HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Selasa, 31 Desember 2013

Amir Syarifuddin dan gerakan anti-Jepang



Ilustrasi (dok:Istimewa)

GAGALNYA pemberontakan rakyat tahun 1926-1927 sangat merugikan gerakan komunis di Indonesia. Ribuan kaum komunis dibuang ke Digul, ratusan tokohnya ditangkap, dan beberapa di antaranya dihukum mati.

Sejak saat itu, terjadi kekosongan gerakan melawan kolonialisme di Tanah Air. Kekosongan itu langsung di isi kaum nasionalis dan sosialis. Di bawah mata-mata Belanda, gerakan perlawanan dilanjutkan. Namun dengan wajah yang lebih manis.

Di bawah kondisi itu, Amir Syarifuddin Harahap, tokoh komunis bawah tanah yang militan mendirikan Partai Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) yang berhaluan Marxist dan antifasis.

Sikap Amir itu, sejalan dengan kebijakan Komunis Internasional (Komintern) yang antifasis. Politik Gerindo yang keras terhadap Jepang, menimbulkan stigma partai ini lebih anti terhadap Jepang ketimbang kolonialisme Belanda.

Namun begitu, partai ini langsung mendapatkan perhatian kalangan sosialis dan tokoh komunis bawah tanah untuk bergabung. Dengan cepat, gerakan ini membesar dan tercium oleh mata-mata Belanda.

Sejak itu, Amir menjadi tokoh pemuda dan simbol perlawanan. Gerak geriknya mulai dimata-matai oleh Belanda. Hingga akhirnya dia ditangkap dan dituduh ingin melakukan pemberontakan, seperti kawan-kawannya tahun 1926-1927.

Ternyata, di balik tudingan itu tersimpan keinginan Belanda untuk bekerja sama. Kemudian mereka menawarkan dua opsi terhadap Amir, dibuang ke Digul atau bekerja sama dengan Belanda melawan Jepang. Pihak Belanda yang bertanggung jawab terhadap gerakan bawah tanah itu adalah Residen Jawa Timur Charles van der Plass.

Setelah melalui pertimbangan yang matang dan konsultasi dengan teman-teman komunisnya, Amir pun bersedia bekerja sama dengan Belanda. Keputusan itu diambil sesuai dengan kebijakan Komintern melawan kekuatan fasisme.

Sebagai imbalan, Belanda memberikan modal kepada Amir untuk membangun gerakan bawah tanah sebesar 25.000 gulden. Uang itu, dimanfaatkan Amir untuk membentuk Gerakan Rakyat Antifasis (Geraf) yang berhaluan Marxist antifasis.

Gerakan itu langsung mendapat sambutan kubu sosialis. Namun bersebrangan dengan kubu nasionalis yang lebih memilih untuk bekerja sama dengan Jepang dalam mengusir Belanda.

Senin, 30 Desember 2013

Amir Syarifuddin dalam bingkai sejarah

Jumat, 27 Desember 2013

2013, Korban Pelanggaran HAM Berat '65 Dominasi Laporan LPSK

Jumat, 27 Desember 2013 | 18:55 WIB


Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai (kiri), dan Wakil LPSK, Hasto Atmojo Suryo menyampaikan laporan setahun kinerja lembaga tersebut di Jakarta, Jumat (27/12). Berdasarkan data LPSK, dari 1.555 permohonan perlindungan, 1.151 permohonan berasal dari korban pelanggaran HAM berat. LPSK memperkirakan tahun 2014 jumlah permohonan meningkat terkait Pemilihan Umum. Kompas/Lucky Pransiska (UKI) 27-12-2013 [Kompas/Lucky Pransiska]


JAKARTA, KOMPAS.com
 - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyampaikan laporan catatan akhir tahun terkait kinerja lembaganya sepanjang tahun 2013. Dalam laporan itu, saksi dan korban kasus kejahatan pelanggaran Hak Asasi Manusia tahun 1965 menjadi yang paling banyak mengajukan permohonan perlindungan kepada lembaga itu. Dari total 1.555 laporan yang masuk ke LPSK, sebanyak 1.151 laporan di antaranya berasal dari saksi dan korban pelanggaran HAM berat.

"Meski sejumlah media mengatakan persoalan hukum yang paling mendesak untuk diselesaikan adalah kasus korupsi, namun data LPSK menunjukkan fakta menarik bahwa saksi dan korban pelanggaran HAM berat lah yang justru lebih mendominasi untuk meminta perlindungan ke LPSK," kata komisioner LPSK, Edwin Partogi saat jumpa pers di Jakarta, Jumat (27/12/2013). 

Saat penyampaian catatan akhir tahun, selain Edwin, tiga komisioner LPSK lainnya yaitu Abdul Haris Semendawai (Ketua LPSK), Hasto Atmojo, dan Askari Razak terlihat hadir. Sementara, tiga komisioner lainnya berhalangan hadir. 

Sementara posisi kedua disusul kasus perdagangan manusia (human trafficking) sebanyak 77 laporan, kasus korupsi 50 laporan, narkotika 5 laporan, KDRT 4 laporan, terorisme dua orang, dan 266 laporan lain berasal dari tindak pidana umum lainnya. 

Banyaknya laporan dari kasus pelanggaran HAM berat ini juga diikuti dengan sebaran wilayah pihak pelapor dan waktu saat pelapor. Dari sebaran wilayah, korban dan saksi paling banyak datang dari wilayah Jawa Tengah (719), Jawa Timur (198), dan Jawa Barat (144). 

Sementara dari segi waktu pelaporan, sepanjang tahun 2013, laporan paling banyak terjadi pada bulan September sebesar 625 laporan. "Memang ada kenaikan cukup mencolok (pada bulan September). Mungkin saja kebetulan barangkali," kata komisioner lainnya, Hasto.
Penulis: Rahmat Fiansyah
Editor: Hindra Liauw
http://nasional.kompas.com/read/2013/12/27/1855257/2013.Korban.Pelanggaran.HAM.Berat.65.Dominasi.Laporan.LPSK.

Minggu, 22 Desember 2013

Reza Rahadian dan Oma-nya yang Tak Bisa Pulang ke Indonesia Karena Peristiwa Tahun 1965

Minggu, 22 Desember 2013 08:14:06 | Wayan Diananto
























TABLOIDBINTANG.COM -
SEMARANG, Sabtu, 7 Desember 2013. Beberapa menit sebelum penerima Piala Citra Pemeran Utama Pria Terbaik diumumkan, Tio Pakusadewo bicara empat mata dengan Reza.
"Gue percaya lo yang menang. Gue punya keyakinan itu. Dan gue akan berjuang untuk itu. Gue support dan berdoa buat lo. Tapi kalau lo gak menang, gak papa, ya?" kata Tio, hati ke hati. Ucapan Tio membuat Reza bimbang.
Nyalinya seketika menciut. Menyembul satu pertanyaan, "Sebenarnya saya ini dapat (piala-red) atau tidak?" Ucapan Tio membuatnya kurang percaya diri. Jujur, gagal membawa pulang piala tentu membuat bintang sinetron Culunnya Pacarku sedikit sedih. Itu wajar. Manusiawi. Apalagi, untuk peran Habibie, Reza mempertaruhkan banyak hal. Habibie, peran paling berisiko yang pernah diambilnya.
Pesaing yang paling bikin Reza minder lahir batin, Lukman Sardi (Rectoverso) dan Ikranegara (Sang Kiai). Malam itu, Reza makin lemas saat pihak SCTV meminta semua nomine Pemeran Utama Pria Terbaik naik panggung untuk mengomentari peran mereka. Sesaat sebelum naik panggung, Reza, Abimana Aryasatya, Lukman, Ario Bayu, Joe Taslim, Tio Pakusadewo, dan Donny Damara berkumpul di belakang panggung. Mereka mengobrol. Tio lantas mendekatkan kupingnya ke dada para nomine.
"Wah, yang paling deg-degan siapa, ya?" sindir Tio sambil terkekeh. Sejurus kemudian, bintang film Lagu Untuk Seruni mengeluarkan amplop berisi nama pemenang lalu melambai-lambaikannya ke hadapan para nomine. Reza dan keempat kandidat semakin gugup. Sampai akhirnya, Donny dan Tio menyebut nama Reza Rahadian. "Gue bangga dan senang sekali lo menang malam ini!" bisik Donny ke telinga Reza sambil memeluknya. Yang terjadi kemudian, Reza berpidato di atas pentas.
Reza menggenggam Piala Citra ketiga. Lalu berpidato. Ada yang salah? Tentu tidak. Tapi bagi Bintang yang mengikuti perjalanan Reza dari awal, agak mencurigakan mengapa pidatonya sesingkat itu. Pidato diakhiri ucapan terima kasih kepada nenek, Fransisca Casparina Fanggidaej. Reza menyebut Fransisca perempuan revolusioner. Siapa sebenarnya Fransisca? Mengapa Bung Karno mengutusnya ke Kuba? Ada hubungan apa antara nenek Reza dengan Sang Proklamator?
Nenek Reza dan Bung Karno
Berita meninggalnya Fransisca diterima Reza pada 13 November silam. Fransisca meninggal di Utrecht, Belanda. Ia terpaksa menanggalkan status WNI dan menjadi warga negara Belanda sampai akhir hayat. "Yang penting, Oma saya sebut di pidato. Tidak bisa bertahan lama di atas panggung. Kalau saya nekat menyebut banyak nama, saya akan emosional dan menangis," ucap Reza.
Fransisca bekerja sebagai wartawan. Begitu Reza memperkenalkan nenek. Dia wartawan wanita Indonesia pertama yang mewawancarai Presiden Kuba yang berkuasa selama 32 tahun, Fidel Castro. "Oma berjasa besar untuk negara tetapi dianggap kiri. Ia jurnalis, Opa juga jurnalis. Dia orang Timor. Besar dan dekat dengan sosialis. Ia ditugaskan pemerintah Indonesia di era Bung Karno untuk menghadiri kongres di Kuba. Berangkatlah Oma ke Kuba," demikian Reza mengingat neneknya.
Nyaris bersamaan dengan itu, kata Reza, meletuslah peristiwa politik 1965. Terjadi pergantian pemimpin di kursi RI 1. Sejak itu, Fransisca tidak bisa pulang ke negerinya. Fransisca baru bisa pulang ke Tanah Air pada 2003, setelah Gus Dur naik takhta. Saat itulah untuk kali pertama, Reza bertatap muka dengan nenek. Sayang, pertemuan bintang Perahu Kertas dengan Oma tak berlangsung lama. Karena alasan kesehatan, Fransisca harus pulang ke Belanda.
Pertemuan dengan Fransisca berlangsung saat Reza masih berusia 16 tahun. Ia menggambarkan pertemuan berlangsung haru sekaligus absurd.
Pasalnya, Fransisca sudah tidak mengenali wajah anak. Apalagi cucunya. Ketika Reza diperkenalkan sebagai anak Pratiwi Widhiantini, Fransisca butuh waktu untuk mengingat, yang mana yang namanya Pratiwi. Pertemuan kedua Reza dengan Pratiwi terjadi di Utrecht, Belanda. Saat itu, Reza tengah syuting H&A.
Saat itu, terjadi percakapan mengharukan antara Reza dan Oma. "Saya bertanya, mengapa Oma memilih berpisah dengan anak dan cucu? Dia bilang: 'Seandainya Oma bisa pulang ke Indonesia, tentu Oma akan kembali. Apa pun akan Oma lakukan untuk pulang. Tapi kalau informasi tentang anak cucu tersebar, Oma khawatir keselamatan kalian terancam.' Mendengar jawab itu, saya hanya bisa menangis. Memeluk Oma erat-erat. Oma juga meneteskan air mata," papar Reza panjang.

Kata Oma, "Tetaplah Cintai Negara Ini"
Jawaban Fransisca membuat Reza sadar betapa besar pengorbanan nenek. Ia rela hidup dalam dilema puluhan tahun asalkan generasi berikutnya selamat dan bahagia. Betapa seorang ibu terpisah dari anak. Tidak diakui negara. Keinginan terakhir Fransisca, dibuatkan video dokumentasi hari-hari terakhir sebelum napasnya terlepas. Reza sendiri butuh waktu untuk mengenali rekam jejak Oma.
Salah satu yang diperoleh Reza beberapa hari setelah Oma mangkat, sepucuk surat dari institusi Rakyat Demokrasi Filipina yang isinya turut berbelasungkawa atas meninggalnya Fransisca. Ia bahkan menyelidiki dengan memasukkan nama lengkap sang nenek di situs Google. Salah satu informasi yang didapat, kiprah politik Fransisca pada masa pergerakan nasional.
Salah satu laman menulis, Fransisca lahir tahun 1925. Ia pernah bekerja sebagai reporter Radio Gelora Pemuda Indonesia. Pada 1964, Fransisca pernah menjadi penasihat Presiden Soekarno dalam kunjungan kenegaraan ke Aljazair. Pada 1965, ia berkunjung ke Cile sebagai anggota delegasi Indonesia di kongres Organisasi Wartawan Internasional. Saat itulah, meletus tragedi G 30S. Fransisca tidak bisa pulang ke Indonesia. Ia tinggal 20 tahun di China. Sejak 1985, Fransisca menetap di Belanda.
"Saya berpikir, pasti ada kebaikan dan sisi positif selama Oma hidup. Entah jika ia disebut dekat dengan negara-negara yang selama ini image-nya kiri. Entah jika ada fakta sejarah yang bias. Itu yang membuat Oma tidak bisa pulang ke Indonesia. Sekarang, abu jenazah Oma pulang ke Indonesia. Oma ingin abunya disandingkan dengan abu suaminya, opa saya," sambung Reza dengan mata berkaca.
Itu sebabnya saat karier Reza kian melambung, sebagian honor dipakai untuk memberangkatkan ibu dan tante-tantenya ke Eropa. Selain pelesir, Reza ingin ibunya menyambung tali silaturahim yang sempat merenggang dengan nenek. Meski hanya dua kali bertemu nenek, ada satu nasihat yang diingat Reza. Nasihat itu diucapkan pada 2006, saat bertemu di Utrecht, Belanda.
"Oma bilang begini: tetaplah mencintai negara ini. Bagaimana pun kondisi negara ini nantinya, jangan pernah berpikir pindah ke negara lain. Jangan pernah tinggalkan Indonesia. Berkaryalah melalui seni. Hindari penyakit meninggalkan bangsa di kala negara susah dan membutuhkan," demikian Reza menurukan nasihat nenek. Ada satu kalimat lagi yang ingat Reza dari neneknya, "Merdeka itu pulang."
Fransisca secara fisik (mungkin) belum merdeka lantaran gagal pulang ke Indonesia. Tapi abu jenazahnya akan mengecap kemerdekaan. Yang terpenting, anak dan cucunya mengecap kemerdekaan. Reza merasakan kemerdekaan dalam berkesenian. Merdeka untuk menjadi yang terbaik. “Oma melihat saya meraih Piala Citra di surga. Ia senang pasti senang dan bangga,” pungkasnya.
(wyn/adm)
http://www.tabloidbintang.com/articles/berita/polah/1520-Reza-Rahadian-dan-Oma-nya-yang-Tak-Bisa-Pulang-ke-Indonesia-Karena-Peristiwa-Tahun-1965

Selasa, 17 Desember 2013

Gus Mus: Bagi Gus Dur, Orang Komunis Bukan Kafir


Oleh : Tempo.Co
Selasa, 17 Desember 2013 17:13 WIB

Mustofa Bisri. TEMPO/Dimas Aryo

Yogyakarta - Suatu kali, saat Abdurrahman Wahid alias Gus Dur masih menjabat Presiden RI, cendekiawan muslim Muhammadiyah, Habib Chirzin, mengaku sempat bepapasan dengan rombongan kepresidenan saat berziarah ke makam nabi di Masjid Nabawi, Madinah. Setelah lewat tengah malam, ketika rombongan kepresidenan akan beranjak pergi, Chirzin diminta oleh Sutarman --ajudan Gus Dur yang kini menjabat Kapolri-- untuk menghampiri mobil Gus Dur.
"Dia buka pintu mobil dan pamit dulu ke saya kalau akan mendahului pulang," ujar mantan Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah itu ketika berbicara dalam haul keempat mendiang Gus Dur yang digelar oleh Jaringan Lintas Iman Yogyakarta di Monumen Serangan Oemoem 1 Maret, Senin malam, 16 Desember 2013.
Chirzin terkesan karena jabatan presiden tidak mengubah karakter Gus Dur. Dia menganggap Gus Dur tak banyak berubah dalam urusan kesopanan menghormati teman, meskipun mereka warga biasa. 
"Sejak dulu, ia terbiasa membuat orang lain merasa dihargai dan dihormati," kata Chirzin.
Kiai yang juga sastrawan asal Rembang, Jawa Tengah, Mustofa Bisri tidak datang dalam haul itu. Tapi, lewat rekaman video, Gus Mus menyatakan kesannya tentang sosok Gus Dur. 
"Ada kiai sepuh yang bilang, Gus Dur tetap dianggap keramat hingga selepas meninggal karena mampu melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan kiai mana pun," ujar dia.
Gus Mus mengatakan kiai sepuh itu mencontohkan keberanian Gus Dur melawan arus besar di Nahdlatul Ulama dengan menyampaikan permintaan maaf atas kasus pembantaian anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia pada 1965. Sikap, yang diikuti dengan usulan Gus Dur untuk pencabutan TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966, itu menurut Gus Mus menunjukkan karakter Gus Dur yang mampu meminta maaf sekaligus memaafkan dalam urusan politik yang sensitif. 
"Dia menganggap orang komunis sebagai sesama manusia, bukannya orang-orang kafir," ujar Gus Mus.
Istri almarhum Gus Dur, Shinta Nuriyah, menganggap ide aktivis lintas iman di Yogyakarta, yang menggelar haul untuk mengenang gagasan-gagasan Gus Dur mengenai penegakan hak asasi manusia dan kebangsaan, muncul karena konflik berbasis perbedaan suku dan agama tak kunjung usai. Menurut dia, banyak orang merasa kehilangan sosok kiai nyentrik itu karena saat ini jarang ada tokoh yang mau pasang badan untuk melawan perampasan hak warga negara, terutama yang minoritas. 
"Kalau penganut Syiah masih terlunta-lunta, jemaat GKI Yasmin dilarang beribadah, wajar banyak orang merindukan Gus Dur," kata dia.
Menurut dia, Gus Dur selayaknya menjadi sumber inspirasi bagi banyak pejuang isu-isu kemanusiaan di Indonesia. 
"Kalau terus dirawat, sumber itu tidak akan kering," ujar Shinta.
Rohaniwan Katolik Yoseph Suyatno Hadiatmojo menyatakan saat ini banyak aktivis pendukung toleransi yang mengakui bahwa tokoh pejuang keberagaman sekaliber Gus Dur belum tergantikan. Karena itu, menurut dia, pendukung toleransi harus terus mengkampanyekan ide besar Gus Dur mengenai republik pengayom semua kelompok. 
"Terakhir, saat bertemu penggiat toleransi di Yogyakarta sebelum meninggal, Gus Dur menilai perjuangan menjaga kemajemukan masih berat di Indonesia," ujar pegiat di Forum Persatuan Umat Beragama ini.
Ketua panitia haul Gus Dur di Yogyakarta, Ahmad Ghozi, memang mengakui sengaja menggelar acara ini di Yogyakarta untuk menunjukkan ke publik bahwa pendukung kemajemukan dan kebebasan beragama serta berekspresi masih banyak di Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut dia, forum seperti ini bisa menjadi ruang dialog publik untuk merefleksikan langkah di masa depan dalam menjaga toleransi dan perdamaian antarkelompok berbeda suku dan iman. 
"Kami berusaha gagasan ini juga bisa efektif menyentuh kalangan usia muda dan pelajar, makanya kami gelar di Malioboro dan diisi beragam acara hiburan," kata dia.
Budayawan Sobari mengingatkan gagasan Gus Dur tidak terbatas pada isu menjaga pluralitas. Menurut Sobari, sikap politik Gus Dur merupakan hasil upaya pembacaan sekaligus perombakan ulang pada konstruksi budaya di Indonesia agar semakin egaliter, demokratis, dan manusiawi. 
"Dia seperti tokoh wayang Rama Bargawa, brahmana yang berjuang menghancurkan keangkuhan dan kesewenang-wenangan golongan kesatria," ujar Sobari.

ADDI MAWAHIBUN IDHOM 
Sumber:Tempo.Co 

Kamis, 12 Desember 2013

Saat Islam dan Komunis Harmonis

Historia

Begini Cara Kami Hancurkan Soekarno

December 12, 2013 



Bagaimana Kami Menghancurkan Sukarno?

Kantor Luar Negeri Inggris menggunakan “trik kotor” dalam ‘membantu menggulingkan Presiden Indonesia Soekarno, pada tahun 1966. Selama 30 tahun, setengah juta orang telah tewas.



Pada musim gugur 1965, Norman Reddaway (George Frank Norman Reddaway) seorang yang terpelajar dengan karir yang bagus di Kantor Luar Negeri Inggris, mendapat brifing untuk suatu misi khusus.
Duta Besar Inggris untuk Indonesia saat itu, Sir Andrew Gilchrist, baru saja mengunjungi London untuk berdiskusi dengan Kepala Dinas Luar Negeri, Joe Garner.
Diskusi itu mengenai Operasi Rahasia (Covert Operations) untuk melemahkan Sukarno, Presiden Indonesia yang merepotkan dan berpikiran mandiri, ternyata tidak berjalan dengan baik. Lalu, Garner dibujuk untuk mengirim Reddaway, pakar propaganda FO, untuk Indonesia.

Tugasnya:“Untuk mengambil hati anti-Sukarno dalam “Operasi Propaganda” yang dijalankan oleh Kementerian Luar Negeri Inggris dan Dinas Rahasia M16. Garner memberikan Reddaway £100.000 poundsterling tunai “untuk melakukan apapun yang saya bisa lakukan untuk menyingkirkan Sukarno”, katanya.

Kemudian Reddaway bergabung dengan “sebuah tim yang terdiri dari kelompok campuran” dari Kementerian Luar Negeri Inggris, M16, Departemen Luar Negeri dan CIA di Timur Jauh (Asia Timur), semua berjuang untuk menggulingkan Sukarno dalam difus dan cara-cara licik.
Selama enam bulan ke depan, ia dan rekan-rekannya akan menjalankan misi menjauhkan dan meretakkan teman dan kerabat yang bersekutu di rezim Sukarno, merusak reputasinya dan membantu musuh-musuhnya di militer.

Pada bulan Maret 1966 basis kekuatan Sukarno mulai compang-camping dan ia dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan kepresidenan kepada Jenderal Suharto, sebagai panglima militer, yang sudah menjalankan kampanye dengan pembunuhan massal terhadap dugaan komunisme.
Menurut Reddaway, penggulingan Sukarno adalah salah satu “kudeta dan misi paling sukses” yang dilakukan oleh Kantor Luar Negeri Inggris yang telah mereka dirahasiakan sampai sekarang.
Intervensi Inggris di Indonesia, disamping operasi CIA yang “gratis”, menunjukkan seberapa jauh Kementerian Luar Negeri siap untuk melakukan operasi rahasianya dalam mencampuri urusan negara lain selama Perang Dingin.
Indonesia sangat penting baik secara ekonomi dan strategis. Pada tahun 1952, AS mencatat bahwa jika Indonesia jauh dari pengaruh Barat, maka negara tetangganya seperti Malaya mungkin akan mengikuti, dan mengakibatkan hilangnya “sumber utama dunia karet alam, timah dan produsen minyak serta komoditas lainnya yang sangat strategis dan penting”.
Ketika terjadi penjajahan oleh Jepang saat Perang Dunia Kedua di Indonesia, yang bagi orang Indonesia bahwa ini adalah sebuah periode lain yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial, telah direvitalisasi gerakan nasionalis yang setelah perang, menyatakan kemerdekaan dan berkuasanya Republik Indonesia.
Ahmad Sukarno menjadi presiden pertama Indonesia. Kekhawatiran Barat tentang rezim Sukarno tumbuh karena kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pada puncaknya beranggotakan lebih dari 10 juta, ini adalah partai komunis terbesar di luar negara komunis (non-komunis) di dunia.
Kekhawatiran dunia barat tidak dapat disembuhkan oleh kebijakan internal dan eksternal Sukarno, termasuk nasionalisasi aset Dunia Barat dan peran pemerintah untuk PKI.
Pada era awal Sukarno di tahun 60-an, masa ini telah menjadi duri besar bagi Inggris dan Amerika. Mereka percaya ada bahaya nyata bahwa Indonesia akan jatuh ke komunis. Untuk menyeimbangkan kekuatan ketentaraan yang tumbuh, Sukarno menyelaraskan dirinya lebih dekat dengan PKI.
Sukarno memberi hormat kepada pasukan RPKAD, diikuti persis dibelakangnya oleh Suharto.
Indikasi pertama dari ketertarikan Inggris dalam menghilangkan Sukarno muncul dalam sebuah memorandum CIA dari tahun 1962. Perdana Menteri Macmillan dan Presiden Kennedy setuju untuk “melikuidasi Presiden Sukarno, tergantung pada situasi dan kesempatan yang tersedia”.
Permusuhan terhadap Sukarno diintensifkan oleh keberatan Indonesia atas keberadaan “Federasi Malaysia”. Sukarno mengeluhkan proyek ini sebagai “plot neo-kolonial” yang menunjukkan bahwa Federasi adalah proyek Barat untuk mengekspansi tanah raja-raja Malon dengan cara mencomot wilayah pulau Kalimantan dan penerusan pengaruh Inggris di wilayah tersebut.
Tercatat dalam sejarah sebelum terjadi penjajahan di wilayah Asia Tenggara oleh Inggris, Belanda, Portugis dan negara imrelialis lainnya, Nusantara jauh lebih besar. Kini terkotak-kotak dan terpisah sesuai dengan “bagi-bagi kue” diantara negara imperialis tersebut.
Peta Indonesia Raya, termasuk Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Timor Leste
Niat Sukarno ingin menyatukan kembali raja-raja yang dulunya bersatu padum kembali berjaya dalam Republik Indonesia Raya (Greater Indonesia) atau Melayu Raya

Pada tahun 1963 keberatan Sukarno mengkristal dalam kebijakan tentang “Konfrontasi Indonesia-Malon” yaitu sebuah kebijaksanaan untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan pihak Malon yang dianggap pro-imperialis, dan segera ditambah dengan intervensi militer tingkat rendah oleh Indonesia.

Sebuah perang perbatasan yang berlarut-larut dimulai sepanjang  700 mil di perbatasan  antara Indonesia dan Malon di pulau Kalimantan dan pihak Malon sempat kewalahan, lalu pihak mereka akhirnya dibantu oleh Inggris dan juga dibantu Australia.

Pasukan Australia membantu Malay – Australian infantry, gunners, and members of the Special Air Service Regiment (SAS) saw action in Borneo during the Malaysian-Indonesian Confrontation – Soldiers of the 3rd Battalion, the Royal Australian Regiment (3 RAR) boarding a British Belvedere helicopter in Sarawak, North Borneo. The men are about to be taken to a setting-off point for a patrol. The mobility and tactical flexibility provided by helicopters such as the distinctive tandem-engined Belvedere was an important feature of the Commonwealth campaign in Borneo. [AWM P01706.003] (se-asia.commemoration.gov.au)

Sukarno tak rela, saudara-saudara mereka (suku Dayak dan suku lainnya di Kalimantan) yang tinggal di satu pulau, ternyata dibagi menjadi dua bagian, mereka sejatinya adalah satu, satu saudara, dan tak boleh dipisahkan.
Dan sebenarnya memang begitulah yang terbaik bagi mereka untuk menjadi satu, namun karena ada “tangan Inggris” di sana pada saat menjajah, maka pulau yang terdiri dari para raja-raja Kalimantan tersebut justru dibagi menjadi dua bagian.
Kalimantan dibagi-bagi, dan pembagian daerah jajahan ini dilakukan oleh negara imperialis setelah menguasai Kalimantan.
Dua bagian itu adalah utara dan selatan, yang bagian utara menjadi Kalimantan Utara (bekas jajahan Inggris dan menjadi negara caplokan boneka Malon, karena di dukung Inggris) dan wilayah Kalimantan Selatan (bekas jajahan Belanda dan tetap menjadi Indonesia).
Jadi secara otomatis mental para raja-raja Malon adalah memang bukan pejuang dan merupakan kaki-tangan Imperialis Inggris sejak dulu hingga kini.
Menurut sumber-sumber Kementerian Luar Negeri Inggris, keputusan untuk menyingkirkan Sukarno telah diambil oleh pemerintah Konservatif Macmillan dan dilakukan selama pemerintahan partai buruh oleh Wilson pada tahun 1964.
Kementerian Luar Negeri Inggris telah bekerja sama dengan rekan-rekan Amerika mereka pada sebuah “rencana untuk menggulingkan Sukarno” yang masih bergolak.
Maka dibuatlah sebuah operasi rahasia dan strategi “perang psikologis” yang menghasut, berbasis di Phoenix Park, di Singapura, markas Inggris di kawasan itu.
Ali Moertopo
Tim intelijen M16 Inggris melakukan hubungan dekat secara terus-menerus dengan elemen kunci dalam ketentaraan Indonesia melalui Kedutaan Besar Inggris.
Salah satunya adalah Ali Murtopo, kemudian kepala intelijen Jenderal Suharto, dan petugas M16 juga secara terus-menerus melakukan perjalanan bolak-balik antara Singapura dan Jakarta.

Ali Murtopo berperan besar dalam melakukan modernisasi intelejen Indonesia. Ia terlibat dalam operasi-operasi intelejen dengan nama Operasi Khusus (Opsus) yang terutama ditujukan untuk memberangus lawan-lawan politik pemerintahan Soeharto.
Pada tahun 1968, Ali menggagas peleburan partai-partai politik, yang saat itu sangat banyak jumlahnya, menjadi beberapa partai saja agar lebih mudah dikendalikan.
Hal ini kemudian terwujud pada tahun 1973 sewaktu semua partai melebur menjadi tiga partai: Golkar, PPP (penggabungan partai-partai berbasis Islam), dan PDI (penggabungan partai-partai berbasis nasionalis).
Pada tahun 1968, Ali menggagas peleburan partai-partai politik, yang saat itu sangat banyak jumlahnya, menjadi beberapa partai saja agar lebih mudah dikendalikan.
Hal ini kemudian terwujud pada tahun 1973 sewaktu semua partai melebur menjadi tiga partai: Golkar, PPP (penggabungan partai-partai berbasis Islam), dan PDI (penggabungan partai-partai berbasis nasionalis).
Pada tahun 1971, bersama Soedjono Hoemardhani, asisten pribadi Soeharto, ia merintis pendirian CSIS (Centre for Strategic and International Studies) yang merupakan lembaga penelitian kebijakan pemerintahan.

Pada tahun 1972, ia menerbitkan tulisan “Dasar-dasar Pemikiran tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun” yang selanjutnya diterima MPR sebagai strategi pembangunan jangka panjang (PJP).
Dengan adanya rencana ini, berarti pemerintahan baru Indonesia dibawah Suharto adalah sebuah rezim terencana, yang telah merencanakan kepemimpinan selama 25 tahun ke depan!
Informasi Departemen Riset Kantor Luar Negeri Inggris (The Foreign Office’s Information Research Department atau IRD) juga bekerja dari Phoenix Park, Singapura guna memperkuat kerja intelijen M16 dan ahli perang “psikologis militer”.
IRD didirikan oleh pemerintah Partai Buruh di Inggris pada tahun 1948 untuk melakukan “perang propaganda anti-komunis” melawan Soviet.
Tetapi dengan cepat justru IRD menjadi andalan dalam berbagai operasi gerakan anti-kemerdekaan dalam usaha penurunan kolonial dan imperialisme oleh Kerajaan Inggris (British Empire) oleh negara-negara yang sedang dijajah, termasuk di utara pulau Kalimantan yang masih dipertahankan oleh Inggris melalui Malaysia, hingga kini.

Pada tahun 60-an, IRD memiliki staf di London sekitar 400 orang dan staf informasi yang berada di seluruh dunia guna mempengaruhi liputan media yang menguntungkan pihak Inggris.
Menurut Roland Challis, koresponden BBC pada saat di Singapura, wartawan terbuka bagi manipulasi IRD, karena ironisnya kebijakan Sukarno sendiri:
“Dengan cara yang aneh dan tetap menjaga keberadaan media dari luar negeri di Indonesia, Sukarno justru membuat mereka manjadi korban dari media resmi luar negeri tersebut karena hampir satu-satunya informasi penyadapan dan mata-mata yang bisa didapatkan adalah dari Duta Besar Inggris di Jakarta. “
Kesempatan untuk mengisolasi Sukarno dan PKI datang pada bulan Oktober 1965 ketika dugaan percobaan kudeta oleh PKI adalah “dalih dari tentara” untuk menggulingkan Sukarno dan membasmi PKI.
Youth armed to the teeth ready to kill communists at Mount Merapi area, November 1965.
Siapa sebenarnya yang menghasut kudeta, dan untuk tujuan apa, tetap menjadi spekulasi. Namun, dalam beberapa hari kudeta itu telah dilakukan lalu terjadi kehancuran, dan pihak tentara dengan tegas telah mengendalikan situasi.
Kemudian Suharto menuduh Partai Komunis Indonesia atau PKI berada di balik kudeta, dan mulai menekan mereka.
Setelah kudeta yang dirancang oleh Inggris dengan memanfaatkan situasi telah berhasil, pada tanggal 5 Oktober 1966, Alec Adams, penasihat politik untuk Commander-in-Chief, Wilayah Timur Jauh, menyarankan Departemen Luar Negeri:

“Kita harus tak ragu-ragu untuk melakukan apa yang kami bisa lakukan secara diam-diam untuk menghitamkan PKI di mata tentara dan orang-orang Indonesia.”

Kementerian Luar Negeri Inggris setuju dan menyarankan “tema propaganda yang cocok” seperti kekejaman PKI dan intervensi Cina.
Anti PKI Literature. Propaganda kontemporer anti-PKI melalui literatur buku-buku agar menyalahkan partai itu untuk upaya kudeta Suharto (wikipedia).
Salah satu tujuan utama yang dikejar oleh IRD adalah membuat opini tentang ancaman yang ditimbulkan oleh PKI dan “komunis Cina”. Laporan surat kabar Inggris terus menekankan bahaya yang akan dilakukan PKI.
Merujuk pada pengalaman mereka di Malaya di tahun 50-an, Inggris menekankan sifat Cina dari ancaman komunis. Roland Challis mengatakan:
“Salah satu hal yang lebih sukses yang ingin dilakukan Barat ke para politisi non-komunis di Indonesia adalah untuk mentransfer seluruh ide komunisme ke minoritas Tionghoa di Indonesia. Ternyata hal itu malah menguntungkan Inggris karena menjadi sebuah “rasis etnis”. Ini adalah masalah mengerikan yang telah dilakukan Inggris untuk menghasut orang Indonesia agar bangkit dan membantai orang Cina.“

Tapi keterlibatan Sukarno dengan PKI pada bulan-bulan setelah kudeta berdarah justru yang akhirnya menjadi kartu truf untuk Inggris. Menurut Reddaway:
“Pemimpin komunis, Aidit, melarikan diri alias buron dan Sukarno menjadi politikus, pergi ke depan istana dan mengatakan bahwa pemimpin komunis Aidit harus diburu dan diadili. Dari pintu samping istana, Sukarno selalu berurusan dengan Aidit setiap hari oleh seorang kurir.“

Sukarno dan Aidit

Informasi ini diungkapkan oleh intelijen sinyal GCHQ Inggris (the signal intelligence of Britain’s, GCHO).
Orang-orang Indonesia tidak memiliki teknologi tentang “rahasia mata-mata stasiun radio” dengan bermuka dua dipantau dan didengar oleh GCHQ, Inggris memiliki basis “penyadapan utama” di Hong Kong untuk menyiarkan peristiwa di Indonesia.
Mendiskreditkan Sukarno adalah penting bagi Inggris. Sukarno tetap menjadi pemimpin yang dihormati dan populer terhadap siapa Suharto yang tidak bisa bergerak secara terbuka, sampai kondisi benar-bener memungkinkan untuk melakukan kudeta.
Rentetan konstan dengan cakupan internasional yang buruk dan posisi politik jungkir balik Sukarno, secara fatal telah merusak dirinya.
Soeharto dilantik menjadi pengendali negara setelah Sukarno mengeluarkan Supersemar.

Pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno dipaksa untuk menandatangani surat atas pengambil-alih kekuasaan kepada Jenderal Suharto yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tahun 1966.
Sekarang, hal ini dianggap terkait erat dengan usaha kudeta dan masalah PKI, Sukarno telah didiskreditkan ke titik dimana tentara merasa mampu bertindak. PKI telah dieliminasi sebagai kekuatan yang signifikan dan kediktatoran militer pro-Barat yang mapan.
Hal itu dilakukan tidak lama sebelum Suharto dengan diam-diam mengakhiri kebijakan yang akhirnya tidak aktif dalam Konfrontasi Indonesia dengan Malon yang mengakibatkan peningkatan sangat cepat dalam hubungan Anglo-Indonesia yang terus menghangat hingga hari ini. (©IndoCropCircles.com, source:  independent.co.uk)

Pustaka:
§  `Britain’s Secret Propaganda War 1948-77′, by Paul Lashmar and James Oliver, to be published by Sutton on 7 December (`Rahasia Propaganda Perang oleh Inggris 1948-1977 ‘, oleh Paul Lashmar dan James Oliver, diterbitkan oleh Sutton pada tanggal 7 Desember).

Sumber: IndoCropCircles