HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Minggu, 29 Juni 2014

Melawan Lupa (11): Akhir Hayat 5 Tokoh PKI Yang Di-Skak Mat - See more at: http://www.voa-islam.com/read/intelligent/2014/06/29/31253/melawan-lupa-11-akhir-hayat-5-tokoh-pki-yang-diskak-mat/#sthash.tHbWTjiV.dpuf



Tokoh komunis Indonesia ini sudah di SKAK MAT!

Mereka dikenal sebagai petinggi atau tokoh Partai Komunis Indonesia. Sejarah mencatat nama mereka dengan tinta hitam karena berbeda ideologi dengan pemerintah yang sah.

Dua kali pemberontakan komunis berakhir dengan kegagalan. Tahun 1948 di Madiun pemberontakan komunis langsung dihancurkan pasukan gabungan tentara Soekarno. Percobaan pemberontakan tahun 1965 pun kembali menemui kegagalan. Kali ini bahkan lebih tragis, jutaan kader dan anggota PKI ditumpas habis Jenderal Soeharto.

Maka nasib para petinggi partai merah ini pun hampir selalu bernasib tragis. Semuanya meregang nyawa ditembus peluru. Beberapa tak diketahui kuburnya.
Tak ada penghormatan untuk jenazah mereka, karena dieksekusi sebagai pemberontak. Pemerintah yang menang menembak mereka sebagai orang taklukan yang kalah.

1. Muso, anak seorang KH Hasan Muhyi alias Rono Wijoyo seorang pelarian pasukan Diponegoro

Negara Republik Soviet Indonesia yang diproklamirkan tokoh komunis Muso di Madiun tak berumur panjang. 
Negara yang didirikan tanggal 18 September 1948 itu langsung dihancurkan pasukan TNI yang menyerang dari Timur dan Barat. 

Dalam waktu dua minggu, kekuatan bersenjata tentara Muso dihancurkan pasukan TNI. Muso, Amir Syarifuddin dan pimpinan PKI Madiun melarikan diri. Di tengah jalan, Amir dan Muso berbeda pendapat. Muso melanjutkan perjalanan hanya ditemani beberapa pengawal.Tanggal 31 Oktober, pasukan TNI di bawah pimpinan Kapten Sumadi memergoki Muso di Purworejo. Muso menolak menyerah dan melarikan diri. Dia bersembunyi di sebuah kamar mandi. Di sana dia terlibat baku tembak hingga tewas.
Beberapa sumber menyebutkan jenazah Muso kemudian dibawa ke alun-alun dan dibakar.

Temuan baru muncul mengungkap siapa sebenarnya Musso atau Munawar Musso alias Paul Mussote (nama ini tertulis dalam novel fiksi Pacar Merah Indonesia karya Matu Mona), tokoh komunis Indonesia yang memimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) pada era 1920-an. Nama Musso terus berkibar hingga pemberontakan Madiun 1948.

Musso dilahirkan di Kediri, Jawa Timur 1897. Sering disebut-sebut, Musso adalah anak dari Mas Martoredjo, pegawai kantoran di Kediri. Penelusuran merdeka.com mengungkap cerita lain, bahwa Musso ternyata putra seorang kiai besar di daerah Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Kiai besar itu adalah KH Hasan Muhyi alias Rono Wijoyo, seorang pelarian pasukan Diponegoro.

Kabar bahwa Musso diragukan sebagai anak Mas Martoredjo muncul dari informasi awal Ning Neyla Muna (28), keluarga Ponpes Kapurejo, Pagu, Kediri yang menyebut Musso itu adalah keluarga mereka.

Sulit untuk dipercayai, jika Musso anak pegawai kantoran biasa di desa, bisa menjadi pengikut Stalin dan fasih berbahasa Rusia. Bahkan untuk berteman dengan Stalin dan bisa melakukan aktivitasnya yang menjelajah antarnegara hanya bisa dilakukan oleh orang-orang kaya di masa itu.

Kalau bukan anak orang berpengaruh, sulit pula baginya menjadi pengurus Sarekat Islam pimpinan H.O.S Tjokroaminoto. Selain di Sarekat Islam, Musso juga aktif di ISDV (Indische Sociaal-Democratishce Vereeniging atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda).

Saat di Surabaya Musso pernah kos di Jl. Peneleh VII No. 29-31 rumah milik HOS Tjokroaminoto, guru sekaligus bapak kosnya. Selain Musso di rumah kos itu juga ada Soekarno, Alimin, Semaun, dan Kartosuwiryo.

Musso, Alimin, dan Semaun dikenal sebagai tokoh kiri Indonesia. Sedangkan nama yang terakhir, menjelma menjadi tokoh Darul Islam, ekstrem kanan. Mereka dicatat dalam sejarah perjalanan revolusi di Indonesia.

Saat kos itu, Musso menjadi salah seorang sumber ilmu Bung Karno dalam setiap percakapan. Seperti misalnya saat Musso menyoal penjajahan Belanda, "Penjajahan ini membuat kita menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa."

Merdeka.com menemui KH Mohammad Hamdan Ibiq, pengasuh Ponpes Kapurejo, Pagu Kediri untuk bertanya tentang siapa Musso. "Saya hanya mengetahui Musso memang keluarga besar Ponpes Kapurejo, namun yang paham itu adalah KH Muqtafa, paman kami. Yang saya pahami Musso itu anak gawan (bawaan), jadi saat KH Hasan Muhyi menikahi Nyai Juru, Nyai Juru sudah memiliki putra salah satunya Musso. Makam keduanya berada di komplek Pondok Pesantren Kapurejo," kata Gus Ibiq paggilan akrab KH Hamdan Ibiq, akhir bulan lalu.

Penelusuran dilanjutkan ke rumah KH Muqtafa di Desa Mukuh, Kecamatan Kayen Kidul, Kabupaten Kediri. Tiba di rumah KH Muqtafa, si empunya rumah tampak sedang asyik mutholaah kitab kuning (membaca dan memahami kitab kuning) tepat di depan pintu rumahnya.

Setelah mengucapkan salam dan dijawab, kemudian Kyai Tafa mempersilakan masuk. Rumah lelaki pensiunan pegawai Departemen Agama ini tampak asri, tembok warna putih dan ada bagian gebyog kayu jati yang menandakan pemiliknya orang lama. Ditambah beberapa hiasan kaligrafi Arab yang ditulis dengan indah menempel di antara dinding rumahnya. Selanjutnya Kiai Tafa masuk ke rumah induk dan berganti pakaian yang semata-mata dia lakukan untuk menghormati tamunya.

Lima menit berlalu, Kiai Tafa keluar dan menanyakan maksud kedatangan. Sebelumnya lelaki yang sudah tampak uzur ini menyatakan meski keturunan keluarga pesantren, dia tak memiliki santri. Sebab dia harus menjadi pegawai negeri dan berpindah-pindah tempat.

"Mau bagaimana lagi memang harus seperti itu," kata Kiai Tafa membuka perbincangan.

Setelah mengutarakan maksud dan tujuan untuk mengetahui sejarah Ponpes Kapurejo, kemudian penuh semangat, Kiai Tafa menjelaskan secara gamblang dengan suara yang sangat berwibawa.

Belum membuka pembicaraan tentang Musso, merdeka.com hanya ingin mengetahui arah pembicaraannya seperti yang disampaikan Gus Ibiq, bahwa Kyai Tafa lah yang menjadi kunci silsilah keluarga Pondok Pesantren, Kapurejo.

"KH Hasan Muhyi itu orang Mataram, sebenarnya namanya adalah Rono Wijoyo. Beliaulah pendiri Pondok Pesantren Kapurejo. Beliau menikah sebanyak tiga kali, istri pertamanya adalah Nyai Juru. Dari pernikahannya yang pertama itu KH Hasan Muhyi diberikan 12 putra. Dan maaf salah satunya mungkin orang mengenal dengan nama Musso," ujar Kiai Tafa yang sedikit canggung ketika menyebut nama Musso.

Meski canggung, Kiai Tafa kembali menegaskan itulah fakta sejarah. "Mau bagaimana lagi itulah fakta sejarah," tukasnya.

2. Amir Syarifuddin, Menteri Yang Selingkuhi NASAKOM 

Amir Syarifuddin pernah menempati sejumlah posisi penting saat Indonesia baru merdeka. Dia pernah menjadi Menteri Penerangan, Menteri Pertahanan, bahkan Perdama Menteri Republik Indonesia. Tapi hasil perjanjian Renville memutar nasib Amir 180 derajat.

Saat itu Amir menjadi negosiator utama RI dalam perjanjian itu. Isi perjanjian Renville memang tak menguntungkan RI. Belanda hanya mengakui Yogyakarta,  Jawa Tengah dan Sumatera. Maka Amir dikecam kiri-kanan. Kabinetnya jatuh. 

Dia kemudian bergabung dengan Muso dalam Negara Republik Soviet Indonesia di Madiun tanggal 19 September 1948.Saat pemberontakan Madiun dihancurkan TNI, Amir melarikan diri. Dia akhirnya ditangkap TNI di hutan kawasan Purwodadi. 

Tanggal 19 Desember 1948, bersamaan dengan Agresri Militer II, Amir ditembak mati bersama para pemberontak Madiun yang tertangkap. Eksekusi dilakukan dengan buru-buru. Sebelum meninggal Amir menyanyikan lagu internationale, yang merupakan lagu komunis. Amir juga sempat menyanyikan lagu Indonesia Raya. Peluru seorang polisi militer mengakhiri hidupnya.

3. Dipa Nusantara Aidit, Akhiri Hidup Dengan Berondongan AK-47

Dipa Nusantara (DN) Aidit langsung melarikan diri dari Jakarta saat Gerakan 30 September 1965 gagal. Aidit lari ke daerah basis PKI di Yogyakarta. Aidit lalu berkeliling ke Semarang dan Solo. Dia masih sempat menemui beberapa pengurus PKI di daerah untuk melakukan koordinasi. 

Tanggal 22 November 1965, Aidit ditangkap pasukan Brigade Infantri IV Kostrad di kampung dekat Stasiun Solo Balapan. Aidit bersembunyi dalam sebuah ruangan yang ditutup lemari. Kepada Komandan Brigif IV, Kolonel Jasir Hadibroto, Aidit minta dipertemukan dengan Soekarno. Aidit mengaku sudah membuat pengakuan tertulis soal G30S. Dokumen itu rencananya akan diberikan pada Soekarno.

Tapi keinginan Aidit tak pernah terpenuhi. Keesokan harinya, Jasir dan pasukannya membawa Aidit ke sebuah sumur tua di belakang markas TNI di Boyolali. Aidit berpidato berapi-api sebelum ditembak. Berondongan AK-47 mengakhiri hidup Ketua Comite Central PKI itu. Kuburan pasti Aidit tak diketahui hingga kini.

Dipa Nusantara Aidit pada 1980-an adalah Syu'bah Asa. Seniman dan wartawan ini memerankan Ketua Umum Comite Central Partai Komunis Indonesia itu dalam film Pengkhianatan G-30-S/PKI. Setiap 30 September film itu diputar di TVRI. Lalu di depan layar kaca kita ngeri membayangkan sosoknya: lelaki penuh muslihat, dengan bibir bergetar memerintahkan pembunuhan itu.

Di tempat lain, terutama setelah Orde Baru runtuh dan orang lebih bebas berbicara, PKI didiskusikan kembali. Juga Aidit. Pikiran-pikirannya dipelajari seperti juga doktrin-doktrin Marxisme-Leninisme. Dalam sebuah diskusi di Yogyakarta, seorang penulis muda pernah di luar kepala mengutip doktrin 151--ajaran dasar bagi kaum kiri dalam berkesenian. Diam-diam komunisme dipelajari kembali dan Aidit menjadi mitos lain: sang idola.

Dia memulai "hidup" sejak belia. Putra Belitung yang lahir dengan nama Achmad Aidit itu menapaki karier politik di asrama mahasiswa Menteng 31--sarang aktivis pemuda "radikal" kala itu. Bersama Wikana dan Sukarni, ia terlibat peristiwa Rengasdengklok--penculikan Soekarno oleh pemuda setelah pemimpin revolusi itu dianggap lamban memproklamasikan kemerdekaan. Ia terlibat pemberontakan PKI di Madiun, 1948. Usianya baru 25 tahun. Setelah itu, ia raib tak tentu rimba. Sebagian orang mengatakan ia kabur ke Vietnam Utara, sedangkan yang lain mengatakan ia bolak-balik Jakarta-Medan. Dua tahun kemudian, dia "muncul" kembali.

Aidit hanya butuh waktu setahun untuk membesarkan kembali PKI. Ia mengambil alih partai itu dari komunis tua--Alimin dan Tan Ling Djie--pada 1954, dalam Pemilu 1955 partai itu sudah masuk empat pengumpul suara terbesar di Indonesia. PKI mengklaim beranggota 3,5 juta orang. Inilah partai komunis terbesar di dunia setelah Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina.

Dalam kongres partai setahun sebelum pemilu, Aidit berpidato tentang "jalan baru yang harus ditempuh untuk memenangkan revolusi." Dipa Nusantara bercita-cita menjadikan Indonesia negara komunis. Ketika partai-partai lain tertatih-tatih dalam regenerasi kader, PKI memunculkan anak-anak belia di tampuk pimpinan partai: D.N. Aidit, 31 tahun, M.H. Lukman (34), Sudisman (34), dan Njoto (27).

Tapi semuanya berakhir pada Oktober 1965, ketika Gerakan 30 September gagal dan pemimpin PKI harus mengakhiri hidup di ujung bedil. Aidit sendiri tutup buku dengan cara tragis: tentara menangkapnya di Boyolali, Jawa Tengah, dan ia tewas dalam siraman satu magazin peluru senapan Kalashnikov serdadu.

4. MH Lukman, Anak Kesayangan Proklamator RI Muhammad Hatta 

Muhammad Hatta Lukman, orang kedua di Partai Komunis Indonesia setelah Aidit. Bersama Njoto dan Aidit, ketiganya dikenal sebagai triumvirat, atau tiga pemimpin PKI. 

MH Lukman mengikuti ayahnya yang dibuang ke Digoel, Papua. Sejak kecil dia terbiasa hidup di tengah pergerakan. Nama Muhammad Hatta diberikan karena Lukman sempat menjadi kesayangan Mohammad Hatta, proklamator RI.   

Tapi seperti beberapa tokoh pemuda Menteng 31 pada tahun 1945, Lukman memilih komunis sebagai jalan hidup. Setelah pemberontakan Madiun 1948, triumvirat ini langsung melejit, mengambil alih kepemimpinan PKI dari para komunis tua. Di pemerintahan, Lukman sempat menjabat wakil ketua DPR-GR.Tak banyak data mengenai kematian Lukman. 

Saat itu beberapa hari setelah Gerakan 30 September gagal, Lukman diculik dan ditembak mati tentara. Mayat maupun kuburannya tak diketahui. Tokoh Politbiro Comite Central PKI Sudisman di pengadilan menyebut tragedi pembunuhan Aidit, Lukman dan Njoto, sebagai ‘jalan mati’. Karena ketiganya tak diadili dan langsung ditembak mati. 

5. Njoto, Orang Kepercayaan Soekarno Untuk Tulis Pidato Kenegaraan 

Njoto merupakan Wakil Ketua II Comite Central PKI. Orang ketiga saat PKI menggapai masa jayanya periode 1955 hingga 1965. Njoto juga kesayangan Soekarno. Aidit sempat menganggap Njoto lebih Sukarnois daripada Komunis.

Njoto menjadi menteri kabinet Dwikora, mewakili PKI. Dia salah satu orang yang dipercaya Soekarno untuk menulis pidato kenegaraan yang akan dibacakan Soekarno. 
Njoto seniman, pemusik, dan politikus yang cerdas.Menjelang tahun 1965, isu berhembus. Njoto diisukan berselingkuh dengan wanita Rusia. Ini yang membuat Aidit memutuskan akan memecat Njoto. Menjelang G30S, Njoto sudah tak lagi diajak rapat pimpinan tinggi PKI.

Kematian Njoto pun simpang siur. Kabarnya tanggal 16 Desember 1965, Njoto pulang mengikuti sidang kabinet di Istana Negara. Di sekitar Menteng, mobilnya dicegat. Njoto dipukul kemudian dibawa pergi tentara. Diduga dia langsung ditembak mati.

Sama dengan kedua sahabatnya, Aidit dan Lukman, kubur Njoto pun tak diketahui.

Fakta Baru Musso dan Aidit di-Skak Mat Kyai NU

Asep Dudinov AR, kompasianer menuliskan buah pikirannya. Dalam buku “Berangkat dari Pesantren” buah karya KH. Saifuddin Zuhri, ia menemukan kisah menarik ihwal Musso dan Aidit, dua gembong PKI (Partai Komunis Indonesia) yang sama sama menjadi tokoh kunci dalama dua peristiwa berbeda.

Musso tak bisa dipisahkan dengan “Madiun Affair” 1948 bahkan berakhir dengan kematian yang tragis. Soe Hok Gie dalam Orang Orang di Persimpangan Kiri Jalan menggambarkan akhir seorang Musso bahwa mayatnya dibawa ke alun alun Ponorogo dan selanjutnya…dibakar.

Sedangkan Dipa Nusantara Aidit adalah tokoh PKI di tahun tahun ketika partai itu sedang dalam puncak kejayaannya. Perselingkuhan kaum komunis dengan golongan nasionalis dan agama membawa PKI berada di atas angin di tahun 1960-an. Nasib buruk lantas meninju PKI pada tahun 1965 karena dituduh menjadi dalang dari terbunuhnya tujuh pahlawan revolusi.

Siapa menduga, Musso yang dikenal Soekarno sebagai orang yang jago pencak dan suka berkelahi ini pernah takluk oleh seorang kyai NU (Nahdlatul Ulama) bernama Haji Hasan Gipo.

Beginilah kisahnya yang saya ringkas dari “Berangkat dari Pesantren.”
Suatu ketika, Musso terlibat perdebatan dengan KH. Abdul Wahab Hasbullah mengenai adanya Tuhan. Sebagai seorang atheis, Musso tentu saja tak percaya pada Tuhan. Perdebatan pun makin seru dan menjurus kasar karena Musso memang seorang yang emosional.

Musso yang berbadan tegap melawan kiai Wahab yang pendek lagi kecil, orang orang yang melihat perdebatan pun makin was was takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Kiai Wahab pun lalu berpikir bahwa tak ada gunanya juga melanjutkan diskusi dengan “orang jahil” semacam Musso ini.

Bukan karena Kiai Wahab takut, untuk seorang Musso saja pasti bisa diselesaikan dengan mudah karena Kiai Wahab yang juga pendekar silat itu pernah menaklukan 3 atau 4 penyamun yang tubuhnya jauh lebih besar dari Musso ketika melakukan perjalanan angker antara Makkah dan Madinah sekitar tahun 1920-1925. Diskusi dengan Musso hanya mengandalkan main jotos dan mulut besar, kiai Wahab merasa buang buang tenaga saja. Senjata manusia adalah akal pikiran dan akhlak mulia, bukan kepalan tinju.

Haji Hasan Gipo (Tanfidziyah NU tahun 1926) mengambil alih tempat kiai Wahab dalam berdebat dengan Musso. Haji Hasan Gipi terkenal sebagai seorang tokoh NU yang bisa bermain menurut irama gendang. Main halus, ayo. Main kasar, oke. Singkat kata, semua cara bisa ia layani.

Dan Musso pun ditantang untuk bersama Haji Hasan Gipo menghampiri jalan kereta Surabaya-Batavia di dekat krian (antara Surabaya-Mojokerto) untuk menyambut kereta api ekspres yang sedang berlari kencang dengan batang leher masing masing. Begitu kereta api muncul dalam kecepatan tinggi, keduanya harus meletakkan leher masing masing di atas rel agar digilas lokomotif serta seluruh rangkaian kereta api hingga tubuh mereka hancur berkeping keping.

Nah, dengan jalan demikian, keduanya akan memperoleh keyakinan-ainul yaqin haqqul yakin-tentang adanya Allah Swt…! Tapi Musso yang terkenal berangasan dan mudah marah itu dengan badannya yang besar dan kekar seolah menciut saja ditantang seperti itu oleh Haji Hasan Gipo. Musso pun gentar. Ia takut setakut takutnya takut pada tantangan itu.

Sedangkan Aidit pernah kena skak mat dari KH. Saifuddin Zuhri yang pada waktu itu sedang menjabat menteri agama.

Ceritanya, dalam sidang DPA dibicarakan ihwal membasmi hawa tikus yang merusak tanaman padi di sawah, D. N Aidit dengan sengaja melancarkan pertanyaan dengan nada sindiran. Padahal, waktu itu tempat duduk KH. Saifuddin Zuhri dengan Aidit hanya berjarak 20 senti meter saja.

“Saudara ketua, baiklah kiranya ditanyakan kepada Menteri Agama yang duduk di sebelah kanan saya ini, bagaimana hukumnya menurut agama Islam memakan daging tikus?”

Saifuddin Zuhri merasa ditantang dengan sindirang beraroma penghinaan itu. Sebagai seorang tokoh partai yang pintar tentunya Aidit paham betul jawaban dari apa yang ia tanyakan tersebut. Tetapi Aidit dengan sengaja mendemonstrasikan antipatinya terhadap Islam. KH. Saifuddin Zuhri pun lantas menjawab dengan tak kalah cerdiknya.

“Saudara ketua, tolong beritahukan kepada si penanya di sebelah kiriku ini bahwa aku ini sedang berjuang agar rakyat mampu makan ayam goreng, karena itu jangan dibelokkan untuk makan daging tikus!”

Tentu saja jawaban yang diberikan KH. Saifuddin Zuhri mengundang gelak para anggota termasuk Bung Karno yang memimpin sidang DPA. Saya bisa membayangkan Aidit terdiam seribu bahasa. [mrd/dbs/voa-islam.com]

http://www.voa-islam.com/read/intelligent/2014/06/29/31253/melawan-lupa-11-akhir-hayat-5-tokoh-pki-yang-diskak-mat/#sthash.tHbWTjiV.dpbs

Kamis, 19 Juni 2014

Perlu Terobosan untuk Menuntaskan Kasus Pelanggaran HAM Berat

Kamis, 19 Juni 2014 | 20:09

Anggota tim sukses calon presiden Joko Widodo, Todung Mulya Lubis {kiri) dalam diskusi tentang pelanggaran HAM di Bandung, kamis (19/6). [SP/Adi Marsiela]

[BANDUNG] Anggota tim sukses calon presiden Joko Widodo, Todung Mulya Lubis menyatakan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia tidak akan selesai apabila pemimpinnya tidak berani membuat terobosan. Salah satunya adalah peran anggota DPR dalam mengawal proses legislasi. 

Todung mengungkapkan, pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi merupakan alternatif untuk penuntasan kasus pelanggaran HAM berat. Dia merunut pada kisah sukses komisi tersebut menyelesaikan kasus di Afrika Selatan, Argentina, dan Korea Selatan. “Pengungkapan kebenaran itu mesti sebagai pembelajaran. Diungkap dan (pelaku) meminta maaf,” ujarnya. 

Komisi itu sendiri sudah pernah dibentuk namun dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. “Abdulrahman Saleh bilang ada perbedaan dalam persepsi, pemahaman hukum, dalam penanganan antara Komnas HAM dan Kejaksaan. Itu tidak akan pernah selesai, tidak selesai kalau tidak mau lakukan terobosan,” ujarnya. 

Terkait konteks pemilihan calon presiden, Todung menyatakan, sebaiknya ada audit terhadap calon presiden dari sisi HAM. “Audit ini biasa. Kalau beli perusahaan tentu kita harus audit dulu, tidak mungkin beli kucing dalam karung,” terang Todung. [153/N-6]

http://sp.beritasatu.com/home/perlu-terobosan-untuk-menuntaskan-kasus-pelanggaran-ham-berat/57908

Wiranto: Penculikan Aktivis 98 Inisiatif Prabowo

Oleh Sugeng Triono 
19 Jun 2014, 16:57 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Letjen Prabowo Subianto pernah mengakui aksi penculikan sejumlah aktivis medio Desember 1997 sampai Februari 1998 bukan merupakan perintah dari atasannya almarhum Jenderal Faisal Tanjung yang kala itu menjabat sebagai Panglima ABRI atau Jenderal Wiranto yang menggantikan posisi Faisal Tanjung.

Hal tersebut disampaikan Wiranto di Posko Forum Komunikasi Pembela Kebenaran (FORUM KPK) yang terletak di Jalan HOS Cokroaminoto 55-57, Jakarta Pusat, Kamis (19/6/2014).

Diungkapkan Wiranto yang pernah menanyakan langsung kepada Prabowo, keputusan untuk menculik sejumlah mahasiswa itu merupakan inisiatif calon presiden nomor urut 1 itu.

"Seingat saya pada saat menanyakan langsung kepada Letjen Prabowo saat itu tentang siapa yang memberi perintah (penculikan aktivis), yang bersangkutan mengaku bahwa apa yang dilakukan bukan perintah Panglima. Namun merupakan inisiatifnya sendiri dari hasil analisa keadaan saat itu," ujar Wiranto.

Wiranto yang menjabat sebagai Panglima ABRI saat terjadi kerusuhan tersebut juga menjelaskan, institusinya tidak pernah menggunakan pendekatan kekerasan dalam menghadapi demonstrasi.

"Perlu diketahui bahwa kebijakan Panglima saat itu untuk menghadapi para aktivis dan demonstran mengedepankan cara-cara persuasif, dialogis, dan komunikatif, serta menghindari tindakan yang bersifat kekerasan," katanya.

"Maka aksi penculikan tersebut jelas tidak sesuai dengan kebijakan pimpinan," pungkas Wiranto.

Sebelumnya, cawapres Jusuf Kalla dalam Debat Kandidat Pilpres 2014 perdana bertanya ke Prabowo soal penyelesaian hak asasi manusia (HAM) di masa lalu dan masa mendatang. Prabowo pun meminta JK menanyakan hal itu kepada atasannya saat itu.

"Kita bertanggungjawab. Penilaian ada pada atasan. Kalau bapak mau tahu ya silakan tanya atasan saya waktu itu," jawab Prabowo.


http://m.liputan6.com/news/read/2065759/wiranto-penculikan-aktivis-98-inisiatif-prabowo

Senin, 09 Juni 2014

Jokowi janji usut kasus hilangnya Wiji Thukul

 | Pewarta: 
Calon presiden Joko Widodo (Jokowi) berjanji mengusut kasus hilangnya aktivis Wiji Thukul. (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)
 Ya jelas harus ditemukan. Bisa ditemukan hidup, bisa ditemukan meninggal, harus jelas...
Jakarta (ANTARA News) - Calon Presiden Joko Widodo (Jokowi) berjanji akan mengusut kasus hilangnya penyair dan aktivis Wiji Thukul jika terpilih menjadi presiden.

"Ya jelas harus ditemukan. Bisa ditemukan hidup, bisa ditemukan meninggal, harus jelas. Tentang nanti ada sebuah rekonsiliasi dari fakta-fakta ya tidak soal. Tapi harus jelas, masa sekian lama belum jelas yang 13 orang hilang itu, " kata Jokowi di Media Center Jalan Sukabumi, Menteng, Jakarta Pusat, Senin.

Jokowi mengaku kenal baik dengan keluarga sastrawan sekaligus aktivis yang dilaporkan hilang ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) tanggal 24 Maret 2000 itu.

"Kebetulan saya kenal baik dengan Widji, dia kan orang Solo. Sama keluarganya saya juga kenal, saya tahu rumahnya ada di mana," kata Jokowi.

Menurut laporan yang disampaikan ke Kontras, Wiji Thukul hilang sekitar bulan Maret 1998, bertepatan dengan peningkatan operasi represif rezim Orde Baru untuk membersihkan aktivitas politik yang berlawanan dengan Orde Baru.

Kontras menduga hilangnya Wiji Thukul tidak terlepas dari aktivitas-aktivitas politiknya karena bersamaan dengan hilangnya aktivis yang lain menjelang jatuhnya Orde Baru.

Lembaga non-pemerintah itu juga menuntut pemerintah mencari Wji Thukul dan bertanggungjawab untuk mengungkapkan motif hilangnya Wiji Thukul serta penghilangan aktivis 98 yang lain.

Saat ditanya tentang dugaan hubungan mantan Kepala Badan Intelijen Negara ( BIN ) AM Hendropriyono dengan kasus penculikan 98, Jokowi mengatakan bergabungnya Hendropriyono dalam tim pemenangannya dan kasus hukum harus dibedakan.

"Tidak ada masalah. Masa setiap orang yang ke saya harus di-screening dulu, kamu tersangkut ini enggak? Kamu tersangkut penculikan enggak? Kan tidak seperti itu, ini kan urusan hukum, tapi harus jelas. Jelaskan. Apa nanti ada rekonsiliasi dan lain-lain," katanya.
Editor: Maryati
COPYRIGHT © ANTARA 2014

Jumat, 06 Juni 2014

Mia Bustam, Perempuan Tangguh Bermental Baja


Jumat, 06 Juni 2014


Bagi generasi muda saat ini, sedikit yang mengingat tentang sosok-sosok perempuan tangguh yang berkarya dan berjuang untuk banyak orang. Sedikit mengingat karena penguasa lebih sedikit lagi menuliskannya dalam buku-buku sejarah sekolah, dalam tayangan-tayangan televisi.

 Dari yang sedikit itu, bersyukur masih ada yang mau menuliskannya, menyiarkannya agar terus diingat sehingga bisa dicontoh semangatnya, perjuangannya. Untuk ingatan yang sedikit itulah, Perempuan Pelita hadir untuk sahabat marsinah, tak banyak, baru seminggu sekali, tiap kamis jam 7 sampai 8 malam. Nah, untuk malam ini, saya, Mimosa menggantikan sejenak Dias yang sedang pulang ke kampung halaman, di Kota Lampung. Siapa perempuan tangguh yang akan kami sajikan malam ini? Kejutan dong, pasti membuat sahabat marsinah berdecak kagum. Sambil menanti kehadirannya, kita nikmati dulu yuuuk satu tembang manis yang satu ini (iklan dan lagu)

Di usianya yang menginjak 80an, perempuan ini menghentak jiwa kaum muda karena kalah semangat dan tekad. Ya, sebut dia, Mia Bustam, perempuan anggota Lekra yang ditahan oleh Orde Baru sejak tahun 1965 hingga 1978, dengan menyandang label eks tapol. Di usia yang tidak lagi muda, Mia Bustam justru makin produktif menghasilkan karya-karya terbaiknya. Tercatat, sudah dua buku yang ia tulis diterbitkan, yakni “Sudjono dan Aku”, “Dari Kamp ke Kamp: Catatan Seorang Perempuan”. Dua buku itu mengisahkan perjalanan hidupnya.

Ia ditangkap dan ditahan di Polres Sleman pada 23 November 1965, persis pada hari ulang tahun anaknya yang ke-3. Sebuah truk tentara datang menjemputnya. Dari Polres Sleman, ia dipindahkan ke Benteng Vredenburg pada pertengahan 1966, lalu menghuni Penjara Wirogunan sampai tahun 1971. Setelah itu berpindah-pindah dari Penjara Pelantungan, Weleri, Kendal, dan terakhir di Penjara Perempuan Bulu, Semarang. Setelah 13 tahun hidup dari penjara ke penjara, Mia dibebaskan pada 27 Juli 1978. Akibat penangkapanannya, ia harus terpisah dari 8 anaknya yang kemudian diasuh secara bergantian dari satu teman ke teman lain, dari satu keluarga ke keluarga lainnya, kecuali anak sulungnya yang juga dipenjara karena aktif di CGMI (Central Gerakan Mahasiswa Indonesia).

Buku pertamanya, lebih berkisah tentang hubungan percintaannya dengan Sudjojono. Sudjojono adalah pelukis ternama Indonesia, anggota Lekra, dan digelar sebagai Bapak Pelukis Modern Indonesia. Sudjojono juga dikenal sebagai motor penggerak Seniman Indonesia Muda (SIM).


Awalnya hubungan Mia dan Sudjojono tidak mendapat restu dari pihak keluarga, namun Mia yang memiliki nama kecil Sasmiya Sasmoyo ini, tidak menyerah. Cinta pandangan pertama Mia dengan Sudjojono kala mengunjungi ayahnya di rumahnya membuat Mia tak bisa berpaling. ”Mas Djon tak terlalu tampan, tapi saya tidak akan pernah lupa senyumnya. Selain itu kebetulan saya suka baca, jadi kita bisa berdiskusi beragam topik,”. Akhirnya pada usia 23 tahun, Mia menikah dengan Sudjojono memutuskan menikah di Solo.


Sebagai istri aktivis seniman, Mia siap dengan segala konsekuensi, terutama kala Sudjojono berbeda pendapat dengan Presiden Pertama RI, Soekarno, yang membuat Sudjojono keluar dari pekerjaannya di Pusat Tenaga Rakyat dan berdampak pada berkurangnya penghasilan. Hal lainnya adalah tentang masa lalu Sudjojono yang sempat tinggal serumah dengan Pekerja Seks di Senen. Pun demikian, ketika lewat lukisannya yang berjudul “Sayang Aku Bukan Anjing”, terkuak kisah Sudjojono yang sedang menaruh hati ke perempuan lain. Bagi Mia, kejujuran Sudjojono sudah menjadi pembuka pintu maaf.

Perubahan drastis justru terjadi saat Sudjojono menjadi anggota DPR RI mewakili PKI pada tahun 1955. Sudjojon yang awalnya rendah hati, menurut Mia jadi berubah jadi tinggi hati. Tidak hanya itu, Sudjojono mulai menjalin hubungan dengan perempuan lain dan meminta Mia supaya mau dimadu. Mia menolak mentah-mentah, tak hanya Mia, Gerwani pun menagih janji Sudjojona yang kala pemilu kampanye hak –hak perempuan dan menyatakan diri anti poligami. Dua tahun menunggu kepastian perceraian, akhirnya keduanya pun bercerai dan sejak itulah Mia meletakkan nama Bustam di belakang namanya.

“Saat itu pada 1957 akhirnya Mas Djon mengaku. Ia katakan jika kami seumpama wayang, maukah aku menjadi Sembadra.” Aku langsung menyahut, ”Dan Rose menjadi Srikandi?” Lalu Mia melanjutkan tuturannya: ”Aku tidak bisa seperti Sembadra yang toleran pada Arjuna untuk mempunyai istri berlusin-lusin. Lagian kok dia membayangkan dirinya jadi Arjuna? Arjuna kok elek. Aku tidak mau poligami, yang penting cerai. Dulu dia seperti dewa bagi saya. Tapi setelah itu, dia hanya dewa yang kemudian turun derajatnya menjadi manusia biasa. Setelah menunggu kepastian selama dua tahun, akhirnya kami memutuskan berpisah pada 1959.”

Perpisahan membuat cinta Mia kepada Bapak Seniman Modern itu menjadi kering, namun Mia terus berjuang hidup menafkahi delapan anaknya. Kisah selanjutnya, akan kita ikuti setelah lagu yang satu ini (Lagu dan iklan)

Selepas bercerai dari Sudjojono, Mia mendalami ketrampilan melukisnya dengan bergabung di Seniman Indonesia Muda (SIM) dan LEKRA (Lembaga Kesenian Rakyat). Setelah berpisah, Sudjojono sebenarnya tetap memberikan nafkah bagi kedelapan anaknya sebesar Rp 2.000 per bulan. Jumlah yang sangat minim, sehingga mereka harus makan pagi dengan tiwul, beras campur jagung. Kehidupan terus berlangsung sampai terjadi peristiwa 1965. ”Waktu itu ulang tahun anak saya yang ketiga, Watugunung, pada 23 November 1965. Tiba-tiba sebuah truk tentara berhenti di depan rumah. Saya harus naik truk dibawa tentara. Sedih sekali harus meninggalkan tujuh anak saya yang masih kecil-kecil. Saya tak sangka bahwa harus meninggalkan anak sebegitu lama,” tutur Mia lirih.

Kau naik ke truk sana!” bentak orang itu kepadaku. Aku pandangi anak-anak satu per satu dan hanya berucap, ”Wis ya cah,” dan berjalan meninggalkan mereka tanpa menoleh lagi. Aku tidak mencium mereka. Aku tahu kalau aku menciumnya, aku akan menangis dan itu tidak maui. Air mataku hanya untuk yang kukasihi, tidak untuk diperlihatkan kepada mereka yang memusuhi diriku

Tiga belas tahun hidup di penjara bukanlah sebentar. Mia berpindah dari Penjara Sleman, ke Benteng Vredeburg, lalu ke Penjara Wirogunan, dipindah lagi ke Pelantungan, sampai akhirnya pada 1978, ia bisa bebas dari Penjara Bulu, Semarang.

Selama 13 tahun Mia dipenjara tanpa pengadilan, setelah Orde Baru tumbang, atas desakan masyarakat internasional, Mia dan kawan-kawannya yang bernasib serupa dibebaskan secara bertahap. Di tahap awal, Mia masih berstatus tahanan kota, sebelum akhirnya diijinkan bepergian di dalam provinsi meski waktu dibatasi. Baru kemudian boleh pergi ke luar provinsi, paling lama dua minggu, dengan izin dan surat jalan dari RT, RW, Kelurahan dan Kodim. Sejak itulah, label ET (Eks Tapol) tertera manis di KTPnya, sebuah stigma terhadap tapol 1965 dan keluarganya. Dampaknya tidak sedikit, label itu menimbulkan diskriminasi terhadap mereka sebagai warga negara. Untuk label ini, Mia terus berjuang agar tidak ada lagi label ET , namun terus dipersulit oleh pemerintah. Bila sudah lolos di RT, RW, hambatannya selalu di tingkat kecamatan. Baru pada tahun 2006, KTP Mia bersih dari label ET.

Masa lalu Mia memang penuh luka, namun bagi Mia kebenaran harus terus ditegakkan, makanya merawat ingatan adalah penting. Kepada Sudjojono yang tak pernah menjenguk ia beserta anak-anaknya hingga meninggalnya pada tahun 1986, tak membuat Mia menaruh dendam. ”Semuanya adalah sejarah,” ujar Mia. Masih banyak kenangan baik tentang Sudjojono, yang masih tersimpan rapi di benak Mia. ”Rhino sedang menggembala kambing sambil nyanyi lagu-lagu rohani di dekat asrama Realino. Di sela lagu-lagu itu tiba-tiba ia menyanyi lagu ’Internasionale’ yang digubah Ki Hajar Dewantoro itu. Seorang biarawan mendekat, tanya namanya. ”Apa Bapakmu masih ada?” Rhino bilang, ”Sudah pergi, Romo....” Lalu ditanya lagi, ”Siapa namanya?” Rhino menjawab, ”Sudjojono.”

”Jadi, Romo itu tahu mengapa Rhino hafal lagu ’Internasionale’,” kata Mia.

Oleh banyak seniman, Mia dipandang punya kemampuan melukis yang garis-garisnya tak kalah dengan Sudjojono. ”Dulu kalau Bapak melukis, saya disuruh nungguin di sebelahnya. Lama-lama saya lihat, oo... melukis itu gampang ternyata,” kenang Mia.

Pengalaman hidup yang berat justru membuat Mia bertambah kuat, kala pertama kali bertemu dengan anak sulungnya, Bayu Sutedja, yang baru dibebaskan setelah 9 tahun dipenjara, Mia menyambutnya dengan semangat “C’est la vie.Inilah Hidup”

Keingingan Mia hanya satu, agar ada rehabilitasi nama eks tapol 1965, ”Dulu saya menunggu Orde Baru runtuh, lalu menunggu sampai Pak Harto meninggal, sekarang saya menunggu rehabilitasi nama eks tapol 65....”

Meski usia teus bertambah, Mia tidak berhenti berjuang, ia tuliskan kisah hidupnya melalui untaian kata dan tulisan. Usia tak pernah jadi hambatan bagi Mia untuk kebenaran dan keadilan yang ia damba. Sebelum kita lanjutkan kisahnya, kita nikmati dulu lagu yang satu ini (lagu dan iklan)

Mia akhirnya tutup usia. ia berpulang di usia 91 tahun, meninggalkan 8 anak, 20 cucu, dan 11 cicit. Seorang diri Mia Bustam berhasil membesarkan dan mengentaskan 8 anaknya menjadi orang-orang yang kuat dan berani menghadapi hidup, sekeras apa pun.

Satu hari sebelum meninggal, persis di hari pertama tahun 2011, Mia Bustam menyampaikan keinginannya untuk menambah satu bab tentang Soeharto pada naskah buku yang baru selesai digarapnya. Buku lanjutan kisah hidupnya, yang sekali lagi menuturkan kekejaman rezim Orde Baru terhadap lawan politiknya.
“Aku masih ingin nambah satu bab tentang Soeharto di buku yang baru selesai kutulis,” ujarnya lirih, nyaris tak terdengar. Dia kesulitan berbicara karena lendir di paru-parunya. Bicara dua menit, suaranya kembali hilang. Tangannya terlalu gemetar untuk memegang pena. Tak ada yang bisa dilakukannya selain berbaring di ruang tamu Nasti, anak keduanya, yang diubah menjadi kamar perawatan.
Ketika masih sehat, Mia Bustam tinggal di rumah sederhana berpagar tanaman dan bunga tak jauh dari rumah anak keduanya itu. Untung naskah terakhirnya sudah selesai ditulis, meski masih ingin menambah satu bab tentang Soeharto. Mungkin tak terlalu penting. Orang sudah banyak tahu tentang sepak terjang penguasa Orde Baru itu.

Akhirnya sampailah kita di penghujung acara kita, Perempuan Pelita. Mia Bustam, sosok perempuan tangguh ini, semangatnya akan terus bersama kita. Perjuangan sepanjang usia adalah perjuangan luar biasa dan patut kita jadikan contoh. Ya, buat sahabat marsinah, saya akhirnya undur diri dan seluruh kerabat kerja marsinah fm mengucapkan terimakasih, salam setara, sampai jumpa kamis ddepan di jam yang sama, di Perempuan Pelita, Marsinah 106 FM


Sambutan Delegasi LEKRA Pada Kongres Ke-V “Himpunan Sastrawan Jerman”

S. Rukiah Kertapati



Sahabat-sahabat, rekan-rekan, Kongres yang mulia,
Sungguh suatu kehormatan bagi kami dari Indonesia, utusan-utusan dari Lembaga Kebudayaan Rakyat, untuk menerima undangan dan menghadiri Kongres ke-V Himpunan Sastrawan Jerman ini.
Terimalah, sahabat-sahabat dan rekan-rekan, salam hangat dari Lembaga Kebudayaan Rakyat dan dari semua pekerja Kebudayaan Indonesia yang progresif dan berjuang, terutama sastrawan-sastrawannya.
Republik Demokrasi Jerman dan para pekerja kebudayaannya menempati posisi yang khas di hati pekerja-pekerja kebudayaan progresif Indonesia. Jerman bagi kami bukan hanya negeri yang tradisi kesusastraannya begitu tua dan bertaraf tinggi. Jerman bagi kami bahkan bukan hanya negeri tempat lahir Marx dan Engels, bapak gerakan kelas buruh yang besar sekali minat serta sumbangannya kepada kesusastraan Jerman. Jerman bagi kami pertama-tama negeri di mana cita-cita Marx dan Engels telah diubah dari impian menjadi kenyataan.
LEKRA didirikan di tahun 1950, ketika gelombang revolusi Indonesia surut, ketika setiap orang revolusioner menanti-nanti dan mengusahakan pasangnya kembali gelombang itu. Sejumlah tak banyak pengarang, pelukis, komponis, dan pekerja kebudayaan lainnya yang progresif mendirikan LEKRA, sembari bertekad untuk membantu menghidupkan kembali api revolusi, Revolusi Agustus kami yang kami mulai segera setelah kalahnya Hitler di tahun 1945.
Sekarang perjuangan Rakyat Indonesia sudah mencapai sejumlah hasil-hasil yang lumayan. Hampir semua kapital Belanda sudah dinasionalisasi, kapital Belgia juga sudah diambil alih, perjuangan pembebasan Irian Barat makin berkobar, partai-partai reaksioner sudah dilarang, begitu pula suratkabar-suratkabarnya. Di bidang kebudayaan telah diambil pula tindakan-tindakan positif oleh pemerintah seperti larangan atas barang-barang impor dari Amerika seperti rock ‘n’ rollhulla-hoop, buku-buku cabul, pemecatan terhadap elemen-elemen reaksioner dari panitia sensor film, dll. Dan LEKRA kini sudah tersebar di seluruh nusantara Indonesia, sudah menghimpun lebih dari 10.000 pengarang, dramaturg, pelukis, komponis, musisi, pekerja-pekerja film dan pekerja-pekerja kebudayaan lainnya. LEKRA terdiri dari Lembaga Sastra Indonesia, Lembaga Musik Indonesia, Lembaga Tari Indonesia, dan Lembaga Film Indonesia; LEKRA adalah organisasi massa pekerja-pekerja kebudayaan Indonesia. Tetapi tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 45 belum diselesaikan semuanya. Masih berat dan pelik tugas-tugas yang ada di hadapan kami. Kami jauh daripada puas atas hasil-hasil yang telah kami capai, dan kami delegasi LEKRA ini datang untuk belajar dari sahabat-sahabat dan rekan-rekan.
Betapa tidakkah kami katakan tugas kami masih berat dan pelik, sebab di samping imperialisme yang masih punya kekuasaan di Indonesia, teritorial, politis, ekonomis maupun kulturil, feodalisme juga masih punya tubuh dan nyawanya. LEKRA mendidik anggota-anggotanya supaya selalu mempererat hubungannya dengan massa, antara lain dengan metode kerja “turun ke bawah”, dan supaya senantiasa mengejar “dua tinggi”, yaitu tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik. Dengan demikian, dengan diilhami oleh perjuangan massa Rakyat melawan imperialisme dan feodalisme, pekerja-pekerja kebudayaan anggota LEKRA berusaha menambahkan kayu bakar yang sebaik-baiknya bagi api perjuangan itu.
Tetapi segala yang berat terasa ringan, karena kami tahu bahwa di mana-mana kami punya sahabat, apalagi di Jerman ini. Kami sangat berterima kasih atas segala bantuan yang diberikan oleh rakyat RDD (Republik Demokrasi Djerman–red.) kepada perjuangan kami, khususnya perjuangan pembebasan Irian Barat. Sahabat-sahabat di sini masih harus menyatukan kembali negeri. Kami pun demikian. Dan baik diingat bahwa Irian Barat yang kini masih diduduki kaum imperialis Belanda yang dibantu oleh kaum imperialis Jerman Barat, luasnya kurang lebih 3,5 kali Jerman Barat. Apakah tidak adil kami menuntut pembebasannya? Kami menyokong sikap sahabat-sahabat di sini terhadap Jerman Barat, sepenuhnya dan tanpa syarat, seperti sahabat-sahabat menyokong kami sepenuhnya dan tanpa syarat.
Berjuang untuk kemerdekaan nasional yang penuh bagi kami, yang terkadang disebut orang “perut Asia Tenggara” berarti sekaligus berjuang untuk perdamaian, perdamaian di antara bangsa-bangsa, perdamaian dunia yang kekal, seperti halnya bagi sahabat-sahabat, bagi Jerman–“jantung Eropa”. Dalam hal ini pun, kita seia-sekata.
Tetapi karena sahabat-sahabat di sini berada dalam taraf perjuangan yang lain daripada kami, karena sahabat-sahabat sudah memilih jalan Sosialisme dan sedang membangunnya secara besar-besaran, karena dalam “Undang-Undang tentang Plan Tujuh Tahun untuk pengembangan ekonomi nasional Republik Demokrasi Jerman dari tahun 1959 hingga tahun 1965” antara lain ditetapkan bahwa selama masa itu akan ditanamkan penanaman negara sebesar 600 juta mark dan dibangunkan 12 rumah kebudayaan dengan kapasitas 9.000 di pusat-pusat industri dan 65 rumah kebudayaan dengan kapasitas 30.000 di kota-kota kecil dan daerah-daerah pedesaan, tentulah masalah-masalah yang dihadapi sahabat-sahabat dan rekan-rekan di sini berlainan daripada masalah-masalah kami. Sungguh pun demikian, dalam hal-hal yang hakiki seperti mengembangkan azas kerakyatan dalam literatur, azas “Politik adalah panglima”, azas “dua tinggi – tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik”, dan sebagainya, saya yakin bukan saja masalah kita bersamaan, tetapi sikap kita, juga metode kita, bersamaan. Di sinilah, dalam pendapat saya, perlunya saling belajar antara sastrawan kedua bangsa kita.
Hubungan-hubungan kita bukanlah hubungan-hubungan yang baru dibangun tadi malam. Ketika LEKRA belum lagi berumur setahun, yaitu pada Festival Pemuda dan Pelajar Sedunia di Berlin sini, LEKRA mengirimkan seniman-senimannya yang terkemuka seperti Henk Ngantung, Hendra, Sudjojono, Sudharnoto, M.S. Ashar, Hadi Sosrodanukusumo, dll. Dan dengan demikan, hubungan luar negeri yang pertama yang dilakukan LEKRA adalah justru dengan negeri-negeri sahabat. Kami merasa sangat berbahagia bahwa ketika kami melangsungkan Kongres Nasional LEKRA yang pertama di awal tahun 1959 dari sini datang Sdr. Prof. Nathan Notowocz dari Himpunan Komponis, dan bahwa di tahun itu juga berkunjung ke negeri kami penyair Kurt Barthels alias Kuba. Sekarang sedang berkunjung di Indonesia pemiano Brettschneider dan sejumlah seniman lainnya lagi datang dari RDD, mempererat hubungan-hubungan kebudayaan kita.
Kami yakin bahwa bahasa tukar-menukar kebudayaan ini akan kian berkembang, karena apa yang lebih terdengar oleh rakyat selain bahasa ini?
Sekali lagi atas nama LEKRA, dan khususnya Lembaga Sastra Indonesia, saya menyampaikan salam yang sehangat-hangatnya kepada sahabat-sahabat, rekan-rekan dan Kongres yang mulia, dan saya berharap, ya, saya percaya bahwa Kongres ini akan menyelesaikan pekerjaannya dengan berhasil!
Terima kasih atas perhatiannya.

Sumber: Indoprogress 

Rabu, 04 Juni 2014

Kamp Pengasingan Moncongloe


Penulis: bpnbmakassar | June 4, 2014


Dengan memilih kehidupan komunitas Tahanan Politik (TAPOL) PKI di daerah pengasingan mereka di Moncongloe, Sulawesi Selatan, buku ini berhasil menyingkap bagaimana proses pelabelan Order Baru terhadap mereka yang dianggap PKI, bagaimana kehidupan mereka di Penjara, kontrol dari agen-agen negara di sana, lalu berpindah ke Kamp Pengasingan di Moncongloe, suatu Kamp Pengasingan yang dikontrol oleh Militer.

Kontrol negara Orde Baru belum selesai, setelah para Tapol keluar dari Kamp Pengasingan dan hidup di tengah masyarakat biasa. Kontrol militer beralih ke kontrol sosial, dimana memori kolektif masyarakat setempat yang telah dikuasai negara Orde Baru mengenai pandangan negatif terhadap Tapol PKI masih sangat kuat.

Dalam hal ini pengarang berhasil menjajaki tidak saja sejarah keseharian mereka di Pengasingan, tetapi juga berhasil menguak sejarah mentalitas mereka, menguak bagian-bagian terdalam pengalaman dan pandangan mereka terhadap pengalaman-pengalaman yang dilalui sebagai kelompok marginal.

Ada makna mendalam yang dapat diambil dari kisah mereka, Rasa Solidaritas tinggi, komitmen yang kokoh, terpatri dalam diri mengadapi berbagai kekuatan (Dr. Erwiza Erman, sejarawan LIPI)

Resensi Buku

Kamp Pengasingan Moncongloe sebuah tulisan sejarah tentang PKI yang ada di Sulawesi Selatan. Buku ini berusaha mengungkap pengasingan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap orang-orang PKI, yang menarik dalam buku ini karena ditulis menurut persfektif korban. Dalam sejarah dikenal dengan sejarah arus bawah, hal ini dapat dilihat dari sumber-sumber yang digunakan lebih banyak menggunakan wawancara yang dilakukan terhadap korban-korban yang pernah jadi penghuni Kamp

Pengasingan Moncongloe.

Moncongloe sebuah daerah yang berada di perbatasan Maros dan Gowa, sekitar 25 Km dari ibukota kabupaten Gowa dan 15 km dari kabupaten Maros. Penumpasan dan Penangkapan terhadap anggota dan simpatisan PKI pasca tragedi G30S jumlah Tahanan polItik bertambah secara drastis sehingga sel-sel tidak mampu menampung Tapol dan meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan untuk keperluan Tapol. Kemudian muncul Moncongloe sebagai tempat pembinaan dalam bentuk pengasingan sehingga Tapol dapat mandiri. 

Moncongloe dipilih karena dianggap aman dan mampu dikontrol oleh militer sebab Moncongloe dikelilingi markas militer Kodam XIV Hasanuddin.

Tapol yang menghuni Inrehab Moncongloe sebanyak 911 orang yang terdiri atas 52 Perempuan dan 859 Laki-laki yang berasal dari berbagai daerah yang berlangsung secara bergelombang mulai 1969 sampai 1971.

250 tapol didatangkan dari penjara Makassar pada tahun 1961 dan menjelang pemilihan umum 1971 Tapol didatangkan dari Majene, Mamasa, Pinrang, Parepare, Barru, Pangkep, Maros, Palopo, Tana Toraja, Bone, Gowa, Takalar, Bantaeng, Bulukumba, dan Selayar. Akan tetapi tidak semua penghuni Inrehab Moncongloe murni anggota PKI. Sebagian dari mereka hanya karena korban salah tangkap atau mereka yang di PKI kan.

Selama di Moncongloe Tapol tidak hanya dituntut untuk memenuhi kehidupannya tapi juga harus mampu berproduksi untuk memenuhi kebutuhan militer baik kepentingan institusi maupun kepentingan pribadi petugas Inrehab.

Ada beberapa pola Eksploitasi tenaga Tapol pertama korve dan konsentrasi Tapol di Kamp Inrehab, Tapol dibagi dalam beberapa regu korve yang terdiri dari korve penebang pohon, korve gergaji, korve pencari batu, korve penebang bambu.
Kedua Tapol dikerahkan untuk bekerja pada proyek pembangunan unit kantor Kodim dan perumahan militer serta rumah pribadi anggota militer.
Ketiga Tapol bekerja di rumah-rumah anggota Kiwal Kodam XIV Hasanuddin. Tapol terkadang mengalami eksploitasi berlapis adanya kepentingan pribadi petugas Inrehab dan kepentingan institusi militer sehingga untuk memenuhi kebutuhan pribadi Tapol sangat susah.

Eksploitasi sangat dirasakan oleh tapol karena hasil dari pekerjaan hanya dinikmati oleh petugas Inrehab sehingga resistensi bukanlah hal baru yang dilakukan oleh Tapol. Bentuk resistensi yang paling sederhana dilakukan adalah bermalas-malasan bekerja di kebun petugas terutama kebun yang jaraknya jauh dari lokasi Inrehab sehingga pengawasanpun longgar.

Bentuk resistensi lainnya adalah merusak kebun petugas secara sembunyi-sembunyi dan melakukan hal-hal yang merugikan petugas Inrehab. Diwaktu lain politik akomodasi menjadi jalan untuk bertahan dengan jalan berusaha mendekati petugas secara personal dengan cara memberikan hasil hutan kepada petugas sehingga terhindar dari perlakuan keras petugas Inrehab.

Pengasingan terhadap Tapol berkahir pada tahun 1979 namun tidakk berarti persoalan hidup mereka selesai, mereka tetap memilkul berbagai hukuman kolektif, justru kehidupan mereka lebih berat, karena dikucilkan dalam pengasingan itu wajar namun dikucilkan ditengah kehidupan sosial akan mengarah pada depresi dan kehilangan kepercayaan diri. Diperlukan waktu yang cukup lama untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, hal itu bukan perkara mudah apalagi dengan status sebagai eks Tapol yang harus menerima stigmatisasi “tidak bersih lingkungan” yang dilakukan secara intensif oleh pemerintah Orde Baru.

Pembebasan Tapol hanya merupakan perubahan pengontrolan Negara terhadap Tapol dari kontrol fisik dalam Kamp Inrehab menjadi kontrol sosial di lingkungan masyarakat, pemerintah mengeluarkan berbagai ketentuan yang membatasi dan mengontrol secara efektif ruang gerak eks Tapol. Lebih parah lagi stigma tidak bersih lingkungan tidak berhenti pada tapol itu saja tapi menjalar sampai anak dan cucuc mereka hingga melahirkan suatu bentuk pengasingan baru di tengah lingkungan masyarakat.

Sejarah komunitas Tapol Mongcongloe setidaknya telah mengantarkan kita pada kedewasaan dalam memahami perkembangan politik setelah gerakan 30 September 1965 di Sulawesi Selatan. Tapol menjadi tema Sejarah Indonesia yang penting sebab komunitas tahanan politik bukanlah suatu komunitas tanpa sejarah, tetapi mereka adalah orang-orang yang membuat sejarah sehingga perlu ditulis untuk memahami secara utuh perjalanan sejarah sosial negeri ini.
(Sumber: Desantara Foundation)
Penerbit : Desantara Foundation