orang Israel untuk takut. Orang Yahudilah yang selalu mengganggu dan membuat marah orang Arab. Mereka membuang sampah kotor ke halaman rumah orang Arab. Jika ada seorang anak Arab berlari mendekati tiga anak Yahudi, para tentara Israel akan memukul atau menghinanya. Ada begitu banyak pelecehan yang dilakukan terhadap orang Arab’ (Breaking the Silence: Soldiers’ Testimonies from Hebron 2008-2010. Booklet. Printed in Jerusalem, 2011).
Contoh kesaksian (2). Dalam serangan ke Gaza, ada 54 kesaksian tentara Israel yang mengungkap tentang penggunaan gas fosfor yang diarahkan ke pemukiman penduduk, pembunuhan korban-korban yang tidak bersalah, penghancuran ratusan rumah dan masjid tanpa tujuan dan alasan militer. Dalam serangan tersebut, taktik ‘Neighbor Procedure’ juga dipakai: penduduk sipil digunakan sebagai tameng dan dipaksa memasuki gedung-gedung bersama para tentara (Breaking the Silence: Soldiers’ Testimonies from Operation Cast Lead, Gaza 2009. Booklet. Printed in Jerusalem, 2010).
Hal yang ingin saya sampaikan dengan cerita-cerita ini bahwa pelaku pembantaian (perpetrators)sebenarnya juga merupakan korban (victims) dari sebuah sistem yang dibangun. Ketika pelaku kejahatan ‘diharuskan’ menjalankan perintah atasannya untuk melecehkan, merusak, membunuh, memperkosa, ataupun melakukan kejahatan terhadap korban yang dipandang sebagai liyan, selalu ada sisi kemanusiaan yang tidak bisa dibungkam. Bagi saya, ‘hukum’ ini merupakan sebuah kebenaran abadi.[2] Dalam sejarah pembantaian tentara Nazi terhadap orang-orang Yahudi, selalu ada orang seperti Schindler yang berjuang dengan berbagai resiko menyelamatkan sebanyak mungkin orang-orang Yahudi.
Perspektif semacam ini sangat jarang – untuk mengatakan tidak pernah terungkap dalam sejarah Tragedi 1965, kecuali di dalam karya-karya sastra Indonesia yang terbit tahun 1966-1970.[3] Yang ada dalam sejarah Tragedi 1965 adalah ‘penyesalan’ pelaku, seperti Sarwo Edhie Wibowo yang disampaikan Ilham Aidit. Buku Memecah Pembisuan: Tuturan Penyintas Tragedi ’65-66, yang dieditori oleh Putu Oka Sukanta ini memuat sebuah kisah ‘pertobatan’ itu. Bersama empat belas tulisan lainnnya yang diungkap dari perspektif korban Tragedi 1965, buku testomini semacam ini tentu saja sangat berharga untuk mengungkap tragedi bangsa Indonesia yang begitu dahsyat, yang saat ini cenderung diabaikan begitu saja.
Pertobatan: Pelaku sebagai Korban
Buku ini memberi kesempatan kepada seorang pelaku pembunuhan (eksekutor), seorang pensiunan polisi bernama Benny, untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan pengalamannya dalam pembantaian Partai Komunis Indonesia (PKI) di Pulau Timor, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Dalam feature berjudul ‘Benny: Mencari Penyembuhan’ tulisan Nina Junita (h. 25-44), ada beberapa pokok kesaksian yang layak kita cermati.
Pada awalnya Benny ‘masih sangat yakin bahwa pembunuhan terhadap para anggota PKI adalah sesuatu yang harus dilakukan dan benar adanya.’ Namun, ia kemudian meragukan, apakah pembunuhan itu dapat dibenarkan?
Menurut Benny, kesalahan yang jelas-jelas dilakukan oleh aparat adalah: pertama, perintah dari Jakarta untuk membunuh semua tahanan di penjara di SoE (pembunuhan tahap pertama: kasus pencurian, perkelahian, pembunuhan). Tahanan ini tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan PKI; kedua,pembunuhan tahap kedua dan ketiga: sekalipun ada pemeriksaan, tetapi dasarnya tetap tidak jelas, yaitu hanya karena seseorang menjadi anggota PKI dan berafiliasi pada ormas PKI seperti Barisan Tani Indonesia (BTI), Pemuda Rakyat, dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Benny bersaksi bahwa masyarakat penerima bantuan BTI (seperti jagung, beras, gula pasir, pakaian, cangkul, benang) terdesak oleh kelaparan di Pulau Timor akibat gagal tanam dan gagal panen. Mereka tidak peduli dengan ideologi di balik pemberian bantuan itu. Bantuan seperti itu pun diberikan oleh Gereja Masehi Indonesia Timur.
Tetapi pada saat itu, semua orang percaya bahwa PKI-lah yang membunuh para jendral di Lubang Buaya. Tidak ada orang yang berani mempertanyakan kebenaran keyakinan itu. Benny bersaksi bahwa pembunuhan itu perintah Soeharto. ‘Soeharto menyuruh kami membunuh orang-orang PKI itu. Pak Kapolres memerintahkannya pada kami. Saat itu tak ada orang yang berani mempertanyakan keyakinan itu. Bahkan mengucapkan kata kasihan kepada korban dianggap bersimpati pada PKI dan bisa ikut dibunuh’ (hlm. 34).
Masyarakat diyakinkan bahwa PKI adalah partai yang berbahaya karena (1) mengkampanyekan land-reform yang melawan tuan-tuan tanah; (2) mereka telah menggali lubang dan berencana membunuh polisi, tentara, dan bupati; dan (3) mereka adalah kaum ateis yang tidak mengenal Tuhan, karena ideologi mereka komunis. Benny tidak percaya pada isu tersebut karena: pertama,  bagaimana mungkin PKI akan menyerang mereka karena mereka tidak punya senjata sama sekali; dan kedua, orang-orang yang dibunuh itu sangat khusuk berdoa.
Dengan jelas, Benny merekonstruksi pola pembantaian terhadap orang-orang PKI yang mereka lakukan sebagai berikut. (1) Orang-orang yang dicurigai sebagai anggota PKI dijemput dari rumah mereka dan ditahan; (2) Tentara (sebanyak 30 orang, kebanyakan suku Jawa, datang dari Kupang) menentukan giliran siapa yang dibunuh terlebih dahulu; (3) Para tahanan diperintahkan menggali lubang pemakaman mereka sendiri di siang hari; (4) Sebelum dibawa ke tempat eksekusi, para tahanan disiksa hingga babak belur, tangan mereka diikat dan disuruh naik truk; (5) Sebelum tiba di tempat eksekusi, mata mereka ditutup; (6) Tiba di lokasi eksekusi, mereka disuruh menghadap regu tembak membelakangi lubang; (7) Orang-orang PKI diberondong peluru. Jika setelah ditembak masih belum mati, mereka ditusuk dengan sangkur dan didorong masuk ke dalam lubang; (8) Lubang ditutup dan regu penembak meninggalkan tempat itu (hlm. 35-36).
Selama dua tahun, 1966-1967, Benny mengaku telah membunuh 17 orang PKI. Hal itu hampir membuatnya gila (mei nawa, pusing darah). Seorang temannya, Baltazar, dari Flores benar-benar menjadi gila dan berhenti dari dinas kepolisian.
Kisah selanjutnya adalah menyeruaknya rasa bersalah, pertobatan, dan pemulihan batin Benny. Tiga tahun setelah menikah, mereka tak dikaruniai anak. Pada saat yang sama, perilaku Benny menjadi sangat temperamental, rasa bersalah karena telah membantai manusia layaknya membantai binatang selalu menghantuinya. Atas saran beberapa orang, Benny menjalankan ritus penyembuhan adat dan agama. Ketika pada tahun ketiga lahir putri sulung mereka,Maria, Benny percaya bahwa Tuhan telah mengampuni dosa-dosanya.
Sebuah fenomena lain yang muncul, yang barangkali akan menemukan momentumnya adalah dendam dan pembalasan dari pihak korban. Dalam kisah Benny, seorang anggota keluarga korban mendatangi rumah Benny dan menudingnya sebagai pembunuh anggota keluarganya. Hal yang menarik dari kisah ini adalah visi dan semangat anak-anak Benny (seluruhnya berjumlah tujuh orang), yang berusaha untuk mengenal dan berdamai dengan keluarga korban: para istri dan anak-anak orang PKI yang ditinggalkan. Mereka bahkan merekam cerita-cerita keluarga korban ini tentang penderitaan dan kekuatan mereka dalam bertahan hidup, sebagai bagian dari upaya untuk penyembuhan luka batin dan trauma kolektif.
Beberapa Skenario Soeharto yang Terbantahkan
Sejak berakhirnya rezim totaliter Orde Baru di tahun 1998, kisah-kisah mengerikan yang dialami korban Tragedi 1965 mulai dipublikasikan. Beberapa di antaranya adalah: Menembus Tirai Asap: Kesaksian Tahanan Politik 1965 karya Haryo Sasongko (2003); Kesaksian Tapol Orde Baru: Guru, Seniman, dan Prajurit Tjakra karya Suyatno Prayitno (2003); Tahun yang Tak Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65, Esai-esai Sejarah Lisan karya John Rossa, Ayu Ratih, dan Hilmar Farid (2004); Memoar Pulau Buru karya Hersri Setiawan (2004); Diburu di Pulau Buru karya Hersri Setiawan (2004);  Di-PKI-kan: Tragedi 1965 dan Kaum Nasrani di Indonesia Timur karya R.A.F Webb dan Steven Farram (2005), Dari Kalong sampai Pulau Buru karya Adrianus Gumelar Demokrasno (2006); Kidung pada Korban: Dari Tutur Sepuluh Narasumber Eks-Tapol karya Hersri Setiawan (2006); Menyeberangi Sungai Air Mata: Kisah Tragis Tapol ’65 dan Upaya Rekonsiliasi karya Antonius Sumarwan (2007); dan Memecah Pembisuan: Tuturan Penyintas Tragedi ’65-66 karya Putu Oka Sukanta (2011). Daftar ini agaknya masih akan terus bertambah.[4]
Membaca dan mempelajari buku-buku kesaksian tersebut, tampak jelas bahwa skenario, grand design atau big picture yang dibuat di Jakarta oleh rezim Orde Baru mengenai G30S, seperti yang terungkap dalam Buku Putih Sekretariat Negara RI (1994), Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya (Jakarta: PT Dana Bhakti Wakaf), tidak terbukti. Disebutkan  bahwa Gerakan 30 September merupakan sebuah gerakan massal. Gerakan itu tidak hanya dilakukan di Jakarta (Lubang Buaya), melainkan secara serempak direncanakan, diketahui, dan dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia. Dalam Bab IV ‘Persiapan Perebutan Kekuasaan/Pemberontakan Partai Komunis Indonesia Melalui Gerakan 30 September,’ dijelaskan persiapan ‘perebutan kekuasaan’ yang dilaksanakan di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, DIY, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Riau, Bali, dan NTT. Dalam Bab V ‘Pelaksanaan Aksi Perebutan Kekuasaan/Pemberontakan Partai Komunis Indonesia Melalui Gerakan 30 September,’ diungkap pelaksanaan G30S di berbagai wilayah di Indonesia (seperti disebutkan di atas, ditambah daerah Kalimantan Selatan dan daerah-daerah lain).
Sudah banyak sekali kesaksian yang telah beredar dan membuktikan bahwa gambaran-gambaran tersebut tidak benar serta sangat tidak beralasan. Perhatikan beberapa kesaksian berikut ini.
(1)  Tentang dokumen PKI dan senjata yang sudah disebar ke daerah-daerah
Asman Yodjodolo (ketua Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia Sulawesi Tengah, yang memiliki sekitar 60.000 anggota): mengaku dipaksa menandatangani secarik pengakuan ‘buatan’ yang menyatakan bahwa ia menerima beberapa senjata untuk dipergunakan sewaktu-waktu. Jika menolak mengakuinya, dia akan menerima siksaan bertubi-tubi.[5]
Lambatu Bin Lanasi (Buton, Sulawesi Tenggara): selalu ditanyakan tentang dokumen G30S PKI yang konon sudah tersebar ke Buton. Dituduhkan juga bahwa ada sebuah Kapal TNI AL yang singgah dan menurunkan 500 pucuk senjata untuk melakukan kudeta di kawasan Buton. Lambatu dan tahanan-tahanan lainnya membantah dengan keras bahwa dia mengetahui dokumen dan senjata-senjata itu. Akibatnya sangat jelas: mereka mengalami siksaan di luar peri kemanusiaan yang adil dan beradab (hlm. 71-72).
Wardik (Medan): ditahan, disiksa, dan dipaksa untuk mengaku bahwa dia menyembunyikan senjata PKI dalam jumlah banyak. Bukan hanya Wardik yang disiksa tetapi juga kakak perempuannya. Ayah Wardik bahkan dibunuh tanpa alasan yang jelas (hlm. 294-296).
(2)  Tentang lubang-lubang yang sudah disiapkan di daerah
PKI di daerah-daerah disebutkan telah menggali lubang dan berencana membunuh polisi, tentara, dan bupati. Benny, pensiunan polisi yang menjadi salah satu algojo dalam pembantaian PKI di SoE, NTT, tidak melihat kemungkinan itu karena dia tahu bahwa PKI tidak memiliki senjata (hlm. 33). Adapun Lambatu Bin Lanasi (Buton, Sulawesi Tenggara) membantah tuduhan bahwa pengurus PKI telah menyiapkan lubang-lubang untuk mengubur para korbannya (hlm. 71).
Penutup
Dalam delapan tahun, BtS Israel telah mempublikasikan ratusan testimoni mengenai perlakuan di luar perikemanusiaan tentara Israel terhadap warga Palestina. Dalam 47 tahun pasca-Tragedi 65, testimoni korban Tragedi 1965 belum mencapai ratusan. Buku ini menyumbang 15 buah testimoni para penyintas yang tinggal di Medan, Palu, Kendari, Yogyakarta, Jakarta, Bali, Kupang, dan Pulau Sabu. Semakin banyak kesaksian yang membuktikan bahwa pembantaian pasca-Tragedi 1965 tidak hanya terjadi di Jawa dan Bali saja, melainkan hampir merata di seluruh pelosok tanah air, termasuk daerah pelosok yang sangat terisolasi.
Mengingat Tragedi 1965 merupakan salah satu Tragedi terdahsyat di dunia pada abad ke-20, kita membutuhkan lebih banyak lagi testimoni untuk menghalau lupa yang terlalu mudah menyerang bangsa kita. Tragedi 1965 tidak boleh dilupakan. Ia perlu terus direnungkan agar kita senantiasa mendapat pelajaran darinya untuk tidak mengulanginya lagi di masa depan.
Salah satu model publikasi yang belum banyak dilakukan di Indonesia adalah menuliskan berbagai macam kesaksian tentang berbagai tragedi yang terjadi dalam bentuk cerita anak-anak dengan ilustrasi yang menarik untuk dikonsumsi anak-anak. Berbagai contoh penerbitan seperti ini mudah kita temukan. Untuk tragedi Holocaust, terdapat buku anak-anak seperti: The Underground Reporter: Kisah Nyata (Kathy Kacer), Hanna’s Suitcase (Karen Levine). Dalam tragedi Pol Pot Khmer Merah, buku-buku seperti First They Killed My Father: A Daughter of Cambodia Remembers (Luong Ung), When Broken Glass Floats: Growing Up Under the Khmer Rouge (Chanrithy Him), dan Stay Alive My Son (Pin Yathay), yang benar-benar ditujukan untuk dikonsumsi anak-anak.
Kisah-kisah nyata yang dialami anak-anak pada zamannya dapat dituturkan secara mengagumkan sekaligus mengharukan. Dengan demikian, anak-anak sekarang dapat mengetahui perjuangan anak-anak dan pemuda Indonesia dalam masa-masa gelap (dark past). Dengan memahami berbagai tragedi bangsa yang besar, yang membawa korban ribuan nyawa dan harta benda, anak-anak sekarang dapat tumbuh dengan sense of history dan membangun kesadaran serta penghormatan akan hak-hak dasarnya sebagai manusia.
——————————————
Catatan Redaksi:
Review ini sebelumnya merupakan makalah yang dibacakan dalam acara Peluncuran Buku Memecah Pembisuan: Tuturan Penyintas Tragedi ’65-66, (Putu Oka Sukanta, Ed, 2011 Jakarta: Lembaga Kreativitas Kemanusiaan), tanggal 29 Januari 2012.
Penulis saat ini tengah melakukan studi tentang ‘Representasi Tragedi 1965: Sebuah Kajian New Historicism atas Teks-teks Sastra Tahun 1966-1998.’ Dapat dihubungi di email: khmer_rouge2000@yahoo.com).

[1] Eksekutif Direktor BtS adalah Yehuda Shaul dan Direkturnya adalah Mikhael Manekin. BtS muncul tahun 2004, diawali dengan pameran foto tiga personel tentara (Avichai Sharon, Yehuda Shaul, dan Noam Chayut) yang pernah bertugas di Hebron. Ketiga personel ini berkeinginan untuk membuka mata orang Israel tentang apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Pameran ini menarik minat banyak orang untuk bergabung dan terbentuklah LSM BtS. (lihat Breaking the Silence: Woman’s Soldiers’ Testimonies, Booklet, Printed in Jerusalem, 2009. Breaking the Silence: Soldiers’ Testimonies from Hebron 2008-2010. Booklet. Printed in Jerusalem, 2011. (Breaking the Silence: Soldiers’ Testimonies from Operation Cast Lead, Gaza 2009. Booklet. Printed in Jerusalem, 2010). Buku-buku ini tersedia secara online di: http://www.breakingthesilence.org.il.
[2] Saya tidak percaya pepatah yang menyebut “homo homini lupus” (manusia cenderung menjadi serigala yang memangsa manusia lainnya). Istilah itu hanya benar pada level hasrat kekuasaan tetapi bukan pada naluri purba insani.
[3] Lihat cerpen Di Titik Kulminasi karya Satyagraha Hoerip, Perempuan dan Anak-anaknya karya Gerson Poyk, Ancaman karya Ugati. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk oleh Ahmad Tohari juga memperlihatkan simpati dan tindakan tokoh Rasus yang menyelamatkan Srintil. Dalam permenungannya tentang fungsi dan peranan tentara, Rasus memutuskan untuk ‘keluar’ dari dinas ketentaraan karena tentara Indonesia di tahun 1960-an tidaklah seperti yang diidealkan masyarakat Jawa: serupa Gatot Kaca.
[4] Selain itu, telah hadir pula kesaksian-kesaksian dalam bentuk VCD.
[5] Asman memberi kesaksian bahwa tahun 1965, PKI di Sulawesi Tengah sangat maju karena pimpinannya hebat, serba bisa.
Dipetik dari indoprogres.com
*Yoseph Yapi Taum, Dosen Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Sumber: Skp-HAM.Org