HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Selasa, 29 Desember 2015

Asal-usul Dana Partai Komunis Indonesia


Arief Ikhsanudin | Selasa 29 Desember 2015 WIB

Meski tak lancar, partai memberikan beban keuangan kepada anggota. Bukan sumber pemasukan partai yang utama.


Surat Instruksi untuk iuran pembangunan gedung partai dan Kartu keuangan Partai Komunis Indonesia. Sumber foto: Dokumen KOTI/Arsip Nasional Republik Indonesia.

DN AIDIT bukanlah perokok –tidak sebagaimana digambarkan dalam film Pengkhianatan G 30 S PKI. Dan demi terselenggaranya Kongres ke-6 PKI, dia mengajak kawan-kawannya di Dewan Harian Politbiro CC PKI agar berhenti merokok.

Ajakan itu tak bertepuk sebelah tangan. Anggota Dewan Harian memutuskan berhenti merokok, “sedangkan kepada semua pemimpin dan anggota PKI dianjurkan juga untuk menghentikan merokok atau sekurang-kurangnya mengurangi rokok, dan menyerahkan uang yang biasanya untuk membeli rokok buat dana kongres,” demikian isi Resolusi Dewan Harian Politbiro CC PKI tanggal 5 Januari 1959.

Resolusi juga menyerukan penghematan, baik di kantor-kantor partai maupun rumah-rumah anggota, terutama pimpinan partai. Selain itu, seruan kepada anggota untuk melakukan suatu pekerjaan atau menanam tanaman jangka pendek. Hasilnya diserahkan sebagian atau seluruhnya untuk dana kongres.

Gerakan menutup biaya kongres sudah dimulai beberapa bulan sebelumnya. Pada 4 Desember 1958, Panitia Kongres mengedarkan instruksi ke Comite Daerah Besar (CDB), Comite Pulau (CP), dan Fraksi Pusat. Setiap anggota dan calon anggota ditetapkan menyumbang Rp 3, yang bisa diangsur tiga kali. Sementara CDB dan CP diharapkan melakukan berbagai kegiatan penggalangan dana.

Semua upaya itu berbuah manis. Bahkan laporan Kongres ke-6 menyebutkan, jumlah sumbangan melebihi pengeluaran kongres. Diputuskan sisa dana dipakai untuk perluasan gedung Comite Centeral Partai dan jika ada sisanya untuk pembangunan Gedung Kebudayaan di Jakarta –kedua proyek ini juga mengandalkan sumbangan anggota.

Sebagai bentuk terima kasih kepada rakyat, atas usul Aidit, Kongres ke-6 menyetujui dan mengeluarkan resolusi “Bentuk dan Kembangkan Regu-regu Kerjabakti”.

Seretnya Iuran Anggota

Kampanye penggalangan dana hanyalah salah satu cara menutupi pengeluaran partai, terutama yang insidental. Hal yang sama dilakukan selama kampanye pemilu 1955. Namun kebutuhan partai sangatlah besar. Dari kerja-kerja rutin partai hingga membayar gaji pegawai partai. Dari kursus kader hingga penerbitan. Dari gelaran kongres hingga perayaan peringatan nasional atau internasional. Dari mana pemasukan partai?

Konstitusi PKI menyebutkan, partai dibiayai oleh uang pangkal dan iuran anggota, usaha-usaha produktif dan ekonomi lainnya yang dilakukan oleh partai, serta sokongan dari orang-orang dan golongan di luar partai.

Uang pangkal dan iuran anggota menjadi sumber utama partai. Nominal iuran tidak dipukul rata, tergantung penghasilan tiap anggota selama satu bulan. Berdasarkan Konstitusi PKI tahun 1954, misalnya, yang terendah Rp 0,50 untuk anggota berpenghasilan di bawah Rp 150, dan yang tertinggi, untuk anggota berpenghasilan Rp 651 ke atas, iurannya sebesar 1,5% dari penghasilan kotor dan dibulatkan ke atas dengan Rp 0,50. Sementara uang pangkal disesuaikan dengan nominal uang iuran yang dibayarkan.

Yang menangani uang pangkal dan iuran adalah CDB atau CP. Dari dana yang terkumpul, mereka mendapatkan 90 persen, sementara sisanya mengalir ke kas CC. CDB dan CP juga mengatur semua permasalahan keuangan, termasuk keperluan Comite di bawahnya.

Kendati wajib, iuran tak mengalir lancar. Misalnya dialami Comite Djakarta Raya (CDR) PKI pada 1954. Dalam dokumen KOTI No 261, CDR mengemukakan, “penyetoran belum dilakukan oleh seluruh Subsecom-Subsecom di semua seksi dan belum merata meliputi seluruh anggota dan calon-calon anggota....”

Seretnya iuran anggota masih terjadi pada 1956 sehingga menjadi salah satu bahasan dalam Rapat Pleno II CDR. Kesimpulannya, ini bukan hanya masalah teknis tapi juga ideologis: egosentris, otonomisme, subjektivisme, dan meninggalkan cara kerja kolektif. Diputuskan CDR akan melakukan kampanye atau penjelasan kepada semua tingkat organisasi partai di bawahnya.

CDB lainnya mengalami hal serupa, yang berimbas pada kerja-kerja partai. Upaya CC mengubah aturan agar Comite Subseksi (CSS) langsung menyetorkan 10 persen dari iuran anggota ke CC juga tak membuahkan hasil. Tak semua CSS memenuhi instruksi tersebut.
Namun masalah keuangan juga dialami comite di bawahnya. Pada 23 Mei 1964, misalnya, CS Matraman mengeluarkan surat permohonan bantuan dana untuk menjamin kelangsungan hidup empat pegawai partai; dua orang sebagai fungsionaris dan dua lagi tenaga sekretariat. Sumbangan bisa berupa uang maupun bantuan lainnya.

Kendati kecil, partai mendapatkan pemasukan dari gaji anggota yang mendapat kedudukan dari partai. Sebagaimana diatur dalam Konstitusi PKI, seluruh gaji pejabat tersebut harus diserahan kepada partai. Sebagai gantinya, dia mendapat honorarium menurut peraturan yang ditentukan partai. Namun jumlahnya tidaklah seberapa.

Kebanyakan anggota PKI berasal dari kalangan masyarakat bawah. Praktis, jika hanya mengandalkan kader, PKI tak mungkin bisa membiayai seluruh kebutuhan partai. Sumber lain pemasukan partai, sebagaimana disebutkan Konstitusi PKI, adalah sokongan dari orang-orang dan golongan di luar partai yang tidak mengikat. Namun sulit menelisik siapa saja dan berapa jumlah sokongan yang masuk. Inilah yang kemudian memunculkan spekulasi-spekulasi.

Menurut Donald Hindley dalam The Communst Party of Indonesia, bantuan keuangan dari nonanggota cukup besar. Kendati tak ada bukti yang kuat, donator PKI kemungkinan besar berasal dari Uni Soviet, Tiongkok, dan negara-negara blok Soviet. Bentuknya bisa berupa literatur, majalah, atau risalah-risalah yang dijual di toko-toko buku milik partai atau bantuan akomodasi delegasi PKI yang berkunjung ke negara-negara tersebut. “Namun, sumber utama bantuan keuangan nonpartai berasal dari tiga juta orang Tionghoa (kebanyakan warga negara Indonesia) yang tinggal di Indonesia,” tulis Hindley.

Hindley menyebut para pengusaha Tionghoa melakukannya dengan sukarela. Namun ada pula yang melakukan karena terpaksa. Mengutip tulisan George McTurnan Kahin berjudul “Indonesia”, dimuat dalam Major Governments of Asia, “tidak diragukan lagi mereka biasanya melakukannya karena persuasi atau tekanan dari Kedutaan Tiongkok atau tekanan dari komunis yang mengontrol serikat buruh dan mengancam akan melakukan tindakan balasan jika tak patuh.”

Selama pemilu 1955, misalnya, PKI mengeluarkan dana sangat besar untuk kegiatan kampanyenya. Menurut Herbert Feith dalam Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, mau tak mau orang menduga PKI memperoleh dana dari pengusaha Tionghoa serta negara-negara komunis dan kantor perwakilan dagang mereka di Jakarta. Dalam bukunya yang lain, The Wilopo Cabinet, 1952-1953, Feith juga menyinggung bantuan Kedutaan Tiongkok dalam bentuk uang maupun literatur-literatur.

Sementara David Mozingo dalam Chinese Policy Toward Indonesia, 1949-1967menyebut banyak orang percaya bahwa Bank of China meminjamkan uang kepada para pengusaha Tionghoa di Indonesia dengan syarat bahwa mereka memberikan kontribusi kepada PKI.

Sumber: Hiistoria.Id

Minggu, 27 Desember 2015

Cerita di Balik Tujuh Setan Desa


Propaganda PKI tentang siapa saja musuh rakyat. Memadukan kerja politik dengan penelitian ilmiah.


PADA sebuah tempat di antara Gunung Gede dan Gunung Salak, Aidit menghunjamkan jemarinya ke tombol-tombol mesin ketik, mengungkai kalimat demi kalimat. Di tempat yang menurutnya tenang dan sejuk itu, dia menulis pengantar laporan penelitian PKI mengenai keadaan petani di pedesaan di Jawa Barat di bawah judul Kaum Tani Menganjang Setan Setan Desa: Laporan singkat tentang hasil riset mengenai keadaan kaum tani dan gerakan tani Djawa Barat.

“Kemungkinan tempat itu di Cipanas, karena dia juga sering kesana,” ujar Asahan Alham, adik DN Aidit yang kini bermukim di Hoofddorp, Belanda, tentang lokasi yang disebut Aidit dalam tulisannya.

Ketua CC PKI itu memimpin sendiri penelitian yang dilakukan sejak 2 Februari sampai dengan 23 Maret 1964. Ada 40 orang kader partai yang dikerahkan sebagai peneliti dan tiap orang didampingi pemimpin kaum tani dari tingkat kecamatan dan desa. Desa-desa yang menjadi obyek riset PKI meliputi daerah timur Jawa Barat, seperti di Rancah dan Padaherang di Ciamis, sampai dengan di ujung barat Jawa seperti di Warunggunung, Lebak dan Labuan di Pandeglang, Banten.

Desa-desa tersebut dipilih karena pada wilayah tersebut masih terdapat tuan tanah bumiputera, juragan perahu pencari ikan, perkebunan, kehutanan, bekas tanah partikelir, bekas daerah basis gerakan Darul Islam –Tentara Islam Indonesia (DI-TII). Tak semua desa di Jawa Barat jadi obyek penelitian. “Untuk mengetahui keadaan burung gereja atau kelinci, tidak perlu semua burung gereja dan kelinci dibunuh dan diperiksa, cukup membunuh dan memeriksa beberapa ekor saja,” kata Aidit membuat kiasan.


Problem Reforma Agraria

Menurut Aidit penelitian tersebut dilakukan untuk memperkuat gerakan petani dan agaknya kebutuhan untuk meneliti keadaan tani di perdesaan itu erat kaitannya dengan pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang mandek. Setahun setelah pemberlakuan undang-undang tersebut, PKI menjadi partai yang paling gencar untuk melaksanakan reforma agraria, selain tentu karena partai ini dikenal menjadi pengusung utama gagasan pembagian lahan bagi petani miskin.

Kebuntuan realisasi pembagian tanah untuk petani yang telah diatur dalam UUPA 1960 dan lambannya pemerintah mengatur sistem bagi hasil berdasarkan Undang Undang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH) 1960, mendorong PKI menempuh cara sendiri melaksanakannya. Dalam pidatonya pada 3 Februari 1964, Aidit mengutarakan kekecewaannya pada pelaksanaan reforma agraria yang tak kunjung berjalan sesuai ketentuan undang-undang.

Dalam kesempatan itu Aidit mendesak para petani tetap membayar utang mereka kepada tuan tanah sembari mendorong para petani penggarap yang tak memiliki lahan mengambil jatah bagi hasil panen 60 persen secara sepihak. Inilah yang kemudian disebut sebagai aksi sepihak. Sebelum Aidit, Asmu pun telah mengutarakan hal yang sama bahwa “....pelaksanaan bagi hasil secara UUPBH di desa, sepenuhnya tergantung pada aksi-aksi kaum tani yang mampu memaksa tuan-tuan tanah untuk memperbarui perjanjian sewa tanah sesuai dengan UUPBH.”


Menentukan Musuh Rakyat

Pelbagai persoalan yang membelit pelaksanaan reforma agraria tak memberikan pilihan lain bagi partai kecuali menenentukan langkahnya sendiri. Sesuai dengan Kongres Nasional ke-VI PKI pada 1959 agar partai menyelaraskan kerja politik yang berlandaskan hasil riset, maka Aidit memelopori penelitian kondisi agraria dan petani di Jawa Barat.

Ini bukan penelitian pertama yang dilakukan PKI bagi keperluan gerakan politiknya. Pada 1951, partai telah menyelenggarakan penelitian untuk menelaah persoalan agraria dan gerakan tani dengan metode angket tanya-jawab. Namun metode itu dikritik Aidit karena selain banyak angket yang tak dikembalikan, juga karena banyak kolom pertanyaan yang tak diisi petugas riset. Sehingga hasil riset tak mencerminkan kondisi obyektif dari kaum tani yang sedang diteliti.

Perbaikan metode penelitian dilakukan secara terus menerus untuk mencapai hasil maksimal, sehingga mencerminkan keadaan masyarakat bawah secara tepat. Semenjak kongres ke-VI 1959, partai menyusun metode penelitian dengan prinsip “3 sama”, yakni “sama bekerja”, “sama makan” dan “sama tidur” dengan buruh tani atau petani miskin.

Dengan riset itu partai mampu menganalisa dan menyimpulkan secara tepat pekerjaannya di kalangan kaum tani dan membantu memperbaiki pekerjaan partai di kalangan tani. Aidit memerintahkan agar petugas riset harus bertempat tinggal di satu desa paling kurang satu minggu. “Petugas juga harus melakukan kerja produksi dan kerja rumahtangga, mulai menyapu rumah, halaman, kalau perlu harus mau menceboki anak petani,” tulis Aidit.

Dari hasil penelitian tersebut diperoleh gambaran mengenai pembagian kelas-kelas di desa yang memperlihatkan bagaimana rakyat pekerja di desa mengalami pengisapan dan penindasan tujuh kategori kelas penindas, yakni tuan tanah jahat, lintah darat, tukang ijon, kapitalis birokrat (pegawai negeri yang korup), tengkulak jahat, bandit desa dan penguasa jahat yang membela kepentingan kaum pengisap desa. Inilah “tujuh setan desa” yang dinilai partai sebagai penghambat jalannya perubahan di pedesaan untuk mengangkat derajat kehidupan petani lebih baik.

http://historia.id/modern/cerita-di-balik-tujuh-setan-desa

Jumat, 25 Desember 2015

Program Re-Ra (Rekonstruksi & Rasionalisasi) TNI Kabinet Hatta

25 Desember 2015  



Sebelum diadakannya program “reorganisasi dan rasionalisasi” (Re-ra) oleh Perdana Menteri Hatta, banyak berdiri laskar-laskar perjuangan diluar tentara resmi. Diantara laskar-laskar perjuangan yang ada, Pesindo merupakan laskar bersenjata yang terkuat Jumlah pasukannya terbesar, disiplinnya yang paling baik dan persenjataannya terlengkap. Kesatuannya tersebar di setiap kabupaten JaTim dan JaTeng, beberapa kabupaten di JaBar dan malahan sampai ke SumUt. Kekuatan laskar bersenjata Pesindo, kalau tidak dapat dikatakan melebihi, maka paling sedikit sama dengan TRI, tentara Pemerintah.
Pada tanggal 3 Juli 1946, Tan malaka beserta orang-orangnya melakukan kup terhadap pemerintahan Sjalrrir. Kup ini dilancar kan oleh Divisi III/Sudarsono, yang berteritorium Yogyakarta. Suharto (Presiden RI sekarang), yang waktu itu komandan resimen Yogyakarta, diperintahkan oleh Presiden Sukarno, gagal. Malah Sjahrir diculik oleh golongan kup. Karena Suharto gagal dalam menangkap Tan Malaka, maka bergeraklah pasukan dari kesatuan- kesatuan Pesindo JaTim dan berhasil membebaskan Sjahrir. Dengan berhasilnya kesataan Pesindo menggagalkan kup Tan Malaka ini maka prestise Pesindo menjadi sangat tinggi di kalangan laskar bersenjata.
Dari kesatuan-kesatuan Pesindo yang ada maka kesatuan 'Divisi Surabaya' (JaTim) adalah yang terkuat. Perbandingan antara senjata dan pasukanya adalah satu banding empat (di dalam divisi Nasution/JaBar), pada waktu itu, hanya terdapat seratus pucuk senjata). Dengan demikian kekuatan tempur riel (artinya; satu orang dengan satil bedil) adalah kurang lebih satu resimen (=3 batal yon = 3x800 orang) denagan Overste (letKoI) Sidik Arselan sebagai komandan. Setelah re-ra, kesatuan mi menjadi Be (Brigade) 29 dengan Overste Moliammad (Aldimad) Dablan sebagai komandan, yang belakangan menjadi tulang punggung dalam Kudeta PKI Madiun 1948.
Situasi Jelang Kejatuhan Kabinet Amir
Setelah jatuhnya Kabinet Sjahrir III, Presiden Soekarno menunjuk Amir Syarifuddin untuk membentuk kabinet. Soe Hok Gie menyebutnya “Kabinet Kiri Jauh” karena disokong oleh Partai Sosialis (PS), PKI, eks BTI dan golongan buruh seperti Setiadjit sebagai Wakil Perdana Menteri (PBI-komunis di Belanda), Abdulmadjid (PS) sebagai Menteri Muda Dalam Negeri, Tamzil (PS) sebagai Menteri Muda Luar Negeri, Tjokronegoro (PS) sebagai Menteri Muda Perekonomian, Wikana dan Maruto Darusman (PKI) sebgai Menteri Negara dan S.K. Trimurti (Buruh) sebagai Menteri Perburuhan.

Pada masa Kabinet Amir Syarifuddin inilah dilaksanakan perundingan dengan Belanda di atas kapal perang milik Amerika Serikat, USS. Renville, saat lego jangkar di Tanjung Priok, pada 8 Desember 1947. Meskipun dinilai banyak pihak merugikan bangsa Indonesia dan dianggap kemenangan telak diplomasi Belanda, faktanya Perjanjian Reville tetap ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948.


Amir Syarifuddin yang di awal kabinetnya mendapat dukungan dari mitra koalisi, namun setelah penandatanganan Perjanjian Renville, mitra-mitra koalisi dari Partai Masyumi dan PNI berbalik mengecamnya dan menarik menteri-mitra partai politik koalisi dari kabinet. Amir Syarifuddin mundur dari jabatannya pada tanggal 23 Januari 1948.

Gagasan Program Re-ra
Gagasan Hatta-Nasution mengenai re-ra dan pembentukan "tentara yang efektif" sebenarnya bertolak dari koalisi yang ada, yang dimulai sejak berdirinya kabinet Hatta pada akhir Januari 1948, antara politisi yang pro Amerika yang dipelopori oleh Hatta dan Masyumi di satu pihak dan para perwira "profesional" yang dipelopori oleh Nasution dan Simatupang di fihak lain. Tujuan bersama dari persekutuan antara Hatta- Nasution adalah mendemobiliser (mengeliminasi) laskar- laskar yang sedikit banyak dipengaruhi oleh organisasi Komunis"; menyingkirkan perwira-perwira yang "tidak dapat dipercaya"; posisi pimpinan hanya diberikan kepada "perwira-perwira profesional" dan tipe tentara di masa mendatang seperti model tentara Divisi Siliwangi (yang notabene dipimpin oleh Nasution) dan Corps Polisi Militer (yang dipimpin oleh Gatot Subroto).

Embrio Program Re-Ra
Program Re-Ra sebenarnya sudah dimulai sejak Kabinet Amir Syarifuddin berdasarkan mosi yang diajukan golongan kiri di KNIP pada bulan Desember 1947. Pemerintah kemudian mengeluarkan Penetapan Presiden No 1 tanggal 2 Januari 1948 yang membubarkan Pucuk Pimpinan TNI dan Gabungan Kepala Staf Angkatan Perang, tapi karena adanya reaksi yang keras dari KNIP, Penpres ini kemudian dibatalkan. Munculnya program Re-Ra dinilai sebagai akibat dari “kesalahan” pemerintah yang tidak segera membentuk angkatan perang setelah memproklamirkan berdirinya negara Indonesia. Jadi, pada akhirnya angkatan perang resmi dibentuk, di kalangan militer sendiri sudah terbentuk otonomi.
Jelang akhir tahun 1947, usaha untuk memoderenisasi angkatan perang mulai disuarakan di BP-KNIP, namun, karena masih sebatas wacana akhirnya dibuat mosi oleh Zainul Baharuddin yang merupakan petisi parlemen berisi usulan kebijakan kepada pemerintah untuk mereformasi angkatan perang. Usulan reformasi memuat dua hal pokok yaitu, menempatkan Angkatan Bersenjata di bawah wewenang Menteri Pertahanan dan merasionalisasi jumlah tentara. Mosi tersebut dimunculkan kekecewaan mereka terhadap Angkatan Bersenjata yang tidak dapat menahan gerak maju tentara Belanda pada saat itu.
Amir menggunakan kesempatan program Re-Ra untuk memenuhi ambisi politiknya yaitu menempatkan Angkatan Bersenjata di bawah kekuasaannya sekaligus menyingkirkan tokoh-tokoh yang dianggap menghalangi ambisinya, yaitu Panglima Besar Jenderal Sudirman dan Kasum TNI Jenderal Urip Sumoharjo. Tapi Re-Ra yang dirintis Kabinet Amir Syarifuddin lewat Perjanjian Renville itu tidak berumur panjang karena mendapat tantangan dari kalangan tentara selain juga hilangnya kesempatan dengan dimulainya Agresi Militer Belanda 2 pada 19 Desember 1948 yang memaksa semua kekuatan bersenjata Indonesia bersatu kembali dan melakukan perang gerilya di bawah pimpinan Jenderal Sudirman.

Kabinet Hatta dan Program Re-Ra
Bung Hatta kemudian ditunjuk oleh Presiden Soekarno untuk membentuk kabinet yang diumumkan pada 29 Januari 1948 dengan Hatta sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan. Kabinet Hatta tidak mengikutsertakan wakil- wakil dari partai kiri dan memiliki rencana kerja dalam negeri, antara lain, untuk memperbaiki ekonomi. Salah satu cara yang ditempuh adalah melanjutkan program Re-Ra yang sempat terbengkalai pada Kabinet Amir Syarifuddin. Namun berbeda dengan Perdana Menteri sebelumnya, setelah ditunjuk sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan, Hatta menggunakan Re-Ra untuk menghilangkan pengaruh kiri di dalam angkatan perang. Hatta juga berpandangan program Re-Ra nya ini untuk mencegah orang-orang kiri yang ada dalam tubuh militer merongrong kedudukan Panglima Besar Jenderal Sudirman atau memperlemah tentara dengan cara apapun.
Tujuan dasar kebijakan tersebut adalah untuk menciutkan jumlah personil angkatan bersenjata, meningkatkan efesiensinya, dan menempatkannya kembali di bawah pimpinan pemerintah. Tujuan yang disebut paling akhir itu sangat penting, karena kesatuan-kesatuan tempur saat itu mulai menguasai daerah-daerah kantong atau daerah-daerah front mereka secara mandiri dengan menempuh kebijaksanaan mereka masing-masing.
Langkah awal yang diambil Hatta dalam upaya mereorganisasi dan merasionalisasi TNI AD adalah dengan mengurangi jumlah personelnya. Selain itu, fakta bahwa keadaan perekonomian Negara sudah sangat kritis, Hatta dituntut untuk melakukan penghematan seoptimal mungkin. Salah satu caranya dengan melaksanakan program Re-Ra agar mencapai sedikit perimbangan antara pendapatan dengan belanja negara dan alat-alat Negara.Usulan Kabinet Hatta ini disetujui Pemerintah yang selanjutnya menandatangani sebuah Dekrit pada tanggal 2 Januari 1948 yang memerintahkan agar semua kekuasaan di bidang pertahanan dipusatkan di tangan Menteri Pertahanan. Setelah disetujui oleh BP-KNIP maka diterbitkanlah Undang-Undang No 3 Tahun 1948 tertanggal 5 Maret 1948 mengenai Susunan Kementerian Pertahanan dan Angkatan Perang.
Untuk pelaksanaan rasionalisasi di kalangan angkatan ber senjata pada tanggal 8 Mei 1948 telah diadakan rapat Dewan Siasat Militer yang dihadirj oleh Hatta bersama pimpinan Angkatan Bersenjata: Sudirman, Nasution, Latif, Subjakto dan Surjadarma.
Dalam rapat ini dibicarakan dua hal. Pertama, yang disetujui oleh semua yang hadir, TNI-Masyarakat secepat mungkin dibubarkan. Mengenai soal ini Nasution berpendapat, bahwa TNI- Masyarakat pada prinsipnya telah dibubarkan. Kedua, Hatta bersedia memberikan basis militer kepada Amerika, yang ditukar dengan senjata untuk memperoleh dukungan internasional guna mempercepat kemerdekaan Indonesia sepenuhnya

Dampak dari Program Re-Ra
Pada pelaksanaanya, program Re-Ra yang dijalankan oleh Kabinet Hatta tidak mulus karena banyak mendapatkan tentangan bahkan dari kalangan tentara sendiri. Bagi mereka yang terkena rasionalisasi akan merasa kecewa karena praktis kehilangan pekerjaan atau kedudukan yang dinilai prestise bagi pemuda pada masa itu.
Di Angkatan Laut misalnya, sebagai tindak lanjut dari UU No 3 Tahun 1948, dibuatlah Komisi Reorganisasi ALRI pada tanggal 17 Maret 1948 dengan Kolonel R. Soebijakto sebagai Ketua Komisinya. Salah satu dampaknya adalah dileburnya Divisi I dan Divisi II Tentara Laut Republik Indonesia dan digabungkan ke dalam kesatuan Angkatan Darat.
Di antara mereka yang kecewa adalah Laksamana Muda Atmadji yang sebelumnya juga sudah merasa dikecewakan saat terjadi perubahan nama dari BKR Laut menjadi TKR Laut pada tanggal 5 Oktober 1945 dengan Kepala Staf Umum Laksamana M. Pardi yang bermarkas di Yogyakarta. Atmadji dkk yang sudah berjuang sebagai tentara pelaut saat penjajahan Belanda dan Jepang, merasa kecewa karena tidak lolos seleksi menjadi anggota TKR Laut, sehingga membentuk apa yang dinamakan Marine Keamanan Rakyat (MKR) yang bermarkas di Surabaya dan dipimpin oleh Laksamana Muda Atmadji. Dengan adanya Re-Ra, Atmadji dipindahtugaskan ke Kementrian Pertahanan. Dalam perjalanannya Atmadji dan kelompoknya memilih ikut terlibat dalam Pemberontakan PKI Madiun 1948.
Sementara itu, sejumlah tokoh kiri yang menduduki posisi penting di Kementerian Pertahanan diberhentikan dan tentara laskar yang dibentuk Amir Syarifuddin pada tahun 1947 harus melebur ke dalam TNI dan karenanya harus tunduk pada aturan dan komando TNI. Wajar jika golongan kiri merasa kecewa lalu mengecam Hatta dan menghalangi pelaksanaan Re-Ra.
Dalam bulan April 1948 terjadi demonstrasi terutama dari pelajar di Jawa Timur menentang Re-Ra. Bulan Mei 1948 di Solo, tentara Divisi Panembahan Senopati juga melakukan demonstrasi menentang Re-Ra.
Pada bulan Mei 1948, berdasar peraturan rasionalisasi, Sutarto yang divisinya kompak dan persenjataannya cukup baik, dinayatakan non-aktif dan pasukannya diperintahkan melapor kepada Markas Besar di Yogya. Sutarto bersama komando bawah annya menentang perintah Markas Besar ini. Sikap Sutarto beserta perwiranya ini didukung oleh kekuatan Kiri di Solo beserta laskar- laskar yang menentang re-ra. Untuk menyatakan dukungannya, pada tanggal 20 Mei, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, di Solo terjadi demonstrasi protes yang besar menentang re-ra pemerintah Hatta. Demonstrasi ini juga diikuti oleh parade, sekaligus protes, oleh beberapa batalyon bersenjata lengkap dan berat dari Pesindo dan Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI). Dalam parade dan demonstrasi tersebut diserukan dukungan terhadap kelanjutan Sutarto sebagai komandan divisi dan tuntutan agar Pemerintah membatalkan re-ranya.
Pada bulan Juli di dalam Divisi IV diadakan 'reorganisasi sendiri'. Divisi IV berubah nama menjadi 'Divisi Pertempuran Panembahan Senopati' (DPPS). 'Reorganisasi sendiri' yang diadakan oleh Panembahan Senopati ini jauh dari keinginan, apalagi melegakan, Hatta dan Nasution di Yogya. Sebab: jumlah anak buah, personalia dan kedudukan komandan dan pembagian senjata di dalam DPPS adalah sama dengan di dalam Divisi Panembahan Senopati yang semula.
Setelah Sutarto tertembak, komandan DPPS dipegang oleh LeKol Suadi. Mengenai rasionalisasi di kalangan Angkatan Bersenjata, pada tanggal 2 September 1948, Hatta di muka sidang BP-KNIP menyatakan antara lain bahwa: "Istimewa terhadap angkatan perang kita rasionalisasi harus dilaksanakan dengan tegas dan nyata...; "... berpedoman kepada cita-cita "satu tentara, satu komando"; "... dalam bentuk dan susunan yang efektif'; "... mengurangkan jumlah angkatan perang kita sampai kepada susunan yang rasionil".
Dengan terbentuknya Markas Besar Komando Djawa (MBKD) di bawah pimpinan Kolonel A.H. Nasution selaku Panglima Tentara & Teritorial Djawa (PTTD) dan Markas Besar Komando Sumatra (MBKS) di bawah Kolonel Hidayat selaku PTTS, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pertahanan tanggal 28 Oktober 1948, dapat dikatakan Re-Ra di lingkungan TNI AD sudah selesai.
Program Re-ra ini juga nantinya turut menyurut Kudeta PKI di Madiun 1948, karena berbagai kesatuan yang menolak atau tidak setuju dengan program ini kemudian bersatu serta bersekutu dengan PKI melancarkan kudeta pada 18 September 1948
_______________


Sumber :

      - “Politik Militer Indonesia 1945 – 1967, Menuju Dwifungsi ABRI”, Ulf Sundhaussen
      - “Sejarah Nasional Indonesia VI: Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia”, Nugroho Notosusanto, et.al.
    - "Pemberontakan PKI-Musso di Madiun 18 - 30 September 1948", Rachmat Susatyo
      - “Reorganisasi dan Rasionalisasi TNI AL 1948 – 1950: Dari Pembentukan Komisi Reorganisasi (KRAL) Hingga Terbentuknya Korps Komando Angkatan Laut (KKO AL)”, Rifky Azhri.
     - Reformasi Angkatan Perang Republik Indonesia dalam Pemberitaan Kedaulatan Rakyat 1947-1948 | Subandi Rianto - Academia.edu

Rabu, 23 Desember 2015

Pameran Fotografi Perempuan Penyintas '65 Berlanjut di Sanggar Akar


Rabu, 23 Des 2015 10:17 WIB  ·   Tia Agnes

Foto: Museum Temporer Rekoleksi Memori

Jakarta - Museum Temporer Rekoleksi Memori yang berlangsung di Taman Ismail Marzuki (TIM) awal Desember lalu memang sudah ditutup. Namun program 'Roadshow Rekoleksi Memori' masih berlanjut di tempat lainnya.

Salah satu karya dari Museum Temporer Rekoleksi Memori yakni pamera fotografi perempuan penyintas '65 berjudul 'Pemenang Kehidupan' digelar di Sanggar Akar. Eksibisi memamerkan 10 potret perempuan penyintas itu merupakan karya dari fotografer Adrian Mulya. 
"Mereka adalah perempuan yang luar biasa dan bertahun-tahun mengalami rasa sakit dan pahitnya kehidupan. Mereka melaluinya dengan tenang dan berani. Saya ingin menempatkan mereka sebagai pemenang kehidupan," ungkapnya, Rabu (23/12/2015).

Nursyahbani Katjasungkana yang membuka pameran mengatakan banyak anak-anak muda yang menelisik lagi persoalan sejarah yang bukan versi Orde Baru. 
"Hari ini, Hari Pergerakan Perempuan Indonesia, sudah saatnya kita membangun sejarah kita sendiri dari ingatan dan memori yang tidak pernah ditulis oleh buku sejarah resmi," ujarnya. 
Pameran foto perempuan penyintas '65 'Pemenang Kehidupan' masih akan berlangsung sampai 16 Januari 2015. Sebagai pengisi liburan akhir tahun, selain menikmati karya foto Adrian, para pengunjung juga bisa mencicipi kopi Nusantara di Studio Kopi Sang Akar di Tebet Dalam I, Nomor 22 Jakarta Selatan. 

KH Mahfudh Sumolangu, Pejuang Komandan Angkatan Oemat Islam


Rabu, 23 Desember 2015 02:00

Masjid Al Kahfi yang awal dibangun pada 879 H/1475 M

Salah satu kiai yang berjasa besar pada masa revolusi kemerdekaan, adalah Kiai Mahfudh Abdurrohman Sumolangu. Kiai ini, berada di barisan kiai militer, yang menggerakkan laskar-laskar santri di negeri ini. Kiai Mahfudh, menggerakkan pasukan Hizbullah-Sabilillah, di kawasan Kedu Selatan. Kemudian, pasukan ini disebut sebagai Angkatan Oemat Islam.

Siapakah sebenarnya Kiai Mahfudh Abdurrahman? Mengapa ia dianggap pemberontak dalam narasi sejarah militer negeri ini?

Kiai Mahfudh al-Hasani merupakan putra dari Syekh as-Sayid Abdurrahman bin Ibrahim al-Hasani. Ia merupakan keturunan dari Syeikh as-Sayid Abdul Kahfi al-Hasani, yang merupakan keturunan ke-10 dari Sayyid Abdul Qodir al-Jilani al-Hasani. Jika dirunut silsilahnya, yakni sebagai berikut: Kiai Mahfudh bin Abdurrahman bin Ibrahim (Syekh Abdul Kahfi ats-Tsani) bin Muhammad bin Zainal Abidin bin Yusuf bin Abdul Hannan bin Zakariya bin Abdul Mannan bin Hasan bin Yusuf bin Jawahir bin Muhtarom bin Syekh Sayyid Muhammad Ishom a-Hasani (Syekh Abdul Kahfi Awwal).

Kiai Mahfudh lahir di kompleks pesantren al-Kahfi pada 27 Rajab 1319/ 9 November 1901. Ia memiliki tiga saudara, yakni Syekh Sayyid Thoifur al-Hasani dan Syarifah Ghonimah al-Hasani serta 6 saudara seayah lain ibu.

Pada usai 7 tahun, Kiai Mahfudh sudah hafal al-Qur’an. Ia juga menghafal hadist Arbain Nawawi. Ketika usai 16 tahun, Mahfudh remaja mendapat izin ayahandanya untuk mondok di pesantren Tremas Pacitan, yang diasuh Kiai Dimyati. Ketika ngaji di Tremas, Kiai Mahfudh menyusun dua kitab: al-Fawaidus Sharfiyyah (kitab sharaf) dan al-Burhanul Qathi’ (fiqh madzhab Syafi’i), yang diselesaikan pada Ramadhan 1336 H (Juni 1918). Setelah ngaji di Tremas, Kiai Mahfudh kemudian meneruskan belajarnya di pesantren Jamsaren Solo, serta pesantren Darussalam Watucongol, Muntilan, Magelang.

Ayahanda Kiai Mahfudh, yakni Syekh Abdurrahman bin Ibrahim merupakan kiai ‘alim yang menguasai banyak ilmu. Beliau berhaluan Ahlussunnah wal-Jama’ah, mengikuti fiqh madzhab Malikiyyah, dan penganut Tariqah as-Syadziliyyah. Akan tetapi, Syekh Abdurrahman menyarankan putranya untuk menganut fiqh madzhab Syafi’i. Karena, madzhab Syafi’i banyak dianut oleh warga muslim Indonesia, dan cocok dengan kultur orang Indonesia.

Menggerakkan Santri 

Kiai Mahfudh termasuk sosok ulama yang inovatif dan menginspirasi parasantri. Selain keilmuan agama dan tasawuf yang mendalam, Kiai Mahfudh juga menggerakkan santri di bidang pertanian dan perekonomian. Hal ini, dimaksudkan agar para santri dapat mandiri di hadapan rezim kolonial pada masa itu. Pada tahun 1940an, Kiai Mahfudh menggerakkan bermacam usaha, di antaranya pengolahan kopra, industri minyak goreng, pemintalan benang, produksi madu, pabrik rokok, perdagangan kayu jati, dan pemilik penggilingan padi. Pada waktu itu, usaha-usaha yang dirintis Kiai Mahfudh menjadikan santri-santri dan penduduk di kawasan Kebumen memperoleh manfaat positif.

Ketika menjelang kemerdekaan, Kiai Mahfudh juga bergerak untuk melawan kolonial. Beliau sering bertukar pikiran dengan Syekh Hasyim Asy’arie melalui surat menyurat. Kiai Mahfudh juga akrab dengan Kiai Wahid Hasyim, putra Syekh Hasyim Asy’arie. Dengan demikian, Kiai Mahfudh merupakan salah satu tokoh kunci yang menggerakkan santri dalam menjemput kemerdekaan. Nasionalisme Kiai Mahfudh menjadi catatan penting bagi pergerakan kaum santri, terutama di kawasan Kedu Selatan, dalam melawan penjajah, baik sebelum proklamasi kemerdekaan, maupun sesudahnya.

Kiai Mahfudh juga aktif berjuang di medan pertempuran dan memiliki strategi jitu dalam mengorganisasi pasukan. Ia membentuk laskar santri, dalam barisan Angkatan Oemat Islam. AOI terbentuk pada 27 Ramadhan 1346 H/ 4 September 1945. Pada waktu itu, tentara nasional sebagai pasukan militer Negara Indonesia belum sepenuhnya solid. Masa awal kemerdekaan, masih dalam transisi kepemimpinan, ekonomi dan konsolidasi pasukan militer. Pasukan-pasukan militer yang terdiri dari berbagai latar belakang ideologi, golongan dan etnis, masih tercerai berai. Pasukan yang dikomando Panglima Soedirman juga masih menata barisan. Hal ini, sebagaimana tercatat dalam thesis Atik Maskanatun Ni’amah (2013), “Biografi Syaikh Mahfudh al-Hasani Somalangu Kebumen (1901-1950)”.

Pemimpin Militer

Menurut Gus Dur, Angkatan Oemat Islam (AOI) muncul akibat kebijakan pimpinan militer (APRIS) pasca pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949. Kebijakan ini menghendaki peleburan laskar-laskar perlawanan ke dalam APRIS setelah usainya perang kemerdekaan. Namun, peleburan itu dengan misi bahwa hanya orang-orang yang mendapat pendidikan ‘Sekolah Umum Belanda’ saja yang menduduki jabatan komandan Batalyon. Pada konteks ini, Syekh Mahfudh Abdurrahman berminat menjadi komandan batalyon ini, yang akan dibentuk dan bermarkas di Purworejo. Akan tetapi, karena alasan ijazah dan kebijakan pemerintah yang tidak memberikan ruang negosiasi, maka karier Kiai Mahfudh terhalang. Akhirnya, yang menjadi Komandan Batalyon adalah pemuda bernama Ahmad Yani.

Akar sejatinya adalah kebijakan Re-Ra (restrukturisasi dan rasionalisasi) yang digelorakan Kabinet Hatta pada 1948. Kebijakan ini, atas usulan Wakil Panglima Besar AH Nasution. Melalui program Rera, personil Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan dipangkas menjadi separuh dari seluruh personil, dengan kualifikasi khusus yakni mereka yang memiliki ijazah. Mereka yang mendapat pendidikan militer di zaman Belanda dan Jepang mendapat prioritas, karena memiliki persyaratan administratif. Akan tetapi, kalangan santri tidak mendapatkan tempat dan disingkirkan dari jalur karier militer. Padahal, laskar-laskar santri berperan penting dalam perang kemerdekaan.

Syekh Mahfudh Abdurrahman risau dengan hal ini. Ia mengomando lebih dari 10.000 pasukan dan sekitar 30.000 massa tambahan yang menguatkan barisan laskar. Kiai Mahfudh ingin agar pasukannya dapat diakomodir oleh kebijakan negara, mengingat jasa penting dan kegigihan melawan penjajah pada masa kemerdekaan. Pasukan Angkatan Oemat Islam (AOI) merasa tidak diperhatikan oleh pemerintah. Mereka memang sebagian besar dari kalangan santri dan petani, yang tidak memiliki akses pendidikan formal. Padahal, ketika pasukan NICA menyerbu berbagai kawasan di Jawa Tengah, pasukan AOI dengan gigih melawan penjajah. Sebagai Ketua PPRK (Panitia Pertahanan Rakyat Kebumen) yang berkedudukan di bawah Bupati Kebumen, Kiai Mahfudh mengerakkan pasukannya di garda depan menghadapi NICA. Pasukan AOI menjaga garis demarkasi Sungai Kemit, Gombong Timur (Kuntowijoyo, 1970).

Ketika menjaga demarkasi barat Yogyakarta—ketika menjadi Ibu Kota RI—Kiai Mahfudh sempat was-was karena demarkasi timur, di kawasan Madiun terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Front Demokrasi Rakyat (FDR) pimpinan Amir Syarifuddin. Tentu saja, peristiwa Madiun pada 1948 menguras energi laskar, tentara dan rakyat. Kiai Mahfudh merasa bahwa NICA akan memanfaatkan situasi ini dengan menjebol demarkasi Sungai Kemit dan menyerbu Yogyakarta, agar RI jatuh ke tangan Belanda. Pada 18 Desember 1948, tentara NICA menggelar kampanye militer Doortot naar Djokdja. Kampanye militer ini berhasil menawan Soekarno-Hatta, sebagai pemimpin Republik Indonesia. Operasi militer NICA ini, membuat pasukan TNI dan laskar-laskar tercerai berai. Kemudian, setelah peristiwa ini, terjadi penandatanganan kesepakatan di Istana Rijswik, pada 27 Desember 1949. Kesepakatan ini, merupakan lanjutan dari Konferensi Meja Bundar, dengan rumusan pendirian Republik Indonesia Serikat (RIS) yang didukung APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) sebagai tentara nasional. Tentu saja, kesepakatan ini membawa masalah tersendiri bagi pasukan-pasukan militer yang telah terkoordinasi pada era sebelumnya.

Pasukan AOI mendapat tawaran dari APRIS untuk bergabung. Kiai Mahfudh menolak bergabung, karena melihat bahwa kebijakan Rera merugikan laskar-laskar dan terutama AOI. Setidaknya, ada empat ancaman pasca kebijakan Rera: (1) ancaman eksistensi organisasi, (2) ancaman kehilangan posisi sosial ekonomi, (3) ancaman kehilangan posisi politis (4) ancaman kehilangan posisi budaya. Kiai Mahfudh sebenarnya sudah tidak memikirkan tentang karier militer atau posisinya sebagai komandan laskar. Akan tetapi, nasib puluhan ribu pasukan dan simpatisan laskar Hizbullah-Sabilillah, dan Pasukan AOI di kawasan Kedu Selatan menjadi keprihatinan Kiai Mahfudh. AOI pada masa itu, memiliki pengaruh besar di Wonosobo, Banjarnegara, Cilacap, Kebumen dan Purworejo. Bahkan, kharisma Kiai Mahfudh melebihi otoritas pejabat Bupati Kebumen pada masa itu, RM Istikno Sosrobusono (Widiyanta, 1999).

Meski pasukan AOI sudah bergabung dengan Batalyon Lemah Lanang, akan tetapi masalah tidak berhenti. Para pasukan AOI yang memiliki prinsip keagamaan kuat, berbeda tradisi dengan pasukan didikan Militarie Academie Hindia Belanda, yang menjadi pasukan APRIS. Akibatnya, terjadi perkelahian antar pasukan, hingga satu pasukan AOI meninggal. Kolonel Sarbini di Magelang, menganggap peristiwa ini sebagai percikan pemberontakan.

Menurut keterangan Kiai Afifuddin (kerabat Kiai Mahfudh), hingga menjelang 1 Agustus 1950, Kiai Mahfudh sama sekali tidak menyiapkan konsep-konsep untuk mendirikan negara tersendiri, sebagaimana yang dilakukan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo di Jawa Barat. Kiai Mahfudh hanya ingin memperluas kawasan kepoetihan, semacam kawasan kaum muslim untuk memperluas interaksi komunitas. Akan tetapi, pembicaraan tentang ide Kiai Mahfudh ini juga tidak ada tindak lanjutnya. Pertemuan para pimpinan Batalyon 423 dan 426 (berasal dari laskar Hizbullah-Sabilillah), hanya ditujukan sebagai pertemuan untuk membahas kebijakan Rera dari pemerintah. Maka, dapat dibayangkan, betapa Kiai Mahfudh sangat kaget ketika pesantren Sumolangu diserbu oleh pasukan TNI, pada pagi hari 1 Agustus 1950. Bangunan pesantren dan rumah-rumah penduduk di kawasan Sumolangu, Candiwulan dan Candimulyo serta kawasan sekitarnya menjadi rusak. Masjid kuno yang berusia lebih 400 tahun juga mengalami kerusakan parah. Arsip-arsip dibakar. Sekitar 1000 orang tewas pada hari itu.

Kejadian ini, membawa luka mendalam bagi pengikut-pengikut Kiai Mahfudh yang berhasil meloloskan diri. Mereka kemudian membangkitkan perlawanan dengan pasukan Batalyon Lemah Lanang, yang kemudian bergabung dengan sisa-sisa Batalyon 426 dan 423 MMC (Merabu Merapi Complex) di kawasan Gunung Slamet. Inilah yang kemudian menjadi stigma Kiai Mahfudh dan pengikutnya semakin memburuk di hadapan pemerintah. Buku-buku sejarah yang ditulis setelah peristiwa ini, dalam sudut pandang militer, memandang Kiai Mahfudh dan pasukannya sebagai pemberontak. Padahal, yang sebenarnya terjadi, adalah intrik politik dan kepentingan para elite militer dalam misi Rera, yang ingin menyingkirkan kaum santri dalam peta militer negeri ini.

Kiprah Angkatan Oemat Islam (AOI) sebagai laskar pejuang untuk menegakkan NKRI di kawasan Kedu Selatan perlu ditulis ulang dengan sudut pandang sejarah yang sebenarnya. AOI selama ini dianggap sebagai pemberontak dan memiliki jaringan dengan orang-orang komunis. Tentu saja, hal ini merupakan pandangan yang salah, mengingat kiprah AOI di bawah komando Kiai Mahfudh Abdurrahman sangat gigih membela NKRI. (Munawir Aziz)

Referensi:
AN Ni’amah, Biografi Syaikh Mahfudh Al-Hasani Somalangu Kebumen (1901 M-1950 M) [1], Thesis Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013.

A Zuhriyah, Angkatan Oemat Islam (Aoi): Studi Historis Gerakan Radikal Di Kebumen 1945-1950 [2], Thesis Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, 2013.

D Widiyanta, Angkatan Oemat Islam 1945-1950: studi tentang Gerakan Sosial di Kebumen, Jakarta: FIB-Universitas Indonesia, 1999.

Kuntowijoyo, Angkatan Oemat Islam 1945-1950: Beberapa Tjatatan Tentang Pergerakan Sosial, Yogyakarta: UGM, 1970.

Munawir Aziz, Wakil Sekretaris LTN PBNU, Periset Islam Nusantara :::: Twitter: @Moenawiraziz

Selasa, 22 Desember 2015

Peristiwa 3 Juli 1946, Percobaan Kudeta Pertama

22 Desember 2015
 
Perbedaan pemikiran yang frontal antara Perdana Menteri Soetan Sjahrir  dengan kelompok oposisi “Persatuan Perjuangan” (PP) pimpinan Tan Malaka, terjadi insiden penculikan hingga upaya kudeta Kabinet Sjahrir II pada medio 1946. Pemicu peristiwa ini adalah ketidakpuasan pihak oposisi terhadap politik diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap Belanda. Kelompok ini menginginkan pengakuan kedaulatan penuh, sedangkan kabinet yang berkuasa hanya menuntut pengakuan kedaulatan atas Jawa dan Madura.

Kronologinya berawal dari penangkapan Tan Malaka dan para pengikutnya, seperti Achmad Soebardjo dan Sukarni pada 23 Maret 1946, dengan tuduhan merencanakan penculikan Sjahrir.  Penculikan itu benar-benar terjadi empat hari kemudian.

Penculikan Pada Sjahrir
 
Ide penculikan itu berawal dari A.K Joesoef, Kepala Tentara Pendjagaan Kota (Jogjakarta), yang ingin menculik Sjahrir karena dianggap telah merugikan bangsa dengan hasil perundingannya. Karena pada waktu itu Sjahrir sedang ada di Solo, yang berarti di luar wilayah kekuasaan Joesoef, dia meminta surat perintah kepada Soedarsono, Komandan Batalyon 63 dan juga “di-acc” Panglima Divisi IV, Kolonel Sutarto yang merupakan tangan kanan Jendral Soedirman. Akhirnya dari Soedarsono, ide itu merembet sampai penasihat – penasihat politiknya Soedirman dan sampai pada Yamin dkk. Berbekal surat itulah A.K. Yusuf tak menemui halangan berarti dari Kepolisian Solo untuk melakukan penangkapan pada Sjahrir.

Kepala Polisi, Domopranoto sedianya ingin mengklarifikasi pada Jenderal Soedirman dan Presiden Soekarno. Tapi kelompok Jenderal Sutarto bersikeras bahwa surat ini sudah resmi tanpa harus diklarifikasi. Dengan begitu, terbuka lebar jalan A.K. Yusuf dan Sutarto menculik Sjahrir  bersama beberapa anggota kabinet lainya di Hotel Merdeka, Solo sekitar pukul 01.00. WIB

Sementara itu ada dua anggota kabinet Sjahrir, yakni Dr. Sudarsono dan Subadio, berhasil lolos dengan menyeberangi sungai kecil di belakang hotel. Sementara itu, Sjahrir dibawa ke Kasunanan Paras, Boyolali, di mana Sjahrir dijaga oleh Komandan Batalyon Paras, Mayor Soekarto.

Karena tanpa rencana yang matang, akhirnya Kup ini berhasil digagalkan dengan mudah oleh pemerintah (dalam hal ini Sjahrir dan Amir Sjarifuddin). Bahkan penculikan terhadap Amir Syarifudin pun gagal. 
 


Karena keberadaan Sang kepala pemerintahan dan kabinetnya tak diketahui rimbanya dan terjadi kevakuman pemerintahan maka pada 28 Juni, Presiden Soekarno mengeluarkan Maklumat No.1 tahun 1946, untuk sementara mengambil kekuasaan penuh dan menggulirkan sistem presidensiil. Dengan bunyi maklumat sebagai berikut,
“Berhubung dengan kejadian-kejadian dalam negeri yang membahayakan keselamatan Negara dan perjuangan kemerdekaan kita, maka kami Presiden Republik Indonesia dengan persetujuan Kabinet dalam sidangnya pada tanggal 28 Juni 1946 mengambil kekuasaan pemerintah sepenuhnya untuk sementara waktu sampai keadaan biasa yang memungkinkan kabinet dan lain-lain badan resmi bekerja sebagaimana mestinya”
Keesokan harinya, seluruh kekuasaan pemerintahan diambil alih lagi Presiden Republik Indonesia. Upaya himbauan Soekarno melalui media massa akhirnya berhasil, karena beberapa hari setelah itu seluruh korban penculikan dibebaskan kembali.
 Percobaan Kudeta 3 Juli 1946
Tanggal 3 Juli 1946, Mayor Jendral R.P. Sudarsono, pelaku utama penculikan yang sehaluan dengan kelompok Persatuan Perjuangan, menghadap Soekarno bersama beberapa rekannya dan menyodorkan empat maklumat untuk ditandatangani presiden, yang menuntut agar:

Ø  Presiden memberhentikan Kabinet Sjahrir II
Ø  Presiden menyerahkan pimpinan politik, sosial, dan ekonomi kepada Dewan Pimpinan Politik
Ø  Presiden mengangkat 10 anggota Dewan Pimpinan Politik yang diketuai Tan Malaka dan beranggotakan Muhammad Yamin, Ahmad Subarjo, dr. Boentaran Martoatmodjo, Mr. R. S. Budhyarto Martoatmodjo, Sukarni, Chaerul Saleh, Sudiro, Gatot, dan Iwa Kusuma Sumantri.
Ø  Presiden mengangkat 13 menteri negara yang nama-namanya dicantumkan dalam maklumat tersebut

Presiden Soekarno, pihak pemerintah yang sudah jauh hari siap menghadapi pihak Soedarsono tidak menerima maklumat tersebut dan memerintahkan penangkapan para pengantar maklumat, Dan akhirnya perobaan pembrontakan pun gagal karena Partai-partai seperti Masyumi, PNI, dan PBI yang diharapkan mengerahkan mendukung dengan massa ke jalan – jalan untuk berpawai tidak menjalankan hal tersebut. Serta dari pihak militer sendiri, ternyata Soedarsono tidak mendapatkan dukungan yang penuh dari divisi lain maupun kesatuan lain. Terbukti dengan munculnya Soeharto yang ditugaskan langsung oleh Presiden Soekarno untuk menangkap Soedarsono dan yang terlibat dari pihak – pihak tentara dan polisi.

Sementara itu pada akhirnya, Sjahrir berhasil dibebaskan dan Tan Malaka Cs masuk jeruji besi di Penjara Wirogunan, Yogyakarta. Sementara itu empat belas orang yang diduga terlibat dalam upaya kudeta diajukan ke Mahkamah Tentara Agung. Tujuh orang dibebaskan, lima orang dihukum 2 sampai 3 tahun, sedangkan R.P. Sudarsono dan Muhammad Yamin dijatuhi hukuman selama empat tahun penjara.
Dua tahun kemudian, pada tanggal 17 Agustus 1948, seluruh tahanan Peristiwa 3 Juli 1946 dibebaskan melalui pemberian grasi presiden.
 
http://referensianaa.blogspot.co.id/2015/12/peristiwa-3-juli-1946-percobaan-kudeta.html