HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Sabtu, 30 September 2017

Review 'Pengkhianatan G30S/PKI' dari Orang Yang Belum Pernah Nonton Filmnya Seumur Hidup


Seriusan, aku baru 21 tahun. Selama sekolah ataupun di rumah, enggak pernah ada yang nyuruh aku nonton. Pas kemarin Presiden Jokowi bilang perlu dibuat versi millenial-nya, jadi penasaran dong.



Pihak militer Indonesia mengatakan akan menggelar nobar film itu untuk mengingatkan penduduk Indonesia pada sejarah bangsa "yang benar." "Kita harus kembali meluruskan sejarah bangsa," kata panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo kepada seperti dikutip Jakarta Globe.

Keriuhan tentang nobar Pengkhiatan G30S/PKI menarik perhatian Presiden Jokowi. Dalam satu kesempatan, Jokowi menganjurkan film keluaran 1984 ini, yang wajib diputar setiap 30 September selama Suharto berkuasa, segera dibikin ulang agar bisa dinikmati generasi milenial. Usulan Jokowi ini memicu perdebatan panas tentang apa fungsi film propaganda ini.
D.N. Aidit memimpin rapat persiapan kudeta dalam film itu.
Film yang disutradarai oleh mendiang Arifin C. Noer itu tak pernah dirancang sebagai film hiburan, seperti dijelaskan Rektor Institut Kesenian Jakarta, Seno Gumira Ajidarmama.
"Pengkhianatan G30S/PKI menarik untuk dipelajari sebagai kasus saja, bukan untuk dinikmati, apalagi untuk mencari fakta sejarah," ungkap Seno seperti yang dikutip kantor berita Antara.
G30S/PKI dikenang sebagai film yang menggambarkan secara brutal kudeta gagal yang digalang Partai Komunis Indonesia pada 30 September 1965. Salah satu bagian yang paling membekas dari film itu adalah adegan penyiksaan para jenderal di Lubang Buaya. Anggota PKI, baik laki-laki atau perempuan, yang haus darah digambarkan menyiksa para korban dengan sadis sebelum memberondong mereka dengan peluru dan melemparkan jasad para jendral itu ke dalam sebuah sumur mati yang pengap dan sempit di dekat bandara Halim Perdanakusuma.
Nyatanya, bagian ini pun terus ramai diperdebatkan. Sejarawan Ben Anderson menulis jenderal-jenderal mati ditembak, sama sekali tak mengalami penyiksaan. Keterangan ini ditemukan dari sebuah fotokopi laporan otopsi resmi atas mayat para jenderal angkatan darat yang tewas di Lubang Buaya. Cerita tentang penyiksaan kejam yang dialami para jendral yang diedarkan oleh koran milik angkatan bersenjata akhirnya berfungsi sebagai senjata psikologis yang manjur untuk menakuti penduduk Indonesia. Sejarawan John Rossa dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal menulis sekitar setengah juta orang jadi korban operasi penumpasan PKI yang berlangsung tak lama setelah upaya kudeta terjadi.

Namun, pihak militer dan anggota keluarga Suharto, keukeuh mengklaim sejarah dalam film GS30/PKI sudah sesuai. Tak ayal, belakangan ini ketertarikan menonton, atau bahkan menggelar nobar, film tersebut melonjak akhir-akhir ini.
Lalu, kenapa sih film ini begitu ramai diperbincangkan? Jujur saja, saya enggaktahu. Film ini pernah jadi tontonan wajib anak yang duduk di bangku sekolah selama Orde Baru. Setiap malam 30 September, film tak akan absen dari layar kaca. Semua orang sepertinya sudah pernah menonton film ini. Kecuali saya.
Beneran. Saya lahir tahun 1996. Sekarang saya berumur 21 dan sampai saat ini, saya belum pernah nonton film kontroversial itu barang sekalipun. Kamu pasti penasaran, kok bisa-bisanya saya melewatkan film 'kolosal' yang wajib ditonton sebagai propaganda Suharto ini?
Adegan pasukan Tjakrabirawa menggiring pengawal para jenderal
Begini ceritanya.
Ketika saya duduk di kelas 4 SD, orang tua saya memindahkan saya dari sekolah Islam Negeri ke sebuah sekolah swasta umum yang pengantarnya berbahasa Inggris. Sekolah baru saya ini tak pernah mewajibkan siswanya nonton GS30/PKI. Di kelas, tak pernah ada diskusi tentang kudeta PKI. Walhasil, sampai pekan lalu, pengetahuan saya tentang film terlaris sepanjang pemerintahan Suharto nihil. Lalu, saat film ini ramai diberitakan, saya mulai bertanya-tanya apa sih yang sebenarnya sudah saya lewatkan.
Kayaknya sih banyak. Sepulang dari luar negeri, saya berusaha mengatasi ketertinggalan. Saya sempat masuk sekolah swasta dan tinggal di luar Indonesia selama beberapa tahun. Akhirnya, untuk pertama kalinya, saya duduk dan menghabiskan lebih dari tiga jam untuk menonton GS30/PKI.
Adalah penulis Leila Chudori yang pertama memperkenalkan saya dengan warisan Orde Baru yang satu ini. Waktu itu, Leila berada di sebuah museum di Seattle untuk membahas novelnya, Pulang, yang berkisah tentang para eksil yang tak bisa kembali pulang selepas insiden 30 September 1965.
Saya kemudian bertanya pada ibu tentang film ini. Ibu saya, yang lahir pada 1965, cuma bilang nonton film ini di TV pada masa orde baru. Lewat sebuah pesan whatsapp, saya bilang pada ibu kalau saya bakal nonton film ini. Pesan saya di-read doang. Ibu tak membalasnya.
Saya sangat optimistis bisa melewati film panjang ini. hampir tiap hari, saya terjebak dalam kemacetan jahanam Jakarta, jadi, pikir saya, apa susahnya menghabiskan 3 jam setengah untuk menonton sebuah film?
Tone film ini yang gelap dan bikin merinding sudah digeber dari adegan pertama. Massa PKI di Kanigaro menyerang sebuah masjid ketika jemaah di dalamnya sedang menunaikan salat subuh. Anggota partai terlarang ini digambarkan menyerang mereka yang sedang salat, membunuh sang Imam dan merobek-robek Quran dengan celurit. adegan segamblang ini jelas bikin saya lekas sadar kenapa orang punya fobia yang begitu mengakar terhadap PKI. PKI, dalam film ini, digambarkan sebagai sebuah partai ganas yang menentang kapitalisme, pemerintah yang sah dan, ini yang paling sering disalahpahami, agama. Dengan penggambaran seperti ini, mudah memahami mengapa fobia terhadap PKI terus subur di Indonesia.
Putri D.I. Panjaitan digambarkan membasuh wajah dengan darah ayahnya. Adegan paling epic di filmnya mendiang Arifin C. Noer.
Hal kedua yang menarik perhatian saya dari film ini adalah nilai estetikanya. desain set film ini memukau. Scoring yang bikin bulu kuduk merinding di sepanjang film membuat G30S/PKI layak digolongkan sebagai film horor. Belum lagi pemilihan busana. siapa pun yang bertanggung jawab atas fesyen di film ini punya mata dan selera yang adiluhung. meski digarap lebih dari dekade lalu, saya masih mengagumi pemilihan kemeja turtleneck yang dipakai oleh salah satu anggota Biro Chusus PKI.
Dari menit pertama, saya sadar betul bila saya sedang nonton film propaganda untuk memantik ketakutan akan paham komunisme. tapi, apa boleh buat, saya hanyut dalam dalam film itu. Orkestra yang tak berhenti bermain sepanjang film, teknik zoom-in ke mulut yang tak henti-hentinya menggayang rokok bak kereta api, hingga teknik kamera fly-in-the-wall (menurut saya semua aspek ini berhasil dimaksimalkan dengan baik) membuat saya merasa teriris melihat masing-masing jendral dibunuh atau dijemput paksa dari rumahnya
Sayang, daya magis film ini lenyap dan menguap begitu saja ketika koneksi internet saya putus. "gangguan kecil" ini memberi saya ruang untuk menelaah bagaimana perempuan direpresentasikan dalam film G30S/PKI. Istri-istri para petinggi Angkatan Darat digambarkan sebagai perempuan yang lemah lembut. Mereka bahkan tetap kalem ketika suami dan anak mereka diculik atau ditembak pasukan Tjakrabirawa.
Dalam hati saya berujar, "Suatu saat aku bakal jadi seperti mereka."
Sementara itu, di kawasan Lubang Buaya, anggota Gerwani, organisasi perempuan yang dekat PKI, tampak garang, brutal dan berisik. Gampangnya, gambaran perempuan seperti ini menggambarkan betapa kerasnya keinginan sineas film ini untuk merepresentasikan anggota Gerwani sebagai perempuan yang merongrong nilai-nilai keluarga tradisional Indonesia.
Anggota Gerwani memang digambarkan kejam dan haus darah. Namun, justru karakter anak perempuan salah seorang jenderal yang diculiklah yang mencuri perhatian, dalam kasus adegan yang melibatkan darah. Putri Mayjen D.I. Panjaitan berlari menuruni tangga sambil menangis melihat ayahnya tumbang diberondong peluru di garasi rumah. "Bapak! Bapak!" jerit sang putri sambil membasuh wajahnya dengan darah sang ayah yang diseka dari lantai.
Saya terperangah, teringat kalau dulu film ini ditonton oleh anak SD Ingusan. saya lantas bertanya, bagaimana caranya seorang anak SD yang masih polos mencerna adegan se- gory ini?
Lalu, jangan lupakan adegan penyiksaan di Lubang Buaya. Seorang anggota Gerwani menyilet wajah salah satu jenderal. setelah itu, montase adegan penyiksaan dimulai. para jenderal dipukli, ditusuk bayonet, disayat dan disundut rokok. Puncaknya, ketika semua jenderal itu menghembuskan nafas terakhir, jasad mereka dilempar, kepala terlebih dulu, ke dalam sebuah sumur mati.
Seorang kawan pernah bilang bahwa adegan penyiksaan ini adalah bagian dari film Pengkhianatan G30S/PKI yang paling populer di sekolah-sekolah di Indonesia. Para guru, saat menayangkan film ini umumnya mempercepat film sampai tiba di adegan Lubang Buaya, baru film dibiarkan berjalan dengan kecepatan normal.
Saya terus menonton meski, setelah dua jam, konsentrasi saya buyar. Tapi, demi menyelesaikan film ini untuk pertama kali, saya gigih, terus menonton dan berusaha merefleksikan apa yang saya tonton sampai ke bagian plot yang menarik lagi: adegan pasukan militer mengambil jenazah para jenderal. Lagi-lagi, teknik zoom-in kembali muncul. objeknya kali ini adalah jenazah yang diambil dari berbagai sudut. Akibatnya, bekas luka yang membusuk dan lalat yang berterbangan di sekitarnya terlihat jelas.
Yuck!
Suara pembaca berita radio yang menyesakkan menyertai montase upacara penguburan para jenderal yang muncul sesaat sebelum film tamat. G30S/PKI sedikitpun tak menyentuh pembantaian menyusul geger 30 September 1965. film ini malah ditutup dengan monolog tentang gugurnya para jendral.
Jadi, bagaimana pendapat saya tentang film? bagi saya, G30S/PKI adalah film penuh kekerasan yang diselingi adegan zoom-in mulut-mulut yang tak berhenti bicara dan mengeluarkan asap rokok. namun, menonton film ini adalah cara yang lumayan menarik untuk membuang 3 jam setengah dari hidupmu. Saya, dari awal, memang tak pernah mencari akurasi sejarah dalam film. sekali lagi, tujuan saya nonton film ini adalah berusaha memahami ketakutan generasi orang tua saya dan mencicipi apa yang teman-teman saya rasakan ketika harus menonton film ini saban tahun.
Saya adalah salah satu generasi milenial Indonesia, seorang perempuan yang tumbuh dewasa pasca reformasi, di masa ketika The Act of Killing dan The Look of Silence menunjukkan dengan gamblang yang terjadi setelah 30 September 1965. Saya juga mendapat privilese belajar di luar Indonesia dan sedikit banyak belajar tentang komunisme tanpa takut diamuk massa. Intinya, saya cuma mau bilang: saya mungkin bukan audiens ideal film ini. Namun, itu bukan berarti film G30S/PKI tak mengajarkan apa-apa tentang sejarah film dan hal-hal yang masih kita berusaha pahami sampai hari ini.
Berikut hasil penilaian saya
Plot: 7/10 
Desain set: 9/10 
Scoring: 10/10 
Minat nonton lagi: 8/10 (dengan syarat, semua bagian yang membosankan dari film ini di-skip dan ada diskusi sejarah serius setelahnya). 
Perlu dibikin ulang buat millenial: 0/10
Vice 

Gestapu Menghapus Satu Generasi Intelektual Indonesia



Hampir semua penerima beasiswa negara yang kuliah di luar negeri saat G30S terjadi tak bisa pulang ke Indonesia. Mereka dipaksa mengutuk Sukarno lewat secarik surat pernyataan.

Para pelajar asal Indonesia di Praha, Ceko saat wisuda salah satu kawan pada 1968. 
Foto dari arsip Soegeng Soejono.

Sabtu siang; 23 September 2017. Aku meninggalkan Jakarta hingga tiba di sebuah rumah bernuansa hijau di sebuah komplek perumahan. Aku dipersilakan masuk dan duduk di sebuah sofa warna keemasan. Semua tata letak dan dekorasi nyaris sama dengan dua tahun lalu, saat aku pertama bertandang. Si empunya rumah memintaku agar alamat rumah ini dirahasiakan.
Pria 77 tahun itu menghampiriku dengan wajah yang tak pernah berubah, senantiasa lima belas tahun lebih muda dari umur sebenarnya, tidak ada tanda-tanda penuaan, hanya kerutan seperlunya. Kemeja hijau zaitun Ia kenakan, dan duduk persis di seberangku, hanya dipisahkan meja dan semangkuk besar es kelapa muda.
"Saya percaya sama kamu pokoknya," ujarnya. Aku yang di hadapannya menyanggupi syarat merahasiakan jati dirinya. Dia agak khawatir mendengar kampanye kebencian mengenai gerakan september 30, sebutan lain G30S, sebulan belakangan. "Kamu tahu kan, situasi politik seperti sekarang." 

Kami sepakat menyebutnya untuk artikel dengan nama lain. Aku pilih sebutan: "Iskandar".
Iskandar adalah mahasiswa Ikatan Dinas yang berangkat menuju Swedia pada 1963 berbekal beasiswa dari pemerintahan Sukarno untuk mengambil studi teknik elektro di salah satu perguruan tinggi tertua di negara itu. Iskandar mengaku awalnya sama sekali tidak tertarik pada politik. Buku babon maupun diktat fisika serta ilmu kelistrikan cukup jadi makanannya sehari-hari. Namun, sejak situasi politik Indonesia bergejolak tahun 1965, yang berujung peristiwa G30S yang menewaskan enam jenderal lalu menyebabkan pembantaian kaum dan semua orang yang dituduh berhaluan 'kiri', Iskandar mau tak mau ikut melahap politik. Ia tidak pernah kembali ke tanah air hingga Orde Baru runtuh.
Berulang kali Iskandar bilang padaku bahwa apa yang terjadi padanya dan ribuan mahasiswa beasiswa Ikatan Dinas saat itu sangatlah politis. Begitu Soeharto berkuasa, serempak Duta Besar era Sukarno dipaksa turun dari jabatan, mahasiswa dan delegasi Indonesia di luar negeri yang enggan mengutuk pemerintahan Sukarno dilarang pulang. Rezim Soeharto takut akan hadirnya intelektual yang loyal terhadap Sukarno, apalagi mereka yang dianggap berhaluan kiri.
"Kami mahasiswa dikirim pemerintah Sukarno untuk mengabdi kepada bangsa Indonesia, membangun negeri. Itu perjanjian kami dari dulu. Kok diminta mengutuk. di mana ya logikanya?" kata Iskandar padaku. "Kami bukan orang politik, kami orang intelektual yang belajar ilmu di luar negeri, enggak terkait politik. Pokoknya ketika dikirim, kami hanya ingin mengabdi makanya kami tanda tangan di Perguruan Tinggi Ilmu Pengetahuan (PTIP) sebelum berangkat, menyatakan pokoknya kami enggak ada hubungannya dengan politik."
Semua itu bermula manakala sepucuk surat diterima Iskandar setahun setelah peristiwa G30S. Surat tersebut memintanya datang ke Kedutaan Besar Indonesia di Stockholm agar dirinya menandatangani sebuah surat. Iskandar sadar ada yang tidak beres, pasalnya semua duta besar era Sukarno langsung turun panggung, seketika setelah Soeharto berkuasa.
"Mahasiswa Indonesia dipanggil. Kami diberi surat. Saya baca semuanya sekitar satu halaman," kata Iskandar berusaha keras mengingat. "Inti surat tersebut yang saya ingat, 'berdasarkan perubahan situasi di Indonesia di mana Soeharto sudah berkuasa. Dengan ini, pemerintah Sukarno yang ikut bekerja sama dengan Partai Komunis Indonesia sudah digulingkan, dan bahwa pemerintahan Indonesia sudah resmi menetapkan dan mengakui Soeharto sebagai presiden. Di bawahnya ada kalimat 'bersedia mengutuk pemerintahan Sukarno yang pro-komunis'."
Iskandar dan seorang kawannya mengusulkan agar kalimat yang mengutuk pemerintahan Soekarno dihapuskan saja, karena mereka merasa punya utang budi dengan Rezim Sukarno yang mengirim mereka ke luar negeri. Namun, petugas yang saat itu mendampingi mengatakan tidak ada yang bisa diubah dari surat tersebut. "Kalau mengutuk pemerintahan Sukarno sih kami tidak bisa," kata Iskandar.
Soegeng Soejono (kanan) bersama kawan, Ali Satrijo, insinyur pertambangan. Foto dari arsip pribadi.
Setelah kejadian tersebut, pada 1967, Iskandar yang masih 23 tahun, menerima surat yang menyatakan bahwa Ia bukan lagi warga negara Indonesia. Paspornya dicabut, dan statusnya kewarganegaraannya berubah menjadi 'stateless'. Sebuah konsekuensi yang tidak Ia bayangkan sebelumnya. Hingga kini, Iskandar masih menyimpan surat pemecatan kewarganegaraannya itu.
"Gagalnya Indonesia era 60-an itu adalah dalam memulangkan kembali ahli-ahlinya yang belajar di luar negeri," suara Iskandar kalah saing dengan lantangnya adzan sore itu. "Mereka takut dengan mahasiswa yang dianggap 'orang Bung Karno', mereka takut para intelektual membangun sistem pemerintahan ala Bung Karno."
"Saya juga bukan orang komunis ya, tapi saya lihat, banyak orang yang antikomunis, tapi tidak tahu apa itu komunisme."
Iskandar beberapa tahun belakangan berada di Tanah Air. Ia rindu negaranya, rindu keluarga besarnya. Separuh hidupnya dia habiskan beranak-cucu di negeri orang.
Lebih dari 10.000 kilometer dari tempat Iskandar berada, Soegeng Soejono masih setia menetap di Ceko. Soejono merupakan teman seangkatan Iskandar. Mereka pernah berkenalan dan berkawan ketika sama-sama di Cekoslovakia. Soejono sempat kaget ketika mengetahui aku mengenal Iskandar. Nada suaranya naik, terdengar bahagia bisa mendengar kabar kawan lama. "Tolong salamkan ya padanya, dia itu kawanku, seingatku dulu dia pernah sakit," kata Soejono lewat sambungan telepon denganku sambil tertawa kecil.
Soejono mengambil studi Pendidikan dan Ilmu Jiwa Anak di Fakultas Filsafat, Charles University Cekoslovakia. Tidak seperti Iskandar, Soejono tidak pernah dapat dokumen penjelasan apapun ketika kewarganegaraannya hilang begitu saja. 

Kisah tragisnya dimulai seminggu setelah peristiwa G30S, Ia dipanggil Kedutaan Besar RI untuk melakukan 'screening', demi menyaring mahasiswa dan para intelektual yang diduga menjadi loyalis paham kerakyatan. Saat itu, menurut Soejono, mahasiswa di Perkumpulan Mahasiswa Indonesia di Praha sudah menduga sesuatu yang tidak beres akan menimpa tatkala mendengar kabar bahwa di Tanah Air sedang terjadi huru-hara.
Dalam screening tersebut, Soejono ditanya mengenai sikapnya terhadap Orde Baru yang ia tentang dengan lantang. Menurut Soejono, Orde Baru berlawanan dengan prinsip hidupnya yang menghargai hak asasi manusia. Jawabannya menimbulkan reaksi keras. Orang yang yang melakukan screening terhadap Soejono serta merta menuduhnya komunis.
"Itu alasan politis. Rezim itu punya doktrin, 'siapa yang tidak ikut saya adalah musuh saya', tidak ada demokratisasi, tidak ada argumen. Argumentasi mereka, 'siapa yang tidak menyokong Orde Orde Baru adalah orang komunis'," kata Soejono kepadaku. "Saya juga bukan orang komunis ya, tapi saya lihat, banyak orang yang antikomunis, tapi tidak tahu apa itu komunisme."
Berbeda dengan Iskandar yang langsung dilarang pulang, Soejono malah segera diminta kembali ke Indonesia oleh aparat di Kedubes. Ia menyadari perintah pulang bisa bikin nyawanya melayang, atau minimal bersarang di penjara sebagai tahanan politik. Sejak saat itu, tekadnya bulat untuk tidak pulang. Kewarganegaraannya dicabut, dan menyandang status 'stateless' selama puluhan tahun.
Setelah 35 tahun berada di Cekoslovakia, Soejono baru menginjakkan kaki kembali ke Tanah Air pada 1998, tepat beberapa minggu sebelum Soeharto terjungkal dari kursi kepresidenan. "Reformasi... saya mengikuti itu. Waktu penembakan mahasiswa di Trisakti, saya ada di sekitar situ," kata Soejono.
Setelah 1998, Soejono berkunjung ke Indonesia sekitar lima hingga enam kali. Namun, keputusannya bulat. Soejono tidak akan kembali menetap di Tanah Air. Separuh hidupnya Ia habiskan di Ceko, bekerja dan berbakti untuk negara orang yang dulu memberinya suaka dan perlindungan dari pemerintahan Indonesia yang menganggapnya musuh. Tapi, Soejono memastikan rasa cintanya pada Indonesia tak luntur.
"Sampai saat ini, saya merasa berutang budi terhadap rakyat dan negara saya Indonesia yang sudah menyekolahkan saya, yang menyebabkan saya punya skill, punya pengalaman hidup, pengalaman kerja, punya pengetahuan. Seharusnya bisa saya terapkan dan sumbangkan pada rakyat Indonesia, tapi terpaksa tidak bisa," ujar Soejono.

***

Kisah Iskandar dan Soejono merupakan segelintir cerita dari dua pelarian politik yang merupakan mahasiswa beasiswa pada zaman Sukarno. David T. Hill dalam Knowing Indonesia from Afar: Indonesian Exiles and Australian Academic menulis para pelarian politik (eksil) Indonesia 1965 terdiri dari mahasiswa, duta besar, dan delegasi Indonesia yang saat peristiwa G30S terjadi, sedang berada di luar negeri dengan kepentingan yang beragam. 

Sebagian besar terdiri dari mahasiswa Indonesia di luar negeri yang berangkat dengan beasiswa pemerintah Sukarno, sebagian sedang menjalankan tugas kenegaraan, dan sebagian lainnya merupakan delegasi Indonesia. Diperkirakan jumlah mereka mencapai ribuan. Namun tidak ada perhitungan pasti yang menyebutkan jumlah mereka.
Pencabutan kewarganegaraan para mahasiswa dan Duta Besar Indonesia di luar negeri menandai era hilangnya generasi intelektual Indonesia yang dipersiapkan Sukarno kelak membangun Tanah Air. Sebelum berangkat ke luar negeri, para mahasiswa tersebut menandatangani kontrak ikatan dinas untuk siap kembali dan berbakti pada Indonesia selepas kuliah.
Aku menghubungi Baskara Tulus Wardaya, SJ, yang akrab disapa Romo Bas, sejarawan di Pusat Kajian Demokrasi dan Hak-hak Asasi Manusia, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Ia bertahun-tahun meneliti soal hubungan Amerika Serikat dan Indonesia periode 1960-an, terutama saat peralihan pemerintahan dari Sukarno ke Soeharto. Romo Bas mengatakan ada beberapa hal penting yang patut digarisbawahi terkait dengan dampak hilangnya kaum intelektual Indonesia dekade 60-an ini.
Menurut Romo Bas, Sukarno kala itu sedang mempersiapkan kaum intelektual indonesia dari berbagai suku, kelas sosial, dan latar belakang agama maupun politik belajar ke berbagai negara. Tujuannya agar bisa membangun Indonesia pasca-kolonial. Sukarno bercita-cita melakukan revolusi dan restrukturisasi masyarakat agar semua lapisan bisa turut membangun Indonesia. Hal lain yang Sukarno impikan dan belum terwujud adalah 'de-jawa-nisasi', agar orientasi Indonesia tidak hanya berbasis di Pulau Jawa.
"Itu cita-cita Sukarno, tapi enggak terjadi karena mereka mahasiswa Indonesia di luar negeri enggak kembali," kata Romo Bas padaku. "Semua itu terputus gara-gara 65, sehingga kita enggak punya ahli. Akibatnya, seiring dengan masuknya modal asing tahun 67, kita tidak sejajar dengan ahli-ahli yang datang dari luar negeri. Akibatnya kita tidak mampu mengolah sumber daya alam kita sendiri."
"Masa sih kita ini bejibun dengan minyak tapi enggak punya kilang pengolahan minyak buatan sendiri? Karena mungkin kita juga enggak punya ahlinya," tambah Romo Bas.
Senada dengan Romo Bas, sejarawan, Abdul Wahid, yang pernah meneliti soal hilangnya riwayat intelektual pasca 1965 di lingkungan kampus di Indonesia, menjelaskan padaku semua bermula pada dekade 1950-an. Sukarno mencoba mengkaji model pembangunan yang hendak diterapkan di Indonesia pasca-kolonial dengan mempersiapkan generasi baru yakni para intelektual pemikir bangsa.
"Di ujung karir politiknya, Sukarno cenderung 'ke kiri' dan itu dalam beberapa hal mempengaruhi preferensi generasi muda pada waktu itu (termasuk pendidikan)," kata Wahid. "Misalnya saja, saya pernah mencari mahasiswa di dalam negeri (untuk riset), mereka bercerita bagaimana mereka terobsesi ingin kuliah di Uni Soviet atau di negara blok timur. Karena melihat blok timur cepat pembangunannya (infrastruktur)."
Di dalam negeri, situasi tidak kalah genting. Intelektual kampus-kampus dalam negeri banyak yang dipecat, ditangkap, dan tidak diketahui nasibnya akibat dicurigai 'tercemar' paham kiri. Apalagi, di dalam negeri pada periode 1959-1963 terjadi peningkatan pesat jumlah Universitas di indonesia. 

Universitas negeri tercatat berjumlah delapan (1959) menjadi 39 (1963). Begitu pun dengan Universitas Swasta dari awalnya cuma berjumlah 112 (1961) melonjak drastis jadi 228 (1965). Sehingga, total pada 1965 ada 335 universitas/institut yang menampung lebih dari 278.000 mahasiswa. Jumlah tersebut meningkat berkali-kali lipat jika dibandingkan dengan jumlah lulusan pendidikan tinggi di Hindia Belanda pada 1940 yang berjumlah 79 orang saja, dari total 70 juta populasi koloni. 

Jumlah kaum intelektual yang banyak membuat partai politik tertarik merekrut mereka, sehingga sebagian di antaranya dicurigai punya paham 'terlarang'.
"Universitas ini dilihat sebagai urat nadi, di mana, pengaruh-pengaruh atau pemikiran tertentu bisa disebarkan, oleh karena itu perguruan tinggi harus dikontrol betul," ujar Wahid. "Makanya, waktu itu kan kita rasakan Orde Baru sangat peduli terhadap pendidikan kemudian dia menggandeng teknokrat, dan berusaha melindungi jangan sampai ada elemen-elemen yang menurutnya 'berbahaya' di perguruan tinggi."
Para pelarian politik di Eropa Timur reuni bersama Menteri KKP Susi Pudjiastuti
Wahid menduga ada kaitan antara pemecatan para intelektual di dalam negeri dan seleksi ideologi/pencabutan kewarganegaraan yang dilakukan terhadap mahasiswa di luar negeri, terutama yang menempuh pendidikan di negara-negara blok timur. Namun hal tersebut tidak bisa dilihat secara simplistik, perlu ada penelitian lebih lanjut. Sayangnya, Wahid ragu penelitian komprehensif terhadap para pelarian politik di luar negeri bisa dilakukan, mengingat kebanyakan dari mereka telah berusia lanjut, ada pula yang sudah meninggal, dan tersebar di banyak sekali wilayah.
Wahid mengatakan hilangnya para intelektual muda Indonesia yang menempuh studi di luar negeri merupakan sebuah kerugian yang tidak bisa dihitung secara matematis. Ia menyebutnya dengan istilah 'brain drain' atau 'kebocoran intelektual'. "Artinya, ada potensi anak bangsa yang sudah memperoleh edukasi dengan tingkat pendidikan yang cukup maju pada masanya, pada akhirnya sia-sia," kata Wahid. "Yang jelas ini adalah sebuah potensi kita untuk menjadi negara modern di antaranya lewat ilmu pengetahuan dan para tenaga ahli yang tidak bisa memberikan kontribusi pada negara."
Iskandar meyakini bahwa fenomena brain drain akibat peristiwa 1965 berdampak besar pada kemajuan Tanah Air. "Kemajuan Indonesia di bidang teknologi ketinggalan lah, Indonesia gagal memulangkan kembali ahli-ahlinya. Mereka ini sangatlah berharga, dan bagi luar negeri [ahli-ahli] ini dianggap menguntungkan," ujar Iskandar.
Iskandar bercerita padaku bahwa reputasi orang Indonesia yang bekerja di berbagai perusahaan besar di Eropa sangat baik. Salah satunya, adalah eksil lain bahkan mampu menjadi Wakil Direktur sebuah pabrik persenjataan terbesar di Swedia. "Kalau mereka bisa pulang kan mereka juga bisa membangun persenjataan Indonesia, mungkin sekarang lebih canggih," kata Iskandar.
Iskandar yakin betul, jika para intelektual Indonesia di luar negeri boleh pulang, dan tidak ada pemberangusan golongan intelektual di dalam negeri, Indonesia bisa bersaing atau bahkan melebihi Malaysia. "Saat itu kami cuma dapat ucapan simpatik dari mahasiswa Malaysia yang pulang ke negaranya setelah studi," kata Iskandar.
Sebetulnya, kepulangan para pelarian politik yang biasa disebut eksil ini semestinya bukan lagi jadi soal, karena Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah mengimbau para eksil untuk pulang ke Indonesia dan melakukan rehabilitasi nama dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2000 tentang permasalahan orang-orang Indonesia yang berada di luar negeri dan terhalang pulang ke Tanah Air sejak terjadinya Peristiwa G30S.
Sayang, ketika beleid Gus Dur diumumkan, para mahasiswa terlanjur beranak pinak di luar negeri. Sebagian sukses bekerja dan memiliki kewarganegaraan lain di negara Eropa yang relatif lebih maju, yang lainnya telah tutup usia atau bahkan harus bertahan hidup tanpa punya status kewarganegaraan. Namun, satu hal yang perlu diyakini, bahwa ada harga yang harus dibayar generasi masa kini ketika Indonesia kehilangan generasi intelektual progresifnya di masa lalu.
"Untuk jangka waktu yang lama, kita menjadi bangsa yang berstatus sebagai konsumen dan bukan produsen," ujar Romo Bas. "Termasuk bisa dilihat, dalam mengelola dan mengolah sumber daya alam milik kita sendiri."
Vice.Com 

Lima Versi Pelaku Peristiwa G30S

BEBERAPA kali warganet mention ke akun twitter Historia menyoal mengapa tidak mencantumkan /PKI pada G30S. Sejak Reformasi, selain penghentian penayangan film Pengkhianatan G30S/PKI, kurikulum tahun 2004 juga tidak lagi mencantumkan /PKI. Hal ini karena banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa pelaku peristiwa G30S tidak tunggal, sebagaimana versi Orde Baru yang menyebut PKI sebagai satu-satunya dalang di balik peristiwa berdarah itu.

“Sukarno sendiri dalam Pidato Nawaksara mengatakan bahwa peristiwa G30S merupakan pertemuan tiga sebab, yaitu pimpinan PKI yang keblinger, subversi nekolim dan oknum yang tidak bertanggung jawab. Jadi, dalangnya tidak tunggal dan merupakan perpaduan unsur dalam negeri dengan pihak asing,” kata Asvi Warman Adam, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Dari berbagai penelitian, setidaknya ada lima versi tentang pelaku G30S yaitu PKI, konflik internal Angkatan Darat, Sukarno, Soeharto, dan unsur asing terutama CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat).


PKI

Ini merupakan versi rezim Orde Baru. Literatur pertama dibuat sejarawan Nugroho Notosusanto dan Ismael Saleh bertajuk Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia (1968). Intinya menyebut skenario PKI yang sudah lama ingin mengkomuniskan Indonesia. Buku ini juga jadi acuan pembuatan film Pengkhianatan G30S/PKI garapan Arifin C. Noer.

Selain itu, rezim Orde Baru membuat Buku Putih yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara dan Sejarah Nasional Indonesia suntingan Nugroho Notosusanto yang diajarkan di sekolah-sekolah semenjak Soeharto berkuasa. Oleh karena itu, versi Orde Baru ini mencantumkan “/PKI” di belakang G30S. Para pelaku sendiri menamai operasi dan menyebutkannya dalam pengumuman resmi sebagai “Gerakan 30 September” atau “G30S”.

Sebagai bagian dari propaganda Orde Baru, gerakan ini pernah disebut sebagai Gestapu (Gerakan September Tigapuluh). Penamaan ini adalah bagian dari propaganda untuk mengingatkan orang kepada Gestapo, polisi rahasia Nazi Jerman yang terkenal kejam. Presiden Sukarno mengajukan penamaan menurut versinya sendiri, yakni “Gerakan Satu Oktober” atau “Gestok.” Menurutnya, Gestok jauh lebih tepat menggambarkan peristiwanya karena kejadian penculikan para jenderal dilakukan lewat tengah malam 30 September yang artinya sudah memasuki tanggal 1 Oktober dini hari.

Penyebutan G30S/PKI sebagai bagian propaganda untuk menegaskan bahwa satu-satunya dalang di balik peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal Angkatan Darat adalah PKI. Penamaan peristiwa ini selama bertahun-tahun digunakan dalam pelajaran sejarah sebagai satu-satunya versi yang ada. Penamaan tersebut menutup kemungkinan munculnya versi lain yang memiliki sudut pandang berbeda atas peristiwa yang terjadi. Kesimpulan tersebut diambil tanpa terlebih dahulu melewati sebuah penyelidikan.

Sejarawan John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto mengemukakan bahwa PKI sama sekali tidak terlibat secara kelembagaan. Sebagaimana semestinya sebuah keputusan resmi partai yang harusnya diketahui oleh semua pengurus, rencana gerakan Untung hanya diketahui oleh segelintir orang saja. Struktur kepengurusan partai mulai dari Comite Central (CC) sampai dengan Comite Daerah Besar (CDB) tak mengetahui sama sekali adanya rencana itu.

“Karena dia (Roosa) menggunakan sumber-sumber yang sangat kuat. Misalnya, keterangan pengakuan Iskandar Subekti, orang yang menulis pengumuman-pengumuman G30S di (Pangkalan) Halim. Dia juga menggunakan keterangan pengakuan Brigjen Supardjo. Artinya orang-orang yang betul-betul terlibat secara meyakinkan dalam kejadian tanggal 30 September 1965 sampai paginya itu,” kata Asvi.


Konflik Internal Angkatan Darat

Sejarawan Cornell University, Benedict ROG Anderson dan Ruth McVey mengemukakan dalam A Preliminary Analysis of the October 1 1965, Coup in Indonesia atau dikenal sebagai Cornell Paper (1971), bahwa peristiwa G30S merupakan puncak konflik internal Angkatan Darat.

Dalam Army and Politics in Indonesia (1978), sejarawan Harold Crouch mengatakan, menjelang tahun 1965, Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) pecah menjadi dua faksi. Kedua faksi ini sama-sama anti-PKI, tetapi berbeda sikap dalam menghadapi Presiden Sukarno.

Kelompok pertama, “faksi tengah” yang loyal terhadap Presiden Sukarno, dipimpin Letjen TNI Ahmad Yani, hanya menentang kebijakan Sukarno tentang persatuan nasional karena PKI termasuk di dalamnya. Kelompok kedua, “faksi kanan” bersikap menentang kebijakan Ahmad Yani yang bernafaskan Sukarnoisme. Dalam faksi ini ada Jenderal TNI A.H. Nasution dan Mayjen TNI Soeharto.

Peristiwa G30S yang berdalih menyelamatkan Sukarno dari kudeta Dewan Jenderal, sebenarnya ditujukan bagi perwira-perwira utama “faksi tengah” untuk melapangkan jalan bagi perebutan kekuasaan oleh kekuatan sayap kanan Angkatan Darat. Selain mendukung versi itu, W.F. Wertheim menambahkan, Sjam Kamaruzaman yang dalam Buku Putih terbitkan Sekretariat Negara disebut sebagai Kepala Biro Chusus Central PKI adalah “agen rangkap” yang bekerja untuk D.N. Aidit dan Angkatan Darat.


Sukarno

Setidaknya ada tiga buku yang menuding Presiden Sukarno terlibat dalam peristiwa G30S: Victor M. Fic, Anatomy of the Jakarta Coup, October 1, 1965 (2004); Antonie C.A. Dake, The Sukarno File, 1965-67: Chronology of a Defeat (2006) yang sebelumnya terbit berjudul The Devious Dalang: Sukarno and So Called Untung Putsch: Eyewitness Report by Bambang S. Widjanarko (1974); dan Lambert Giebels, Pembantaian yang Ditutup-tutupi, Peristiwa Fatal di Sekitar Kejatuhan Bung Karno.

Menurut Asvi ketiga buku tersebut “mengarah kepada de-Sukarnoisasi yaitu menjadikan presiden RI pertama itu sebagai dalang peristiwa Gerakan 30 September dan bertanggungjawab atas segala dampak kudeta berdarah itu.”

Ketika buku Dake terbit di Indonesia dengan judul Sukarno File (2005), keluarga Sukarno protes keras dan menyebutnya sebagai pembunuhan karakter terhadap Sukarno. Untuk menyanggah buku-buku tersebut, Yayasan Bung Karno menerbitkan buku Bung Karno Difitnah pada 2006. Cetakan kedua memuat bantahan dari Kolonel CPM Maulwi Saelan, wakil komandan Resimen Tjakrabirawa (Baca: Maulwi Saelan: Sukarno Tak Terlibat G30S).


Soeharto

Komandan Brigade Infanteri I Jaya Sakti Komando Daerah Militer V, Kolonel Abdul Latief dalam Pledoi Kolonel A. Latief: Soeharto Terlibat G30S (1999) mengungkapkan bahwa dia melaporkan akan adanya G30S kepada Soeharto di kediamannya di Jalan Haji Agus Salim Jakarta pada 28 September 1965, dua hari sebelum operasi dijalankan.

Bahkan, empat jam sebelum G30S dilaksanakan, pada malam hari 30 September 1965, Latief kembali melaporkan kepada Soeharto bahwa operasi menggagalkan rencana kudeta Dewan Jenderal akan dilakukan pada dini hari 1 Oktober 1965. Menurut Latief, Soeharto tidak melarang atau mencegah operasi 
tersebut.

Menurut Asvi, fakta bahwa Soeharto bertemu dengan Latief dan mengetahui rencana G30S namun tidak melaporkannya kepada Ahmad Yani atau AH Nasution, menjadi titik masuk bagi analisis “kudeta merangkak” yang dilakukan oleh Soeharto. Ada beberapa varian kudeta merangkak, antara lain disampaikan oleh Saskia Wierenga, Peter Dale Scott, dan paling akhir Soebandrio, mantan kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) dan menteri luar negeri.

Dalam Kesaksianku tentang G30S (2000) Soebandrio mengungkapkan rangkaian peristiwa dari 1 Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966 sebagai kudeta merangkak yang dilakukan melalui empat tahap: menyingkirkan para jenderal pesaing Soeharto melalui pembunuhan pada 1 Oktober 1965; membubarkan PKI, partai yang memiliki anggota jutaan dan pendukung Sukarno; menangkap 15 menteri yang loyal kepada Presiden Sukarno; dan mengambilalih kekuasaan dari Sukarno.


CIA

Sebagai konsekuensi dari Perang Dingin tahun 1960-an, Amerika Serikat dan negara-negara Barat seperti Australia, Inggris, dan Jepang berkepentingan agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunis. Amerika Serikat menyiapkan beberapa opsi terkait situasi politik di Indonesia.

Menurut David T. Johnson dalam Indonesia 1965: The Role of the US Embassy, opsinya adalah membiarkan saja, membujuk Sukarno beralih kebijakan, menyingkirkan Sukarno, mendorong Angkatan Darat merebut pemerintahan, merusak kekuatan PKI dan merekayasa kehancuran PKI sekaligus menjatuhkan Sukarno. Opsi terakhir yang dipilih.

Keterlibatan Amerika Serikat melalui operasi CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat) dalam peristiwa G30S telah terang benderang diungkap berbagai sumber. Peter Dale Scott, profesor dari University of California, menulis US and the Overthrow of Sukarno 1965-1967 yang diterbitkan dengan judul CIA dan Penggulingan Sukarno (2004). Menurut Dale, CIA membangun relasi dengan para perwira Angkatan Darat dalam Seskoad (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat). Salah satu perwiranya adalah Soeharto.

Sumber lain Di Balik Keterlibatan CIA: Bung Karno Dikhianati (2001) karya wartawan Belanda Willem Oltmans. Juga buku Bung Karno Menggugat: Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G30S (2006) karya sejarawan Baskara T. Wardaya.

Sejarawan John Roosa juga mengungkap bahwa pada akhir 1965 Amerika Serikat memberikan perangkat komunikasi radio lapangan yang sangat canggih ke Kostrad. Antenanya dipasang di depan markas besar Kostrad. Wartawan investigasi, Kathy Kadane dalam wawancaranya dengan para mantan pejabat tinggi Amerika Serikat di akhir 1980-an menemukan bahwa Amerika Serikat telah memantau komunikasi Angkatan Darat melalui radio-radio tersebut.

CIA memastikan frekuensi-frekuensi yang akan digunakan Angkatan Darat sudah diketahui oleh National Security Agency (Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat). NSA menyadap siaran-siaran radio itu di suatu tempat di Asia Tenggara, dan sesudah itu para analis menerjemahkannya. Hasil sadapan itu kemudian dikirim ke Washington. Dengan demikian Amerika Serikat memiliki detil bagian demi bagian laporan tentang penyerangan Angkatan Darat terhadap PKI, misalnya, mendengar “komando-komando dari satuan-satuan intelijen Soeharto untuk membunuh tokoh-tokoh tertentu di tempat-tempat tertentu.”

Amerika Serikat juga memberikan bantuan dana sebesar Rp50 juta (sekitar $10.000) untuk membiayai kegiatan KAP (Komite Aksi Pengganyangan Gerakan September Tiga Puluh) Gestapu. Selain itu, CIA juga memberikan daftar nama-nama tokoh PKI kepada Angkatan Darat.
Historia.Id 

Tragedi 1965 Dan Derita Penganut Agama Asli Nusantara







Memasung Kaki Banteng

Sabtu 30 September 2017 WIB

Di dalam saling hantam, dari luar digembosi. Tragedi 1965 menjerat PNI menuju kehancuran


JUMAT, 1 Oktober 1965, Radio Republik Indonesia (RRI) menyiarkan berita Operasi “Gerakan 30 September” (G30S). Gerakan militer yang dipimpin Letkol Untung itu mengumumkan telah menyelamatkan Presiden Sukarno dari kudeta Dewan Jenderal. Pukul 11.30, DPP PNI menyambutnya dengan nada mendukung.

“Penghargaan yang tinggi kepada prajurit yang telah menunjukkan kesetiaan untuk menyelamatkan Panglima Besar Revolusi/Bapak Marhaenisme, Bung Karno,” demikian isi pernyataan yang ditandatangani Sekjen PNI Surachman. 

Surachman juga mengajak kader PNI agar bersiaga dan melancarkan aksi-aksi revolusioner di bawah pimpinan Sukarno. Prakarsa Surachman itu dilakukan lantaran Ketua Umum PNI Ali Sastroamidjojo tengah berada di luar negeri.
Penyataan Surachman berakibat petaka. Setelah jenazah enam jenderal Angkatan Darat yang terbunuh oleh tentara Tjakrabirawa pimpinan Untung ditemukan di Lubang Buaya, opini publik beringsut negatif terhadap PNI.

Sementara itu, DPP PNI tandingan kubu Osa-Usep mengambil langkah taktis. 
Pada 7 Oktober, kubu yang dicap “Marhenis Gadungan” ini menyerukan bahwa, 
“Gerakan 30 September dan Dewan Revolusi telah melakukan perebutan kekuasaan dan pengkhianatan terhadap rakyat Indonesia.” Mereka menuntut Presiden Sukarno menindak tegas PKI beserta ormasnya yang dianggap bertanggungjawab.

Sikap itu direstui militer. Seperti dikutip Nazaruddin Sjamsuddin dalam PNI dan Kepolitikannya: 1963-1969, Brigjen Sutjipto, ketua Gabungan-V (bidang politik) Komando Operasi Tertinggi (KOTI), dalam surat jawabnya menyatakan, “telah memberikan kemungkinan sepenuhnya kepada PNI Osa-Usep untuk mengadakan kristalisasi dalam rangka pembersihan terhadap Gestapu (Gerakan 30 S).”

Pukulan dari kubu Osa-Usep membuat kubu PNI Ali-Surachman tersudut. “Dari sini dapat dipastikan, PNI Osa-Usep berada dalam konspirasi politik melawan kepemimpinan Bung Karno,” ujar Wakil Sekjen PNI John Lumingkewas kepada Peter Kasenda dalam biografinya Merah Darahku, Putih Tulangku, Pancasila Jiwaku.

Berbalas teror dan intimidasi terjadi di antara sesama kalangan PNI setelah itu.
Bergelut dalam Kemelut

PNI Ali-Surachman mengerahkan massa. Pada 24 Oktober 1965, mereka berdemonstrasi dan merusak kantor PNI Osa-Usep. “Tetapi ini pun tidak membantu posisi PNI A-Su (Ali-Surachman), bahkan menimbulkan antipati yang lebih besar di kalangan masyarakat,” tulis Nazaruddin.

Untuk memulihkan citra partai, kubu Ali menginstruksikan seluruh cabang PNI untuk membentuk Komando Aksi Massa PNI/Front Marhaenis awal tahun 1966. Dalam arsip koleksi Roeslan Abdulgani No. 369 yang dihimpun Arsip Nasional Republik Indonesia, instruksi yang ditandatangani Jhon Lumingkewas itu bertujuan ganda: ikut mengganyang PKI dan menyatakan kesetiaan terhadap Bung Karno selaku Presiden dan Pemimpin Besar Revolusi. Sukarno sendiri saat itu masih enggan membubarkan PKI.

Bersandar pada garis politik “berdiri di belakang Bung Karno” nyatanya tak ampuh bagi PNI. Didukung Angkatan Darat, aksi massa yang menentang Sukarno berikut penghancuran PKI jauh lebih kuat. PNI kubu Ali terlanjur dianggap bagian dari rezim lama yang mesti digulingkan.

Sartono, tokoh senior PNI yang menggantikan posisi Surachman, pun dibuat kelimpungan. Hampir setiap hari dia menerima pengaduan dari ibu-ibu kader PNI mengenai penganiayaan yang dialami anak-anak mereka. Mulai dari disiksa, diciderai, hingga hilang. Bahkan ada yang mengaku lengannya dilukai dengan silet membentuk angka 30 (maksudnya G30S).

Sartono lantas menugasi Supeni, anggota DPP, melakukan investigasi. Supeni mengungkap, aksi brutal tersebut dilakukan anak-anak muda di bawah pengaruh PNI Osa-Usep yang bergabung dalam kesatuan aksi mahasiswa dan pelajar (KAMI/KAPPI) yang anti-Sukarno.

“Tindakan penggadungan itu tanpa disadari membawa akibat yang sepertinya sudah dirancang, supaya PNI pecah dua,” ujar Supeni kepada Paul Tista dalam biografinya Wanita Utusan Negara.

Dipreteli

PNI rontok menyusul gencarnya penumpasan PKI. Pembersihan besar-besaran terhadap kader PNI berlangsung antara pertengahan 1966-1967.

“Di daerah-daerah demonstrasi, pengganyangan, dan perusakan terhadap rumah-rumah, kantor-kantor dan papan nama PNI beserta ormas-ormasnya berkembang tanpa ampun,” tulis Paulus Widyanto dalam “Osa Maliki dan Tragedi 1965”, dimuat Prisma Edisi Khusus 20 Tahun, 1971-1991.

Kampanye anti-PNI meluas di Jawa dan Bali. Tokoh dan anggota yang disebut “PNI Kiri” dari kubu Ali ditahan tanpa proses peradilan dengan dalih terindikasi G30S. Bahkan menurut M.C. Riclekfs dalam Sejarah Indonesia Modern, tak sedikit orang-orang PNI yang dibunuh.

Di Sumatra, sebagaimana diuraikan Nazaruddin, cabang-cabang PNI dilumpuhkan penguasa setempat. Di Aceh, kesatuan-kesatuan aksi dan partai lain menekan PNI begitu rupa sehingga massa PNI membubarkan diri. Di Sumatra Selatan, Panglima Kodam Sriwijaya Brigjen Ishak Djuarsa mengeluarkan ultimatum kepada massa PNI agar “keluar dari PNI atau keluar dari Orde Baru”. Di Sumatra Utara, Panglima Kodam Bukit Barisan Brigjen Sarwo Edhie membekukan PNI dengan alasan memenuhi tuntutan rakyat dan bahwa marhaenisme bertentangan dengan Pancasila.

Daerah lain seperti Sulawesi dan Nusa Tenggara tak luput dari pembersihan. Modusnya beragam. Dari tuduhan penyusupan PKI ke dalam pimpinan PNI, pengidentifikasian Marhaenisme sebagai bentuk lain Marxisme, hingga kultus individu terhadap Sukarno.

Menurut sejarawan Jose Eliseo Rocamora, pembersihan itu dilakukan dengan alasan yang dicari-cari. “Kalangan pemimpin Orde Baru yang melihat Sukarno sebagai bajingan besar membayangkan PNI sebagai salah satu alat utamanya,” tulis Rocamora dalam Nasionalisme Mencari Ideologi.

Dalam derasnya arus desukarnoisasi, PNI tak kuasa membendung peralihan kekuasaan. Kubu Osa-Usep memilih seturut dengan rezim Orde Baru. Dan demi mendapat legalitas, istilah-istilah pro-Sukarno seperti “Marhaenisme”, “ajaran Bung Karno”, “Bapak Marhaenisme”, “Front Marhenis”, dan “hidup mati membela Bung Karno” ditanggalkan.

Menurut Supeni, PNI yang semestinya tampil membela dan membentengi Sukarno tak dapat berbuat apa-apa, bahkan ada pihak yang terseret arus hendak menjatuhkannya.

“Tokoh-tokoh PNI gaya baru mengingkari bapaknya untuk sekadar mengharapkan pengakuan,” tutur Manai Sophiaan, tokoh PNI, dalam Kehormatan Bagi yang Berhak.

Kendati tak dimatikan seperti PKI, tragedi 1965 menyeret PNI ke dalam jurang kekalahan. Ia kemudian menjadi partai gurem yang tak lagi diperhitungkan dalam panggung politik nasional.

Sumber: Historia