HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Rabu, 27 Januari 2016

Problem Historiografi Indonesia

Aryono | 27 Jan 2016, 23:40

Sejarawan Taufik Abdullah memaparkan perjalanan penulisan sejarah di Indonesia. Memandang pidato Hatta lebih bernilai akademis ketimbang pledoi Sukarno.

Sejarawan Taufik Abdullah dalam ceramahnya di Salihara. Foto: Nugroho Sejati/Historia@2016

TAUFIK Abdullah membuka ceramahnya dengan menyebut Mohammad Hatta sebagai orang Indonesia pertama yang secara terbuka menyatakan sejarah nasional Indonesia. Menurutnya, hal tersebut terbaca dari pidato pembelaan Hatta pada 1928 di depan Pengadilan Den Haag, Belanda.
Menurutnya, dalam pidato yang berjudul Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka) itu Mohammad Hatta tak hanya memprotes pemerintah kolonial namun juga mengecam corak pelajaran sejarah yang diberikan di sekolah pemerintah di Hindia Belanda. Siswa yang bersekolah di sekolah pemerintah hanya dicekoki kisah pahlawan Eropa.
“Para pelajar di sekolah-sekolah pemerintah, katanya, hanya disuruh dan dibujuk “untuk mencintai dan mengagumi pahlawan-pahlawan kemerdekaan Eropa, seperti Wilhelm Tell, Mazzini, Garibaldi, Willem van Oranye,” kata Taufik dalam ceramahnya di Salihara, 26 Januari kemarin.
Sejarawan senior ini pun membandingkan pidato Hatta dengan pidato Indonesia Menggugat, pledoipembelaan Sukarno di pengadilan Bandung pada 1930. Taufik menilai dari kacamata seorang akademis, pidato Hatta jauh lebih bernilai ketimbang Sukarno.
“Kalo dipandang dari sudut pandang akademis, Indonesia Vrij lebih tinggi nilainya daripada Indonesia Menggugat, karena Bung Hatta kan kuliahnya di Belanda, sedangkan Bung Karno kan hanya di Bandung,” ujarnya ditingkahi derai tawa peserta.
Dalam Indonesia Menggugat, Sukarno tidak melakukan protes terhadap narasi sejarah kolonial. Dia, menurut Taufik, hanya mengisahkan pembabakan sejarah Indonesia ke dalam tiga periode yakni, masa lalu yang gemilang; masa kini yang gelap gulita; dan masa depan yang penuh harapan.
Menggugat Neerlando-Sentrisme
Dalam ceramahnya, Taufik juga menjelaskan sejarah historiografi di Indonesia mulai zaman Hindia Belanda. Buku F.W Stapel, Geschiedenis van Nederlandsch Indies (Sejarah Hindia Belanda) yang terbit 1939, dipandang sebagai titik puncak historiografi kolonial. Buku ini terdiri dari lima jilid: dua jilid pertama mengenai kerajaan lama di Jawa yang bercorak Hindu dan Islam dan tiga jilid berikutnya tentang peran Belanda.
Buku tersebut kemudian dikritik oleh J.C van Leur karena sejarah Indonesia hanya dipandang sebagai perpanjangan tangan dari orang-orang VOC, seputar pejabat, gubernur jenderal dan orang-orang  besar lain. “Dalam hal ini orang Indonesia tidak muncul sama sekali, atau sebagai people without history jika meminjam istilah Henk Schulte Nordholt,” kata Taufik dalam makalahnya.
Sekira 1950-an, zaman kembali normal setelah pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949, diskusi tentang historiografi Indonesia mulai menghangat. Mulai dari Willem Philippus Coolhaas (1899-1981), ahli sejarah kolonial sekaligus mantan pejabat kolonial, yang mengkritisi van Leur, hingga pendapat GJ Resink yang menyatakan Indonesia tidak dijajah 350 tahun. Dalam makalahnya, Taufik menulis secara agak sinis mengenai H.J De Graaf. Menurutnya, de Graaf -ahli sejarah kesultanan Mataram-, tetap terpukau dengan dinamika sejarah Jawa dan melupakan wilayah lain.
Taufik lebih menyoroti karya de Graaf yang berjudul De Regering van Sultan Agung, Vorst van Mataram 1613-1645, en die van zijn Voorganger Panembahan Seda Ing Krapjak 1601-1613, yang diterbitkan tahun 1958. Namun dia tak merujuk karya de Graaf lain yang berjudul Geschiedenis van Indonesie yang diterbitkan tahun 1949. Bahkan oleh Moh Ali, seperti ditulis dalam Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, buku de Graaf tersebut termasuk dalam kategori karya yang progresif waktu itu, sejajar dengan buku Nusantara karya B.H.M Vlekke yang terbit 1943.
Rekonstruksi sejarah otentik dengan visi nasional mulai mengemuka pada Seminar Sejarah Nasional, di kampus UGM Yogyakarta, pada 14-18 Desember 1957. Pesertanya beragam, mulai dari akademisi, pendidik, ahli arkeologi bahkan hingga politisi dari berbagai partai politik kala itu.
“Ada satu orang yang kemudian terkenal, bahkan kelak ada yang membenciya dan ada pula yang menyanjungnya. Orang itu adalah Aidit (D.N Aidit -red). Jadi ia datang di seminar sejarah itu,” kenang Taufik. Hasil utama seminar sejarah tersebut adalah ciri Neerlando-sentris dalam penulisan sejarah harus digantikan dengan visi Indonesia-sentris.
Setelah Sukarno tergusur, Maret 1968, Suharto memegang tampuk. ‘Revolusi’ digantikan ‘pembangunan nasional’ ala Orde Baru. Agustus 1970, Seminar Sejarah Nasional II dihelat. Menurut Taufik, ada dua hasil penting, yaitu pembentukan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) dan penyusunan buku Sejarah Nasional Indonesia 6 jilid.
Dalam kacamata Taufik, Orde Baru hanya ingin menguasai rekonstruksi dan corak interpretasi kesejarahan tentang beberapa peristiwa sejarah tertentu. “Misalnya dalam buku jilid VI buku SNI, PDRI hanya diceritakan beberapa kalimat saja. Dan tentu saja masalah G30S,” tukas Taufik.
Masalah Penulisan Sejarah 1965
“Sewaktu saya SMP dua guru memberikan dua keterangan berbeda tentang pelaku G30S, dan buku cetak yang kami baca juga mengatakan hal yang berbeda. Lalu seperti apa kebenaran itu?,” tanya Fanny, seorang pelajar, kepada Taufik di sesi tanya jawab. Taufik menjawab normatif: tinggal bagaimana penyampainya atau guru yang mengajarkannya.
Setelah kejatuhan Suharto 1998, masalah penulisan sejarah terutama tema G30S kembali diperbincangkan. Bukan hanya ditataran akademisi, penambahan materi tentang masalah G30S juga masuk dalam kurikulum sekolah, seperti pada kurikulum 2004 yang menyebut peristiwa itu sebagai G30S saja. Namun, pada kurikulum 2006, ditetapkan kembali istilah G30S/PKI. Kejaksaan Agung mulai mempertanyakan terbitnya buku yang tidak menggunakan istilah G30S/PKI. Bahkan Menteri Pendidikan Nasional meminta para penerbit menarik buku-buku mereka yang menggunakan istilah lain selain G30S/PKI.
Pada akhir ceramahnya, model pelurusan sejarah tentang masalah G30S perlu dikaji ulang. Menurutnya, dengan nada sinis, ketika pelurusan sejarah itu diluncurkan, maka batas profesionalisme, ambisi politik, kesombongan dan kenaifan menjadi kabur. “Tidak usah berlagak i’m the truth,”, ujarnya.
Sumber: Historia 

Warisan Soeharto

Rabu, 27 Januari 2016 | 06:04 WIB
FOTO: KOMPAS/AGUS SUSANTO Soeharto
Pengantar redaksi:

Hari ini, tepat delapan tahun lalu, presiden kedua RI Muhammad Soeharto berpulang. Memperingati sewindu peristiwa tersebut, redaksi Kompas.com menayangkan artikel-artikel dari harian Kompas pada masa itu terkait sosok penguasa Orde Baru tersebut.
* * * * *

Oleh Jakob Oetama

Haji Muhammad Soeharto, presiden kedua RI, menghadap Sang Khalik. Persiapannya cukup panjang disertai dengan terganggunya kesehatan dan tinggal menyendiri.

Itu memberi kesan sengaja mengasingkan diri dari masyarakat ramai. Ia berhenti dari kursi kekuasaan setelah mengemban tugas kepresidenan selama 31 tahun disertai pergolakan politik.
Serupa seperti yang dialami Presiden Soekarno yang adalah sang proklamator kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia. Soekarno juga telah cukup lama memimpin pemerintahan dari tahun 1945 sampai tahun 1965 meskipun dalam periode sistem pemerintahan yang berbeda.
Presiden pertama wafat setelah menderita sakit dan diisolasi dari bakat serta kebetahan kepribadiannya, yakni berada di tengah rakyat banyak. Ada persamaan jalan hidup antara presiden pertama dan presiden kedua.

Keduanya memerintah dalam waktu lama dan sama-sama jatuh dari kekuasaannya. Sama-sama pula disertai pergerakan dalam kericuhan proses suksesi mereka.

Suatu koinsidensi yang masuk akal jika menimbulkan pertanyaan dan pelajaran sejarah yang bermanfaat bagi perikehidupan kita selanjutnya sebagai bangsa dan negara.
Dalam 20 tahun periode pemerintahan Soekarno berlaku beragam sistem sosial politik. Ada periode kebersamaan dan kedaruratan selama dua dasawarsa itu. Berlaku beragam sistem pemerintahan, sebut saja demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin.

Agenda sentral kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan disertai pancaroba pencarian, pergumulan, dan pemantapan pembangunan negara dan pembangunan bangsa.
Terjadi dikotomi antara paham politik dan kebangsaan yang mengacu kepada UUD 1945 dan berbagai ideologi partisan yang, misalnya, melahirkan gerakan Darul Islam (DI) dan gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang memuncak pada gerakan 30 September 1965.

Terjadi proses pemantapan negara kesatuan berikut keutuhan teritorialnya. Kerangka internasional yang dipelopori dan dibangkitkan Bung Karno adalah antikolonialisme dan neokolonialisme serta kebangkitan Asia- Afrika.

Indonesia pelopor dari New Emerging Forces. Perikehidupan sosial-ekonomi terabaikan dan hal itu kemudian merupakan kekuatan kontraproduktif dan kejatuhan presiden pertama ketika berkoinsidensi atau berinteraksi dengan G30S.

Selasa, 26 Januari 2016

Puisi Tak Terkuburkan: Nyanyian Sunyi Para Tahanan



Ibrahim Kadir, seorang ceh atau seniman tradisi lisan didong, merupakan salah seorang korban yang terkena imbas operasi militer G30S/PKI. Ia dibawa aparat saat tengah mengajar lagu Indonesia Raya di sebuah SD di Takengon, Aceh Utara. Mulanya ia heran—ia diboyong begitu saja tanpa pemeriksaan. Ibrahim tak lagi penasaran setibanya ia di penjara Takengon—tahanan lainnya adalah orang-orang yang diduga terlibat Partai Komunis Indonesia. Selama 22 hari, ia dipenjara bersama tahanan lainnya, sampai akhirnya dibebaskan dengan dalih terjadi kesalahan.

Hari-hari yang Ibrahim Kadir habiskan dalam penjara itu yang diceritakan oleh Garin Nugroho dalam Puisi Tak Terkuburkan. Selama 86 menit, film produksi 1999 ini berlangsung dalam sebuah penjara, berisikan para tahanan yang menunggu kepastian untuk diadili. Mereka mengisi hari dengan renungan-renungan yang mempertanyakan keadilan, juga berbagi cerita lucu tentang masa lalu masing-masing.

Garin sebisa mungkin membangun suasana kala itu. Penjara Takengon pada 1965 terekspresikan melalui detail-detail seperti dinding kayu lapuk yang berlubang di satu-dua titik, jeruji penjara yang bengkok di beberapa bagian, tempat tidur dari papan kayu, karung beras rajutan, dan tali pengikat tangan. Bisa ditilik pula para pemainnya. Tahanan laki-laki dan perempuan mengenakan pakaian tradisional yang menjadi ciri khas Aceh. Begitu pula dengan pakaian sipir yang identik dengan kostum aparat pada era itu.

Puisi Tak Terkuburkan, secara visual, membatasi perspektif penonton—seluruh film berlangsung dalam sel penjara yang sempit. Keterbatasan visual ini Garin kompensasikan lewat permainan suara. Terdengar berbagai suara dari luar penjara, yang memantik tanggapan tersendiri dari masing-masing tahanan, juga memberi petunjuk bagi penonton akan ketegangan yang tengah berlangsung kala itu. Seperti ketika truk datang dan menaik-turunkan para tahanan dengan paksa. Ada pintu truk yang dibanting, nama yang dipanggil, dan lirih suara tahanan yang memohon ampun pada aparat. Suara ini memperluas penuturan film, sehingga tangkapan penonton tidak sesempit yang terlihat pada layar saja—bahwasanya ada dunia di luar, yang mengatur segala yang terjadi dalam penjara.

Dalam Puisi Tak Terkuburkan, Garin juga memanfaatkan suara untuk menjelaskan gejolak batin yang dirasakan para tahanan. Suara itu hadir sebagai tutur kalimat para pemainnya, termasuk Ibrahim Kadir. Hampir semua monolog dan dialog dalam film ini dibawakan dengan mendayu-dayu, seperti orang melantunkan puisi.

Dalam sebuah monolog bernada lirih, Ibrahim Kadir menceritakan pengalamannya menyaksikan pembunuhan seorang tahanan, “Kupikir, kalau dia berpisah antara tubuh dengan kepala, sakit sekali rasanya. Kematian itu… memang kita semua mengalami mati, berpisah kepala dengan tubuh ini. Sedih rasanya, sedih, sedih sekali. Pada saat lahir, badannya utuh. Mulai dari kaki, sampai ke rambut, diciptakan Tuhan lengkap. Tapi kita menceraikannya, ciptaan Tuhan itu. ‘Hey! aku tidak suka dengan ciptaan ini’ katanya. Kemudian dia memotongnya.“ Tertuturkan kekejian eksekusi yang dilakukan aparat.

Dengar pula dialog yang diucapkan seorang tahanan perempuan kepada sipir. Ia meminta namanya dipanggil untuk dieksekusi setelah muak dengan tugas-tugasnya di dalam penjara. Ia meminta Ibrahim Kadir mengikat kedua tangannya dengan tali pengikat kerbau. Tapi ia menolak kepalanya ditutupi dengan karung. “Tuhan menciptakan mata yang indah untuk melihat kehidupan,” ujarnya. Ia lalu dikumpulkan bersama tahanan perempuan lainnya, siap untuk menghadapi kematian. Lantas ia berkata pada Ibrahim Kadir, “Pak Cik, kalau ini semua telah usai, saya ingin Pak Cik tetap berdendang… tetap berdidong. Tapi jangan ceritakan semua ini dengan kemarahan.”

Ucapan-ucapan melankolis yang muncul bisa jadi menunjukkan ketidakberdayaan para tahanan di dalam penjara. Mereka hanya bisa melontarkan keluhan kepada entah, alih-alih protes menggugat ketidakjelasan nasib. Mereka paham penjara yang mereka tempati hanya sebuah subsistem kecil. Masih ada elemen-elemen lain yang membentuk sistem penjara yang lebih besar.

Dalam penjara Puisi Tak Terkuburkan, sipir adalah satu-satunya tokoh yang hadir sebagai kontradiksi bagi para tahanan. Tentu percuma protes kepada sipir, sebab di atas mereka masih banyak lakon-lakon yang justru punya andil lebih besar dalam insiden penahanan mereka, yang sayangnya mustahil terjangkau. Suara-suara para tahanan hanya menjadi nyanyian sunyi.

Suara-suara protes yang terbungkam banyak ditemukan dalam tokoh-tokoh tahanan lainnya. Ada Jalil, yang sebelum dieksekusi, dirinya kecewa pada ideologi, yang bukannya membawa keharmonisan justru berujung kehancuran. Ada pula lelaki yang berkali-kali mengetukkan tangannya pada kayu atau pintu, yang bertanya-tanya kenapa para penguasa tidak terketuk hatinya pada keadaan para tahanan. Ada lelaki shalat, yang selalu bertanya ‘apakah sudah waktunya’, yang lebih ingin mendekatkan diri pada Tuhan daripada mengeluh sepanjang waktu. Sementara lelaki yang menutup telinga seolah tidak ingin mendengar jeritan-jeritan saat truk pengangkut tahanan datang, dan teriakan-teriakan saat para tahanan dibawa atau diadili. Tidak ada satu pun dari mereka yang berdaya—nasib mereka ada di genggaman orang lain, entah siapa.

Ketidakberdayaan para tahanan kian diperkuat kuat dengan minimnya informasi tentang dunia di luar penjara. Jika diperhatikan, tidak ada penanda waktu dalam Puisi Tak Terkuburkan. Tidak jelas apakah adegan berlangsung pada waktu siang atau malam, pada hari, tanggal, bulan apa, serta pukul berapa. Informasi yang bisa ditangkap dari luar penjara hanyalah suasanya mencekam, sebatas suara kendaraan dan eksekusi tahanan.

Ibrahim Kadir, sebagai tokoh sentral dalam Puisi Tak Terkuburkan, menjadi kesatuan yang mengikat minimnya informasi dalam film. Ia adalah seorang sastrawan Gayo, yang kemudian terbukti tidak ada sangkut pautnya dengan PKI. Dalam film, ia menjadi tahanan politik, yang harus tinggal dalam penjara tanpa bisa melihat dunia luar. Di sisi lain, ia juga menjadi orang yang secara langsung menyaksikan tahanan tumbang satu per satu.

Inilah yang menarik dari Puisi Tak Terkuburkan. Ini juga yang menjadikan film ini tetap relevanMinimnya informasi luar penjara secara harfiah menempatkan penonton dalam sumirnya peristiwa 1965. Semenjak peristiwa G30S/PKI dan selama Orde Baru, segala narasi tentang peristiwa 1965 diambil alih oleh penguasa. Tema-tema yang diangkat adalah melulu soal kejamnya PKI dan betapa mereka berkhianat kepada negara. Informasi itu disebarkan secara besar-besaran ke seluruh penjuru negeri. Walhasil, apa yang masyarakat kita pahami tentang PKI kebanyakan persis seperti yang disuguhkan penguasa.

Lewat Puisi Tak Terkuburkan, Garin menempatkan Ibrahim Kadir sebagai perwakilan kita, masyarakat Indonesia. Kita adalah Ibrahim Kadir dalam penjara, yang tidak pernah diizinkan untuk membaca peristiwa 1965 secara utuh. Ada bayang-bayang yang sengaja menutupi tragedi kemanusiaan itu. Buku-buku sejarah  menuliskannya dalam versi yang sesuai kepentingan penguasa. Sampai sekarang, belum ada teks maupun pernyataan resmi yang mampu mencerahkan persepsi kita.

Puisi Tak Terkuburkan | 1999 | Durasi: 86 menit | Sutradara: Garin Nugroho | Produksi: PT Kampain Multimedia, Yayasan SET | Negara: Indonesia | Pemeran: Ibrahim Kadir, M Din, M Junus Melalatoa, Fuad Idris, Ella Gayo, Jose Rizal Manua, Pitrajaya Burnama, Aty Cancer, Amak Baldjun, El Manik, Berliana Febrianti

Senin, 25 Januari 2016

Idea Komunisme dan Kemungkinan Masyarakat Baru


OLEH  · JANUARY 24, 2016


Pengantar Redaksi:
Sejak September tahun lalu, secara reguler Muhammad Al-Fayyadl diundang oleh Social Movement Institute (SMI) Yogyakarta untuk mengisi serial diskusi bertema komunisme yang diselenggarakan sebagai refleksi atas peringatan setengah abad peristiwa paling mengerikan dalam sejarah Indonesia: peristiwa 1965. Sampai hari ini, rangkaian diskusi yang rencananya akan berlangsung selama enam putaran tersebut masih berlangsung. Naskah ini adalah naskah pertama yang disampaikan penulis dalam acara tersebut. Atas persetujuan penulis dan SMI, Islam Bergerak berencana melansir semua naskah yang sudah dan akan disampaikan. Selamat membaca.***
Komunisme belum mati. Ya, komunisme belum mati.
Ungkapan itu, bagi kaum reaksioner dan status quo, terdengar sebagai ancaman yang harus disikapi, kalau perlu dengan intimidasi dan kekerasan. “PKI telah bangkit kembali, segala cara mereka tempuh. Mari kita lawan… Lawan…. Lawan…. Lawan… Dan hancurkan!!!!”, bunyi sebuah poster yang disebarkan Front Masyarakat Anti-Komunis belum lama ini.
Suara-suara ketakutan akan “kebangkitan komunisme”, “neo-komunisme”, atau “komunisme gaya baru” itu bertambah seiring dengan meningkatnya visibilitas simbol, identitas, dan pernak-pernik yang berkaitan dengan sejarah komunisme di negeri ini—lambang Palu-Arit. Munculnya secara “misterius” dan penuh kamuflase sejumlah lambang PKI di berbagai tempat dan kesempatan mengundang perhatian dari para aparat rendahan hingga Menteri yang menganggap “biasa-biasa saja” dan “tak serius” kemunculan lambang-lambang itu, yang segera menjadi justifikasi bagi para oposan reaksioner rezim untuk menemukan pembenaran bagi anggapan bahwa pemerintahan baru neoliberal, Soehartois, dan neo-developmentalis ini adalah pemerintahan “komunis”.[1]
Psy-war, perang propaganda, dan simulakra antara fakta dan halusinasi menjadi santapan dan konsumsi sehari-hari publik, ketika pada saat yang sama kebijakan-kebijakan negara terus menggelinding memakan korban dan perlawanan yang muncul terus diredam, dan isu-isu yang berkaitan dengan kenyataan riil tersebut tidak populer dan tidak mendapat tempat memadai dalam perbincangan publik.
Ungkapan itu, di sisi lain, diterima sebagai penanda bagi suatu kebenaran di masa silam, yang eksistensinya dinegasikan oleh ketakacuhan dan kebusukan tatanan kapitalis hari ini—“kerinduan terhadap suatu masa di mana saat itu memang ada partai yang terkesan serius memperjuangkan nasib kaum buruh tani dan miskin kota”[2]—seakan-akan penanda itu ingin berkata “Andai benar komunisme itu masih ada hari ini, maka nasib buruh tani dan warga miskin kota akan jauh lebih baik!”.Harapan baru? Lebih tepatnya, suatu ekspresi nostalgia yang menyiratkan suatu harapan di masa depan yang tidak dapat dipastikan perwujudannya.
Jika keraguan para “simpatisan”[3] komunisme—mereka yang tersadar dari ilusi-ilusi komunistofobia dan tertarik mengenal lebih jauh komunisme—menggambarkan harapan dan keterbukaan atas apa yang terjadi, kepercayaan diri sejumlah lingkaran kiri yang sangat terbatas di negeri ini memberi keyakinan bahwa komunisme memang belum mati, karena revolusi permanen sedang terjadi terhadap tatanan kapitalis hari ini,[4]walaupun secara eksplisit tidak ada satu pun organ yang terang-terangan mengafirmasi diri sebagai komunis. Namun pertanyaannya, bagaimana kita dapat membuktikan bahwa komunisme belum mati? Dengan cara apa vitalitas komunisme diuji dan diyakinkan menjadi landasan subjektif maupun objektif kelangsungannya pada level teoretis maupun praksis? Dengan “hasrat komunis”[5]yang mulai meletup dan pelan-pelan menggelora pada sejumlah “simpatisannya”, dengan segala ambiguitas dan inkonsistensinya? Dengan masih eksisnya partai-partai atau organ-organ komunis di beberapa tempat di dunia, walaupun partai-partai atau organ-organ itu hari ini sebagian mengalami demoralisasi dan terbukti menjadi manajer dan pelayan kepentingan kapitalisme nasional atau atau global?[6]Atau dengan sisa-sisa sejarah, artefak-artefak dari masa lalu yang atribut-atributnya direproduksi dan pelan-pelan masuk ke dalam “memori kolektif” masa kini (dengan segala kelatahan dan kekenesannya; dan jangan lupa bahwa hingga kini orang tetap dapat melihat jenazah Lenin di obelisk Rusia yang kapitalis), walaupun ide-ide di balik atribut-atribut itu telah dianggap bagian dari museum sejarah masa lalu yang layak dikubur dalam-dalam?
Dalam pertanyaan yang bernada Derridean,[7] bagaimana menjelaskan modus ontologis masih-hidupnya (living-on, la survie) komunisme setelah era vakum panjang yang menandai kematian virtual-nya (sehingga karena itu, ungkapan kaum reaksioner tentang “bahaya laten komunisme” ada benarnya, sejauh komunisme itu laten dalam masih-hidupnya, meskipun saat ini kita dapat mengatakan sebaliknya, dengan nada yang lebih positif, tentang “potensi laten komunisme”)? Bagaimana menjelaskan subsistensi sesuatu yang tidak dapat disebut benar-benar eksis (belum menyandang suatu modus ontologis bernama eksistensi)—sekali lagi terlepas dari keberadaan, sirkulasi, dan beredarnya atribut-atributnya yang simbolik atau fungsional untuk memberi nama bagi identitas kelompok, partai, organ, dan lain-lain—tetapi juga tidak dapat disebut sama sekali tidak ada (dapat direduksi ke dalam modus ontologis non-eksistensi atau nothingness)?
Dalam diskursus filsafat kontemporer, terdapat tiga jalan pemikiran dan analisis untuk menjelaskan hal tersebut. Pertama, jalan “kuasi-transendental”, yang menempatkan komunisme sebagai ekses yang akan selalu muncul dari kontradiksi laten kapitalisme dan tekanan (represi) yang dilakukan oleh kapitalisme untuk menghapus kontradiksi itu. Ekses itu tidak dapat dihilangkan oleh kapitalisme, dan muncul sebagai imaji virtual dari kematian dan kehancurannya sendiri, suatu imaji fantasmagorik yang selalu terpantul secara virtual (mirip sebuah gambar yang diproyeksikan dalam sinema) dan muncul sebagai bayangan gelap yang menyertai kapitalisme itu sendiri. “Hantu” (spectre) abadi bagi kapitalisme. Posisi ini, mengembangkan epitet pada pembukaan Manifesto Partai Komunis-nya Marx, dikemukakan oleh Derrida dan Gianni Vattimo. “Komunisme harus memiliki keberanian untuk menjadi ‘hantu’, jika ingin merebut kembali kenyataannya yang otentik”.[8]Hal ini berarti, komunisme tetap hidup selama kapitalisme eksis, sampai “hantu” itu mengalami “transubstansiasi” dan menjadi nyata (mendarah dan mendaging) dalam relasi-relasi sosial baru yang menggantikan kapitalisme.
Kedua, jalan “imanensi murni”, yang menempatkan komunisme sebagai potensi laten di dalam kapitalisme. Kapitalisme sudah menciptakan di dalamnya dirinya antagonisme-antagonisme. Maka dengan relasi sosialnya yang antagonistik, kapitalisme menyebarkan benih-benih komunisme dalam bentuk pemberontakan dan resistensi yang menggerogoti sistemnya. Masih-hidupnya komunisme dapat dijelaskan karena komunisme memang laten di dalam kapitalisme, yaitu dalam relasi-relasinya yang antagonistik, dan antagonisme ini menimpa siapapun yang menjadi subjek dan penderita di dalam kapitalisme. Maka setiap pemberontakan merupakan suatu “percobaan” komunisme. Pemikir yang menempuh jalan ini menggunakan konsep potensi untuk kemelekatan imanen komunisme di dalam kapitalisme (Antonio Negri, Alvaro Garcia Linera).
Ketiga, “Idealisme-Materialis”. Menurut jalan pemikiran ini, komunisme tidak dapat direduksi ke dalam sesuatu yang imanen dan laten di dalam kapitalisme, tidak juga “hantu” yang berada di luar kapitalisme, karena komunisme adalah sebuah Idea yang bersifat trans-temporal. Idea tentang Keadilan, Kesetaraan, dan Kebaikan yang dieksperimentasikan oleh berbagai subjek dan dimunculkan oleh berbagai peristiwa politik dan sejarah. Komunisme tidak mati-mati, karena ia adalah abstraksi dari kebenaran yang mendasari berbagai pengalaman pembebasan umat manusia, yang dilakukan oleh Semua untuk kebaikan Semua (All for All). Sejarah politik dapat menghancurkan kaum komunis, tetapi tidak Idea komunismenya. Posisi ini dimunculkan oleh Alain Badiou.
Mengikuti alur pikiran ini, pernyataan bahwa komunisme belum mati dapat diafirmasi secara positif sebagai kemungkinan emansipasi itu sendiri—Idea komunisme menjadi identik dengan Idea emansipasi itu sendiri. Dengan kata lain, sejauh orang percaya pada emansipasi, maka ia percaya bahwa komunisme itu mungkin. Di sini kita dapat menangkap perubahan sikap atas pernyataan komunisme belum mati, dari ketakutan dan keraguan menjadi afirmasi dan keterbukaan akan kemungkinan baru. Terjadi perubahan sikap subjektif. Tantangannya adalah bagaimana dapat mengafirmasi Idea ini, sementara fakta sejarah lama memperlihatkan hal yang sebaliknya—fakta-fakta tragis kekalahan dan kehancuran komunisme? Bagaimana menjelaskan bahwa praktik komunisme secara objektif pernah mengalami kegagalan?
Menguji “Hipotesis Komunis”
Berturut-turut sejak 2009 hingga 2011, melalui tiga konferensi “The Idea of Communism”, sejumlah pemikir Eropa kontinental menguji pertanyaan-pertanyaan ini dalam hubungannya dengan apa yang disebut Daniel Bensaïd sebagai “dialektika kegagalan” (dialectique de l’échec) komunisme.[9]Badiou berefleksi atas konsep “kegagalan” (apakah sesungguhnya kegagalan itu? Bagaimana memahami kegagalan itu?) dan bagaimana menyikapinya secara ‘dialektis’, tidak sebagai suatu akhir yang harus diratapi (sebagaimana dengan penuh kemenangan dirayakan oleh the end of history-nya Fukuyama dan para intelektual liberal), tetapi suatu kebenaran yang menjanjikan peluang dan kesempatan baru. Ia merumuskan Idea komunisme sebagai suatu hipotesis yang kegagalan pembuktiannya tidak membatalkan validitas hipotesis itu sendiri sebagai suatu hipotesis.
Dalam hal ini, terdapat pembedaan antara hipotesis dan eksperimentasinya, dan dengan demikian, ada pembedaan antara Idea dan pengalaman/instansiasi empirisnya.[10]Kegagalan Komune Paris 1871 tidak membuktikan kegagalan Revolusi Bolshevik 1905, dan kegagalan Revolusi Bolshevik 1905 tidak membuktikan kegagalan Komune Shanghai dan Canton 1920, dan seterusnya. Ia berefleksi atas faktor internal maupun eksternal dari kegagalan upaya-upaya “subjektivasi” Idea komunisme dalam momen-momen sejarah tertentu; termasuk dalam faktor internal, suatu pertanyaan besar mengenai hubungan antara komunisme dan kekerasan, dan secara eksternal, tantangan reaksioner dari kekuatan-kekuatan dominan yang tidak menghendaki perwujudan Idea.[11]Hal ini murni strategis.
Namun perdebatan yang krusial dalam konferensi tersebut adalah mengenai status epistemologis “hipotesis komunis” itu sendiri dalam hubungannya dengan Sejarah, yaitu tradisi Marxis dengan konsep-konsep operasionalnya seperti “perjuangan kelas”, “revolusi”, “kediktatoran proletariat”, dan seterusnya, dan hubungannya dengan Politik, yaitu tradisi politik dengan konsep-konsep klasiknya “Negara”, “partai”, dan seterusnya. Dalam arti apa komunisme baru ini tetap dapat mempertahankan sebagian atau seluruh keterikatannya dengan warisan tradisional Sejarah dan Politik masa lalunya? (Judith Balso, Alberto Toscano, Alessandro Russo). Haruskah komunisme hari ini mengadopsi kembali seluruh pendekatan yang telah digunakan dalam tradisi historis dan politiknya, ataukah mengadopsi pendekatan baru? Pertanyaan-pertanyaan yang sama sekali tidak ortodoks ini mendorong siapapun—para simpatisan Idea dan kaum komunis—untuk mengimajinasikan kembali praktik-praktik komunisme (Étienne Balibar).
Tiga simpul persoalan, kurang lebih, dapat menggambarkan fokus seminar ini, dan kajian kita:
  1. Bagaimana sejarah komunisme di masa lalu dilihat, direfleksikan, dan disikapi hari ini? (Dengan mengembangkan intuisi Lukacs, Frank Ruda menyebut ini sebagai proses anamnesis, yaitu mengingat kembali sejarah komunisme klasik untuk melakukan detraumatisasi—anamnesis dalam arti psikologis—tetapi juga de-traumatisasi secara teoretis, bagaimana belajar dari kegagalan dan kesalahan masa lalu untuk mengambil suatu posisi teoretis yang afirmatif terhadap Idea.)
  2. Apa “properti-properti” objektif maupun subjektif yang kita miliki bersama hari ini yang memungkinkan lahirnya bentuk-bentuk baru eksperimentasi dan instansiasi komunisme? (Pertanyaan ini menyangkut status the Common, sebagaimana menjadi pertanyaan Antonio Negri, Michael Hardt, Jean-Luc Nancy, Susan Buck-Morss.)
  3. Pertanyaan strategis—what’s to do?—dari praksis komunisme ini (Slavoj Žižek, Emmanuel Terray, dll.) dan bagaimana kembali menjadi (subjek) komunis (Jacques Rancière, Peter Hallward, Jodi Dean).
Di tengah krisis kapitalisme neoliberal, ketiga pertanyaan itu adalah manifestasi dari pertanyaan besar tentang kemungkinan masyarakat baru, suatu tatanan yang berbeda, suatu tatanan yang menyudahi kapitalisme. Bahwa “dunia lain adalah mungkin” (another world is possible).***
Catatan akhir:
[1] “Luhut Panjaitan: Bendera PKI Tidak Usah Terlalu Dilihat Secara Serius”,www.rmol.co, 18/08/2015; “Inginkah Anda Negeri Ini Dikuasai Komunis via PKI & PDI-P?”, www.pedulifakta.blogspot.co.id, 06/2014, dan lain-lain.[2] Ucapan anggota DPRD Pamekasan, Iskandar, menanggapi heboh atribut PKI di Festival 17 Agustusan di Pamekasan, “Marak Atribut PKI Karena Rindu Partai yang Perjuangkan Buruh Tani”, www.merdeka.com, 16/08/2015.[3] Simpatisan dalam arti yang paling sederhana: menaruh simpati kepada komunisme, entah sebagai ideologi, fakta sejarah, atau sekadar terpikat daya tarik “simbolik” dari komunisme. Termasuk di dalam kalangan ini kalangan “progresif” dari kelas menengah intelektual kita, yang tertarik pada komunisme, fasih berbicara tentang komunisme, namun tidak percaya bahwa komunisme akan benar-benar bangkit dan tetap memilih secara ideologis menjadi penganut realistis-pragmatis “kebenaran” tatanan kapitalis dewasa ini.[4] Posisi para Trotskys. Di Indonesia, posisi mereka diwakili oleh Militan Indonesia.[5] Istilah Jodi Dean dalam “Communist Desire”, antologi The Idea of Communism(London: Verso, 2013), Vol. 2.[6] Contoh klasik: PKT (Partai Komunis Tiongkok).[7] Jacques Derrida, filsuf pencetus istilah “dekonstruksi”, seorang pembaca filosofis Marx dan Marxisme. Salah satu karya yang didedikasikannya untuk Marx berjudul Spectres de Marx (Hantu-hantu Marx) dan mendapat tanggapan polemis yang cukup bergema dalam perbincangan filsafat kontemporer.[8] Gianni Vattimo, “Weak Communism?”, The Idea of Communism (London: Verso: 2010), Vol 1, h. 207.[9] Daniel Bensaïd, “Un communisme hypothétique”, Contretemps, April 2009.[10] Dalam contoh yang Platonis: kegagalan seseorang membuat kursi tidak menggugurkan/membatalkan Idea “ke-Kursi-an” itu sendiri.[11] Sungguh disayangkan bahwa Badiou meluputkan komunisme Indonesia dari refleksinya. Kita nanti akan coba menambal cacat historiografis ini dengan turut mendiskusikan sejarah komunisme dalam negeri.
http://islambergerak.com/2016/01/idea-komunisme-dan-kemungkinan-masyarakat-baru/?utm_campaign=shareaholic

Kamis, 21 Januari 2016

Angkat Pembantaian Massal di Sumatera Utara, Film Tragedi “Senyap” Raih Nominasi Oscar

Joshua Oppenheimer, sutradarai film Senyap (The Look of Silence). (Foto : VOA)

SiantarNews | Untuk kedua kalinya, film yang menyoroti pembantaian massal tahun 1965 di Indonesia meraih nominasi penghargaan film bergengsi the Academy Awards, yang diumumkan Kamis di Los Angeles.
Film “Senyap” (The Look of Silence) masuk dalam nominasi piala Oscar 2016 dalam kategori film dokumenter panjang.
Dokumenter ini diarahkan oleh sineas AS Joshua Oppenheimer dan seorang co-sutradara anonim asal Indonesia, yang juga menyutradarai film “Jagal” atau “The Act of Killing” yang dirilis tahun 2013.
Dalam pernyataan hari Kamis (14/1/2016, Oppenheimer dan produser Signe Byrge Sorensen berharap nominasi ini dapat “membantu Indonesia menyampaikan kerinduannya akan hadirnya kebenaran, keadilan, dan penyembuhan.” Seperti dikutip dari VOA hari Kamis (14/1/2016)
Film yang dirilis Desember 2014 ini mengikuti perjalanan Adi Rukun, seorang laki-laki yang mencari tahu pembunuh kakak kandungnya, yang menjadi korban pembantaian massal tahun 1965 di Sumatera Utara.
“Senyap” bersaing dengan Amy, Cartel Land, What Happened, Miss Simone? dan Winter on Fire: Ukraine’s Fight for Freedom untuk memperebutkan gelar film documenter panjang terbaik dalam ajang Oscars.
Penghargaan the Academy Awards ke-88 akan diadakan 28 Februari 2016 di Los Angeles.
Editor   : Edy

http://siantarnews.com/gaya-hidup/hiburan/angkat-pembantaian-massal-di-sumatera-utara-film-tragedi-senyap-raih-nominasi-oscar/

Rabu, 20 Januari 2016

Jokowi dan Pimpinan Lembaga Tinggi Negara Bahas 6 Agenda

SELASA, 19 JANUARI 2016 | 21:54 WIB


Presiden Jokowi tiba dalam pertemuan dengan pimpinan lembaga negara di Istana Negara, Jakarta, 19 Januari 2016. TEMPO/Aditia Noviansyah

TEMPO.COJakarta - Presiden Joko Widodo mengatakan pertemuan dengan pimpinan lembaga tinggi negara membahas enam masalah, termasuk soal pencegahan terorisme. Menurut dia, pembahasan enam isu itu akan ditindaklanjuti dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya.

"Pertama, soal pencegahan terorisme. Kedua, berkaitan dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Ketiga, soal keberhasilan pilkada serentak," kata Jokowi saat memberikan keterangan pers di Istana Negara, Selasa, 19 Januari 2016. Selain itu, pemerintah dan pimpinan lembaga tinggi negara membahas soal penyelesaian kasus hak asasi manusia masa lalu agar tidak menjadi beban sejarah.

Masalah pemberian amnesti untuk gerakan politik di Aceh maupun Papua juga masuk pembahasan pemerintah dan lembaga tinggi negara. Isu terakhir yang dibahas, kata Jokowi, mengenai haluan negara untuk pembangunan negara jangka panjang. 

Topik Terkait:
Revisi UU Antiterorisme


Presiden Jokowi mengatakan semua pemimpin lembaga negara menyambut baik dan berkomitmen mencari penyelesaian bersama dalam waktu secepatnya. Namun dia enggan merinci substansi pertemuan. Menurut dia, pertemuan tadi baru membahas isu secara umum dan akan dirinci oleh lembaga-lembaga yang berkaitan.

Hari ini, Presiden secara khusus mengundang pimpinan lembaga tinggi negara untuk mengadakan rapat konsultasi mengenai revisi Undang-Undang Terorisme. Rapat konsultasi dimulai sekitar pukul 10.05. Pimpinan lembaga tinggi negara yang hadir di antaranya Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Ade Komaruddin, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Oesman Sapta Odang, Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman, dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Harry Azhar Azis.

Saat memberikan keterangan pers, Presiden didampingi oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua DPR Ade Komarudin, Ketua DPD Irman Gusman, Staf Khusus Bidang Komunikasi Johan Budi Sapto Pribowo, dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung.


ANANDA TERESIA

http://nasional.tempo.co/read/news/2016/01/19/078737590/jokowi-dan-pimpinan-lembaga-tinggi-negara-bahas-6-agenda