HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Rabu, 28 Juni 2017

Jembatan Bacem merekam tragedi 1965 di Solo

Ari Susanto |  2:36 PM, June 28, 2017

Jembatan Bacem yang berada di atas aliran Bengawan Solo dikenal sebagai tempat jagal para tahanan terduga anggota PKI

Ilustrasi Jembatan Bacem dalam dokumenter yang rilis pada 2014. Screen shot dari YouTube

SOLO, Indonesia – Selain dua karya Joshua Oppenheimer, The Act of Killing (Jagal) dan The Look of Silence (Senyap), ada sebuah film dokumenter lainnya yang tak kalah menarik dalam membangkitkan ingatan publik tentang penghilangan paksa secara masal dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia 1965-1966, yaitu Jembatan Bacem.
Film dokumenter karya Yayan Wiludiharto yang diproduksi oleh Elsam Indonesia dan Pakorba ini sebenarnya merupakan visualisasi cerita viral yang berkembang di Solo dan sekitarnya.
Jembatan Bacem yang berada di atas aliran Sungai Besar (Bengawan) Solo dikenal sebagai tempat jagal para tahanan terduga anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) atau organisasi yang berafiliasi dengan partai itu.
Film ini banyak menggunakan sketsa gambar untuk mendeskripsikan kesaksian para penyintas (survivor). Meskipun hanya berdurasi sekitar 30 menit, pembuatan film ini memakan waktu sekitar 5 tahun. Salah satu penyebabnya adalah sulitnya menemukan penyintas yang selamat dari upaya penghilangan paksa di Jembatan Bacem dan bisa memberikan kesaksiannya secara runtut dan lengkap.
“Sangat sulit mencari korban sekaligus saksi yang masih hidup. Sejak pembuatan film 2007, kami baru menemukan orang seperti Barjo pada 2012,” kata Yayan beberapa waktu lalu.
‘Tidak jadi mati’
Jembatan Bacem, di atas aliran Bengawan Solo, dikenal sebagai lokasi penghilangan paksa massal para tahanan terduga komunis selama 1965-1966. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Jembatan Bacem, di atas aliran Bengawan Solo, dikenal sebagai lokasi penghilangan paksa massal para tahanan terduga komunis selama 1965-1966. Foto oleh Ari Susanto/Rappler
Kesaksian Barjo adalah bagian yang menarik dalam film ini. Meskipun sudah berusia senja, ia masih memiliki ingatan segar tentang bagaimana dirinya dan orang-orang diangkut dari kamp penahanan pada tengah malam. Setiap tahanan diikat dengan posisi tidur terlentang di atas papan kayu seukuran badan, lalu disusun bertumpuk-tumpuk di atas truk.
Barjo menggambarkan suasana orang-orang yang akan menjemput ajal. Ia mendengar orang yang berdoa, namun kebanyakan mereka merintih kesakitan tertindih papan dan orang di atasnya. Rintihan mereka terdengar mengerikan.
Begitu truk tiba di Jembatan Bacem, semua tahanan diturunkan dan disandarkan pada besi jembatan sebelum dieksekusi satu per satu. Namun, sebelum algojo mengarahkan senapannya, Barjo memukulkan bagian belakang kepalanya pada papan berulang kali yang berhasil membuatnya terbalik dan jatuh ke air sebelum ditembak.
“Meskipun saya tidak jadi mati, akhirnya saya tertangkap lagi di kemudian hari dan dikirim ke Nusakambangan dan Pulau Buru selama 13 tahun,” ujar kakek 85 tahun itu yang saat ini tinggal di Purwodadi, Jawa Tengah.
Selain Barjo, ada Dwijo yang nyaris dieksekusi tetapi batal karena diselamatkan oleh saudaranya, seorang anggota Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang bertugas di Sukoharjo. Ia bercerita bagaimana para tahanan diikat tangan dan lehernya kemudian ditembak dan didorong jatuh ke sungai.
Film ini juga menuturkan kesaksian Bibit, anggota Pemuda Rakyat yang tinggal tak jauh dari jembatan dan sering mendengar tembakan menyalak berulang-ulang memecah kesunyian setiap tengah malam. Keesokan harinya, ketika mencari rumput untuk makanan kuda, ia ditodong seseorang dengan senjata agar bersedia menghanyutkan mayat-mayat yang tersangkut di tepi sungai. Ia terpaksa menuruti perintahnya daripada mati.
Saksi lain bercerita tentang tahanan yang diambil setiap malam dari kamp penahanan Sasono Mulyo di Keraton Surakarta. Dari lokasi ini, tercatat 71 orang hilang setelah diambil tentara pada malam hari.
Film dokumenter ini juga merekam prosesi nyadran atau ziarah tahun 2005 oleh para keluarga korban peristiwa di Jembatan Bacem. Prosesi tabur bunga dilakukan di atas sungai sebagai ganti kuburan para korban hilang dilanjutkan dengan pelepasan puluhan burung dan ikan lele sebagai simbol agar arwah para korban mendapatkan keadilan.
Fobia komunisme
Sasono Mulyo, Keraton Surakarta, pernah dijadikan camp penahanan oleh tentara. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Sasono Mulyo, Keraton Surakarta, pernah dijadikan camp penahanan oleh tentara. Foto oleh Ari Susanto/Rappler
Sama seperti film Joshua Oppenheimer, Jembatan Bacem juga tidak gampang diputar dan diapresiasi di ruang publik. Beberapa kelompok dan organisasi masyarakat sangat tidak ramah terhadap hal-hal yang terkait komunisme dan berusaha mencegah pemutaran film dan diskusi dengan topik semacam itu.
“Film ini pernah akan diputar dan didiskusikan di sini, tetapi akhirnya pihak produsernya membatalkan karena khawatir ada ancaman pembubaran oleh kelompok tertentu berkaca dari peristiwa sebelumnya di Yogyakarta,” kata Yunanto Sutyastomo, kurator dan penyelenggara program Balai Soedjatmoko Solo.
Namun, film ini sebelumnya pernah diputar di kampus Universitas Sebelas Maret dan lolos dari sweeping kelompok-kelompok yang fobia terhadap komunisme, yang menganggap menonton film dan mengingat sejarah kelam bangsa secara otomatis mengubah orang menjadi komunis.
Secara umum, Jembatan Bacem berhasil menggambarkan suasana Solo dan sekitarnya pada tahun 1965, yang merupakan zona merah, alias basis pendukung PKI, partai yang pernah meraup suara terbanyak ketiga dalam sejarah Indonesia. Wali Kota Solo pada 1965, Oetomo Ramelan, diketahui adalah pendukung partai ini. Ia diduga ikut berperan dalam pelarian Ketua Central Committee PKI DN Aidit, yang kemudian ditangkap di Solo.
Setelah peristiwa 30 September, RPKAD menduduki Solo dan membuat banyak kamp penahanan yang tersebar di berbagai lokasi di penjuru kota. Setiap malam, para tahanan menunggu giliran “dibon”, istilah militer yang berarti pengambilan tahanan dari kamp untuk diinterogasi di balai kota, dipindahkan ke Pulau Buru, Plantungan, Nusakambangan, atau dihilangkan paksa.
Film ini mendukung cerita yang berkembang di masyarakat selama ini bahwa Sungai Bengawan Solo pernah menjadi “merah” karena mayat orang-orang yang dihilangkan nyawanya karena dituduh PKI tanpa pengadilan. Di Kedung Kopi, sisi lain Bengawan Solo, juga pernah menjadi tempat eksekusi, namun tidak sebanyak di Jembatan Bacem.
“Dulu kalau pagi-pagi pergi ke sungai, saya sering mendapati mayat-mayat terapung di tepi,” ujar Joyo, petani tua yang dari kecil tinggal di Desa Pilang, Sragen, yang dilewati Bengawan Solo.
Sampai sekarang, tidak pernah ada yang tahu berapa jumlah mereka yang dihilangkan paksa selama kurun dua tahun di Bengawan Solo. Namun, diperkirakan jumlahnya mencapai ribuan hingga jutaan orang. Menurut data Komnas HAM, sekitar 500.000 hingga tiga juta orang di Indonesia menjadi korban penghilangan paksa oleh operasi militer, dibantu Pertahanan Rakyat (Hanra).
Secara terpisah, pendiri Sekretariat Bersama ‘65, Jasmono, beberapa waktu lalu pernah mengatakan bahwa dirinya dan kebanyakan keluarga korban tidak memiliki dendam terhadap peristiwa berdarah itu. Mereka hanya menuntut pengakuan negara atas tragedi pelanggaran HAM dan pemulihan (rehabilitasi) nama dari stigmatisasi.
“Kami hanya ingin memperjuangkan rekonsiliasi, itu saja,” kata Jasmono sebelum tutup usia pada 31 Agustus lalu di Solo.

Jasmono adalah adalah korban fitnah seorang perangkat desa. Akibatnya ia mengalami siksaan fisik dan mendekam di penjara Nusakambangan dan Pulau Buru selama 14 tahun.
Sumber: Rappler.Com 

Selasa, 27 Juni 2017

Perang ala Jokowi

 27.06.2017
Febriana Firdaus 

Bagaimana seorang pemimpin dapat menjadi harapan, jika ia hanya berpihak pada kelompok mayoritas saja? Simak opini Febriana Firdaus berikut ini.




Pada 17 Mei 2017 lalu, Presiden Joko "Jokowi” Widodo mencatatkan sejarah ketika untuk pertama kalinya menegaskan bahwa ia akan memerangi komunisme, PKI dan antek-anteknya yang ia sebut tak sesuai dengan konstitusi. "Saya dilantik jadi Presiden yang saya pegang konstitusi, kehendak rakyat. Bukan yang lain-lain. Misalnya PKI nongol, gebuk saja. TAP MPR jelas soal larangan itu,” katanya. 
Pernyataan presiden ini tentu saja menimbulkan pro dan kontra. Yang pro adalah mereka yang telah sejak lama berdiri bersama Jokowi dan mendukungnya untuk maju menjadi nomor orang satu di Indonesia. Kelompok lainnya adalah mereka yang diduga tak mengetahui latar belakanga TAP MPR tersebut keluar. 
Namun di saat yang sama, Jokowi juga berperang melawan kelompok muslim konservatif. Kelompok ini kebetulan adalah lawan politiknya di kubu Prabowo Subianto. Prabowo berhasil menyatukan organisasi—partai Islam dan melakukan manuver politik yang cukup membuat masyarakat Indonesia terbelah menjadi dua, anti Jokowi-pro Islam atau pro Jokowi-anti Islam. 

Identitas baru?
Jelas, dualisme ini menyesatkan, karena itu kubu Jokowi segera merangkul kelompok-kelompok Islam moderat seperti Nahdlatul Ulama. Jokowi melakukan kunjungan ke beberapa pesantren dan mengajak umat Islam untuk mencintai Indonesia yang plural, sebab kubu di kelompok Prabowo lebih dikenal dengan kelompok yang kerap merugikan kelompok minoritas, sebut saja Front Pembela Islam dan sikap partai Islam terhadap kaum syiah di Indonesia. 
Tampaknya, Jokowi ingin membawa Indonesia ke sebuah identitas yang baru, yakni Indonesia yang moderat ultranasionalis dengan embel-embel Islam nusantara, tapi sayang posisi minoritas tak jelas di sini. Misal soal syiah, LGBT, dan kelompok kiri atau komunis. Jadi sebenarnya, kampanyenya juga tak bisa disebut mendukung pluralisme. Karena makna pluralisme itu bukan hanya mengakui enam agama di Indonesia, melainkan juga mereka yang menganut animisme, kejawen, syiah, ahmadiyah, dst. 
Lalu apa sebenarnya yang mendasari Jokowi melakukan perang terhadap dua kelompok ini? 

Perang terhadap komunisme 
Jika kita amati, perang terhadap komunisme ini sebenarnya sudah lama dikampanyekan oleh militer tentunya. Kita bisa melihatnya dalam sebuah opini yang ditulis Kepala Pusat Penerangan TNI Brigadir Jendral Wuryanto yang berjudul "Komunis Bergerak Dalam Senyap”.
Dalam tulisannya Wuryanto menggunakan bahasa yang sangat akrab di telinga saat guru sejarah kita menuturkan tentang ‘pengkhianatan PKI' pada pemerintahan Indonesia, lewat pembunuhan tujuh jenderal. Wuryanto secara runut mengisahkan latar belakang dikeluarkannya aturan untuk membubarkan partai tersebut, yakni lewat ketetapan. Termasuk di dalamnya, ia mengatakan, bahwa ajaran Marxisme-Leninisme sebagai ideologi dan paham yang terlarang di tanah air. 
Wacana tandingan terhadap klaim militer yang diwakili oleh tulisan Wuryanto ini sebenarnya telah dijawab oleh sebuah buku berjudul Putusan Final International People's Tribunal 1965 yang berlangsung di Den Haag. Dalam buku itu dijelaskan bahwa telah terjadi pembengkokan sejarah atas peristiwa pembunuhan tujuh jenderal itu, bahwa belum ada bukti yang kuat bahwa PKI yang melakukannya, keterlibatan Gerakan Wanita Indonesia —yang disebut berafiliasi dengan PKI— juga tak terbukti setelah Profesor Saskia Wieringa berhasil menyajikan fakta tandingan hasil risetnya selama tiga dekade tentang organisasi ini, diperkuat dengan hasil riset John Roosa tentang palsunya berita mengenai penyiletan alat kelamin jenderal oleh organisasi perempuan paling progresif di tanah air ini. 
Stigma PKI adalah pengkhianat negara yang ditekankan Wuryanto sejatinya juga telah berkali-kali dibantah lewat fakta sejarah. Sebab Indonesia sendiri pernah menganugerahi dua tokoh partai komunis sebagai pahlawan, sebut saja Tan Malaka Alimin Prawirodirdjo. 
Stigma bahwa PKI itu ateis dan bertentangan dengan agama yang sering diwacanakan oleh Front Pembela Islam —teman dekat Prabowo— juga dapat mudah dibantah. Sebab sejarahwan Bonnie Triyana pernah menulis tentang kedekatan Sejarah Hubungan Partai Islam dan Komunis sebelum tragedi 1965. 
Sikap partai politik selalu mendua, bisa jadi teman atau lawan, tergantung kondisi pemilu saat itu. Dan bantahan lainnya yaitu, bergabungnya beberapa haji ke PKI. Seperti Haji Misbach. 
Gugurnya klaim militer ini sebelumnya telah diketahui oleh presiden sebelumnya Abdurrahman "Gus Dur” Wahid, oleh karena itu ia pernah bertemu anak pertama pimpinan PKI Dipa Nusantara Aditi, Ibarruri Aidit, untuk menyampaikan bahwa ia belum berhasil mencabut Tap MPR itu. 

Satu barisan dengan militer
Sayangnya, Jokowi tampaknya tak ingin mengikuti jejak Gus Dur, ia lebih memilih satu barisan dengan militer. Pernyataannya mengenai gebuk PKI dan akan mengikuti konstitusi, menurut penulis, adalah satu pertanda saja. Masih bisa diperdebatkan. 
Tapi yang tidak disadari oleh Jokowi adalah dampak dari pilihan politiknya. Tentu saja kelompok yang memperjuangkan pelurusan sejarah pembantaian massal 1965 akan sulit bergerak, karena mereka masih mendapat stigma sebagai antek-antek komunis, seperti IPT 65 dan anggota Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65). Terbukti saat menggelar silaturahmi, YPKP dituduh menggelar diam-diam rapat pengurus PKI. Tuduhan yang konyol. 
Ketua Setara Institute Hendardi telah memperingatkan tentang stigma PKI ini. "Penyebaran stigma PKI terhadap beberapa kegiatan telah membangkitkan kebencian orang pada upaya-upaya persuasif, dialogis, dan solutif bagi pemenuhan hak-hak korban peristiwa 1965," ujar Hendardi melalui keterangan tertulisnya, Senin (9/5/2016).
Jokowi sendiri sebenarnya belum menunjukkan keberpihakan terhadap korban 65, meski Simposium tentang peristiwa 1965 telah diselenggarakan. Namun saat korban menunggu sikap Jokowi, ia malah mencabut semua naskah tentang 65 dalam pidato kemerdekaannya tahun lalu. 

Perang terhadap Radikalisme 
Perang lainnya adalah perang terhadap kelompok konservatif, intoleran, dan radikal. Jokowi sendiri sebenarnya kerap menjadi korban kampanye hitam mereka, seperti dituduh sebagai keturunan PKI. Jokowi memang bukan keturunan PKI, tapi kampanye ini telah menjadi senjata ampuh dalam setiap pemilihan umum di tanah air. Dia PKI, maka umat Islam tak boleh memilihnya. 
Namun perang Jokowi terhadap kelompok ini sebenarnya bukan perang terhadap agama atau ulama yang diungkap oleh kubu seberang, Jokowi sedang berperang melawan narasi tandingan yang menyatakan bahwa pemerintahannya bertentangan dengan Islam. Isu anti Islam belakangan sangat santer dihembuskan, dan mirisnya kelompok yang melakukan ini disinyalir dekat juga dengan militer. Jelas, bahwa saat Jokowi ingin ‘menjalin hubungan baik' dengan militer, ia juga diserang lewat pihak-pihak ketiga, keempat, dst. 
Tapi militer juga awalnya tak satu komando, munculnya Agus Widjojo di arena Simposium 65, menurut saya, mewakili kelompok militer merah, meski ujungnya ia hanya menginginkan rekonsiliasi. Sayangnya, ia terjegal karena militer saat ini sepertinya didominasi oleh kelompok militer hijau yang dekat dengan kelompok muslim konservatif. 
Jadi jika diibaratkan, Jokowi seperti dijepit dua gajah saat ini. Satu kelompok militer yang mendesaknya untuk tetap mendukung konstitusi, dan dua kelompok konservatif muslim yang meragukan ke-Islamannya. 

Jokowi ingin status quo? 
Jadi, apakah Jokowi memang benar hanya ingin mengkampanyekan pluralisme dan bhineka tunggal ika? Dugaan saya tidak, Jokowi memerangi kelompok konservatif —yang tentu saja memiliki unsur radikal ini, walaupun mereka tak setuju disebut demikian— dan komunisme karena ingin mempertahankan stabilitas politik, sehingga ia bisa status quo. 
Jika ia tidak melakukan ini, maka kelompok tertentu yang merasa tidak aman saat dia berkuasa, tak segan menggulingkannya. Demo 212 yang dibungkus dengan isu penistaan agama oleh Basuki ‘Ahok' Tjahaja Purnama adalah buktinya. Nyaris selangkah lagi ia akan digulingkan. 
Tapi pilihan politik yang sulit ini harus diambil oleh Jokowi: Memerangi Komunisme dan Radikalisme, walaupun ia harus mengorbankan penyelesaian kasus 65. Tapi, penulis tak yakin, Jokowi membawa harapan baru untuk Indonesia dengan keputusan politiknya ini, laiknya Majalah Time memberikan dia gelar ‘The New Hope' sebab bagaimana seorang pemimpin dapat menjadi harapan, jika ia hanya berpihak pada kelompok mayoritas saja? Tabik. 
___
Penulis:
Febriana Firdaus, adalah jurnalis lepas yang fokus pada investigasi. Ia menulis untuk publikasi dalam dan luar negeri. Ia juga relawan di IPT 65 dan Ingat 65. 
@febrofirdaus  

http://www.dw.com/id/perang-ala-jokowi/a-39364064

Senin, 26 Juni 2017

Road to Justice



Bedjo Untung Terima “Human Rights Award of Truth Foundation”

SEOUL: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung bergambar bersama dengan 2 peneliti The Truth Foundation - South Korea; Yi Chae Hoon (kiri) dan Song So-yeon (kanan) menjelang penganugerahan "Human Rights Award of The Truth Foundation" South Korea. Gambar diambil Senin (26/6) [Foto Humas YPKP 65]

Di malam ketika umat muslim dunia menyongsong Idul Fitri 1438 H, Ketua YPKP 65 Bedjo Untung berangkat ke Seoul untuk menghadiri acara penganugerahan penghargaan Human Rights Award of The Truth Foundation South Korea.

Secara resmi, upacara penganugerahan itu dilaksanakan Senin (26/6) jam 19.00 waktu setempat, di House of Literature, kota Namsan Seoul, Korea Selatan.

House of Literature dipilih jadi tempat upacara penganugerahan Human Rights Award karena lokasi ini memiliki nilai sejarah yang penting bagi bangsa Korea. Di tempat ini dulunya berdiri gedung yang menjadi sentra spionase CIA Korea Selatan; Agency for National Security Planning.

The Truth Foundation sendiri yang merupakan sebuah institusi atau yayasan pengungkapan kebenaran di Korsel, mengidentifikasi tempat ini sebagai lokasi penyiksaan tahanan perang pada masa Perang Korea dan tempat penyiksaan tapol semasa kediktatoran militer Park Chung hee.

Tempat dimana pernah dijadikan kamp penyiksaan ini menjadi simbol bagi masyarakat sipil Korea untuk mengenang sejarah masa lampau yang kejam dan barbar.

“Mereka yang melupakan masa lampau sesungguhnya ingin mengulangi kejadian (kekerasan_Red) serupa di masa datang”, demikian statement Truth Foundation dalam rilisnya.


Penghargaan Ke 7  

Penganugerahan Human Rights Award pada tahun 2017 ini merupakan penghargaan ke 7 yang diberikan oleh The Truth Foundation South Korea, kepada personal atau lembaga yang dinilai konsisten dalam kerja di lapangan kemanusiaan khususnya bagi korban kejahatan HAM.

The Truth Foundation sendiri adalah semacam yayasan kebenaran yang didirikan pada tahun 2009 atas sumbangsih terbesar para korban kejahatan HAM Korea Selatan. Tradisi penganugerahan penghargaan Human Rights Award sendiri telah dimulai sejak 2011 lalu.

Meskipun dalam rilisnya The Truth Foundation merujuk Bedjo Untung sebagai penerima anugerah penghargaan ke 7 ini, namun sebagai Ketua YPKP 65 Bedjo menerimanya sebagai kehormatan bukan buat dirinya, melainkan bagi YPKP 65 secara kelembagaan serta penghargaan bagi seluruh korban Tragedi 1965 Indonesia. 


Daftar Penerima

Para penerima anugerah “Human Rights Award” The Truth Foundation in South Korea ini adalah:

1.    Tahun 2011: Seo Seung, seorang Profesor Universitas Ritsumeikan, kelahiran 1943  yang dituduh terlibat 'Spionase Siswa Jepang-Korea' 1971 dan disiksa dengan parah oleh pasukan keamanan Korea Selatan. Seo Seung dijebloskan ke penjara selama 19 tahun, sebelum dibebaskan dan muncul sebagai aktivis perdamaian pada solidaritas masyarakat Asia Timur.

2.    Tahun 2012: Mendiang Kim Keun Tae (1947-2011) menjadi penerima penghargaan kedua. Kim adalah seorang aktivis pro-demokrasi melawan kediktatoran militer selama tahun 1980an, dan disiksa secara brutal oleh rezim Chun Doo Hwan. Dia selamat dari penyiksaan tersebut dan dengan berani mengungkapkan realitas pemberontakan di Korea ke seluruh dunia. Sebagai mantan anggota Majelis Nasional Korea, dia mengabdikan dirinya untuk memperbaiki situasi hak asasi manusia di Korea. Kim meninggal pada tahun 2011 setelah melawan penyakit karena efek penyiksaan yang masih ada.

3.    Tahun 2013: Hong Sung Woo (1938), seorang pengacara hak asasi manusia yang berdedikasi. Hong dengan berani berbicara atas nama tahanan politik, korban penyiksaan dan aktivis mahasiswa selama rezim militer di Korea Selatan. Karena aktivitasnya, dirinya sendiri dua kali dipenjara oleh rezim militer. Hong meletakkan landasan bagi dasar MINBYUN-Pengacara untuk Masyarakat Demokratis, yang telah bekerja tanpa kenal lelah untuk melindungi hak asasi manusia di Korea. Dia juga menyimpan banyak catatan kasus pengadilan hak asasi manusia di Korea Selatan, yang menyediakan bahan berharga untuk pelestarian sejarah perjuangan hak asasi manusia di Korea. 

4.    Almarhum U Win Tin (1930-2014) dari Hanthawaddy U Win Tin Foundation. Selama pemberontakan 88 di Burma pada tahun 1988, dia menyatakan tentangannya yang kuat terhadap kediktatoran militer sebagai wakil ketua Gerakan Aliansi Pers. Pada bulan September 1988, dia mendirikan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) bersama dengan Aung San Suu Kyi, dan mengadakan sebuah kampanye melawan rezim militer. Setelah ditangkap, pada tahun 1989, dan kemudian mengalami penyiksaan berat, dia berkomitmen selama 19 tahun ke penjara Insein, yang terkenal karena kondisi tidak manusiawi dan program penyiksaan mental dan fisik yang brutal. Namun pemenjaraan tersebut tidak mengurangi keinginannya untuk menyebarkan perkataannya atau lebih jauh lagi penyebab demokrasi di Burma. Dia terus-menerus mengeluarkan suaranya di Burma dan di komunitas internasional seperti Pelapor Khusus PBB mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan di penjara dan situasi di Burma. Setelah dibebaskan dari penjara pada bulan September 2008, U Win Tin segera melanjutkan aktivitas NLD-nya meskipun dia kesehatan yang lemah disebabkan oleh pemenjaraan dan penyiksaannya yang panjang. Pada tahun 2012, ia mendirikan Hanthawaddy U Win Tin Foundation untuk membantu rehabilitasi dan penyembuhan tahanan politik dan korban penyiksaan Birma yang tak terhitung jumlahnya, serta keluarga mereka. Dia meninggal pada tahun 2014, namun jiwanya tetap bersama generasi muda di Burma yang terus mencari demokrasi dan perdamaian.

5.    Tahun 2015: Kang Ki-hoon (1964). Dia dituduh melakukan kejahatan membantu bunuh diri dengan catatan bunuh diri sebuah catatan bunuh diri untuk Kim Ki-sul, yang membakar dirinya sendiri dengan kematian yang mengecam presiden dan pemerintah tersebut, dan dijatuhi hukuman tiga tahun penjara pada tahun 1991. Pada tahun 2015, 24 Beberapa tahun setelah tuduhan mengerikan tersebut, Kang akhirnya dibebaskan oleh Mahkamah Agung. Kang mengalami tahun-tahun rasa sakit dan perjuangan, membuktikan dan mengungkapkan jurang gelap dari otoritas. Keberadaannya adalah motivasi bagi orang-orang yang percaya akan nilai dan penghormatan manusia. Kami juga mengungkapkan rasa terima kasih kami kepada keluarga dan teman-temannya dan daya tahan mereka yang membuat 24 tahun Kang berjuang melawan pembebasan tersebut. 

6.    Tahun 2016: Chae Eui-jin dan Chung Hee-sang. Chae selamat dari pembantaian di mana 86 dari 127 warga kota dibunuh secara brutal oleh sekelompok tentara Angkatan Darat Korea pada tanggal 24 Desember 1948. Sejak saat itu, dia tanpa lelah mengabdikan hidupnya untuk mengungkapkan kebenaran dan mencari keadilan karena tidak hanya para korban dari Pembantaian ini tapi tak terhitung banyaknya orang lain yang entah bagaimana bisa bertemu dengan nasib yang sama. Sementara jumlah korban tidak pernah ditentukan secara akurat, perkiraan berkisar antara 300.000 dan satu juta. Karena keadaan politik junta Korea Selatan yang memerintah sampai akhir 1980an, Chae tidak pernah bisa mencapai tujuan mulia dengan memuaskan. Namun, pada tahun 1989, Chung, yang saat itu menjadi seorang jurnalis di Majalah Mal, memulai sebuah laporan investigasi mendalam mengenai pembantaian yang dilakukan oleh pasukan pemerintah sekitar masa Perang Korea. Selama masa ini, Tuan Chung pasti mengenal Chae, dan mereka dengan cepat mengembangkan ikatan kekaguman dan kerjasama. Berkat upaya bersama mereka, banyak korban datang dan mulai mengekspos berbagai kekejaman. Sementara masih banyak yang harus dilakukan dalam hal mencapai keadilan penuh dan lengkap bagi para korban, melalui usaha Chae dan Chung bahwa proses yang sangat penting untuk mengungkapkan kebenaran meletakkan dasar yang kokoh untuk jalan menuju penyembuhan.


7.    Tahun 2017: Bedjo Untungmantan aktivis IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) pada tahun 1965an. IPPI adalah sebuah organisasi pelajar independent untuk kegiatan  seni, olah raga; di luar sekolah. IPPI mendukung Bung Karno yang anti-imperialisme, anti neo-kolonialisme demi terciptanya masyarakat Sosialis di Indonesia.  Bedjo Untung ditangkap pihak militer pada 20 Oktober 1970 melalui “Operasi Kalong” di Jakarta menyusul krisis politik awal Oktober 1965 di Indonesia. Operasi militer besar-besaran yang memakan korban jutaan orang terbunuh, dibuang, disiksa dan dipenjara tanpa proses pengadilan. Bedjo Untung sendiri dijebloskan ke penjara Tangerang dan RTC Salemba, Jakarta; setelah 5 tahun menjadi buronan politik Orba. Sebagai bagian langsung dari korban tragedi 1965 Bedjo menjalani hidup dengan menyaksikan sejarah pembantaian dan pelanggaran HAM di negerinya; dan terus berjuang tanpa lelah bersama korban lainnya. Paska pembebasan dirinya sebagai tapol pada 1979, Bedjo menjadi aktivis dan kemudian menjadi Ketua YPKP 65, sebuah Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-66 yang didirikan oleh Sulami, Pramoedya Ananta Toer, Hasan Raid, Suharno, Kusalah Soebagyo Toer, Sumini dan lain-lainnya…  [hum] 

ISTANA KAISAR KOREA: Bedjo Untung diambil gambarnya dengan latar belakang Istana Kekaisaran Korea, menjelang upacara penganugerahan "Human Rights Award of The Truth Foundation" South Korea [Foto: Humas YPKP 65]

Kamis, 22 Juni 2017

Bintang Sakti Untung Sjamsuri dan Benny Moerdani

Reporter: Petrik Matanasi | 22 Juni, 2017

Letkol Untung Syamsuri dibawa ke Mahmilub atas (tuduhan) keterlibatannya dalam G30S. FOTO/Wikipedia
Benny Moerdani dan Untung Sjamsuri sama-sama mendapat Bintang Sakti dari Presiden Sukarno. Namun, di kemudian hari, nasib mereka berbanding terbalik.

tirto.id - Enam hari menjelang lebaran, 19 Februari 1963, orang-orang wara-wiri di halaman Istana Merdeka, Jakarta. Suasana ramai dan sibuk. Rupanya, sebuah upacara buat menyambut kepulangan tentara Indonesia dari operasi Trikora di Irian Barat sedang dipersiapkan.

Sekitar pukul 09.00 pagi, sebagaimana ditulis Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang (2008), “Presiden Sukarno, didampingi Panglima Mandala Mayor Jenderal Soeharto, menerima secara resmi kedatangan Batalyon 454/Para Diponegoro.”

Komandan batalyon itu adalah Mayor Untung Sjamsuri. Bersama Sukarno dan Soeharto, ia memeriksa jajar kehormatan pasukan Lintas Udara (Linud) Kostrad di halaman Istana Merdeka. Kelak, banyak anggota Batalyon 454/Banteng Raiders bergabung dengan pasukan Kostrad di bawah kepepimpinan Soeharto, dan sebagian yang lain, termasuk Mayor Untung, ditarik ke resimen pengawal presiden Cakrabirawa.

Atas jasa dan keberaniannya dalam operasi Trikora, Untung mendapat penghargaan Bintang Sakti dari Presiden. Ia, menurut buku Gerakan 30 September Dihadapan Mahmilub 2 Di Djakarta: Perkara Untung (1966), baru berusia 36 tahun pada waktu itu.

Untung bukanlah nama aslinya. Menurut Julius Pour dalam Ignatius Slamet Rijadi (2008), ia sebenarnya bernama Kusman. Ia adalah salah satu komandan peleton Batalyon Sudigdo yang terlibat Peristiwa Madiun 1948, namun lolos dari pembersihan karena, salah satunya, Agresi Militer Belanda II pada akhir tahun 1948. Konon, ia menggunakan nama Untung sejak 1950an, sedangkan Sjamsuri, yang ia pakai sebagai nama belakang, adalah nama paman yang membesarkannya di Solo.

Pada 1958, Untung terlibat dalam penumpasan PRRI di Sumatra Barat sebagai Letnan Satu dalam pasukan Tentara dan Teritorium (TT) Diponegoro. Kala itu, Panglima Diponegoro adalah Soeharto, dengan pangkat kolonel.

Pada upacara penyambutan pasukan Trikora, ada satu tentara lain yang berpangkat sama dengan Untung dan juga mendapatkan Bintang Sakti, ialah Leonardus Benyamin Moerdani alias Benny Moerdani.

Benny berasal dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Dalam operasi Trikora, ia memimpin pasukan Naga di Merauke (sedangkan Untung bertugas di pasukan Serigala di Sorong). Seperti Untung yang lebih tua enam tahun darinya, Benny pun terlibat dalam penumpasan PRRI di Sumatra, tepatnya di Riau.

Keduanya sudah angkat senjata sejak zaman Revolusi. Untung yang mantan Heiho (pembantu tentara zaman Jepang) itu ikut Tentara Keamanan Rakyat (TKR), sementara Benny yang waktu itu baru berumur belasan tahun bergabung dengan Tentara Pelajar di Solo. Setelah Indonesia merdeka, Benny masuk Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat (P3AD) dan memulai karier militernya sebagai Pembantu Letnan.

Baik Untung maupun Benny adalah prajurit infanteri dengan kualifikasi terjun payung. Pada tahun 1950an, Untung bertugas di Banteng Raiders TT Diponegoro, Jawa Tengah, sedangkan Benny di Kesatuan Komando TT Siliwangi, Jawa Barat, lalu ke RPKAD.

Selepas upacara, Untung dan Benny sempat berfoto bersama. Benny yang biasanya pasang tampang angker dan Untung yang pendiam tersenyum menghadap kamera. Dan Untung, yang bertubuh lebih pendek, tampak merangkul Benny. Keduanya, sebagaimana tulisan pada medali Bintang Sakti, berhak atas cap “Mahawira” atau mahaberani.

Kelak, ketika posisi Komandan Batalyon Kawal Kehormatan II Cakrabirawa kosong (setelah Ali Ebram dipindah ke jabatan lain), menurut Mangil Martoatmodjo dalam bukunya Kesaksian tentang Bung Karno, 1945-1967 (1999), pilihan pertama Presiden Sukarno adalah Mayor Benny Moerdani, yang pada waktu itu menjabat Komandan Batalyon II RPKAD. Namun, Benny menolak sehingga tugas itu jatuh kepada Untung.

Semua tahu betapa suram nasib Untung setelah Peristiwa September/Oktober 1965. Selaku (tertuduh) pemimpin penculikan jenderal-jenderal tinggi Angkatan Darat, ia dieksekusi mati pada 1966.

Di sisi lain, Benny menjadi anggota Kostrad setelah keluar dari RPKAD. Di sana ia berjumpa Ali Moertopo, yang pernah bertugas di Banteng Raider seperti Untung. Menurut Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia (2007), Benny menjadi pembantu Ali Moertopo dalam menangani operasi-operasi terbatas di luar negeri. Salah satunya ialah mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia.

Sementara Untung Sjamsuri dimakan cacing dan serangga dalam kuburnya, karier Benny Moerdani semakin lama semakin cemerlang. Setelah bertugas sebagai perwira intel urusan luar negeri selama sembilan tahun, ia memimpin Konsulat Jenderal Indonesia di Malaysia Barat. 

Kembali ke Indonesia, Benny menjadi andalan Presiden Soeharto dalam banyak urusan. Tugasnya macam-macam dan serba penting, mulai dari mengurus organisasi intelejen Indonesia, menjadi bos Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban alias Kopkamti, hingga menjabat sebagai Panglima ABRI.
https://tirto.id/bintang-sakti-untung-sjamsuri-dan-benny-moerdani-crc7

Selasa, 20 Juni 2017

Sukarno dalam Polemik Piagam Jakarta

Reporter: Jay Akbar | 20 Juni, 2017


Sukarno kerap menjadi kambing hitam atas perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Bagaimana sejarah mencatat perannya?
Sebagian umat Islam sulit menerima bahwa rumusan yang dihasilkan lewat rapat alot Panitia Sembilan selama 21 hari, dan diperdebatkan selama sepekan dalam sidang BPUPKI, bisa diubah hanya dalam belasan menit.

“Kejadian yang mencolok mata itu, dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu permainan sulap yang masih diliputi oleh kabut rahasia sebagai permainan politik pat gulipat terhadap golongannya, akan tetapi mereka (umat Islam) diam, tidak mengadakan tantangan dan perlawanan karena jiwa toleransi mereka,” ujar tokoh Masyumi, M. Isa Anshari dalam sidang Konstituante 1957, seperti dikutip dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945 (1981).

Kekecewaan Isa tertuju kepada Sukarno. Ia mempertanyakan peran Sukarno yang terkesan inkonsisten. Sebab, menurut Isa, Sukarno lah yang semula gigih mempertahankan Piagam Jakarta di sidang BPUPKI, tetapi Sukarno jugalah yang dianggapnya berkontribusi mengganti isi Piagam Jakarta.

“Apakah sebabnya Ir. Soekarno yang selama sidang-sidang Badan Penyelidik dengan mati-matian mempertahankan Piagam Jakarta, kemudian justru memelopori usaha untuk mengubahnya? Penulis tidak tahu,” ujar Isa.

Peran Sukarno dalam sejarah Piagam Jakarta barangkali menempati posisi paling ambigu dibanding para pendiri negara-bangsa lain. Sebagai Ketua Panitia Sembilan, ia berhasil membangun kompromi yang menjembatani perbedaan antara golongan nasionalis-sekuler dan golongan nasionalis-Islam tentang pembukaan dasar negara.

Kompromi yang dihasilkan pada 22 Juni 1945 ini, oleh M. Yamin, diberi nama Piagam Jakarta. Prinsip komprominya adalah Islam tidak menjadi dasar negara, tetapi umat Islam wajib menjalankan syariat Islam yang akan diatur dalam konstitusi. Hal itu tertuang dalam kalimat: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Pada 10 Juli 1945, Sukarno menyampaikan rumusan Piagam Jakarta dalam sidang BPUPKI. Saat itu ia bersungguh-sungguh meyakinkan anggota sidang untuk menerima Piagam Jakarta sebagai rumusan terbaik pembukaan UUD 1945.

“Panitia kecil penyelidik […] berkeyakinan bahwa inilah preambule yang bisa menghubungkan mempersatukan segenap aliran yang ada di kalangan anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai,” kata Sukarno, seperti dilansir dari Risalah BPUPKI-PPKI karya M. Yamin.

Saat Johannes Latuharhary, wakil dari Ambon, menyatakan keberatan terhadap Piagam Jakarta pada 11 Juli 1945, Sukarno jugalah yang tampil membela. Ia membantah kekhawatiran Latuharhary bahwa kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya akan menciptakan benturan dengan hukum adat di masyarakat.

“Jadi, manakala kalimat ini tidak dimasukkan, saya yakin bahwa pihak Islam tidak bisa menerima preambule ini: jadi perselisihan terus nanti,” ujar Sukarno.

“Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes.”

Pernyataan Sukarno pun didukung oleh Agus Salim dan Wahid Hasyim.

Setelah dibahas secara maraton selama sepekan dari 10 Juli hingga 16 Juli 1945, Piagam Jakarta akhirnya disahkan sebagai Mukadimah UUD 1945. Para founding fathers sepakat mempertahankan kalimat: “Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya.”

Pengubahan secara Tiba-tiba

Sabtu pagi, 18 Agustus 1945, sebelum sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dimulai, Hatta dan Sukarno menggelar rapat nonformal bersama sejumlah tokoh Islam, di antaranya Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, dan Teuku Mohammad Hasan. Rapat membahas permintaan perwakilan Indonesia timur untuk menghapus kalimat yang mewajibkan syariat Islam bagi pemeluknya dalam Piagam Jakarta. Jika permintaan itu tidak dipenuhi, perwakilan Indonesia timur mengacam akan memisahkan diri dari Indonesia.

Bagi sejumlah tokoh Islam, permintaan itu sulit diterima. Sebab, bagi sebagian mereka, menerapkan syariat Islam merupakan salah satu alasan mengapa perjuangan memerdekakan Indonesia dilakukan. Namun para tokoh Islam juga sadar membiarkan Indonesia timur berpisah akan melemahkan posisi diplomasi Indonesia di mata dunia. Sehingga Belanda bisa dengan mudah kembali menjajah.

Akhirnya, satu persatu para tokoh Islam melunak, kecuali Ketua Umum Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo. Ia bersikeras mempertahankan isi Piagam Jakarta.

Di sinilah kemudian Sukarno memainkan peran dengan meminta Kasman Singodimedjo menjadi anggota tambahan PPKI bersama Wiranata Kusumah, Ki Hadjar Dewantara, Sayuti Melik, Iwa Kusumasumantri, dan Ahmad Subarjo. Alhasil, jumlah anggota PPKI menjadi 27 orang dari semula 21 orang.

Sukarno menugaskan Kasman membujuk Ki Bagus lantaran lobi Wahid Hasyim, Teuku M. Hasan, hingga Bung Hatta tidak mampu melunakan pendiriannya. Sukarno tahu Kasman memiliki kedekatan emosional dengan Ki Bagus karena sesama Muhammadiyah. Namun Sukarno sendiri, seperti dalam kesaksian Kasman, tampak tidak ingin terlibat lebih dalam proses lobi menghapus tujuh kata Piagam Jakarta.

“Mungkin karena beliau sebagai Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan terutama sebagai peserta dari Panitia Sembilan mengenai pembuatan Piagam Jakarta merasa agak kagok untuk menghadapi Ki Bagus Hadikusumo dan kawan-kawannya,” kata Kasman dalam Hidup Itu Berjuang: Kasman Singodimedjo 75 Tahun.

Meski semula menolak, Kasman akhirnya melunak mengingat situasi sulit yang dihadapi Indonesia. Dengan bahasa Jawa halus, Kasman membujuk Ki Bagus. Ia menerangkan dalam Undang-Undang Dasar yang akan disahkan hari itu terdapat satu pasal yang menyatakan bahwa enam bulan setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, akan dilakukan sidang penyempurnaan Undang-Undang Dasar. Di saat itulah golongan Islam bisa kembali memperjuangakan isi Piagam Jakarta.

Mendengar penjelasan Kasman, Ki Bagus akhirnya luluh. Ia setuju tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihilangkan dalam sidang resmi PPKI.

Perubahan tersebut mengubah batang tubuh UUD 1945. Dalam rapat resmi PPKI, yang dipimpin Sukarno, disepakati sejumlah hal seperti: mengubah kata “Mukaddimah” dalam pembukaan UUD 1945 menjadi “Pembukaan”. Kemudian mencoret kalimat “beragama Islam” dalam Pasal 6 ayat 1 UUD 1945 dari semula berbunyi: “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam” menjadi “Presiden ialah orang Indonesia asli”.

Selanjutnya, Pasal 29 ayat 1 diubah dari “Negara berdasarkan atas Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Negara yang berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa.”

Belakangan Kasman berkata “menyesal” dengan perannya membujuk Ki Bagus. Airmatanya menetes saban mengingat perannya menyetujui penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta pada pagi 18 Agustus 1945. “Sayalah yang ikut bertanggung jawab dalam masalah ini, dan semoga Allah mengampuni dosa saya,” ujar Kasman.

Sikap Sukarno yang ambigu tak pelak jadi pusat kritik oleh sejumlah tokoh Islam.
“Apa sebab rumus Piagam Jakarta yang didapat dengan susah payah, dengan memeras otak dan tenaga berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka dari bangsa kita, kemudian di dalam rapat “Panitia Persiapan Kemerdekaan” pada 18 Agustus 1945, di dalam beberapa menit saja, dapat diubah? Apa, apa, apa sebabnya?” kata Ketua Umum Masyumi Prawoto Mangkusasmito.


Piagam Jakarta dan Demokrasi Terpimpin

Wacana mengembalikan Piagam Jakarta kembali jadi pokok bahasan politik pada Januari 1959. Saat itu kabinet secara bulat meloloskan resolusi Sukarno untuk menerapkan Demokrasi Terpimpin dalam kerangka kembali ke UUD 1945.

Dari 24 poin resolusi, poin kesembilan menyatakan keberpihakan Sukarno terhadap aspirasi umat Islam yang ingin Piagam Jakarta dikembalikan: “Demi memenuhi harapan-harapan kelompok Islam dalam kaitannya dengan upaya memulihkan dan menjamin keamanan umum, keberadaan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 diakui.”

Pada 22 April 1959, Sukarno menyampaikan gagasan tersebut di depan Konstituante. Debat sengit terjadi. Kelompok non-Islam menganggap Piagam Jakarta hanyalah salah satu dokumen menuju kemerdekaan yang tidak bisa dijadikan sumber hukum. Sebaliknya, kubu Islam menganggap Piagam Jakarta bukan hanya memengaruhi pembukaan UUD 1945 tapi juga seluruh batang tubuh UUD 1945. Dengan demikian, ia tetap memiliki makna hukum dan bisa dipakai sebagai sumber hukum untuk menerapkan aturan-aturan Islam bagi umat Islam.

Sementara itu Kahar Muzakkir, seorang tokoh Muhammadiyah, mempertanyakan maksud pemerintah menghidupkan kembali Piagam Jakarta. Kahar curiga Sukarno hanya ingin “memperalat” umat Islam untuk memuluskan kepentingannya melaksanakan demokrasi terpimpin.

“Oleh karena itu ia mengusulkan agar Konstituante melanjutkan tugasnya sampai dapat diperoleh suatu hasil yang bisa diterima umat Islam dan dapat dipertanggungjawabkannya,” tulis Jan S. Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (2004).

Perdebatan tak kunjung usai mengenai status Piagam Jakarta akhirnya mendorong Sukarno mengeluarkan Dekrit pada 5 Juli 1959. Melalui dekrit yang didukung penuh kelompok militer tersebut, ia membubarkan Konstituante dan menyatakan kembali ke UUD 1945. Pembukaan dekrit ini menyatakan Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan bagian integral dari UUD 1945.

“Meski demikian status “tujuh kata” tetap tidak jelas dan terus menjadi persoalan kontroversoal. Persoalan ini pada akhirnya tenggelam dalam hiruk-pikuk Manipol Usdek dan Nasakom yang digelorakan Sukarno sendiri,” tulis Yudi Latif dalam Inteligensia Muslim dan Kuasa (2012)

Ahmad Syafii Ma’rif dalam Islam dan Politik: Teori Belah Bambu, Masa Demokrasi Terpimpin (1996)secara tersirat menilai hilangnya tujuh kata Piagam Jakarta disebabkan kurangnya kegigihan wakil-wakil Islam dalam menguasai komposisi kursi di PPKI.

Menurutnya, dari 27 anggota PPKI, hanya ada tiga perwakilan organsiasi Islam, yakni Wahid Hasyim (NU) serta Ki Bagus dan Kasman (Muhammadiyah).

“Tampaknya pada waktu itu, wakil-wakil golongan Islam terlalu rendah hati untuk berebut menguasai PPKI, hingga jelas wakil nasionalis menjadi sangat dominan dalam badan itu,” tulis Ma'arif.

Hingga medio 1965, Sukarno tampaknya sadar bahwa Islam masih merupakan kunci bagi langkah-langkah politiknya. Ia terus memainkan isu Piagam Jakarta untuk menarik simpati tokoh dan politisi Islam yang kecewa.

“Nah Jakarta Charter ini, saudara-saudara, sebagai dikatakan dalam Dekrit, menjiwai UUD 1945, dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut. Jakarta Charter ini saudara-saudara, ditandatangani 22 Juni 1945. Waktu itu jaman Jepang … Ditandatangani oleh –saya bacakan, ya– Ir. Soekarno, Drs Mohammad Hatta, Mr AA Maramis, Abikusno Cokrosuyoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Mr. Achmad Subardjo, Wahid Hasyim, dan Mr. Mohammad Yamin, 9 orang,” ujar Sukarno dalam peringatan lahirnya Piagam Jakarta 22 Juni 1965. 
https://tirto.id/sukarno-dalam-polemik-piagam-jakarta-cq7m