HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Senin, 30 September 2013

Perempuan Yang Tak Pernah Menyerah Tak Pernah Mencampakkan Mimpi[1]


September 30, 2013 | Hairus Salim HS

Seorang perempuan tua meninggal pada dini hari, 10 Oktober 2002. Harian Kompas, memuat beritanya, 10 Oktober 2002, dalam sebuah kolom kecil di halaman 10: 
“Sulami Djoyoprawiro Meninggal Dunia.” 
Dikatakan dalam berita itu bahwa Ny. Sulami, tokoh pergerakan perempuan Indonesia, meninggal dalam usia 76 tahun, karena serangan stroke, menyusul berbagai komplikasi lainnya. Siapakah Sulami?

Tokoh Sulami, sejak zaman Belanda, aktif di pergerakan perempuan. Saat Agresi II, ia membantu TNI melawan Belanda. Pada tahun 1958, Sulami menjadi wakil Indonesia dalam Kongres Perempuan sedunia di Wina. Sulami menjadi buron setelah peristiwa G30S. Ia ditangkap setelah 15 bulan berpindah-pindah tempat di Jakarta, dan kemudian diinterogasi di markas tentara Bukit Duri Jakarta.

Sulami baru diadili tahun 1975. Ia dipenjara selama 20 tahun potong masa tahanan di rumah tahanan perempuan di Tangerang. Sulami bebas bersyarat tahun 1984. Dia menolak grasi karena merasa tak bersalah. Sekeluar dari penjara, Ny. Sulami aktif sebagai Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966 (YPKP 1965-1966).

Itulah secuil berita kematian seorang yang oleh Kompas disebut sebagai “tokoh pergerakan perempuan Indonesia”. J. J. Kusni, penyair yang kini eksil di Prancis, menulis sebuah puisi “Selamat Jalan” yang penuh dengan nada kehilangan dan penghormatan untuk Ny. Sulami:

SELAMAT JALAN, SULAMI! 

Matahari itupun tumbang di baratjatuh ke sungai ditelan barisan bukit-bukit ajaldan esok ia akan kembali tiba menebar cahayabagi yang melanjutkan pertarungan tak kenal usaikematian apalagi kelaliman yang bertangan hitamtak pernah tuntas melibas nyala jiwa pejuang
sambil membuka topi melambaimu menempuh perjalanan tak pulangkukatup bibir mengenang sekian nama yang berjatuhan tanpa sesalmembayangkan deraan demi deraan meninggalkan tanda di badanhari inipun, begitu balik belakangtak sempat lagi memikirkan rasa dukayang tertinggal
 kembali seperti sediakala
berhitung untuk jangan lagi kalah perempuan atau lelakisiapapun merekabisa dan seringkalahdemikian pun aku dan juga kau, sulamitapi yang pasti kau tak pernah menyerahsampai detik penghabisanketika dari jauh kuucapkan selamat jalanperempuan yang tak pernah menyerahtak pernah mencampakkan mimpisulami! kaulah ituselamat jalan, sulami duka pertarungan telah menguras seluruh airmatasiapa lagi di antara kita yang bisa menangis? siapa?maka di detik perpisahan begini yang sadar kulakukanhanya mengangkat kepalan kiri setinggi telingasetangkai mawar merahpun tak bisa kulempar ke makammuaku masih di jalan kembara, panjang, di luar ukuran kilometerrisiko perjalanan yang dipilih dan siapapun patut memilih makna dan sia-sia
 (Perjalanan 2002)

Sulami, dalam puisi di atas, dilukiskan sebagai perempuan yang tak pernah menyerah, yang tak pernah mencampakkan mimpi dan cita-citanya. Sepanjang hidupnya, Sulami terus berjuang dan melakukan perlawanan. Betapapun, perlawanan itu penuh dengan kesunyian yang menyayat dan ancaman menganga, serta (mungkin) akhirnya sia-sia. Penyair melukiskannya sebagai matahari, yang selalu setia dan tegar menyinari.  

Lukisan ini mungkin tidak berlebihan. Sulami adalah anggota Lasykar Wanita yang turut berjuang dalam kemerdekaan. Paska perang ia aktif di Gerwis, yang kemudian berubah menjadi Gerwani. Puncak karirnya adalah sebagai Wakil Sekretaris II DPP. Gerwani. Keterlibatannya dalam Gerwani menyeretnya ke dalam penjara sebagai tapol selama kurang lebih 20 tahun. Setelah pelepasannya, ia aktif di YPKP yang berjuang untuk kajian, advokasi, dan pemulihan hak korban pembunuhan 1965-1966.

Sebagaimana telah dipermaklumkan, Gerwani adalah organisasi yang dianggap dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Maka, seperti juga organisasi-organisasi onderbow atau yang dekat dengan PKI di segala lini, Gerwani juga dihancurkan dan dilarang beriring dengan penghancuran dan pelarangan PKI. Para aktivisnya ditangkap dan dipenjarakan, termasuk dalam hal ini Ny. Sulami.

Yang penting bukan saja penghancuran dan pelarangan Gerwani, tetapi juga –sebagaimana ditransmisikan dalam sejarah resmi, dalam buku-buku pelajaran, dan juga relief-relief Pancasila Sakti di Lubang Buaya–, para aktivis Gerwani digambarkan melakukan tindakan-tindakan dan pesta-pesta seks yang amoral dan menjijikkan sambil merayakan pembunuhan terhadap 7 jenderal. Gerwani telah mapan dipahami selama ini sebagai sekelompok perempuan yang permisif, bejat, dan rusak moralnya, yang melanggar batas-batas kesopanan dan kepatuhan seorang perempuan timur dan beragama.[2]

Seorang perempuan, seorang tua, dan seorang tapol (mantan) Gerwani, meninggal. Maka, siapa di sini memang yang sudi dan mau peduli?

Otobiografi Sulami

Mereka yang disebut sebagai tokoh PKI –dan juga yang dekat dengannya— memang telah mengalami depersonalisasi. Sejarah mereka dikubur dan ‘dijungkirbalikkan’ sedemikian rupa. Mereka sendiri, demi keamanan dan atau karena traumatik, banyak yang sengaja menutupi dan mengubur masa lalunya. Hanya sedikit orang yang (mau) kenal mereka. Lebih sedikit lagi yang mengingatnya. Jejak mereka seperti hilang ditelan bumi, dan hanya samar dalam sejarah Indonesia. Informasi mengenai mereka mungkin hanya sebatas catatan-catatan atau sebentuk daftar kronologis yang singkat.

Sulami adalah satu dari sekian tapol yang sempat meninggalkan sebuah otobiografii, Perempuan – Kebenaran, dan Penjara, yang diterbitkan oleh Penerbit Cipta Lestari, 1999. Otobiografi ini menarik untuk ditelusuri, karena dari sisi penulisnya, Sulami mungkin satu dari sedikit tapol perempuan yang menuliskan riwayat hidupnya, di antara berbagai otobiografi mantan tapol PKI laki-laki yang terbit beruntun sesudah tumbangnya rezim Soeharto.[3] Memang dalam populasi, laki-laki jauh lebih banyak yang ditangkap dan dipenjarakan dalam kaitan peristiwa 1965-1966 ini. Selain itu, secara teknis juga mungkin banyak dari para tapol laki-laki ini merupakan jurnalis, sastrawan, atau pengajar, yang nota-bene memiliki kemampuan menulis, lebih dari sekadar kemampuan melek-huruf.

Tapi ini bukan alasan yang mendasar. Pada kenyataannya, para tapol laki-laki memang memiliki jauh lebih banyak akses untuk menggemakan suara dan menampilkan diri mereka. Selain itu, rupanya sudut pandang laki-laki juga lebih dipentingkan daripada sudut pandang perempuan. Otobiografi Sulami penting dipandang pada titik ini: suatu sudut pandang perempuan terhadap peristiwa 1965-1966.

Menurut Budiawan (2003), pembelaan diri (self-defense), dalam arti pembelaan terhadap pemikiran dan aksi-aksi politik mereka sebelum tahun 1965 itu, dan terutama penolakan terhadap tuduhan dan stigmatisasi bahwa mereka terlibat di dalam pembunuhan para jenderal pada 30 September 1965, menjadi unsur utama dalam kebanyakan isi otobiografi para mantan tapol PKI. Sebaliknya, mereka menuduh Soeharto sendiri sebagai pelaku, atau setidaknya mengambil keuntungan politik dari, pembunuhan itu. Termasuk –menurut Budiawan– dalam contoh pembelaan diri ini adalah otobiografi Sulami di atas.[4]

Membaca otobiografi Sulami memang cukup terasa nada pembelaan diri ini. Kendati demikian, dibandingkan dengan banyak oto/biografi mantan tapol PKI pria, otobiografi Sulami membawakan suara yang berbeda, sudut pandang seorang perempuan, sekaligus dengan itu subyek yang banyak diabaikan, namun sangat penting, yaitu mengenai kedudukan Gerwani dan kaitannya dengan “pembunuhan karakter” seluruh anggota PKI secara struktural dan kultural. Dengan memunculkan subjek itu, Sulami mencoba melawan pelukisan yang buruk dan jahat mengenai Gerwani selama ini. Katakanlah otobiografi ini semacam upaya pemulihan atau rehabilitasi nama Gerwani. Dengan demikian, tentu otobiografi ini bukan lagi semata pembelaan diri, dalam arti diri Sulami semata.

Arti penting pemulihan nama Gerwani ini terletak pada bahwa –sebagaimana dicatat dengan terperinci dan mendalam oleh Saskia dalam bukunya, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (1999) –, pelukisan sistematis oleh militer akan sikap amoral, mesum, dan tari gila-gilaan, serta penggalakan pelacuran oleh Gerwani, menjadi titik masuk yang krusial dan signifikan dalam penghancuran dan pelarangan PKI dan segala onderbownya. Pelukisan yang intensif dan visual, minggu-minggu menyusul peristiwa 1965-1966 ini, diyakini telah mendorong kebencian yang tinggi di kalangan masyarakat terhadap Gerwani dan anggota PKI umumnya. Proses delegitimasi moral Gerwani ini betul-betul menghancurkan bukan hanya Gerwani saja, tapi juga seluruh gerakan PKI. Perempuan adalah tiang bangsa, jika para perempuan rusak, maka rusak dan hancurlah bangsa. Mungkin inilah logika kampanye penghancuran ini. Kelak nanti akan tampak bahwa penghancuran terhadap Gerwani ini juga telah menjadi awal dari re-konstruksi (gerakan) wanita yang lebih dianggap timur, feminim, santun, tahu diri, dan seterusnya, yang menjadi potret ideal (gerakan) wanita di masa Orde Baru.[5]

Bagaimana upaya rehabilitasi nama Gerwani ini dibangun, inilah yang hendak ditelusuri dari otobiografi Sulami? Dalam upaya membacanya, pertama saya akan membaca buku ini secara tekstual-analitis. Kedua, pembacaan intertekstual, di mana saya akan menghubungkan otobiografi ini dengan karya-karya lain yang mengambil subyek serupa. Dan akhirnya, suatu interpretasi dan “pemaknaan” terhadap otobiografi ini.   

Ringkasan Otobiografi
Otobiografi ini tidak cukup tebal. Hanya 104 + 12 halaman Romawi. Setelah pengantar penerbit, pendahuluan, sebuah puisi penulis yang berjudul “Gugatan Anak Manusia”, dan kemudian disusul dengan isi utama buku yang terdiri dari 14 bagian yang singkat: antara 2 hingga 12 halaman. Selain itu, ada beberapa foto dokumentasi penulis dengan para kameradnya aktivis Gerwani maupun dengan rekannya di penjara, yang tampak sudah sangat buram.

Cover depan buku ini didominasi warna hitam dan merah glossy, dengan sketsa tiga perempuan –dua di antaranya berdiri dan berpakaian ala militer, sedangkan yang di tengah duduk dengan memakai kebaya. Wajah mereka tampak mendongak. Jauh di bagian belakang ada sketsa close up seorang perwira militer yang berukuran besar, seakan menatap ketiga perempuan itu. Di bagian kiri atas tertulis: “kisah nyata – wanita dipenjara 20 tahun, karena tuduhan MAKAR dan SUBVERSI”.

Jadi jelaslah yang hendak disajikan oleh Sulami adalah “kisah”. Namun, ia bukan sekadar “kisah”, semacam karangan, fiksi, sesuatu yang mengada-ada, tapi sebuah “kisah yang nyata”, peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi, suatu “fakta”. Bahwa adalah “fakta” yang dikemukakan buku ini tampak dalam pengantar penerbit. Ditegaskan bahwa selama ini orde baru memblokade media informasi dan penerbitan yang mengungkapkan fakta-fakta sekitar G-30S. Hal ini membuat masyarakat dan bangsa Indonesia menerima (sejarah G-30-S) secara sepihak. Tak ada kebenaran selain yang bersumber dari penguasa Orde Baru. Usaha membeberkan fakta dan kejadian sesungguhnya akan berhadapan dengan penguasa dan akan dipenjara. Namun, menurut pengantar penerbit ini, tak selamanya kebenaran bisa dimonopoli dan dipasung. Sejarah adalah fakta yang selalu tak dapat dipalsu (h. VI).

Bagian awal buku ini bertutur mengenai bagaimana Ny. Sulami hidup sebagai buronan menyusul peristiwa 1965 itu. Lari dari satu rumah ke rumah lain. Dari satu kota ke kota lain. Makan dan tidur tidak terpenuhi dengan baik. Perasaan terus terteror, diliputi ketegangan dan waswas. Sembari menceritakan kisah pelarian ini, Sulami juga mengutarakan berbagai ketidakmengertiannya mengenai apa yang terjadi dan mengapa ia –dan teman-temannya– dikejar dan diburu. Konon, perburuan terhadapnya dilakukan atas perintah Pangdam Jaya waktu itu.

 Akhirnya, setelah kurang lebih 16 bulan sebagai buron, Ny. Sulami tertangkap pada 1967 di Jawa Timur. Ia pun dibawa ke markas tempat tahanan dikumpulkan dan disiksa. Cerita tertangkap, terkurung, dan bagaimana ia menyaksikan dan menjalani penyiksaan sebagai tahanan serta cerita penyiksaan dan atau pembunuhan terhadap mereka yang dituduh anggota PKI menjadi inti bagian kedua dari buku ini. Tentara berbaju loreng disebutkan menjadi pelaku utama penyiksaan. Sedangkan yang paling ditakuti dari para pemeriksa/penyiksa ini adalah Komandan ‘Operasi Kalong’.

Penyiksaan tampaknya menjadi pengantar untuk memasuki fase interogasi, yang diceritakan Ny. Sulami dalam bagian ketiga dari buku ini. Interogasi, tentu bukan semata pertanyaan untuk menjernihkan duduk perkara, tetapi suatu metode penggalian informasi lebih lanjut yang dibarengi dengan gertakan dan siksaan. Interogasi dengan demikian sejajar dengan penyiksaan. Ada banyak informasi yang hendak digali penguasa: tentang siaran terkenal PKPS (Pendukung Komando Presiden Soekarno) yang berisi dukungan pada instruksi Soekarno untuk menyelesaikan peristiwa G-30-S secara hukum, tentang jenderal-jenderal penentang Soekarno dalam peristiwa pemboman Istana Merdeka, Cikini, dan lain-lain serta tak ketinggalan soal keterlibatan Gerwani dalam G-30-S.

Bagian keempat berkisah tentang penempatan dan kehidupan Sulami di dalam penjara. Dalam penjara yang resminya untuk kriminal itu pesakitan dibagi dua: narapidana perempuan kriminal (napi) dan tahanan perempuan politik (tapol). Tapol dengan demikian dicampur dengan napi. Di bagian ini, selain cerita kehidupan dan kegiatan dalam penjara, Sulami juga banyak mengungkapkan kenangannya sebagai mantan lasykar wanita dan ceritanya sebagai saksi dalam pengadilan Sudisman, Sekretaris Politbiro CC PKI. 

Setelah sembilan tahun dalam tahanan, Sulami bersama tiga rekannya  baru diajukan ke depan pangadilan. Meski bagian ini berjudul “Pengadilan subversib”, tapi pada bagian kelima ini Sulami belum masuk pada soal pengadilan yang disebutnya “pengadilan sandiwara” ini, tapi cerita tentang bagaimana saksi direkrut dan kesaksian dirancang, serta motivasinya untuk maju ke pengadilan. Ketiga hal ini merupakan pilar penting penghancuran Gerwani. Pengungkapan secara jernih ketiga hal ini, dengan demikian, juga menjadi titik penting rehabilitasi Gerwani yang hendak dilakukan Sulami.  

Dalam bagian keenam yang bertajuk “Pemeriksaan Saksi”, Sulami memaparkan lebih terperinci bagaimana saksi direkrut dan kesaksian direkayasa. Sulami yang juga menjadi saksi tak luput dari pemeriksaan. Seperti sebelumnya pemeriksaan juga diiringi dengan siksaan, suatu metode yang disebut Sulami mengkombinasikan cara-cara menyiksa para agen Jepang dan CIA. Namun dalam pemeriksaan saksi kali ini, Sulami luput dari penyiksaan karena si pemeriksanya –yang memanggilnya mbakyu– kenal ia semasa bergerilya, meski Sulami sendiri tak mengenalnya. 

Pada 1 Januari 1976, Sulami dan ketiga rekannya diajukan ke depan pengadilan. Menurut Sulami, ada banyak dagelan dan lelucon yang berlangsung dalam proses pengadilan itu. Namun, Sulami hanya sedikit menceritakannya: misalnya jawaban hakim atas pertanyaan pembela bahwa bukti-bukti diambil dari file perkara Sudisman. Setelah berlangsung enam bulan dengan sekali sidang setiap minggu, Sulami diputuskan menerima hukuman 20 tahun potong masa tahanan. Naik banding yang diajukan jaksa ditolak dan Pengadilan Tinggi justru memperkuat keputusan tersebut.

Selanjutnya, bagian kedelapan hingga empat belas,  berisi cerita-cerita yang penuh dengan human interest: kegiatan-kegiatan para napi dan tapol di penjara seperti bagaimana untuk mengisi waktu, mengatasi sepi dan rasa rindu: merenda, bertanam, berolah raga, mengikuti ibadah, mencuri-curi makanan, nonton TV atau bacaan, tentang hubungan antara napi dan tapol, dan terutama bagi Sulami, kegiatan MENULIS.

Membaca Otobiografi Sulami

Dalam bukunya, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (1999), Saskia Eleonora Wieringa menjelaskan proses penelitiannya mengenai sejarah, pemikiran, dan penghancuran Gerwani. Berkait dengan subjek dan informan penelitiannya, Saskia mengemukakan bahwa “…banyak perempuan yang bersemangat dan berani telah membantu pekerjaan saya, dan mendorong agar saya tidak berhenti di tengah jalan. Di antara mereka malahan ada yang minta agar saya menuliskan sejarah mereka, oleh karena mereka mengingini agar sejarah itu dilestarikan. Pekerjaan ini tentu saja sangat berbahaya apabila mereka sendiri yang harus melakukannya” (hlm. 31).

Yang dimaksud Saskia dengan “mereka” di atas adalah para tapol mantan anggota Gerwani. Mengapa mereka menginginkan sejarah mereka dituliskan dan mengapa sangat berbahaya bagi mereka jika melakukan sendiri pekerjaan ini? Jawaban pertanyaan ini cukup jelas: Gerwani terlibat dalam peristiwa G30S PKI. Selain itu, ia telah dituduh melakukan perbuatan amoral, menjijikkan, dan gila-gilaan. “Penulisan sejarah mereka” yang mereka inginkan tentu dimaksudkan sebagai pelurusan dan pencucian nama mereka. Jelas, di zaman Orde Baru, tidak mudah untuk melakukan ini. Karena itu, “permintaan” kepada pengamat asing yang memiliki simpati kepada mereka, mungkin bisa menjadi alternatif.

Sulami mungkin termasuk dari mereka yang menginginkan perlunya sejarah dirinya dan rekan-rekannya itu dituliskan. Tapi, dengan penerbitan otobiografinya itu, bisa dikatakan bahwa selain “minta” untuk dituliskan, ia juga ingin menuliskan sendiri sejarahnya.

Dalam pembacaan saya, ada dua hal utama yang hendak diungkapkan Sulami dalam/dengan otobiografi ini. Pertama, protes atas penahanan dan penyiksaan yang tak manusiawi terhadap mereka. Kedua, menjernihkan namanya dan nama Gerwani yang telah dihancurkan. Sulami tidak masuk pada debat soal apa yang sesungguhnya terjadi pada September 1965 itu, yang rumit dan kontroversial tak berujung. Baginya, ini soal para elite politik –mungkin juga para lelaki–, yang tidak ada kaitannya dengannya sebagai non-elite dan –juga sebagai perempuan. Penghindaran untuk membicarakan tema ini, sadar atau tidak sadar, merupakan suatu strategi jitu yang menunjukkan alibi Sulami khususnya, dan Gerwani umumnya, yang memang tidak tahu menahu perkara G30S itu.

Jauh sebelum memutuskan untuk menulis otobiografi, motivasi yang pertama itu telah mendorong Sulami untuk memilih maju ke depan pengadilan:

“Pertimbangan saya sudah bulat untuk siap maju ke pengadilan. Karena dari Gerwani, sampai Ketuanya pun, tidak ada yang diajukan ke pengadilan, karena tak ada bukti keterlibatan dalam G30S. Kalau saya tidak maju ke pengadilan, dan menunggu saja sampai saat seluruh tahanan dibebaskan –dan itu memang biasa—semua kebohongan dan kekejaman penguasa tidak akan terbuka. Kalau kami berempat diadili, fakta-fakta kejahatan dan kekejaman mereka, sadisme mereka untuk mengobarkan nafsu pembunuhan, akan bisa diungkapkan.  Saya yakin, pembelaan yang jujur lambat atau cepat akan tersebar luas. Seandainya pun pers nasional tidak bisa diandalkan kejujuran dan kemauan baiknya, biar pun sedikit toh ia akan memuat berita tentang berlangsungnya pengadilan… Inilah kebaikan yang akan dapat dipetik dari berlangsungnya pengadilan” (h. 48)

Saya tidak sempat memeriksa apakah koran-koran waktu itu mempublikasikan, sesedikit apapun, tentang proses pengadilan itu, seperti yang diharapkan Sulami. Namun, tujuannya untuk maju ke depan pengadilan itu sedikit banyak tetap memberi manfaat. Rekaman-rekaman proses pengadilan itu menjadi suatu dokumen yang sangat berharga sebagai sebuah testimoni.[6] 

Sementara dalam kaitan dengan tujuan kedua, penting dicatat sebelumnya bahwa Sulami adalah orang yang dituduh memerintahkan para anggota Gerwani untuk hadir di Lobang Buaya, seperti pengakuan empat orang saksi (h. 44). Sulami menolak tuduhan itu. “Memang ada empat orang perempuan ikut kerja di dapur umum Lobang Buaya, tetapi mereka itu tidak diperintah oleh organisasi,” (h. 21). Itu tuduhan palsu, yang lahir dari kesaksian orang di bawah ancaman, katanya.

Ia juga membantah keras bahwa para anggota Gerwani melakukan penyiksaan dan pesta seks gila-gilaan terhadap para jenderal yang dibunuh itu. Sulami menulis:

“…Orang tidak akan mengerti bahwa rekaman film video yang mempertunjukkan “tari genjer-genjer di tengah kehidupan porno” yang diperlihatkan dalam sebuah sidang Mahmilub di Jakarta untuk mengadili seorang penting itu adalah buatan Bukit Duri. Petugas yang beringas telah berhasil menggiring para tapol muda untuk menari-nari di aula penjara, dan itulah yang disiarkan oleh semua koran di Jakarta seolah terjadi di Lobang Buaya.” (h. 61)

Demikian juga dengan soal saksi dan kesaksian, banyak yang bersifat palsu, karena orang yang diminta kesaksian memang bukan yang sebenarnya dan atau melalui suatu proses interogasi dan penyiksaan yang kejam. Ketika bertemu mayor pemeriksa yang mengenalnya, Sulami mengemukakan hal ini, seperti ditulisnya:

…Pertama, mereka itu bukan anggota Gerwani. Kedua, mereka masih kanak-kanak dan tidak paham politik. Ketiga, pemeriksaan dilakukan dengan kekerasan dan ancaman berat, maka hasil pemeriksaannya tidak bisa dipertanggungjawabkan…” (h. 57).

Bahkan, menurut Sulami,  ada hal yang lebih keterlaluan dari itu, yakni bagaimana dengan semena-mena militer menangkap saksi:

“…Seorang pelacur dari Kota Paris (Senen) Jakarta, buta huruf, ditangkap patroli militer tengah malam dekat Jatinegara karena tanpa KTP. Dia menyetujui berita acara karangan pemeriksa, yang menyatakan bahwa ia adalah anggota Gerwani Jakarta. Dalam berita acara itu ia mengaku berada di Lobang Buaya. Tugasnya memberikan konsumsi seks kepada 200 orang tentara pemberontak. Ia bubuhkan cap jempolnya karena takut bedil. Juga karena dirayu dengan janji akan diberik sejumlah uang dan kebebasan. Orang macam itulah yang akan dijadikan saksi hukum dalam pengadilan subversi…” (h. 44-45).

Bagi Sulami, praktek-praktek mencomot saksi dan merancang kesaksian palsu semacam inilah yang dilakukan militer untuk membunuh karakter Gerwani. Selain pelacur di atas, menurutnya, ada lagi Sainah, seorang gelandangan di bawah jembatan Kebon Sirih yang ditangkap karena namanya mirip Inah, istri oknum yang dicurigai ikut melatih di Lobang Buaya. Ada juga “Jamilah” asal Trenggalek dan Emi, seorang pelacur, yang ditangkap karena nama mereka mirip dengan Jamilah dan Emi, dua orang sukarelawati yang sedang diburu (h. 45), serta Yos, anak angkat seorang Ambon di Halim.

Dengan mengemukakan itu semua, Sulami hendak membantah seluruh tuduhan bejat dan amoral yang dialamatkan ke Gerwani. Sebaliknya, bagi Sulami, justru para tentara itulah yang telah melakukan hal bejat dan amoral, seperti melakukan pemerkosaan dan penyiksaan terhadap mereka yang tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa.

Pengungkapan Sulami ini sejajar dengan beberapa penelitian lanjut, seperti yang dilakukan oleh Ben Anderson (1987) yang berangkat dari otopsi dokter atas mayat para jenderal itu, bahwa tidak ada kemaluan atau bagian tubuh jenderal yang dipotong-potong, sebagaimana digambarkan dalam laporan resmi. Semua bagian tubuh para jenderal itu masih utuh, meski jelas ada bekas-bekas pemukulan dan penembakan.

Tesis serupa juga dikeluarkan oleh Saskia (1999) yang merekonstruksi peristiwa itu berdasar wawancara dan analisis terhadap berita-berita dan foto-foto di koran hari-hari itu, bahwa tidak ada pesta-pesta seks yang mengiringi kematian atau mengelilingi mayat para jenderal tersebut. Seluruh penggambaran itu, hanyalah rekayasa dan isapan jempol penguasa saat itu sebagai kampanye penghancuran moral terhadap PKI .

Kajian Saskia, terutama bagian 11 (h. 498-549) ini penting dalam kaitan membaca otobiografi Sulami ini. Ini karena adanya beberapa kesejajaran antara yang diungkapkan Sulami dan hasil kajian Saskia ini. Bahkan dalam beberapa hal kajian Saskia mengungkapkan jauh lebih lengkap dan detil. Misalnya menyangkut keberadaan anggota Gerwani di Lobang Buaya. Diakui mereka memang berada di sana sewaktu kejadian, tetapi sama sekali bukan perintah organisasi. Selain itu, kehadiran mereka juga tidak berkaitan dengan peristiwa itu, tetapi sebagai persiapan sukarelawan/ti Ganyang Malaysia. Dan yang lebih penting lagi, adalah omong kosongnya isu pesta seks, bejat, dan amoral menjelang pembunuhan para jenderal itu. Nama Emi (Emmy), Jamilah, Sainah (Saina), dan Yos (Yossy) yang disebut Sulami juga muncul dalam kajian Saskia, jauh lebih detil dan terperinci.     


Pekik Yang Serak

Saya menyebut buku ini sebagai otobiografi, semata karena ia mengungkapkan pengalaman hidup seseorang yang dituturkan dari orang pertama tunggal “aku” atau “saya”. Namun otobiografi Sulami tidaklah lazim, dalam arti ia tidak berawal dari kelahiran hingga akhir hayatnya. Yang diceritakannya hanyalah sepenggal dari sejarah hidupnya yang panjang. Ia mungkin lebih merupakan suatu epifani, yang mengambil suatu momen dan pengalaman interaksional yang meninggalkan jejak mendalam pada hidup penulisnya. Pengalaman ini merupakan suatu momen krisis dalam riwayat hidupnya, yang membentuk struktur makna fundamental kehidupannya. Dalam hal Sulami, penulis otobiografi ini, pengalaman itu adalah 20 tahun dipenjara di bawah pemerintahan Orde Baru.

Maka sebagai suatu epifani, pembaca tentu tidak disuguhkan perjalanan Sulami sejak kecil, tentang keluarganya, tentang kampungnya, pendidikannya, masa remajanya, dan seterusnya. Rupanya seluruh pengalaman ini telah termakan oleh pengalaman tragik 20 tahun dalam penjara ini. Karena itu, dalam pembuka tulisan, penulis langsung menyuguhkan ceritanya menjadi buronan.[7] Suatu yang bagi pembaca mungkin terasa tiba-tiba, klimaks serta merta. Sampai akhir buku tak ada penjelasan yang cukup mengapa ia ditangkap. Penjelasannya hanya muncul sambil lalu, seperti sebuah transkripsi ingatan ketika menjawab pertanyaan dalam interogasi. Misalnya karena ia pimpinan Gerwani yang dituduh menyuruh para anggotanya bertugas di Lubang Buaya. Tetapi mengapa Gerwani dihantam? Penjelasannya, karena mereka senang mendemonstrasi dan mengganyang koruptor, OKB (Orang Kaya Baru), kabir (kapitalis-birokrat), dan juga karena fitnah bahwa mereka terlibat dalam pembunuhan para jenderal. 

Singkat sekali. 

Sebagai sebuah epifani, pengalaman tersebut demikian personal sekali. Sedemikian tragiknya, hanya dialah yang menyandang penderitaan itu, sendirian. Dalam ceritanya, seperti tak ada orang yang menemaninya. Sulami memang kadang muncul dengan predikat orang pertama jamak, “kami”, yang merujuk pada “kami” anggota Gerwani, namun semua sangat anonim. Sewaktu pengejaran sebagai buron dan awal penahanan, ada disebutnya nama temannya “Lina”, tetapi tokoh yang dalam cerita awalnya dianggap sudah seperti adiknya ini, tak muncul lagi hingga akhir buku. Demikian juga ketika ia diajukan ke muka pengadilan, ia hanya menyebut ketiga rekannya sebagai terdakwa kesatu, terdakwa kedua, terdakwa ketiga, terdakwa keempat sebagaimana sebutan dalam sidang pengadilan (h. 63). Kita tahu bahwa Sulami merupakan terdakwa kesatu dari penjelasan di bagian lain bahwa Sulami dihukum 20 tahun sebagaimana terdakwa kesatu, sedangkan terdakwa yang lain di bawah 20 tahun. Tentu Sulami bukan tidak tahu dan tidak ingat nama ketiga rekannya ini, tetapi anonimitas rupanya memang menjadi tipikal narasi ini. Ia lebih senang menyebut dengan “mereka”, “teman-teman para tapol” atau “teman-teman napi.”

Narasi dan argumentasi yang dibangun oleh Sulami dalam upaya menjernihkan nama Gerwani dan protes atas penyiksaan dan penahanan yang tak manusiawi demikian “terbatas.” Banyak sekali dari ceritanya yang meloncat-loncat dan kurang terperinci serta data-datanya yang tidak lengkap. Untuk koherensi dan ketajaman argumentasi, karya Saskia, Anderson, Budiarjo, dan Sudjinah –dan beberapa lainnya– tentulah bisa melengkapi.

Namun, otobiografi ini tampaknya memang harus dilihat bukan dari kekuatan narasi, koherensi, dan argumentasi yang dihasilkannya, tetapi lebih pada bagaimana dan mengapa otobiografi ini ditulis. Pada titik inilah, saya kira, kita melihat semangat resistensi. Resistensi yang terus menyala ditiup hembus angin, dengan cahaya yang tak seluruhnya merah. Pandangan, dengan demikian, bukan diarahkan pada tulisan yang diproduksi, tetapi pada bagaimana “praktik” penulisan dan pembacaan atasnya. Menulis adalah praktek perlawanan yang tidak gampang, namun biasanya ia menjadi pilihan alternatif seorang pariah, seorang subaltern.

Pertama-tama yang dihadapi Sulami dalam hal menulis adalah larangan menulis di dalam penjara itu sendiri. Menulis adalah suatu pelanggaran yang besar. Menulis dalam penjara –sebagaimana dalam berbagai memoar para pesakitan politik— adalah pekerjaan yang penuh resiko, petualangan yang membahayakan. Namun dengan tekad seorang revolusioner, Sulami memutuskan untuk menulis dan memutar akal bagaimana bisa menulis (h. 33). 
Keinginan menulis itu meronta dan seperti menyeruak ingin keluar dari pikirannya. Untuk sementara, keinginan itu terpaksa harus ditekan dan hanya muncul dalam bayangan, bahkan pun saat melakukan pekerjaan lain. “Yang saya pikirkan waktu merenda itu ternyata mengasyikkan. Saya sampai hafal, dan tidak membosankan. Yaitu sebuah kerangka novel… Kadang-kadang kalau otak sedang jalan merenda cerita dan di jendela ditunggui napi yang ingin menceritakan riwayat hidupnya, saya ingin marah…” (h. 40), demikian tulis Sulami tentang gejolak hatinya yang ingin menulis. Ia bahkan akan marah jika khayalannya menulis itu diganggu.  

Ia akhirnya bisa menulis karena memanfaatkan mesin tulis kantor yang dipinjamkan padanya sebagai orang yang bertugas menyusun cerita atau sandiwara untuk perayaan-perayaan hari besar Natal, Lebaran dll. Mesin tulis itu sungguh anugerah yang besar, namun Sulami harus taktis dan efisien memanfaatkannya. Ia mengaku, setelah mendapatkan mesin tulis itu, ia “menulis seperti orang gila”. Ia menulis banyak hal: cerpen, novel, naskah sandiwara, novelet, dan sajak. Sulami melukiskan peluang menulis ini sebagai “menerkam kesempatan dalam kesempitan dalam penjara.” (h. 78).

Berikutnya, ia mendapat sumbangan kertas tik dan alat tulis dari seorang profesor yang berkunjung dengan para mahasiswanya ke penjara itu. Hatinya girang bukan kepalang. Ia makin optimis, dan berharap sebelum pelepasannya tahun 1986, seluruh tulisannya itu bisa selesai dan diterbitkan. Namun seandainya pun tak bisa diterbitkan, baginya tidak masalah. Ia sudah mendengar bahwa seorang bekas tapol tak diizinkan mempublikasikan tulisan yang dapat mempengaruhi pendapat umum. “Tapi saya tak ada urusan dengan itu. Bagi saya, yang penting menulis, sekali lagi menulis!” (h. 79), demikian pekik Sulami. Kita lihat di sini, bagaimana signifikannya menulis baginya. Menulis pertama-tama adalah upaya pembebasan diri. Menulis adalah mengeluarkan pikiran yang meronta dalam kepala. Menulis adalah suatu perjuangan untuk keluar dari siksaan fisik dan masuk ke suatu ruang batin yang sangat pribadi, sunyi, bebas dari kungkungan surveillence dan disiplin penguasa.[8] 

Sulami memang menguasai baca tulis, namun Sulami bukanlah seorang penulis yang terampil dan piawai. Ia tidak biasa menulis, dalam pengertian untuk dibaca publik. Hal ini dengan demikian menjadi kendala berikut dari perjuangannya untuk menulis. Ia mengerahkan seluruh kemampuannya menorehkan kata-kata. Tetapi tetaplah kelihatan bahwa ia bukan pencerita yang lancar dan runtut. Unsur dramatis yang biasanya mencolok dalam karya-karya otobiografis tampak tidak kelihatan dalam otobiografi ini. Misalnya dalam menceritakan tentang penyiksaan, ia menampilkan bahasa yang singkat dan sederhana, serta abai dengan detil. Ia lebih senang untuk langsung menunjukkan pada konklusinya, bahwa penyiksaan yang dilakukan itu jauh lebih kejam daripada yang pernah dilakukan oleh Belanda maupun Jepang (h. 16-17). Ia seperti hendak langsung menampilkan kenyataan yang paradoks dan ironis.

Dan tak ada lain dari paradoks dan ironi ini, kecuali penangkapan dan penyiksaan terhadap Sulami sendiri. Sulami adalah laskar wanita yang ikut berjuang pada zaman Jepang, Belanda, dan ketika zaman kemerdekaan terlibat penuh dalam gerakan emansipasi wanita. Seorang perempuan yang menyerahkan dirinya kepada bangsa dan negara. Dalam otobiografi ini, kita akan banyak menemukan lukisan kenangan Sulami sebagai mantan pejuang. Meski fokus cerita sebenarnya soal pengalamannya dipenjara dan disiksa serta upaya rehabilitasi nama Gerwani, namun kenangan masa muda berjuang ini mengambil tempat yang cukup banyak di dalam narasi. Pengalaman masa muda sebagai laskar ini merongrong koherensi epifani ini bagai sebuah tusukan tajam. Yang paling menarik dari ceritanya ini adalah ketika ia lolos dari penyiksaan yang biasa mengiringi pemeriksaan menjelang pengadilan, karena mayor pemeriksa itu mengenalnya sebagai rekan dalam perjuangan gerilya kemerdekaan (bagian 6). Inilah paradoks dari diskontinuitas hidup Sulami.

Pola perbandingan yang penuh paradoks dan ironi, tentu memiliki kekuatan naratif tersendiri. Ia bisa menghindarkan penulis dari membuka luka lama. Melukiskan suatu bentuk penyiksaan yang tak manusiawi dengan detil dan luas, tentu secara psikologis bisa membuka luka kembali. Bisa menyeret diri ke dalam kecengengan dan sikap pasrah, menyerah. Pelukisan yang lebih singkat, dengan pola paradoks dan ironi, tentulah lebih aman.

Paradoks dan ironi lain yang ditampilkan Sulami tentulah kemampuannya untuk mentertawakan diri sendiri dan juga “musuh”-nya. Pengadilannya disebut sebagai dagelan dan penuh lelucon. Namun, ia tak menceritakan hal ini lebih lengkap. “Sayang saya tak dapat melukiskan semuanya di sini” (h. 62), katanya. Atau, “Banyak pengalaman dalam persidangan yang tak bisa diungkapkan di sini, karena sempitnya tempat” (h. 63), tulisnya.

Sulami memang telah mengerahkan daya dan ingatannya. Ia juga sepenuh hati merekam pendapat dan pengalaman rekan-rekannya ketika menuliskan otobiografi ini. Dan sebagaimana ditegaskan di atas, pekerjaan ini tidaklah mudah.

Mungkin bukan semata masalah kendala teknis dan terutama restriksi politis itu saja yang membuat mengapa teks ini tampil seperti sebuah lagu rap. Patah-patah dan terdapat banyak diskontinuitas di dalamnya. Di luar masalah teknis-politis itu, soal yang lebih besar adalah apa yang disebut sebagai “ingatan” di dalamnya. Banyak hal yang tidak jelas atau bahkan sama sekali tidak ditampilkan Sulami, bukan karena ia lupa atau alpa, tapi (mungkin) ia memang sengaja hendak melupakannya. Ada sisi-sisi dari pengalamannya itu yang mungkin hendak didekapnya sendiri dalam ingatannya, selain ada yang hendak dibagikan secara terbuka. Tampaklah dalam menulis otobiografi ini perjuangannya untuk di satu sisi “melupakan” sekaligus “mengingat” sisi-sisi kejadian tersebut. Baginya, peristiwa itu memang tidak bisa dilupakan, tetapi juga sangat berbahaya untuk diingat.    

Pembaca akhirnya memang tak mendapat keterangan yang cukup mengapa Sulami menjadi saksi pengadilan Sudisman, tentang Siaran Radio PKPS (Pendukung Komando Presiden Soekarno),[9] tentang tim pemeriksa yang disebut Operasi Kalong, dan lainnya. Jika demikian, lantas bagaimana dengan “fakta” yang hendak dikemukakan Sulami, seperti ditegaskan penerbit dan ditulisnya sendiri di bagian pengantar: “Biar harta tak punya, nyawa masih ada. Dan berniat terus menulis fakta yang penulis alami” (h. VIII)? 

“Menampilkan fakta” tentang peristiwa 1965-1966 itu tampaknya memang telah menjadi obsesi umum, termasuk mungkin Sulami, dan banyak rekan-rekannya dan juga lawan politiknya. Melimpahnya karya di sekitar tema ini menunjukkan kuatnya arus kontestasi dalam upaya merepresentasikan “fakta” mengenai tragedi politik ini. Jelaslah bahwa kontestasi ini tidak akan pernah berakhir. Upaya untuk mengkerucutkan fakta ini hampir dengan seketika berarti juga memuaikannya.

Akhirnya, segala cara dan upaya untuk merepresentasikan fakta ini telah mentransformasi diri menjadi “fakta” itu sendiri. Demikianlah dengan otobiografi Sulami ini, yang penting bukanlah mengenai “fakta” kejadian dalam tulisan itu sendiri, tetapi bagaimana cara Sulami mengingat dan merepresentasikan kejadian tersebut. Seluruh apa yang telah diingat Sulami, cara ia mengingatnya, perjuangan untuk mengingat-ingatnya, dan bahkan keengganannya untuk mengingat bagian-bagiannya, serta kemudian bagaimana ia merepresentasikannya adalah “fakta” yang sama pentingnya dengan apa yang secara akademis disebut sebagai “fakta sejarah.”

Selain itu, kalaupun ada “fakta” yang hendak ditampilkannya, maka fakta itu bukanlah hal yang besar-besar: tentang intrik politik elit Jakarta, tentang pertarungan ideologi-ideologi besar, tentang siapa yang salah dan benar dalam konflik itu, dan lainnya, tetapi hal-hal yang dekat dengannya: tentang keluarga yang hancur oleh penangkapan, tentang penyiksaan dan perkosaan terhadap gadis-gadis belia, tentang anak yang terpisah dari orang tuanya, kehidupan dalam penjara, dan seterusnya. Boleh dikata inilah bagian dari fakta-fakta ‘sisi bawah’ tragedi 1965 ini yang banyak luput dari oto/biografi atau kajian-kajian yang ada selama ini. Tampaknya dari sudut pandang perempuanlah “sisi bawah” dari sejarah ini bisa ditampilkan.[10]

Otobiografi ini memang penting dilihat sebagai suatu praktik pembebasan dan resistensi. Meski, ia hanya sebuah pekik yang serak.  
___

Daftar pustaka
Anderson, Ben, “How Did the general Die?”, Indonesia, 1987.
Budiarjo, Carmel, Surviving Indonesia’s Gulag: A Western Woman Tells Her Story, Cassel London, 1996.
Budiawan, Breaking The Immortalized Past: Anti-Communist Discource and Reconciliatory Politics in Post-Suharto Indonesia, Disertasi Tidak Dipublikasikan, Universitas Nasional, Singapura, 2003.
Denzin, Norman K., Interpretive Biography, Sage Publications, London
Smith, Louis M., “Biographical Method”, dalam Handbook of Qualitative Research, Norman K. Denzin – Yvonna S. Lincoln (ed.), Sage Publications, 1994.
Sudjinah, Terempas Gelombang Pasang, Pustaka Utan Kayu, Maret 2003.
Sulami, Perempuan – Kebenaran dan penjara, Cipta Lestari, Cetakan Pertama, 1999.
Wieringa, Saskia Eleonora, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Garba Budaya, Cetakan Pertama, 1999.


[1] Judul diambil dari puisi karya J.J. Kusni seperti dikutip dengan lengkap di tubuh tulisan ini. Tulisan ini diambil dari buku Perempuan Multikultural, Desantara, 2004.
[2] Tentu saja, terdapat perbedaan pandangan antara Gerwani dan gerakan-gerakan perempuan lainnya, mengenai berbagai aspek kehidupan: agama, pendidikan, nasionalisme, dan lainnya. Namun, tak sedikit juga persamaan-persamaan di antara mereka, yang memungkinkan antara mereka bisa saling bekerja sama. Selain itu, pandangan di dalam gerwani sendiri tidaklah monolitik, tapi juga kompleks, beragam, dan dinamis. Untuk lebih rinci mengenai ini, tengoklah studi Saskia (1999) yang sangat luas dan terperinci.              
[3] Selain Sulami, setahu saya, tapol perempuan lainnya yang menuliskan memoar adalah Carmel Budiarjo dan Sudjinah. Carmel adalah seorang berkebangsaan Inggris yang menikah dengan seorang aktivis PKI. Atas intervensi Pemerintah Inggris, Carmel bisa keluar setelah tiga tahun mendekam, juga tanpa pengadilan. Sekembali ke London, ia mendirikan organisasi hak asasi manusia, TAPOL. Lihat memoarnya, Surviving Indonesia’s Gulag: A Western Woman Tells Her Story,  1996. Sudjinah adalah jurnalis freelancedan penerjemah untuk wartawan Prapda dan DPP. Gerwani. Lihat bukunya, Terempas Gelombang Pasang: Rowayat Wartawati dalam Penjara Orde Baru, Pustaka Utan Kayu, Maret 2003.
[4] Pengecualian, menurut Budiawan, otobiografi Hasan Raid dan Ahmad Moestahal, yang bukan semata pembelaan-diri, tetapi juga suatu kontra wacana terhadap tuduhan bahwa PKI khususnya dan komunis umumnya sebagai ateis yang telah dikibarkan sejak tahun 1920-an. Aspek ini menjadi kajian Budiawan terhadap kedua otobiografi tersebut.
[5] Menurut Saskia, mereka yang berada di Lobang Buaya itu adalah anggota Pemuda Rakyat, dan beberapa istri tentara. Namun mengapa, tanyanya, kampanye terhadap Pemuda Rakyat tidak sekeras terhadap Gerwani. Tapi kampanye media massa mengaitkan mereka dengan Gerwani…  Apakah tujuan khayalan kaum militer yang mereka sulap menjadi “tari-tarian cabul” dan zakar yang diiris-iris? Jika aksi sepihak adalah sebab terpenting pembantaian, mengapa para BTI tidak dikutuk sebagai setan-setan? Atau para seniman Lekra, mengingat kegiatan ideologis mereka. Juga ada para anggota SOBSI di Lobang Buaya. Mengapa,…? demikian tanya Saskia (h. 487).
[6] Lihat karya Saskia yang memanfaatkan beberapa dokumen dari rekaman proses pengadilan ini untuk kajiannya.
[7] Titik berangkat paska 65 ini, menurut Budiawan menjadi watak umum dari oto/biografi para mantan tapol. Sebaliknya, kehidupan pra-1965 menjadi titik utama cerita para lawan politiknya. Dengan demikian, yang terjadi adalah “tabrakan” ingatan yang membuat sulitnya membangun rekonsiliasi. Dengan watak narasi seperti itu, kebanyakan kalangan mantan tapol PKI “mengingat” apa yang dilupakan oleh lawan-lawannya, dan “melupakan” apa yang terus diingat oleh lawan-lawannya dalam sejarah. Demikian juga dengan lawan-lawan mereka, “melupakan” apa yang terus diingat oleh kalangan PKI dan “mengingat” apa yang mereka lupakan. Namun menyangkut Sulami, ada sedikit penjelasan mengapa ceritanya langsung mulai dari pelarian ini, karena masa mudanya, menurutnya, sudah ditulisnya dalam bentuk novel yang berjudul “Mencari Bulan Ndadari” yang bercerita tentang kerjasama antara Batalyon Lawu dengan seorang pejuang perempuan. Yang menarik, mengapa pengalaman masa remajanya sebagai pejuang itu ditulis dalam bentuk “novel”, sedangkan pengalaman dalam penjara ditulis sebagai “kisah nyata?”
[8] Betapa pentingnya menulis di dalam penjara ini, sebagai perbandingan, baca catatan Sudjinah, rekan Sulami berikut ini: “Selama kehidupan saya di dalam sel, saya mencoba menyisihkan pikiran-pikiran yang dapat menimbulkan gangguan ketegangan perasaandengan cara menulis sajak dan cerpen, mencatat kisah sesama tahanan maupun gejolak perasaan dalam diri saya… (Sudjinah, 2003, hlm. 44, tanda miring dari saya, HS).
[9] Dalam karya Sudjinah, PKPS itu bukanlah sebuah siaran radio, tapi sebuah buletin yang disebut Buletin Pendukung Komando Presiden Soekarno (PKPS). Menurut Sudjinah, ini adalah buletin stensilan yang mereka sebarkan, yang berisi dukungan terhadap komando Bung Karno yang meminta rakyat agar jangan gontok-gontokan dan tetap setia di bawah kepemimpinannya. Sulami, Sudjinah, Sri Amba, dan Suharti adalah tokoh-tokoh di balik pembuatan dan penyebarluasan buletin ini. Sulami (Sudjinah menyebutnya Lami) sendiri adalah “atasan” mereka dalam kegiatan bawah tanah yang, menurut Sudjinah, sempat berlangsung selama kurang lebih satu tahun ini. Terutama karena buletin inilah mereka diburu dan ditangkap, dan akhirnya diajukan ke pengadilan.   
[10]Untuk interpretasi ini, saya sangat terinspirasi oleh buku Urvashi Butalia, Sisi Balik Senyap, Tera 2002, yang berisi penelusuran pengalaman pemisahan India dan Pakistan dari sudut pandang perempuan.

Sumber: Haisa 

Dunia dalam Peristiwa 1965


Oleh Aryono
  • Negara-negara asing bukanlah pengamat netral. Dalam rangka mengamankan kepentingan masing-masing, mereka memainkan peran dalam peristiwa 1965

Diskusi buku "1965-Indonesia dan Dunia" di Goethe Haus, Jakarta, 30 September 2013. Foto: Agus Kurniawan.

KETIKA Gerakan 30 September 1965 pecah, Uchikowati (48 tahun) duduk di sekolah menengah pertama. Ibunya anggota Gerwani, ditahan di penjara Bulu, Semarang. Sedangkan ayahnya, bupati Cilacap, dibui di penjara Mlaten, Semarang.

Pada 1967, ayahnya divonis 20 tahun penjara sebagai tahanan politik dan menghuni lembaga pemasyarakat Besi dan Permisan di Nusakambangan. 
“Ketika semua orang menyebut bahwa Gerwani itu jahat,” kata Uchi, “saya tak pernah melihat kejahatan itu pada ibu saya. Justru saya melihat ibu saya punya pekerjaan yang mulia. Bersama anggota Gerwani, ibu mendirikan taman kanak-kanak, rumah bersalin, dan pemberantasan buta huruf dengan sasaran petani dan kaum perempuan.”
Uchi menceritakan pengalaman pahit tersebut pada acara diskusi buku 1965 - Indonesia dan Dunia karya Baskara T. Wardaya dan Bernd Schafer, di Goethe Haus, Menteng, Jakarta Pusat, 30 September lalu. Hadir sebagai pembicara, kedua editor buku tersebut, Bonnie Triyana, Mery Kolimon, Ratna Hapsari Rudjito, dan Uchikowati.

Buku ini adalah kumpulan tulisan dari seminar internasional bertajuk “Indonesia and the World 1959-1969: A Critical Decade” di Goethe Haus tahun 2011.

Menurut sejarawan Baskara T. Wardaya, buku ini membantu melihat konteks yang lebih luas atas apa yang terjadi di seputar tragedi 1965-1966 berikut dampaknya.

Buku ini memiliki dimensi yang berbeda dari yang apa kita lihat selama ini: ketegangan antara blok Barat dan Timur, Inggris yang sibuk membentuk federasi Malaysia, Australia yang ingin mendekat kepada Barat dalam menghadapi perkembangan komunis di Asia, perpecahan antara Beijing dan Moskow, dan diam-diam hasrat untuk menguasai sumberdaya alam Indonesia.
“Buku ini diharapkan bisa membantu kita melihat peristiwa 1965-1966 secara lebih jernih dan luas, baik untuk kepentingan akademik maupun advokasi,” kata Baskara.
Selain itu, dengan membaca ini, kata Mery Kolimon yang mengumpulkan cerita korban peristiwa 1965 di Nusa Tenggara Timur, kita mengerti bahwa mereka adalah korban dari sebuah skenario besar kepentingan para penguasa dunia. 
“Ibaratnya gajah berkelahi, pelanduk mati di tengah-tengah,” ujar Mery, pendeta dan dosen Universitas Kristen Artha Wacana, Kupang, NTT.
Mery mengatakan ini bukan persaingan ideologi. Tapi perebutan kekuasaan ekonomi dan politik. Tulisan Bradley Simpson dalam buku ini menunjukkan bukti-bukti otentik keterlibatan Amerika Serikat dan Inggris.

Pembantaian terhadap orang-orang komunis dan yang dituduh komunis didukung oleh operasi-operasi rahasia Amerika dan Inggris. Kedua negara itu melihat pembasmian PKI sangat penting untuk mengembalikan Indonesia ke dalam hubungan erat dengan dunia Barat. Bagi mereka, Sukarno harus disingkirkan karena kebijakan-kebijakannya semakin pro-Tiongkok.

Tulisan Jovan Cavoski menjelaskan pengaruh Tiongkok yang semakin kuat terhadap PKI dan Sukarno membuat cemas negara-negara Barat dan Uni Soviet.
“Saya sendiri memahami peristiwa 1965 sebagai teror negara terhadap rakyatnya sendiri. Dan di atas teror itu kekuasaan Orde Baru dibangun dan berkembang lebih dari 30 tahun. Teror itu menjadi trauma kolektif. Bukan hanya korban dan keluarga korban yang mengalami trauma, tetapi seluruh bangsa. Ini yang kami temukan dalam penelitian di NTT,” kata Mery.
Bonnie Triyana, sejarawan dan pemimpin redaksi majalah Historia, menyoroti soal pemberitaan media massa luar negeri. Dalam buku ini terdapat dua tulisan mengenai hal itu: Heinz Schutte menulis tentang pers Prancis dan Richard Tanter soal pers Australia.

Selain pers di kedua negara tersebut, menurut Bonnie, justru pers Belanda yang cukup banyak memberitakan apa yang terjadi di Indonesia, khususnya mengenai pembantaian massal dan penahanan semena-mena. Salah satu koran yang getol menulis adalah De Haagsche Courant –kemudian dimerger menjadi NRC Handelsblad.

Dua wartawannya, Cees van Caspel dan Henk Kolb bersama Poncke Princen, mantan tentara Belanda yang memilih menjadi warga negara Indonesia dan bergiat sebagai pejuang hak azasi manusia, datang ke Purwodadi.

Mereka mendapatkan keterangan mengenai pembunuhan massal dari Romo Wignyosumarto.
Berita itu menghebohkan. Pemberitaan media massa Thailand bahkan memicu demonstrasi di depan kedutaan besar Indonesia di Bangkok.

Buku ini telah mengisi kekosongan historiografi di Indonesia.
“Selama ini kajian peristiwa 1965 lebih banyak mengenai apa yang terjadi pada 1 Oktober, siapa dalangnya, dan apa yang terjadi setelahnya. Belum ada pembahasan mengenai bagaimana posisi Indonesia dalam peta politik dunia dan kaitannya dalam peristiwa 1965,” kata Bonnie.

Gerwani Dan Tragedi 1965 | Kisah Wartawati Kesayangan Bung Karno


Senin 30 September 2013, 17:12 WIB

Sri Sulistyawati (tengah berkacamata) bersama mantan tahanan politik bernostalgia dan berbagi cerita saat masa-masa mereka menjadi tahanan politik dimasa Orde Baru. (Foto: ramses/detikcom)

Jakarta - Sri Sulistyawati (72 tahun), hanya bisa tertegun di depan kantornya di jalan Asemka nomor 29-30, Jakarta Barat pada awal Oktober 1965. Kantor koran Warta Bhakti tempat dia bekerja sebagai penulis itu dijaga ketat oleh tentara.

Sejumlah aparat keamanan menjaga kantor Koran Warta Bhakti karena dianggap ikut menyiarkan isu Dewan Jenderal.

Awalnya Sri adalah wartawan Warta Bhakti yang bertugas meliput isu-isu ekonomi. Dia sering menjelajah pasar-pasar untuk menulis soal harga kebutuhan pokok masyarakat. Namun di awal tahun 1965 Presiden Sukarno meminta Sri meliput isu-isu politik. 
“Kamu tulis masalah politik, temani itu Soebandrio,” kata Presiden Sukarno kepada Sri. Soebandrio saat itu menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri I. Sri, yang oleh Presiden Sukarno biasa dipanggil Cenil pun meliput mulai menulis soal isu-isu politik. 
Presiden Sukarno awalnya mengenal Sri sebagai penari di Istana Negara. Pada tahun 1951 dia sering membawakan tari topeng di hadapan presiden. Tak hanya tari, siswi salah satu sekolah menengah pertama di Cirebon, Jawa Barat itu juga mahir bermain angklung.

Dua kemahiran itu lah yang menyebabkan nama Sri begitu dikenal oleh Sukarno. Dia pun menjadi salah satu wartawati kesayangan Bung Karno. Bahkan Bung Karno yang biasanya ceplas-ceplos kalau bicara soal wanita, begitu ada Sri langsung mengalihkan pembicaraan.
“Awas-awas ada Cenil, kita ngomong yang lain aja,” kata Sukarno seperti ditirukan Sri kepada detikcom, di Kramat VII, Jakarta Pusat Sabtu (14\/9) lalu. 
Tak hanya di bidang kesenian, Sri juga aktif di Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia. Kegiatannya di bidang organisasi ini lah yang kemudian mempertemukan dia dengan Sukatno, Ketua Pemuda Rakjat. Mereka berdua akhirnya menikah.

Sukatno aktif di Pemuda Rakjat, sementara Sri disebut turut membidani lahirnya Gerwani cabang Jakarta. Setelah tragedi 1965 meletus, pemerintah Orde Baru menjebloskan pasangan suami istri itu ke dalam penjara. Sri yang dianggap pendukung setia Sukarno dimasukkan ke penjara Bukit Duri.

Sebelum ke Rumah Tahanan Bukit Duri, Sri ditahan di Gang Buntu, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di Gang Buntu ini lah Sri mengalami berbagai penyiksaan.

“Ini gigi saya habis karena disiksa, pernah disetrum,” kata Sri. 
Dari Gang Buntu, Sri dipindahkan ke Rumah Tahanan Bukit Duri, di Jakarta Selatan. Tak ada lagi penyiksaan tapi para tahanan diperlakukan secara tidak manusiawi.
"Di Bukit Duri tak ada penyiksaan, tapi kami makan dengan pinset karena nasinya dicampur dengan beling dan pasir,” kata Sri. 
Menurut dia, pemerintah Orde Baru memang ingin tahanan politik ini mati secara pelan-pelan. Tahun 1979 Sri dan semua tahanan politik dibebaskan.
(erd/erd)


Gerwani dan Tragedi 1965 | Diburu Orde Baru Setelah Geger 1965


Senin 30 September 2013, 16:20 WIB

Mantan tahanan politik bernostalgia sekaligus berbagi cerita saat masa-masa menjadi tahanan politik dimasa Orde Baru. (Foto: detikcom)

Jakarta - Hingga kini belum ada bukti tertulis tentang keterkaitan antara organisasi Gerakan Wanita Indonesia dengan Partai Komunis Indonesia. Gerwani tak pernah secara resmi menyatakan sebagai organisasi sayap PKI. 
“Gerwani tidak pernah menyatakan secara resmi sebagai sayap dari PKI. Perbincangan tentang kemungkinan itu ada, tetapi secara formal tak pernah diputuskan dalam kongres organisasi,” kata sejarawan dari Institut Sosial Sejarah Indonesia (ISSI), I Gusti Agung Ayu Ratih kepada detikcom, Senin (16\/9) lalu melalui surat elektronik. 
Memang, pada tahun 1958 Partai Komunis Indonesia menyerahkan delapan kursinya di Dewan Perwakilan Rakyat kepada anggota Gerwani. Ini untuk memenuhi kuota keterwakilan perempuan di parlemen. 
“Tapi kami (Gerwani) bukan organisasi sayap PKI,” kata Lestari, 81 tahun, mantan pengurus cabang Gerwani Bojonegoro, Jawa Timur kepada detikcom, Sabtu (14\/9) di Kramat VII, Jakarta. 
Cita-cita Gerwani saat itu menurut Lestari, adalah pemberantasan buta huruf. Salah satunya dengan mendirikan sekolah taman kanak-kanak, dan penitipan anak gratis di pelosok pedesaan. Pendidikan politik diberikan kepada kadernya melalui lagu-lagu perjuangan.

Lestari mengisahkan, tak mudah merekrut kader perempuan saat itu. Apalagi sebagian besar masyarakat pedesaan belum melek politik. Beruntung pada waktu itu Gerwani banyak menjalin kerjasama dengan organisasi Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Pemuda Rakjat (PR).
“Kami minta istri-istri pengurus BTI, PR itu peduli dengan nasib rakyat kecil, berjuang bersama kami (Gerwani) memberantas buta huruf,” kata Lestari. 
Nilai-nilai perjuangan kemerdekaan disampaikan melalui lagu-lagu perjuangan. “Misalnya dalam lagu \\\'Sorak-sorak Bergembira\\\', kami tanamkan arti kemerdekaan,” kata Lestari. 
Usaha itu pun sukses. Sampai tahun 1960-an Lestari menyebut jumlah kader makin bertambah besar. Organisasi ini pun berhasil membangun tak kurang dari 1500 balai penitipan anak gratis untuk buruh dan petani. Masyarakat yang awalnya tak mengerti baca tulis akhirnya bisa membaca.

Namun perjuangan Gerwani ini seolah sia-sia setelah meletus peristiwa Gerakan 30 September 1965. Sejumlah anggota Gerwani dituduh berada di Lubang Buaya saat peristiwa pembunuhan tujuh jenderal TNI Angkatan Darat.

Padahal menurut I Gusti Agung Ayu Ratih, saat itu Lubang Buaya adalah salah satu tempat pelatihan sukarelawan dan sukarelawati. Mereka akan dikirim ke daerah perbatasan di Kalimantan dalam rangka Konfrontasi dengan Malaysia. Pelatihan ini berlangsung di sejumlah daerah di Indonesia.

Bahkan pesertanya tak hanya anggota Gerwani, ada juga organisasi perempuan lain.

“Ada juga ibu pejabat ikut pelatihan karena ini program resmi pemerintah,” kata Ayu Ratih. 
Namun pemerintah orde baru di bawah mantan Presiden Soeharto menganggap Gerwani terlibat dalam peristiwa berdarah 30 September 1965. Banyak anggota Gerwani diburu dan dijebloskan ke dalam penjara tanpa proses pengadilan, dengan status tahanan politik. Baru pada tahun 1979 mereka dibebaskan.

Gerwani Menentang Poligami tapi Diam Saat Sukarno Nikah Lagi


Senin 30 September 2013, 16:06 WIB

Gerwani Dan Tragedi 1965
Gerwani Menentang Poligami tapi Diam Saat Sukarno Nikah Lagi

Para bekas tahanan politik Gerwani yang menjadi korban pembersihan peristiwa G30S/PKI berkumpul dan bernostalgia pada Minggu, 14/10/2012. (Fotografer - Pool)

Jakarta - Isu kesetaraan gender dan poligami merupakan permasalahan yang diperjuangkan organisasi-organisasi perempuan di Indonesia, termasuk Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Muhadjir Darwin dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 7, Nomor 3, Maret 2004 (283-294) menyebutkan isu poligami muncul ketika Sukarno yang merupakan simbol bapak bangsa dan telah beristri Fatmawati menikahi Hartini.

Perbuatan Sukarno ketika itu mendapat penentangan dari organisasi perempuan yaitu Persatuan Wanita Indonesia (Perwani). Dalam Jurnal berjudul Gerakan Perempuan di Indonesia dari Masa ke Masa itu, menurut Muhadjir .

Gerwani yang merupakan sebuah organisasi massa dan berafiliasi kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak menunjukkan pembelaannya terhadap perempuan dalam masalah poligami atau dalam memperjuangkan lahirnya undang-undang perkawinan karena kedekatan politik Gerwani\/PKI dengan Sukarno.
“Mungkin Presiden RI pertama tersebut dianggap sebagai sekutu strategis bagi perjuangan komunis di Indonesia ketika itu untuk menghadapi politisi Islam yang anti- komunis. Perlu juga dicatat bahwa Sukarno pada awalnya sangat mendukung kaum perempuan,” kata Muhadjir dalam tulisannya.
Dari Laporan Pemantauan HAM Perempuan, Komisi Nasional Perempuan yang berjudul \\\"Kejahatan Kemanusiaan Berbasis Gender: Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965\\\" menyebutkan hubungan Gerwani retak dengan anggota federasi organisasi-organisasi perempuan di tingkat nasional, yaitu Kongres Wanita Indonesia (Kowani) dan juga dengan Gabungan Organisasi Wanita (GOW) di tingkat daerah lain yang berlatar belakang politik untuk mereformasi undang-undang perkawinan yang mensahkan poligami.
“Hubungan Gerwani dengan organisasi-organisasi perempuan lain, terutama di tingkat pusat, tampaknya memiliki masalah sejak Gerwani memutuskan untuk tidak mengecam pernikahan Sukarno dengan Hartini pada tahun 1954 walaupun sebelumnya Gerwani mengambil posisi yang tegas menentang poligami,” sebut Laporan yang dicetak pada 2007 dengan tim penulis Ita F. Nadia dan kawan-kawan tersebut.
Sementara itu, sejarawan I Gusti Agung Ayu Ratih mengatakan keengganan Gerwani untuk mengkritik Sukarno antara lain karena tekanan dari pihak organisas-organisasi kiri lainnya, terutama PKI, untuk tidak memperlemah pemerintahan Sukarno.

Pilihan organisasi-organisasi kiri pada saat itu adalah sepenuhnya mendukung Sukarno dalam membangun Front Nasional untuk menghadapi kekuatan Neo-Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim) dalam rangka Konfrontasi dengan Malaysia dan Pembebasan Irian Barat (sekarang Papua Barat).
“Pilihan Gerwani membuat organisasi-organisasi perempuan lainnya, terutama Persatuan Wanita RI (Perwari), kecewa dan jengkel terhadap aktivis-aktivis Gerwani karena mereka sebenarnya berharap kekuatan massa Gerwani akan dapat menekan Sukarno untuk tidak melanjutkan praktik poligaminya,” ujar Ayu Ratih yang sedang menyelesaikan S3 bidang Sejarah di University of British Columbia kepada detikcom, awal pekan lalu, melalui surat elektronik.
Sri Sulistyawati, seorang aktivis Gerwani mengatakan saat itu Gerwani juga mengkritik rencana Bung Karno nikah lagi. Namun, menurut dia keputusan Bung Karno menikahi Hartini adalah masalah pribadi. 
“Itu tanggung jawab pribadi,” kata Sri kepada detikcom, Sabtu (14\/9) di Kramat VII, Jakarta Pusat.
Apalagi, dia menegaskaan, saat itu Bung Karno berjuang keras untuk mengajak kaum perempuan terlibat aktif dalam perjuangan melawan neo-kolonialisme dan imperialisme.
(brn/brn)


Gerwani Dan Tragedi 1965 | Sejarah Gerwis dan Munculnya Gerwani


Senin 30 September 2013, 15:41 WIB

Para bekas tahanan politik Gerwani yang menjadi korban pembersihan peristiwa G30S/PKI berkumpul dan bernostalgia pada Minggu, 14/10/2012. (Fotografer - Pool)

Jakarta - Gerakan Wanita Istri Sedar (Gerwis) merupakan cikal bakal Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), salah satu organisasi perempuan yang sangat disegani. Gerwis didirikan pada 4 Juni 1950 oleh enam organisasi perempuan: Rupindo (Rukun Putri Indonesia, Semarang), Persatuan Wanita Sedar (Surabaya), Istri Sedar (Bandung), Gerwindo (Gerakan Wanita Indonesia, Kediri), Wanita Madura (Madura), dan Perjuangan Putri Republik Indonesia (Pasuruan).

Tokoh-tokoh yang mendirikan Gerwis antara lain adalah S.K. Trimurti, bekas Menteri Perburuhan dan pimpinan Barisan Buruh Wanita yang tergabung dalam Partai Buruh Indonesia, Salawati Daud, wali kota Makassar yang berhadapan dengan Kapten Westerling, Umi Sardjono, Tris Metty, dan Sri Panggihan, anggota PKI ternama sebelum Peristiwa Madiun 1948.
“Pejuang-pejuang Gerwis rata-rata terlibat dalam gerilya kemerdekaan, apakah menjadi anggota Lasykar Wanita (Laswi), mendirikan dapur umum, atau menjadi kurir. Ketua Gerwis pertama adalah Tris Metty, tapi segera digantikan oleh S.K.Trimurti,” kata sejawaran I Gusti Agung Ayu Ratih kepada detikcom awal pekan lalu melalui surat elektronik.
Ayu Ratih, yang sedang menyelesaikan S3 bidang Sejarah di University of British Columbia, menjelaskan karena para pimpinan Gerwis semuanya aktif dalam perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme, dengan sendirinya politik Gerwis sangat dipengaruhi oleh pengalaman mereka.

Sejak berdirinya, Gerwis antara lain aktif mendorong perubahan Undang-Undang Perkawinan yang dianggap tidak adil terhadap perempuan. Untuk itu Gerwis secara aktif memberi kursus-kursus penyadaran tentang hak-hak perempuan dalam perkawinan.

Kendati demikian, tak ada satu cerita tentang perubahan Gerwis menjadi Gerwani. Satu versi menyebutkan Gerwis dianggap terlalu elitis dan hanya berurusan dengan perempuan-perempuan yang sudah 'sedar', sudah memahami politik, sementara sebagian besar perempuan miskin di Indonesia yang baru merdeka masih buta politik dan pendidikannya rendah. Gerwani berusaha untuk menjangkau lebih banyak perempuan yang belum 'sedar' ini.

Sedangkan versi lain melihat para pimpinan Gerwis, kecuali Trimurti, sangat dipengaruhi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Di bawah pimpinan Trimurti, Gerwis kurang bisa dikendalikan oleh partai dan terlalu independen.

Ada pula yang mengatakan Gerwis didesak untuk segera menjadi partai massa, bukan partai kader yang kecil, pada 1954 karena PKI ingin memanfaatkan organisasi ini untuk menggalang suara bagi PKI pada Pemilu 1955. 
“Ideologi Gerwani, seperti juga organisasi-organisasi yang lahir dari rahim perang kemerdekaan, nasionalisme kerakyatan,” ujar Direktur Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) ini.
Ayu Ratih melanjutkan, bidang-bidang kegiatan Gerwani tak jauh berbeda dengan Gerwis seperti pendidikan, politik nasional, dan politik perempuan. “Setiap organisasi di masa itu biasanya terlibat dalam kegiatan kesenian karena dorongan pemerintah Sukarno untuk melakukannya di tingkat rakyat,” ujar Ayu Ratih. 
Laporan Pemantauan HAM Perempuan, Komisi Nasional Perempuan yang berjudul "Kejahatan Kemanusiaan Berbasis Gender: Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965" menyebutkan, pada Juli 1950, sekitar 500 pejuang yang tergabung dalam organisasi istri sedar dan enam organisasi perempuan lainnya membentuk Gerwis.

Pada kongres Gerwis yang pertama pada tahun berikutnya atau setahun kemudian di Semarang, diputuskan untuk mengubah nama organisasi menjadi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia).
“Tapi baru pada 1954 nama itu (Gerwani) baru dipakai secara resmi,” ujar Laporan yang dicetak pada 2007 dengan tim penulis Ita F Nadia dan kawan-kawan tersebut.
Dengan semangat revolusioner pada masa itu, Gerwani aktif memperjuangkan hak-hak perempuan di wilayah politik di antaranya mereformasi undang-undang perkawinan yang mensahkan poligami.