HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Rabu, 29 April 2015

Hari-Hari Terakhir Menjelang Eksekusi Mati Henk Sneevliet

Bonnie Triyana | 29 Apr 2015, 00:10

Ditangkap karena sebuah penghianatan. Menyanyikan lagu Internasionale dan membubuhkan kalimat “Berani Karena Benar” pada surat wasiatnya.


Iring-iringan mobil jenazah yang membawa jasad Henk Sneevliet dan ketujuh rekannya pada upacara pemakaman kembali mereka, 10 November 1945 di Amsterdam.Henk dan tujuh rekannya dikubur di Pemakaman Driehuis. Foto: Dokumentasi Keluarga Henk Sneevliet.

PADA 10 Mei 1940, Nazi menyerang dan menduduki Belanda. Keluarga kerajaan dan pemerintah Belanda mengungsi ke London, Inggris. Di sana pula mereka menjalankan roda pemerintahannya. Di Belanda, Nazi berkolaborasi dengan Nationaal-Socialistische Beweging (NSB, Gerakan Nasional Sosialistis) pimpinan Anton Mussert.

Kekerasan merebak di mana-mana. Pada 11 Februari 1941 sejumlah buruh di Amsterdam menyerang sekelompok Nazi. Satu orang Nazi tewas dalam serangan itu. Tak lama berselang, polisi Nazi menyerang seorang pemilik cafe warga Yahudi di Amsterdam.

Aksi kekerasan itu diikuti dengan penangkapan sekira 400 warga Yahudi Belanda yang kemudian dibawa ke kamp konsentrasi Buchenwald, Jerman, menyusul 3000 buruh galangan kapal yang telah terlebih ditahan pada akhir 1940. Henk Sneevliet cum suis tak tinggal diam.

Dua bulan setelah pendudukan Nazi di Belanda, Sneevliet, Ab Menist dan Willem Dolleman mendirikan Marx Lenin Luxemburg Front (MLL Front). Organisasi bawah tanah bagian dari Revolutionaire Sociaal Arbeider Partij (RSAP), partai bentukan Sneevliet. MLL Front bertugas menggalang kekuatan antifasis untuk melawan Nazi yang semakin gencar mempropaganda kebencian terhadap Yahudi.

Mereka bekerja klandestin, menggalang solidaritas anti fasisme. Sneevliet cum suis menyokong aksi demonstrasi pelajar Belanda menentang pendudukan Nazi di Belanda. MLL Front juga berhasil mengorganisasi mogok buruh galangan kapal di Amsterdam Utara pada 17 Februari 1941. Bahkan pemogokan buruh menentang Nazi semakin meluas sampai ke Belgia.

Pihak Nazi mengendus aksi Sneevliet dan sejak saat itu dia serta kawan-kawannya jadi buruan SD (Sicherheitsdienst, Dinas Rahasia Nazi). Menurut Max Perthus dalam Henk Sneevliet: Revolutionair-Socialist in Europaen Azie terciumnya jejak persembunyian Sneevliet bermula dari pengkhianatan salah seorang kawannya.

Satu per satu pemimpin MLL Front dibekuk: Jan Edel, Jan Koeslag, Abraham Menist, Willem Dolleman, Jan Schriefer, R. Witteveen dan K. Barten berhasil diringkus polisi Nazi. Mereka ditahan di Amsterdam kemudian dibawa ke kamp konsentrasi di Amersfoort.

Tapi perburuan para agen rahasia Nazi belum berhenti sebelum mereka menemukan Henk Sneevliet. Henk dan istrinya, Mien Draaijer, sempat bersembunyi di Vught, kota kecil 93 kilometer di selatan Amsterdam. Pada 3 Maret 1941 Henk memutuskan untuk meninggalkan Vught menuju Roosendal lewat Tillburg. Sebelum berangkat, dia meninggalkan alamat tujuan pada beberapa koleganya di Vught.

Selang beberapa jam setelah kepergian Henk dan Mien, agen rahasia Nazi datang ke Vught. Mereka mendatangi keluarga Henk dan menanyakan keberadaanya. Ada beberapa kolega Henk yang memiliki haluan politik berbeda dengan Henk. Merekalah yang justru membocorkan informasi ke arah mana Henk dan Mien pergi.

Tak menunggu lama, mereka langsung memburu Henk ke Roosendaal. Setelah berjam-jam melakukan pencarian intensif, agen SD mendapatkan kabar kalau Henk dan Mien bersembunyi di sebuah rumah di Bergen op Zoom, 15 kilometer ke arah barat daya Roosendal.

Tepat pukul 3 pagi, 6 Maret 1941, agen rahasia Nazi menggerebek rumah persembunyian mereka berdua. Mereka ditangkap dan kemudian dibawa ke penjara di Amstelveen. “Ini perjalanan terakhir saya,” bisik Henk kepada istrinya.

Sejumlah proses persidangan digelar terhadap Henk dan tujuh pemimpin MLL Front lainnya. Pada persidangannya, Henk dan rekannya menyatakan siap menerima hukuman apapun yang bakal dijatuhkan kepadanya. Namun dia meminta kepada hakim agar istrinya dan juga istri pemimpin MLL Front lainnya dibebaskan dari segala tuduhan.
“Tapi persidangan itu palsu belaka, Mien dan yang lain tetap dikirim ke kamp konsentrasi di Ravensbruck,” kata Bart Santen, cucu tiri Henk Sneevliet yang diwawancarai Historia di Amsterdam.   
Sementara itu Henk dan kawan-kawannya dibawa ke kamp konsentrasi di Amersfoort. Setelah melalui proses persidangan, hakim pengadilan Nazi menjatuhan hukuman mati kepada Henk Sneevliet dan tujuh aktivis MLL Front. Mereka sempat mengajukan grasi namun ditolak. Hukuman mati tak bisa dihentikan.

Menjelang eksekusi matinya, pagi hari 13 April 1942, Sneevliet mengajukan permohonan agar ditembak mati secara bergandengan tangan dengan tujuh kawannya. Tapi permohonan itu ditolak. Kemudian Sneevliet memohon agar dia ditembak terakhir karena dialah pemimpin dari kelompok itu dan meminta agar mata mereka tak ditutup. Permohonan ini dikabulkan.

Sebagaimana keterangan P. Pluyter, saksi detik-detik eksekusi mati terhadap Sneevliet cs,  menuturkan satu jam sebelum eksekusi mati, Sneevliet dan kawan-kawannya menyanyikan lagu “Internasionale” dengan semangat menyala-nyala.
“Dramatis...Sungguh melodi dan syair yang luar biasa. Saya telah menonton konser berkali-kali tapi tak pernah saya mendengar lagu yang dinyanyikan dengan penuh penghayatan seperti itu,” kata Pluyter dikutip dari buku Max Perthus. 
Tepat pukul 09:20 pagi, tembakan pertama meletus, memecah keheningan pagi di Leusderheide, Amersfoort. Nyawa Sneevliet dan ketujuh kawannya melesat pergi meninggalkan jasad mereka yang lunglai.

Sebelum mati, Sneevliet sempat meninggalkan surat untuk Mien Draaijer, istrinya dan anak-mantunya, Bep dan Sal Santen. “Jangan bersedih,” kata Henk kepada istrinya. 
Kepada Bep dan Sal Santen, Sneevliet menulis “Anakku, tentu saja aku masih berharap bisa melanjutkan cita-citaku di kehidupan ini. Tapi itu takkan pernah terjadi lagi,” tulis Sneevliet.
Untuk terakhir kalinya, dia membubuhkan judul pada kedua surat itu dalam bahasa Indonesia: “Berani Karena Benar.”
Sumber: Historia.Id 

Selasa, 28 April 2015

Awal Mula Indonesia Mengutang Pada IMF


Pada awal kemerdekaan, Indonesia sudah mengutang pada IMF sebesar 55 juta dolar Amerika.

Konferensi keuangan internasional 22 Juli 1944, di Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat, menyepakati pembentukan lembaga internasional Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IDRB), kemudian menjadi Bank Dunia.

SEJAK kapan Indonesia mengutang pada IMF? Ternyata kisahnya jauh berakar ke periode 1950-an, masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Di saat pemerintah Soekarno mengalami kesulitan menanggulangi problem ekonomi yang rusak akibat perang kemerdekaan.

Pada akhir 1945, 35 negara yang dianggap foundingfathers, menandatangani anggaran dasar Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund, IMF). Setelah melalui persiapan, termasuk ratifikasi di DPR/Kongres masing-masing negara anggota, akhirnya IMF dinyatakan berdiri dan beroperasi pada 1 Maret 1947.

Indonesia, yang baru bangkit dari krisis akibat perang melawan Belanda selama masa revolusi, mengajukan permintaan menjadi anggota IMF dan Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD) –kemudian menjadi Bank Dunia pada 24 Juni 1950. Dewan Gubernur IMF kemudian menyerahkan draft resolusi melalui Kedutaan Besar Indonesia di Washington pada 15 Agustus 1952. Indonesia membalasnya dalam surat yang ditandatangani Sutikno Slamet, bendahara umum Kementerian Keuangan dan kemudian menjadi menteri keuangan Kabinet Djuanda/Karya (1957-1959).

Pada 10 September 1952, dalam sidangnya di Mexico City, Dewan Gubernur IMF dan Dewan Gubernur IBRD menyetujui resolusi-resolusi yang memuat peraturan dan syarat-syarat Indonesia menjadi anggota IMF. Indonesia menerima dan menandatangani. Pada pertengahan 1953, Indonesia resmi menjadi anggota. Secara legal, keanggotaan itu disahkan dengan UU No 5/1954.

Menurut Hadi Soesastro dan Aida Budiman dalam Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 1945-1959,pada Agustus 1956 pemerintah Indonesia memperoleh pinjaman IMF sebesar US$55 juta karena inflasi kembali berkecamuk disebabkan defisit anggaran yang meningkat dan cadangan devisa menurun cepat.

Pinjaman besar dari IMF tersebut, tulis Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks dalam Ekonomi Indonesia 1800-2010, jelas tak mencukupi untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh negara baru yang menghadapi persoalan besar dalam pembangunan infrastruktur dan membutuhkan banyak investasi baru. Apalagi defisit anggaran tahun 1957 tiga kali lipat, dan pada 1958 dan 1959 menjadi dua kali lipat lagi.

Menurut ekonom Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Thee Kian Wie, defisit anggaran terus naik karena pengeluaran pemerintah tak terkendali, terutama dalam persoalan politik, seperti mengatasi pergolakan di daerah dan krisis Irian Barat. “Pemerintah tidak mengambil kebijakan moneter yang tepat untuk menanganinya, malah mencetak uang baru yang mengakibatkan inflasi melambung tinggi,” ujar Thee kepada Historia, pengujung Januari 2013 yang lampau.

http://historia.id/modern/awal-mula-indonesia-mengutang-pada-imf

Senin, 27 April 2015

Ratna Hapsari : ¨Orde Baru Sangat Berhasil Merekayasa¨

April 27th, 2015
Ratna Hapsari
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Bangsa yang ingin maju adalah bangsa yang mau menggali sejarahnya. Dan bangsa yang mampu membangun peradaban yang gemilang adalah bangsa yang mau belajar dari sejarahnya.
Sayangnya, pernyataan ini tampaknya bagai pepesan kosong di Indonesia. Sejarah dianggap sebagai ilmu pinggiran yang tidak bergengsi. Ilmu sejarah bahkan jarang digunakan untuk menyelesaikan persoalan bangsa, seperti pada kasus 1965.
Bagi Ratna Hapsari, mantan ketua Assosiasi Guru Sejarah Indonesia, pelajaran sejarah di Indonesia harus digunakan untuk menyelesaikan stigma ‘PKI”. Pendidikan sejarah yang baik dapat menghentikan segala dendam, namun sebaliknya pengajaran sejarah yang menekankan pada kepentingan kelompok, dapat menimbulkan kebencian kolektif sebagaimana yang terjadi pada pendidikan sejarah di masa Orde Baru.
Bagaimana peristiwa 65 dalam kurikulum sejarah sejak masa reformasi?
Kalau pada masa Soeharto, tragedi PKI itu dalam satu materi tersendiri. Sekarang ini menjadi bagian dari materi upaya disintegrasi bangsa, jadi tidak hanya PKI, tapi ada DI/TII, PRRI-Permesta.
Dulu, sejarah adalah made in Soeharto. Kita tidak boleh bercerita di luar versi resmi pemerintah, dimana peristiwa 65 diceritakan sebagai gerakan kudeta yang idenya dari PKI. Cerita ini selalu didengung-dengungkan. Murid sekolah bahkan diwajibkan mengunjungi Lubang Buaya. Dalam sejarah versi mereka, tempat tersebut merupakan lokasi pembunuhan keji 7 Jendral Revolusi oleh PKI. Tidak sampai disitu, tiap tahunnya film G30S/PKI yang berisi sejarah 65 versi Orde Baru diputar di TV.
Setelah Reformasi, informasi mulai terbuka. Buku-buku yang menggugat sejarah versi pemerintah mulai bermunculan. Sistem pengajaran sejarah jadi berbeda dengan era sebelumnya. Saya meminta anak-anak mencari informasi dari berbagai sumber seperti buku, internet dan lain lain, kemudian mereka diminta membuat analisis dalam diskusi-diskusi terbuka di kelas. Di saat itulah anak-anak bertanya, “ Mengapa terjadi pembunuhan massal hingga ke desa-desa? ”, “Mengapa yang dibunuh itu perwira-perwira senior Angkatan Darat, bukan Angkatan Laut atau Angkatan Udara? “. Jadi anak-anak diajak berfikir dan bertanya secara kritis. Masalah PKI tidak se-sensitif 25 tahun yang lalu.
Apakah metode pengajaran sejarah yang ibu lakukan merupakan metode standar para guru sejarah di tingkat SMA?
Tidak. Itu masih tergantung kemampuan personal tiap guru, tapi sudah jauh lebih terbuka dibandingkan masa Soeharto.
Dari himpunan guru sejarah Indonesia sendiri, apakah pernah melakukan pelatihan-peatihan cara mengajar sejarah?
Tidak ada karena terbentur dana. Asosiasi ini di luar sistem. Dari pemerintah sendiri tidak ada karena mereka berkepentingan sekali dengan pengajaran sejarah. Asosiasi pernah membuat semacam majalah yang dananya dari Hivos untuk meningkatkan kemampuan guru, tapi sekarang tidak ada lagi.
Jika pengajaran sejarah sudah terbuka, mengapa stigma PKI versi Orde Baru masih kuat di masyarakat?
Karena pendidikan sejarahnya masih tergantung kemampuan guru. Kadang-kadang saya mengajak anak-anak ketemu Gerwani, yang mendapat stigma sebagai perempuan tidak bermoral. Ketika bertemu dengan tokoh – tokoh Gerwani, mereka sering berkata “ Masa mereka Gerwani bu, kan mereka lembut banget ”. Lalu, saya katakan bahwa peristiwa tersebut jangan sampai terulang. Itu pelanggaran HAM berat. Itu yang penting sebetulnya. Persoalannya memang tidak semua guru bisa mengembangkan hal tersebut.
Selain itu, anak-anak seringkali mendapat pengaruh dari organisasi di luar sekolah yang mereka ikuti, misalnya kelompok diskusi Islam yang fundamental. Kadang ketika saya mengajar di kelas, mereka suka bilang “bukan seperti itu yang kami dengar”. Artinya pengaruh dari luar lebih kuat karena anak-anak di usia tersebut masih mudah dipengaruhi karena gampang terkesan pada hal-hal yang dianggap heroik.
Kalau pandangan guru-guru sejarah sendiri bagaimana dengan stigma PKI versi Rezim Orde Baru?
Masih banyak yang memberikan stigma, bahkan dosen. Biasanya guru-guru yang keluarganya meninggal dan dianggap sebagai ulah PKI. Banyaknya di Jawa Timur. Disana, pesantren-pesantren juga masih kuat dengan stigma terhadap PKI. Biasanya guru-guru tersebut tidak mau mendengarkan versi lain.
Perlukah metode khusus dalam pengajaran sejarah di daerah-daerah tersebut?
Perlu. Harus disamarkan dan tidak bisa menjadi pengajaran peristiwa 65 sendiri. Kita pernah membuatPanduan Ajar Berwawasan HAM yang di dalamnya terdapat peristiwa 65. Kita sampai minta tandatangan Menteri Kehakiman agar tidak dipermasalahkan dan dilarang. Kalau dibuat secara mandiri dan langsung disebarkan ke anak-anak, tidak mungkin. Harus diprovokasi seperti itu atau seperti yang dilakukan IKOHI dengan Youth Camp, tapi inipun masih sulit, terutama sekolah negeri karena masih banyak yang alergi, termasuk di Jakarta.
Pernahkah menggunakan film-film misalnya Jagal atau Senyap sebagai salah satu metode alternatif dalam pengajaran sejarah?
Kami belum berani menjadikan film Jagal dan Senyap sebagai alat pembelajaran. Saya sempat diskusi dengan Oppeheimer. Dia bertanya mengapa saya tidak berani memutar film-filmnya di depan siswa SMA, kemudian ia bercerita kalau orang tuanya adalah korban karena Yahudi. Dia bisa menerima. Ya saya katakan bahwa pendidikan sejarah disana sudah diajarkan untuk menganalisis sejak kecil. Disini tidak seperti itu, sehingga ketika melihat kekejaman, yang berbicara adalah emosi. Emosi ini melahirkan dendam. Kalau di tingkat mahasiswa dijadikan alat pembelajaran tidak apa-apa.
Jadi seharusnya seperti apa tahapan pengajaran sejarah sejak SD, SMP, SMA ?
Mereka harus diajarkan melakukan analisis untuk hal-hal yang sederhana. Contoh cucu saya kelas 2 SD di Singapura, setelah selesai liburan harus mempresentasikan liburannya di depan kelas dan membawa 3 media terkait cerita. Cucu saya yang kelas 2 SD bercerita wayang itu sejenis boneka, yang setiap tokohnya mewakili satu karakter manusia yang beda-beda. Sementara kelas 2 SD di Indonesia tidak seperti itu. Analisis-analisis kecil seperti itu tidak ada dan dianggap njelimet. Jadi harus berubah dulu konsep pendidikan kita agar menekankan analisis, baru saya berani bawa film-film Joshua di kelas. Ini PR besar dalam keseluruhan sistem pendidikan kita.
Saya melihat masih ada yang belum sinkron. Pelajaran sejarah mulai terbuka, tapi masih banyak yang alergi pada pemutaran film Jagal dan Senyap?
Ada problem dalam pendidikan sejarah kita, jika dibandingkan dengan sistem pengajaran sejarah di luar negeri. Disana, yang pertama kali diajarkan sejak kelas 1 SMA adalah filsafat sejarahnya dulu, sedangkan di Indonesia langsung diajarkan peristiwanya. Akibatnya anak-anak seringkali tidak tahu bahwa peristiwa tersebut adalah interpretasi orang, sehingga bisa tidak sama analisanya. Kalau diajarkan filsafat sejarahnya dulu, tidak perlu timbul stigma. Sejak awal, murid diajarkan untuk menganalisis dan membandingkan. Jadi kita sudah salah kaprah. Seharusnya bukan sekadar menghafal situasi, kemudian asal dapat nilai bagus. Makanya saya kalau membuat soal tidak pernah yang recall (hafalan), tetapi apa tujuan dari Perang Diponegoro. Namun metode ini sering dianggap bertele-tele dan merepotkan. Jadi, pemahaman untuk intepretasi dari gurunya yang harus dirombak. Ini berkaitan dengan pendidikan guru.
Berhasil sekali yah Orde Baru membangun narasi peristiwa 65?
Sangat berhasil, tapi sebenarnya sekarang ini Lubang Buaya tidak laku lagi. Tidak ada orang yang mau ke sana lagi.
Ini menarik. Di satu sisi orang sudah tidak menganggap lagi simbol-simbol seperti Lubang Buaya tapi di sisi lain masih terjadi peristiwa penyerangan di Bukit Tinggi. Berarti walau simbolnya tidak laku lagi, tapi imajinasi di anak mudanya masih kuat ?
Masih sangat kuat, saya pernah membuat workshop untuk guru-guru sejarah dengan mengundang saksi dari Talangsari, Tanjung Priok, Peristiwa 65 dan sebagainya. Belum sampai kami melakukan seminar, hotel kita diserbu oleh orang-orang dari ormas Islam supaya tidak dilanjutkan. Begitu pula waktu di Malang. Akhirnya kami putuskan kalau seminarnya sensitif kami lakukan di kampus karena aman. Anehnya, beritanya juga cepat menyebar dan selalu dikatakan “kelompok PKI baru”. Seperti kejadian Bukit Tinggi aneh sekali. Yang datang kan kakek-kakek dan nenek-nenek tapi masih ditakuti. Saya pikir pasti ada provokator. Karena ada kepentingan.
Isu peristiwa 65 seringkali dibenturkan sebagai komunis yang Atheis atau tidak beragama. Apakah sering muncul di kelas pernyataan tersebut karena mereka atheis, maka tidak masalah mereka dibunuh?
Yang terjadi memang seperti itu. Karena pada masa Orde Baru, kita tidak boleh membicarakan komunis itu apa, bahkan untuk bicara Tan Malaka di kelas, padahal Tan Malaka memiliki pemikiran positif dalam kemerdekaan yaitu harus merdeka dengan kekuatan kita sendiri karena tidak mungkin kapitalisme menargetkan kemerdekaan. Akibatnya anak-anak tidak mengenal macam-macam ideologi. Saya selalu menjelaskan komunis itu ideologi, tetapi orangnya sendiri belum tentu atheis. Saya katakan bahwa di Rusia banyak loh mesjid, banyak gereja. Malah kadang-kadang orang yang atheis tidak komunis. Tapi apakah komunis selalu identik dengan atheis? Ada buku pak Putu tentang penyintas, dia katolik tapi secara ideologi dia komunis. Karena komunis memperjuangkan kelas bawah. Urusan ideologi dan iman beda. Makanya seharusnya belajar sejarah itu harus belajar filsafat sejarah terlebih dulu. Lagi-lagi ini pe-er besar.
Source: IPT 1965 

Minggu, 19 April 2015

Upaya CIA Menggagalkan Konferensi Asia Afrika



19 Apr 2015, 09:54

Konferensi Bandung dipandang Amerika Serikat sebagai perkumpulan komunis. CIA merancang aksi pembunuhan untuk gagalkan KAA.



 Beberapa pemimpin dari negara-negara anggota SEATO. Kiri-kanan: Perdana Menteri Nguyen Cao Ky (Vietnam Selatan), Perdana Menteri Harold Holt (Australia), Presiden Park Chung Hee (Korea), Presiden Ferdinand Marcos (Filipina), Perdana Menteri Keith Holyoake (Selandia Baru), Letnan Jenderal Nguyen Van Thieu (Vietnam selatan), Perdana Menteri Thanom Kittikachorn (Thailand), Presiden Lyndon B. Johnson (Amerika serikat) di Gedung Kongres di Manila Filipina, 24 Oktober 1966. Foto: Frank Wolfe/White House Photo Office.
AMERIKA Serikat tak suka pada rencana Sukarno mengadakan Konferensi Asia Afrika (KAA). Konferensi ini selain mendorong kemerdekaan bagi negara-negara Asia-Afrika, juga menetapkan sikap netral atau nonblok dalam perseteruan Blok Barat (AS) dan Blok Timur (Uni Soviet).
Padahal AS sedang berupaya membentuk SEATO (South East Asia Treaty Organization), sebuah aliansi militer-politik negara-negara Asia Tenggara, yang disponsori AS, guna membendung pengaruh komunis di wilayah itu. Bagi AS, KAA adalah ancaman untuk SEATO, yang didirikan di Bangkok, Thailand pada 19 Februari 1955. Anggota SEATO terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Australia, Selandia Baru, Pakistan, Filipina, dan Thailand.
Para pejabat dalam pemerintahan Eisenhower dan CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat), menurut sejarawan Baskara T. Wardaya, meyakini konferensi negara-negara Asia Afrika itu telah menjadi semacam “ajaran sesat” yang harus “dibereskan.”
“Bertolak dari pikiran tersebut,” tulis Baskara dalam Bung Karno Menggugat!, “CIA kemudian mengambil inisiatif untuk mempertimbangkan rencana pembunuhan sebagai salah satu cara untuk menggagalkan KAA.”
Setelah bertahun-tahun tersimpan sebagai rahasia, rencana jahat tersebut baru terungkap pada 1975. Komisi Church (Church Committee), yang diketuai senator AS, Frank Church, menyelidiki operasi-operasi rahasia CIA di luar negeri, termasuk di Indonesia. Komisi mendengarkan kesaksian-kesaksian berkaitan dengan operasi rahasia yang dilakukan para agen CIA di negara-negara Asia.
“Menurut kesaksian,” tulis Baskara, “para pejabat CIA telah mengusulkan suatu rencana untuk membunuh seorang pemimpin Asia Timur guna mengacaukan KAA yang mereka pandang sebagai Konferensi Komunis.”
Salah satu pemimpin Asia yang menjadi target pembunuhan adalah perdana menteri merangkap menteri luar negeri Tiongkok, Zhou Enlai. Pada 11 April 1955, pesawat Kashmir Princess, yang sedianya akan ditumpangi Zhou, meledak dan mendarat darurat di laut. 16 tewas dan tiga orang selamat.
Sehari setelah insiden itu, kementerian luar negeri Tiongkok mengeluarkan pernyataan yang menuding keterlibatan CIA dan Ching Kai-shek (pemimpin nasionalis Tiongkok, di Taiwan). “Mereka berencana menyabot pesawat carteran Air India, menjalankan rencana mereka untuk membunuh delegasi kami ke Konferensi Bandung yang dipimpin oleh Perdana Menteri Zhou Enlai, dan untuk menggagalkan Konferensi Bandung,” tulis Steve Tsang dalam The Cold War’s Odd Couple.
Menariknya, Zhou selamat karena sudah mengendus rencana pembunuhan dirinya. Menurut Steve Tsang dalam “Target Zhoe Enlai,” China Quarterly, September 1994, “Zhou mengetahui rencana itu sebelumnya dan diam-diam mengubah rencana perjalanan, kendati dia tak menghentikan sebuah delegasi kader yang lebih rendah untuk mengambil tempatnya.” (Selengkapnya baca: Bom di Tengah Konferensi Asia Afrika)
Ternyata CIA bukan saja mengincar Zhou Enlai, tapi juga merencanakan upaya pembunuhan Sukarno.
Sumber: Historia 

Dianggap Gangguan, CIA Rancang Pembunuhan Sukarno

Selasa, 14 April 2015

Menyingkap Rahasia Pembantaian Massal 1965-1966

Senin, 13 April 2015

Menyingkap Rahasia Pembantaian Massal 1965-1966

Hutan Mistis Tempat Pembantaian Pengikut PKI di Kendal

Senin, 13 April 2015 | 05:04 WIB


Warga menunjukkan salah satu Jati raksasa di hutan Darupono, Kendal Jawa Tengah

Belum lama ini, dalam sebuah berita di koran lokal, dilaporkan pengungkapan misteri pembunuhan seorang gadis yang mayatnya ditemukan membusuk di area hutan Jati petak 45F Desa Darupono, Kecamatan Kaliwungu Selatan.
Pelaku tak lain adalah kekasih korban yang berhasil ditangkap dalam pelariannya di Jawa Timur. Berdalih terbakar api cemburu dan sakit hati, pelaku mengaku terpaksa membunuh kekasihnya. Kisah inipun menambah daftar panjang cerita angker di hutan nan lebat di Darupono.

Sejak lama, warga sekitar merekam jelas ingatannya tentang beragam cerita angker di kawasan yang kini menjadi Cagar Alam Pagerwunung Darupono. Salah satunya adalah tentang pembantaian saat meledaknya peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia di tahun 1965.

Konon, banyak para pengikut PKI dibantai oleh para tentara di hutan itu. Mereka disuruh menggali lubang kuburannya sendiri dan kemudian diberondong senjata hingga bergelimpangan di dalam lubang.
“Sejak peristiwa itu, masyarakat sering melihat penampakan orang-orang berbaris tapi tanpa kepala. Mereka mondar-mandir di sekitar hutan ini,” cerita Birin.
Yang tak kalah menakutkannya, adalah cerita kemunculan ular piton raksasa yang kerap melintas di jalan kawasan hutan Darupono. Ular itu bahkan disebut memiliki panjang tak terkira.

Bahkan konon ceritanya pernah tertabrak oleh seorang pengendara, namun ular itu bergeming dan tetap melanjutkan perjalanannya.
“Pernah juga ada pendatang mengambil ular yang kecil untuk dibawa pulang. Malamnya dia bermimpi didatangi sesosok orang tua meminta ular itu dikembalikan. Tadinya tidak akan dikembalikan karena dia tiba-tiba badannya panas dingin, langsung saja dikembalikan ke hutan dan sembuh,” tutur Birin.
Cagar Alam Pagerwunung Darupono adalah salah satu Cagar Alam di wilayah Jawa Tengah yang terdapat di Kabupaten Kendal. Kawasan ini terkenal dengan koleksi tanaman pohon Jati (Tectona grandis) yang berumur tua, hingga puluhan tahun, dan memiliki ukuran besar.

Salah satunya adalah pohon Jati terbesar dengan lingkar batang mencapai 845 centimeter. Bahkan, mantan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dan sejumlah pejabat negara pun pernah melihat langsung kegagahan pohon jati raksasa ini.
 
Secara administrasi, Cagar Alam Pagerwunung Darupono terletak di wilayah Desa Darupono, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kendal. Kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan cagar alam sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK. 115/Menhut-II/2004.

Dengan luas Cagar Alam Pagerwunung Darupono sekitar 33,2 hektare. Kawasan berada di daerah dataran rendah dengan ketinggian antara 150-175 meter di atas permukaan laut dan memiliki jenis tanah latosol (inceptisol).


Sumber: Viva.Co.Id 

Sabtu, 11 April 2015

Seminar Pembantaian PKI, Menguak Tabu Peristiwa 1965

11.04.2015 | Hendra Pasuhuk (vlz)


Sebuah seminar di kota bersejarah Belanda, Den Haag, ingin menguak tabir peristiwa pembantaian 1965 di Indonesia. 50 tahun setelah tragedi mengerikan itu, bisakah Indonesia melangkah maju?  

Seminar dengan tema Indonesia di Den Haag itu diberi judul 1965 Massacre: Unveiling The Truth Demanding Justice (Pembantaian 1965: Mengungkap Kebenaran, Menuntut Keadilan). Acaranya berlangsung satu hari, tanggal 10 April 2015, bertempat di gedung tua Nieuwe Kerk yang dibangun pada abad ke-17 sebagai gereja utama di Den Haag, dan dipugar menjadi pusat kongres dan konser musik.

Acaranya diisi dengan ceramah dan diskusi yang menghadirkan berbagai aspek, dengan para nara sumber dari kalangan ilmiah, aktivis dan praktisi hukum. Nama-nama yang tertera sebagai pembicara adalah orang-orang yang sudah punya reputasi panjang dalam bidangnya, antara lain Prof. Dr. Saskia E. Wieringa, Dr. Johannes Pieter (Jan) Pronk, Dr. Gerry van Klinken, dan dari Indonesia Nursyahbani Katjasungkana, SH, dan Dr. Todung Mulya Lubis, SH.

Penyelenggaranya adalah Yayasan IPT 1965, nama panjangnya: International People's Tribunal on 1965 Crimes Against Humanity in Indonesia. Tujuan pembentukan yayasan ini untuk melakukan penelitian dan diskusi publik seputar pembantaian 1965, lalu mengajukan gugatan terbuka kepada pemerintah Indonesia sebagai suatu Pengadilan Rakyat.


Memutus lingkaran impunitas pelanggaran HAM

Dengan seminar ini diharapkan, rantai lingkaran impunitas dan pengingkaran bisa diputus. 

Sehingga berbagai peristiwa pelanggaran HAM yang selama ini ditabukan di Indonesia bisa dibahas dan dituntaskan dengan mengumpulkan dan menyampaikan fakta-fakta, seperti layaknya dalam kasus gugatan ke Mahkamah Internasional, yang juga bermarkas di Den Haag.

Peristiwa pembantaian 50 tahun lalu itu berujung pada aksi pembunuhan massal dan penindasan berjuta-juta orang, baik yang dibunuh secara langsung dalam aksi pembunuhan massal, maupun yang meninggal dalam siksaan di tahanan. Ratusan ribu orang ditahan tanpa proses pengadilan, keluarga mereka mengalami diskriminasi dan penindasan politik selama puluhan tahun.

Seminar ini adalah rangkaian dari acara yang diprakarsai oleh IPT1965 dan akan mencapai puncaknya pada akhir tahun ini, ketika gugatan secara simbolis diajukan di Pengadilan Rakyat di Den Haag, lengkap dengan berkas-berkas yang dikumpulkan secara seksama oleh para relawan.

Acara peresmian situs internet www.1965tribunal.org sudah dilaksanakan 17 Desember lalu secara serentak di Amsterdam dan Jakarta. Yayasan IPT1965 yang terdiri dari para pegiat HAM, intelektual, ilmuwan dan warga biasa, juga mengajak peneliti internasional untuk melakukan kajian tentang peristiwa 1965 dan sistem Orde Baru dari berbagai aspek.

http://www.dw.com/id/seminar-pembantaian-pki-menguak-tabu-peristiwa-1965/a-18363563