HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Kamis, 25 Juli 2013

Operasi Intelijen Caesarea Memburu September Hitam

25 Jul 2013, 20:34 | Fynn Niklas Franke 

Pembunuhan atlet Olimpiade Israel oleh sekelompok orang Palestina, yang menamakan diri "September Hitam", dibalas dengan operasi intelijen yang berdarah.


Agen rahasia Israel, Mossad, membunuh Ali Hassan Salameh pada 22 Januari 1979 di Beirut, sebagai pembalasan atas pembunuhan atlet Israel pada Olimpiade Munich, Jerman, September 1972. Foto: einestages.spiegel.de.

21 Juli 1973, sekira pukul 10:30. Seusai menonton bioskop, seorang pria berkulit gelap, menggandeng tangan istrinya yang sedang hamil, menyusuri Jalan Porobakakan di Lillehammer, Norwegia. Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti di samping mereka. Dua pria keluar dan dengan pistol Beretta menembak sang calon ayah. Dia meninggal diiringi jeritan istrinya.

Para pembunuh itu bekerja untuk dinas rahasia Israel, Mossad. Mereka yakin telah membunuh seorang Palestina Ali Hassan Salameh yang dijuluki “Pangeran Merah.” Menurut hasil penyelidikan Mossad, Ali Hassan Salameh adalah satu dari delapan orang Palestina yang menamakan diri “September Hitam” dan menyandera atlet Israel dalam Olimpiade Munich, Jerman, tahun 1972. Dalam penyanderaan tersebut, sebelas atlet Israel, lima pelaku penyanderaan, dan seorang polisi Jerman tewas.

Sejak “pembunuhan Munich” agen-agen Israel mengejar orang-orang di balik penyanderaan itu. Ini adalah operasi terorganisir pemerintah Israel dalam skala besar. Wartawan Time, Aaron Klein, dalam bukunya TheAvengers, menyebutnya sebagai “Operasi Murka Tuhan”.
Hanya tiga hari setelah tragedi tersebut, pesawat tempur Israel menyerang kamp Palestina di Lebanon dan Suriah. “200 orang meninggal dunia, menurut data Israel, semata-mata teroris,” tulis Peter Maxwill dalam Spiegel Online (19/7). Selain itu, pemerintah Israel di Yerusalem mengirim 1.350 tentara ke Lebanon Selatan, dan menembak mati 45 orang, ratusan rumah hancur. 
Itu operasi militer balasan yang berdarah. Tapi pembalasan yang sebenarnya diumumkan Perdana Menteri Israel Golda Meir: “Di mana pun serangan sedang dipersiapkan, di mana pun orang membunuh orang Yahudi dan rencana Israel –tepat di mana kita harus menyerang.”
Untuk memburu para penyandera “September Hitam”, pemerintah Israel membentuk operasi intelijen Caesarea yang dipimpin perwira Mossad, Michael Harari. Agen-agen Caesarea menghabisi orang-orang yang dituduh terlibat dalam tragedi Munich, seperti penulis Wael Zweiter, yang bekerja sebagai penerjemah di Kedutaan Libya di Roma; sejarawan Mahmoud Hamshari; pengacara Irak Basil al-Kubaissi; wakil-wakil pejabat Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Muhammed Jussuf Nadschar, Kamal Adwan, dan Kamal Nassir.

Namun, lelaki yang dibunuh di Lillehammer ternyata bukan Ali Hassan Salameh, tapi Ahmed Bouchiki, seorang pelayan asal Maroko. 
“Tim Caesarea telah membunuh orang yang tidak bersalah,” tulis Peter Maxwill. Polisi Norwegia menangkap setengah lusin agen Israel, lima di antaranya dijatuhi hukuman beberapa tahun penjara.
Mossad baru berhasil membunuh Ali Hassan Salameh pada 22 Januari 1979 dengan meledakkan mobil yang dikendarainya. Akibat ledakan itu, duabelas orang pejalan kaki ikut tewas. Pada Juni 1992, duapuluh tahun setelah tragedi Munich, kepala intelijen PLO Reny Bseiso ditembak dua orang asing yang mendekatinya, dalam perjalanan kembali ke Paris dari pertemuan di Berlin.

Reny Bseiso mungkin korban terakhir dari Caesarea. Tapi, menurut Peter Maxwill mereka belum mencapai tujuan mereka karena terduga lainnya seperti pendukung Abu Ijad dan Abu Daoud belum tertangkap.
Akibat salah sasaran, pada Januari 1996, Perdana Menteri Shimon Peres memberikan kompensasi kepada keluarga Bouchiki sebesar 400.000 dolar, tapi dengan satu syarat: “Israel tak akan bertanggungjawab,” kata Peres, dalam konferensi pers, “karena Israel bukan organisasi pembunuhan.”
Sumber: Historia 

Rabu, 24 Juli 2013

Special Reporteur Komisi HAM PBB Perlu Meninjau Pelanggaran HAM 1965/66


Penulis: Ignatius Dwiana - 14:25 WIB | Rabu, 24 Juli 2013

(Foto asianaclub.wordpress.com)

TANGERANG – Special Reporteur Komisi HAM PBB perlu dihadirkan agar mengetahui atau mendengar secara langsung tindak kejahatan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) tragedi 1965/66.

Sanksi tegas juga perlu dijatuhkan atas para penjahat HAM. Demikian salah satu tuntutan yang disampaikan Bedjo Untung, Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65, Indonesian Institute for The Study of 1965/1966 Massacre) di Tangerang dalam siaran pers pada hari Selasa (23/7).

Rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) satu tahun lalu yang diharapkan sebagai pintu masuk untuk penyelesaian tragedi 1965/66 ternyata tidak ditindak lanjuti Jaksa Agung. Jaksa Agung tidak melakukan penyidikan dan menggelar pengadilan HAM ad hoc.

Juga melakukan terobosan dalam menuntaskan penyelesaian atas korban tragedi 1965 dengan mengembalikan hak-hak korban ‘65 untuk memperoleh keadilan, rehabilitasi, kompensasi dan kebenaran.

Berbagai dalih dilontarkan untuk mengganjal rekomendasi tersebut.
Bahkan, Menkopolhukam  Djoko Suyanto berupaya membela para pelaku kejahatan kemanusiaan dengan tidak merespon terbentuknya pengadilan HAM ad hoc.

Tindakan lembaga Negara Kejaksaan agung maupun Kemenpolhukam tersebut dapat dikategorikan sebagai upaya melanggengkan impunitas dan melecehkan upaya penegakan HAM serta bukti bahwa negara atau Pemerintah tidak serius dan tidak mampu dalam hal menyelesaikan tragedi kemanusiaan 1965/66.

Dalam tuntutannya YPKP 65 mendesak, pertama, Kejaksaan Agung harus segera menindak lanjuti hasil temuan Tim Investigasi Komnas HAM dan segera  membentuk Pengadilan  HAM ad hoc untuk mengadili para pelaku/penjahat HAM  agar ada  kepastian  hukum  dan keadilan bagi  korban.

Kedua, Presiden segera menerbitkan surat Keputusan Presiden (Keppres) untuk memberikan rehabilitasi, reparasi dan kompensasi kepada Korban 65 seperti yang diamanatkan  Undang-Undang Nomer 39 Tahun 1999  tentang Hak Asasi Manusia, UU  No.26 Tahun 2000  tentang Pengadilan HAM  serta Surat Rekomendasi Ketua Komnas HAM, Mahkamah Agung, dan Ketua DPR-RI.

Ketiga, negara atau Pemerintah menjamin tidak akan mengulangi lagi tindak kejahatan pelanggaran HAM berat  seperti yang terjadi pada kasus Tragedi Kemanusiaan 1965/66.

Keempat, Presiden atas nama negara  segera melakukan permintan maaf kepada korban pelanggaran HAM sebagai pintu masuk untuk menuju pada penyelesaian kasus pelanggaran HAM secara menyeluruh.

Kelima, Komnas HAM segera melakukan Investigasi dan Pencatatan atau Pemberkasan Berita Acara Korban ‘65 di seluruh Indonesia dan menerbitkan rekomendasi agar Korban pelanggaran HAM berat 1965/66 memperoleh pelayanan medis/psikososial LPSK (Lembaga perlindungan saksi dan Korban) serta rehabilitasi.

Keenam, apabila penyelesaian melalui mekanisme hukum dalam negeri mengalami jalan buntu, YPKP 65  tidak menutup kemungkinan atau sedang mempersiapkan untuk mengadukan dan melaporkan ke jalur Internasional: melaporkan ke Dewan HAM PBB, UNWGEID, Organisasi-Organisasi kemanusiaan Internasional, ICC, ICRC, Amnesty Internasional, dan lain-lain.

Ketujuh, perlu menghadirkan Special Reporteur Komisi HAM PBB agar mengetahui/mendengar secara langsung adanya tindak kejahatan pelanggaran HAM tragedi 1965/66 di Indonesia dan menjatuhkan sanksi tegas terhadap para penjahat HAM.

Editor : Yan Chrisna


Selasa, 23 Juli 2013

Gerwani dan Hak Anak

23 Jul 2013, 22:42 | Allan Akbar 

Sebelum diperingati Hari Anak Nasional, Indonesia telah memperingati Hari Anak Internasional yang diperkenalkan oleh Gerwani.


 
Peringatan Hari Anak Internasional di Indonesia pada 1 Juni.

SETIAP tanggal 23 Juli, Indonesia memperingati Hari Anak Nasional. Soeharto menetapkan peringatan ini dalam Keputusan Presiden (Keppres) No 44/1984. Menurut Keppres tersebut, tujuan dari peringatan Hari Anak Nasional adalah pembinaan untuk mewujudkan kesejahteraan anak.
Untuk menyusun konsep pembinaan anak-anak Indonesia, Karlinah Umar Wirahadikusumah, pengurus Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, membentuk Forum Komunikasi Pembinaan dan Pengembangan Anak Indonesia (FKPPAI). Salah satu hasil dari forum ini adalah program Dasawarsa Anak yang dicanangkan pemerintah pada 23 Juli 1986.
Perhatian utama Dasawarsa Anak (1986-1996) adalah peningkatan kesejahteraan anak melalui keluarga sebagai lingkungan utama, didukung lingkungan pendidikan formal dan lingkungan masyarakat.
“Pelaksana di lapangan dikerjakan oleh Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) di daerah-daerah,” kata Karlinah dalam biografinya yang ditulis Herry Gendut Janarto, Bukan Sekadar Istri Prajurit.
Sebelum peringatan Hari Anak Nasional, Indonesia sudah memperingati peringatan Hari Anak Internasional setiap tanggal 1 Juni. Peringatan tersebut diperkenalkan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Organisasi ini awalnya bernama Gerakan Wanita Istri Sedar (Gerwis), didirikan pada 1950. Pada kongres Gerwis tahun 1954, para pemimpin organisasi memutuskan untuk menjangkau lebih banyak perempuan dari kalangan bawah sehingga mengubah namanya menjadi Gerwani. (Baca: Umi Sarjono, Pembuka Jalan Gerakan Perempuan)
Hari Anak Internasional dideklarasikan dalam kongres Women’s International Democratic Federation (WIDF) di Moskow, Rusia, pada 1949. Diperingati kali pertama pada 1 Juni 1950. Gerwis bergabung dengan WIDF pada 1950. WIDF menjadi saluran politik internasional bagi Gerwis –dan kemudian Gerwani. Gerwani mengirim laporan secara rutin ke WIDF dan mengutus wakilnya ke kongres WIDF.
Menurut Saskia E. Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan, salah satu gerakan Gerwani untuk merebut kepemimpinan gerakan perempuan di Indonesia adalah dengan seruan agar Indonesia merayakan 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional.
“Seruan itu dibarengi dengan ajakan menetapkan 1 Juni sebagai Hari Anak-Anak Internasional,” tulis Saskia, “keduanya merupakan perayaan ‘sosialis’ yang didukung kuat WIDF.”
Kongres Gerwani II tahun 1954 memutuskan bahwa hak kaum perempuan dan anak-anak tak dapat dipisahkan dari kemerdekaan dan perdamaian. Menurut Gerwani, hak-hak anak mencakup hak atas kemudahan fasilitas pendidikan dan kesehatan serta masa depan yang cerah tanpa adanya buruh anak-anak, kawin paksa maupun pelacuran. Bahkan hak anak termasuk disediakannya tempat penitipan anak secara memadai.
Untuk kali pertama pada 1960, Gerwani merumuskan pancacinta (lima cinta untuk pendidikan anak-anak): cinta tanah air, cinta orangtua dan kemanusiaan, cinta kebenaran dan keadilan, cinta persahabatan dan perdamaian, dan cinta alam sekitar. Dalam konferensi nasional bagi pendidikan anak-anak yang diadakan Gerwani pada September 1963, terdapat perubahan terhadap pancacinta: cinta bangsa, rakyat dan perdamaian, ilmu dan budaya, kerja dan orangtua.
“Pancacinta menetapkan lima bidang yang harus mendasari seluruh sistem sekolah Indonesia, yakni bidang perkembangan intelektual, moral, teknik, artistik, dan mental,” tulis Saskia.
Pergolakan politik pada 1965 menghancurkan Gerwani. Segera setelah Partai Komunis Indonesia dan Gerwani dituduh terlibat dalam Gerakan 30 September 1965, Kongres Wanita Indonesia (Kowani), payung organisasi-organisasi perempuan seluruh Indonesia, mengeluarkan Gerwani sebagai anggota pada 29 Oktober 1965.
Menurut Komnas Perempuan dalam Kita Bersikap: Empat Dasawarsa Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Perjalanan Berbangsa, sejak Soeharto ditetapkan sebagai pejabat presiden pada 7 Maret 1967, Kowani tidak lagi memperingati Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret dan Hari Anak Internasional pada 1 Juni. Alasannnya, kedua hari peringatan tersebut diprakarsai negara-negara komunis. 
Sumber: Historia.Id 

Minggu, 21 Juli 2013

Cerpen | Ibu Terus-menerus Bungkam


July 21, 2013
Cerpen Gunawan Budi Susanto (Suara Merdeka, 21 Juli 2013)

IBU bungkam. Selalu bungkam setiap kali aku bertanya tentang berbagai peristiwa dalam perjalanan hidupnya antara tahun 1960-an dan pertengahan 1970-an. Ibu bisa bercerita secara runtut dan detail peristiwa-peristiwa masa lalu, jauh sebelum menikah. Namun tak sekecap pun, tak sehuruf pun, dia ucapkan atau dia tulis mengenai rentang waktu 1960-an sampai pertengahan 1970-an. Masa itu kosong, bolong, melompong.

Padahal, justru itulah masa paling genting dalam kehidupan kami sekeluarga. Itulah masa ketika kehidupan berputar sedemikian kencang, lalu tiba-tiba berhenti dan kami semua terpelanting, lalu terpuruk dalam ketidakberdayaan. Apalagi kemudian setiap orang menjauh, sejauh-jauhnya. Mereka bersikap seolah-olah tak pernah mengenal kami, seolah-olah tak pernah berhubungan dengan kami. 

Suatu kali, Ibu berkisah tentang masa kecil di Blora. Dia menuturkan dilahirkan di Juwana sebagai anak ketiga dengan dua kakak lelaki. Usia mereka terpaut dua tahun. Lantaran opelet sang bapak dirampas Jepang, mereka berketetapan kembali ke Blora untuk mengubah nasib. Dari Juwana, ibu, bapak, dan ketiga anak itu berjalan kaki ke Blora. Sang ibu yang hamil tua tersaruk-saruk sepanjang jalan, siang dan malam, menembus kelebatan hutan jati antara Juwana dan Blora.

Tiba di Blora, beberapa hari kemudian adik perempuan Ibu lahir. Namun sang adik tak bertahan lama. Bayi itu meninggal beberapa hari kemudian. Ibunya, yang kehabisan darah saat melahirkan, menyusul si bungsu ke alam baka. Beberapa bulan kemudian sang bapak, yang amat mencintai istrinya, meninggal pula. Ibu pun yatim piatu pada usia amat belia.

Ibu menjalani masa kanak sebagaimana hampir semua anak masa itu: sengsara di bawah penjajahan Jepang. Tahun-tahun berganti, Ibu bersekolah di sekolah guru. Tahun 1954, Ibu lulus dan bekerja sebagai guru di sebuah sekolah dasar di Padangan, di sebelah timur Cepu.

Padangan di Jawa Timur dan Cepu di Jawa Tengah dibelah Bengawan Solo. Ada sebuah jembatan besar dan panjang menghubungkan dua kota kecil itu. Setiap kali hujan deras, air bengawan meluap, menggenangi segala apa di kiri-kanan sungai. Air kuning kecokelatan bergulung, menyapu segala yang menghalang. Banjir! Dan, kelak, ketika malapetaka besar terjadi di negeri ini, air sungai itu memerah darah. Darah yang tertumpah, darah yang….

***

Sambil mengajar, Ibu ulang-alik Padangan-Bojonegoro untuk menuntut ilmu di sekolah guru atas. Namun, kemudian, dia sakit — mungkin kelelahan — sehingga keluar dari sekolah. Setelah sembuh, dia menikah dengan Bapak – kawan sekerja di sekolah yang diam-diam naksir Ibu sejak masa sekolah guru. Lalu secara berurutan tahun 1957, 1959, 1961, 1963 lahirlah kedua mbakyu, aku, dan adik lelakiku. Dan Ibu kembali mengandung.

Saat itu, aku berumur empat tahunan. Aku punya tempat mengasyikkan untuk bermain: di bengawan. Berenang, berkecipak, bermain musik dengan memukul-mukul permukaan air bersama kawan-kawan, lalu mencari ikan, udang, atau hewan apa saja yang hidup di air sungai dan bisa dimakan. Kegembiraanku bertambah setiap kali diajak Ibu mengikuti arak-arakan. Ibu dan kawan-kawannya, para perempuan muda, itu berbaris sambil bernyanyi di sepanjang jalanan kota. Dan, aku tanpa keluh, bahkan kegirangan, melonjak-lonjak, berlari-lari kecil di belakang Ibu. Sesekali aku mendahului barisan sambil tertawa-tawa. Ketika barisan berhenti, Ibu dan kawan-kawan membakar patung besar dari kertas. Kelak, aku tahu: itulah patung Perdana Menteri Malaysia Tengku Abdul Rahman.

Kali lain, aku diajak Ibu ke pertemuan dengan kawan-kawannya. Terkadang dalam pertemuan itu Ibu mengajar mereka membaca. Ibu menunjuk-nunjuk tulisan di papan tulis. Para perempuan itu berseru keras-keras, ‘’A! E! I! O! U!’’ Begitu berulang-ulang. Lalu, mereka bernyanyi-nyanyi sambil bertepuk tangan. Aku pun menyanyi sebisa-bisa dan bertepuk tangan sekeras aku mampu. Namun ketika kulihat sekelebatan teman sebayaku, aku berlari keluar ruangan. Bergabung, bermain dengan anak-anak sepantaran, laki dan perempuan.

Namun tiba-tiba kegembiraanku terputus. Suatu hari aku menyadari kedua mbakyuku tak lagi tinggal bersama kami. Ibu bilang, mereka ke rumah Nenek di Blora. Sebelumnya, pada malam hari tiba-tiba batu-batu beterbangan ke rumah kami. Batu-batu itu mengenai genting sampai pecah atau membentur dinding papan rumah. Suaranya bergelodakan. Lalu pada malam-malam yang gelap Bapak dan Ibu menggendong aku dan adik lelakiku. Mereka merunduk-runduk dalam kegelapan, menuju rumah di pojokan jalan di tepian bengawan, mengetuk dinding rumah perlahan-lahan, lalu menyelinap masuk, dan menidurkan kami di dipan sebuah kamar yang gelap pula. Aku terlalu mengantuk, terlalu capek, untuk mengetahui apa yang terjadi. Biasanya pagi-pagi sekali Bapak atau Ibu membangunkan kami, lalu diam-diam bersicepat melewati jalan-jalan di antara kerapatan rumah tetangga. Kembali ke rumah.
Aku yang masih mengantuk biasanya kembali meringkuk di dipan. Dan, bangun-bangun Bapak dan Ibu sudah tak berada di rumah lagi. Mengajar.
Lalu, suatu pagi, aku tersadar: adik lelakiku, yang biasanya tinggal di rumah ketika Bapak dan Ibu ke sekolah, tak ada. Mbok Nah diam saja ketika aku bertanya ke mana adikku. Bosan merengek-rengek dan lelah mencari- cari, aku memasuki dapur. Kulihat perempuan tua yang mengasuh aku dan adikku itu duduk menekuri api di lubang dapur. Ketika aku mendekat, dia terkejut. Kulihat matanya mencucurkan air.

‘’Mbok, Adik mana? Eh, Mbok Nah nangis ya?’’
‘’Tidak, Gus. Mata Mbok kemasukan bunga api. Pedih, Gus.’’
‘’Mbok, Adik ikut sekolah?’’
‘’Ya, Gus. Adik sekolah bersama Bapak dan Ibu. Besok kita nyusul mereka ya, Gus.’’
‘’Ke sekolah, Mbok?’’
‘’Ya.’’
‘’Sekarang, Mbok, sekarang! Ayo, Mbok, susul sekarang.’’

Mbok Nah bersikukuh menolak. Baru keesokan hari aku mengikuti Mbok Nah mengirim rantang makanan ke sebuah gedung besar berundak di pusat kota. Kadang aku menangis sepulang dari gedung itu karena dibentak-bentak tentara yang berbaju loreng. Mereka membawa bedil. Muka mereka galak dengan mata selalu melotot. Beringas dan menakutkan.

Aku ingin tak ikut ke gedung itu. Namun setiap kali Mbok Nah menyeretku, sehingga aku terpaksa ngintil. ‘’Siapa tahu kita bisa bertemu Ibu, Bapak, atau adikmu, Gus.’’ Ucapan itu membuat aku bersemangat berlari-lari mengikuti langkah Mbok Nah. Begitu setiap kali. Setiap hari. Berbulan-bulan. Namun kami tak pernah bisa menemui mereka.

Suatu hari Ibu pulang bersama Adik. Tapi Bapak tidak. Sampai sekarang, sampai aku lebih tua ketimbang Bapak saat itu. Kini, ketika sudah beristri dan punya anak, aku masih terus berharap suatu hari Bapak pulang dan kami bisa berpelukan.

Namun Ibu masih terus bungkam setiap kali aku bertanya tentang peristiwa penahanan mereka sampai kemudian dipulangkan, tanpa Bapak. Sebulan sekali aku dan anak-istriku mengunjungi Ibu. Saat seperti itu aku acap menanyakan peristiwa-peristiwa pada masa lalu. Namun Ibu selalu bungkam ketika pertanyaanku kembali ke masa kelam dalam kehidupan kami sekeluarga. Ibu terus-menerus bungkam, meski aku mempergunakan banyak cara, banyak siasat.

Kini, setiap kali aku sekeluarga menengok, Ibu bungkam. Nyaris tak sepatah kata pun dia ucapkan kepadaku. Tidak, Ibu tidak memusuhi aku. Itu tampak dari rona wajahnya yang semringah, gembira, ketika kami datang. Terlebih ketika anak-anakku, Kinan dan Titis, mencium tangannya, lalu bercerita dengan keceriaan kanak-kanak tentang segala hal. Ibu pun tetap bicara berlama-lama dengan anak-anakku. Ibu menjawab segala pertanyaan para cucu itu. Juga bercerita atau mendongeng kepada mereka.

Namun tidak kepadaku. Kepadaku, Ibu cuma bertanya tentang kesehatan dan pekerjaan, setelah itu bungkam. Sampai kami sekeluarga berpamitan pulang. Kebungkaman Ibu membuatku mati kutu. Memang aku sudah memperoleh kisah tentang penahanan Ibu dan Bapak versi mbakyu, juga versi beberapa sumber lain ketika aku melacak, napak tilas, ke Cepu dan Padangan. Namun aku ingin mendengar versi Ibu. Aku ingin memperoleh paparan berdasar perspektif Ibu. Itu justru yang paling penting untuk melengkapi novel yang kutulis tentang sejarah kelam yang mengubah hidup kami. Namun justru bagian itulah pula yang belum dapat kuisi. Ya, bagian yang menggambarkan berbagai peristiwa pada tahun-tahun ketika Ibu dan Bapak ditahan, kepulangan Ibu dan Adik tanpa Bapak, kabar kematian Bapak yang dibunuh tentara, kubur Bapak yang tak pernah bisa kutemukan, dan banyak perkara lain. Semua itu ingin kuketahui melalui mulut Ibu. Namun Ibu bungkam dan terus menerus bungkam, sampai sekarang.

Aku kehilangan akal. Sementara itu, tenggat penulisan novel makin mepet. Tenggat yang kubikin sendiri berdasar alasan ketepatan momentum untuk menerbitkan dan memublikasikan. Bukan, aku bukan hendak mencari popularitas. Sampean tahu itu. Aku juga tak hendak mencari Keuntungan finansial. Kedua perkara itu jauh panggang dari api jika menjadi motif penulisan novelku. Aku pun, sampean percaya atau tidak, tak punya pretensi menulis karya spektakuler secara literer. Menjadi seniman, menjadi sastrawan, atau lebih tepat menjadi novelis, bukan bagian dari hasrat hidupku. Aku amat-sangat sadar diri: aku bukan penulis, apalagi penulis karya sastra, yang baik. Bisa menulis status di jejaring sosial dan terbaca orang lain tanpa menimbulkan kesalahpahaman pun aku sudah amat bersyukur.

Jadi aku menulis sejarah kelam keluarga kami semata-mata agar kelak lebih mudah dan berterima ketika anak-anakku membaca. Lebih syukur lagi bila cucu-cucuku, jika kelak anak-anakku melahirkan anak-anak mereka, pun mau membaca. Aku tak mau mereka tak mengenali sejarah keluarga mereka, seburuk dan sekelam apa pun. Cuma itu keinginanku. Dan, pada masa itu, ketika mereka hidup, semoga zaman telah berubah lebih menyamankan. Tidak seperti masa aku hidup, ketika stigma sebagai anak PKI bisa membunuh siapa pun, termasuk bapakku.

Namun Ibu masih bungkam dan terus-menerus bungkam. Tak ayal, lubang, bolong, kosong, blong, dalam novelku itu belum juga terisi. Dan, novelku pun menjadi novel tak rampung-rampung. Entah sampai kapan. (62)

Kotalama, 13 Februari 2013
---
Catatan:
PKI: Partai Komunis Indonesia

Gunawan Budi Susanto, penulis kumpulan cerpen Nyanyian Penggali Kubur(Yogyakarta: Gigih Pustaka Mandiri, 2011).

Sabtu, 20 Juli 2013

Kekejaman Pembantaian PKI di Indonesia


* Reza Wydia

PKI (Partai Komunis Indonesia) memperoleh jumlah suara terbesar ke-empat. Hal ini terjadi karena di dalam PKI rakyat merasakan bahwa kepentingan dan cita-cita mereka mendapatkan tempatnya.  
Hal itu memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi AS. Bahwa sebenarnya basis kekuatan PKI adalah rakyat biasa. Sehingga jika AS ingin meruntuhkan PKI, rakyat biasa dan seluruh anggota PKI harus dibuat takut untuk berkata PKI. 

Satu hal yang perlu kita ketahui bahwa PKI adalah partai komunis terbesar di Negara non-komunis. Anggota PKI sendiri berjumlah sekitar 3,5 juta orang. Ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani BTI yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita, organisasi penulis dan artis, dan pergerakan sarjananya. Jadi sebenarnya PKI memiliki lebih dari 20 juta anggota dan pendukung. 

Menciutkan nyali PKI bukan perkara yang mudah. Terbukti saat Aidit malah menantang balik Hatta yang menuntut PKI diadili setelah pemilu pertama. Jadi satu-satunya cara cepat untuk meruntuhkan PKI sampai ke akar-akarnya adalah dengan membunuh seluruh rakyat biasa yang menjadi basis kekuatannya. 

AS tidak kuasa menyembunyikan kegembiraannya saat mendengar tragedi itu terjadi. Mereka mempersenjatai militer Indonesia hingga 64 juta dollar sejak 1959. Seperti yang telah dilansir di laporan Suara Pemuda Indonesia sebelum akhir tahun 1960, bahwa AS telah melengkapi 43 batalion angkatan bersenjata. Lebih dari 200 perwira tingkatan tinggi telah dilatih di AS. Ratusan perwira angkatan rendah juga dilatih tiap tahun pada 1956-1959. 

Awal mula Pembasmian PKI 1965–1966 

Peristiwa pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis di Indonesia pada masa setelah terjadinya Gerakan 30 September di Indonesia. Diperkirakan lebih dari setengah juta orang dibantai dan lebih dari satu juta orang dipenjara dalam peristiwa tersebut. Pembersihan ini merupakan peristiwa penting dalam masa transisi ke Orde Baru. Partai Komunis Indonesia (PKI) dihancurkan, pergolakan mengakibatkan jatuhnya presiden Soekarno, dan kekuasaan selanjutnya diserahkan kepada Soeharto. 

Kudeta yang gagal menimbulkan kebencian terhadap komunis, karena kesalahan dituduhkan kepada PKI. PKI dinyatakan sebagai partai terlarang. Pembantaian dimulai pada Oktober 1965 dan memuncak selama sisa tahun sebelum akhirnya mereda pada awal tahun 1966. Pembersihan dimulai dari ibu kota Jakarta, yang kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Timur, lalu Bali. Ribuan vigilante (orang yang menegakkan hukum dengan caranya sendiri) dan tentara angkatan darat menangkap dan membunuh orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI. Meskipun pembantaian terjadi di seluruh Indonesia, namun pembantaian terburuk terjadi di Jawa Tengah, Timur, Bali, dan Sumatera Utara. 

Pada sore tanggal 30 September dan 1 Oktober 1965, enam jenderal dibunuh oleh kelompok yang menyebut diri mereka Gerakan 30 September. Maka pemimpin-pemimpin utama militer Indonesia tewas atau hilang, sehingga Soeharto mengambil alih kekuasaan angkatan bersenjata. Pada 2 Oktober, ia mengendalikan ibu kota dan mengumumkan bahwa upaya kudeta telah gagal. Angkatan bersenjata menuduh PKI sebagai dalang peristiwa tersebut. Pada tanggal 5 Oktober, jenderal-jenderal yang tewas dimakamkan. Propaganda militer mulai disebarkan, dan menyerukan pembersihan di seluruh negeri. Propaganda ini berhasil meyakinkan orang-orang Indonesia dan pemerhati internasional bahwa dalang dari semua peristiwa ini adalah PKI. Penyangkalan PKI sama sekali tidak berpengaruh. Maka ketegangan dan kebencian yang terpendam selama bertahun-tahun pun meledak. 

Ada beberapa hal yang sangat mengerikan yang terjadi pada waktu itu, yakni: 

1. Pemimpin-pemimpin militer yang diduga sebagai simpatisan PKI dicabut jabatannya. 
2. Majelis Permusyawaratan Rakyat dan kabinet dibersihkan dari pendukung-pendukung Soekarno. 
3. Pemimpin-pemimpin PKI segera ditangkap, bahkan beberapa dihukum mati. 4. Petinggi angkatan bersenjata menyelenggarakan demonstrasi di Jakarta. 
5. Pada tanggal 8 Oktober, markas PKI Jakarta dibakar. 
6. Kelompok pemuda anti-komunis dibentuk, contohnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), dan Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI). 

Pembantaian Kejam dibalik Tewas nya Para PKI 

Pembersihan dimulai pada Oktober 1965 di Jakarta, yang selanjutnya menyebar ke Jawa Tengah dan Timur, dan Bali. Pembantaian dalam skala kecil dilancarkan di sebagian daerah di pulau-pulau lainnya,  terutama Sumatra. Pembantaian terburuk meletus di Jawa Tengah dan Timur. Korban jiwa juga dilaporkan berjatuhan di Sumatra utara dan Bali. 
Kebencian terhadap komunis dikobarkan oleh angkatan darat, sehingga banyak penduduk Indonesia yang ikut serta dalam pembantaian ini. Peran angkatan darat dalam peristiwa ini tidak pernah diterangkan secara jelas. Di beberapa tempat, angkatan bersenjata melatih dan menyediakan senjata kepada milisi-milisi lokal. Di tempat lain, para vigilante mendahului angkatan bersenjata, meskipun pada umumnya pembantaian tidak berlangsung sebelum tentara mengenakan sanksi kekerasan. Petinggi-petinggi PKI diburu dan ditangkap. 

1.  Petinggi PKI, Njoto, ditembak pada tanggal 6 November, 
2.  Ketua PKI Dipa Nusantara Aidit pada 22 November, dan 
3.  Wakil Ketua PKI M.H. Lukman segera sesudahnya. 

Beberapa cabang PKI melancarkan perlawanan dan pembunuhan balasan, tetapi sebagian besar sama sekali tidak mampu melawan. Tidak semua korban merupakan anggota PKI. Seringkali cap "PKI" diterapkan pada tokoh-tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) yang beraliran kiri. Dalam kasus-kasus lainnya, para korban merupakan orang-orang yang hanya dituduh atau diduga komunis. 

Warga keturunan Tionghoa juga turut menjadi korban. Beberapa dari mereka dibunuh, dan harta benda mereka dijarah. Di Kalimantan Barat, sekitar delapan belas bulan setelah pembantaian di Jawa, orang-orang Dayak mengusir 45.000 warga keturunan Tionghoa dari wilayah pedesaan. Ratusan hingga ribuan di antara mereka tewas dibantai. 

Metode pembantaian meliputi penembakan atau pemenggalan dengan menggunakan pedang samurai Jepang. Mayat-mayat dilempar ke sungai, hingga pejabat-pejabat mengeluh karena sungai yang mengalir ke Surabaya tersumbat oleh jenazah. Di wilayah seperti Kediri, Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama menyuruh orang-orang komunis berbaris. Mereka lalu menggorok leher orang-orang tersebut, lalu jenazah korban dibuang ke sungai. Pembantaian ini mengosongkan beberapa bagian desa, dan rumah-rumah korban dijarah atau diserahkan ke angkatan bersenjata. 

Pembantaian telah mereda pada Maret 1966, meskipun beberapa pembersihan kecil masih berlangsung hingga tahun 1969. Penduduk Solo menyatakan bahwa meluapnya sungai Bengawan Solo yang tidak biasa pada Maret 1966 menandai berakhirnya pembantaian. 

Ketika dua pria sedang menanti kematiannya, seorang tentara di belakang mereka menusukkan bayonetnya ke mayat-mayat di bawah kakinya. [wikipedia]

Pembunuhan di Jawa Di Jawa, banyak pembunuhan dilakukan oleh simpatisan aliran. Militer mendorong para santri Jawa untuk mencari anggota PKI di antara orang-orang abangan Jawa. Pembunuhan meluas sampai pada orang-orang yang bukan anggota PKI. 
Di Jawa, contohnya, banyak orang yang dianggap "PNI kiri" dibunuh. Yang lainnya hanya dituduh  atau merupakan korban fitnah dengan sedikit atau tanpa motif politik. Konflik yang pernah pecah pada tahun 1963 antara partai Muslim Nahdlatul Ulama (NU) dan PKI berubah menjadi pembantaian pada minggu kedua Oktober. 
Kelompok Muslim Muhammadiyah menyatakan pada awal November 1965 bahwa pembasmian "Gestapu/PKI" merupakan suatu Perang Suci. Pandangan tersebut didukung oleh kelompok-kelompok Islam lainnya di Jawa dan Sumatra. 
Bagi banyak pemuda, membunuh orang komunis merupakan suatu tugas keagamaan. Di tempat-tempat adanya pusat komunis di Jawa Tengah dan Jawa Timur, kelompok-kelompok Muslim menganggap bahwa mereka adalah korban serangan komunis supaya mereka memperoleh pembenaran atas pembantaian yang mereka lakukan. Mereka biasanya mengungkit-ungkit Peristiwa Madiun pada tahun 1948. Para pelajar Katolik di daerah Yogyakarta meninggalkan asrama mereka pada malam hari untuk ikut membunuh orang-orang komunis yang tertangkap. 

Pada tanggal 1 oktober 1965 di bentuk Komando Operasi  Merapi di Jawa tengah. Operasi merapi ini langsung dipimpin oleh komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhi Wibowo. Dalam operasi itu, pimpinan PKI di jawa tengah seperti Kolonel Sahirman, kolonel Maryono, dan Kapten Sukarno berhasil di tembak mati. Untuk sebagian besar daerah, pembantaian mereda pada bulan-bulan awal tahun 1966, namun di daerah-daerah tertentu di Jawa Timur pembantaian berlangsung sampai bertahun-tahun. Di Blitar, ada aksi gerilya yang dilakukan oleh anggota-anggota PKI yang selamat. Aksi tersebut berhasil diberantas pada 1967 dan 1968. Mbah Suro, seorang pemimpin kelompok komunis yang bercampur mistisisme tradisional, bersama para pengikutnya membangun pasukan. Dia dan kedelapan puluh pengikutnya terbunuh dalam sebuah perang perlawanan menghadapi angkatan bersenjata Indonesia. 

Beberapa laporan tentang pembunuhan Sadis di daerah Jawa Timur : 
1. Lawang, Kabupaten Malang. Para anggota dan simpatisan PKI yang akan dibunuh dikat tangannya. Lalu segerombolan pemuda Ansor bersama satu unit tentara Zeni Tempur membawa ke tempat pembantaian. Para korban satu persatu digiring ke lubang. Mereka dipukuli dengan benda keras sampai tewas. Lalu kepala mereka di penggal. Ribuan orang dibunuh dengan cara ini. Lalu pohon pisang ditanam diatas kuburan mereka. 

2. Singosari , Malang. Oerip Kalsum, seorang lurah wanita desa Dengkol, Singosari dibunuh dengan cara tubuh dan kemaluannya dibakar, lalu lehernya diikat sampai tewas. 

3. Tumpang, Kabupaten Malang. Sekitar ribuan orang dibunuh oleh tentara dari Artileri Medan ( Armed I ) bekerja sama dengan Ansor. Mayat korban dikuburkan didesa Kunci. 

4. Kabupaten Jember. Pembantaian dilakukan oleh Armed III. Tempat pembantaian perkebunan karet Wonowiri dan Glantangan serta kebun kelapa Ngalangan. Sementara di Desa Pontang pembantaian dilakukan oleh kepala Desa dan pensiunan tentara. 

5. Nglegok. Kabupaten Blitar. Japik seorang tokoh Gerwani cabang setempat dan seorang guru, dibunuh bersama suaminya. Ia diperkosa berkali kali sebelum tubuhnya dibelah mulai dari payudara dan kemaluannya. Nursamsu seorang guru juga dibunuh, dan potongan tubuhnya digantung di rumah kawan kawannya. Sucipto seorang bekas lurah Nglegok dikebiri lalu dibunuh. Semuanya dilakukan oleh pemuda Ansor.

6. Garum, Kabupaten Blitar. Ny Djajus seorang lurah desa Tawangsari dan seorang anggota Gerwani. Hamil pada saat dibunuh. Tubuhnya dibelah sebelum dibunuh. 

7. Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri. Beberapa guru, kepala desa ditangkap oleh pemuda Ansor, lalu disembelih dan mayatnya dibuang ke sungai. Beberapa kepala guru dipenggal dan ditaruh diatas bambu untuk diarak keliling desa. 

8. Kecamatan Pare, Kediri. Suranto, seorang kepala sekolah menengah di Pare. Ia bukan anggota PKI, tetapi anggota Partindo. Ia bersama istrinya yang sedang hamil 9 bulan di tangkap pemuda Ansor. Mereka dibunuh, perut istrinya dibelah dan janinnya dicincang. Selama seminggu setelah kejadian itu, kelima anak anak Suranto yang masih kecil kecil tidak punya siapa siapa yang akan menolong mereka, karena para pemuda Ansor memperingatkan tetangga, bahwa barang siapa menolong anak anak itu tidak dijamin keselamatannya. 

9. Kecamatan Keras, Kabuaten Kediri. Tahanan dibawa naik rakit oleh pemuda Ansor, dan disepanjang perjalanan mereka dipukui sampai mati, lalu mayatnya dibuang di bantaran sungai. 

10. Kabupaten Banyuwangi. Pembantaian dilakukan mulai tgl 20 November 1965 sampai 25 Desember 1965. Kemudian terjadi lagi 1 Oktober sampai 5 Oktober 1966 serta pembantaian terakhir sejak Mei 1967 sampai Oktober 1968. Pembantaian dilakukan oleh regu regu tembak dari Kodim 08325, pemuda Ansor dan Pemuda Demokrat. Mayat mayat dikubur dilubang lubang yang sudah disiapkan. Umumnya satu lubang memuat 20 25 orang. Dengan menggunakan truk pinjaman dari pabrik kertas di Banyuwangi ratusan korban disiram minyak tanah dan dibakar lalu dilempar ke jurang di Curahtangis, antara jalan Banyuwangi dan Situbondo. Dalam banyak kasus, perempuan perempuan dibunuh dengan cara ditusuk dengan pedang panjang melalui vagina sehingga perut mereka terbelah. Kepala dan payudara mereka dipotong potong lalu dipamerkan di pos pos jaga yang ada di sepanjang perjalanan. 

Pembunuhan di Sumatra Tindakan PKI berupa gerakan penghuni liar dan kampanye melawan bisnis asing di perkebunan-perkebunan di Sumatra memicu aksi balasan yang cepat terhadap orang-orang komunis. 

Di Aceh sebanyak 40.000 orang dibantai, dari sekitar 200.000 korban jiwa di seluruh Sumatra. Pemberontakan kedaerahan pada akhir 1950-an semakin memperumit peristiwa di Sumatra karena banyak mantan pemberontak yang dipaksa untuk berafiliasi dengan organisasi-organisasi komunis untuk membuktikan kesetiaan mereka kepada Republik Indonesia. Berhentinya pemberontakan tahun 1950-an dan pembantaian tahun 1965 oleh kebanyakan masyarakat Sumatra dipandang sebagai "pendudukan suku Jawa". 

Di Lampung, faktor lain dalam pembantaian itu nampaknya adalah imigrasi suku Jawa. Jumlah korban Meskipun garis besar peristiwa diketahui, namun tidak banyak yang diketahui mengenai pembantaiannya, dan jumlah pasti korban meninggal hampir tak mungkin diketahui. Hanya ada sedikit wartawan dan akademisi Barat di Indonesia pada saat itu. Angkatan bersenjata merupakan satu dari sedikit sumber informasi, sementara rezim yang melakukan pembantaian berkuasa sampai tiga dasawarsa. Media di Indonesia ketika itu dibatasi oleh larangan-larangan di bawah "Demokrasi Terpimpin" dan oleh "Orde Baru" yang mengambil alih pada Oktober 1966. 

Karena pembantaian terjadi di puncak Perang Dingin, hanya sedikit penyelidikan internasional yang dilakukan, karena berisiko memperkusut prarasa Barat terhadap Soeharto dan "Orde Baru" atas PKI dan "Orde Lama". Dalam waktu 20 tahun pertama setelah pembantaian, muncul tiga puluh sembilan perkiraan serius mengenai jumlah korban. Sebelum pembantaian selesai, angkatan bersenjata memperkirakan sekitar 78.500 telah meninggal, sedangkan menurut orang-orang komunis yang trauma, perkiraan awalnya mencapai 2 juta korban jiwa. 

Di kemudian hari, angkatan bersenjata memperkirakan jumlah yang dibantai dapat mencapai sekitar 1 juta orang. Pada 1966, Benedict Anderson memperkirakan jumlah korban meninggal sekitar 200.000 orang dan pada 1985 mengajukan perkiraan mulai dari 500,000 sampai 1 juta orang. Sebagian besar sejarawan sepakat bahwa setidaknya setengah juta orang dibantai, lebih banyak dari peristiwa manapun dalam sejarah Indonesia. Suatu komando keamanan angkatan bersenjata memperkirakan antara 450.000 sampai 500.000 jiwa dibantai. Para korban dibunuh dengan cara ditembak, dipenggal, dicekik, atau digorok oleh angkatan bersenjata dan kelompok Islam. 

Pembantaian dilakukan dengan cara "tatap muka", tidak seperti proses pembantaian massal oleh Khmer Merah di Kamboja atau oleh Jerman Nazi di Eropa. Penahanan Penangkapan dan penahanan berlanjut sampai sepuluh tahun setelah pembantaian. Pada 1977, laporan Amnesty International menyatakan "sekitar satu juta" kader PKI dan orang-orang yang dituduh terlibat dalam PKI ditahan. Antara 1981 dan 1990, pemerintah Indonesia memperkirakan antara 1.6 sampai 1.8 juta mantan tahanan ada di masyarakat. 
Ada kemungkinan bahwa pada pertengahan tahun 1970-an, 100.000 masih ditahan tanpa adanya proses peradilan. Diperkirakan sebanyak 1.5 juta orang ditahan pada satu waktu atau lainnya. Orang-orang PKI yang tidak dibantai atau ditahan berusaha bersembunyi sedangkan yang lainnya mencoba menyembunyikan masa lalu mereka. Mereka yang ditahan termasuk pula politisi, artis dan penulis misalnya Pramoedya Ananta Toer , serta petani dan tentara. Banyak yang tidak mampu bertahan pada periode pertama masa penahanan dan akhirnya meninggal akibat kekurangan gizi dan penganiayaan. 

Ketika orang-orang mulai mengungkapkan nama-nama orang komunis bawah 
tanah, kadang kala di bawah siksaan, jumlah orang yang ditahan semakin meninggi pada 1966–68. Mereka yang dibebaskan seringkali masih harus menjalani tahanan rumah dan secara rutin mesti melapor ke militer. Mereka juga sering dilarang menjadi pegawai pemerintah, termasuk juga anak-anak mereka. 
Akhir PKI Usaha Soekarno yang ingin menyeimbangkan nasionalisme, agama, dan komunisme melalui Nasakom telah usai. Pilar pendukung utamanya, PKI, telah secara efektif dilenyapkan oleh dua pilar lainnya-militer dan Islam politis, dan militer berada pada jalan menuju kekuasaan. 

Pada Maret 1967, Soekarno dicopot dari kekuasaannya oleh Parlemen Sementara, dan Soeharto menjadi Presiden Sementara. Pada Maret 1968 Soeharto secara resmi terpilih menjadi presiden. Pembantaian ini hampir tidak pernah disebutkan dalam buku sejarah Indonesia, dan hanya memperoleh sedikit perhatian dari orang Indonesia maupun warga internasional. Penjelasan memuaskan untuk kekejamannya telah menarik perhatian para ahli dari berbagai prespektif ideologis. Kewaspadaan terhadap ancaman komunis menjadi ciri dari masa kepresidenan Soeharto. Di Barat, pembantaian dan pembersihan ini digambarkan sebagai kemenangan atas komunisme pada Perang Dingin. PKI yang di tahan dan yang telah dibebaskan seringkali masih harus menjalani tahanan rumah dan secara rutin mesti melapor ke militer. Mereka juga sering dilarang menjadi pegawai pemerintah, termasuk juga anak-anak mereka.

Daftar Pustaka:

-        I Wayan Badrika. 2006. Buku Sejarah SMA kelas XII. ERLANGGA. Jakarta.
-        Notosusanto, Nugroho. 1992. Sejarah Nasional Indonesia V. BALAI PUSTAKA. Jakarta
-        Buku 30 TAHUN Indonesia Merdeka 1965-1973. Sekertariat Negara Republik Indonesia. Jakarta
-        Gerakan 30 September - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.htm
-        Laporan The Econimist London berdasarkan informasi ilmuwan ilmuwan Indonesia
-        Hermawan Sulistyo, Forgotten Years, Indonesia's missing history of mass slaughter ( Jombang – Kediri 1965 -1966 )

Sumber: http://wartasejarah.blogspot.com/2013/07/tugas-indo-5-reza-wydia.html

Senin, 15 Juli 2013

Catatan Terserak Di Facebook Tentang Gotong Royong

Senin Kliwon, 15 Juli 2013 



Judul asli: Partai gotong royong indonesia, Itulah PKI – Partai Komunis Indonesia
Ditulis oleh : Tri Ramidjo

Sumber: Catatan facebook

Jakarta - Tulisan ini diambil dari catatan facebook sang penulis di faceboknya untuk dipahami dan tentu saja cara penyajiannya dengan cara yang tidak biasa sebagai sebuah tulisan (mungkin karena hanya sebuah catatan singkat di facebook). Inilah tulisan tersebut dan selamat memahaminya.

Ini data penting. Jadi Kyai Anom Dardiri Suromidjoyo juga pendiri PKI, dan menjabat sebagai bendahara. Lalu Kyai Anom jadi guru di pesantren Naksabandiah. Ini data menarik, krn PKI juga didirikan oleh Kyai pesantren.

"Semaun, Alimin, Darsono, Kiyahi Anom dan lainnya berhasil membentuk PKI – Partai Komunis Indonesia - dan komunis itu artinya sangat jelas yaitu GOTONG ROYONG.


Oom Semaun ditetapkan sebagai Voorzitter Hoofd Bestuur atau Ketua sedang sebagai Pening Meester (bendahara) adalah Kiyahi Anom yang biasa memegang uang di SS – staat-spoor – dan sangat dipercaya", ulas Bonnie Setiawan di Facebooknya 

Hampir semua yang membaca sejarah Indonesia pasti kenal perisiwa besar yang melanda negeri ini suatu pemberontakan besar melawan penjajah Belanda – PEMBERONTAKAN TAHUN 1926. 

Para kiyahi yang sangat mengerti ajaran Islam bukan hanya dari daerah Banten tapi juga dari daerah lainnya di seluruh Indonesia ambil bagian aktif dalam melawan kolonialis Belanda.

Alat senjata apakah itu parang, golok, tombak, keris dan bahkan sampai palu dan arit mereka jadikan alat senjata memerangi penjajah Belanda.

Kami memang cinta damai dan gak suka perang tapi kami lebih cinta kemerdekaan, kata mereka. Kemerdekaan bagi kami adalah segalanya. Buat apa jauh-jauh Belanda meluruk ke Indonesia hanya untuk merica, pala, lada dan cengkih? Bukankah membeli baik-baik bisa dilayani?

Serakah, penjajah memang serakah. Kami tidak rela menjadi ketiplak hanya untuk dijajah..

Ketika aku mau meneruskan tulisan ini terdengar suara adzan lohor dan jam di dinding menunjuk jam 12.05 wib Kamis Legi 11 Juli 2013. Sekarang ini bulan puasa tapi karena aku sakit dan jalan saja sulit aku tidak menunaikan ibadah puasa. Terserah Allah apakah aku di akhirat nanti aku akan dihukum. Aku lahir ke dunia ini juga tidak pernah minta dan mati pun aku tidak minta. Terserah Allah sajalah. Kalau aku dianggap berdosa semua apa yang kulakukan juga bukan kemauanku sendiri. Katanya semua apa pun tidak mungkin terjadi tanpa kehendak Allah. Jadi kesemuanya sangat tergantung kepada Allah bukan ?

Ada yang bilang manusia diberi otak dan otak itu bisa berfikir mana yang baik dan mana yang buruk.

Ya, benar manusia bisa berfikir dan berfikir itu juga digerakkan oleh Allah bukan? Jadi semuanya sangat tergantung kehedak Allah. 

Tanggal 17 Agustus 1945 Bung Karno memproklasmasikan negeri ini MERDEKA dan negri Indonesia ini menjadi Negara merdeka lepas dari penjajahan asing baik Belanda, Jepang atau lainnya. Kemerdekaan itu juga datangnya dari Allah juga bukan? 

Tidak ada segala sesuatu yang bisa datang sendiri. Benar benar benar

Otak dari Allah ini juga tidak bisa digunakan lagi setelah mati bukan, sebab otak ini juga akan memnbusuk dan jadi tanah. Jadi segalanya yang pernah terpikir di otak ini juga akan terhenti. 

Sebenarnya aku ingin tanya kepada teman akrabku bung Nyoto yang selama aku hidup ini belum pernah bertemu teman yang sepintar bung Nyoto.

Coba saja pikir baik-baik Bung Karno yang zenial itu juga menyerahkan pidato kenegaraan kepada bung Nyoto. Begitu hebatnya bung Nyoto yang dihilangkan oleh orba Suharto entah kemana dan sampai hari ini sangat sulit untuk mencari manusia seprti bung Nyoto.

Tri, kamu nglantur ya, bukankah kop title atau judul yang bung tulis itu partai gotong royong Indonesia atau PKI ?

Ya ya ya, benar benar sekali, maksudku PKI yang didirikan oleh oom Semaun di Candi Semarang pada tgl 23 Mei 1920. 

Menurut cerita ibuku waktu vergadering atau gadring yang maksudnya rapat di rumah oom Achmad Sulaiman itu sengaja di halaman para padvinder atau pandu IPO – organisasi pandu-pandu – dengan pimpinanannya oom Mardjono dan oom Munandar – kenal bukan oom Munandar yang pernah menjadi penyiar radio Australia – berlatih kepanduan agar yang sedang gadringan atau rapat di rumah itu tidak terlihat sedang berapat.

Oom-oom Semaun, Alimin, Darsono, Kiyahi Anom dan lainnya berhasil membentuk PKI – Partai Komunis Indonesia - dan komunis itu artinya sagat jelas yaitu GOTONG ROYONG.
Oom Semaun ditetapkan sebagai Voorzitter Hoofd Bestuur atau Ketua sedang sebagai Pening Meester (bendahara) adalah Kiyahi Anom yang biasa memegang uang di SS – staat-spoor – dan sangat dipercaya.

Beberapa koran atau harian penting tentu saja dikelola oleh PKI dan anggota-anggota Serikat Rakyat otomatis menjadi anggota PKI.

Dalam waktu singkat PKI anggotaanya makin bertambah dan pada tahun 1925 berhasil melakukan pemogokan buruh kereta api, melumpuhkan perjalanan kereta api sehingga pegawai penting orang Belanda terpaksa mengangkuti barang-barang kereta api menggantikan para kuli yang ambil peranan mogok.

Tentu saja mogok itu berakibat panjang

Banyak pekerja dipecat dari SS-Staat-Spoor dan Kiyahi Anom R. Dardiri Suromidjoyo tidak luput dari pemecatan itu yang lalu dari Surabaya pindah ke Semarang ikut memimpin Serikat Rakyat dan sudah itu kembali ke Redaksi Surat Kabar yang diasuh PKI dan pada kesempatan tertentu kembali ke tempat krlahirannya di Grabag Mutihan – Tunggul Rejo Kutoarjo.

Di Grabag Mutihan tentu saja punya tugas mengajar ngaji utuk para santri di Pesantren Naksabandiah.

Sebagai salah satunya orang yang hafal alqur’an termasuk guru ngaji yang dizaman sekarang ini disebut ustadz Kiyahi Anom sangat terkenal. Kiyahi Ronoredjo seorang pamannya – kakak ibunya Nyi Rugayah atau Nyi Cupu sangat meyayanginya dan mencegahnya untuk kembali lagi ke Semarang.

Suatu malam di hujan rintik-rintik di suatu rumah tempat tinggal Kiyahi Anom semuanya tidur sangat nyenyak. Kiyahi Anom juga tidur nyenyak dan dalam tidur nyenyaknya itu membaca atau mengaji alqur’an. Mengangaji itu rupanya sudah menjadi kebiasaan dan tidur pun sambil mengaji.

Konon ceritanya sudah sejak lama rumah Kiyahi Anom itu di intai oleh pencuri sebab termasuk orang berada di desa Grabag Mutihan itu.

Lama sebelumnya pencuri itu sudah menggangsir – menggali lobang dari tempat jauh yang jatuh tepat di kamar yang dituju di rumah itu.

Ketika pencuri itu akan membobol gangsiran rumah itu terdengar suara orang sedang mengaji.

Pencuri itu lalu menunggu sampai suara orang mengaji itu berhenti. Sampai subuh dan matahari hampir terbit suara orang mengaji itu tidak juga berhenti dan akhirnya pencuri itu menghentikan niatnya untuk membobol gangsirannya sebab fikirnya kalau benar jadi membobol gangsirannya pasti ketahuan penghuninya.

Siangnya rumah Kiyahi Anom kedatangan seorang tamu memakai jarik dan baju putih serta ikat kepala sangat rapi. Dengan sangat sopan tamu itu bertandang kerumah Kiyahi Anom. Tentu saja tamu terhormat itu mendapat suguhan dan tidak lupa juga disuguhkan gorengan rengginang yang rupanya menjadi kesukaan tamu itu.

Setelah berbicara panjang lebar ngalor ngidul tentang sulitnya hidup setelah perang dunia pertama pada tahun 1917 dan selanjutnya tamu itu lalu bertanya : ‘sinten ingkang wau dalu ngaos ngantos subuh’ – siapa yang tadi malam mengaji ampai subuh.

Kiyahi Anom menjawab : "Mboten wonten kok ingkang ngaos sedoyo sami tilem ngantos enjing amargi wau dalu jawah terus’ – tidak ada yang mengaji semua tidur sampai pagi karena tadi malam hujan terus.

‘Sebaiknya tidak usah berbohonglah aku dengar betul suara ngaji itu’ sambil berkata begitu tamu tu berdiri dan menginjak keras tempat gangsiran yang telah dibobolnya.

Terlihatlah lobang yang cukup besar dan kata tamu itu ‘lihatlah tadi malam aku menunggu sampai subuh dan aku sengaja menggangsir untuk mencuri kekayaan di rumah ini.

‘Betul betul sekali, memang aku biasa mengaji walaupun aku tidur nyenyak’ kata Kiyahi Anom.

‘Sakmeniko menopo ingkang panjenengan kersaken. Monggo dipun pundut’ – sekarang apa yang anda inginkan. Silahkan ambil.

Tamu itu menyembah dan minta ampun dan dengan tulus-ikhlas dan minta untuk menjadi murid pesantren itu dan berjanji tidak akan lagi menjadi pencuri.

Kiyahi Anom menerima dan sejak hari itu jadilah bekas pencuri itu murid pesantren Naksabandiah yang benar-benar tekun.
----------
Begitulah tamu maling itu lalu diterima sebagai murid dari pesantren itu.

Tentu saja murid itu sangat rajin dan benar-benar meninggalkan kebiasaannya mengambil milik orang lain.

Di tahun 1925 itu sudah beberapa surat alquran dapat dibacanya dengan benar tapi sayang setelah membaca surat ALFIL – alam tarokai…. - dia tak dapat meneruskannya dan tak dapat maju terus. 

Maka dia terkenal di pesantren itu sebagai kiyahi ‘Alam Taro’.

Dia merasa malu lalu dia membungkus sesuatu dan bungkusan itu ditaruhnya dan berkata ‘sebelum aku pulang bungkusan itu jangan diambil, nanti aku sendiri yang akan mengambilnya’.

Kiyahi yang terkenal dengan nama kiyahi ‘Alah Taro’ itu lalu pamitan pergi entah kemana perginya dia tidak pernah mengatakan kepada siapa pun.

Tahun 1926 aku yang diberi nama TRIKOYO ini dilahirkan. Aku lahir pada tanggal 27 Februari 1926 dan katanya lahirku belum cukup umur untuk dilahirkan. Aku lahir cuma sebesr botol bir tapi tangisku cukup keras seperti bayi biasa.

Ibu bidan dan ayahku mengasuhku cukup baik dan ayahku dengan penuh kasih sayang menyelimutiku dengan air panas dalam botol bir sehingga aku tumbuh seperti bayi biasa.

Bulan November 1926 pun tiba dan aku sudah berumur sembilan bulan dan seperti bayi normal.

Tanggal 12 november 1926 terjadi aksi besar pemberontakan rakyat melawan penjajah Belanda. Masih ingat bukan aksi besar rakyat yang mengakibatkan banyak korban itu?
Apa ingin mendengar dan menyanyi lagu 12 November itu?

Baiklah aku tuliskan di bawah ini sebab lagu itu juga bisa menggugah semangat juang bagi yang masih ingin berjuang mengubah negeri yang bobrok ini menjadi negeri yang baik.

LAGU DUA BELAS NOVEMBER
Oleh : Tri Ramidjo.

I.
Dua belas November hari peringatan
Perlawanan kita pertama-tama
Dua belas november hari peringatan
Pemberontakan kita di Indonesia
Ya ya ya itulah yang akan 
Mendatangkan dunia kemerdekaan
Dari itu bersiaplah segera
Hayo rapat kawan kita semua
Hancurkanlah pengkhianat dunia
Hayo rapat kawan kita semua.

II.
Berpuluh kawan di tiang gantungan
Beratus-ratus melayang jiwanya
Laki dan istri dalam buangan
Beribu-ribu di dalam penjara
Ya ya ya itulah yang akan
Mendatangkan dunia kemerdekaan
Dari itu bersiaplah segera
Hayo rapat kawan kita semua
Hancurkanlah pengkhianat dunia
Hayo rapat kawan kita semua.

--------------14.07.2014-------------

12 N O V E M B E R
1 = D - 2/4 - Mars
Bersemangat dan
pantang menyerah
Musik : NN
Teks: Bintang Merah; 15 Nov. 1950
Notasi ulang: Lilik D
12 November 2011
||: 5 3 . 2 | 1 5 | 6 . 7 1 . 6 | 5 . |
I : Dua b'las No – vem - ber ha - ri p'ringa - tan
II : Ber - pu - luh ka - wan di tiang gan- tu - ngan
| 6 . 7 1 . 6 | 5 1 | 2 .1 2 . 3 | 2 . |
I : pembron–ta - kan ki - ta di In – do -ne - sia
II: be - ra - tus ra - tus me - layang ji -wa - nya
| 5 3 . 2 | 1 5 | 6 . 7 1 . 2 | 3 . |
I : Dua b'las No - vem - ber ha ri p'ringa - tan
II: La - ki dan is - tri dalam bu – a - ngan
| 4 . 4 4 4 | 3 1 | 2 .2 7 7 | 1 . |
I : per-la - wa-nan ki - ta per ta – ma ta - ma
II: be - ri – bu – ri - bu di dalam penja - ra
|| 2 . 2 | 2 7 .1 | 2 2 . 3 | 2 . |
Ya , ya , ya , i – tu - lah yang a - kan
| 1 7 .6 | 1 7 .6 | 2 1 7 6 | 5 5 |
men - datang – kan dunia kemer– de-ka - an Da -
| 3 . 2 | 1 . 7 1 .6 | 5 3 .4 | 5 0 5 |
ri i - tu ber –siap - lah sege - ra Ha -
| 6 . 6 | 2 .1 7 6 | 5 6 .7 | 1 . 1 |
yo ra - pat ka-wan ki - ta semu - a Han -
| 4 . 3 | 2 .1 7 6 | 5 3 .4 | 5 0 5 |
cur kan - lah pengkhia - nat duni - a Ha -
| 6 . 6 | 2 .1 7 6 | 5 1 .1 | 1 0 :| 1 0 ||
yo, ra - pat ka-wan ki - ta semu - a a!
Not ditulis tebal => nada naik satu oktaf.
------------------

Pemberontakan rakyat melawan penjajah Belanda itu sungguh-sungguh bersifat nasional dan sampai kekota-kota kecil pun rakyat ikut berontak melawan penjajah Belanda. Seluruh pesantren yang anti penjajah Belanda disapu bersih tak ketinggalan. Apa sebab kukatakan tak ketinggalan? Sebab di negri ini masih ada cecunguk-cecugguk atau coro-coro yang mau menjual rakyatnya sendiri bagi penjajah Belanda.

Akhirnya aksi pembersihan penjajah Belanda di desa Kiyahi Anom dan tentu saja berpuluh orang serdau KNIL mendatangi dan menggeledah pesantren NAKSABADIH.

Beberapa serdadu menginjak-injak tangga atau undak-undakan mesjid.

Tentu saja nenek Nyi Rugayah atau Nyi Cupu ibu Kiyahi Anom sangat marah dan berteriak : ‘ eee londo kurang toto, kowe kabeh ora keno ngidak mesjid iki. Kowe kabeh dudu wong islam lan ngidak mesjid ini kudu wudhu disik lan ora keno nganggo sepatu. Kabeh mudun, iki dudu omahmu – mulih muluh mulih, murang toto’ - eee belanda gak tahu aturan, kamu semua bukan orang Islam tidak boleh menginjak mesjid ini harus wudhu dulu tidak boleh pakai sepatu. Semua turun, ini bukan rumahmu – pulang pulang pulang gak tahu aturan. –

Serdadu KNIL itu pada turun dan kembali ke barisannya. Kiyahi Anom dibawa mereka ke Semarang lalu di masukkan ke CENTRALE GEVANGENIS – penjara untuk orang Eropa – 

Tentu saja istri dan anak-anak Kiyahi Anom menyusul ke Semarang dan ahirnya mereka semua dengan kapal perang KRUISER JAVA di asingkan ke Tanah Merah Boven Digul. 

= Ingin mengikuti lanjutan ceritanya? Baca saja buku cerpen yang ditulis Tri Ramidjo dengan judul “KISAH-KISAH DARI TANAH MERAH - CERITA DIGUL CERITA BURU” yang diterbikan oleh : CV Ultimus – Jl. Rangkasbitung 2A, Bandung. Tilp. Faks (022) 7090899, 7217724.


Tangerang Senin Kliwon, 15 Juli 2013 

sumber: MerdekaFiles