HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Rabu, 31 Agustus 2016

YPKP Desak Lemhannas Tindak Lanjuti Rekomendasi Simposium 1965

Rabu, 31 Agustus 2016 | 18:54 WIB


Ketua YPKP 65, Bedjo Untung usai mengadakan pertemuan di Lembaga Ketahanan Nasional, Jakarta, Rabu (31/8/2016). Foto: Dimas Jarot Bayu

JAKARTA, KOMPAS.com
- Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965/1966 mendesak Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) untuk menindaklanjuti rekomendasi Simposium Membedah Tragedi 1965.
  Ketua YPKP 65 Bedjo Untung mengatakan, tindak lanjut rekomendasi simposium tersebut penting untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional serta memperkuat ketahanan nasional.

"Juga agar pelanggaran HAM tragedi 1965 dapat diselesaikan secara berkeadilan dan bermartabat, seperti dalam Nawacita Presiden Jokowi," ujar Bedjo usai mengadakan pertemuan di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Jakarta, Rabu (31/8/2016).

Menurut Bedjo, rekomendasi simposium merupakan pintu masuk untuk penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi 51 tahun lalu.

"Rekomendasi simposium kiranya bisa menjadi kunci untuk membuka masalah tragedi 1965 dan tahun-tahun sesudahnya yang memakan korban jutaan jiwa tanpa proses hukum," lanjut Bedjo.

Dia juga meminta agar Lemhannas menindaklanjuti keputusan International People's Tribunal Tragedy (IPT) di Den Haag pada 20 Juli 2016 lalu yang mendesak pemerintah meminta maaf atas tragedi kemanusian tahun 1965-1966.

Menurut Bedjo, jika pemerintah tidak menindaklanjuti putusan IPT tersebut, hal ini dapat berdampak pada citra Indonesia di mata dunia.
"Kalau tidak, maka ini akan menimbulkan ancaman serius, yakni dicap sebagai negara yang tidak menghormati HAM," ungkap Bedjo.

Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor : Sabrina Asril
 
http://nasional.kompas.com/read/2016/08/31/18541011/ypkp.desak.lemhannas.tindak.lanjuti.rekomendasi.simposium.1965

TNI Disebut Terus Intimidasi Korban Tragedi 1965

Rabu, 31 Agustus 2016 | 18:26 WIB


Ketua YPKP 65, Bedjo Untung usai mengadakan pertemuan di Lembaga Ketahanan Nasional, Jakarta, Rabu (31/8/2016). Foto: Dimas Jarot Bayu


JAKARTA, KOMPAS.com
- Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65), Bedjo Untung mengungkapkan korban pelanggaran HAM 1965 masih mendapatkan perlakuan represif dari TNI.
Menurut Bedjo, para korban 1965 selalu diintimidasi dan diawasi ketika menggelar kegiatan.

"Setiap kali kami mengadakan rapat selalu diintimidasi dan diawasi," ujar Bedjo usai mengadakan pertemuan di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Jakarta, Rabu (31/8/2016).

Bahkan, Bedjo pun menuding tindakan represif TNI yang terakhir kali dirasakan oleh korban pelanggaran HAM 1965 adalah pembubaran lokakarya di Cianjur pada April 2016 lalu.

"Terakhir ketika kami mengadakan lokakarya di Cianjur, itu kami juga dibubarkan. Mereka bilang bukan tentara, tapi kami tahu itu rancangan mereka," ungkap Bedjo.

Atas dasar itu, Bedjo meminta Lemhannas sebagai institusi yang melakukan pendidikan dan pengkajian strategis nasional untuk mendorong reformasi TNI.
Hal ini dilakukan agar TNI tidak lagi ikut campur dalam bidang politik praktis serta meredam represivitas kepada korban tragedi 1965.

"Karena Lemhannas merupakan think tank-nya TNI yang menciptakan kader pemimpin bangsa, secara khusus saya minta supaya mereformasi tubuh TNI yaitu tidak lagi ikut campur tangan di bidang politik praktis," kata Bedjo.

Menurut Bedjo, meski militer telah melepaskan dwifungsi yang pernah dilakukan ABRI, namun pada praktiknya banyak terjadi campur tangan tersebut, termasuk pada korban tragedi 1965.

"Karena sampai sekarang meski secara riil militer sudah menanggalkan dwifungsinya, tapi pada praktiknya sampai ke bawah militer sering campur tangan," lanjut Bedjo.

Dengan meminta Lemhannas untuk mereformasi militer, Bedjo pun berharap agar TNI tidak lagi melakukan tindakan represif.

"Masih banyak represi oleh militer, baik oleh Kodim, Kodam, dan Koramil kepada para korban 1965. Ini kami minta supaya tidak terjadi lagi represi. Ini harapan saya," tandas Bedjo.


Editor : Krisiandi
http://nasional.kompas.com/read/2016/08/31/18261821/tni.disebut.terus.intimidasi.korban.tragedi.1965

YPKP: Supaya Tak Gaduh, Presiden Jokowi Cari "Timing" Pas untuk Tuntaskan Kasus 1965

Rabu, 31 Agustus 2016 | 18:18 WIB

Ketua YPKP 65, Bedjo Untung usai mengadakan pertemuan di Lembaga Ketahanan Nasional, Jakarta, Rabu (31/8/2016). Foto: Dimas Jarot Bayu


JAKARTA, KOMPAS.com
- Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965/1966 Bedjo Untung mengungkapkan, memang tidak mudah bagi pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM 1965.
  Bedjo menyebutkan, hal ini disebabkan banyaknya dampak politis yang perlu diperhitungkan pemerintah, khususnya Presiden RI Joko Widodo menyelesaikan masalah ini.

"Memang tidak mudah menyelesaikan masalah ini. Pak Jokowi sedang mencari timing yang tepat karena dia juga berhitung dampak politisnya," ujar Bedjo usai mengadakan pertemuan di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Jakarta, Rabu (31/8/2016).

Meski begitu, Bedjo menyatakan persoalan ini harus segera diselesaikan. Pasalnya, banyak dari korban tragedi 1965 yang sudah lanjut usia. Jika masalah ini belum diselesaikan, namun korban tragedi 1965 telah meninggal dunia, hal ini dikhawatirkan menjadi malapetaka kemanusiaan bagi Indonesia.

"Para korban 65 ini sudah uzur, sudah lanjut. Saya khawatir kalau bapak-bapak sudah meninggal semua, sementara belum ada penyelesaian," ungkap Bedjo.

Atas dasar itu, Bedjo memberi satu kesempatan kepada pemerintah agar menyelesaikan kasus pelanggaran HAM 1965 tanpa membuat kegaduhan politik. Hal ini, lanjut Bedjo, sesuai dengan rekomendasi yang diberikan Gubernur Lemhannas, Agus Widjojo untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

"Karena itu Pak Agus tadi berkata berilah satu kesempatan kepada Pak Jokowi supaya bisa menyelesaikan masalah 65 dengan tidak menimbulkan kegaduhan politik, karena menyelesaikan ini tidak mudah," ucap Bedjo.

YPKP 65 sebelumnya mengaku kecewa dengan sikap Presiden RI Joko Widodo ketika memberikan pidato peringatan Hari Kemerdekaan ke-71 Indonesia.

Bedjo mengungkapkan, kekecewaan mereka disebabkan pidato yang disampaikan pada 17 Agustus 2016 tersebut tidak menyinggung sama sekali mengenai penyelesaian korban pembunuhan massal 1965/1966.

"Kami para korban merasa kecewa mengapa Pak Jokowi tidak menyinggung sama sekali tentang penyelesaian 65," kata Bedjo.

Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor : Sabrina Asril
 
http://nasional.kompas.com/read/2016/08/31/18185511/ypkp.supaya.tak.gaduh.presiden.jokowi.cari.timing.pas.untuk.tuntaskan.kasus.1965

Selasa, 30 Agustus 2016

Penjahat Kemanusiaan Mendapat Jabatan Strategis

30 August 2016 
Oleh: Membunuh Indonesia *


Keadilan diputarbalikkan saat para pelaku kejahatan kemanusiaan malah diapresiasi dengan pemberian jabatan strategis. Empat dari 11 anggota Tim Mawar Kopassus yang terlibat langsung dalam penculikan dan penyekapan 9 aktivis prodemokrasi menjelang kejatuhan rezim Soeharto tahun 1998 dianugerahi jabatan tinggi sebagai jenderal pada hari ini 30 Agustus 2016.

Empat anggota Tim Mawar yang baru saja menerima kenaikan pangkat adalah Fauzambi Syahrul Multazhar, Kolonel Inf. Drs. Nugroho Sulitsyo Budi, Kolonel Inf. Yulius Selvanus dan Kolonel Inf. Dadang Hendra Yudha. Keempatnya dipromosikan menjadi jenderal dan menempati posisi strategis di lingkungan TNI, yakni di Kementerian Pertahanan (Kemenhan), Badan Intelejen Negara (BIN), dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Informasi pengangkatan keempat orang ini beredar lewat media tirto.id bertepatan dengan Hari Penghilangan Orang Secara Paksa Internasional atau International Day for the Disappeared yang diselenggarakan setiap tanggal 30 Agustus. Kejadian ini kemudian mengingatkan orang pada apa saja yang telah dilakukan terhadap 11 anggota Tim Mawar Kopassus dan bagaimana negara pada saat itu menyikapinya.

Sejarah mencatat, tak lama setelah terungkapnya keterlibatan Tim Mawar Kopassus, negara segera mengadakan persidangan pada Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta pada Selasa, 6 April 1999. Hasilnya, mereka divonis bersalah dengan rentang hukuman 20 bulan hingga 1 tahun 4 bulan penjara dan beberapa dipecat dari anggota TNI.

Ironisnya, kepada komandan Grup IV Kolonel (kemudian menjadi Mayjen) Chairawan dan mantan Danjen Kopassus (kemudian menjadi Panglima Kostrad) Letjen TNI Prabowo dan penggantinya Mayjen Muchdi PR hanya diberi tindakan pembebastugasan dari jabatan dan pengakhiran masa dinas TNI oleh Panglima ABRI Jenderal Wiranto atas rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira (DKP).

18 tahun setelah reformasi, orang-orang yang jelas bersalah melakukan tindakan kejahatan kemanusiaan malah menempati pelbagai posisi strategis di Tentara Nasional Indonesia/TNI. Bahkan Wiranto yang juga jelas-jelas tersangkut kasus kejahatan kemanusiaan di Timor Leste malah menduduki posisi sebagai Menkopolhukam menggantikan Luhut B. Pandjaitan.

Membunuh Indonesia 

Redaksi Membunuh Indonesia mengumpulkan, mengarsipkan, dan memproduksi konten berupa artikel, dokumen, kajian ilmiah, dan sebagainya yang berkaitan dengan topik-topik ancaman kedaulatan ekonomi politik nasional.  

http://membunuhindonesia.net/2016/08/penjahat-kemanusiaan-mendapat-jabatan-strategis/

Senin, 29 Agustus 2016

Mencurigai Kebangkitan Fasisme Gaya Baru di Indonesia (Bag.3)

29.08.2016 

Bagaimana manusia keluar dari ketakutan yang membuatnya tak mampu menerima kebhinekaan, melainkan membuntuti ideologi fasis bergaya preman dan siap untuk berkorban bagi sebuah ide yang abstrak? Simak opini Timo Duile.  

 
Berikut ini merupakan bagian terakhir ulasan mengenai kebangkitan benih-benih fasisme gaya baru di Indonesia. Jika pada bagian terdahulu telah diurai mengenai apa itu fasisme dan bagaimana benihnya muncul di Indonesia belakangan ini, maka dalam bagian penutup ini, dijabarkan bagaimana pada ujungnya kita dihadapkan oleh berbagai pilihan ketika diprovokasi dalam menghadapi musuh imajiner.


Bagian 3: Bela negara: Harga mati untuk apa?

Wacana bela negara yang dikumandangkan pemerintah bekerjasama dengan TNI menyatakan ingin membuat 900 pusat latihan “bela negara” di Indonesia sampai tahun 2018. 

Menurut hemat saya, pusat bela negara ini bisa menjadi tempat untuk manusia yang tidak nyaman sebagai individu, yang ingin merasa diri kuat dalam kelompok dengan tujuan kolektif, yaitu menolak musuh imajiner. Karena itu, pusat latihan bela negara bisa dengan mudah dicurigai sebagai basis penyemaian ideologi fasis.
Program bela negara ini juga mengangkat kembali peran militer. Dalam latihan bela negara maka komunisme, LGBT dan narkoba disebutkan sebagai musuh.

Menurut Jendral Purnawirawan Kivlan Zein, saat ini sudah ada 15 juta pengikut PKI. Buktinya? Jelas, 15 juta anggota PKI ini hanya di kepala Kivlan Zein sendiri. Hanya musuh dalam kepala saja. Pada konferensi anti-PKI yang dilakukan di Jakarta pertengahan tahun 2016, membuktikan, bagi TNI, komunisme adalah akar dari kejahatan.

Masyarakat didorong untuk percaya bahwa komunisme adalah musuh bersama yang mengancam kedaulatan negara. Dalam konteks ini, menteri pertahanan menyatakan dalam latihan bela negara orang belajar untuk "akhirnya siap bekerja untuk bangsa dan negaranya, bila perlu mati untuk negaranya."

Ini adalah tujuan ideologi fasis: Semua individu SIAP MATI atas nama perintah apapun, yang penting perintah itu dari pemimpin. Dan karenanya, individu dan nyawa manusia, dalam fasisme dianggap tidak penting. Pejabat negara yang berkewajiban untuk membela demokrasi, malah lebih memelihara ketakutan dan pola pikir otoriter.

Jika fasisme gaya baru akan bangkit, maka membutuhkan ideologi negara dan agama sebagai landasannya. Bukan patriotisme sebagai gagasan emansipatoris seperti pada zaman revolusi kemerdekaan, dan agama bukan pula hubungan spiritual antara manusia dan Tuhan. Dalam fasisme, keduanya menjadi sebatas simbol identitas.

Pemikir otoriter seperti pejabat negara dan militer sudah memelihara ideologi di mana individu tidak berharga lagi. Dalam keadaan darurat (dalam fasisme berlaku masa darurat perang di mana semua musuh diperbolehkan untuk dimusnahkan)-- bukan individu yang dianggap penting, melainkan perintah dari pemimpin. 
Kemampuan untuk berpikir mandiri merupakan ancaman untuk persatuan rombongan fasis, dan setiap anggota harus siap mengorbankan diri untuk sebuah ideologi. 


Pentingnya individu 

Padahal, banyak angkatan 45 yang berjuang untuk kemerdekaan menilai individualitas adalah hal utama. Dalam novel atau puisi angkatan 45 kita bisa merasakan semangat perjuangan, semangat untuk membangun negara supaya manusia Indonesia bisa menjadi individu yang bebas. Tujuan perjuangan tersebut bukan membangun persatuan di mana individu dilenyapkan jadi kelompok.

Sayangnya, panglima militer masih memelihara narasi tentang individu yang harus siap mengorbankan diri untuk kelompok. Ada banyak contoh untuk semangat perjuangan kemerdekaan tersebut.

Yang paling terkenal mungkin puisi berjudul “Aku” karya Chairil Anwar, sebuah puisi tentang individu yang siap berjuang sebagai individu dan tidak sekedar menjadi bagian rombongan saja.

Sebenarnya, bukan negara atau bangsa saja yang merupakan fokus angkatan 45, tmelainkan individu. Indonesia dididik dengan janji atas kebahagiaan untuk semua masyarakat, suku, golongan agama dan ideologi yang ada di Indonesia ini yang begitu lama dijajah.

Salah satu contohnya adalah novel ”Jalan Tak Ada Ujung“ karya Mochtar Lubis. Tokoh protagnis novelnya yang bernama Hazil, merupakan seorang pejuang kemerdekaan Indonesia yang menjelaskan nilai-nilai perjuangan setelah dia selesai memainkan biolanya:

„Ini adalah musik menyanyikan perjuangan manusia sebagai manusia.(…) Manusia seorang-seorang. Tahukah engkau maksud? Bagaimana harus aku terangkan? Perjuangan manusia yang bukan dalam gerombolan. Bukan salak serigala dalam kawanan yang melakukan pemburuan, tapi salak dan geram, sedu-sedan, dan teriak nyaring serigala seekor-seekor yang merebut hidup. 
Bagiku individu itu adalah tujuan, dan bukan alat mencapai tujuan. Kebahagiaan manusia adalah dalam perkembangan orang-seorang yang sempurna dan harmonis dengan manusia lain. Negara hanya alat. Dan individu tidak boleh diletakkan di bawah negara. Ini musik hidupku. Ini jalan yang tak ada ujung yang kutempuh. Ini revolusi yang kita mulai. Revolusi hanya alat mencapai kemerdekaan. Dan kemerdekaan juga hanya alat memperkaya kebahagiaan dan kemuliaan penghidupan manusia-manusia.”

Justru impian pejuang kemerdekaan ini diancam pikiran fasis yang membenci kebebasan individu. Pejuang kemerdekaan memberi contoh bahwa justru dalam keadaan darurat, individu sangat penting dan bahkan bisa menjadi dasar perjuangan. 


Melawan musuh imajiner

Kalau kita mau mewujudkan impian perjuangan kemerdekaan, kita tidak boleh percaya kepada institusi yang mengajak masyarakat untuk membenci dan memelihara musuh imajiner sampai individualitas lenyap dalam kebencian kolektif.
Kita harus membuat keputusan apakah negara punya tujuan sendiri dan kehidupan manusia hanyalah dijadikan alat, atau negara itu alat untuk kebebasan manusia dan bingkai untuk kebhinekaan.

Kita harus memilih apakah agama menjadi dasar identitas dan alasan untuk membenci orang lain atau agama adalah hubungan antara individu dengan Tuhan, sebuah hubungan yang mengajak kita untuk menerima kebhinekaan.

Indonesia tentu saja belum menjadi negara fasis. Jelas, Indonesia punya tradisi kebhinekaan yang panjang dan impian untuk membangun negara sebagai bingkai untuk tinggal bersama, agar setiap individu bisa hidup merdeka.

Tapi kejadian pada bulan-bulan terakhir kini mengajak semua orang yang percaya kepada martabat manusia untuk waspada dan melawan ideologi kebencian dan politik yang berusaha untuk memperalat individu atas nama ideologi apapun.

Bagaimana kita bisa keluar dari rasa takut --yang membuat manusia tidak mampu lagi menerima kebhinekaan tapi ikut ideologi fasis seperti disediakan kaum proto-fasis bergaya preman-- atau dalam ideologi yang membuat manusia siap untuk berkorban diri untuk sebuah ide yang abstrak?

Saya pikir, ketakutan ini hanya bisa hilang kalau kita saling mendengar, saling belajar dan menjadi mampu untuk berpikir mandiri.

Ada sebuah kisah menyentuh dari seorang kawan. Dia bercerita, dulu ia diminta ayahnya untuk menulis daftar orang-orang yang dianggap terlibat PKI di desanya. 
Daftar ini sudah tua dan harus ditulis lagi. Tiba-tiba dia melihat nama seorang lelaki yang dia kenal di daftar anggota PKI, lelaki baik yang selalu membantu dan selalu sopan. Dia bingung dan bertanya-tanya: ‘Bukankah PKI manusia yang buruk dan kejam?‘ Lelaki tersebut tak seperti itu. Ia lantas meminta ayahnya untuk menghapus nama lelaki baik tersebut dari daftar. Ayahnya menolak keinginan itu, tapi dia berkata: “Sekarang kamu sudah tahu tentang PKI.“

Ketakutan yang membuat manusia tidak bebas dan lari ke ideologi fasis bisa hilang pada saat kita melihat mausia lain tanpa kaca mata ideologi yang memelihara kebencian. Pada saat manusia sebagai individu muncul, sebagai saudara yang berbeda, kita jadi mampu untuk melawan ideologi fasis.
 



Penulis: Timo Duile 
Penulis: Timo Duile 
belajar Ilmu Politik, Antropologi dan Filsafat di Universitas Bonn, Jerman, dan Bahasa Indonesia di Universitas Udayana, Denpasar, Indonesia. Kini, dia adalah dosen dan peneliti di Departmen Ilmu Asia Tenggara di Universitas Bonn dan dosen di Departmen Antropologi di Universitas Köln.


http://www.dw.com/id/mencurigai-kebangkitan-fasisme-gaya-baru-di-indonesia-bag3/a-19497105  

Amir Sjarifuddin: Seorang Komunis Sekaligus Kristen Taat (Bagian 1)





Ilustrasi oleh Arut S. Batan

Narasi sejarah Orde Baru menyebut, PKI telah melakukan pemberontakan sebanyak dua kali terhadap pemerintahan Republik Indonesia, yakni pada 19 September 1948 dan 30 September 1965. Disebutkan pula, PKI adalah partai politik anti Tuhan, musuh umat beragama, anti Pancasila, pengkhianat bangsa dan pencipta tragedi kemanusiaan yang penuh lumuran darah. Meski Suharto, penguasa Orde Baru sudah 18 tahun lengser dari jabatannya, bahkan sudah menjadi penghuni liang kubur, narasi ini masih mempengaruhi anggapan umum anak-anak bangsa Indonesia terhadap PKI.

Adalah kenyataan sejarah, bahwa PKI merupakan salah satu partai politik yang turut dalam perjuangan membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan. Suka atau tidak suka, PKI telah melahirkan pejuang-pejuang yang patriotik dari masa Pergerakan Kebangsaan, Pendudukan Jepang, Revolusi Kemerdekaan hingga perjuangan melawan Neo-Kolonialis Imperialis, sebelum dibubarkan oleh Mayjen Suharto pada tanggal 12 Maret 1966.

Dari sekian banyak tokoh PKI, ada satu sosok yang menarik. Ia adalah Amir Sjarifuddin Harahap. Seorang pimpinan PKI yang pernah memegang jabatan tertinggi dalam pemerintahan Republik Indonesia, menjadi Perdana Menteri antara 3 Juli 1947 hingga 23 Januari 1948.

Orde Baru menempatkan Amir Sjarifuddin pada bagian kelam sejarah bangsa Indonesia. Ia dituduh sebagai penyebab kegagalan Republik Indonesia dalam Perundingan Renville, yang menyebabkan kerugian lebih besar dari Persetujuan Linggarjati. Amir disebut sebagai salah satu pemimpin pemberontakan PKI di Madiun pada 19 September 1948. Dikatakan pula, PKI yang dipimpin oleh Amir menggantikan bendera Merah Putih dengan bendera Palu-Arit dan melakukan pembunuhan terhadap kyai-kyai dan para santri di Madiun.

Peristiwa Madiun bukanlah sebuah pemberontakan sebagaimana yang telah dipropagandakan oleh musuh-musuh PKI. Amir Sjarifuddin bukanlah seorang pemberontak. Ia adalah korban politik jahat anti PKI. Ia dituduh memberontak, tanpa pernah diberi kesempatan membela diri atas tuduhan tersebut. Ia ditembak mati tanpa proses peradilan.

Amir Sjarifuddin lahir di Medan pada tanggal 27 Mei 1907.[1] Banyak orang tidak tahu, selain seorang komunis, ia sekaligus seorang Kristen yang taat. Bisa jadi ini terdengar aneh dan mengada-ngada. Tapi itulah faktanya. Bahkan, sebagian besar dari kita akan bertanya-tanya. Apa mungkin seorang Komunis bisa sekaligus menjadi Kristen yang taat? Bukankah Komunis itu anti Tuhan? Pertanyaan semacam ini wajar muncul ditengah-tengah rakyat yang sudah sangat lama mengalami indoktrinasi Orde Baru, sehingga menganggap Komunisme dengan agama sebagai dua hal yang harus dipertentangkan.

Perkenalan Amir dengan Marxisme-Leninisme bermula ketika ia sedang menjalani studi di negeri Belanda antara tahun 1921 sampai 1927. Amir menjadi anggota Perhimpunan Indonesia (PI) ketika itu. Di organisasi inilah Amir bertemu dan mendapatkan gemblengan dari Semaun, salah seorang pimpinan PKI yang dibuang ke negeri Belanda pada tahun 1923. Dibawah kepemimpinan Semaun inilah, Amir dan kader-kader Perhimpunan Indonesia lainnya mendapatkan pendidikan Marxisme-Leninisme.[2]

Kegagalan peristiwa Pemberontakan PKI 1926/27 di tanah air berdampak pada studinya di Belanda. Tanpa menyelesaikan studinya, pada pertengahan tahun1927 Amir pulang ke tanah air. Amir diminta oleh Semaun untuk membantu sisa-sisa aktivis partai yang luput dari penangkapan, untuk menyusun kembali pergerakan di tanah air.[3]

Amir melanjutkan studi di Recht Hooge School (Sekolah Tinggi Hukum) Batavia. Abang sepupunya Gunung Mulia, seorang anggota Volksraad ketika itu, mengajak Amir supaya tinggal di rumahnya di Meester Cornelius (sekarang Jatinegara). Namun, Amir sendiri lebih suka tinggal di pemondokan mahasiswa di Jalan Kramat Raya 106, yang menjadi tempat berkumpulnya aktivis-aktivis pemuda, pelajar dan mahasiswa. Rumah inilah yang menjadi tempat dicetuskannya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.[4]

Di Recht Hooge School, Amir berhubungan akrab dengan salah seorang guru besarnya yang bernama Profesor J.M.J Schepper. Schepper sering mengajak Amir yang masih beragama Islam untuk mengikuti pertemuan yang diselenggarakan oleh sekelompok mahasiswa Kristen di Jalan Kebon Sirih nomor 44 Batavia. Kelompok ini bernama Christelijke Studenten op Java Vereeniging (CSV), cikal bakal organisasi Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia. Belakangan, Amir sering mengikuti pertemuan kelompok ini. Bahkan ia menjadi peserta aktif didalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh CSV.

Semula, Amir taat dengan agama Is lam yang dianutnya, namun mulai tertarik mempelajari agama Kristen setelah bersahabat dengan Ferdinand Tampubolon, yang sama-sama tinggal di rumah Ny. van Loodsrecht di Leiden. Keduanya sering terlibat pembicaraan tentang Kekristenan. Nah, sebelum meninggal, Ferdinand sempat memberi Amir sebuah Alkitab yang penuh dengan goresan tangannya.[5]

Diskusi-diskusi yang diselenggarakan oleh CSV makin lama makin menarik perhatian Amir. Karena di CSV, selain mendiskusikan Kekristenan, juga sering membahas masalah-masalah sosial, politik, filsafat, kapitalisme, imperialisme. Bahkan, hingga strategi perjuangan melawan imperialisme. Di sanalah, Mentor CSV, Profesor J.M.J Schepper dan Kees van Doorn, selalu mengingatkan pada pemuda dan mahasiswa yang terlibat dalam diskusi agar menjadi seorang Kristen sekaligus nasionalis dan tidak harus meninggalkan gereja jika hendak berjuang bagi kemerdekaan bangsa dan tanah airnya.[6]

Lewat pendidikan dan diskusi-diskusi di CSV, Amir menemukan ayat-ayat pembebasan didalam Alkitab. Pengajaran yang disampaikan dalam kehidupan para nabi, para rasul dan Yesus Kristus tampak sangat berbeda dengan pengajaran yang disampaikan oleh gereja-gereja Barat, khususnya dari negeri Belanda. Ternyata, pemerintah kolonial berusaha mengintervensi supaya gereja hanya mengajarkan vroomheid (kesalehan hidup) kepada umat Kristen di Indonesia, dan menjauhkan ajaran-ajaran sosial Al kitab dalam khotbah-khotbah. Umat Kristen di Hindia Belanda dikondisikan hidup eksklusif, diberi kemudahan memperoleh kedudukan-kedudukan sosial yang lebih tinggi dari mayoritas pribumi Islam, dan tidak kritis terhadap ketimpangan sosial.[7]

Melalui telaah-telaahnya atas Al kitab, Amir melihat bagaimana para nabi dan rasul membawa manusia dari alam perbudakan menuju tanah pembebasan. Karya pembebasan yang paling menarik baginya adalah kelahiran Yesus ke dunia untuk membebaskan manusia dari belenggu dosa, menuju tatanan masyarakat yang sama rata sama rasa, dalam ikatan persaudaraan yang luas. Kehidupan semacam inilah yang diperjuangkan oleh Jemaat Kristen Permulaan, yang pada akhirnya harus mengalami berbagai kekejaman dari penguasa Romawi yang ingin mempertahankan perbudakan, penindasan dan penghisapan terhadap umat manusia.

Dalam diskusi di CSV, ada salah seorang sosok yang sering disebut-sebut dan kelak mempunyai pengaruh besar pada kalangan pemuda Kristen progresif Hindia Belanda, khususnya Amir. Ia adalah Toyohiko Kagawa (1888-1960). Seorang anak samurai yang melepaskan diri dari tradisi feodal, menjadi seorang Kristen yang menolak pelembagaan agama, yang pada akhirnya juga memilih menjadi seorang Komunis yang berjuang di kalangan buruh dan kaum miskin. Amir menjalin persahabatan lewat surat-menyurat dengannya. Persahabatan inilah yang kelak mempengaruhi Amir untuk menjadi seorang Komunis sekaligus Kristen yang taat.[8] Pada tahun 1931, Amir Sjarifuddin dibaptis sebagai seorang Kristen oleh Pendeta Peter Tambunan di gereja HKBP Kernolong, Batavia.

Menurut Amir, Komunisme itu ilmu bersifat lahiriah, yang mengajarkan manusia untuk menganalisa dan menyelesaikan persoalan pokok umat manusia di dunia, yang sifatnya riil. Persoalan pokok umat manusia adalah penghisapan dan penindasan antara manusia yang satu dengan yang lain dalam hubungan produksi. Komunisme itu mencita-citakan kehidupan masyarakat sama-rata sama-rasa, tidak ada penghisapan dan penindasan antara manusia yang satu dengan yang lain. Karena menyangkut persoalan nyata di dunia, Tuhan tidak perlu dibawa-bawa. Di sini Amir telah meletakkan Materialisme-Dialektika-Historis sebagai ilmu bukan dogma.[9]

Tak bisa dipungkiri, dalam kesehariannya, Amir adalah seorang Kristen yang taat. Setiap menjelang tidur dan bangun pagi ia selalu membaca Alkitab dan berdoa. Di manapun berada ia selalu demikian. Bahkan menjelang ajalnya, Amir  membawa Alkitab pemberian sahabatnya, Ferdinand. Meski bukan seorang pendeta, Amir sering menjadi pengkhotbah dalam ibadah Minggu maupun dalam perkumpulan doa. Tema-tema khotbahnya kebanyakan mengambil ajaran sosial tentang keberpihakan kepada kaum miskin yang ditindas dan dihisap.[10]

Bagi Amir, ajaran Kristen tidak perlu dipertentangkan dengan Komunisme. Sebab kedua-duanya membicarakan ajaran kemanusiaan. Membicarakan antara ke-Tuhan-an dalam ajaran Kristen dengan kemanusiaan ibarat membicarakan tentang salib. Bagian yang vertikal melambangkan hubungan antara manusia dengan Tuhan. Tuhan ada diatas, manusia ada dibawah. Sementara yang horizontal melambangkan hubungan antar sesama manusia yang saling mengasihi dalam persaudaraan dan kesetaraan. Karena itu baginya, seseorang yang berhubungan baik dengan Tuhan, ia wajib berhubungan baik pula dengan sesama manusia. Pendeknya, seorang Kristen yang baik harus berjuang untuk kemanusiaan.[11] Dengan demikian, Kekristenan dan Komunisme, bagi Amir tidak perlu dipertentangkan.[12]

Amir merupakan salah satu tokoh pemuda yang turut mempelopori dicetuskannya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Selain aktif dalam organisasi kepemudaan, Amir aktif dalam partai politik. Tidak lama setelah Partai Nasional Indonesia (PNI) dibubarkan, pada April 1931 Amir turut mendirikan Partai Indonesia (Partindo). Partai ini lebih progresif dan berpengaruh dibandingkan dengan pecahan PNI lainnya. Bahkan lebih progresif dibandingkan PNI di masa kepemimpinan Ir. Soekarno.[13]

Karena keahliannya berpidato, Partindo sering mengutus Amir berpidato ke berbagai daerah. Bahkan pidato-pidatonya sering membuat merah telinga pemerintah kolonial. Suatu ketika dalam Kongres Partindo ke II yang berlangsung pada tanggal 19 April 1933, dalam pidatonya Amir mengecam tindakan-tindakan brutal dan kekejaman Belanda yang merampas tanah rakyat dan membebani rakyat dengan beban pajak yang sangat tinggi. Akibatnya, Amir dipaksa menghentikan pidatonya dan diturunkan dari podium oleh polisi Belanda karena dianggap menghasut rakyat.[14]

Selain aktif dalam partai politik, Amir aktif dalam dunia pers. Tulisan-tulisannya sering dimuat di berbagai surat kabar dan majalah. Isinya sangat tajam, umumnya menyerang kekejaman-kekejaman pemerintah kolonial terhadap rakyat Indonesia. Gara-gara sebuah artikelnya berjudul ”de Viere Vlaamsche Leeuw”, Amir ditangkap oleh polisi kolonial. Artikel yang berisi kritik tajam terhadap pemerintah kolonial ini dianggap merendahkan bangsa Belanda.[15] Akibatnya, Amir harus mendekam selama satu setengah tahun dalam penjara.

Tahun 1935, Amir keluar dari penjara. Pada tahun itu juga, Musso yang sudah delapan tahun bermukim di Moskow, datang ke Surabaya untuk membentuk kembali PKI. Karena pemerintah kolonial menganggap PKI sebagai partai terlarang, maka dibentuklah PKI-Ilegal. Amir turut dalam pembentukan PKI-Ilegal ini. Kader-kader PKI-Ilegal diminta memasuki, mempengaruhi dan memimpin organisasi-organisasi sosial politik untuk berjuang merebut kemerdekaan Indonesia.[16]

Atas prakarsa PKI-Ilegal, pada tanggal 24 Mei 1937, Amir Sjarifuddin bersama beberapa pemuda radikal di antaranya A.K. Gani, Mohammad Yamin, Mr. Sartono, Sanusi Pane dan Wikana mendirikan Partai Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Kelak Partai ini berkembang pesat menjadi sebuah partai nasionalis sayap kiri.[17] Ketua pertama Gerindo adalah A.K Gani, sedangkan Amir dipilih sebagai Ketua Bagian Propaganda. Banyak anak muda yang dikader dalam partai politik ini. Belakangan, kader-kader ini menjadi tokoh penting PKI, seperti: D.N Aidit, Anwar Kadir, Nungtjik A.R, Sakirman, Sidik Kertapati, Sudisman, Sudjojono, M. Jusuf dan lain-lain.[18]

Gerindo berpendapat, perjuangan untuk meraih kemerdekaan Indonesia sangat bergantung kepada hasil perjuangan kekuatan anti-fasisme melawan kekuatan fasisme dan perkembangan situasi internasional. Gerindo yakin bahwa perjuangan jangka panjang untuk meraih kemerdekaan Indonesia memerlukan kerja sama sementara dengan pemerintah Belanda untuk mempertahankan Indonesia dari serangan militer Jepang.[19] Sikap ini sesuai dengan anjuran Georgi Dimitrov, Sekjen Komintern ketika itu yang menganjurkan supaya seluruh gerakan Komunis, di negara manapun berada, supaya menggalang kerjasama dengan kaum imperialis untuk menghadapi bahaya fasisme.[20]

Dibalik kerjasama menghadapi ancaman fasisme Jepang, Gerindo mempunyai tujuan menjadikan diri sebagai kekuatan yang mampu menekan Belanda untuk memajukan upaya kemerdekaan Indonesia. Untuk itu Gerindo memandang perlunya suatu front persatuan nasional yang lebih luas dikalangan pergerakan. Bulan Mei 1939, Gerindo, Parindra, Pasundan, Persatuan Minahasa, Partai Katolik Indonesia, Partai Sarekat Islam Indonesia dan Partai Arab Indonesia berhasil membentuk Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Secara ringkas, tujuan GAPI adalah:
  1. Mengusahakan hak untuk menentukan masa depan sendiri bagi Indonesia.
  2. Mengusahakan kesatuan nasional yang didasarkan kepada politik, ekonomi dan sosial.
  3. Mengusahakan parlemen bagi Indonesia yang dipilih secara demokratis dan bertanggung-jawab kepada rakyat Indonesia.
  4. Memupuk rasa solidaritas antara kelompok-kelompok politik dengan Belanda untuk melawan kekuatan fasis.[21]
Dalam rangka kerjasama itulah maka pada bulan September 1940 Amir bekerja di Departemen Perekonomian Pemerintahan Hindia Belanda. Amir mendapat uang sebesar 25.000 Gulden dari Charles van der Plaas untuk membangun kekuatan anti fasis di Hindia Belanda. Dalam kenyataannya, kerjasama menghadapi fasisme tidak berjalan lama, sebab Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menyerah kepada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942. Praktis, yang melakukan perlawanan terhadap Pendudukan Jepang adalah kelompok Gerakan Anti Fasis (GERAF) yang dipimpin oleh Amir bersama kawan-kawannya dari PKI-Ilegal.

Sel-sel yang dibentuk oleh GERAF bekerja secara rahasia. Mereka ada di berbagai daerah di pulau Jawa, terutama di kota-kota seperti Jakarta, Bandung, Cirebon, Semarang, Surabaya. Berbagai organisasi atau badan-badan berhasil dimasuki dan dipengaruhi oleh GERAF, seperti dari unsur nasionalis, agama, buruh tani, pamong-pangreh praja, khususnya kalangan angkatan bersenjata.[22] Selain melakukan pendidikan politik kepada rakyat lewat penyebaran selebaran-selebaran secara diam-diam ke pusat-pusat keramaian, GERAF juga menyelenggarakan pendidikan kader-kader anti fasis di berbagai daerah. Salah satu tempat pendidikan kader ini adalah Gedung Menteng 31, yang memiliki peran menentukan dalam proses persiapan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Aktivitas GERAF tidak luput dari sasaran Kempeitai Jepang. Lewat jejaring mata-mata pribuminya, Kempeitai berhasil menangkap pejuang-pejuang anti fasis di berbagai tempat di pulau Jawa. Pada bulan Februari 1943 Amir bersama 300 pengikutnya yang sebagian besar dari Gerindo ditangkap atas tuduhan melakukan perlawanan terhadap Jepang.[23] Semua aktivis-aktivis anti fasis yang ditangkap mengalami perlakuan kejam di dalam penjara-penjara Jepang. Banyak diantaranya dibunuh, setelah melalui penyiksaan berat.

Setahun lamanya Amir mendekam dalam penjara, sebelum Mahkamah Militer Jepang di Jakarta menjatuhkan hukuman mati kepadanya pada tanggal 29 Februari 1944. Hampir setiap hari Kempeitai menyiksa Amir supaya mau membuka rahasia tentang jaringan Gerakan anti fasisnya. Namun, sekejam apapun siksaan itu, Amir tidak pernah mau tunduk pada kemauan para penyiksanya. Pernah, kaki Amir digantung diatas sumur dalam keadaan kaki terikat di atas, kepala dibawah. Tubuhnya diturunkan, sampai kepalanya masuk ke dalam air. Lalu tubuhnya ditarik kembali. Ini dilakukan berulang-ulang, sampai Amir hampir kehilangan nyawa. Bukannya ketakutan, Amir malah menertawakan cara-cara tentara Jepang yang menyiksanya.[24]

Kabar tentang tertangkapnya Amir diketahui oleh abang sepupunya, Gunung Mulia. Gunung Mulia mendatangi Soekarno, meminta supaya bisa mempengaruhi Gunseikan mengubah hukuman yang dijatuhkan kepada Amir. Soekarno segera mendatangi Gunseikan, meminta supaya Amir jangan dihukum mati. Soekarno menjelaskan apabila tentara Jepang membunuh Amir, rakyat akan semakin membenci Jepang sebab Amir mempunyai pengaruh besar di kalangan rakyat. Soekarno juga menambahkan bahwa Amir bukan seorang Komunis, melainkan seorang Kristen yang taat pada ajaran agamanya. Akhirnya, hukuman mati ini diubah menjadi hukuman penjara seumur hidup.[25]

Ketika kelompok pemuda Menteng 31 mengadakan rapat persiapan Proklamasi Kemerdekaan, nama yang pertama kali disebut sebagai calon proklamator adalah Amir Sjarifuddin. Yang mengusulkan adalah Wikana. Alasannya, Amir berani melawan Jepang. Usulan ini sempat diterima oleh para pemuda. Namun, Sukarni mempertanyakan keberadaan Amir dalam penjara Jepang. Dibutuhkan waktu untuk menyelamatkan Amir dari penjara. Akhirnya pilihan dijatuhkan pada Sjahrir, yang juga dikenal menolak kerjasama dengan Jepang. Sjahrir, yang ditemui para pemuda malah menganjurkan supaya Soekarno-Hatta dijadikan sebagai calon proklamator. Kejadian inilah yang melatar-belakangi Peristiwa Rengasdengklok, menjelang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.[26]

Amir baru bebas dari penjara Jepang pada awal Oktober 1945. Ia bukan dibebaskan, tetapi membebaskan diri setelah bersama-sama para narapidana melucuti senjata dan membunuh 21 serdadu Jepang yang menjaga penjara tersebut.[27] Amir langsung kembali ke Jakarta untuk menjalankan tugas sebagai Menteri Penerangan RI, jabatan yang dibebankan kepadanya ketika ia masih mendekam di dalam penjara.

Sebagai Menteri Penerangan, Amir menjadi “corong” pemerintah untuk menjelaskan pengertian dan arti Proklamasi Kemerdekaan NKRI ke dalam dan luar negeri.[28] Amir mampu mementahkan tudingan-tudingan pers Barat yang memojokkan pemerintahan RI. Tudingan-tudingan Amerika Serikat dan Inggris, yang tidak menghendaki kemerdekaan RI, yang menyatakan bahwa Soekarno-Hatta adalah boneka Jepang, mampu dibantah oleh Amir. Dengan keahliannya berdebat dan berpropaganda, Amir mampu membuat pandangan pers asing yang sudah dipengaruhi oleh Amerika Serikat dan Inggris berubah 180 derajat.[29]

Tanggal 14 November 1945, Amir merangkap jabatan Menteri Keamanan Rakyat sekaligus Menteri Penerangan. Tugas-tugasnya pun semakin berat. Perhatian Amir lebih banyak tercurahkan mengurus sistem keamanan dan pertahanan negara. Amir melihat kenyataan; diantara laskar belum ada harmoni. Akibat latar belakang pembentukan dan afiliasi politik berbeda, sering terjadi persaingan antar laskar. Tidak jarang, diantara laskar terlibat insiden bersenjata. Masalah yang dihadapi oleh tentara reguler juga tidak jauh beda. Antara laskar-laskar dan tentara reguler juga sering terjadi perebutan pengaruh bahkan sampai kepada kontak senjata. Masalah lainnya adalah keberadaan tentara reguler yang mayoritas berasal dari bekas KNIL dan PETA. Di mata Amir, nasionalisme tentara semacam ini diragukan karena pernah menjadi tentara bayaran penjajah, cenderung feodalistik, fasis dan mudah diperalat oleh kekuasaan yang menindas.[30]

Langkah pertama yang dilakukan Amir adalah melakukan penyeragaman persepsi perjuangan diantara lasykar dan tentara reguler. Tanggal 24 Januari 1946, Amir membentuk Biro Pendidikan Politik Tentara (Pepolit). Badan ini bertugas memberikan penyeragaman pendidikan ideologi anti-imperialisme kepada laskar-laskar dan tentara reguler. Materi yang diajarkan didalamnya; marxisme, nasionalisme, sejarah, pengetahuan umum, agama dan moral sebagai tuntunan perjuangan. Setiap divisi tentara didampingi oleh seorang Staf Pepolit berpangkat Jenderal Mayor, yang dibantu oleh 50 Opsir Pepolit berpangkat Letkol untuk setiap resimen.[31]

Tahapan selanjutnya, Amir berupaya menyatukan para lasykar dengan tentara reguler dalam satu payung bersama, dibawah Kementerian Pertahanan. Tanggal 25 Mei 1946, dibentuk sebuah biro sebagai wadah menampung lasykar-lasykar yang tunduk kepada komando Panglima Besar Jenderal Soedirman, yang berkedudukan dibawah Kementerian Pertahanan. Namanya Biro Perjuangan. 
Melalui masa-masa sulit, penyatuan lasykar-lasykar dan tentara reguler baru terwujud ketika Tentara Republik Indonesia (TRI) berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 3 Juni 1947. Lasykar-lasykar di Biro Perjuangan dimasukkan ke dalam unsur TNI-Masyarakat, dengan panglima Jenderal Mayor Djokosujono. Kedudukan Panglima TNI-Masyarakat, sejajar dengan Panglima AD, AL dan AU di Markas Besar Tentara yang dipimpin oleh Jenderal Soedirman.[32]

Tanggal 3 Juli 1947, Amir mendapat mandat sebagai Perdana Menteri RI, sekaligus menjabat Menteri Pertahanan. Kabinetnya dinamai Kabinet Amir I. Di masa ini, kekuatan anti-imperialis di dalam negeri mulai terbangun. Hubungan dengan gerakan anti-imperialis internasional seperti partai-partai komunis se-dunia, ikatan pemuda sosialis se-dunia dan Gabungan Serikat Buruh se-Dunia sudah terjalin dengan baik. Di masa itu pula, pertarungan antara kubu imperialis yang dimotori oleh negara imperialis baru Amerika Serikat dengan kubu anti-imperialis yang dimotori oleh Uni Soviet sedang menajam. Kubu imperialis yang ingin memperluas imperialisme tampil dengan ideologi kapitalismenya, sedangkan kubu anti-imperialisme, yang berjuang membebaskan bangsa-bangsa dari imperialisme, tampil dengan ideologi komunismenya.

Di tengah meningkatnya ketegangan antara kubu imperialis dengan anti-imperialis, Amir dihadapkan pada tanggung-jawab memimpin perundingan menghadapi delegasi Belanda. Dengan dalih sebagai pihak netral dalam Komisi Tiga Negara (KTN) yang memfasilitasi perundingan antara RI dengan Belanda, Amerika Serikat menawarkan kapal perangnya yang bernama USS Renville untuk dijadikan sebagai tempat perundingan. Di atas kapal Renville, sebuah skenario sudah dipersiapkan untuk menjatuhkan Amir dari pemerintahan.

Sebelum memulai perundingan, Amir merombak kabinetnya. Kabinet yang baru ini disebut Kabinet Amir II. Tanggal 8 Desember 1947, Amir memimpin delegasi RI memulai perundingan dengan Belanda. Tuntutan yang diajukan delegasi Belanda dalam Perundingan Renville sangat memberatkan RI. Di dalamnya terdapat 12 Prinsip Dasar, yang secara ringkas menyatakan; Wilayah RI hanya terdiri atas Yogyakarta, sebagian Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur. Pengakuan terhadap kedaulatan RI akan diberikan jika RI bersedia menjadi bagian negara Republik Indonesia Serikat, yang membentuk unie verband (persemakmuran) dibawah Kerajaan Belanda. Amir menolak permintaan ini. Di tengah-tengah kebuntuan, Frank Graham, Wakil KTN dari Amerika Serikat, membujuk Amir dengan mengajukan 6 Pokok Tambahan. Di dalamnya terdapat satu tawaran yang “menggiurkan”, yaitu akan diadakannya plebisit untuk menentukan apakah rakyat Indonesia akan memilih Negara Kesatuan Republik Indonesia atau Republik Indonesia Serikat.

Antara tanggal 3 sampai 5 Januari 1946, Amir memimpin rapat kabinet, guna menyikapi usulan delegasi Belanda dan Wakil KTN dari AS. Koalisi kabinetnya mendukung supaya Amir menandatangani 12 Prinsip Dasar dan 6 Pokok Tambahan yang diajukan kepada RI. Tanggapan yang diterima Amir dari pimpinan nasional seperti Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Sjahrir, Agus Salim dan Leimena juga sama. Mereka meyakinkan Amir bahwa rakyat akan memilih RI jika diadakan plebisit. Secara khusus, Presiden Soekarno mengatakan sudah saatnya untuk menggantikan pertempuran ke pemungutan suara;”from the bullet to the ballot.” Semua pihak berjanji akan menanggung segala akibat dari Persetujuan Renville. Dengan rasa optimis, Amir kembali ke meja perundingan.[33] Tanggal 17 Januari 1948 Persetujuan Renville ditanda tangani.

Tak disangka-sangka, dua hari setelah Persetujuan Renville ditanda tangani, GPII dan Hizbullah melancarkan demonstrasi di depan Istana Negara. Ormas pendukung Masyumi ini menolak Persetujuan Renville karena memberi kerugian yang jauh lebih besar dari Persetujuan Linggarjati. GPII dan Hizbullah menuntut supaya Kabinet Amir II dibubarkan. Besoknya, pendukung Amir membalas berdemonstrasi. Presiden Soekarno merasa situasi negara akan bertambah darurat apabila dua kubu bersitegang saling melancarkan demonstrasi. Amir diminta menghadap ke istana. Setiba di istana, Presiden Soekarno meminta supaya Amir menyerahkan mandatnya. Dalam keadaan marah, Amir menyerahkan mandatnya.[34]

Presiden Soekarno menunjuk Hatta menyusun kabinet baru. Dalam rapat penyusunan kabinet, Sayap Kiri meminta empat posisi kementerian, dimana Amir tetap menjabat Menteri Pertahanan. Masyumi dan PNI menolak masuk kabinet apabila permintaan Sayap Kiri ini dipenuhi. Hatta menawarkan 3 jabatan “menteri kelas 2” kepada Sayap Kiri, dimana Amir menjabat sebagai Menteri Pemuda. Sayap Kiri akhirnya menolak bergabung dengan kabinet.

Pada 29 Agustus 1948, kabinet koalisi PNI dan Masyumi-nya Hatta terbentuk. Kabinet ini bekerja atas dasar Persetujuan Renville, mempercepat pembentukan Negara Indonesia Serikat, Rasionalisasi dan Rekonstruksi Aparatur Negara dan pembangunan.[35] Sayap Kiri tidak menyangka jika unsur-unsur kabinet ini bekerja atas dasar persetujuan yang mereka jadikan sebagai alasan menjatuhkan Kabinet Amir II. Pada  26 Februari 1948, Sayap Kiri membentuk oposisi bernama Front Demokrasi Rakyat (FDR). Program perjuangannya: Pembatalan Persetujuan Renville, penghentian segala perundingan dengan Belanda, nasionalisasi semua milik Belanda dan bangsa asing di Indonesia tanpa ganti rugi, peningkatan ikatan solidaritas dan hubungan diplomatik dengan negara-negara sosialis, mendorong aksi-aksi buruh dan tani.

Catatan Akhir:

[1] Catatan mengenai tanggal lahir Amir Sjarifuddin kebanyakan mengacu kepada buku “Antara Negara dan Revolusi”-nya Jacques Leclerc, yang menyatakan bahwa Amir lahir pada tanggal 27 April 1907. Berdasarkan catatan yang dimiliki keluarga, Amir lahir di Medan pada tanggal 27 Mei 1907.
[2] Wawancara dengan Rewang, 29 Juni 2009.
[3] Wawancara dengan Rewang, 29 Juni 2009.
[4] Wawancara dengan Damaris Harahap, 24 Mei 2009.
[5] Frederiek Djara Wellem, Amir Sjarifoeddin : Tempatnya Dalam Kekristenan dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, hlm.35.
[6] Frederiek Djara Wellem, Amir Sjarifoeddin : Tempatnya Dalam Kekristenan dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, hlm.63.
[7] Wawancara dengan Ir. Setiadi Reksoprodjo, 23 November 2009.
[8] Wawancara dengan Soemarsono, 12 Agustus 2013.
[9] Wawancara dengan Soemarsono, 12 Agustus 2013.
[10] Wawancara dengan Damaris Harahap, 24 Mei 2009.
[11] Wawancara dengan Soemarsono, 12 Agustus 2013.
[12] Pernyataan Pdt. Dr. SAE Nababan sebagai Keynote Speaker dalam acara Peluncuran dan Bedah Buku “Amir Sjarifoeddin: Tempatnya Dalam Kekristenan dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia” di Aula STT Jakarta, 26 November 2009.
[13] Wawancara dengan Soemarsono, 12 Agustus 2013.
[14] John Ingleson, Road to Exile : The Indonesian Nationalist Movement, 1927-1934, hlm. 214.
[15] Abu Hanifah, dalam Taufik Abdullah, Manusia Dalam Kemelut Sejarah, Revolusi Memakan Anak Sendiri : Tragedi Amir Sjarifuddin, hlm. 199.
[16] Wawancara dengan Soemarsono, 12 Agustus 2013.
[17] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Cetakan I, hlm. 66.
[18] Soe Hok Gie, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, hlm. 27.
[19] Benny. G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, hlm. 516.
[20] Wawancara dengan Soemarsono, 12 Agustus 2013.
[21] George. Mc.Turnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, hlm. 97.
[22] Soenarno. T. Hardjono, E. M. Yogiswara, Ganyang Serigala Nekolim : Kerajaan Siluman Global, hlm. 134.
[23] Arnold Brackman, The Communist Movement in Indonesia, hlm. 35.
[24] Wawancara dengan Siswoyo, 8 Januari 2012.
[25] Wawancara dengan Soemarsono, 12 Agustus 2013.
[26] Wawancara dengan Soemarsono, 12 Agustus 2013.
[27] Mr. Siregar, Tragedi Manusia dan Kemanusiaan:Holokaus Terbesar Setelah NAZI, hlm. 43.
[28] Kementerian Penerangan, Dua Puluh Tahun Indonesia Merdeka, Jilid IX, hlm. 10.
[29] Mukadimah F.K.N. Harahap dalam buku : Amir Sjarifoeddin : Pergumulan Imannya Dalam Perjuangan Kemerdekaan, yang diterbitkan oleh Penerbit Sinar Harapan pada tahun 1984.
[30] Wawancara dengan Soemarsono, 12 Agustus 2013.
[31] Wawancara dengan Soemarsono, 12 Agustus 2013.
[32] Wawancara dengan Soemarsono, 12 Agustus 2013.
[33] Wawancara dengan Soemarsono, 12 Agustus 2013.
[34] Wawancara dengan Soemarsono, 12 Agustus 2013.
[35] Himawan Soetanto, Perintah Presiden Sukarno Rebut Kembali Madiun, hlm. 56.

Jumat, 26 Agustus 2016

Ini Alasan Peristiwa 65 Tidak Disinggung di Pidato Jokowi



Presiden Joko Widodo (Jokowi)
JAKARTA - Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 (YPKP) menyayangkan langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang tak menyinggung penyelesaian kasus HAM periode 65.

YPKP mengaku telah mendapatkan penjelasan tentang alasan Jokowi setelah bertemu dengan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres)‎ yang diwakili anggota Wantimpres Sidarto Danusubroto.

‎"Tadi jawaban Sidarto mengatakan, setelah melalui pertimbangan yang sangat alot memang diakui bahwa mengapa dalam pidatonya (Jokowi) tidak menyinggung, itu melalui pertimbangan yang sangat njelimet," kata Ketua YPKP, Bedjo Untung menirukan Sidarto di Kantor Wantimpres, Jakarta, Kamis 25 Agustus 2016.

Menurut Bedjo, meski Jokowi tak menyinggung masalah kasus HAM 65, Sidarto mengaku menjamin Jokowi telah memiliki niat untuk menyelesaikan masalah tersebut.

"(Karena) dia (Jokowi) hidup dari bantaran kali, sangat sederhana dan Pak Wantimpres mengatakan, tunggu timing yang tepat, takut apabila belum apa-apa sudah dicap segala macam," ujarnya.

Bedjo dan para pihak yang mengklaim sebagai korban 65 mengaku menghormati ‎sikap presiden. Sebab, Bedjo menyadari Presiden Jokowi juga pernah mengalami nasib yang sama seperti dirinya yang dicap sebagai PKI.

‎"Tadi tidak ada yang ditutup-tutupi. Karena Pak Wantimpres keluarganya ada juga yang nasibnya sama dengan kita," pungkasnya.

(maf)