HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Selasa, 29 April 2014

Aidit Itu Fasih Baca Al-Qur’an

April 29, 2014

 “DN Aidit itu fasih membaca al-Quran. Ayahnya, pendiri Nurul Islam di Belitung,” kata pegiat sejarah, Yunanto Adi S.

Yunantyo Adi S (kaos putih) berbicara dalam diskusi Aidit dan Soal Agama di Kantor eLSA

[Semarang –elsaonline.com] Sosok tokoh Partai Komunis Indoneisa (PKI), Dipa Nusantara (DN) Aidit agaknya menarik untuk diulas. Banyak kalangan menilai Aidit adalah antek PKI yang tak beragama, berperilaku buruk dan berkelakuan tidak baik lainnya. Sebagian keburukan ditimpakan kepada ketua PKI ini. Apakah benar demikian? Mari kita ulas satu persatu.

Yunanto Adi S, seorang pegiat sejarah di Kota Semarang mengatakan Aidit adalah orang yang religius. Ia anak dari seorang tokoh agama dan intens belajar agama. Meski pada sisi lainnya, dia belajar karya-karya monumental paham marxisme, Das Capital.

Banyak saksi mengatakan, Aidit kecil belajar di Batavia ketika menginjak bangku sekolah lanjut. Ada juga yang bilang, Aidit sejak kecil sudah belajar Marxisme, bahkan semenjak di kampung halamannya, Bangka Belitung.
Menurut YAS, sapaan akrab Yunantyo, yang membaca berbagai literatur, Aidit menikah dengan Tanti, anak Kyai Dasuki di Solo. Dia menikah dengan anak kyai karena pernah khataman al-Qur’an.

DN Aidit itu fasih membaca al-Qur’an. Ia yang sering adzan di surau. Ayahnya, pendiri Nurul Islam di Belitung,” kata Yunanto Adi S, dalam diskusi di Kantor Lembaga Studi Sosial dan Agama Semarang, Senin (28/4) malam.
Diskusi yang semula digelar  di pelataran kantor itu mendadak digeser ke dalam kantor. Sebabnya, pada sekira pukul 10.00 WIB, ada ujian hujan. Tak mau diskusi terlantar, diskusi akhirnya dipindah di ruang tamu kantor eLSA.
Dikatakan YAS, setelah Aidit belajar agama di kampung halaman, di tempat Amir Syarifudin melalui payung Gerindo, Dia dibesarkan. Bahkan, saat kependudukan Jepang di bumi nusantara, peran Amir sangat hebat. Dia merasa kagum dan bergabung dengan tokoh pejuang ini.

“Kemudian, DN Aidit terlibat pada peristiwa Madiun. Karena pintar menyamar, ia selamat. Setelah itu, ada yang mengatakan ke Vietnam, Cina dll. Dua tahun setelah itu, Aidit mengkudeta tokoh tua di PKI seperti halnya Alimin, Tan Djing Lie bersama dengan Sudisman, Nyoto dan Lukman,” bebernya.

Setelah berhasil menguasai PKI dari golongan tua, Aidit yang sudah menginjak dewasa mulai membesarkan partai. Dia bilang PKI akan besar jika diletakkan dibawah Soekarno.

Menurut redaktur Suara Merdeka ini, Aidit belajar Marxisme ala Indonesia dari Soekarno. Padahal, sesuai anjuran dari penguasa Marxisme, Lenin, PKI tidak boleh besar. Lenin menyarankan agar bala tentara PKI yang diperkuat.
Di bawah kendalinya, PKI kemudian diubahnya dengan mengorganisir para petani. Hal ini berbeda, jika dulu hanya buruh yang diorganisir.

“Aidit tak mau meniru Muso dengan konsep desa mengepung kota. Jalan Muso mengajarkan Aidit bahwa biarkan ideologi ada, tapi lakukan secara frontal,” tambahnya.

Soal isu anti agama terhadap PKI muncul lewat konflik landreform. Sebelum isu itu muncul ke publik, Aidit besar berhasil menangkisnya. Namun, kondisi berubah ketika ada yang bilang melawan PKI sama saja dengan melawan seorang kafir.

“Padahal PKI itu juga juga banyak muslim. Di PKI itu, ada sejenis ICMI, Muslim Komunis. Hasan Raid ada disitu’’,” tutunya lagi.
Setelah bersinggungan dengan agama, PKI Aidit dikonfontir soal Pancasila. Menurut YAS, ketika ditanya apakah apakah PKI itu setuju Pancasila? Aidit, kata YAS, bilang, “orang yang menggunakan Pancasila untuk pecah Manipol, mereka melanggar Pancasila.” [elsa-ol/Nurdin-@NazarNurdin2]
 
http://elsaonline.com/?p=3010

Gus Dur dan Suara Korban



‘Kutundukkan kepalaku
Kepada semua kalian para korban
Sebab hanya kepadamu
Kepalaku tunduk
Kepada penguasa tak pernah aku membungkuk’
(Wiji Tukul)
‘Dikatakan bahwa seorang belum benar-benar mengenal suatu Negara sebelum ia pernah berada dalam penjara di negeri itu. Suatu Negara jangan dinilai dari cara memperlakukan warga negaranya yang paling tinggi, tetapi bagaimana Negara itu memperlakukan warganya yang paling rendah.’
(Nelson Mandela)

MENJADI korban tentu sesuatu yang demikian pahit. Hal ini, mungkin, semua orang tahu. Tetapi apakah semua orang (baik yang korban maupun yang bukan korban) mau bersuara atas jatuhnya korban? Di negeri ini, dimana demikian banyak korban, langsung maupun tidak langsung, korban politik ataupun kebijakan ekonomi yang sesat, atau yang lainnya, cukup sedikit orang yang bersuara untuk korban-korban itu. Salah satunya, dan mungkin yang paling nyaring dan lantang menyuarakan suara itu, adalah: Gus Dur!
Tulisan ini akan memberikan sedikit ilustrasi singkat tentang hubungan erat antara Gus Dur dan penyuaraan atas hak-hak korban pelanggaran HAM.


Konsistensi

Svetlana berarti cahaya. Kata ini diambil dari bahasa Rusia oleh Nyoto (salah seorang tokoh komunis) untuk dilekatkan sebagai nama anak sulungnya. Ayahnya mungkin tidak tahu kalau Nama yang berbau Soviet ini kelak kemudian menjadi beban bagi Svetlana ketika tragedi memilukan tahun 1965. 

‘Ia sempat dilarang oleh ibunya untuk memakai nama tersebut.’[1] Salah satu sebabnya, rezim orde baru ketika itu sedang gencar-gencarnya membantai segala macam yang dianggap berbau Uni Soviet. Karena nama Svetlana berbau Soviet, dan memang dari bahasa Rusia, maka itu berbahaya bagi diri pemakainya. Tapi Svetlana kukuh menggunakan nama itu dan baru pada 1987 ia bisa mendapatkan kerja dengan nama tersebut. Bahkan persoalan namapun menjadi beban hidup.

Persoalan nama ini sebenarnya hanyalah hal kecil lain dari betapa berderet ketidakadilan yang dirasakan. Keluarganya diburu, dipenjarakan, disiksa, dan dibuang ke Buru, hal ini berlaku bahkan bagi yang tidak pernah tahu apa-apa tentang aktivitas partai dan segala macam polemiknya. Hingga bahkan persoalan nama, garis keturunan seolah menjadi dosa turunan bagi penyandangnya.

Terkait dengan tragedi memilukan tahun ‘65 dimana rezim militer Soeharto membantai ratusan ribu orang (bahkan sebagian kalangan mengatakan jutaan), Pramoedya Ananta Toer mengungkapkan kekejaman rezim ini nomor dua setelah Hitler. Pram, yang juga menjadi korban kekuasaan militeristik Soeharto, sempat mengenyam penjara selama hampir sepertiga dari hidupnya. 
Rezim militer ini merampas buku-bukunya dan membakarnya, melarangnya menulis, membenamkannya dalam siksaan kerja paksa di pembuangannya di Pulau Buru, merenggut pendengarannya, dll.  Tokoh sastra Indonesia yang berkali-kali menjadi nominator peraih nobel sastra ini adalah korban. Dan mungkin, pengalaman sebagai korban ini membuatnya keras bagai karang. 

Sikap ini terungkap hingga pada suatu ketika Gus Dur, yang waktu itu sebagai presiden republik Indonesia, meminta maaf atas kesalahan-kesalahan organisasi Islam dan Negara kepadanya. Sebagai presiden, tentu bukan hal yang biasa dalam tradisi kenegaraan di Indonesia untuk meminta maaf, apalagi kepada warga negaranya sendiri. Gus Dur melakukannya. Sayang, Pramoedya yang dimintai maaf menjawabnya agak memperlihatkan ‘karang dalam tubuhnya.’ ‘Gampang amat!’[2] kata Pram dalam sebuah wawancara di majalah Forum Keadilan.

Karena peduli pada korban, yang tentu ia pahami dari sejumlah bacaannya, Gus Dur kemudian melakukan banyak langkah untuk membelanya. Ketika menjadi presiden, ia mengusulkan untuk mencabut TAP MPRS tentang pembubaran PKI dan pelarangan ajaran marxisme, leninisme dan komunisme. 

Apa yang pernah dilakukan oleh Pram, dilakukannya kembali saat memutuskan untuk membolehkan kembali etnis Tionghoa untuk menjalankan aktivitas kepercayaannya secara bebas. Kalau Pram menulis Hoakiau di Indonesia untuk membela etnis Tionghoa dari represi militer di bawah rezim Soekarno, maka Gus Dur meresmikan Konghucu sebagai salah satu kepercayaan yang sah di Indonesia sebagai sikapnya membela korban. Saat fundamentalisme agama muncul dengan energi yang baru, Gus Dur memilih tidak mendukungnya. Ia memilih membela minoritas yang kerapkali menjadi korban fundamentalisme agama (apalagi bila agama itu mayoritas).  Karenanya, dia kerap dianggap sebagai orang yang murtad dari agamanya sendiri  sebab sering membela agama lain dibanding agamanya sendiri.

Tidak berhenti di situ. Kebijakannya yang membela kaum tertindas (korban), diperlihatkan juga, misalnya, pada persoalan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam. Sikap yang membela kaum miskin ini ditunjukkan dalam sebuah pidatonya pada konferensi nasional sumberdaya Alam pada 23 Mei 2000 di Jakarta. Di depan forum itu, Gus Dur mengutarakan yang intisarinya sebagai berikut: pertama,  peran Negara (pemerintah) dalam pengelolaan alam akan dikurangi seminimal mungkin.  Bahkan pada saatnya, pemerintah hanya sebagai pengawas bagi pengelolaan sumber-sumber agrarian yang dijalankan oleh masyarakat. Kedua, menyoroti soal fenomena maraknya pengelolaan tanah oleh masyarakat, Gus Dur menyatakan bahwa tidak tepat jika rakyat dituduh menjarah, karena, sebenarnya perkebunan yang nyolong tanah rakyat. Ngambil tanah kok nggak bilang-bilang. Ketiga, sebaiknya 40 persen lahan dari perkebunan dibagikan kepada petani penggarap yang membutuhkan. Bahkan kalau mau, saham perkebunan itu juga bisa dimiliki oleh masyarakat.[3]

Gus Dur nampaknya tahu apa yang dirasakan Svetlana, Pram, komunitas Tionghoa, dll di Indonesia. Dan yang pasti dia bersimpati pada para korban tersebut dan ingin bersuara untuknya. Lalu, apa yang bisa ditangkap dari ‘kisah korban’ dan bagimana sikap Gus Dur terhadapnya yang diungkapkan di atas? Bagi penulis sendiri, kesimpulan yang mungkin terburu-buru, Gus Dur telah menampilkan dirinya sebagai ‘megaphone,’ pengeras suara bagi demikian banyak korban yang suaranya tidak terepresentasi. Demikian besar korban yang suaranya tertahan oleh struktur yang selalu mengancam untuk terus mengorbankan banyak hal. Gus Dur dengan kata lain telah menjadi suara korban itu sendiri.

mpr

 

Pemenuh Hak

Pada tahap yang lebih jauh,  Gus Dur menjadi pemenuh hak-hak korban yang dijamin oleh kovenan HAM Internasional dan telah diratifikasi ke dalam sistem perundang-undangan Indonesia. Bahwa setiap korban berhak mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.[4] Bagaimana membuktikan ketiga instrumen HAM ini dijalankan oleh pemerintahan Gus Dur? Pertama, bagi korban ’65 ia telah mencabut TAP MPRS XXV/1966 yang tentang pembubaran PKI dan pelarangan ajaran marxisme, leninisme dan komunisme. Karena itu, orang-orang mantan PKI dan seluruh keluarganya bisa lebih leluasa. Langkah ini bisa dianggap mereparasi dan merehabilitasi korban. Dengan mengeluarkan kebijakan tersebut, berarti konsekwensi hukum dalam masyarakat terhadap subyek hukum yang dimaksud sudah tidak berlaku lagi. Karenanya, hukum yang dibuat rezim militeristik Soeharto, yang memang diciptakan untuk mengekang hak-hak eks PKI ini telah dicabut. Yang kurang di sini adalah bahwa keputusan tersebut belum berhasil melahirkan kebijakan kompensasi, ganti rugi bagi korban.

Setelah Habibie lengser, Gus Dur menjadi presiden. Gus Dur dikenal sebagai figur penganjur demokrasi yang melakukan berbagai hal yang cukup signifikan bagi penghormatan HAM, seperti pengakuan terhadap eksistensi minoritas dan toleransi antar umat beragaman.[5] Anggapan ini tentunya tidaklah berlebihan. Sebab apa yang disebut diatas mengenai pembelaannya terhadap korban telah membuktikan Gus Dur sebagai sosok yang menyuarakan suara korban dan sekaligus memperjuangkannya dengan caranya sendiri.

Sebagai salah satu presiden dalam sejarah republik Indonesia ini, ia terkenal sebagai juru bicara bagi korban. Presiden Habibie, sebelum Gus Dur, memang melakukan pembebasan terhadap semua tahanan politik Orde Baru, tetapi itu ditengarai sebagai tekanan dunia internasional.[6] Berarti keputusan tersebut adalah keputusan terpaksa, bukan keputusan bebas. Apa bedanya dengan Gus Dur? Bagi penulis, yang terlihat, nampaknya Gus Dur tanpa kepentingan pamrih sedikitpun dengan keyakinannya untuk membela korban. Dan itu dibuktikannya, bahkan, hingga akhir hayatnya.

Akhir

Gus Dur terlahir dari keluarga santri yang menghormati pengetahuan dan kemanusiaan. Ayahnya seorang pendidik dari lingkungan Nahdlatul Ulama, yang menjaga kemanusiaan dengan mengajarkan anaknya mencintai pengetahuan. Akhirnya, Gus Dur, sang anak, gemar membaca buku-buku, menonton film dan menggali pengetahuan lainnya. Dan pada saatnya, kemudian hari setelah ia menjadi presiden RI yang keempat, ia membuktikan apa yang dititipkan ayahnya tentang pengetahuan telah ia amalkan dan menjadi sikapnya untuk menjaga kemanusiaan. Membela kemanusiaan, menyuarakan mereka yang dikorbankan!

Maka tak heran, mengantar kepergiannya ke negeri seberang, orang-orang dari segala macam suku, ras dan agama mengiringkan doa untuknya. Kepergian ‘orang besar’ ini telah menyisakan banyak hal pada kita, generasi berikutnya, sebuah sikap untuk terus bersuara dan membela para korban. Inilah salah satu cara terbaik untuk mengenang Gus Dur.

Penulis adalah Pengajar Sosiologi di fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin Makassar.

Daftar Bacaan
Anonim, (2007) Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (kajian multi perspektif),  Yogyakarta; PUSHAM UII
Goenawan Mohamad (2005) Setelah Revolusi Tak Ada Lagi, Jakarta; Pustaka Alvabet
J.O.S Hafid  (2001) Perlawanan Petani Kasus Tanah Jenggawah, Bogor; Pustaka Latin.
Eko Prasetyo, Dkk (editor) Usaha Untuk Tetap Mengenang Kisah-Kisah Anak-Anak Korban Peristiwa 65, Jakarta dan Yoyakarta: Yappika, Jendela Budaya dan Hidup Baru.

————
[1] Eko Prasetyo, Dkk (editor) Usaha Untuk Tetap Mengenang Kisah-Kisah Anak-Anak Korban Peristiwa 65 (Jakarta dan Yoyakarta: Yappika, Jendela Budaya dan Hidup Baru) hal. 48

[2] Goenawan Mohamad Setelah Revolusi tak ada Lagi (Jakarta;Pustaka Alvabet;2005) hal. 18
[3] Noer Fauzi dalam kata pengantar buku J.O.S Hafid Perlawanan Petani Kasus Tanah Jenggawah (Bogor; Pustaka latin; 2001) hal. X-Xi
[4] Artidjo Alkostar, SH, L.LM (pengantar) mengurai kompleksitas Hak Azasi Manusia (kajian Multi Perspektif) (Yogyakarta;Pusham UII; 2007) hal. 388
[5]Artidjo Alkostar, SH, L.LM (pengantar) mengurai kompleksitas Hak Azasi Manusia (kajian Multi Perspektif) (Yogyakarta;Pusham UII; 2007) hal. 391
[6] Ibid. lihat juga Politik Pembebasan Tapol (YLBHI, Jakarta;1998

Jumat, 25 April 2014

Serah terima Panglima Divisi Diponegoro dari Kolonel Soeharto kepada Kolonel Pranoto Reksosamodra di Semarang, Jawa tengah, 9 Maret 1959. 
Historia 

Kamis, 24 April 2014

Penjara Salemba

24 April 2014 | Hersri Setiawan 


Penjara Salemba, 1966, foto: Co Rentmeester, LIFE.

RTC Salemba Jakarta

Rumah Penjara (RP) Salemba atau Lembaga Pemasyarakatan (LP) Salemba ialah sebutan awam untuk rumah penjara yang terletak di Jalan Salemba Tengah Jakarta Pusat. Awam lalu biasa menamakan Rumah Penjara atau Lembaga Pemasyarakatan yang terletak di Jalan Salemba ini dengan sebutannya yang lebih singkat, yaitu “Penjara Salemba”.
Pada pagi buta tanggal 1 Oktober 1965 terjadilah peristiwa berdarah di ibukota, yang dipicu oleh gerakan yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September”. Enam orang jenderal dan satu orang perwira pertama Angkatan Darat tewas pada peristiwa itu. Pada tanggal 3 Oktober jenazah mereka ditemukan dan diangkat dari sebuah sumur mati di Lubang Buaya, sebuah desa tidak jauh dari lapangan udara AURI, Halim Perdanakusumah, dan bertepatan dengan Hari Angkatan Perang tanggal 5 Oktober 1965 jenazah-jenazah itu dimakamkan di Taman Pahlawan “Kalibata” Jakarta Selatan. Satu-dua hari sesudah itu Jakarta dibersihkan dari “oknum-oknum” G30S, komunis, dan yang dikomuniskan.
Penjara Salemba tiba-tiba menjadi penuh-sesak dengan tahanan politik atau tapol. Barangkali pada saat itu jugalah perbendaharaan kata bahasa Indonesia mendapat satu entri tambahan: “tahanan politik” atau “tapol”. Sudah banyak peristiwa-peristiwa politik sebelumnya, yang mengakibatkan penangkapan dan penahanan terhadap “orang-orang politik” tertentu. Namun mereka itu tidak mendapat sebutan “tahanan politik” atau “tapol”, melainkan disebut dengan menunjuk pada kasus yang melibatkan “orang politik” itu. Misalnya: “Tahanan Digul”, “Tahanan 3 Juli”, “Tahanan DI/TII”, ”Tahanan Madiun” dan sebagainya.
“Penjara Salemba” lalu berganti peranan. Tidak lagi menjadi tempat pengucilan atau pemenjaraan “pesakitan”, “penjahat”, atau kriminal, tapi dipakai sebagai tempat khusus untuk menahan para “penjahat politik”. Ia lalu menjadi “Rumah Tahanan Chusus” untuk para “penjahat politik”, yaitu orang-orang yang dianggap terlibat atau dicurigai terlibat dalam “Peristiwa G30S/PKI”. Sejak itu ia pun mendapat nama baru: “RTC Salemba”. Penghuninya bukan kriminal tapi tapol. Adapun penghuni lama “Salemba”, yaitu para kriminal yang sekitar 400 orang itu, konon dipindah ke penjara Glodok di Jakarta Utara.
Penjara Salemba, 1966, foto: Co Rentmeester, LIFE.
Sejak dipakai sebagai tempat penahanan tapol, saking banyaknya “oknum yang terlibat” dan “yang berindikasi”[1], RTC Salemba lalu menjadi benar-benar penuh-sesak. Ada sekitar 3000-4000 tapol ditahan di penjara ini. Itu berarti sepuluh kali lipat, atau bahkan mungkin lebih, dari daya-tampung penjara yang paling besar di Jakarta ini. Sel-sel di setiap blok yang semula diisi tahanan kriminal 3 atau maksimum 4 orang, kemudian diisi dengan 7 orang dan bahkan terkadang sampai 9-11orang tapol. Blok “G” dan “I” yang tidak terdiri dari sel-sel melainkan berupa satu ruangan besar, karena dahulu berfungsi sebagai blok tempat tahanan dan narapidana harus bekerja merajin dan berolahraga, kemudian diubah menjadi “kamar besar” dan masing-masing diisi dengan sekitar 200 orang tapol atau bahkan lebih. Di “kamar besar”[2] ini masing-masing tapol mendapat bagian jatah kapling[3] seluas lk. 1x 2 meter, berderet-deret sepanjang tembok blok, dan ruang di tengah pun masih dibagi-bagi lagi dalam tiga jalur kapling-kapling.
Kecuali tapol yang berjumlah ribuan itu, di RTC Salemba masih disisakan belasan orang tahanan-kriminil-militer (takrim) di blok khusus, yaitu Blok “E”. Desas-desus mengatakan, takrim yang disisakan ini adalah takrim-takrim gembong, yang sengaja dipakai penguasa kamp untuk membantu mengawasi dan mengintimidasi tapol. Blok “E” dipimpin oleh dua takrim eks-perwira pertama AD, Johny Ayal dan Syahbandar, di mana ditahan tapol sipil berstatus isolasi berat, seperti halnya blok “N” yang merupakan tempat isolasi berat untuk “tamil” atau tapol militer.
Bangunan RTC Salemba berbentuk tapal kuda, dengan di tengah-tengah berupa lapangan yang berfungsi banyak, terutama dan pertama-tama digunakan sebagai tempat apel para tawanan dan tempat tapol muslim melakukan salat jumat. Kantor administrasi, ruang pemeriksaan, dapur dan gudang, terletak berderet di depan pada ruangan di antara dua ujung lingkaran tapal kuda. Semuanya terletak pada lingkar-kedua bangunan tapal-kuda. Juga termasuk dalam lingkar ini blok “A” dan blok “B” yang dihuni tapol pekerja RTC. Di antara kewajiban mereka itu, misalnya, membuka dan menutup pintu blok dan sel, menyiapkan makan dan minum tapol, membagi air minum dan jatah makan ke blok-blok, merawat kebun bayam di antara dua tembok tinggi di sekeliling bangunan RTC, mengantar tas besukan dari keluarga kepada tapol yang bersangkutan, meneruskan perintah penguasa ke kepala-kepala blok atau tapol, dan tugas-tugas lain-lain lagi. Pada lingkar ketiga ialah blok-blok RTC, yang terdiri dari sekian banyak sel-sel atau “kamar kecil”, yang jumlahnya tidak sama antara blok satu dengan lainnya. Selain blok-blok itu ada lagi blok “RS”, yaitu “blok” khusus rumahsakit penjara.
Sesudah dipindah dari tahanan operasional di Paskoarma II Cilandak ke RTC Salemba pada 1970, satu tahun kemudian aku akhirnya dipindah ke Pulau Buru, sebagai terminal terakhir bagi tapol G30S. Selama hampir dua tahun di “Salemba” aku berpindah-pindah dari blok satu ke blok lain, dan yang terakhir – yaitu sampai berangkat ke Buru bulan Agustus 1971 – aku menjadi penghuni blok “I”. Sebelum itu aku pernah menjadi penghuni blok “G” dan blok “F”, serta blok-blok isolasi “D” dan “E”.
“Slamat datang, pak Her!” Suara dari sel sebelah selku di blok “D” menyambut kedatanganku.
Aku kenal benar suara parau itu. Ia tentu Pak Slamet Parto, penderita parah penyakit asma, kawanku setahanan di Paskoarma II Cilandak. Ia keponakan Jenderal Hartono, panglima Kko-AL, yang pada ujung tahun 1960-an terkenal dengan ucapan kesetiaannya pada Bung Karno: “Merah kata Bung Karno, merah tindakan KKo; putih kata Bung Karno, putih tindakan KKo!”.
“Kang! Sampeyan gembong Tebet Timur, kan?” Suara dari sel sebelah Slamet Parto.
“Itu mas Naryo, ya?” Jawabku.
Ia tertawa. Yang kusapa “Mas Naryo” ini anggota PGT (Pasukan Gerak Tjepat) AURI, berpangkat sersan mayor, tetanggaku satu RT di Kelurahan Tebet Timur.
“Bung!” Suara menyapa dari sel lain lagi. “Aku Saleh Semarang.”
“Bung Saleh, Pekunden!?” Tanyaku. “Kenapa Bung di sini?”
“Aku sudah lama di Jakarta. Tidak di Lekra lagi. Aku di DPP SBKB.[4] Bung kok pinter sembunyi, sih?”
Aku diam. Tidak mengerti arah pertanyaannya itu. Sekilas ingatanku kembali ke masa-masa sekian tahun lalu di Semarang.
“Bung sudah lama lho dicari-cari Marjuki …” Suara Saleh lagi. Yang dimaksud Marjuki ialah Lettu CPM Marjuki, Komandan Kamp Salemba.
“Istirahat dulu, pak Her!” Suara Slamet Parto lagi yang terdengar. “Di sini lain dari Cilandak lho pak. Semuanya lain! Jangan kaget, ya pak!”
Semuanya lain! Ya, Slamet Parto benar. Tadi ketika aku dibawa masuk ke lingkar paling dalam bangunan RTC, yang terdengar pertama ialah suara-suara banyak orang membaca Al Kuran dari seluruh penjuru. Suasana RTC Salemba pada saat-saat menjelang waktu salat, barangkali mirip seperti suasana di pondok pesantren. Suara-suara orang membaca ayat-ayat Kuran, sendiri-sendiri atau bersama-sama, terdengar dari pagi sampai lepas waktu lohor. Kemudian nanti terdengar lagi pada waktu sekitar salat asar, dan terlebih-lebih pada saat antara salat magrib dan isyak.
Juga di RTC Salemba ukuran sel lebih sempit dibanding dengan di Paskoarma II. Lantai dan dinding sel tampak kotor dan tidak terurus. Jeruji-jeruji pintu besi dan jendela sudah dimakan karat. Bau anyir dan pengap tercium tajam. Apakah memang seperti ini merupakan pemandangan dan keadaan yang lumrah di semua rumah penjara?
Aku hamparkan tikar yang kubawa dari Cilandak, dan mencoba beristirahat seperti anjuran Slamet Parto. Selagi aku masih berbaring dan hanyut dalam pengembaraan batin, suara petugas korve kudengar.
“Makan, mas!” Katanya.
Piring aluminium yang tidak keruan lagi bentuknya kulihat disorongkan di bawah pintu. Kuah sayur berwarna kehijauan merendam sedikit nasi di tengah piring.
“Rantang atau cangkirnya, mas!?” Pintanya sambil mengulurkan tangannya dari antara jeruji pintu.
Kuberikan satu rantang dan satu cangkir.
Penjara Salemba, 1966, foto: Co Rentmeester, LIFE. 
Ia memberikannya kembali kepadaku, sesudah mengisi kedua-duanya dengan air minum. Air matang tentu saja di mana-mana sama. Sama warnanya, dan sama juga baunya. Maka tanpa kulihat dan kucium rantang dan cangkir berisi air minum itu kutaruh di lantai begitu saja. Barangkali, pikirku, inilah jatah air-minum untuk sepanjang hari dan malam nanti.
Penjara Salemba, 1966, foto: Co Rentmeester, LIFE.
Aku terpikir untuk makan. Tadi pagi, ketika aku dipindah dari Paskoarma, dan singgah di markas CPM di Jalan Guntur Manggarai, jatah makan pagi kami belum dibagikan. Tapi, seketika memegang bibir piring aluminium itu, aku tersentak jijik. Licin! Dan ketika sepiring nasi berkuah dengan satu-dua lembar daun bayam itu kuangkat, kudekatkan ke hidung, tercium bau anyir yang luar biasa. Kupikir piring itu tidak pernah selamanya dicuci dengan sabun, melainkan sekedar dilempar-lemparkan masuk ke dalam drum pencucian, lalu diangkat satu-satu atau sebanyak sebisanya tangan mengangkat, dan ditumpuk di dapur. Selain licin dan anyir, piring itu pun sudah tidak punya bentuk lagi. Sobek pada bibirnya di sana-sini, dan juga penyok-penyok tidak keruan.
Piring berikut nasi-sayur jatahku kusorongkan kembali, keluar dari bawah pintu sel. Utuh, tanpa kusentuh.
“Makan dong, pak!” Suara Slamet Parto. Barangkali ia mendengar suara piring yang kusorongkan di lantai itu.
“Jangan pakai selera, pak. Pakai kepala!” Ia menasihati. “Tutup hidung setiap menyuap, pak. Saya dulu juga begitu …”
“Ya, saya akan coba.” Jawabku membohong.
“Ya, makan! Paksa saja, pak! Kalau sakit tambah susah kita …”
Nasihat Slamet Parto tentu saja sangat benar. Tapi aku juga benar-benar tidak atau belum bisa memenuhi nasihatnya itu. Baru ketika jari menyentuh piring yang terasa sangat licin itu, belum lagi kuangkat hendak kucium, perasaan jijik dan mual menggelegak di perut. Aku harus menahan muntah.
Keadaan demikian terus-menerus kualami selama tiga hari. Artinya selama tiga hari itu juga perutku tidak pernah kemasukan apa pun selain air. Akibatnya, persis seperti dikatakan Slamet Parto, aku jatuh sakit. Demam tinggi. Dan aku menjadi semakin tidak mempunyai nafsu makan. Tapi aku tidak ingin mati kelaparan. Ketika masih di luar, pada tahun-tahun 1967-68, kudengar hampir setiap hari rata-rata 7-8 orang kawan mati di RTC Salemba. Kebanyakan karena busunglapar.
Nasihat Slamet Parto harus kupaksakan sendiri. Aku harus makan dengan kepala, dan tidak dengan lidah dan hidung. Setiap tangan kananku mengantar satu suap ke mulut, jari-jari tangan kiriku memencet keras-keras cuping lubang-hidungku. Nasi dan kuah sesendok-bebek aluminium itu pun kumasukkan dalam-dalam ke pangkal lidah. Tidak di ujung atau tengah lidah, tempat ujung-ujung saraf perasa berakhir.
“Masih sakit, mas?” Tanya Kepala Blok yang tiba-tiba muncul di balik pintu sel.
“Akh, tinggal lemas saja.” Jawabku. “Tapi sudah tidak demam kok.”
Aku tidak tahu apa-dan-siapa Kepala Blok. Ia seorang yang bersosok jangkung, berkacamata tebal, dan berkulit gelap.
“Tidak ada sarung atau selimut?”
“Tidak.”
Ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Seperti meyakinkan diri sendiri, bahwa tidak ada seseorang yang melihatnya. Lalu cepat-cepat ia mengulurkan genggaman tangannya dari sela jeruji pintu. Dua butir gulamerah. Sesudah memberi isyarat tutup-mulut dengan jari telunjuk di bibirnya ia pergi. Tanpa kata-kata.
Di RTC Salemba bicara antara sesama tahanan, apalagi bergurau sehingga menimbulkan suara tertawa, termasuk konsinyes atau larangan utama dan pertama di antara sekian banyak deretan konsinyes. Maka ketika pagi-pagi pada pukul enam pintu sel dibuka, tapol segera menghambur ke kamar-kecil bukan saja untuk membuang hajat, tetapi juga untuk bermacam-macam alasan lainnya lagi. Misalnya, meledakkan tawa atau menjerit tanpa ada yang ditertawakan atau dijeritkan, tukar-menukar “info” dengan suara saling berbisik, walaupun “info” itu “hanya” tentang besukan keluarga yang sudah dua minggu mangkir!
Pada saat pagihari di kamar-kecil itulah tapol bisa merebut kesempatan di celah kesempitan untuk “berekspresi diri” dan melakukan “kontak sosial”. Kesempatan kontak-sosial juga bisa dicuri pada waktu tiga puluh menit “berolahraga”, berjalan cepat mondar-mandir di halaman blok sambil bergandengan tangan dengan sesama teman dekatnya. Ketika itulah mereka bisa saling berbisik tentang apa saja, walaupun harus sambil tetap waspada terhadap “pucuk-daun dan rerumputan yang bergoyang” sekalipun.
Komunikasi antara sesama tawanan merupakan larangan atau “konsinyes”, dalam kosakata tapol G30S. Karena itu ketika kami diangkut dari Namlea ke pantai Sanleko atau dermaga Air Mandidi, dengan sloep atau sekoci, kami semua harus berdiri tegak berimpitan seperti batang-batang kayu. Barang bawaan harus dijunjung di atas kepala. Ini tentu saja demi alasan sekuriti. Untuk tidak memberi kami ruang-gerak dan kesempatan saling berbicara sedikit pun. Seketika mendarat di pantai kami harus turun berlompatan dari sloep, lalu berlari dan segera membentuk barisan. Tidak boleh ada ruang dan waktu untuk hal-hal yang dinyatakan sebagai “konsinyes”.
Seribusatu rambu-rambu “konduite” memang diberlakukan ketat pada tapol sepanjang hari dan malam. Istilah “konduite” adalah sepatah istilah lagi selain ”konsinyes”, yang juga paling banyak diucapkan oleh penguasa kamp dan cecunguk-cecunguk aparatnya. Seakan-akan “dosa politik” sebagai “tapol G30S/PKI” akan mudah ditebus dengan tingkah-laku atau konduite baik, yaitu dengan hidup sebagai “insan pancasilais sejati” melalui jalan yang “diridhoi Allah”.
Di RTC Salemba tidak ada tapol yang dibolehkan bekerja, kecuali tapol dari blok “A” dan “B”, seperti di atas sudah disebutkan, yang setiap hari bertugas di dapur umum dan di kebun sayur sekitar bangunan RTC. Beda dengan kawan-kawan tapol di RTC Tangerang, yang ketika itu juga termasuk dalam wilayah Kodam V Jaya. Di sana ada sebagian tapol, sekitar 200-an khususnya yang muda-muda, setiap hari dipekerjakan di luar penjara. Mereka bekerja untuk, apa yang disebut sebagai, “Proyek Pertanian Kodam V Jaya”, di desa Cikokol, di peluaran kota Tangerang, yaitu untuk membuka dan menggarap ladang dan sawah, masing-masing seluas 25 hektar dan 50 hektar. Hasil panenan sawah dan ladang ini dimaksud untuk memberi makan pada tapol di seluruh Jakarta yang ribuan jumlahnya, tetapi dalam praktiknya — seperti yang sudah lazim terjadi, juga misalnya untuk tapol di Nusakambangan — yang pertama dan utama justru bagi para penguasa kamp, dan baru sisa kelebihannya menjadi jatah tapol sewilayah Kodam V Jaya.
Setiap pagi sebelum matahari terbit, tapol-tapol pekerja itu digiring keluar penjara, dan pada petang hari bersamaan dengan matahari terbenam mereka digiring kembali ke sel-sel isolasi masing-masing. Kecuali untuk beberapa orang yang terkena kerja-wajib musiman, seperti jaga tanaman dari kemungkinan serangan hama, pengatur air saluran dan berbagai jenis kerja korve lainnya.
Tapol G30S sejatinya sudah sejak hari pertama mereka masuk dan menghuni tempat penahanan tidak boleh bekerja, agar supaya tidak terjadi kontak antara tapol satu dengan lainnya. Tapi agar supaya mereka tidak mati dilanda wabah busung-lapar, loket penjara dibuka tiga kali dalam satu minggu untuk menerima besukan makan-minum keluarga. Di satu-dua tempat penahanan di Surakarta tapol bahkan “dibebaskan” pada sianghari untuk mencari makan mereka sendiri-sendiri. Di RTC Salemba bukan hanya soal makan-minum yang “diserahkan” pengurusannya kepada keluarga masing-masing tapol. Juga jika blok sana atau sini memerlukan ember atau tali timba, kapur di tembok sel atau dinding blok sudah terlalu kotor, bohlam di sel sana atau sini putus, cat pintu-jeruji sel atau blok sudah kusam … semuanya itu diserahkan kepada keluarga tapol dan tapol. Keluarga diminta agar mengirim kebutuhan apa yang diperlukan, dan tapol di dalam yang diwajibkan mengerjakannya.
Pengasingan tapol G30S ke Pulau Buru, kupikir, satu dari sekian banyak alasannya, ialah karena di sana tapol tidak akan “habis” dilanda wabah busung-lapar. Untuk itu mereka harus mencetak sawah-ladang seluas-luasnya. Malahan kemudian terbukti, bahwa mereka bukan hanya mampu “menghidupi diri mereka sendiri. Tapi mereka pertama-tama dan terutama harus ikut membantu membangun perekonomian daerah, dalam hal ini Maluku Tengah, sambil menciptakan “nilai-nilai” bagi para pembesar unit-unit Inrehab Pulau Buru.
***
[1] Istilah-istilah “oknum” (sosok, tokoh, seseorang) dan “indikasi” (petunjuk) yang semula bersifat “netral” itu, sejak Peristiwa G30S mendapat arti sosial-politik yang tertentu; “oknum” ialah “seseorang yang patut dicurigai terlibat G30S/PKI”, dan “indikasi” ialah “petunjuk keterlibatan seseorang pada Peristiwa G30S/PKI”.
[2] Penguasa RTC melarang penggunaan istilah “sel”, dan mewajibkan menggantinya dengan istilah “kamar”. Alasan yang selalu ditegaskannya, dikaitkan dengan “pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Suharto yang Pancasilais dan menjunjung tinggi sila Perikemanusiaan” (sic!).
[3] “Kapling” (Bel.: kavling), petak tanah dengan ukuran luas tertentu; dalam kosakata tapol G30S ialah “petak” ruang seluas kelambu terpasang yang diperoleh sebagai “jatah” masing-masing tapol. Kapling inilah lebensraum tapol, tempat ia bisa “leluasa” berbuat apa saja, juga menyimpan “harta-milik” (ransel goni berisi satu-dua lembar pakaian) pada bagian atas atau kepala.
[4] Kependekan dari Dewan Pimpinan Pusat Serikat Buruh Kendaraan Bermotor.
Sumber: ArusBawah 

Selasa, 22 April 2014

Di Jeju, Pembantaian Komunis Pernah Terjadi


Wanda Indana    •    Selasa, 22 Apr 2014 15:12 WIB

Salah satu adegan di film Jiseul/filmguide.sundance.org

Metrotvnews.com, Jeju: Pulau Jeju adalah salah satu destinasi wisata primadona di Korea Selatan. Alamnya yang indah, menjadi daya tarik sendiri pulau seluas sekitar 1.845 kilometer persegi itu.Tak salah bila pulau di sebelah selatan semenanjung Korea itu juga jadi tujuan berlibur 325 siswa SMA Danwon.

Sayang, 325 siswa SMA Danwon yang berangkat pada Selasa 15 April 2014 menuju pulau itu tak kesampaian menikmati segala pesona Pulau Jeju. Kapal feri yang mereka tumpangi tenggelam. Ratusan nyawa melayang dalam kecelakaan itu.
Tragedi yang mengaitkan nama Pulau Jeju, membuat ingatan bangsa Korea tentang pulau yang aslinya bernama Cheju-Do itu kembali membayang. Sekitar 64 tahun lalu, sejarah mencatat bencana kemanusiaan terjadi di sana.
 
Pulau Jeju, Salah satu provinsi sekaligus sebuah pulau di Korea Selatan menyimpan cerita tragis dalam konflik perang sipil. Puluhan ribu orang dibantai secara massal di pulau yang berjuluk Pulau Samdado ini. Peristiwa itu kemudian sering dikenal sebagai "pemberontakan dan pembantaian massal Jeju."

Pada tahun 1948, Jepang yang saat itu menguasai Korea mengalami kekalahan dalam perang dunia kedua. Situasi itu mengakibatkan terpecahnya Korea menjadi dua wilayah. Korea bagian utara dikuasai oleh Uni Soviet dan Korea bagian selatan dikuasai Amerika Serikat.

Berkuasanya dua kekuatan besar di bumi Korea dengan paham yang berbeda membuat Korea sulit bersatu. Konflik memanas pada 14 November 1947 ketika PBB mengeluarkan 122 resolusi terkait keamanan antar dua Korea itu dengan menyerukan pemilihan umum di semenanjung Korea di bawah pengawasan PBB.

Uni Soviet, yang menempati wilayah utara, menolak untuk mematuhi resolusi, sehingga Majelis PBB kembali merilis resolusi baru dengan menyerukan pemilihan rezim baru di wilayah yang dapat diakses oleh PBB, yakni korea bagian selatan yang diduduki AS.

Pemberitaan ini menyeruak hingga ke pulau Jeju, konflik Jeju pun dimulai, pimpinan partai Buruh seperti Partai Pekerja Komunis yang memiliki kesamaan paham dengan Uni Soviet menentang penyelenggaraan pemilihan umum.

Partai Pekerja Komunis menggencarkan aksi unjuk rasa pada 1 Maret 1948 untuk mengecam dan memblokir pemilu yang dijadwalkan berlangsung pada 10 Mei 1948. Polisi dan Pasukan anti huru hara disiagakan. Bentrokan pecah. Enam pengunjuk rasa tewas. Polisi menangkap 2.500 lebih demonstran.

Pada 3 April 1948, Para pemberontak kembali melancarkan aksi balas dendam. Mereka menyerang 11 pos polisi, membunuh polisi dengan memutilasi, dan membakar pusat-pusat pemungutan suara yang telah dipersiapkan untuk kebutuhan pemilu.

Aksi ini dibalas pemerintah Korea Selatan. Pemerintah yang pro Amerika itu mengirim 3 ribu tentara untuk memperkuat pasukan polisi di Pulau Jeju. Namun, beberapa ratus tentara justru memberontak dan menyerahkan gudang senjata kepada para pemberontak.

Pemerintah Korea Selatan menginginkan pemberontak menyerah, dan menyerukan adanya reunifikasi (penyatuan) dua Korea yang terpecah. Pemerintah Korea Selatan dan Pemberontak akhirnya berunding dan berdialog bersama untuk reunifikasi.

Tuntutan pemberontak dianggap terlalu banyak. Negosiasi gagal, dan konflik terus bergulir. Puncaknya pada 25 Juni 1950, Korea Utara menyeberangi batas wilayah kedua negara, dan mulai menginvasi Korea Selatan. Militer Korea Selatan bergegas memerintahkan penangkapan warga sipil yang dicurigai pro Komunis di Pulau Jeju.

Ribuan orang ditahan di Jeju. Mereka disortir ke dalam empat kelompok, A, B, C, dan D sesuai dengan tingkat risiko keamanan. Pada 30 Agustus 1950, Angkatan Laut Korea Selatan menginstruksikan polisi Jeju untuk mempersiapkan regu penembak untuk mengeksekusi mati semua orang dalam kelompok C dan D.

Tentara Korea Selatan juga menyerang desa-desa Jeju, mengeksekusi mati warga dan memperkosa wanita. Sekitar 70 persen dari 230 desa di Jeju hangus dibakar. 14.373 orang tewas sebagai korban pembunuhan.

Setelah pembantaian itu, pemerintah Korea Selatan berusaha menutup akses informasi mengenai tragedi Jeju dari catatan sejarah, dengan membersihkan dan menyegel sebuah gua yang sempat dijadikan sebagai tempat pembantaian. Pemerintah Korea juga melarang dan mengintimidasi siapa saja yang berani mengungkit tragedi Jeju dengan pemukulan, penyiksaan, dan hukuman penjara.

Situasi baru berubah saat kembalinya pemerintahan sipil pada 1990-an. Pemerintah Korea Selatan mengakui dan meminta maaf atas penindasan dan pembantaian. Saat ini, upaya-upaya masih dilakukan untuk memahami ruang lingkup pembantaian dan kompensasi korban tragedi Jeju.

Kisah tragedi Jeju diangkat ke layar lebar melalui film berjudul Jiseul. Jiseul, dalam dialek Pulau Jeju berarti "kentang". Penulisnya adalah O Muel, yang memang orang asli Pulau Jeju, memilih kentang sebagai judul, karena menganggapnya sebagai simbol perjuangan dan harapan.

Film itu tidak mengisahkan tragedi Jeju dalam skala besar. Namun mengambil cerita tentang sekelompok pria desa yang bersembunyi dari kejaran militer dan polisi Korea Selatan dengan bertahan di dalam gua selama 60 hari.

Karena takut menjadi korban pembantaian, mereka memilih meninggalkan rumah meski harus kedinginan dan berjuang melawan kelaparan. Para penyintas itu terus memelihara harapan agar tidak jadi korban keganasan tentara Korea Selatan.
(FIT)

Sumber: MetroNews 

Sabtu, 12 April 2014

PKI Pemenang Pemilu 1955 di Karesidenan Semarang



Karesidenan Semarang terdiri dari Kota/Kabupaten Semarang, Salatiga, Kendal, Demak, dan Purwodadi. Bagi PKI, Semarang adalah tanah kelahiran. Kota ini melahirkan “SI-Merah” atau Islam Kiri a’la Indonesia yang kemudian bermetamorfosis menjadi Partai Komunis Indonesia pada awal dasawarsa 1920-an.
Kemenangan mutlak di Kota/Kabupaten Semarang semacam proklamasi bagi PKI bahwa mereka sudah semestinya berjaya di tanah kelahiran. Bagaimana mungkin mengimpikan kejayaan di daerah lain, sementara kampung halaman keok. Selain Semarang, PKI juga menang mutlak di Purwodadi dan Kota Salatiga.
Adapun pesaing utamanya, PNI, finish di peringkat kedua dengan lumbung suara terbesar berada di Kendal. Sementara Partai NU, pasti berjaya di Demak yang mendapat julukan “Kota Wali”. Walaupun begitu, suara PKI di daerah ini cukup signifikan yang artinya tak keok-keok amat.
Suara PKI secara keseluruhan di Karesidenan Semarang adalah 477.648 dan disusul PNI yang meraih 224.352 suara.
Inilah detail perolehan suara dari perhitungan akhir di seantero Karesidenan Semarang, Jawa Tengah:
Kota Besar Semarang
PKI: 97.744
PNI: 21.454
NU: 18.963
Kabupaten Semarang
PKI: 143.977
NU: 82.548
PNI: 24.928
Salatiga (Kota)
PKI: 11.898
PNI: 2.237
NU: 1.247
Kendal
PNI: 73.935
NU: 70.865
PKI: 60.776
Demak
NU: 139.974
PNI: 41.793
PKI: 39.251
Purwodadi
PKI: 124.002
NU: 60.252

PNI: 60.005

Jumat, 11 April 2014

Di Karesidenan Surakarta PKI Juara Pemilu 1955


Partai Komunis Indonesia (PKI) berjaya di 3.021 TPS di Karesidenan Surakarta, antara lain di Kota Besar Surakarta (Solo), Boyolali, Sragen, Klaten, Karanganyar, Sukoharjo, dan Wonogiri.
Kemenangan ini menjadikan Karesidenan Surakarta, terutama Solo, sebagai kota merah yang diperhitungkan dalam sejarah (politik) Indonesia. Merahnya Solo di Pemilu 1955 adalah pembuktian kuantitatif dari sebuah sejarah panjang di mana kota ini melahirkan pembangkang-pembangkang semacam Marco dan Misbach serta tanah yang subur bagi lahirnya koran-koran pamflet.
Huru-hara politik Madiun 1948, Solo/Karesidenan Surakarta juga menjadi salah satu titik sentral mula-mula bagaimana api itu membakar politik hingga menjadi panggung pembunuhan besar-besaran dari kalangan kiri-merah secara horisontal di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Surakarta, terutama Solo, pada akhirnya merupakan simbol bagaimana Jawa memangku komunis dengan manis di suatu masa yang jauh.
Kecuali Sragen dan Karanganyar, PKI memang berjaya. PKI bahkan menang telak di Solo, Boyolali, Sukoharjo, dan Klaten.

Inilah daftar lengkap rekapitulasi akhir suara dari Karesidenan Surakarta pada Pemilu 1955:
Solo (233 TPS)
PKI: 78.010
PNI: 34.017
Masjumi: 28.058
Karanganyar (253 TPS)
PNI: 72.834
PKI: 48.182
Masjumi: 14.339
Sragen (708 TPS)
PNI: 132.666
Masjumi: 39.730
PKI: 27.608
Boyolali (521 TPS)
PKI: 150.097
Masjumi: 29.947
PNI: 43.398
Sukoharjo (196 TPS)
PKI: 95.149
PNI: 49.011
Masjumi: 15.014
Wonogiri (611 TPS)
PNI: 167.075
PKI: 142.540
Masjumi: 25.567
Klaten (499 TPS)

PKI: 204.869
PNI: 109.667
Masjumi: 48.530

Kamis, 10 April 2014

Wijaya Herlambang: Kenapa Masyarakat Masih Membenci Komunis?


Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa Universitas Brawijaya
April 10, 2014


Malang.Kavling-10 Kejadian Penumpasan PKI tahun 1965 adalah tragedi pembunuhan terbesar dalam sejarah indonesia, karena pada masa itu para militer berkoalisi dengan pemerintah berusaha menumpas seluruh simpatisan PKI.  Dua juta korban berjatuhan, banyak korban yang sebenarnya bukan simpatisan PKI ikut dihilangkan nyawa mereka.
Para militer pun getol menyuarakan berita, berupa produk produk budaya, yang sebenarnya terlalu dilebih- lebihkan, atas kekejaman PKI.

Wijaya Herlambang, seorang penulis yang berangkat dari penelitian disertasinya, akhirnya berani menguak fakta kekerasan budaya pasca 1965 lewat diskusi buku ”Kekerasan Budaya Pasca 1965” yang berlangsung di Gedung Pentas Budaya FIB UB, Sabtu (05/04) lalu.
Wijaya Herlambang ditemani Grace Leksana, seorang Pembahas dan Peneliti ISSI Jakarta sekaligus Peneliti Center for Culture and Frontier Studies (CCFS) UB. Acara diskusi ini digagas atas kerjasama antara Penerbit Marjin Kiri dengan (CCFS) UB.

Dalam diskusi tersebut Herlambang menanyakan mengapa masyarakat masih membenci komunis. Ia pun memaparkan beberapa fakta yang cukup mengejutkan. Menurutnya ada dua alasan utama mengapa pada masa Orde Baru pemberantasan Komunis giat dilakukan.

Pertama, karena adanya kampanye Orde baru. Melalui produk produk budaya, Orde baru, secara pelan pelan, berusaha memanipulasi alam pikiran dan psikologis masyarakat. Sebagai contoh, film Pengkhianatan G30S PKI, yang dari penelitian yang ia dapatkan, sebenarnya ada campur tangan militer dalam pembuatan film tersebut. Pada masa itu pemerintah bekerja sama dengan berbagai bioskop untuk menayangkan film tersebut dan  semua masyarakat terus didorong bahkan diwajibkan untuk melihat film tersebut. Secara tidak langsung mereka dipaksa untuk meyakini betapa kejamnya PKI.

Grace Laksana juga memaparkan bahwa cara mereka mendorong masyarakat seperti itu agar mereka dapat memberi efek memori kolektif, yang berusaha mengajak masyarakat untuk membenci komunis atas kebiadabannya. Selain itu film tersebut juga memberikan rasa ketakutan yang hebat akan komunis padahal mereka tidak memiliki alasan yang kuat.
”Mereka seperti phobia pada komunis, iya memang phobia, karena phobia adalah ketakutan yang tidak beralasan,” ungkap Grace.
Yang kedua adalah dikarenakan adanya penyusupan paham Liberalisme dan Neo-Liberalisme di Indonesia dan di dunia oleh Amerika. Nama-nama seperti Goenawan Muhammad, Mochtar Lubis, juga Arif Budiman, sempat disebut-sebut sebagai salah satu penganut Liberalisme Barat.
Wijaya Herlambang menjelaskan, Amerika Serikat, melalui Congress of Culture Freedom (CCF) berusaha menyusupkan ide liberal kepada kaum intelek, politisi, ekonom dan angkatan darat  untuk bergabung melawan komunisme guna membentuk kebudayaan dan ideologi yang berbasis liberal.

Definisi kekerasan budaya sendiri, di dalam buku Kerkerasan Budaya Pasca 1965 adalah ketika orang orang melegitimasi kasus penumpasan PKI atau bisa dibilang ketika orang orang menganggap bahwa kekerasan sesungguhnya dapat dibenarkan, dan membenarkan secara moral, ideologis dan agama bahwa pembunuhan simpatisan Komunis merupakan hal lumrah. Jadi pembenaran atas produk produk budaya yang dibeberkan militer kepada masyarakat adalah salah satu contoh kekerasan budaya.
”Mereka menganggap PKI sangat kejam, lalu pembunuhan dua juta simpatisan PKI tidak kejam?,” tutur Herlambang.
Acara yang berlangsung mulai pukul 09.00 tersebut akhirnya ditutup pada pukul 12.00 setelah melalui sesi tanya jawab yang cukup panjang. Acara ini dihadiri oleh berbagai macam kalangan, dari mulai mahasiswa, dosen, dan penulis. (rhm)

Source: Kavling10