HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Senin, 31 Oktober 2016

Jagus Dan Hilangnya Kedaulatan Pangan Kita

| Grace Leksana


Jagus (duduk) bersama istri dan anak-anaknya

INDONESIA, 1963. Negara berada dalam situasi krisis pangan. Menurut catatan-catatan Dinas Pertanian Rakjat Djawa Timur, komposisi dan manifestasi makanan kaum tani miskin dan buruh kecil sehari-hari untuk daerah yang subur adalah sebagai berikut: 60 persen dari jumlah penduduk makan ketela/gaplek sepenuhnya, 80 persen makan jagung sepenuhnya, 30 persen memakan gaplek campur beras, 15 persen memakan jagung bercampur beras, dan hanya 5 persen dari jumlah penduduk yang makan nasi[2]
Kondisi ini berbuntut pada munculnya wabah kelaparan, busung lapar, penjualan hak milik, hingga meningkatnya tindak kriminalitas. Dewan Pertimbangan Agung, dalam laporannya pada 1963 menyimpulkan bahwa penghidupan sebagian terbesar rakyat, khususnya kaum tani sangat berat karena mereka tidak memiliki persediaan bahan makanan, bibit dan pupuk[3]. Keadaan ini sangat membahayakan produksi makan pada tahun 1964-1965 mendatang dan dapat mengganggu perjuangan mengganyang Malaysia.


Seorang Pria Bernama Jagus 

Krisis pangan tetap terjadi, meskipun gerakan swasembada beras sudah dimulai sejak 1959/1960, dengan fokus utama pada perbaikan dan pemuliaan tanaman padi. Untuk menanggulangi kekeringan dan serangan hama, riset-riset pemuliaan tanaman padi terpusat untuk menghasilkan varietas baru dengan umur yang lebih pendek, hasil lebih banyak dan ketahanan untuk tumbuh di tanah kering. Dalam kurun waktu 1955-1960, muncul jenis-jenis padi unggul baru, seperti Sigadis, Remadja dan Djelita, yang kemudian disusul pada 1960-1964, dengan varietas Dara Syntha dan Dewi Tara[4]. Jenis-jenis padi ini dihasilkan melalui riset di Lembaga Penelitian Padi dan Djenis Tanaman Gandum, Departemen Pertanian di Bogor. Hal yang perlu dicatat dari program swasembada ini adalah peranan lembaga-lembaga swasta yang turut serta menghasilkan varietas unggul, salah satunya adalah Jajasan Lembaga Penjelidikan Keilmiahan Pertanian dan Pembibitan (JLPKPP) di Klaten yang dipimpin oleh Jagus.

Jagus lahir dari keluarga lurah di Madiun, tetapi menghabiskan sebagian besar masa hidupnya di Klaten, Jawa Tengah. Pada mulanya ia bekerja di sebuah Onderneming/ perkebunan Belanda di Pandan Simping, Klaten. Pada 1935, ia berhasil melakukan riset seleksi yang menghasilkan tembakau vorstenlanden baru yang kebal terhadap penyakit phytophtora-nicotiana[5]. Atas keberhasilannya ini, Jagus menjadi satu-satunya pribumi yang diberikan rumah di daerah perkebunan tersebut. Dari sini pula, tampaknya, ia mulai mengabdikan dirinya pada penelitian varietas tanaman.

Tekadnya untuk menghasilkan varietas padi unggul adalah sebuah tekad ideologis. Dalam bahasanya sendiri “Aku wajib dan harus dapat mewujudkan suatu jenis tanaman yang mengandung daya guna bagi nusa dan bangsaku”[6]. Baginya, pelipatgandaan kapasitas produksi pertanian rakyat termasuk dalam mata rantai strategi ekonomi Negara dan strategi revolusi nasional Indonesia, yang tidak kalah serius dan penting dengan masalah-masalah lainnya[7]. Setelah keberhasilannya dalam riset tembakau, Jagus menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menciptakan bibit padi untuk sawah kering, karena menurutnya jumlah sawah kering di Indonesia justru lebih banyak daripada sawah hujan. Dalam jangka panjang, keberhasilan melipatgandakan produksi tidak hanya berarti swasembada beras, namun juga menandakan kemampuan Indonesia untuk menjadi pengekspor beras.

Dalam sebuah artikelnya “Seleksi Tanaman Padi”, Jagus menjelaskan bagaimana ia melakukan riset seleksi tanaman padi. Ia menyebutnya dengan istilah bastaard-seleksi, dimana sifat-sifat turun temurun yang berlainan dan penting dari tiap-tiap jenis padi dapat diubah sampai sebanyak-banyaknya (ekstrim), dan dengan demikian didapat jenis-jenis padi baru[8]. Menurut Jagus, sifat-sifat tersebut mencakup: panjang, besar dan berat gabah; panjang malai; banyaknya gabah pada setiap malai; umur pendek; ketahanan terhadap kekurangan air; rasa nasi yang enak; susunan malai yang bagus; dan kepastian hasil[9]. Melalui prinsip seleksi inilah, pada 1944 ia menciptakan bibit padi Sri Dorodasih, yang diambil dari nama putrinya yang lahir pada 10 Maret 1941. Proses seleksinya juga sangat menarik. Jagus berangkat dari tahun 1940, ketika ia menemukan 3 butir gabah dari tanaman padi Rodjolele yang berukuran 16 mm, sedangkan ukuran umumnya hanyalan 11 mm[10]. Ia kemudian berkonsultasi dengan seorang Doktor ilmu genetika dari Belanda tentang kemungkinan menciptakan gabah sebesar 16 mm pada satu malai. Doctor itu menjawab tidak mungkin, karena adanya 3 butir gabah sebesar 16 mm hanya merupakan keadaan incidental saja, bukan sifat turun temurun. Jagus tidak percaya begitu saja. Ketiga malai tersebut ia tanam, namun sesuai argumentasi sang Doktor genetika, tanaman tersebut hanya menghasilkan gabah dengan panjang 11 mm. Jagus tidak berhenti. Ia lakukan perkawinan silang hingga akhirnya ditemukanlah beras Sri Dorodasih dengan panjang gabah 16 mm. berat 1000 butir gabah kering dari jenis ini kurang lebih 49 gram, sedangkan jenis padi umum di Indonesia yang terberat kurang lebih 46 gram. Kemajuan tentang panjangnya gabah terus diselidiki, dan pada 1956, Jagus berhasil menemukan jenis baru dengan berat 152 gram[11].

Jumlah padi dalam satu malai juga menjadi focus penelitian Jagus. Awalnya, di tahun 1941, ia berhasil menemukan jenis padi dengan jumlah gabah 500-600 butir pada satu malai[12]
 Hasil ini 86 persen lebih banyak dari padi Soblog, yang saat itu merupakan padi dengan jumlah gabah terbanyak, yaitu sekitar 350 butir. Penelitian dilanjutkan, dan pada 1952, muncullah jenis padi baru dengan jumlah gabah 800 butir pada satu malai. Kemudian pada 1956 ditemukan jenis lainnya yang menghasilkan hingga 900 butir. 
Sifat lain yang berusaha dikembangkan oleh Jagus adalah umur pendek tanaman padi. Sebelum melakukan seleksi, padi dengan umur terpendek adalah Karangserang, yaitu 145 hari[13]
 Jagus kemudian menemukan jenis padi yang berumur 135 hari, namun masih agak banyak gabah yang hampa. Jenis tersebut kemudian ia kawinkan dengan padi Rodjolele, dan didapatlah jenis padi baru yang berumur pendek dan rasa nasi yang enak. Jenis ini kemudian dinamakan Gendjah Harum dan Gendjah Wangi dengan umur 125 hari dari menabur[14].

Penemuan-penemuan Jagus menarik perhatian Presiden Sukarno. Pada 1947, Presiden Sukarno melalui Residen Surakarta, Sudiro, menyatakan rasa bangga atas pencapaian Jagus dan menekankan untuk terus melanjutkan penelitian tersebut[15]. Kemudian pada 1953, Presiden Sukarno memberi perintah, yang disampaikan oleh Presiden Universitas Gajah Mada Prof. Dr. Sardjito, untuk mencari jenis padi baru yang dapat ditanam di tanah yang tidak ada irigasinya atau tanah kering[16]. Beberapa tahun kemudian, juga atas dukungan Presiden Sukarno melalui H. Tjokronegoro, maka pada 1959 didirikanlah Jajasan Lembaga Penjelidikan Keilmiahan Pertanian dan Pembibitan (JLPKPP) di Klaten. Di sinilah pada 1961, Jagus dan para koleganya menemukan empat varietas berikutnya, yaitu Bintang Ladang, Bimokurdo, Bimopakso dan Retnodumilah. Jagus pun sempat menerima kunjungan Presiden Sukarno di rumahnya di Klaten.

Percobaan penanaman padi hasil seleksi Jagus telah tersebar di beberapa lokasi di Indonesia. Misalnya saja, di Jajasan Balai Pendidikan Tani Pusat di Cipayung, Pasarrebo, Jakarta. Jenis GPP-19 pada 1962 menghasilkan 35 kw atau 42 kg per ha untuk area tanam seluas 120 m2[17]. Sedangkan padi huma jenis GP-243 yang berumur 120 hari menghasilkan 19,6 kw/ ha[18]. Selain Jakarta, daerah lain yang juga tercatat melakukan percobaan penanaman adalah Klaten (Kecamatan Trujuk dan Djogonalan), Yogyakarta (Gunung kidul, Kulonprogo), Surakarta (Kecamatan Pratjimantoro dan Selogiri), Surabaya, Jember (Kecamatan Tanggul), Kalimantan (Kecamatan Liku-Sambas), hingga Irian Barat (yang dilakukan oleh civic mission DAM VII Diponegoro di Kampung Bestur Past Distrik Sentani, Keresidenan Sukarnopuro)[19]
Keunggulan padi seleksi Jagus berdasarkan hasil uji coba ini adalah kemampuannya bertahan dalam iklim dan sifat tanah yang kering, hasil yang lebih banyak dan rasa beras yang enak. Misalnya saja, suatu areal yang 70 persennya ditanami padi Jagus, jika dikurangi oleh serangan hama uret dan tikus, maka setidaknya hasil bersihnya hanya diambil dari 50 persen luas lahan. Kisaran jumlah padi yang dipanen dalam kondisi demikian sekitar 27 kw, sedanglan dalam kondisi normal bisa mencapai 54 kw[20].

jagus-2

Menerima kunjungan Presiden Soekarno di Klaten


Hilangnya Sebuah Inovasi

Jagus merupakan salah satu anggota pleno Pimpinan Pusat Barisan Tani Indonesia (BTI), organisasi kiri yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Ia juga sempat menjadi anggota DPR-GR[21] dan mengajar, salah satunya di Gerakan Tani Egom, sebuah institut tani yang dikelola oleh BTI. Pada Seminar Produksi Pertanian dan Gerakan 1001 tahun 1963 yang diselenggarakan oleh BTI, Jagus memberikan prasarannya tentang “Pola Meluaskan Penanaman Padi Jenis Unggul Seleksi Jagus”[22]. Dalam prasarannya ini, terlihat bahwa Jagus memiliki ide tentang bibit desa yang dikelola bersama. Ia mengungkapkan bahwa di tiap-tiap desa perlu ada kebun bibit desa yang digarap dan ditanggung jawab secara gotong royong oleh keseluruhan massa Rakyat penduduk Desa itu, untuk secara kontinu dan teratur menyediakan bibit-bibit yang dibutuhkannya[23]. Selain itu, di tiap desa juga perlu dikelola lumbung-lumbung bibit yang merupakan sentral penyimpanan dan penyaluran bibit-bibit kepada massa penduduk yang berkepentingan, secara kooperatif[24]. Hal terakhir yang juga tak kalah pentingnya, menurut Jagus, adalah pendidikan kader tani untuk mempertahankan jenis-jenis tanaman yang berkualitas, berpenghasilan tinggi dana mat dibutuhkan oleh massa tani[25]. Di akhir prasarannya, ia mengusulkan sebuah mekanisme penyaluran bibit dari Lembaga Penjelidikan Pertanian dan Pembibitan ke setiap kebun desa, sehingga massa tani terus menerus mendapatkan bibit unggul di setiap musim tanam[26].
Inovasi terakhir yang tercatat dari Jagus adalah padi sawah Radjalele Baru pada tahun 1965[27]. Ia turut ditangkap bersama ratusan ribu orang lainnya yang dituduh terlibat G30S 1965. Tuduhannya tidak jelas, namun hampir pasti hal tersebut terjadi karena keterlibatannya dalam BTI. Nasibnya bisa dikatakan lebih baik, karena ia dilepaskan dalam kurun waktu kurang dari 1 tahun. 
Detil penahanan Jagus belum terlalu jelas. Ingatan keluarganya akan peristiwa ini masih samar, sebagian besar disebabkan karena anggota keluarganya yang masih hidup tidak berada bersama Jagus saat penangkapan terjadi. Sebagian kronologi yang terungkap hanyalah tentara datang ke rumah beliau, menangkap Jagus dan menyita buku-buku serta catatan-catatan pribadinya. Tidak ada yang tahu pasti mengapa ia kemudian dilepaskan.

Ia meninggal pada 5 Oktober 1975 dan dimakamkan di Klaten. Kesehatannya semakin menurun pasca operasi prostat. Dalam ingatan keluarganya, Jagus menggunakan areal rumah dan sekitarnya untuk eksperimen padinya. Areal sawah di depan dan belakang rumahnya, serta pot-pot yang bertebaran di dalam rumahnya menjadi focus hidupnya. Sang cucu mengingat percobaan kedelai dan kapas wara-warni semasa hidup Jagus. Pasca kematiannya, percobaan Jagus sempat diteruskan oleh putrinya namun tak berhasil mengembalikan masa kejayaannya di tahun 1960an.

Beras seleksi Jagus hilang seiring dengan proyek revolusi hijau Orde Baru. Proyek ini tidak hanya menyeragamkan penggunaan bibit, pupuk dan pestisida, namun juga menghilangkan konsep kolektivitas pengelolaan benih padi. Benih padi unggulan, yang dikenal dengan IR (International Rice), diimpor dari Filipina. Tidak ada lagi pilihan bagi para petani selain menggunakan jenis ini. Jalan satu-satunya untuk mendapatkan bibit tersebut adalah membeli, hampir pasti melalui system kredit. Ide Jagus tentang sebuah kedaulatan pangan yang dibangun antara lembaga riset dengan masyarakat melalui pengelolaan kolektif kebun bibit, telah raib. Peranan masyarakat dalam riset tanaman padi pun menjadi hilang, bersamaan dengan matinya JLPKPP dan lembaga penelitian agraria lainnya. 1965 tidak sekedar menghilangkan nyawa, namun juga ide-ide yang menggerakan masyarakat.

Sebuah Panggilan

Riset terbaru tentang genosida intelektual yang dilakukan oleh Abdul Wahid, memperkirakan 115 orang dosen dan staf beserta 3.006 orang mahasiswa di UGM disingkirkan dan menjadi tapol[28]. Ini tidak hanya terjadi di UGM, tetapi juga di universitas-universitas lain di Bandung, Padang, Medan dan Makassar. Bersamaan dengan itu, seluruh karya intelektual dan ide-ide mereka pun hilang, seperti yang dialami Jagus. Ini menjadi sebuah panggilan bagi kita untuk menggali kembali sumbangsih para pemikir dan innovator di masa lalu yang (di)hilang(kan). 
Kerugian terbesar bangsa Indonesia pasca 1965, selain kehilangan jutaan nyawa, adalah juga hilangnya ide-ide kreatif dan keberanian untuk melawan cengkeraman pasar. Kala nyawa tidak mampu dihidupkan kembali, yang bisa kita lakukan hanyalah memberikan tempat yang layak bagi karya para intelektual ini di dalam sejarah.

***

Penulis adalah peneliti di Institut Sejarah Sosial Indonesia/ Kandidat Doktor Universitas Leiden

————-
[1] Saya mengucapkan terima kasih kepada keluarga alm. Jagus, terutama untuk koleksi foto mereka, serta kepada Hersri Setiawan dan Dharmawan Isaak yang membantu merangkai kisah hidup Jagus.
[2] Arsip KOTI 1963-1967 No. 101, hal. 4. Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia
[3] Ibid, hal. 16
[4] Sumintawikarta, Sadikin. Tjatatan Tentang Penelitian Tanaman Pangan Antara Tahun 1945-1965 dalam Makagiansar, M & Sumintawikarta, Sadikin (eds). 1965. Research di Indonesia 1945-1965: Bagian III Bidang Pertanian. Jakarta: Departmen Urusan Research Nasional Republik Indonesia. Hal. 70.
[5] Jagus. Pemuliaan Tanaman Padi Tanah Kering, Seri I dalam Pesat no. 35 Th. 20, 1964, hal. 10.
[6] Ibid.
[7] ibid, hal. 9.
[8] Jagus. 1961. Seleksi Tanaman Padi dalam Pembangun Desa edisi Untuk Manipol-Djarek. Hal. 6
[9] ibid.
[10] ibid, hal. 6-7
[11] ibid, hal. 7.
[12] Ibid, hal. 7.
[13] Jagus. Seleksi Tanaman Padi (lanjutan) dalam Pembangun Desa edisi Manipol-Usdek, hal. 7.
[14] Ibid.
[15] Pesat, op cit. hal. 10
[16] Jagus. Seleksi Tanaman Padi, op cit. hal. 7.
[17] Hasil Percobaan Jagus: Varitet Sudah Mantap. Harian Rakjat, 19 Maret 1962. Hal. 2.
[18] Suara Tani no. 8 Th.XII, Agustus 1961, hal. 4-5.
[19] Jagus. Pemuliaan Tanaman Padi Tanah Kering, Seri II dalam Pesat no. 31 th. 20, 12 Agustus 1964, hal. 12
[20] ibid.
[21] Periode jabatan Jagus belum diketahui secara pasti. Kemungkinan sekitar 1959, melalui jalur non partai.
[22] Jagus. 1963. Pola Meluaskan Penanaman Padi Djenis Unggul Hasil Seleksi Jagus dalam Pembangun Desa edisi Untuk Demokrasi dan Dekon. Hal. 21.
[23] Ibid.
[24] ibid.
[25] ibid.
[26] ibid, hal. 26.
[27] Sumintawikarta, Sadikin. Op cit. hal. 71.
[28] http://news.detik.com/australia-plus-abc/d-3274077/genosida-intelektual-kiri-indonesia-pasca-1965, diakses pada 24 Oktober 2016.


http://indoprogress.com/2016/10/jagus-dan-hilangnya-kedaulatan-pangan-kita/

Jejak-jejak CIA di Indonesia

Oleh: Arbi Sumandoyo - 31 Oktober 2016

Ilustrasi [Foto/Shutterstock]

Ketika perang dingin pecah, Indonesia menjadi sarang agen-agen KGB melakukan kegiatan spionase. Tak terkecuali keterlibatan CIA dalam aksinya melancarkan spionase menghadang komunis di Indonesia. Badan intelijen negeri Paman Sam itu terendus dalam keterlibatan penggulingan Presiden Soekarno dari tampuk kekuasaan.

Pada awal Januari 2010, Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri (Bareskrim Mabes Polri) menangkap seorang agen CIA, yang namanya aslinya Robert Marshall Reid. Lelaki itu memiliki perawakan tak layak seperti gambaran seorang agen intelijen dalam film-film produksi Hollywood. 

Bob Marshall, begitu Robert Marshall Reid disebut dalam pemberitaan media massa kala itu, digambarkan memiliki perawakan tinggi kurus. Usianya 56 tahun dan memiki rambut putih perak. Dia ditangkap ketika membuat paspor di daerah Bogor, Jawa Barat.

Penangkapan oleh petugas imigrasi telah mengungkap tabir sosok Bob Marshall sebenarnya. Sehari setelah dititipkan dalam tahanan Markas Besar Polri, diketahui identitas Bob yang bekerja untuk CIA. Motif keberadaan Bob tanpa identitas resmi dan berada di Indonesia membuat muncul spekulasi jika lelaki kurus itu sedang menjalankan misi spionase. Kepolisian pun mendalami motif tujuan Bob dan keterkaitannya dengan dinas rahasia Amerika tersebut.

Dari catatan imigrasi kala itu, Bob Marshall melakukan penyamaran identitas. Dia memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Jakarta. Kepada imigrasi saat wawancara pembuatan paspor, Bob mengaku keturunan Inggris. Karena kejanggalan dokumen pembuatan paspor ini, Imigrasi Indonesia melaporkan keberadaan Bob pada Kantor Kedubes Amerika di Jakarta. 

Belakangan diketahui, Bob Marshall merupakan buronan tiga negara, yaitu Amerika, Inggris dan Rusia. Dia diduga terlibat pemalsuan dokumen, penjualan senjata api dan kasus cek kosong. Bob menjadi buronan sejak tahun 1974. Selama dalam pelarian, Bob diakui memiliki 50 paspor palsu dari berbagai negara. 
"Karena, Robert 'Bob' Marshall adalah buronan CIA atau badan intelijen Amerika Serikat dan interpol sejak 1974. Kejari Kota Bogor menganggap perkara ini adalah perkara tingkat penting, sehingga mengajukan beberapa persyaratan," kata Kepala Kantor Imigrasi Bogor, Ibrahim Saleh, seperti dikutip dari Antara. 
Namun, tudingan Bob menjadi agen CIA sampai saat ini tak pernah terjawab. Kedutaan Besar Amerika pun tak mengomentari keterlibatan Bob Marshall dalam CIA. Hingga Bob dideportasi oleh Pemerintah Indonesia, tudingan melakukan spionase dan memata-matai Indonesia tak pernah disangkalkan. Kala itu Bob hanya menyangkal atas tuduhan melanggar Undang-Undang Keimigrasian. Keterlibatan Bob menjadi agen CIA di Indonesia sampai saat ini masih menjadi misteri. Kasus spionase ini pun menguap dari pemberitaan. 
"Amerika terus memantau Indonesia dalam penyelesaian perkara ini," ujar Ibrahim Saleh.

Spionase CIA di Indonesia

Jejak spionase CIA di Indonesia memang bukan hal baru. Buku-buku yang membahas soal penggalangan dan spionase CIA telah banyak diterbitkan. “Legacy of Ashes, the History of CIA” karya Tim Weiner, jurnalis The New York Times salah satunya. Pemenang Pulitzer itu mengulas rinci kegiatan spionase CIA di Indonesia dan membuat geger tanah air, setelah buku itu diterbitkan ke dalam edisi bahasa Indonesia.

Buku tersebut menyebut Adam Malik, mantan Menteri Luar Negeri yang juga Wakil Presiden Indonesia ketiga sebagai agen CIA. Pemilik nama lengkap Adam Malik Batubara itu direkrut menjadi agen CIA oleh Clyde Mcavoy, seorang perwira tinggi CIA. Dalam sebuah wawancara pada tahun 2005, Clyde mengakui jika CIA merekrut Adam Malik untuk dijadikan agen buat menjalankan operasi spionase di Indonesia. 
“Dia adalah pejabat Indonesia tertinggi yang pernah kami rekrut,” kata Clyde Mcavoy. 
Weiner bahkan menjabarkan ulasan lebih dalam tentang spionase CIA dengan merekrut pejabat tinggi di pemerintahan Indonesia. Pada pertengahan Oktober, sebelum peristiwa pemberontakan G-30-S berlangsung, CIA membuat pemerintah bayangan di Jawa Tengah. Para elitenya adalah Sultan, Adam Malik dan juga Soeharto. Bahkan dalam bulan itu, ada sebuah pertemuan rahasia antara orang suruhan Adam Malik dengan atase politik Kedubes Amerika di Jakarta. Dalam pertemuan itu, Bob Martens menyodorkan sebuah daftar target tokoh-tokoh komunis di Indonesia yang dirangkumnya dari sebuah surat kabar berhaluan komunis. 

Operasi menghanguskan ideologi komunis pun dilancarkan dari biaya diberikan oleh CIA. Untuk menyamarkan pengiriman dana, CIA membuat kerja sama samaran dengan tentara dengan cara menjual obat-obatan. 

Melalui mendiang Presiden Soeharto yang kala itu berpangkat Mayor Jenderal, operasi antiPKI dilakukan. Terjadi pembantaian besar-besaran terhadap orang yang dituding komunis. Penumbangan rezim Soekarno pun berlangsung dengan pertumpahan darah. Sampai saat ini, peristwa itu masih menjadi catatan hitam yang tak pernah terungkap siapa dalang pembunuhan masal dan penghilangan paksa itu. 

Atas jasanya menjadi agen intelijen, Adam Malik pun mendapat pujian dari Wakil Presiden Amerika Serikat Hubert H Humprey sebagai orang cerdas yang pernah dia temui. Berkat dukungan Amerika juga, Adam Malik disebut pernah duduk menjadi Ketua Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. 
Infografik Intelijen asing di Indonesia 3


Dari Komunisme ke Terorisme 

Spionase CIA di Indonesia memang tak pernah berhenti dalam menerapkan pengaruh mereka dalam dunia intelijen. Setelah sukses dengan operasi pemusnahan ideologi komunis, kini dinas rahasia milik paman Sam itu gencar melakukan operasi intelijen pencegahan terorisme. Itu merupakan buntut dari tragedi 11 September 2001 yang merobohkan World Trade Center (WTC), yang membuat negara itu gencar mengajak intelijen lintas negara buat melakukan pertukaran informasi.

George Walker Bush adalah Presiden Amerika paling gencar menghamburkan uang soal ini. Dia pun tak pernah mendengar teriakan warganya atas invasi militer ke Afganistan yang banyak menelan korban sipil. Sebagai negara adikuasa, Amerika tentu bakal memberikan pengaruhnya ke negara-negara lain, tak terkecuali di Indonesia. 

Apalagi Indonesia juga pernah mengalami aksi serupa, yaitu munculnya wabah terorisme. Dimulai dari bom di malam Natal dan memiliki sejarah kelam soal ancaman teror, Lembaga Telik Sandi di bawah kepemimpinan AM Hendropriyono pun melakukan kerja sama dengan AS. Tahun 2002, operasi inteljen penangkapan Umar Al Faruq berhasil dilakukan setelah ada informasi dari CIA. Pada saat itu, Umar Al Faruq, salah satu tokoh terorisme Asia Tenggara dibekuk oleh BIN. 

Umar Al Faruq kemudian diterbangkan oleh CIA ke AS. Aroma operasi intelijen inipun terkuak. BIN diduga menaruh agen mereka dalam tubuh Mujahidin Indonesia. Penyerahan Faruq pun menjadi tanda tanya, apalagi orang yang disebut tangan kanan Osama Bin Laden itu diketahui juga melakukan serangkaian aksi terorisme di Indonesia. Belakangan baru diketahui, jika sejatinya ada operasi intelijen dibalik penangkapan Al Faruq di daerah Bogor, Jawa Barat.

Mantan Wakil Kepala BIN As’ad Said Ali, membenarkan soal peranan lembaga telik sandi yang pernah dia pimpin dibalik penangkapan Al Faruq. Menurut As’ad, kerjasama dengan CIA tak lain gerakan antiterorisme yang digaungkan oleh Amerika.
“Penangkapan itu menjadi prestasi bagi BIN,” ujarnya saat berbincang dengan tirto.id, Selasa lalu. Dia pun menegaskan, hingga saat ini, kerjasama intelijen lintas negara pun masih dilakukan untuk mencegah aksi terorisme. Buat mencegah hal itu, Indonesia juga mengeluarkan produk turunan berupa Undang-Undang Anti Terorisme.
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti

Sumber: Tirto.Id 

Jagus Dan Hilangnya Kedaulatan Pangan Kita


31 October 2016 | Grace Leksana*

Jagus (duduk) bersama istri dan anak-anaknya

INDONESIA, 1963. Negara berada dalam situasi krisis pangan. Menurut catatan-catatan Dinas Pertanian Rakjat Djawa Timur, komposisi dan manifestasi makanan kaum tani miskin dan buruh kecil sehari-hari untuk daerah yang subur adalah sebagai berikut: 60 persen dari jumlah penduduk makan ketela/ gaplek sepenuhnya, 80 persen makan jagung sepenuhnya, 30 persen memakan gaplek campur beras, 15 persen memakan jagung bercampur beras, dan hanya 5 persen dari jumlah penduduk yang makan nasi[2]. Kondisi ini berbuntut pada munculnya wabah kelaparan, busung lapar, penjualan hak milik, hingga meningkatnya tindak kriminalitas. Dewan Pertimbangan Agung, dalam laporannya pada 1963 menyimpulkan bahwa penghidupan sebagian terbesar rakyat, khususnya kaum tani sangat berat karena mereka tidak memiliki persediaan bahan makanan, bibit dan pupuk[3]. Keadaan ini sangat membahayakan produksi makan pada tahun 1964-1965 mendatang dan dapat mengganggu perjuangan mengganyang Malaysia.

Seorang Pria Bernama Jagus

Krisis pangan tetap terjadi, meskipun gerakan swasembada beras sudah dimulai sejak 1959/1960, dengan fokus utama pada perbaikan dan pemuliaan tanaman padi. Untuk menanggulangi kekeringan dan serangan hama, riset-riset pemuliaan tanaman padi terpusat untuk menghasilkan varietas baru dengan umur yang lebih pendek, hasil lebih banyak dan ketahanan untuk tumbuh di tanah kering. Dalam kurun waktu 1955-1960, muncul jenis-jenis padi unggul baru, seperti Sigadis, Remadja dan Djelita, yang kemudian disusul pada 1960-1964, dengan varietas Dara Syntha dan Dewi Tara[4]. Jenis-jenis padi ini dihasilkan melalui riset di Lembaga Penelitian Padi dan Djenis Tanaman Gandum, Departemen Pertanian di Bogor. Hal yang perlu dicatat dari program swasembada ini adalah peranan lembaga-lembaga swasta yang turut serta menghasilkan varietas unggul, salah satunya adalah Jajasan Lembaga Penjelidikan Keilmiahan Pertanian dan Pembibitan (JLPKPP) di Klaten yang dipimpin oleh Jagus.

Jagus lahir dari keluarga lurah di Madiun, tetapi menghabiskan sebagian besar masa hidupnya di Klaten, Jawa Tengah. Pada mulanya ia bekerja di sebuah Onderneming/ perkebunan Belanda di Pandan Simping, Klaten. Pada 1935, ia berhasil melakukan riset seleksi yang menghasilkan tembakau vorstenlanden baru yang kebal terhadap penyakit phytophtora-nicotiana[5]. Atas keberhasilannya ini, Jagus menjadi satu-satunya pribumi yang diberikan rumah di daerah perkebunan tersebut. Dari sini pula, tampaknya, ia mulai mengabdikan dirinya pada penelitian varietas tanaman.

Tekadnya untuk menghasilkan varietas padi unggul adalah sebuah tekad ideologis. Dalam bahasanya sendiri “Aku wajib dan harus dapat mewujudkan suatu jenis tanaman yang mengandung daya guna bagi nusa dan bangsaku”[6]. Baginya, pelipatgandaan kapasitas produksi pertanian rakyat termasuk dalam mata rantai strategi ekonomi Negara dan strategi revolusi nasional Indonesia, yang tidak kalah serius dan penting dengan masalah-masalah lainnya[7]. Setelah keberhasilannya dalam riset tembakau, Jagus menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menciptakan bibit padi untuk sawah kering, karena menurutnya jumlah sawah kering di Indonesia justru lebih banyak daripada sawah hujan. Dalam jangka panjang, keberhasilan melipatgandakan produksi tidak hanya berarti swasembada beras, namun juga menandakan kemampuan Indonesia untuk menjadi pengekspor beras.

Dalam sebuah artikelnya “Seleksi Tanaman Padi”, Jagus menjelaskan bagaimana ia melakukan riset seleksi tanaman padi. Ia menyebutnya dengan istilah bastaard-seleksi, dimana sifat-sifat turun temurun yang berlainan dan penting dari tiap-tiap jenis padi dapat diubah sampai sebanyak-banyaknya (ekstrim), dan dengan demikian didapat jenis-jenis padi baru[8]. Menurut Jagus, sifat-sifat tersebut mencakup: panjang, besar dan berat gabah; panjang malai; banyaknya gabah pada setiap malai; umur pendek; ketahanan terhadap kekurangan air; rasa nasi yang enak; susunan malai yang bagus; dan kepastian hasil[9]. Melalui prinsip seleksi inilah, pada 1944 ia menciptakan bibit padi Sri Dorodasih, yang diambil dari nama putrinya yang lahir pada 10 Maret 1941. Proses seleksinya juga sangat menarik. Jagus berangkat dari tahun 1940, ketika ia menemukan 3 butir gabah dari tanaman padi Rodjolele yang berukuran 16 mm, sedangkan ukuran umumnya hanyalan 11 mm[10]. Ia kemudian berkonsultasi dengan seorang Doktor ilmu genetika dari Belanda tentang kemungkinan menciptakan gabah sebesar 16 mm pada satu malai. Doctor itu menjawab tidak mungkin, karena adanya 3 butir gabah sebesar 16 mm hanya merupakan keadaan incidental saja, bukan sifat turun temurun. Jagus tidak percaya begitu saja. Ketiga malai tersebut ia tanam, namun sesuai argumentasi sang Doktor genetika, tanaman tersebut hanya menghasilkan gabah dengan panjang 11 mm. Jagus tidak berhenti.
Ia lakukan perkawinan silang hingga akhirnya ditemukanlah beras Sri Dorodasih dengan panjang gabah 16 mm. berat 1000 butir gabah kering dari jenis ini kurang lebih 49 gram, sedangkan jenis padi umum di Indonesia yang terberat kurang lebih 46 gram. Kemajuan tentang panjangnya gabah terus diselidiki, dan pada 1956, Jagus berhasil menemukan jenis baru dengan berat 152 gram[11].

Jumlah padi dalam satu malai juga menjadi focus penelitian Jagus. Awalnya, di tahun 1941, ia berhasil menemukan jenis padi dengan jumlah gabah 500-600 butir pada satu malai[12]. Hasil ini 86 persen lebih banyak dari padi Soblog, yang saat itu merupakan padi dengan jumlah gabah terbanyak, yaitu sekitar 350 butir. Penelitian dilanjutkan, dan pada 1952, muncullah jenis padi baru dengan jumlah gabah 800 butir pada satu malai. Kemudian pada 1956 ditemukan jenis lainnya yang menghasilkan hingga 900 butir. Sifat lain yang berusaha dikembangkan oleh Jagus adalah umur pendek tanaman padi. Sebelum melakukan seleksi, padi dengan umur terpendek adalah Karangserang, yaitu 145 hari[13]. Jagus kemudian menemukan jenis padi yang berumur 135 hari, namun masih agak banyak gabah yang hampa. Jenis tersebut kemudian ia kawinkan dengan padi Rodjolele, dan didapatlah jenis padi baru yang berumur pendek dan rasa nasi yang enak. Jenis ini kemudian dinamakan Gendjah Harum dan Gendjah Wangi dengan umur 125 hari dari menabur[14].

Penemuan-penemuan Jagus menarik perhatian Presiden Sukarno. Pada 1947, Presiden Sukarno melalui Residen Surakarta, Sudiro, menyatakan rasa bangga atas pencapaian Jagus dan menekankan untuk terus melanjutkan penelitian tersebut[15]. Kemudian pada 1953, Presiden Sukarno memberi perintah, yang disampaikan oleh Presiden Universitas Gajah Mada Prof. Dr. Sardjito, untuk mencari jenis padi baru yang dapat ditanam di tanah yang tidak ada irigasinya atau tanah kering[16].

Beberapa tahun kemudian, juga atas dukungan Presiden Sukarno melalui H. Tjokronegoro, maka pada 1959 didirikanlah Jajasan Lembaga Penjelidikan Keilmiahan Pertanian dan Pembibitan (JLPKPP) di Klaten. Di sinilah pada 1961, Jagus dan para koleganya menemukan empat varietas berikutnya, yaitu Bintang Ladang, Bimokurdo, Bimopakso dan Retnodumilah. Jagus pun sempat menerima kunjungan Presiden Sukarno di rumahnya di Klaten.

Percobaan penanaman padi hasil seleksi Jagus telah tersebar di beberapa lokasi di Indonesia. Misalnya saja, di Jajasan Balai Pendidikan Tani Pusat di Cipayung, Pasarrebo, Jakarta. Jenis GPP-19 pada 1962 menghasilkan 35 kw atau 42 kg per ha untuk area tanam seluas 120 m2[17].
Sedangkan padi huma jenis GP-243 yang berumur 120 hari menghasilkan 19,6 kw/ ha[18]. Selain Jakarta, daerah lain yang juga tercatat melakukan percobaan penanaman adalah Klaten (Kecamatan Trujuk dan Djogonalan), Yogyakarta (Gunung kidul, Kulonprogo), Surakarta (Kecamatan Pratjimantoro dan Selogiri), Surabaya, Jember (Kecamatan Tanggul), Kalimantan (Kecamatan Liku-Sambas), hingga Irian Barat (yang dilakukan oleh civic mission DAM VII Diponegoro di Kampung Bestur Past Distrik Sentani, Keresidenan Sukarnopuro)[19]. Keunggulan padi seleksi Jagus berdasarkan hasil uji coba ini adalah kemampuannya bertahan dalam iklim dan sifat tanah yang kering, hasil yang lebih banyak dan rasa beras yang enak. Misalnya saja, suatu areal yang 70 persennya ditanami padi Jagus, jika dikurangi oleh serangan hama uret dan tikus, maka setidaknya hasil bersihnya hanya diambil dari 50 persen luas lahan.
Kisaran jumlah padi yang dipanen dalam kondisi demikian sekitar 27 kw, sedanglan dalam kondisi normal bisa mencapai 54 kw[20].

Menerima kunjungan Presiden Soekarno di Klaten

Hilangnya Sebuah Inovasi

Jagus merupakan salah satu anggota pleno Pimpinan Pusat Barisan Tani Indonesia (BTI), organisasi kiri yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Ia juga sempat menjadi anggota DPR-GR[21] dan mengajar, salah satunya di Gerakan Tani Egom, sebuah institut tani yang dikelola oleh BTI. Pada Seminar Produksi Pertanian dan Gerakan 1001 tahun 1963 yang diselenggarakan oleh BTI, Jagus memberikan prasarannya tentang
“Pola Meluaskan Penanaman Padi Jenis Unggul Seleksi Jagus”[22]. Dalam prasarannya ini, terlihat bahwa Jagus memiliki ide tentang bibit desa yang dikelola bersama. Ia mengungkapkan bahwa di tiap-tiap desa perlu ada kebun bibit desa yang digarap dan ditanggung jawab secara gotong royong oleh keseluruhan massa Rakyat penduduk Desa itu, untuk secara kontinu dan teratur menyediakan bibit-bibit yang dibutuhkannya[23].

Selain itu, di tiap desa juga perlu dikelola lumbung-lumbung bibit yang merupakan sentral penyimpanan dan penyaluran bibit-bibit kepada massa penduduk yang berkepentingan, secara kooperatif[24]. Hal terakhir yang juga tak kalah pentingnya, menurut Jagus, adalah pendidikan kader tani untuk mempertahankan jenis-jenis tanaman yang berkualitas, berpenghasilan tinggi dana mat dibutuhkan oleh massa tani[25]. Di akhir prasarannya, ia mengusulkan sebuah mekanisme penyaluran bibit dari Lembaga Penjelidikan Pertanian dan Pembibitan ke setiap kebun desa, sehingga massa tani terus menerus mendapatkan bibit unggul di setiap musim tanam[26].

Inovasi terakhir yang tercatat dari Jagus adalah padi sawah Radjalele Baru pada tahun 1965[27]. Ia turut ditangkap bersama ratusan ribu orang lainnya yang dituduh terlibat G30S 1965. Tuduhannya tidak jelas, namun hampir pasti hal tersebut terjadi karena keterlibatannya dalam BTI. Nasibnya bisa dikatakan lebih baik, karena ia dilepaskan dalam kurun waktu kurang dari 1 tahun. Detil penahanan Jagus belum terlalu jelas. Ingatan keluarganya akan peristiwa ini masih samar, sebagian besar disebabkan karena anggota keluarganya yang masih hidup tidak berada bersama Jagus saat penangkapan terjadi. Sebagian kronologi yang terungkap hanyalah tentara datang ke rumah beliau, menangkap Jagus dan menyita buku-buku serta catatan-catatan pribadinya. Tidak ada yang tahu pasti mengapa ia kemudian dilepaskan.

Ia meninggal pada 5 Oktober 1975 dan dimakamkan di Klaten. Kesehatannya semakin menurun pasca operasi prostat. Dalam ingatan keluarganya, Jagus menggunakan areal rumah dan sekitarnya untuk eksperimen padinya. Areal sawah di depan dan belakang rumahnya, serta pot-pot yang bertebaran di dalam rumahnya menjadi focus hidupnya. Sang cucu mengingat percobaan kedelai dan kapas wara-warni semasa hidup Jagus. Pasca kematiannya, percobaan Jagus sempat diteruskan oleh putrinya namun tak berhasil mengembalikan masa kejayaannya di tahun 1960an.

Beras seleksi Jagus hilang seiring dengan proyek revolusi hijau Orde Baru. Proyek ini tidak hanya menyeragamkan penggunaan bibit, pupuk dan pestisida, namun juga menghilangkan konsep kolektivitas pengelolaan benih padi. Benih padi unggulan, yang dikenal dengan IR (International Rice), diimpor dari Filipina. Tidak ada lagi pilihan bagi para petani selain menggunakan jenis ini. Jalan satu-satunya untuk mendapatkan bibit tersebut adalah membeli, hampir pasti melalui system kredit. Ide Jagus tentang sebuah kedaulatan pangan yang dibangun antara lembaga riset dengan masyarakat melalui pengelolaan kolektif kebun bibit, telah raib. Peranan masyarakat dalam riset tanaman padi pun menjadi hilang, bersamaan dengan matinya JLPKPP dan lembaga penelitian agraria lainnya. 1965 tidak sekedar menghilangkan nyawa, namun juga ide-ide yang menggerakan masyarakat.

Sebuah Panggilan

Riset terbaru tentang genosida intelektual yang dilakukan oleh Abdul Wahid, memperkirakan 115 orang dosen dan staf beserta 3.006 orang mahasiswa di UGM disingkirkan dan menjadi tapol[28]. Ini tidak hanya terjadi di UGM, tetapi juga di universitas-universitas lain di Bandung, Padang, Medan dan Makassar. Bersamaan dengan itu, seluruh karya intelektual dan ide-ide mereka pun hilang, seperti yang dialami Jagus. Ini menjadi sebuah panggilan bagi kita untuk menggali kembali sumbangsih para pemikir dan innovator di masa lalu yang (di)hilang(kan). Kerugian terbesar bangsa Indonesia pasca 1965, selain kehilangan jutaan nyawa, adalah juga hilangnya ide-ide kreatif dan keberanian untuk melawan cengkeraman pasar. Kala nyawa tidak mampu dihidupkan kembali, yang bisa kita lakukan hanyalah memberikan tempat yang layak bagi karya para intelektual ini di dalam sejarah.

***
Grace Leksana, Penulis adalah peneliti di Institut Sejarah Sosial Indonesia/ Kandidat Doktor Universitas Leiden

————-
[1] Saya mengucapkan terima kasih kepada keluarga alm. Jagus, terutama untuk koleksi foto mereka, serta kepada Hersri Setiawan dan Dharmawan Isaak yang membantu merangkai kisah hidup Jagus.
[2] Arsip KOTI 1963-1967 No. 101, hal. 4. Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia
[3] Ibid, hal. 16
[4] Sumintawikarta, Sadikin. Tjatatan Tentang Penelitian Tanaman Pangan Antara Tahun 1945-1965 dalam Makagiansar, M & Sumintawikarta, Sadikin (eds). 1965. Research di Indonesia 1945-1965: Bagian III Bidang Pertanian. Jakarta: Departmen Urusan Research Nasional Republik Indonesia. Hal. 70.
[5] Jagus. Pemuliaan Tanaman Padi Tanah Kering, Seri I dalam Pesat no. 35 Th. 20, 1964, hal. 10.
[6] Ibid.
[7] ibid, hal. 9.
[8] Jagus. 1961. Seleksi Tanaman Padi dalam Pembangun Desa edisi Untuk Manipol-Djarek. Hal. 6
[9] ibid.
[10] ibid, hal. 6-7
[11] ibid, hal. 7.
[12] Ibid, hal. 7.
[13] Jagus. Seleksi Tanaman Padi (lanjutan) dalam Pembangun Desa edisi Manipol-Usdek, hal. 7.
[14] Ibid.
[15] Pesat, op cit. hal. 10
[16] Jagus. Seleksi Tanaman Padi, op cit. hal. 7.
[17] Hasil Percobaan Jagus: Varitet Sudah Mantap. Harian Rakjat, 19 Maret 1962. Hal. 2.
[18] Suara Tani no. 8 Th.XII, Agustus 1961, hal. 4-5.
[19] Jagus. Pemuliaan Tanaman Padi Tanah Kering, Seri II dalam Pesat no. 31 th. 20, 12 Agustus 1964, hal. 12
[20] ibid.
[21] Periode jabatan Jagus belum diketahui secara pasti. Kemungkinan sekitar 1959, melalui jalur non partai.
[22] Jagus. 1963. Pola Meluaskan Penanaman Padi Djenis Unggul Hasil Seleksi Jagus dalam Pembangun Desaedisi Untuk Demokrasi dan Dekon. Hal. 21.
[23] Ibid.
[24] ibid.
[25] ibid.
[26] ibid, hal. 26.
[27] Sumintawikarta, Sadikin. Op cit. hal. 71.

Source: Indoprogress 

Kamis, 27 Oktober 2016

Segi Kedaerahan dalam Filem Cerita

27 Oct 2016 | SM Ardan*
Dimuat dalam Aneka No 10 Tahun IX, 1 Juni 1958


Filem Perfini Harimau Tjampa[1] mendapatkan hadiah Harimau Perunggu untuk musik terbaik dalam Festival Filem se-Asia (Tenggara) ke II di Singapura tahun 1955, karena Harimau Tjampa satu-satunya filem yang berhasil mempergunakan musik asli (Minangkabau) dalam filem, tidak saja sebagai ilustrasi tapi juga sebagai unsur untuk menceritakan isi filem. Harimau Tjampa dan Ifugao (filem Philipina yang menggondol tiga hadiah) banyak menarik perhatian disebabkan mengandung warna daerah, yaitu menggambarkan kedaerahan.
Memang pada suatu festival yang bersifat internasional, filem-filem yang asing bagi orang luar selalu mendapat perhatian istimewa. Ini terbukti dari filem-filem Italia dari jenis neo-realistis seperti Roma Kota Terbuka (Roma Città Aperta, Roberto Rosellini, 1945, ) atau Pencuri Sepeda (Ladri di biciclette, Vittorio de Sica, 1948,) yang dengan tepat menggambarkan keadaan masyarakat sesudah Perang Dunia ke II; secara khas pula pelukisannya! Atau filem Jepang Rashomon (Akira Kurosawa, 1950.) dan Jigoku-mon (Teinosuke Kinugasa, 1953) yang mencari kekuatan pada cerita-cerita lama dengan segala tata caranya, yang paling asing bagi dunia Barat.
Usaha semacam itu di Indonesia dimulai secara sungguh oleh Perfini dengan Harimau Tjampa (dan juga Kafedo[2]), karena sebelum dan sesudah itu perusahaan filem Indonesia lainnya juga pernah membuat filem yang mengemukakan segi daerah seperti Sorga Terachir (Fred Young, 1952), Manusia Sutji (M Chatab, 1955) dan Sampai Berjumpa Kembali (Basuki Effendi,1955), tapi kedaerahan di sini hanya merupakan tempat kejadian belaka dan untuk daya penarik yaitu pulau Bali yang memang telah terkenal keindahannya, bukan saja di Indonesia tapi juga di seluruh dunia. Hanya Sorga Terachir yang ada sedikit memberatkan segi kedaerahan, namun lalu mengalami pencabutan peredaran karena diprotes keras oleh putera-putera dari daerah Bali dengan alasan bahwa filem itu menyeleweng dalam pelukisannya.
Ya, karena mengambil Bali sebagi objek nyatanya lebih didorong oleh pertimbangan komersil daripada oleh hasrat ingin mengemukakan hal-hal daerah. Sebab itu tepatlah jika usaha Perfini dengan Harimau Tjampa (dan Kafedo) nya dikatakan suatu usaha yang sungguh-sungguh, karena kedaerahannya tidak sekedar sebagai tempat berlaku cerita saja, tapi juga pembikinannya tidak terdorong oleh pertimbangan komersil, karena Minangkabau tidaklah sepopuler Bali, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Apalagi Kafedo yang mengedepankan tentang Mentawai yang masih asing itu, bahkan bagi bangsa Indonesia sendiri; dengan sendirinya Kafedo (dan Harimau Tjampa) malah memberi sekedar pengetahuan tentang satu segi kedaerahan di Indonesia, betapa kecil pun.
Negara Indonesia terdiri dari beribu-ribu kepulauan yang membagi pendudunya dalam berbagai suku dengan keistimewaannya masing-masing sesungguhnya meripakan bahan filem cerita. Tapi justru sumber inilah yang boleh dibilang belum sama sekali ditimba oleh orang-orang filem Indonesia. Adalah mengherankan bahwa kesadaran nasional yang meluap-luap hampir di segala lapangan pada dewasa ini, tidak (belum?) merasuk ke dunia filem. Rasanya lebih tepatlah kalau filem Indonesia mencari kekuatan ceritanya pada tanah asal dan bukan meniru-niru dari bumi luar.
Turang Produksi Refic
Bertumpu pada sumber Indonesia ini memperoleh kelanjutannya dalam filem Turang produksi Refic dengan skenario regie di tangan Bachtiar Siagian, yang menurut pecintanya “merupakan satu usaha untuk memenuhi anjuran PJM Presiden Soekarno untuk kembali pada kepribadian nasional”. Selanjutnya filem itu dimaksudkan untuk “membangunkan persatuan nasional” dengan “menunjukan fakta-fakta pahit selama revolusi” dan “di samping itu kebudayaan satu daerah dijadikan latar belakang”, dalam hal ini: Tanah Karo, kampung Seberaja.
Berlainan dengan pembikinan Sorga Terachir yang lebih terdorong oleh pertimbangan komersil, pembuatan Turang lebih didorong oleh hasrat ingin mengemukakan segi kedaerahan, malah demikian meluapnya keinginan itu sehingga Turang punya kelemahan dalam cerita. Kesadaran nasional pada diri Bachtiar Siagian nampaknya telah berupa exces karena Turang-nya lebih tepat jika dinamakan newsreel Gelora Indonesia; segi kedaerahannya bukan lagi merupakan latar belakang. Ceritanya sendiri jadi terdesak yang mustinya jadi penjalin dan pendukung, tidak ada imbangan antara cerita dan latar belakang. Walaupun begitu latar belakang yang (seakan-akan) telah menjadi hal utama itu tetap saja merupakan suatu latar belakang, karena kabur pelukisannya. Jadi, baik cerita ataupun yang dimaksudkan untuk latar belakang kedua-duanya “kabur”.
Dorongan pembikin Turang memanglah bukan pertimbangan komersil, tapi kebanggaan akan kedaerahan sayangnya terlalu meluap-luap. Akibatnya, demikian tololkah pasukan gerilya sehingga turun ke kampung cuma dengan maksud untuk menyanyi dan menari? Tentu saja pasukan Belanda datang menggerebek! Nyanyian dan tarian kesedihan Tipi (Nyzimah) meratapi ayahnya yang ditawan Belanda dan untuk surprise serangan Belanda? Tak adakah cara lain? Misalnya, berikan malam itu kepada Rusly (Omar Bach) membujuk Tipi, bukanlah ini ada artinya bagi perkembangan cinta mereka dan bagi kelanjutan cerita? Pada waktu bermesra-mesraan itu sekalian juga digambarkan bagaimana hubungan antara pemuda di Tanah Karo. Untuk suatu pertempuran cukuplah kalau serangan pasukan Belanda itu berdasarkan laporan Djendam, (Hadisjam Tahax), mata-mata musuh.
Dan lagu Turang hanya diperdengarkan dengan harmonika yang disusul oleh Tipi menyanyikan sambil memandang bulan (oh!), tak terdengar lagi sebelum dan sesudah itu. Tegasnya lagu Turang tidak dijadikan theme song, lagu pengiring sepanjang filem seperti Harimau Tjampa menggunakan Alah Sansai atau sebagai filem-filem (Hollywood) umumnya. Juga kita penonton tidak tahu apa artinya Turang, pula adalah Turang suatu lagu rakyat atau ciptaan baru dan siapa penciptanya. Kenapa pula orang-orang menari di sekitar Rusly yang terbaring menderita luka parah? Dengan maksud apa? Juga hal ini tak terjawab.
Harimau Tjampa
Untuk menerangkan kedua hal tadi dan hal-hal yang lainnya tidaklah ada baiknya jika Bachtiar Siagian memasukan satu tokoh lagi (dalam pasukan gerilya misalnya) yang berasal dari luar daerah Karo. Orang ini tentunya akan bertanya kepada temannya anak daerah Karo tentang segala sesuatu mengenai Tanah Karo. Mengenai orang itu penonton akan memperoleh penerangan tentang apa itu Turang, tentang mengapa orang-orang menari sekitar Rusly yang terbaring luka atau tentang hal-hal lain. Juga sekalipun digambarkan bahwa sesuatu daerah bukan cuma dipertahankan oleh putera-putera dari daerah itu saja, tapi juga oleh putera-putera dari lain daerah. Karena memang begitu kenyataannya di masa revolusi, bahwa putera-putera dari berbagai daerah Indonesia bahu-membahu mempertahankan dari nafsu imperialisme penjajah.
Tapi lepas dari serba kekurangan tersebut Turang adalah suatu usaha baik yang perlu teruskan. Segi kedaerahan di Indonesia ini musti ditimba untuk menyadarkan bangsa Indonesia, bahwa buminya penuh keserbaan berupa daerah-daerah dengan kekayaan dan ketinggian budayannya, yang tak kalah dengan apapun dari luar yang biasanya menyilaukan. Asal pembikinannya tidak cenderung supaya laris di daerahnya saja seperti Turang. Asal segi kedaerahan itu cukup dijalin dan didukung oleh cerita yang baik dan menarik seperti Harimau Tjampa atau seperti Kafedo sehingga akan memikat bagi bangsa Indonesia sendiri dari daerah manapun dia berasal, atau lebih-lebih dengan orang luar. Kita tunggu usaha ke arah itu!
  1. Harimau Tjampa adalah filem karya Djadoeg Djajakusuma yang dirilis tahun 1953.
  2. Kafedo adalah filem karya Usmar Ismail yang dirilis pada tahun 1953.
_____
SM Ardan, Lahir di Medan, 2 Februari 1932. Dikenal sebagai penyair, cerpenis, novelis, esais, dan penulis drama. Menjadi redaktur di berbagai surat kabar dan majalah seperti di Merdeka, Trio, Suluh Indonesia, Abad Muslimin dan Citra Film. Bekerja lebih dari 22 tahun di Sinematek dan sejak tahun 1982 hingga 1990 menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta. Meninggal di Jakarta, 26 November 2006

Sumber: Jurnal Footage