HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Jumat, 30 Januari 2015

Allan Nairn: Jokowi Harus Berani Adili Wiranto, Sutiyoso, dan Hendropriyono


Jumat, 30 Januari 2015 20:32 WIB

Allan Nairn, jurnalis investigasi asal Amerika diundang ke Komnas HAM, Jakarta, Senin (3/11/2014). Tribunnews.com/Taufik Ismail

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jurnalis investigasi AS, Allan Nairn, melihat kejahatan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia masih terus berlangsung.

Menurutnya, peran pemerintah sangat diperlukan untuk menghilangkan kejahatan HAM tersebut.
"Kalau presiden Jokowi ikhlas tentang penegakan hukum HAM, dia harus berani mengadili pembunuh besar," kata Allan di kantor Kontras, Jakarta, Jumat (30/1/2015).
Allan menilai, ada orang-orang dekat Jokowi yang terlibat masalah HAM di masa lalu.

Menurutnya, Jokowi harus mengadili orang-orang tersebut jika memang konsisten terhadap penegakan HAM.
"Seperti jenderal Wiranto, Sutiyoso, dan AM Hendropriyono," tuturnya.
Masih kata Allan, kalau presiden Jokowi serius tangani masalah HAM dengan langkah yang cukup sederhana.

Misalnya membuka kasus pelanggaran HAM belum selesai seperti kasus Trisakti, pembunuhan massal di Talangsari dan pembunuhan Munir.

Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Hasanudin Aco

Sumber: http://m.tribunnews.com/nasional/2015/01/30/allan-nairn-jokowi-harus-berani-adili-wiranto-sutiyoso-dan-hendropriyono?fbclid=IwAR1ZefYegRwdv2C09AGXRcu7Oy1-UfT0Y-XcYghJE8EVNFMOvH2tQBgesDU

Jumat, 23 Januari 2015

Foto-Foto & Cerita Keji Pembantaian PKI

Senin, 05 Januari 2015

Para Korban Peristiwa 1965, Mencari Kebenaran Di Antara Dua Sisi


JANUARY 5, 2015

JOSHUA OPPENHEIMER DAN ADI, ADIK RAMLI. “Dua film Oppenheimer yang mencoba menggali ingatan tentang dimensi kejahatan kemanusiaan, meskipun tidak cukup adil mencari kebenaran pada dua sisi, tidak perlu terlalu dirisaukan. Apa yang dilakukan Oppenheimer pada hakekatnya tak beda dengan yang dilakukan oleh satu-dua sejarawan yang hanya mau menggali kebenaran satu sisi atau per penggal dari suatu peristiwa. Suatu hal yang sayangnya berkali-kali juga dilakukan Komnas HAM di tahun-tahun terakhir ini.” (photo download AFP/Getty Images)

PRAKARSA sejumlah aktivis HAM menayangkan film dokumenter “Senyap” –The Look of Silence– di sejumlah kota, menimbulkan pro kontra akhir tahun 2014 di tengah masyarakat. Beberapa acara penayangan, termasuk di lingkungan perguruan tinggi, dihentikan sepihak oleh sekelompok massa yang kontra, yang antara lain karena menganggap karya sutradara Joshua Oppenheimer itu sebagai “film PKI.” Lembaga Sensor Film (LSF) juga menolak film tersebut diputar untuk umum di bioskop-bioskop.

LSF menganggap film “Senyap” –yang merupakan karya berikut Oppenheimer setelah “Jagal” atau The Act of Killing– secara tersirat mengarahkan penonton bersimpati kepada PKI dan ajaran komunisme. Ini dikuatirkan LSF dapat menimbulkan ketegangan sosial politik dan melemahkan ketahanan nasional.

“Film ini bersumber dari histories recite (sejarah sebagaimana dikisahkan) bukan sebagai histories realite (sejarah sebagaimana yang terjadi). Film ini memperlihatkan anakronisme dari kisah yang dibangun dan merupakan snapshot (fragmen) yang mengandung tujuan tertentu. Karena itu film ini hanya dapat dipertunjukkan untuk kalangan terbatas dan tidak layak untuk konsumsi publik.”

Untuk sebagian, alasan LSF mungkin terasa klise, tetapi ada juga benarnya. Peristiwa-peristiwa kejahatan kemanusiaan sebelum dan sesudah Peristiwa 30 September 1965, hingga kini masih menjadi sumber polarisasi sikap di sebagian terbesar masyarakat. Peristiwa kekerasan di seputar peristiwa itu sendiri, faktanya memang adalah kekerasan balas berbalas yang mencipta suatu malapetaka sosiologis. 
Dan tak ada pihak yang merasa lebih bersalah daripada pihak yang lain. Fakta politik menunjukkan bahwa pada kurun waktu sebelum dan sesudah tahun 1965 pada hakekatnya terjadi pertarungan politik antara kekuatan politik komunis dengan kekuatan non komunis. Di tengah-tengah, terjepit sebagian besar anggota masyarakat, yang bukan bagian dari keduanya, namun ikut menjadi korban dengan jumlah korban tak kalah besar.

Semua pihak, yang di kiri maupun yang di kanan, tak terkecuali yang di tengah, memelihara ‘dendam’nya sendiri secara berkepanjangan, berdasarkan luka dari penderitaan yang mereka anggap tak kunjung terselesaikan secara adil. Beberapa di antara mereka mencoba menjinakkan rasa perih dalam diri mereka, yang dengan berjalannya waktu berangsur-angsur berhasil. Namun, ada saja faktor ‘baru’ yang ganti berganti muncul membuat luka kembali basah.

Kenapa faktor ‘baru’ atau ‘diperbarui’ itu muncul dan bisa membuat luka kembali basah, tak lain karena belum berhasilnya kebenaran sejati dari peristiwa itu bisa dijelaskan dengan fakta berdasarkan –meminjam terminologi LSF– histories realite. Secara bersama,hingga sejauh ini bangsa ini belum berhasil membentuk suatu Komisi Kebenaran yang terpercaya dan mampu menghadirkan kebenaran sejati dari semua sisi yang bisa menjadi sandaran referensi bersama dalam menilai peristiwa sejarah yang telah dialami. Peristiwa seputar tahun 1965 dan 1966 ini, memiliki skala yang tidak kecil, mengingat jumlah korbannya setidaknya 500.000 orang bahkan kemungkinan besar mencapai angka jutaan. Suatu referensi kebenaran sejati, membantu untuk meredakan kemarahan dalam diri berjuta-juta orang,terutama generasi muda, yang sebagian besar pada hakekatnya adalah warisan ‘sejarah’ melalui penuturan.

Korban. 

BERAPA korban dalam malapetaka sosiologis pasca Peristiwa 30 September 1965? Pertengahan Desember 1965 Presiden Soekarno membentuk Fact Finding Commission (FFC) untuk mengetahui berapa korban kekerasan kemanusiaan setelah peristiwa. FFC yang diketuai Menteri Dalam Negeri Dr Soemarno Sosroatmodjo, melaporkan jumlah 80.000 korban. Tetapi salah satu anggota FFC, Menteri Oei Tjoe Tat SH, melaporkan tersendiri perkiraannya kepada Soekarno, dan menyebut angka 500.000-600.000 korban.

Menurut wartawan senior Julius Pour dalam bukunya G30S, Fakta atau Rekayasa (Kata Hasta Pustaka, 2013) “jumlah korban selalu menjadi bahan pergunjingan.” Julius menulis, meski FCC secara resmi telah mengumumkan jumlah korban tewas sekitar 80.000 orang, Rum Aly (Redaktur Mingguan Mahasiswa Indonesia) –dalam buku Tititik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, terbit 2006– tidak percaya terhadap angka tersebut.
“Perkiraan moderat menyebutkan angka 500.000 jiwa. Perhitungan lain, berkisar antara 1.000.000 sampai 2.000.000. Tetapi, Sarwo Edhie yang banyak berada di lapangan, pasca peristiwa, baik di Jawa Tengah, Jawa Timur maupun di Bali, suatu ketika menyebut angka 3.000.000. Hingga akhir hayatnya, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo tidak pernah meralat angka korban tewas yang sudah pernah dia sebutkan.”
Menurut Rum Aly, Sarwo Edhie memiliki catatan mengenai seluruh pengalamannya di seputar Peristiwa 30 September 1965 dan sesudahnya, termasuk tentang malapetaka sosiologis tersebut. Mungkin ada angka-angka signifikan dalam catatan tersebut. Namun sayang, catatan Sarwo Edhie itu ‘hilang’ di tangan orang yang dititipi justru dalam rangka usaha menerbitkannya.
“Mengingat integritas dan reputasi kejujuran Sarwo Edhie, catatan itu pasti berisikan hal-hal yang amat berharga dan relatif tidak mengandung unsur pemalsuan sejarah. Atau catatan itu justru ‘hilang’ karena bersih dari pemalsuan sejarah?”
Angka 3.000.000 korban disebutkan oleh Letnan Jenderal Sarwo Edhie, antara lain dalam percakapan dengan beberapa Manggala BP7 –salah satu di antaranya, Hatta Albanik MPSi– yaitu saat sang jenderal menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.

Buku Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, lebih jauh mengungkapkan, bahwa pada tahun-tahun 1966-1967 hingga beberapa tahun berikut, berbagai pihak, termasuk pers Indonesia cenderung menghindari menyentuh dan membicarakan mengenai pembasmian berdarah-darah ini, terutama terhadap pengikut PKI. Hanya ada beberapa pengecualian, seperti misalnya Soe-Hokgie melalui tulisan-tulisannya, termasuk di Mingguan Mahasiswa Indonesia, edisi pusat maupun edisi Jawa Barat. Adalah karena tulisan-tulisannya, Soe-Hokgie berkali-kali menjadi sasaran teror.

Di tahun 1966, melalui tulisannya di Mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat, cendekiawan muda dari ITB Mudaham Taufick Zen yang lebih dikenal sebagai MT Zen pernah menyentuh substansi masalah tersebut. MT Zen menggambarkan adanya suasana ketakutan rakyat Indonesia terhadap teror PKI selama beberapa tahun terakhir, sebagaimana yang kemudian ‘terbukti’ di Lubang Buaya. Dalam suasana itu, “sebagai akibat selalu ditangguhkannya political solution yang dijanjikan Bung Karno, maka terjadilah pembunuhan besar-besaran di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta tempat-tempat lain di Indonesia.”

Perlu dicatat bahwa setelah terjadinya Peristiwa 30 September 1965, suratkabar-suratkabar milik tentara dan atau dipengaruhi tentara, seperti AngkatanBersendjata dan Berita Yudha, sangat berperanan dalam mengkampanyekan kekejaman PKI, terutama di Lubang Buaya. Brigadir Jenderal Sunardi DM dalam sebuah percakapan dengan Rum Aly di tahun 1986 –beberapa bulan sebelum almarhum– mengakui adanya kampanye seperti itu, untuk membangkitkan ‘perlawanan’ rakyat terhadap PKI. Penggambaran kekejaman yang dilakukan terhadap enam jenderal dan seorang perwira pertama Angkatan Darat betul-betul berhasil menyulut kemarahan massal di seluruh Indonesia, dengan dampak yang luar biasa dahsyat.

Baru belakangan diketahui bahwa banyak berita yang dilansir amat dilebih-lebihkan. Mingguan Mahasiswa Indonesia sendiri, kendatipun merupakan media yang menonjol sikap anti komunisnya, tetap mampu memisahkan masalah kejahatan kemanusian dan pelanggaran hak azasi dari dimensi subjektivitas politik, termasuk yang menimpa anggota-anggota PKI. Mingguan itu memberi tempat kepada berbagai berita ekses, termasuk mengenai masalah tahanan politik seperti pengungkapan angka 80.000 tahanan politik oleh Herbert Feith dan kemudian bahasan-bahasan ‘ilmiah’ Pater MAW Brouwer mengenai Marxisme dan tentang nasib orang-orang PKI. Teguran-teguran per telepon yang disampaikan oleh pihak aparat militer, diabaikan.

Terlepas dari kampanye berlebih-lebihan dari kalangan tentara, memang di masyarakat juga tercipta tumpukan kebencian akibat sepak terjang PKI ketika berada di atas angin antara tahun 1960-1965 dalam berbagai bentuk, mulai dari kekerasan fisik maupun psikologis. Tumpukan kebencian tersebut, ditambah berita keterlibatan PKI dalam pembunuhan para jenderal dinihari 1 Oktober 1965, maupun kenangan Peristiwa Madiun 1948, menjadi pendorong utama gerakan penghancuran yang melibatkan anggota masyarakat secara luas.

Bila pada awalnya, di wilayah perkotaan sasaran penghancuran hanyalah bangunan-bangunan fisik perkantoran partai dan organisasi mantelnya, pada proses selanjutnya di beberapa daerah dengan cepat berubah menjadi kekerasan yang mengalirkan darah dan melenyapkan nyawa. Ladang ‘pembantaian’ utama adalah daerah-daerah di Jawa Timur yang dilakukan terutama oleh massa NU (Nahdatul Ulama) dan Barisan Ansor Serba Guna (Banser), Jawa Tengah dan Bali dengan penggerak utama dari kalangan PNI (Partai Nasional Indonesia) kendati di tingkat nasional PKI dan PNI adalah kawan sebarisan yang mendukung konsep Nasakom (Nasional-Agama-Komunis) Pemimpin Besar Revolusi Soekarno. Pembantaian serupa dalam skala yang lebih kecil terjadi pula di daerah-daerah seperti Sumatera Utara –lokasi bagi film “Senyap” dan “Jagal”– maupun Sulawesi Selatan, secara sporadis di Jawa Barat dan aneka peristiwa insidental di berbagai wilayah Nusantara lainnya.

Korban terbanyak tentu saja adalah lapisan terbawah massa PKI. Namun harus dicatat bahwa tak kurang banyaknya korban-korban dari kalangan masyarakat biasa yang bukan anggota partai tersebut. Karena, di waktu yang sama terjadi pula pemanfaatan situasi untuk mengeliminasi seteru di antara masyarakat sendiri serta korban-korban fitnah tak berdasar.

Sesungguhnya, massa PKI bukanlah penderita dan korban tunggal, karena ada begitu banyak korban lain di masyarakat, termasuk kaum abangan, karena bekerjanya fitnah dan kesempatan membalas entah dendam dan kebencian apa di masa sebelumnya. Bahkan di kalangan pengikut komunis sendiri terjadi pengkhianatan satu sama lain dengan berbagai motif, termasuk untuk menyelamatkan diri, yang berakibat kematian mereka yang dikhianati. Tentara-tentara kesatuan tertentu yang tadinya diketahui ‘dibina’ PKI pun banyak yang berbalik menjadi algojo dengan kekejaman ekstrim terhadap anggota PKI sendiri.

POSTER PKI TAHUN 1960. “Korban terbanyak tentu saja adalah lapisan terbawah massa PKI. Namun harus dicatat bahwa tak kurang banyaknya korban-korban dari kalangan masyarakat biasa yang bukan anggota partai tersebut. Karena, di waktu yang sama terjadi pula pemanfaatan situasi untuk mengeliminasi seteru di antara masyarakat sendiri serta korban-korban fitnah tak berdasar. Sesungguhnya, massa PKI bukanlah penderita dan korban tunggal, karena ada begitu banyak korban lain di masyarakat, termasuk kaum abangan, karena bekerjanya fitnah dan kesempatan membalas entah dendam dan kebencian apa di masa sebelumnya.” (download Monash.Edu)


Pelaku. 

Siapa sajakah dan seperti apakah para pembunuh dalam peristiwa-peristiwa berdarah ini, dan siapa korban mereka pada tahun-tahun itu? Seorang siswa SMA, putera seorang penegak hukum yang bertugas di Malang, Sjahrul –yang kemudian menjadi aktivis mahasiswa di Bandung sejak tahun 1967– mengisahkan betapa di pagi hari merupakan pemandangan biasa bila ada kepala manusia hasil pembantaian tergantung di pagar kantor ayahandanya. Keikutsertaan sebagai pembantai bahkan kerapkali dianggap semacam tugas suci oleh beberapa anak belasan tahun.

“Seorang teman sekolah saya di SMA, kerap bercerita, mengenai pengalamannya beroperasi pada malam sebelumnya”.
Kelakuan para remaja yang terbawa arus melakukan pembantaian tampak berangsur-angsur menjadi tidak wajar. Seringkali ada pengakuan dan dugaan bahwa pembunuhan sesama manusia itu dilakukan karena diperintah, oleh tentara misalnya, tetapi menurut Sjahrul cukup banyak yang melakukannya semata-mata karena terbawa arus saja dan akhirnya terbiasa melakukan tanpa disuruh.

Membunuh itu, bisa mencandu, menimbulkan ekstase. Apalagi bila para korban tak berdaya meratap memohon, itu akan merangsang para pelaku lebih menikmati keperkasaan kekuasaannya. Dalam The Look of Silence para eksekutor Ramli yang dituduh pengikut PKI, juga memperihatkan gejala psikologis serupa.

Pada beberapa kalangan massa organisasi Islam saat itu, pembasmian anggota PKI yang  dianggap anti Tuhan, bahkan diyakini sebagai bagian tugas membela agama. Di Jawa Timur, seringkali dikisahkan bahwa pada masa itu, setiap hari Kali Brantas penuh dengan tubuh hanyut manusia yang telah diberantas. Kasat mata dan menurut perkiraan, jumlah korban yang jatuh di Jawa Timur jumlahnya melebihi jumlah korban peristiwa-peristiwa di Jawa Tengah. Sedang di Sumatera Utara, menurut film The Act of Killing Oppenheimer para pembunuh adalah anggota organisasi Pemuda Pancasila yang menganggap kaum komunis adalah musuh negara –dan membahayakan Pancasila– yang harus dibasmi.

Kebenaran. 

Dua film Oppenheimer yang mencoba menggali ingatan tentang dimensi kejahatan kemanusiaan, meskipun tidak cukup adil mencari kebenaran pada dua sisi, tidak perlu terlalu dirisaukan. Apa yang dilakukan Oppenheimer pada hakekatnya tak beda dengan yang dilakukan oleh satu-dua sejarawan yang hanya mau menggali kebenaran satu sisi atau per penggal dari suatu peristiwa. Suatu hal yang sayangnya berkali-kali juga dilakukan Komnas HAM di tahun-tahun terakhir ini. Dan semuanya itu jelas tak kalah buruknya dengan kebenaran sepihak yang dikedepankan para ‘sejarawan’ tentara di masa lalu yang menumpahkan segala kesalahan sejarah kepada PKI sendirian, tanpa melihat tali temali aksi-reaksi dari segala peristiwa.

Maka, inisiatif lembaga-lembaga masyarakat yang ingin menayangkan film “Senyap”, tidak perlu dilarang. Dan mereka yang ingin menontonnya, pun tentu saja tak perlu dihambat. Namun, sebaliknya LSF yang tidak memberi izin edar untuk umum, pun tak perlu dituduh sebagai bersikap ala orde baru, karena alasan LSF dalam banyak hal cukup masuk akal.

MENGAPA kita tidak kembali berpikir mengenai suatu Komisi Kebenaran untuk berbagai peristiwa sejarah dengan kandungan kejahatan kemanusiaan yang pernah terjadi dan telah membelah rasa kebersamaan dan menghancurkan moral kebenaran sebagai bangsa selama ini?
Mulai dari kejahatan kemanusiaan pada dua sisi di seputar Peristiwa 30 September 1965 tentunya. Lalu, Pemberontakan DI/TII, Pelanggaran HAM masa DOM Aceh pada dua sisi pelaku (yakni Militer RI maupun GAM), seputar Peristiwa Mei 1998, tak terkecuali Peristiwa Santa Cruz –meskipun Timtim telah menjadi Timor Leste– sampai Pembunuhan Munir dan beberapa pelanggaran HAM lainnya.

Tidak harus pencarian kebenaran selalu berujung pada suatu proses peradilan, karena kebenaran pun berfungsi memudahkan pencapaian rekonsiliasi bangsa. Selain itu, tradisi pencarian kebenaran, akan bersifat mencegah ketidakbenaran lebih lanjut. Terpenting dalam konteks ini, publik mendapat kebenaran sejati dari setiap peristiwa sebagai pedoman terpercaya agar mampu turut serta dalam suatu upaya rekonsiliasi mengutuhkan bangsa dalam semangat keadilan. Kebenaran membawa keadilan. (socio-politica.com)

Jumat, 02 Januari 2015

Penguasaan Gedung Sarekat Islam Semarang dari Masa ke Masa

2 Januari 2015 | Yunantyo Adi S

Wajah bangunan bersejarah Gedung Sarekat Islam Semarang setelah selesai dipugar oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah. Pemugaran dimulai pada awal September 2014 dan selesai dipugar pada 22 Desember 2014. (yas)

PEKERJAAN pemugaran bangunan bersejarah Gedung Sarekat Islam (SI) Semarang (atau dulunya juga bernama Gedung Rakyat Indonesia (GRI) dan sekarang bernama Balai Muslimin Semarang) telah diselesaikan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jateng pada 22 Desember 2014.

Menurut rencana, serah terima dari BPCB Jateng serta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Tengah (selaku penyumbang dana pemugaran) kepada pengelola wakaf akan dilakukan pada Januari 2015.

Gedung SI Semarang saat ini dikelola Yayasan Balai Muslimin (Yabami), sebuah yayasan yang di dalamnya terdiri dari unsur NU, Muhammadiyah, dan ormas Sarekat Islam Anwar Tjokroaminoto. Dari catatan sejarah, bangunan bersejarah ini telah mengalami pergantian penguasaan dari masa ke masa setelah meletusnya Pemberontakan 1926/1927 di Tanah Air. Bagaimana ceritanya?

Berdasarkan Buku Tanah Milik No 369 Wakaf, tanah seluas 1.130 m2 yang di atasnya berdiri bangunan Gedung Sarekat Islam yang terletak di Jl Gendong Selatan 1144 Semarang merupakan harta benda wakaf yang diwakafkan Haji Boesro. Nama Haji Boesro selaku wakif (pemberi harta benda wakaf) nyata-nyata tertera dalam buku tanah tersebut.

Menurut surat kabar resminya Sarekat Islam Semarang, yaitu surat kabar Sinar Djawaedisi 7 Mei 1917 dalam catatan kaki Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah (1999, halaman 6), disebutkan bahwa Haji Boesro merupakan salah satu komisaris SI Semarang saat Semaoen mengetuai organisasi tersebut sejak tahun 1917.
Adapun bangunan gedung di atas tanah wakaf itu bukan merupakan wakaf dari Haji Boesro, tetapi menurut surat kabar Sinar Djawa edisi 7 Maret 1921 (dalam Dr Dewi Yuliati, Gedong Sarekat Islam Semarang: Pemendam Bara Nasionalisme Indonesia disosialisasikan di Balai Kota Semarang 24 Oktober 2013), diberitakan bangunan di atas tanah wakaf itu didirikan oleh masyarakat atas prakarsa Semaoen dkk, yang biaya pembangunannya berasal dari iuran-iuran anggota SI dan iuran-iuran masyarakat umum, tanpa memandang profesi, ideologi, agama, maupun etnis.

Disebutkan, gedung mulai dibangun pada tahun 1919 dan selesai dibangun pada tahun 1920. Total biaya pembangunan adalah f.10.061,925. Kontribusi dari anggota SI dan derma dari publik adalah f.8.641,47. Sampai 31 Desember 1920 masih ada kekurangan dana sebesar f.1.447,445. (“Vergadering Tahoenan SI Semarang” dalam Sinar Djawa, 7 Maret 1921).

Sumber-sumber sejarah menyebutkan, awal-awal berdirinya, yang menggunakan gedung itu adalah Sarekat Islam, Budi Utomo, Nationaal Indische Partij, Vereeniging Spoor en Tramweg Personeel (VSTP), SI School, Partai Komunis Indonesia (PKI), Revolusioner Vaksentral, Sarekat Rakyat, kaum Tionghoa, dll. Tokoh-tokoh pergerakan awal yang menggunakan gedung itu untuk keperluan politik antara lain Semaun, Darsono, Haji Boesro, HOS Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, Alimin, Tan Malaka, Bergsma, Tjioto Manoenkoesoemo, Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dll.

Setelah kejadian pemberontakan rakyat melawan kolonial Belanda di Banten pada Desember 1926, gedung itu digembok oleh Komite Perawat Gedung maupun digemok pula oleh ditutup militer Belanda sampai tahun 1929.

Gedung asli bangunan Sarekat Islam (SI) Semarang. Foto yang didapat dari mantan ketua Yayasan Balai Muslimin Semarang Sjamsuddin Hamidy ini diambil tahun 1978.

Menurut kesaksian Tjipto (atas nama Persatuan Perintis Kemerdekaan cabang Semarang, 1980) dalam Riwayat Gedung Rakyat di Gendong Semarang, dituturkan pada tahun 1929 Haji Boesro menyerahkan kunci Tjipto yang sebelumnya merupakan anggota SI tahun 1916 setelah Tjipto mendapat mandat dari Soebono, salah satu Komite Perawat Gedung, yang sebelumnya bersama Tjipto ditahan di tahanan Salemba, Jakarta.

Isi mandat itu itninya adalah agar gedung bisa berfungsi dan terawat, agar dipasrahkan ke salah satu partai politik, dan dipilihlah Partindo (Partai Indonesia) sebagai perawat gedung. Oleh sebab selain digembok Komite Perawat Gedung yang kuncinya dibawa Haji Boesro gedung tersebut juga disegel/digembok Politieke Inlichtingen Dienst atau PID, Dinas Intelijen Politik di Hindia Belanda, dengan kunci yang berbeda, mau tidak mau juga harus mengambil kunci ke PID. Tjipto yang saat itu dibantu Moedigdo, Sekretaris I Boedi Oetomo Cabang Semarang, mengambil kunci dari PID.

Akhirnya GRI/Gedung SI itu dibuka bersama-sama tanpa ada reaksi dari mana pun, dan selanjutnya dikuasai/dirawat Partai Indonesia (Partindo). Dengan masuknya Partindo yang diikuti beberapa organisasi lainnya, seperti PNI Pendidikan, Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) dll, dan banyak sekali dikunjungi tokoh-tokoh seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, Mr Sartono, Adam Malik, Ali Sastroamidjojo, Amir Sjarifuddin, dokter Soetomo, Muh Jamin, dll. Dalam perkembangannya otomatis publik menyebutnya Gedung Partindo –padahal Partindo dalam hal ini hanya perawat saja.

Selain disejarahkan oleh Tjipto, adanya kegiatan tokoh-tokoh perintis kemerdekaan di Gedung SI Semarang ini disejarahkan oleh Soekirno dalam buku Semarang(diterbitkan Djawatan Penerangan Kota Besar Semarang, 1956), adapun Soekirno sendiri masa itu merupakan Acting Djawatan Penerangan Kota Besar Semarang. Juga disejarahkan oleh harian Suara Merdeka dalam berita berjudul “Semarang Dizaman Semaun”, edisi hari Djumat, 21 Desember 1956 (arsip Suara Merdeka yang diterbitkan ulang di Suara Merdeka sesi Semarang Metro edisi 25 September 2014).

Masih menurut Tjipto, perawat gedung selanjutnya diteruskan oleh Gerakan Rakyat Indonesia dan PPRI (identitas dua organisasi ini belum diketahui). Setelah Jepang menjajah menggantikan Hindia Belanda, seluruh pergerakan politik dilarang hidup dan penguasa Jepang menangkap para pemimpin, ditambah dewasa itu “kita” sedang mengalami kristalisasi, maka untuk sementara gedung itu ditinggalkan.

Soekirno dalam Semarang (halaman 47) menyebutkan, pada saat meletusnya Peristiwa Pertempuran Lima Hari di Semarang, 15-20 Oktober 1945, Gedung SI Semarang telah dipergunakan Pos Palang Merah. Kemudian pada halaman lain, pada bahasan tentang “Pemerintah Kota Besar Semarang” (Semarang, hal 54 s/d 59), dikisahkan setelah peristiwa itu Pemerintah Kota Semarang pada bulan November 1945 bubar, wali kotanya adalah Mr Imam Soedjahri. Gedung SI di Jl Gendong Selatan 1144 Semarang selanjutnya dikuasai Bapri yang ketuanya Mr Moch Ichsan, wali kota Semarang kedua pasca-Proproklamasi Kemerdekaan yang merintis kembali Pemerintah Kota Semarang pro-Republik pada Januari 1946 (Semarang, halaman 47 dan halaman 55-56). Dengan dikuasainya Gedung SI di Kampung Gendong oleh Mr Moch Ichsan, gedung itu mencatat sejarah sebagai kantor wali kota Semarang pertama pro-Republik Indonesia di bawah Soekarno-Hatta.

Ini merupakan foto gedung SI setelah wajah depannya berubah. Perubahan wajah tampak depan ini terjadi pada sekitar tahun 1980-an, saat Yayasan Balai Muslimin (Yabami), pengelola gedung saat itu, mendapat bantuan dari Depag.

Sebagai akibat Inggris menyerahkan Pemerintah Kota Semarang ke Belanda pada tahun 1946, Mr Moch Ichsan harus berpindah-pindah ke pedalaman bersama pemerintahan kota yang dibentuknya (berturut-turut di Purwodadi, Gubug, Kdungdjati, Salatiga, dan terakhir di Jogjakarta), selanjutnya Gedung Sarekat Islam Semarang yang saat itu juga dikenal dengan nama Gedung Rakyat Indonesia dititipkan Mr Ichsan ke Panitia Gedung Rakyat Indonesia (PAGRI). Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Republik Indonesia pada tahun 1949, mereka yang di pedalaman kembali lagi ke Semarang dan kembali menguasai Gedung Sarekat Islam di Jl Gendong Selatan 1144 Semarang. (Semarang, hal 47 dan hal 55-56).

Selanjutnya pada tahun 1956, Djawatan Penerangan Kota Besar Semarang mencatat Gedung Sarekat Islam di Jl Gendong Selatan 1144 Semarang dikuasai berbagai organisasi serikat buruh, organisasi pemuda, dan lain-lain, termasuk di antaranya Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), Pemuda Rakyat, dan Barisan Tani Indonesia (BTI), ketiganya merupakan onderbouw Partai Komunis Indonesia, yang saat itu masih merupakan partai yang legal dan memenangkan pemilu.

Pasca-Peristiwa 1965

Hingga tahun 1965/1966, bangunan Gedung SI masih sempat dipergunakan berbagai sarekat buruh antara lain SOBSI/PKI. Dalam Peristiwa Gerakan 30 September 1965, PKI menjadi tertuduh sebagai arsiteknya. Meski tuduhan itu tidak jelas dan menjadi polemik hingga sekarang, namun eforia politik yang berkembang dan panas di masa itu menyebabkan massa menyerbu masuk ke Gedung SI di Jl Gendong 1144 Semarang, bahkan nyaris membakar gedung itu karena dianggap sebagai gedungnya PKI, namun dicegah warga karena pembakaran gedung akan membahayakan rumah-rumah mereka. Selanjutnya mereka yang sebelumnya sehari-hari berkantor di gedung menjadi terusir.

Ini adalah tampak depan Gedung SI setelah mengalami kerusakan, tak terawat, dan mangkrak. Rumput halaman depan tumbuh tinggi. Foto diambil tanggal 24 April 2013.

Ini merupakan foto gedung SI setelah wajah depannya berubah. Perubahan wajah tampak depan ini terjadi pada sekitar tahun 1980-an, saat Yayasan Balai Muslimin (Yabami), pengelola gedung saat itu, mendapat bantuan dari Depag. [/caption]Berikutnya, selama beberapa tahun gedung itu tidak berfungsi sebagaimana biasanya. Bangunan gedung itu tidak bisa disita oleh negara/militer selaku penguasa perang, sebab harta benda wakaf menurut hukumnya memang tidak dapat disita –di samping itu tidak dapat pula untuk dijaminkan, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar, atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.

Belakangan ormas-ormas Islam (NU, Muhammadiyah, PSII/SI pro-Anwar Tjokroaminoto –sebagai catatan, PSII terbelah antara pro-Anwar Tjokroaminoto dengan yang pro-HM Chalif Ibrahim) atas seizin Kodim 0733 BS/Semarang diberi izin mengelola bangunan Gedung SI itu untuk kepentingan umum dan kepentingan umat Islam. Nama gedung kemudian diubah dari Gedung Rakyat Indonesia (GRI) menjadi Balai Muslimin.

Diperkirakan sekitar tahun 1985, perwakilan dari ormas Islam yang membentuk Yayasan Balai Muslimin (Yabami) mengadakan pensertifikatan status wakaf dari tanah wakaf di Jl Gendong Selatan 1144 Semarang beserta bangunan di atas tanah wakaf tersebut. Dari penelusuran yang dilakukan Yabami, didapat ahli waris wakif yaitu Tasminah, yang merupakan keturunan keluarga Tasriepien. Bagaimana silsilah keahliwarisan antara Haji Boesro (wakif) dengan Tasminah ini penulis belum jelas. 

Yang jelas, dari keterangan pengurus Yabami yang sekarang, diketahui bahwa dari Tasminah inilah kemudian situs di mana di atas lahan wakaf itu berdiri Gedung SI Semarang, selanjutnya telah diwakafkan ke Yabami, dan itu dilegalkan dalam buku tanah di Kantor Pertanahan Kota Semarang. Buku tanah ini pada tahun 1993 diperbaharui dan menjadi Buku Tanah Milik No 369 Wakaf, 1 April 1993. Adapun yang menjadi nazhir badan buku adalah Sjamsuddin Hamidy (ketua), M Syahid Imron (sekretaris), dan Tasripin (bendahara). Dalam bahasa UU Wakaf No 41/2004 jo PP No 42/2006 tentang Pelaksanaan UU Wakaf, Yabami ini dapat dikatakan sebagai nazhir badan hukum.

Menurut laporan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah tahun 1983, Yayasan Perintis Kemerdekaan merasa memiliki Gedung SI itu, sebab di situ merupakan tempat lahirnya Sarekat Islam Semarang. Namun dengan adanya buku tanah milik wakaf tahun 1993 tersebut, dan tidak ada gugatan dari Yayasan Perintis Kemerdekaan ataupun pihak lain, maka akhirnya secara formal Yabami merupakan yayasan pengelola wakaf –atau nazhir badan hukum—yang saat ini dianggap sah oleh negara.

Pengertian nazhir di sini bukanlah pemilik dari harta benda wakaf yang telah diwakafkan. Dalam konteks wakaf, nazhir merupakan pengelola wakaf, bukan pemilik. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah (PP) No 42/2006, yang bunyinya menyatakan:

(1) Harta benda wakaf harus didaftarkan atas nama nazhir untuk kepentingan pihak yang dimaksud dalam Akta Ikrar Wakaf sesuai peruntukannya,
(2) Terdaftarnya harta benda wakaf atas nama nazhir tidak membuktikan kepemilikan nazhir atas harta benda wakaf.”

Kondisi bagian dalam Gedung SI Semarang yang amat parah sebelum dipugar. Bangunan bersejarah ini mangkrak sejak awal Mei 2008 dan ditelantarkan pengelola wakafnya selama bertahun-tahun. Foto diambil tanggal 15 Agustus 2013.

Sesuai ketentuan Pasal 14 PP No 42/2006, masa bakti nazhir perseorangan, nazhir organisasi, maupun nazhir badan hukum tidak berlaku selamanya, namun memiliki masa bakti 5 tahun dan dapat dipilih kembali. Pengangkatan kemballi nazhir yang terpilih kembali itu dilakukan oleh Badan Wakaf Indonesia, apabila yang bersangkutan telah melaksanakan tugasnya dengan baik dalam periode sebelumnya sesuai prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan.


Mengingat Gedung Sarekat Islam di Jl Gendong Selatan 1144 Semarang itu adalah cagar budaya, maka yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan di sini adalah ketentuan-ketentuan pada Undang-Undang Cagar Budaya No 11/2010 jo PP No 10/1993 tentang Benda Cagar Budaya, serta ketentuan-ketentuan dalam Pasal 83 UU Bangunan Gedung No 28/2002 jo Pasal 83 s/d Pasal 89 PP No 36/2005 tentang Pelaksanaan UU Bangunan Gedung No 28/2002, termasuk diatur juga dalam ketentuan Pasal 150 s/d Pasal 157 Perda Kota Semarang No 5/2009 tentang Bangunan Gedung.

Sumber: YunantyoAdi