HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Minggu, 25 Agustus 2013

Sulami, Sang Srikandi Merah

25 AGUSTUS 2013 | 18:36



Ia adalah sosok wanita yang  berjuang bagi kebebasan kaumnya dari segala bentuk ketertindasan. Ia juga bertekad memperjuangkan  cita-cita Revolusi Agustus 1945, yakni mengakhiri  imperialisme dan feodalisme, demi terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.
Melalui  Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), sebuah organisasi wanita revolusioner pada masanya, wanita kelahiran Sragen ini memperjuangkan aspirasi ideologisnya. Dia adalah Sulami.
Sulami dan Gerwani
Sulami sudah aktif dalam dunia pergerakan sejak perang kemerdekaan. Selepas pengakuan kedaulatan, Sulami berkiprah di organisasi Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis) yang berdiri tahun 1950. Organisasi ini sendiri menurut Sulami adalah sebuah gerakan yang berjuang untuk melawan akar penindasan terhadap perempuan, yakni budaya feodal dan sistem ekonomi-politik kolonialis dan kapitalis. Gerwis berpandangan, membela hak-hak wanita tanpa menyelesaikan akar permasalahannya tidak akan dapat membebaskan kaum wanita dari penindasan.
Di tahun  1954, melalui kongresnya yang kedua, diputuskanlah bahwa nama  Gerwis dirubah menjadi Gerwani. Tak lama kemudian, Gerwani bergabung  ke dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk menjadi organisasi ‘mantel’ dari partai itu. Sulami pun tetap terlibat penuh dalam perjuangan Gerwani, hingga akhirnya terpilih sebagai Wakil Sekjen II DPP Gerwani. Sebagai salah satu tokoh sentral Gerwani itu pula, pada tahun 1958  Sulami dipercaya sebagai wakil Gerwani dalam  Kongres Wanita Sedunia di Wina, Austria.
Sementara itu, dalam rangka memperjuangkan pembebasan wanita Indonesia dari segala belenggu penindasan, Gerwani mengeluarkan beberapa sikap politik seperti menolak poligami, menolak perkawinan dibawah umur, menolak kekerasan seksual terhadap wanita serta memperjuangkan hak waris bagi wanita. Terkait masalah poligami, Gerwani juga turut membantu program PKI sebagai partai yang menaunginya, untuk menyelesaikan beragam problema seiring dengan perintah partai kepada seluruh  fungsionaris dan kadernya  yang berpoligami untuk mengakhiri pernikahan poligaminya jika ingin tetap bergabung dalam partai. Sama dengan Gerwani, PKI juga menolak poligami dan melarang keras anggotanya berpoligami.
Dalam artikelnya yang berjudul Beberapa  Pendapat  Berdasarkan Pengalaman Akan  Gerakan  Wanita  Revolusioner, Sulami menuliskan hal unik yang dilakukan dirinya selaku tokoh Gerwani dalam rangka membantu partai  untuk menyelesaikan permasalahan para fungsionaris di daerah-daerah yang melakukan poligami, tanpa harus memecatnya.
“..Didaerah Jawa Timur ada seorang fungsionaris masih muda, kaya dan bekerja sebagai Carik Desa. Dia mempunyai dua isteri. Yang pertama punya anak empat, tidak aktif dalam organisasi tetapi menjadi anggota atas permintaan suaminya. Isteri keduanya memang aktivis, pandai berpidato dan berorganisasi. Karena program organisasi anti-poligami, dia sadar bahwa dia bersalah menjadi isteri kedua. Timbulnya pertentangan batin yang hebat menyebabkannya sering sakit. Ketika ada instruksi dari Pusat bahwa meskipun saling cinta, isteri kedua harus dicerai, maka dalam pelaksanaan selalu diundur-undur dengan alasan sakit. Setelah beberapa bulan dibantu kader atasan untuk menyelesaikan, kebetulan ada Konferensi Kerja organisasi se-Jawa Timur dan dia harus ikut mempersiapkan, suami mengantarkan dengan memboncengkan sepeda kemana ia pergi karena belum sehat betul. Alhasil perceraian tertunda-tunda. Penulis yang bertugas memiliki akal dengan cara membuat cerpen setengah fiktif. Isteri muda diceritakan sakit pingsan hingga masuk Rumah Sakit. Sedang suaminya dikritik teman-temannya dengan menyimpulkan bahwa dia harus menceraikan isteri mudanya kalau tidak mau dipecat Partai. Akhirnya disepakati untuk cerai dengan baik-baik. Suami tetap fungsionaris dan bekas isteri muda tetap aktivis organisasi wanita dan lebih bebas berbicara anti-poligami. Ketika Bu Carik yang muda membaca cerpen tersebut di harianRakyat, maka ia sadar dan meminta agar bersama-sama dengan suaminya ke Penghulu untuk menyelesaikan perceraiannya. Legalah semua kader yang bersangkutan.
Dalam kasus ini, Sulami telah menyadarkan seorang wanita yang ‘dimadu’ untuk mengakhiri pernikahan poligami yang dilakukannya melalui cerpen yang ia tulis. Hal ini tentu sangat unik dan memperlihatkan militansi Sulami dalam menjalankan kebijakan organisasi dan partai, dengan  menggunakan bakat sastra yang dimilikinya.
Kasus  itu juga merupakan salah satu contoh perjuangan  Sulami dan Gerwani dalam melawan poligami, karena mereka menganggap poligami sebagai cerminan dari sisa budaya feodal yang menindas kaum wanita. Fakta sejarah ini juga menunjukkan bahwasanya PKI merupakan satu-satunya partai yang menolak tegas poligami dalam sejarah Republik Indonesia.
Selain poligami dan isu-isu kewanitaan, spektrum aksi Gerwani pun meluas. Gerwani juga aktif dalam program pembernatasan huruf  (PBH) dan melakukan pendidikan usia dini melalui pendirian TK Melati di berbagai daerah. Gerwani memang memiliki tujuan memajukan kesejahteraan perempuan dan anak-anak melalui pendidikan. Sulami terlibat aktif dalam berbagai program Gerwani ini.
Disamping itu, Gerwani juga turut mendukung secara langsung perjuangan kaum tani dalam mempertahankan hak-haknya atas tanah dari pencaplokan yang dilakukan aparat negara dan perusahaan perkebunan, seperti  pada kasus Tanjung Morawa, Sumatera Utara (1955) dan kasus Jengkol, Kediri (1957). Dalam berbagai konflik agraria itu, beberapa pengurus Gerwani terlibat langsung dalam perlawanan kaum tani di lapangan.
Lebih jauh dari itu, Gerwani  pun turut merespon berbagai isu politik  nasional, seperti turut serta dalam kampanye pembebasan Irian Barat, mendukung politik konfrontasi Bung Karno terhadap Malaysia, serta mendukung perjuangan nasional melawan Nekolim seperti yang diserukan Bung Karno. Sejalan dengan PKI, Gerwani juga berdiri di belakang Bung Karno dalam rangka mengganyang Nekolim.
Dukungan penuh Gerwani kepada Bung Karno sempat membuat Gerwani  dicibir oleh organisasi wanita lainnya, seperti Perwari, karena ‘tutup mata’ atas poligami yang dilakukan Bung Karno. Namun, Gerwani berargumen, kala itu kontradiksi pokok yang harus dihadapi rakyat adalah melawan Nekolim. Dan Bung Karno berada di garda terdepan perjuangan melawan Nekolim itu, meskipun Gerwani dan PKI tetap berprinsip menentang poligami.
Pejuang Hingga Akhir
Setelah bergumul dalam berbagai ‘medan juang’, Gerwani dan Sulami memasuki masa sulit, yang juga bisa dikatakan titik balik dalam perjuangan mereka. Meletusnya peristiwa Gerakan Satu Oktober (Gestok) tahun 1965 yang menewaskan beberapa perwira  Angkatan
Darat menjadi pertanda datangnya pukulan balik kaum kontra-revolusi yang selama ini ‘gerah’ dengan perjuangan Gerwani.
Setelah peristiwa itu, seluruh kekuatan politik dan ormas yang berafiliasi pada PKI ‘digulung’ oleh militer/Angkatan Darat  pimpinan Soeharto beserta milisi-milisi sipil binaannya. Sebagai Wasekjen II Gerwani, Sulami menjadi salah satu target militer untuk ditangkap. Hal ini membuat Sulami harus hidup ‘nomaden’ selama 15 bulan. Dalam pelariannya itu, Sulami masih sempat menjadi anggota Panitia Pendukung Komando Presiden Soekarno sebagai bukti loyalitasnya kepada sang Proklamator dikala semakin masifnya aksi-aksi demonstrasi anti Bung Karno dan anti PKI.
Namun, pelariannya berakhir pada bulan Februari 1967. Sulami ditangkap militer atas perintah langsung Panglima Kodam Jaya Amir Machmud.  Wanita pejuang ini dijebloskan ke tahanan militer di Bukit Duri, Jakarta Selatan. Di dalam tahanan inilah, ia kerap disiksa oleh aparat, mulai dari siksaan fisik hingga psikis. Suatu hal yang juga dialami oleh ribuan orang kader PKI dan Soekarnois pada masa yang sama.
Ketika menghadapi saat-saat penyiksaan tersebut, seperti yang diungkapkannya ketika diwawancarai harian Sinar Harapan pada tahun 2002  lalu, Sulami mengaku  hanya membayangkan pengorbanan  rakyat Vietnam yang berjuang mengusir imperialis yang  lebih berat dibanding penderitaan yang dirinya  hadapi.  Setelah mengalami masa-masa mengerikan di tahanan selama 8 tahun, Sulami baru diadili pada tahun 1975. Sebuah fakta yang konyol sekaligus mengerikan, ketika seorang tahanan dibui dan disiksa selama bertahun-tahun terlebih dahulu, baru kemudian diadili. Dalam pengadilan yang penuh manipulasi itu, Sulami  divonis bersalah dengan hukuman  20 tahun dipotong masa tahanan.
Ketika menjalani masa tahanannya itu, Sulami tidak hanya diam terhanyut dalam derita. Ia kembali menggunakan kemampuan menulisnya untuk membuat  sebuah buku yang kemudian diberi judul “Perempuan, Kebenaran dan Penjara” (Kisah Nyata Wanita Dipenjara Selama 20 Tahun Karena Tuduhan Makar Dan Subversi). Dalam buku ini, Sulami menguraikan pengalamannya selama berjuang di era perang kemerdekaan dan masa pra 1965, hingga penderitaannya di penjara bersama para tahanan lainnya. Buku ini baru bisa ditertibkan pada tahun 1999, setelah rezim Soeharto tumbang.
Setelah bebas dari penjara dan tumbangnya kediktatoran Orde Baru, Sulami tidak ‘beristirahat’ dari medan juang. Bersama dengan kawan-kawan mantan tapol 1965 lainnya seperti Pramoedya Ananta Toer, Hasan Raid, Koesalah Subagyo Toer, Sumini Martono, dan dr. Ribka Tjiptaning, Sulami  mendirikan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966  (YPKP) di tahun 1999. Yayasan yang juga diketuai oleh Sulami tersebut dibentuk  untuk meneliti dan mengungkapkan data korban pembunuhan massal tahun 1965/1966 yang kabarnya berjumlah hingga 3 juta orang.
Berbekal tekad tersebut, YPKP berupaya  melakukan penelitian dengan membongkar makam para korban pembantaian 1965/1966 di berbagai daerah, seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ketika diwawancarai oleh majalah Gamma tak lama setelah yayasan ini berdiri, Sulami berujar, “Kami ini bergerak dalam alur kemanusiaan, keadilan, dan  hukum melalui yayasan ini,”. Dalam kesempatan yang sama, Sulami tegas menyatakan Soeharto selaku pimpinan militer ketika itu bertanggung jawab penuh atas terjadinya pembantaian jutaan manusia tanpa proses peradilan di tahun 1965/1966.
Namun, belum tuntas perjuangan Sulami dan kawan-kawannya melalui YPKP, takdir Tuhan menentukan lain. Sang wanita pejuang harus  beristirahat dari medan juang untuk selamanya pada tahun 2002 akibat stroke yang dideritanya, ketika usianya sudah  76 tahun. Seorang pejuang wanita yang tiada lelah berjuang bagi kaum dan bangsanya telah pergi, namun sejarah telah mencatat ketangguhan jiwa sang Srikandi Merah ini dengan tinta emasnya.
Hiski Darmayanakader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
sumber: BerdikariOnline 

Kisah Aidit Sang Muazin

Ahad, 25 Agustus 2013, 10:00 WIB
Red: A.Syalaby Ichsan

Belitong Cap Merah (Bagian 1)

Oleh Selamat Ginting (Wartawan Senior Republika)


Dipa Nusantara Aidit
 
 
Mengapa seorang remaja dari keluarga yang dibesarkan dalam ajaran Islam yang kuat, kemudian tertarik dengan paham yang dilarang di Indonesia?

REPUBLIKA.CO.ID, Tanpa terasa, rombongan 'Jelajah Republika' akhirnya menginjakkan kaki di tanah berpasir putih di Desa Tanjung Kelam, Kecamatan Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung, Provinsi Bangka Belitung, pada awal Juni lalu.

Saat itu, suara azan shalat Jumat terdengar nyaring melalui speaker. Lokasi penginapan rombongan hanya berjarak sekitar tiga kilometer atau hanya 10 menit naik sepeda motor ke Jalan Belantu, Pangkallalang.

 “Di situlah, tempat tokoh agama dari perkumpulan Nurul Islam yang berafiliasi ke Perserikatan Muhammadiyah,” ujar Muhammad Takdir, salah seorang jamaah masjid setempat. 

Ya, tokoh itu bernama Abdullah Aidit yang memiliki istri pertama bernama Nyi Ayu Mailan. Tokoh agama itu juga adalah mantri kehutanan, jabatan yang cukup terpandang di Belitung ketika itu.

Abdullah Aidit adalah anak dari Haji Ismail, pengusaha ikan di daerah itu. Sedangkan istri pertamanya, Nyi Ayu Mailan, lahir dari keluarga ningrat. Ayah Mailan, Haji Ki Agus Abdul Rachman, seorang tuan tanah. 

Abdullah punya enam anak. Semua lelaki. Dari perkawinan pertama dengan Mailan, lahir Achmad, Basri, Ibrahim, dan Murad. Abdullah kemudian menikah lagi dengan Marisah dan melahirkan Sobron dan Asahan.

Keenam anaknya itu menyandang nama belakang Aidit. Selain itu, ada Rosiah dan Mohammad Thaib, anak bawaan Marisah dari suami sebelumnya. 
"Keenam anak kandungnya menyandang nama Aidit. Namun, bukan nama marga," kata Ibarruri Aidit, putri sulung Dipa Nusantara atau DN Aidit. Ibrarruri mengungkapkan hal itu dalam beberapa kesempatan wawancara dengan wartawan tentang asal usulnya. 

Lalu, siapa Dipa Nusantara Aidit? Dia sesungguhnya adalah Achmad Aidit, putra sulung Abdullah Aidit dan Nyi Ayu Mailan. Achmad Aidit yang lahir pada 30 Juli 1923 itu adalah muazin di kampungnya.

Ini karena di kampung itu belum ada speaker dan dibutuhkan remaja yang memiliki suara yang keras dan enak didengar. Achmad Aidit dikenal sebagai remaja yang alim, cerdas, berani, dan peduli pada masyarakat. 
 “Warga di Jalan Belantu mengenal Achmad Aidit sebagai tukang azan karena suara Bang Achmad keras dan bagus,” ujar Murad Aidit, beberapa waktu lalu, sebelum ia wafat.

Pada masa itu, sekitar awal tahun 1930-an, remaja kampung ini bergaul dengan banyak orang. Ia menjadi bagian dari anak pribumi, tapi juga bergaul dengan pemuda Cina.

Salah satu keuntungan karena berasal dari kaum terpandang, keluarga Aidit mudah bergaul dengan anak polisi di tangsi, anak-anak Cina di pasar, dan none-none Belanda di Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton, perusahaan tambang timah milik Belanda di kampung halamannya. 

Perusahaan yang berdiri pada 1825, hanya dua kilometer dari rumah keluarga Aidit. Belakangan, perusahaan itu dinasionalisasi pada era Presiden Sukarno. Namanya berubah menjadi PT Pertambangan Timah Balitung. Lalu, pada April 1991 ditutup setelah stok timah di kawasan itu merosot.
Bergaul dengan aroma Belanda pun bisa dilakukannya karena ia bersekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah dasar Pemerintah Belanda ketika itu. Kini, bangunan sekolah itu masih tegap berdiri dan berganti wujud menjadi Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Tanjung Pandan.

Simpatinya kepada kaum buruh dimulai dari persahabatannya dengan seorang pekerja Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton. Ia melihat langsung kehidupan buruh di perusahaan itu yang tetap miskin walau telah bekerja keras. Berbeda jauh dengan orang-orang Belanda yang menjadi bagian dari perusahaan tersebut.

Pergaulan dengan kaum buruh itu, menurut Murad Aidit, yang menentukan jalan pikiran dan sikap politik abangnya. Itulah ironi yang dilihat Achmad Aidit. Ada perbedaan yang sangat 'jomplang'.
Ia berpikir perbedaan kelas itu harus diakhiri. Remaja ini kemudian mulai mencari buku-buku ekonomi, sosial, dan politik.
 
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/08/25/ms28qw-kisah-aidit-sang-muazin

Jumat, 23 Agustus 2013

Mahkamah Sejarah

Historia.Id 

Sabtu, 17 Agustus 2013

Elang pasang bendera PKI sekadar souvenir

Sabtu, 17 Agustus 2013 16:46 | Reporter : Henny Rachma Sari

Penggalan film G 30 S/PKI. ©2012 Merdeka.com

Elang Gustya Pratama, pemasang bendera Palu-Arit (bendera lambang PKI) kini dipulangkan ke rumah. Setelah diperiksa selama beberapa jam,polisi berkesimpulan Elang tidak ada niat buruk terkait dengan pemasangan bendera tersebut.
"Tidak ada niatan apapun dengan kain souvenir tersebut selain sekadar buahtangan. Terhadap yang bersangkutan, setelah diperiksa dikembalikan ke tempat semula," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Rikwanto, Sabtu (17/8).
Sebelumnya,pada Jumat 16 Agustus 2013, pukul 14.00 WIB, polisi mendapat informasi tentang pemasangan kain yg berlambang "Palu Arit" berukuran 70 cm x 100 cm di kaca jendela kamar tidur di Tower Flamboyan Lantai 8 kamar Nomor F.08.CV.

Bendera itu tidak dipasang menghadap ke arah taman makam, namun ke arah taman tower Flamboyan arah selatan. Pemilik apartemen itu atas nama Bagus. Namun apartemen itu kini di huni oleh anaknya, Elang Gustya Pratama, kelahiran Kupang 06 Desember 1988.

Dia merupakan Staf Konsultasi Informasi dengan kantor di Jalan Boyolali Nomor 1 Lengkong Gudang Timur RT 03/04 Kelurahan Lengkong Gudang Timur Serpong. Bendera itu dipasang mulai dari 10 Agustus 2013.

Kain souvenir tersebut dibeli dari toko olah raga di Vietnam pada Februari 2013. Dia alumni Universitas Atmajaya Oktober 2012 Fakultas Hukum. Pernah mengikuti organisasi Kampus VIADUCT. Orang tuanya, ayah bekerja jadi Staf Depnakertrans, sedangkan ibunya bekerja sebagai ibu rumah tangga. [mtf]


Sumber: Merdeka.Com 

Menko Polhukam belum tahu ada pengibaran bendera PKI


Sabtu, 17 Agustus 2013 13:13 | Reporter : Yulistyo Pratomo

Jumpers Menkopolhukan Djoko Suyanto bom depok. ©2012 Merdeka.com/Arie Basuki

Merdeka.com - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto mengaku tidak mengetahui kasus pengibaran bendera Partai Komunis Indonesia (PKI) di Kalibata. Atas alasan itu, dia menolak mengomentari aksi tersebut.
"Enggak. Itu di mana kejadiannya? Saya belum dapat laporan soal itu. Saya belum bisa komentar. Saya harus tahu dulu," kata Djoko di Istana Merdeka,Jakarta, Sabtu (17/8)
Saat dijelaskan, Djoko malah berseloroh agar langsung menurunkannya saja. "Diturunkan saja. Kok susah-susah sih," ucapnya.
Sebelumnya, bendera PKI berkibar di kawasan Apartemen Kalibata, Jakarta Selatan menjelang HUT RI ke-68. Aksi itu berlangsung di Apartemen Kalibata, atau tepatnya dekat Taman Makam Pahlawan berlangsung malam renungan suci yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Jumat (16/8) malam.

Polisi sudah menangkap satu orang tersangka pengibar bendera yang bergambar palu arit itu bernama Gilang Gustya Pratama (25). Tersangka diketahui tinggal di Jalan Boyolali nomor 1, Lengkong, Gudang Timur, RT 003/004, Serpong. Polisi telah mengamankan barang bukti bendera PKI dari tempat kejadian perkara. [war]


Sumber: Merdeka.Com 

Senin, 12 Agustus 2013

Kekerasan Pasca 1965 dan Proyek Pengaburan Sejarah ‘Formal’


12 August 2013 | Sayfa Auliya Achidsti

SEBELUM memasuki perbincangan inti tulisan ini, saya ingin sedikit membahas salah satu novel yang telah saya baca beberapa kali tanpa bosan, Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, penulis asal Banyumas (Jawa Tengah). Bagi saya, novel percintaan yang berlatarbelakang sejarah, dan dibungkus dengan gaya tutur yang ‘analitis’ ini adalah salah satu novel yang memiliki kekuatan untuk membuka mata kita atas apa yang terjadi pada sejarah bangsa Indonesia, terutama pada era tahun 1960-an.

Keberanian Tohari menceritakan kisah yang berpijak pada kejadian nyata sangat menarik. Walaupun identitas sejumlah orang dan tempat disamarkan,  penamaan tempat dan manusia dalam karya ini tidak terlalu berbeda dengan kondisi aslinya. Pada tahun-tahun ini, banyak karya sastra yang dinilai sebagai hasil pikiran kiri memosisikan dirinya sebagai kritik atas kondisi sosio-kultural dan kekerasan rezim yang berkuasa.

Fenomena ini memang sering terjadi dalam sebuah rezim tangan besi, di mana penyebutan nama asli pihak terlibat seringkali berbahaya bagi penulis. Namun demikian, hampir seperti dalam novel Spionnage-Dienst (Pacar Merah Indonesia) yang ditulis Hasbullah Parindurie (dengan nama pena Matu Mona) dan diterbitkan pertama pada 1934, penamaan tokoh dilakukan hanya dengan menyamarkan saja, dengan nama yang mirip, sehingga pembaca umum pun akan langsung paham pihak mana yang sebenarnya dimaksud oleh penulis.

Ronggeng Dukuh Paruk yang ditulis Tohari pada tahun 1982 ini diterbitkan dalam tiga buku terpisah: Catatan Buat Emak (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1984), dan Jantera Bianglala (1985). Ketika terbit untuk pertama kalinya, novel ini kontroversial dan segera mengundang ketakutan pemerintahan Soeharto saat itu, sehingga beberapa bagiannya disensor otoritas dengan alasan menyebabkan keresahan sosial dan kesalahpahaman sejarah. Setelah Reformasi bergulir, edisi lengkap novel ini pun diterbitkan kembali. Banyak nasib penulis yang mengisahkan keadaan zamannya dan karyanya dilarang terbit, misalnya Mochtar Loebis, yang menulis beberapa novel dalam penjara. Karyanya sempat dilarang, namun sebuah penerbit luar negeri meminta naskahnya untuk segera diterbitkan di luar Indonesia.

Novel Ronggeng Dukuh Paruk—yang oleh rezim pada saat itu disebut sebagai karya yang ‘tidak baik,’—menampilkan kisah percintaan dua orang muda dengan latar sebuah kampung di wilayah Banyumas, Dukuh Paruk. Persahabatan Rasus dan Srintil sejak kecil kemudian berbuah cinta. Srintil, yang tumbuh sebagai gadis paling cantik sekampung, kelak diyakini mendapat titisan indang (roh peronggeng), sehingga ia berkesempatan menjadi ronggeng. Pada saat itu, menjadi ronggeng adalah sebuah kebanggaan dan simbol kesenangan. Ronggeng adalah bagian dari kehidupan masyarakat, sehingga wajar jika ia segera larut dalam politik, sebagai simbol dari kebudayan rakyat.

Konflik mulai terjadi pada tahun 1964. PKI (yang pada bagian awal novelnya digambarkan sebagai kelompok bercaping merah) mengundang ronggeng dan kelompok-kelompok seni lain untuk pentas. Oleh PKI, ronggeng diasosiasikan sebagai bagian dari kesenian rakyat dan simbol perlawanan terhadap pemerintah. Di sinilah ditampilkan sisi ganas sebuah rezim, baik pemerintah maupun oposisi, yang menggunakan rakyat hanya sebagai alat. Selama beberapa tahun, Srintil ditahan pemerintah. Malangnya, setelah bebas, lingkunganlah yang menjadi ruang tahanan bagi Srintil, lengkap dengan segala stigma dan perasaan tidak nyaman yang menghantuinya.

Membaca novel Ahmad Tohari yang ditulis pada 1984, tampak bahwa peristiwa 1965 membawa pengaruh yang sangat luas. Banyak orang yang tak tahu apa-apa terseret dalam konflik ini, mirip dengan tokoh Srintil dan tetangga-tetangga sekampungnya. Ketidakpahaman mereka di satu sisi, dan kerasnya politik di sisi lain, menimbulkan banyak korban, yang hingga kini tidak kunjung jelas mengenai apa yang sebenarnya terjadi.

Pembasmian

Terdapat banyak kasus pembuangan  terhadap orang-orang yang dicurigai terlibat dalam aksi 1965. Mereka dicap sebagai bagian dari PKI (Partai Komunis Indonesia) dan karenanya harus ditindak. Dalam hal ini, berbagai tindakan dilakukan, dan yang paling ‘ringan’ adalah penahanan (yang hampir semua dilakukan dengan tanpa adanya peradilan).

Implikasinya, cap ‘komunis,’ yang ditakuti dan gampang meneror mental khalayak,  digunakan sebagai alat politik Misalnya saja, orang yang mengkritisi kebijakan atau pejabat (atau pihak yang dekat dengan negara) bisa semena-mena kena label komunis.  Banyak permasalahan pribadi yang berakhir dengan pencekalan salah satu pihak yang kemudian berkembang menjadi tuduhan  komunis. Tentunya, ini belum termasuk pembuangan dan pembasmian orang-orang yang dianggap komunis.
Kartu Tanda Penduduk (KTP), yang lumrahnya dimiliki warga negara sebagai pengenal, dijadikan tanda dengan kode-kode tertentu untuk menunjukkan bahwa si pemilik kartu telah dicurigai sebagai komunis.

Dengan adanya stigma tersebut, dan kondisi masyarakat yang sudah ‘sakit’ oleh trauma, ekses-ekses ekonomi-politik berkembang. Hingga kini, pada kenyataannya, masih terdapat banyak kasus di mana keluarga dari orang yang dulu dicap sebagai PKI sulit mendapatkan pekerjaan terutama untuk posisi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Salah satu yang mulai diperbincangkan di era reformasi adalah tuntutan pelurusan sejarah yang selama bertahun-tahun dikuasai oleh rezim.

Sejarah adalah pengetahuan, di mana pengetahuan adalah kuasa. Maka, dalam konteks ini, sejarah yang dituliskan dan tersebar sebagai sebuah imajinasi sosial bangsa menjadi aspek yang sangat determinan dalam kehidupan bernegara. Dalam ‘sejarah umum’ di Indonesia, insiden politik pada tanggal 1 Oktober 1965 sendiri selalu diasosiasikan dengan gerakan orang-orang dari komunis yang melakukan kudeta dengan membunuh sejumlah jenderal. Maka, ‘G30S/PKI’ pun diperlakukan sebagai istilah yang tak bermasalah dalam penulisan sejarah. Di ujian-ujian sekolah, jawaban dari murid akan disalahkan jika ia menulis ‘G30S’ tanpa disambung kata ‘PKI.’ Dalam hal ini, posisi saya bukan menolak dan mengatakan bahwa PKI tidak terlibat dengan mempersoalkan perihal istilah yang ‘formal’ dalam kurikulum pendidikan sejarah Indonesia.

Namun, sementara ada beragam versi sejarah peristiwa 1965, pemerintah pun kelihatan naif (jika bukan tendensius) ketika langsung menunjuk PKI sebagai aktor tunggal pada peristiwa tersebut.
Tak perlu dikatakan lagi jika penulisan sejarah ini seiring dengan tindakan kekerasan negara yang  menimbulkan korban yang luar biasa banyaknya.

Pasca-1965, walaupun konstelasi politik mulai menuju pada satu polar dan relatif menjadi berangsur-angsur ‘stabil,’ kestabilan ini dipaksakan. Peraturan-peraturan dikeluarkan, meregulasi gerak-gerik warga, dan akhirnya turut memelihara stigma dan diskriminasi terhadap siapapun yang dianggap ‘kiri.’ Beberapa peraturan yang memiliki dampak langsung tersebut adalah:

Tap MPRS No. XXV/1966
Pembubaran PKI, pernyataan organisasi terlarang di seluruh wilayah negara RI bagi PKI dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan/ mengembangkan paham atau ajaran komunise/marxisme, leninisme. (Masih berlaku).

UU No. 3/1967
Dewan Pertimbangan Agung;
Pasal 4-e untuk menjadi anggota DPA, tidak terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam gerakan kontra revolusi G30S/PKI/organisasi terlarang.

UU No. 15/1969
Pemilihan umum anggota-anggota Badan Permusyawaratan Perwakilan Rakyat;
Pasal 2, WNI bekas anggota organisasi terlarang PKI termasuk organisasi massanya yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam gerakan kontra revolusi G30S/PKI/organisasi terlarang lainnya tidak diberi hak untuk memilih dan dipilih.

UU No. 5/1985
Referendum;
Pasal 11 ayat 2-a untuk dapat dari daftar dalam pemberi pendapat rakyat, harus dipenuhi syarat-syarat bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak langsung.

UU No. 14/1985
Mahkamah Agung;
Pasal 7 ayat 1d untuk dapat diangkat menjadi hakim agung seorang calon harus memenuhi syarat: bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya.

UU No. 2/1986
Peradilan Umum;
Pasal 14 ayat 1d untuk diangkat menjadi hakim pengadilan negeri, seorang calon bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya/ bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak langsung dalam G30S/PKI.

UU No. 5/1986
Peradilan Tata Usaha Negara;
Pasal 14 ayat 1d untuk diangkat menjadi Hakim pada pengadilan TUN, seorang hakim bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya/bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak langsung dalam G30S/PKI.

UU No. 7/1989
Peradilan Agama;
Pasal 13 ayat 1d untuk diangkat menjadi hakim pada pengadilan agama, seorang Hakim bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya/bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak langsung dalam G30S/PKI.

UU No. 17/1997
Badan Penyelesaian Sengketa Pajak;
Pasal 8d untuk dapat menjadi anggota setiap calon bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI termasuk organisasi massanya/bukan seseorang yang terlibat langsung/ tidak langsung dalam G30S/ PKI.

UU No.5/1991
Kejaksaan Negeri;
Pasal 9d syarat untuk diangkat menjadi jaksa tidak boleh bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya/bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak langsung dalam G30S/PKI.

UU No. 3/1999
Pemilihan Umum;
Pasal 43 ayat 1f seorang calon anggota DPP, DPRD I, DPRD II adalah bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya/bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak langsung dalam G30S/PKI.

UU No. 4/1999
Susunan, Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD;
Pasal 3 ayat 1d bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya/bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak langsung dalam G30S/PKI.

Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 32 Tahun 1981: Larangan menjadi pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri, guru, pendeta, dan sebagainya bagi mereka yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam G30S/1965 dan mereka yang tidak ‘bersih lingkungan’.

Keputusan Presiden No.16 Tahun 1990: Penelitian khusus (Litsus) bagi calon pegawai negeri sipil, anggota DPR dan notaris.

Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 24 Tahun 1991: KTP seumur hidup tak berlaku bagi WNI yang berusia 60 tahun tapi pernah terlibat langsung ataupun tidak langsung dengan organisasi terlarang (OT).

UU No. 43/1999 tentang Perubahan Azas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian: Pegawai negeri sipil diberhentikan tidak dengan hormat karena melakukan penyelewengan terhadap Ideologi negara, Pancasila, UU Dasar 1945, atau terlibat dalam kegiatan yang menentang negara dan pemerintah (Pasal 23 Ayat 5 b).

UU no. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah: Syarat kepala daerah tidak pernah terlibat dalam kegiatan yang menghianati Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang dinyatakan dengan surat keterangan ketua pengadilan negeri (Pasal 33 c).

UU No. 31/2002 tentang Partai Politik: Partai politik dilarang menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran atau paham komunisme/Marxisme-Leninisme (Pasal 19 Ayat 5).

UU No. 12/2003 tentang Pemilu: Syarat caIon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi maupun kabupaten/kota bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI atau organisasi terlarang lainnya (Pasal 60 g).

UU No. 23/2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden: Syarat calon presiden dan wakil presiden bukan bekas anggota terlarang PKI termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G30S/PKI (Pasal 6 s).

Pelurusan Sejarah

Pada tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) secara terbuka mengatakan bahwa dirinya prihatin dengan pembunuhan terhadap orang-orang yang dinyatakan komunis. Dalam kapasitasnya sebagai seorang presiden, ia mengucapkan permintaan maaf. Banyak pihak menanggapi dengan respon beragam. Di satu sisi, pihak yang setuju menyambut baik tindakan Gus Dur, yang menawarkan kemungkinan diadakannya peradilan secara terbuka untuk menentukan pihak mana yang terlibat dan bersalah. Dengan tindakan seperti itu, diharapkan dapat terjadi sebuah rekonsiliasi dan pelurusan sejarah 1965. Adapun pihak yang berseberangan menanggapi dingin pernyataan Gus Dur dengan alasan perbedaan prinsip.
Tahun 2002, Gus Dur kembali mengucapkan pernyataan maaf. Kali ini mewakili Nahdlatul Ulama (NU) yang diakuinya turut terlibat dalam peristiwa-peristiwa 1965 dan setelahnya, kendati di bawah setting penguasa Suharto pada masa itu.

Pasca reformasi, terlebih setelah sikap terbuka Gus Dur, beberapa kali diserukan rehabilitasi hak-hak korban  1965. Pada tahun 2003, Megawati Soekarnoputri yang menjabat presiden diminta mengeluarkan keputusan terkait hal tersebut. Diskriminasi masih menjadi hal yang sangat menyulitkan—dan dirasakan sebagai kekerasan dalam bentuk yang samar—bagi para keluarga korban 1965 yang dilabeli komunis. Namun, seruan ini layu sebelum berkembang. Ada banyak pihak yang menentang.

Salah satunya Amien Rais, yang menolak rencana tersebut dengan pernyataan yang sangat emosional. 24 Juli 2003, di Gedung Nusantara III saat menerima Gerakan Nasional Patriot Indonesia, Amien mengatakan bahwa sungguh bodoh bangsa Indonesia apabila kembali mengizinkan disebarluaskannya ajaran Komunis/Marxisme/Leninisme, setelah terbukti dua kali terjadi pengkhianatan: pemberontakan PKI di Madiun 1948 dan pengkhianatan ‘G30S/PKI’. ‘Kambing congek saja tidak akan membenturkan kepalanya dua kali. Kalau kita belum bisa mengambil pelajaran dari dua peristiwa bersejarah tersebut ya kita lebih bodoh dari kambing,’ ujarnya pada saat itu (Rakyat Merdeka, 25 Juli 2003).

Di sisi lain, perkembangan yang juga menarik adalah kemunculan organisasi-organisasi yang mempublikasikan kisah para korban 1965 dalam bentuk buku-buku yang sebelumnya dilarang. Mereka aktif juga dalam penelitian guna menyokong rekonsiliasi pihak-pihak yang saling berselisih. Sejak 1998, banyak film bertema seputar 1965 telah diproduksi oleh komunitas-komunitas. Mereka berupaya melakukan pelurusan sejarah resmi yang tidak adil, diskriminatif,  dan mempersulit proses rekonsiliasi. Dalam tulisannya ‘The Battle for History After Soeharto,’ Gerry van Klinken  menyebutnya sebagai bagian sebuah eforia kebebasan dari rezim. Ia membandingkan kondisi Indonesia saat ini dengan yang terjadi di Thailand setelah protes anti-militer yang dilakukan para mahasiswa pada tahun 1973. Tercatat selepas 1998, terdapat dua judul film fiksi dan enam film dokumenter yang diproduksi di Indonesia.

Film-film dokumenter berkaitan dengan tema 1965 lebih banyak dalam hal jumlah, namun kurang terpublikasi secara serius. Beberapa di antaranya adalah Puisi Tak Terkuburkan (1999), Mass Grave (2003), Gie (2005), Menyemai Terang dalam Kelam (2006), Tumbuh dalam Badai (2008), dan Tjidurian 19 (2009).
Pada Juni 2012 lalu, puluhan keluarga korban mendatangi Komisi Nasional HAM, pengakuan maaf dari pemerintah dan pelurusan sejarah.

Upaya semacam ini telah dilakukan sebelum-sebelumnya dan tetap tidak mendapatkan tanggapan berarti dari pemerintah. Aksi Juni 2012 itu dilakukan bertepatan dengan diadakannya Sidang Paripurna untuk membahas hasil penelusuran yang dilakukan Tim Penyelidik Kasus 1965.

Pada aksi hari itu pula, sempat terjadi ketegangan saat beberapa orang dari Front Anti Komunis (FAKI) mendatangi Komnas HAM untuk menolak permintaan dari korban 1965. Eksistensi FAKI yang memosisikan diri sebagai penolak ideologi tertentu (komunis), seraya menolak saat diberi kesempatan oleh Komnas HAM untuk berdialog dengan para korban 1965 (YPKP 65/66, Juni 2012), adalah ganjil dalam sebuah negara demokratis.

Hal yang kemudian menjadi disesalkan adalah penundaan keputusan dari Komnas HAM mengenai nasib korban 1965. Secara resmi, Sidang Paripurna Komnas HAM tersebut tidak memutuskan apapun selain penundaan dan menunggu sampai terbentuknya komisioner yang baru.

Tim Penyelidik Kasus 1965 ini sendiri telah dibentuk sejak 2008, dan belum bisa memutuskan apapun. Seharusnya, Komnas HAM dengan kekuatannya bisa melihat betapa berbahayanya sebuah rezim sejarah yang ada sekarang. Dengan adanya kenyataan bahwa tragedi pembantaian tahun 1965 tersebut menghilangkan sangat banyak nyawa, dan memiliki implikasi pada keluarganya hingga kini, agak aneh melihat langkah Komnas HAM yang terkesan ragu-ragu.
Tidak perlu memberikan solusi dalam hal ini berkaitan dengan Komnas HAM, karena pada dasarnya sudah jelas apa yang seharusnya mereka lakukan.

***

Sayfa Auliya Achidsti, mahasiswa Pascasarjana Fisipol UGM dan jurnalis

Sumber: Indoprogress