HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Selasa, 10 Oktober 2000

Sikap dan Peran Kaum Intelektual di Dunia Ketiga*

Pramoedya Ananta Toer

Dunia Ketiga 

Dunia Ketiga adalah belahan umat manusia yang setelah Perang Dunia II bersama dengan negerinya terbebas dari penjajahan Barat. Dengan Barat dimaksudkan juga Jepun. Penjajahan Barat diawali oleh pemburuan akan rempah-rempah Nusantara, terutama Maluku, dikembangkan melalui pengacak-acakan (kacau-bilau) seluruh dunia non-Barat, untuk dapat membawa segala yang berharga ke dunia Barat. Yang teracak-acak bukan saja mengalami perkosaan pelembagaan budaya, Iebih dari itu adalah pemiskinan yang sistematis. Pada pihak Iain Barat semakin membengkak dengan kemajuan, kekuasaan, keilmuan dan teknologi dengan bangsa-bangsa jajahan sebagai Iandasan percobaan. Doktrin-doktrin yang membenarkan penjajahan dilahirkan di Barat yang semua merugikan pihak bangsa-bangsa yang dijajah.

Kita menyaksikan Iahir dan berkembangnya imperium (empayar) dunia: Portugis dan Spanyol yang dibangun di atas perampasan emas dan perak, Inggeris yang dibangun di atas monopoli tekstil dan candu serta perbudakan (perhambaan), dan Belanda yang dibangun di atas monopoli rempah-rempah.

Sebahagian terbesar umat manusia telah dijajah oleh Barat, yang dalam jumlah nisbah jauh lebih kecil, namun bagaimanapun pokok utama yang menyebabkan nasib buruk bangsa-bangsa jajahan itu adalah ketidakmampuan budaya menghadapi ekspansi kegiatan dagang Barat. Dalam hal ini, dikecualikan Portugis dan Spanyol. Tapi pada keseluruhannya, terjadi sebagaimana dikatakan oleh Chiang Kai-shek, bahwa: tidak ada sesuatu bangsa bisa dijajah oleh bangsa Iain tanpa bantuan bangsa itu sendiri. 

Produk (Kesan) penjajahan atas Dunia Keti secara budaya adalah: mentalitas bangsa jajahan yang belum tentu dapat hilang setelah tiga generasi bangsa itu hidup dalam alam kemerdekaan politik, kerana mentalitas bangsa yang dikalahkan berabad akan melahirkan kebudayaan bangsa kalah demi survivalnya sebagai bangsa kalah.

Tragedi pada Dunia Ketiga dengan kemerdekaan nasionalnya masing-masing terletak pada tidak atau kurang disedarinya kenyataan bahwa mereka masih hidup dan bernafas dengan kebudayaan bangsa kalah, dan mentalitasnya.

Produk jajahan atas Dunia Ketiga secara budaya pada pihak penjajah adalah: Demokrasi Parlementer, Hak-hak Asasi, yang dua-duanya memberi jaminan pada setiap individu untuk tumbuh menjadi kuat untuk dan atas namanya sendiri. Sedang pengalaman penjajahan berabad membentuk mentalitas sebagai bangsa unggul dan penakluk, yang juga tidak mudah hapus dalam tiga generasi, setelah bangsa-bangsa itu kehilangan jajahannya.

Apabila Dunia Ketiga dalam upayanya mengembalikan harga diri banyak berlindung pada apa yang mereka namai kebudayaan asli dan banyak kala tidak mengindahkan sumber sosial historisnya, malah tidak jarang menjualnya untuk pariwisata (pelancungan),dan bukan tanpa kebanggaan nasional kebudayaan asli yang terbukti secara sistem dan organisasi telah dikalahkan berabad.

Pada Dunia Barat dengan mentalitasnya sebagai bangsa unggul dan penakluk sampai dengan tahun delapan puluhan abad ini masih juga memproduksikan pandangannya yang menganggap Dunia Ketiga sebagai keanehan hanya kerana tidak sama dengan dirinya, hanya kerana perbedaan standar (taraf) yang sulit mereka sedari, dan kerana standar satu-satunya yang mereka kenal adalah miliknya. Contoh terakhir misalnya buku C.J .Koch The Year of Living Dangerously (terbitan Sphere Books United, London, 1981). Malah suatu gejala biasa bila Barzat tidak mau mengerti bahwa semua keterbelakangan (kemunduran) di Dunia Ketiga tidak Iain daripada ulah (tindakan) dunia Barat itu sendiri.

Penjajahan atas dunia non-Barat diawali oleh perlumbaan mendapatkan rempah-rempah Nusantara, terutama Maluku. Entah kerana kebetulan, entah kerana rancangan sejarah, secara teori, Nusantara pula yang mengawali putusnya penjajahan internasional sebagai tempat di mana mata rantai imperialisme dunia paling Iemah dengan Iahirnya Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Beberapa hari setelah itu menyusul Vietnam. Sekali mata rantai putus, kejatuhan mata rantai-mata rantai yang lain. Dari Indonesia ke daratan Asia merambat ke Africa, kemudian ke benua Amerika Latin.

Semua itu terjadi kerana faktor keberhasilan dari Indonesia dan Vietnam sebagai percubaan sejarah. Imperium Inggeris, yang kepayahan keluar dari Perang Dunia II dan mendapat pengalaman yang tidak menyenangkan di Indonesia, melepaskan dadanya dengan jalan damai untuk tidak menjadi payah Iagi. Sebaliknya Indonesia, yang kerana rempah-rempahnya membikin sebahagian terbesar umat manusia dijajah Barat, menyedari tugas sejarahnya dengan mengadakan Afro-Asian Conference di Bandung pada April 1955. Soekarno, seorang yang bukan saja menguasal, bahkan memahami sejarah bangsanya, bukan sekadar tahu tentang materi (isi) dan metode keilmuan sejarah, malah memahami filsafat sejarah dengan pidato anti-imperialismenya Let A New Asia and Africa Be Born telah mengangkatnya menjadi Bapak Dunia Ketiga. Orang suka atau tidak suka, mengakui atau tidak. Dengan Afro-Asian Conference, kekuasaan dan imbangan dunia berubah, bergerak kerana Iahirnya Dunia Ketiga. Menyebut Dunia Ketiga bererti juga menghadapi dunia Barat dengan sejarah penjajahannya sebagai guru musuh atau sahabat. Menyebut Dunia Ketiga tanpa konteks tersebut, adalah menempatkan sebahagian terbesar umat manusia dengan negerinya sebagai persoalan fiktif. Dunia Ketiga tak lain dari anak tak sah imperialisme Barat.

Bapak tidak sah dan anak tidak sah, yang dalam pergaulan internasional tidak bisa berpisahan satu sama Iain mempunyai posisi internasional yang berbeza, pertempuhan dan paran (destinasi) yang berbeza pula dalam jangka waktu tertentu yang dibutuhkan (diperlukan) oleh Dunia Ketiga dalam mendapatkan bentuknya masing-masing. Dan dalam jangka waktu tertentu itu, sekarang kita hidup, maka kerana itu juga dapat menyaksikan sendiri sikap Dunia Ketiga terhadap Barat dan sikap Barat terhadap Dunia Ketiga.

Sikap dunia Barat dapat kita ikuti dari penerbitan-penerbitannya tentang Dunia Ketiga, dengan catatan, bahwa sikap itu belum sikap umum Barat, baru sikap satu golongan yang merasa maju, dan mencuba membébérkan kekurangan-kekurangan Dunia Ketiga kerana belum sampai pada standar yang dimiliki Barat, dan nota bene (perhatikan) tidak Iain dari warisan penjajahan Barat sendiri, di samping memperkenalkan produk Dunia Ketiga yang patut diperkenalkan kepada Barat sebagai bukti produktifnya pengaruh Barat. Belakangan ini muncul rumusan baru tentang Utara-Selatan untuk tidak menyebutkan kata-kata menyakitkan: kaya-miskin. Sebelum yang terakhir ini, Dunia Ketiga diberi nama manis: negeri/negara yang sedang berkembang (membangun). Semua itu untuk menghindari persoalan nurani antara bekas jajahan dan bekas penjajah. Nama-nama yang Ientur (Iunak) dan dilenturkan ini tak Iain dari suatu persetujuan tak terucapkan bahwa Dunia Ketiga berterima kasih pada bantuan yang menguntungkan dari Barat, sebaliknya Barat dengan bantuannya pada Dunia Ketiga mendapat keuntungan Iebih besar Iagi. Di sini kita sekarang berada.


Kaum Intelektual
Apa yang dimaksudkan dengan kaum intelektual bagi saya kurang jelas apakah menurut pengertian kamus ataukah menurut pendapat bebas dari setiap orang yang mempunyai kepentingan dengan kata tersebut. Apakah sarjana termasuk intelektual? Apakah setiap orang di antara kita intelektual atau tidak? Apakah kata intelektual itu satu atribut (sifat) dari sebahagian kecil nasion yang merasa diri berpikir Iebih daripada bagian selebihnya?

Kata Sahibul Hikayat yang dimaksudkan dengan kaum intelektual adalah kaum yang menempatkan nalar (pertimbangan akal) sebagai kemampuan pertama yang diutamakan, yang melihat tujuan akhir upaya manusia dalam memahami kebenarannya dengan penalarannya. Stop, Sampai di situ. Pada akhir Perang Dunia II, ada yang menggugat: bila sampai di situ saja faal (perbuatan) kaum intelektual ertinya penalarannya belum sampai pada suatu tanggungjawab terhadap diri sendiri dan lingkungannya, terutama pada umat manusia. Kemudian orang menamai kaum intelektual hanya sebagai sport, tanpa keterlibatan diri dengan penalarannya sendiri sebagai: intelektual blanko (kosong). Sehubungan dengan topik yang dikemukakan oleh Senat Mahasiswa FISUI jelas bukan intelektual blanko yang dimaksudkannya, tetapi yang merupakan bagian integral dengan nasionnya sendiri, bagian bernalar nasionnya yang bukan hanya mendapatkan input dari nasionnya juga memberikan output padanya.

Tetapi dalam kehidupan Dunia Ketiga pada umumnya dan di Indonesia khususnya, di mana semua mulai diawali, dibangun dan dikembangkan seirama dengan keperluan nasional faal kaum intelektual bukan sekedar mesin yang menari antara in- dan out-put. Pada mereka dituntut kejelian (keelokan) kepiawaiannya untuk dapat melihat peran dari perkembangan nasional, yang bererti juga kemampuan untuk melihat hari depan. Dan hari depan hanya dapat digalang dengan perhitungan dan amal hari ini. Penalarannya menggunakan reflektor yang tertuju ke depan, bukan tertuju ke belakang sebagai mana dalam kebudayaan purba, kebudayaan animis, dinamis dan pemujaan leluhur, kebudayaan kuburan.

Sebaliknya, kaum intelektual bukan sekedar bagian dari nasionnya. Iapun nurani nasionnya, kerana bukan saja dalam dirinya terdapat gudang ilmu dan pengetahuan, terutama pengalaman nasionnya, juga ia dengan isi gudangnya dapat memilih yang baik dan yang terbaik untuk dikembangkan, memiliki dasar dan alasan paling kuat untuk menjadi resolut (tegas) dalam memutuskannya atau tidak.

Hinduisme telah membagi masyarakat dalam kasta-kasta, yang relevansinya masih terasa. Kaum intelektual berada dalam kasta Brahmin. Hanya bezanya kaum Brahmin moden menempati kedudukan sebagai jambatan pada hari depan. Saya cenderung menempatkan kaum intelektual Indonesia dan Dunia Ketiga dalam pengertian ini.


Sikap dan Peran
Bicara tentang sikap adalah bicara tentang tempat berdiri, bicara tentang tempat berdiri adalah juga bicara tentang jarak yang telah ditempuh. Tempat berdiri pada giliranya hanyalahbagian dan medan yang tak terbatas. Dari tempat berdiri orang menghadapi jarak yang masih harus ditempuh. Sikap adalah faktor dalam yang akan menentukan bagaimana jarak di depan akan ditempuh. Akan dalam kamus politik diucapkan : bagaimana sebaiknya, kerana itu soal operasional.

Berdasarkan materi (bahan) yang telah dikedepankan, sikap yang sepatutnya diambil :

a) meninggalkan sama sekali budaya kuburan dan mengambil penalaran sebagai satu-satunya jalan membina hari depan, dan dengan demikian secara aktif membangun budaya nasional yang moden.

b) tetap kritis terhadap potensi pengaruh buday suku yang kalah dan mengajak kalah.

c) berlatih berani untuk mendapatkan keberanian intelektual kerana tanpa keberanian intelektual, kaum sudah lumpuh sebelum memutuskaben. Sejalan dengan lahirnya bangsa Indonesia hanya kerana keberanian revolusioner, maka tradisi keberanian revolusioner juga merupakan unsur menentukan dalam kehidupan kaum intelektual Indonesia.

d) sebagai intelektual Indonesia, tempatnya adalah pertama-tama sebagai manusia Indonesia, sebagaimana budaya Indonesia. Manusia budaya Indonesia berada dalam jajaran Dunia Ketiga, sedang Dunia Ketiga ada kerana diperhadapkan dengan Barat. Kaum intelektual Indonesia yang terIepas dari hubungan dengan Dunia Ketiga dan terlepas dari perhadapannya dengan Barat sebagai produk sejarah akan kehilangan sebagian dari kemampuan penalarannya yang objektif, kerana mereka tanpa sedarnya akan terlepas dari ikatan sejarah, ikatan pengalamannya sendiri.

e) Barat menjadi bongkak kuasa, bongkak kemajuan dan bongkak kemakmuran sehingga menjadi seperti sekarang ini dengan produk terbaiknya dalam bentuk demokrasi parlimenter dan hak asasi adalah atas biaya seluruh Dunia Ketiga, termasuk Indonesia.

Maka dari pengalaman sejarah ini, kita punya hak menuntut dari Barat pertanggung jawaban moral dengan konsekuensinya yang wajar dan manusiawi. Kaum intelektual Indonesia kerananya diajak pertanggungan jawaban historis.

Atas dasar ini, Barat sudah sepatutnya melepaskan pandangan menara-gadingnya yang menganggap haknya bahwa Dunia Ketiga harus menjadi pengikutnya. Sebaiknya Barat merobohkan menara-gadingnya dan menggantinya dengan pengertian yang lebih manusiawi dalam membantu Dunia Ketiga untuk menjadi dirinya sendiri. Dengan robohnya menara gading itu pula, bisa diharapkan Barat melepaskan pandangan. Baratnya dan standar Baratnya dalam menilai Dunia Ketiga dengan perkembangannya.

f) Kaum intelektual Indonesia dalam berlatih memperkuat keberanian intelektual dan keberanian moral juga dituntut untuk selalu membikin perhitungan dengan masa lalunya sebagai bangsa, belajar untuk menghadapi Barat bukan sebagai superior, tetapi sebagai lembaga yang dalam beberapa abad belakangan ini menerima piutang paksa dari Dunia Ketiga. Kaum intelektual Indonesia, sebagai manusia budaya Indonesia sudah sepatutnya mempunyai keberanian intelektual dan keberanian moral terhadap Barat untuk menuntut dari Barat segala yang terbaik dan berguna, teknologi dan sains, bukan sebagai hadiah kemanusiaan seperti halnya dengan Van Deventer dengan politik etiknya, tetapi semata-mata kerana dengan kebudayaan purbanya, dengan budaya sukunya yang kalah dan dikalahkan, dengan budaya Indonesia yang baru seumur jagung, terutama juga dengan budaya Barat.

Praktiknya, terus-menerus yang menjamin Iahirnya kedibyaan (genialitas) sehingga keintelektualan bukan tinggal jadi atribut sosial, tapi faaliah, fungsional, dan membikínnya patut jadi penalaran dan nurani nasion.

g) Akibat dari sikap yang diambil terhadap Barat membikin kaum intelektual Indonesia tidak bisa lain pada menata kembali dan mengorganisasi secara sedar perasaan pikirannya dalam membangun lebih lanjut budaya Indonesia dalam segala aspeknya justru di sini peran yang menentukan kaum intelektual Indonesia.

h) Kekuatan peradaban barat yang mampu berkembang dan bertahan berabad dalam sejarah umat manusia sudah sepatutnya dipelajari secara kritis. Pemberiannya pada umat manusia tak terhingga banyaknya. Sebaliknya kerasakan yang diakibatkannya pada Dunia Ketiga juga tak terhingga banyaknya. Kita tahu bahwa kekuatannya terletak pada kekuatannya individu Barat, sedang pada gilirannya individu Barat diasuh oleh demekrasinya dan diayomi (dibantu) oleh hak-hak asasinya, yaitu individu yang oleh Chairil Anwar dinyanyikannya sebagai aku... yang dari kumpulannya terbuang, kerana menolak pembebekan (sifat mengekor). Dari pelajaran Barat, Indonesia juga bisa kuat dengan individu manusia Indonesia yang kuat, sehingga dalam konteks pembicaraan kita menjadilah aku... yang dengan kumpulannya berpadu, yang untuk itu telah disediakan pegangan dan medan oleh Pancasila.

i) Terhadap Dunia Ketiga sebagai jajaran sendiri, sebagai seperasaian (mempunyai nasib sama) dalam sejarah, sebagai rakan seiring dalam memecahkan masalah-masalah yang diwariskan oleh kesamaan historis, menanggalkan sikap tak acuhan yang terkunci, sedang pandangan bahwa diri lebih maju dari yang lain adalah suatu kemewahan. Kesepakatan antara Dunia Ketiga akan mempercepatkan lahirnya kesatuan bahasa. Pengalaman berabad dalam praktik devide et impera (pecah dan perintah) Barat bukan tidak menjadi watak peradaban dalam menghadapi dunia non-Barat. Kerana itu semangat Dunia Ketiga, atau yang pernah juga disebut semangat Asia-Afrika, kemudian menjadi semangat Asia-Afrika-Amerika Latin, bukan semestinya menjadi semakin pudar untuk kerugian Dunia Ketiga. Sukarno telah melampaui masanya waktu ia - bukan sekedar gagasan mencuba mewujudkan Ganefo dan Conefo, tetapi dalam situasi dunia sekarang ini dengan masalah Timur-Barat, Utara-Selatan, Dunia Ketiga-dunia selebihnya yang semakin akut dengan semakin mengecilnya dunia kita, keseiaan Dunia Ketiga jelas merupakan kebutuhan. Sekalipun, ya, sekalipun, perkembangan Dunia Ketiga dalam dasawarsa terakhir memerlukan batasan dan rumusan baru.

j) Peran kaum intelektual Indonesia sudah jelas. Gagasan perjuangan untuk melahirkan bangsa Indonesia diawali oleh mereka dengan kesadaran akan komitmennya dengan bangsanya, dengan kejelian dan kopiawaiannya tentang perang bangsanya. Gagasan dan praktik terus-menerus melahirkan Indonesia merdeka. Dengan praktik intelektual keintelektualan menjadi kuat, dengan praktik otot (tenaga), otot menjadi kuat. Seindah-indah gagasan yang tidak dicuba-wujudkan oleh otot dan dengan otot akan berubah menjadi roh-roh yang gentayangan (berkeliaran) - roh jahat yang menjadikan orang jadi munafik.

k) Kaum intelektual, sebagai nalar dan nurani nasion, adalah berkasta Brahmin dalam pengertian moden. Dan moden selalu senyawa dengan demokratis, dengan, demikian kehilangan kedudukannya dari hierarki Hindu. Faal bernolar, berpikir dengan inteleknya secara alami, tidak beza dari fungsi-fungsi kasta Iain dalam masyarakatnya, yakni melakukan proses bio-kimia. Tetapi proses biokimia yang tahu paran. Untuk bisa tahu tentang paran sebelumnya, orang dituntut tahu tersangkarnya, tentang asalnya, tentang historisnya.
______

* Ini adalah petikan dari teks ceramah Bapak Pram di Universitas Indonesia (Jakarta) atas undangan Senat Mahasiswa UI. Setelah ceramah ini disampaikan, beberapa pemimpin mahasiswa telah ditahan selama beberapa hari.

Sumber: PramoedyaSite 

Kamis, 07 September 2000

Jang Harus Dibabat dan Harus Dibangun II

Jang Harus Dibabat dan harus Dibangun
Oleh: Pramoedya Ananta Toer (III)
Bintang Timur (Lentera), 7 September 1962


Ada segolongan pengarang muda jang berpendapat bahwa dalam mengeritik sastra, orang tak boleh mengeritik pengarangnja. Sebenarnja, orang dapat menerima saran ini, sekiranja masjarakat dan manusia Indonesia adalah masjarakat dan manusia jang telah mendapatkan bentuknja, djadi bukan dalam periode transisi jang sedang membentuk dan membangun diri. Dalam periode ini sastra bukan hanja meneruskan jang sudah ada, djuga sebagaimana halnja dengan masjarakat dan manusianja, sedang membentuk dan membangun diri. Tugas sastra sangat penting peranannja dalam masa ini. Karena itu djuga setiap pengarang jang tugasnja adalah mempengaruhi djalannja pembentukan dan pembangunan diri itu harus djelas, karena bila pengarang itu seorang gelandangan tanpa tujuan, seorang nabi dari adjaran jang terkenal dengan nama "filsafat iseng" mau tak mau karjanja akan meninggalkan kotoran2 hitam dalam proses pembentukan dan pembangunan diri jang dalam djaman modern ini harus berdjalan serba tjepat, efisien dan selamat untuk dapat segera setaraf bahkan melampaui negara2 jang sudah lama menikmati kemerdekaan nasional.

Ada seorang pengarang remadja jang pernah melontarkan tanja: "Mengapa pengarang jang satu mesti gulingkan pengarang lain? Bukankah dua2nja djuga tjari duit?" Dengan mudah orang dapat menangkap bangun dan wudjud tanggapan pengarang remadja ini atau fungsi sastra sebagai sumber penghasilan doang, ia belum tahu, mungkin djuga tidak mau tahu tentang fungsi sosialnja dan lebih tidak tahu lagi tentang sedjarah sastra Indonesia itu sendiri, jang setjara tradisional berdjuang melawan penindasan, kezaliman, baik diluar maupun dalam rangka imperialisme kolonialisme. Pertanjaan itu kemudiannja: "kalau hendak menandingi madjalah X terbitkanlah madjalah jang lebih baik dari X. Kalau hendak menandingi pengarang Z terbitkanlah karja2 jang lebih baik dari karja pengarang Z." Nasihat ini tidak baik bila dikatakan pada siswa, mahasiswa, guru atau mahaguru jang tjuma tahu sastra itu dari djurusan bentuk, teknik gajabasa, idea2 dan tjara pengungkapan, pendeknja dari segi ketukangannja. Tapi, baik guru maupun murid sastra dengan predikat atau tidak, paling mula harus mengetahui, bahwa setiap sobek kertas jang digunakan dalam penerbitan, adalah dibeli dengan devisen jang dihasilkan oleh keringat buruh dan tani jang notabene sudah kekurangan kemakmuran! Adalah munafik bilan hasil keringat jang terlalu mahal diperas dari massa besar pekerdja itu tjuma dipergunakan buat mentjetak keisengan perseorangan jang diberi prepetensi dan predikat "sastra." Sastra adalah bertugas. H. B. Jassin sendiri pernah merasa perlu menterdjemahkan tugas sastra ini pada tahun2 Revolusi Agustus dari karja Sartre, dalam "Mimbar Indonesia" sedang karja Sartre ini kemudian pun ditjetak pula didalam madjalah "Indonesia" (1949). Bahwa sastra memikul tugas, kini tak banjak lagi disangsikan orang. Pada awal tahun 1950-an sastra banjak kala dianggap sebagai tudjuan, sebagai mantra, suatu anggapan jang menjalahi realita.

Ada djuga seorang pengarang muda jang baru marak namanja pada hari2 belakangan ini berpendapat, bahwa kritik sastra harus dibatasi pada masalah sastra, tidak boleh keluar dari batas sastra. Pendapat sematjam ini sesungguhnja jang beberapa tahun jang lalu ikut membisingkan persoalan tentang PASTERNAK dalam pers Indonesia. Mereka pada ramai2 mengutuk US jang "menindas kebebasan sastra," tapi sama sekali tidak bitjara tentang fitnah DOKTER ZHIVAGO terhadap Revolusi Oktober. Mereka tidak pernah bitjara, bahwa Nobel buat PASTERNAK adalah hadiah buat fitnah jang terindah oleh politik, oleh tatatertib, sastra boleh berchianat asalkan dia bernilai sastra. Sastra hidup didalam segala matjam kejakinan. Tapi jang mana jang sastra, kalau sastra itu harus punja tugas? Dan tugas jang mana? Jang menentang atau jang membantu Rakjat, ataukah jang tak perduli pada Rakjat, tapi dalam pada itu hidup dari keringat Rakjat. Maka, kalau dalam alam Manipol, tidak lain dari BUNG KARNO sendiri jang mengatakan bahwa apabila "Rakjat marah kepada saja, marahilah saja, saja akan tundukkan kepala," maka benar2 suatu keanehan bila sastra dialam Indonesia jang sedang membangun diri ini bisa benarkan hidupnja sastra didalam segala matjam kejakinan, baik kejakinan jang merusak maupun jang membangun. Tragedi sastra sematjam ini ada di Indonesia dan sedang bermain dengan meriahnja. Malah dengan mudah orang dapat menjediakan timbangan buat mengkilonja mungkin djuga dengan sebuah baskule bila penerbitan pada umumnja jang harus ditimbang. Bila dibidang ini pada tahun 1953 GAJUS SIAGIAN pernah menulis PENERBITAN MEDAN dalam sebuah madjalah Belanda terbitan Amsterdam, jakni Medan sebagai sumber-penerbitan-tanpa-tugas kini kita dapat kemukakan 2 matjam pernerbit di Djawa ini jang luarbiasa aktifnja. Analisa dan Inmajorita. Dengan tjatatan, bahwa Inmajorita jang dibangun untuk membendung Manipol tidak ketahuan dimana alamatnja.

Mengapa ada pengarang-muda berpendapat bahwa kritik sastra harus bisa dibatasi pada masalah sastra? Tidak susah untuk dapat memahaminja. Pertama karena aktivita reaksioner jang bersumberkan djiwa reaksioner dengan demikian tidak mudah dikontrol dan didjeladjah dan dengan demikian pula boleh memperpandjang keamanan dirinja. Kedua karena pengadjaran sastra masih menderita kebolongan, terutama dibidang filsafah-sosialnja. Memang berat untuk menjadari bahwa pengadjaran sastra ternjata tidak punja batas, karena hidup itu sendiri jang djadi landasan sastra memang tidak berbatas, lebih luas dari laut dan langit, dan lebih dalam daripada samudra atau djurang.

Apabila falsafah-sosial telah umum dalam sistem pengadjaran kita, pastilah sudah, bahwa setiap peladjar apalagi pengarang, akan mengerti dengan sendirinja, bahwa sastra hanjalah bangunan atas jang tergantung pada basisnja, jakni kehidupan sosial, kamunal ataupun individual. Sastra sebagai bangunan atas akan bergerak bila basis bergerak, dia akan mendjulang bila basis mendjulang, dan demikian seterusnja. Lihatlah bangunan atasnja sadja! Djangan lihat basisnja! Mengapa orang dapat mengatakan demikian? Karena basisnja, basis individual patut mendapat perlindungan dari koreksi dan penghakiman mungkin djuga penghukuman.

Demikianlah, meremehkan kehidupan satra adalah djuga meremehkan adanja kekuatan jang harus dihidupkan dalam alam pembentukan dan pembangunan diri ini. Meremehkan ini bukan sadja berarti menghambat perkembangan kearah tertjiptanja masjarakat adil dan makmur dibidang spiritual , djuga melakukan penghamburan devisen jang dihasilkan oleh djerihpajah Rakjat. Meremehkan ini adalah djuga laku tidak mendidik masarakat dan Rakjat itu sendiri.

Didalam alam Manipol sastra Indonesia harus berani bebaskan matjam kritik jang menilai sastra tjuma dari perfeksi ketukangannja. Kritik sastra Indonesia dalam alam Manipol, harus bisa memaafkan kekurangan2 jang terdapat didalam ketukangan, bahkan harus mengisi kelemahannja, tapi basis politik, basis ideologi sama sekali tidak boleh meleset. Basis sastra Indonesia adalah masjarakat dan manusia Indonesia jang sedang berkelahi dan berdjuang memenangkan keadilan dan kemakmuran. Itulah basis jang benar. Jang diluar itu adalah kuriosita atau keanehan belaka. Memang ada segolongan orang jang menilai sastra dari keanehannja, dari ketidak-samaannja dengan jang umum. Tapi bila jang demikian djadi ukuran, atau salah satu ukuran, objek2 penulisan sangat mudah didapatkan dirumahsakit2 gila.
Jang harus dibabat & harus dibangun
Oleh : Pramoedya Ananta Toer
Bintang Timur (Lentera), 12 Oktober 1962

PERDJALANAN JANG LAMBAT DARI SASTRA INDONESIA

Tidak bisa dikatakan, bahwa Indonesia tak punja tradisi sastra jang pandjang dan sangat tua. Sastra daerah jang begitu berkembang, terutama di Djawa, Sunda, Bali dan Sulawesi Selatan-Tengah, Atjeh, Minang, Lampung dts. sebenarnja telah dapat dikatakan djaminan dari adanja basis jg baik bagi kehidupan sastra modern. Dari tradisional kearah modern memang terdapat berier histori jang tebal jang melingkupi pandangandunia, sikap, volume aindex pengetahuan, resonansi hubungan internasional, penggarapan atas pengaruh2 pada generasi2 sesudahnja. Karena itu adalah tdk benar, bila tradisi hanja bersifat mengulang dan memamahbiak jg sudah ada serta membajangkan perkembangan jg modern. Perdjalanan sastra modern Indonesia semestinja tidak lambat. Tapi mengapa lambat?

MENENGOK KELUAR BARANG SEDJENAK

Negeri2 Asia lainnja djauh lebih madju daripada Indonesia pada masa2 sebelum perang dunia ke-II. India telah dimahkotai hadiah Nobel karena tjerpen2 Tagore. Singapura dan Malaja serta Vietnam (ingat sdja pd Pierre Do-Dinh), tapi dimasa sebelum Perang Dunia II itu, Indonesia baru menjumbangkan HIKAJAT KANTJIL, surat2 Kartini, dan karja Multatuli jang notabene adalah pengarang Belanda.

MENGAPA?

Apakah sebab semua ini?

Mula2 sekali dapat dinjatakan disini, karena perkembangan ilmu pengetahuan sebelum perang dunia-II tidak menggembirakan di Indonesia. Penemuan2 keilmuan dapat dihitung dengan djari2 tangan dan kaki, sedang penemuan2 jang dilakukan oleh bangsa Indonesia malah bisa dihitung dengan djari2 sebelah tangan. Dalam pada itu kosmopolitisme meradjarela dikalangan kamu intelektual, sehingga ketjintaan dan watak kebudajaan sendiri serta raut2nya menjadi mendatar. Pendalaman2 jang bersungguh2 atas man[s]alah2 nasional tidak berkembang, achirnja pun ketjinta[a]n dan pengetahuan tentang ma[n]usia Indonesia (djadi termasuk kondisi, posisi, situasinja) djadi mendatar pula. Gerakan kebudajaan "Budi Utomo" pada permulaan abad ini tidak bisa dikatakan telah diselesaikan dengan baik, terutama setelah "budi Utomo" melakukan lompatan kearah kepartaian dan mentjoba mendampingi "Sarekat Islam" serta "Indische Partij" tanpa mengurangi djasa2nja bagi sedjarah.

Terutama kos[mo]politisme jang tak terlawankan pada waktu itu, dan tidak begitu disadarinja akan bahajanja pada masa2 djauh kemudian hari, telah banjak mendjerumuskan kaum intelektual Indonesia dalam tjara pengurangan-barat. Sedang kebangunan negeri2 Asia lainnja jang sangat sedikit diperkenalkan di Indonesia sebagai akibat dari politik pemberitaan Hindia Belanda, menjebabkan kaum intelektual Indonesia kehilangan sesuatu jang sangat dibutuhkannja, jakni: bahan perbandingan. Tidaklah mengherankan apabila Kartini pernah menjatakan keheranannja, bahwa wanita berwanapun (maksudnja Pandita Ramabai) boleh dan dapat madju.

Politik pengadjaran Hindia jang terang2an mengsabat kemadjuan bangsa Indonesia dapat dikatakan biangkeladi timbulnja dari semut faktor tsb. sedang kaum feodal sebagai penguasa kedua di Hindia, dan berkompromi tanpa malu dengan Belanda. Telah berhasil dalam kurun jang sangat pandjang menikmati kemadjuan sebagai haknja, lebih dari golongan dan manapun dalam masjarakat. Maka watak penguasa, dan watak komprominja dengan pendjadjah pun membikin kaum intelektualnja sedemikian rupa, tidak mempeladjari wudjut dari masjarakatnja sendiri.

Maka djuga sastra Indonesia jg lahir dimasa itu praktis tidak dibatja oleh kaum intelektual jg karena kosmopolitismenja lebih suka membatja lektur asing. (Nasib sastra Indonesia pada waktu itu hampir dapat disamakan dengan nasib film Indonesia dewasa ini). Dengan demikian sastra Indonesia merupakan konsumsi bagi pembatja jang nisbiah kurang mempunjai persiapan dan aspresiasi. Sebuah polemik tnt karja MARCO berdjudul MATA GELAP jang menggelumbang hampir keseluruh pers di Djawa pada tahun 1914 membukakan pada kita satu pintu buat menindjau pedalaman sastra pada waktu itu, jang tak dapat dikatakan menjenangkan, dibandingkan dengan jang telah ditjapai oleh India ataupun Tiongkok. Satu kalimat diantara sekian banjak polemik jang menuduh MARCO merasa berkepala besar seakan sudah sebesar MULTATULI merupakan satu titik pula jg memberikan kemungkinan pada kita untuk menilai kader kosmopolitisme pd masa itu. 


TANPA SEDJARAH SULIT

Dalam keadaan dimana fakta2 tidak menarik perhatian, amatlah muskil utk bisa mengharapkan lahirnja penjusunan fakta itu sendiri, mempeladjari perkembangannja, menjusun sedjarahnja, dan merumuskan filsafat-sedajrahnja. Sedang tanpa adanja sedjarah ini, perkembangan sastra untuk selandjutnja merupakan perdjalanan didalam kegelapan. Orang tak melihat titik tudjuan. Sekalipun sedjarah sastra Indonesia sampai dewasa ini baru berumur lk. 62 tahun, suatu perdjalanan jang tak dapat dikatakan pandjang, namun, terlalu sedikit jang telah diketahui umum tnt sedjarah sastra itu sendiri. Dan sedikitnja pengetahuan sedjarah ini djuga jang menjebabkan untuk sekian lama Balai Pustaka, badan penerbitan pemerintah djadjahan jg bertugas untuk mengimbangi satra perlawanan, bisa dianggap sebagai titiktolak sedjarah sastra modern Indonesia. Dari sini pula kita dapat memahami mengapa dalam masa gentingnja nasib revolusi bisa terdjadi seorang tjerpena mengumumkan tjerpennja tnt sang tikus jang menggerogoti bukunja, dan seorang kritikus menelaah serta memudji tjerpen tsb. (1949). Pun kita bisa mengerti mengapa banjak peminat sastra, sastrawan dan kritikus menolak unsur politik memasuki gelanggang sastra. Tidak mengherankan karena titiktolak sastra Indonesia jang sedjak tahun 1901 begitu militan menentang dan melaan pendjadjahan itu, tidak dilihatnja dalam kegelapan itu.

KETIDAKDJELASAN SEDJARAH DAN NILAI KRITIK:

Ketidakdjelasan sedjarah menjebabkan nilai kritik sastra pun mendjadi tidak djelas, karena tidak mempunjai pegangan, dan dengan sendirinja djuga ukuran tentang apa sebenarnja jang sudah terdjadi djauh sebelum itu. Sedang pada pihak lain pun meragukan kemampuannja untuk melihat perspektif dan haridepan sastra Indonesia.

Dalam situasi demikian, mau tak mau kita terpaksa terima setiap kritik sastra dengan reserve, karena kritik sastra jg mungkin telah diambil umum sebagai ukuran untuk masa kini, bila dimasukkan dalam vorm sedjarah sastra itu sendiri bisa tjuma sementara sadja maknanja.


Sumber: PramoedyaSite 

Jang Harus Dibabat dan Harus Dibangun I

Jang Harus Dibabat Dan Harus Dibangun 
Pramoedya Ananta Toer 
Bintang Timur, 10 Aug, 1 Sept, 7 Sept, 12 Okt 1962
Bagian I: 10 Aug, 1 Sept


Tahun 1953, atau 10 th. jl, merupakan perkisaran jang penting terutama dalam dunia sastra Indonesia. Pada th. itu nampak benar berapa galangan jang dengan penuh kesabaran dibangunkan oleh Sticusa, bagian demi bagian mulai berhasil. Pemerintah Belanda jang mulai ragu2 tentu manfaat kerdja Sticusa bagi keuntungan keuangan diwaktu dekat mendatang dengan gopahgapah hendak menarik djatah dana dari Dana Bernhard ke pada Sticusa. Sebaliknja, Sticusa, jang dipimpin oleh para bekas residen atau asisten residen serta orang2 dari bekas kabinet van Mook, mengerti benar, bahwa ikatan- batin dengan golongan intelektual Indonesia harus dipelihara dan diselamatkan, buat menjelamatkan hubungan ekonomi dan djuga politik dengan negeri bekas djadjahan, jang dalam keadaan bagaimanapun harus tetap bisa memberikan keuntungan moril dan materiil bagi Belanda. 

Begitulah untuk menundjukkan manfaat Sticusa, untuk membuktikan, bahwa hubungan kultural merupakan bagian penting dalam mempertahankan dominasi ekonomi dan politik atas negeri bekas djadjahannja, pada bulan Djuli 1953 Sticusa dengan gerak tjepat telah menjelenggarakan Simposion Sastra Modern Indonesia. Kesengadjaan dari Simposion ini benar2 mengagumkan. Undangan bukan sadja terbatas pada para sardjana dan seniman Belanda, djuga sardjana2 Inggris, Djerman, Australia, Amerika dan Indonesia tentu. 

Dengan demikian, Simposion Sastra Modern Indonesia jang pertama-tama, bukan hanja tidak berlangsung di Indonesia, djuga mempunjai forum jang sedikit-banjaknja bersifat internasional. Daja penarik Simposion jang mendapat sukses gilang gemilang ialah "rijst-tafel" atau "makanan Indonesia," dan Simposion berlaku dari pagi2 sampai matari Belanda hilang samasekali dari langit Eropa. 

Besoknja seluruh pers Belanda, dan beberapa pers Eropa diluar Nederland, memberitakan laporan2 dari Simposion ini, dan Sticusa "terpaksa" tidak dirubuhkan oleh pemerintah Belanda. 

Pers Indonesia djuga banjak memberitakan peristiwa ini. Bahkan setahun kemudian Senat Mahasiswa Fakultas Sastra UI mau tak mau harus djuga bergerak menjeleggarakan Simposion Sastra pula. 

Simposion Sastra pertama jang berlangsung di Nederland ini mengandung unsur2 bagi perkembangan sastrawan dan sastra Indonesia sesudah itu. Disinilah sardjana hukum Sutan Takdir Alisjahbana mengatakan, bahwa "Revolusi telah menjebabkan manusia modern Indonesia menginsafi, bahwa kemerdekaan jang telah diperdjuangkannja dengan bersemangat itu pada hakikatnja membuatnja lebih melarat, karena ia telah kehilangan se- gala2nja..." (dan dalam situasi kehilangan semua2nja ini pembitjara itu sendiri, telah berhasil mengeduk keuntungan berlimpah sampai dapat meningkatkan djumlah miljuner nasional dengan dirinja sendiri). Andil Takdir kepada Revolusi memang meragukan, sekalipun ia anggota KNIP dari sajap PSI, seorang kapitalis jang bitjara atas nama sosialis. Pada waktu itu Takdir masih sangat berpengaruh karena djasa2nja sebelum pendudukan Djepang, baik dilapangan kebudajaan pada umumnja maupun dilapangan sastra pada chususnja terutama dibidang pengadjaran-sastra jang selamanja ketinggalan dari perkembangan sastra itu sendiri. Benar waktu itu telah timbul djuga Angkatan 45 jang menolak Takdir, tapi masarakat sastra sendiri masih kurang kritik. Dan benar sekali, bahwa dalam simposion ini Asrul Sani sebagai wakil Angkatan 45 djuga angkat bitjara, tapi Angkatan Pudjangga Baru jang disini diwakili oleh Takdir sudah sampai pada taraf perkembangannja jang masak, dilandasi oleh pengalaman jang luas, sehingga tidak semudah itu dapat didorong ke belakang. Maka dalam Simposion ini Takdir berhasil dalam pengutaraannja bahwa suatu impasse sedang mentjekam Indonesia dibidang sastra dan kebudajaan pada umumnja. Ia berhasil membuktikan, bahwa Revolusi merupakan bantahan terhadap kebudajaan Pudjangga Baru. Dan 10 th kemudian, 1962, tidak lain dari Iwan Simatupang dengan tjerpennja Tegak Lurus Dengan Langit jang telah berdjasa dalam memberi bentuk pada pikiran Takdir ini sehingga mendjadi semakin djelas, bahwa Revolusi 45 tjumalah sadisme! 

Sama sekali bukan sesuatu jg mengherankan, bila Iwan ini djuga jang pada th 1953, beberapa bulan setelah selesai Simposion melajangkan surat kepada Sticusa; sedia tandatangani sjarat apa pun djuga bila Sticusa mau undang gua ke Nederland. Sjarat2 apa jang telah ditandatangani oleh Iwan ini, tak ada jang tahu, ketjuali dia sendiri dan Sticusa, setidak2nja dia dapat undangan ke Nederland (1955). Dan sama sekali bukan sesuatu jang mengherankan, bila Iwan jang ini djuga, jang telah gondol beberapa puluhribu uang modal Pekan Teater, sesuai dengan pandangannja, bahwa Revolusi 45 hanjalah sadisme, karena itu harus dirubuhkan sambil mendapat keuntungan dari pekerdjaan ini. 

(bersambung) 

Apakah sebabnja Takdir bisa punja sikap dan pandangan sedemikian negatif terhadap Revolusi 45 jang agung itu? Tidaklah sulit untuk menemukan sumbernja. Sudah sejak aktivita-budaja-nja jang pertama-tama, ia mengimpi dan berangan, berillusi tnt kemadjuan Indonesia jang tjepat, jang deras. Hanja peradaban dan kebudajaan Barat sadja mampu mempolai kemadjuan ini. Tak ada jang bisa mengatakan, bahwa impian, angan2 dan illusinja djahat, sebaliknja--sesuatu kewadjaran sadja bagi seorang mendeburkan darah patriotisme dlm dirinja. Apabila ia melakukan kekeliruan, maka ini ialah tidak atau kurang adanja kesungguhan pdnja untuk melakukan kekeliruan, maka ini ialah tidak atau kurang adanja kesungguhan pdnja untuk mengenal realita dari bangsanja sendiri plus kehidupannja. Ia seorang idealis jang menutup mata terhadap realita jang hidup, karena impiannja terlalu keras, terlalu indah, sedangkan kenjataan terlalu pahit, dangkal, lamban, dan serba mendjengkelkan. Langkah pemikiran selandjutnja bukan lagi suatu kekeliruan, tapi suatu kesalahan, karena ia hendak membangunkan impian dgn djalan meniadakan dan memunggungi realita itu sendiri dan karena kekagumannja pd Barat ia terimalah Barat itu sebagai ukur segala jang hidup pd bangsanja. Rekonstruksi membangunkan kuburan, sedangkan tjandi Prambanan diketjamnja sbg urgensi adalah membangunkan jang djustru hidup sekarang ini. Nampaknja ketjamannja ini revolusioner, kalau orang melupakan kenjataan lain, bahwa Takdir pulalah jang menjatakan bahwa penamaan "terjerambut" (atau ontworteld) baginja merupakan pujian! Takdir pulalah jang dg gagah2an mempelopori gerakan "guntungputus" dg masalampana [- lampaunja?]. 

Waktu revolusi mentjapai tarafnja jang panas, ia djustru pergi ke Nederland untuk menghadiri Kongres Filsafat (1945) sehingga djabatannja sebagai mahaguru di UI dibekukan. Dan tindakannja ini disamakan dengan tindakan Dr. Sumitro, sewaktu ikut menghadiri Kongres Havana sebagai pena sihat delegasi Belanda, djuga ini terdjadi pada tahun panas2nja Revolusi. 

Gugatan jang tertudju padanja mejebabkan Takdir dlm madjalah "Pembangunan," 1947, berusaha membersihkan dirinja dengan bergajutan pada R.A. Kartini jang terus menerus dihormati, baik didjaman pendjajahan Belanda, Djepang, maupun semasa Revolusi itu, pdhal, bukankah Kartini mengandjurkan kerdja sama antara Pribumi dengan Belanda? 

Dan djustru gajutan ini mendjelaskan pada kita, bahwa Takdir tak banjak mengerti tentang perdjuangan kemerdekaan jang sedjak permulaan abad ini melulu kreteria dan taraf2nja. 

Madjalah "Pembangunan" tidak pernah mempunjai otorita, sehingga suaranja pun padam tanpa meninggalkan gaung. Dan sedjak Kongres Filsafat tsb praktis ia semakin lama semakin dekat pada golongan ko, golongan penchianat semasa Revolusi itu, malah dimasa pemerintahan federal di Djakarta, perusahaannja mendapat kemadjuan tjepat dan melompat. 

Revolusi jang digerakkan oleh Rakjat, oleh kenjataan jg hidup, mengakibatkan terdjadinja desilusi pdnja, karena Revolusi merupakan guru jang lebih baik bagi kehidupan ini daripada mahaguru jang manapun djuga. Takdir jang mempunjai gaja-penulisan jang polemis, tetap dapat mempertahan gajanja ini, hanja nadanja dimasa Revolusi 45 dan sesudahnja terdengar mineur. Setelah pemulihan kedaulatan, ia njatakan desillusinja ini dlm artikel "Buku dan Ketjerdasan Rakjat dalam Bahaja" jang dimuat dlm madjalah "Siasat" IV/171/18 Djuni 1950. Diantaranja ia menulis: 
...Pemerintah sekarang tidak akan dapat sebenar2nja memenuhi kebutuhan rakjat 70 juta ini akan makanan, pakaian dan perumahan. 
Sebab kemakmuran dalam arti jang sebenarnja pada hakekatnja ialah akibat sesuatu pertumbuhan sikap hidup, kegiatan dan kepandaian berusaha dari dalam rakjat sendiri, baik sebagai suatu satuan, maupun sebagai individu. 

Kutipan ini, jang merupakan pentjetakan atas pidatonja dalam malam pertemuan jang diselenggarakan oleh penerbit kebangsaan "Pustaka Rakjat" di Hotel des Indes memperlihatkan dengan djelas segi pemikiran Takdir jang tidak menguasai persoalan politik, (waktu itu RI baru 1/2 tahun berdaulat!) dan mentjoba menutupi kelemahannja dengan ekonomi sebagai seorang pengusaha jang sedang merasa terantjam perusahaannja karena kebidjaksanaan pembagian kertas jang pada waktu itu sedang dilaksanakan oleh pemerintah. 

Kesalahan politik nampak dari pandangannja jang tidak djelas terhadap Rakjat jang sepandjang abad merupakan unit ekonomi jang terus-menerus menghasilkan kemakmuran. Rakjatlah penghasil kemakmuran. Kemakmuran tidak datang dari sikap hidup jang manapun. Tapi apakah kemakmuran itu kembali lagi kepada Rakjat jang menghasilkannja, ini adalah politik bukan lagi ekonomi apa pula sikap hidup! Sedang sudah setjara apriori Takdir mengetok palu-hakimnja, bahwa Pemerintah sekarang tidak akan dapat sebenar2nja memenuhi kebutuhan Rakjat. 

Sudah dari nadanja orang dapat dengarkan suatu sinisme jang lahir dari desilusi. Tapi desilusi ini tidak mampu mengadjari Takdir untuk mulai beladjar melihat dan memahami realita. 

Bagi mereka jang menganggap sastra hanjalah sastra, tidak lebih dan tidak kurang, tentu akan bertanja: apakah hubungannja semua ini dengan sastra? Djawabnja atas pertanjaan ini adalah djawaban atas faktor2 kedjiwaan apakah jg menguasai seorang pengarang, serta bagaimana kondisi kedjiwaannja, karena sebuah pabrik jang didirikan dengan sjarat2 tertentu untuk menghasilkan tahu, tentulah ia djadi pabrik tahu, terketjuali bila sjarat2 itu diubah, berubah, sehingga djadi pabrik bom. Itu pula pentingnja dimulai tradisi untuk menempatkan karjasastra sebagai bahan gubal, dan bukan mantra karena tindjauan dan penilaian teknik semata, untuk sampai pada wudjut sebagai manusia pengarang dan dengan demikian untuk mendapatkan faham jang lebih tepat tentang manusia Indonesia sebenarnja. Sedang saran ini sama sekali tidak menjalahi Takdir jang sendiri menghendaki dan mempraktekkan seni bertendens, artinja seni jang memikul tugas, paling sedikit tugas sosial. 

Pada alinea lain kita dapatkan kutipan jang sebenarnja suatu kekatjauan jg telah mentjampuradukkan masalah kebudajaan dan perdagangan: 
"Apabila kami mengemukakan ini, hal itu bukan sekali2 untuk mengeluarkan kritik, bukan djuga oleh karena kami takut Pustaka Rakjat tidak akan dapat mendjalankan usahanja lagi. Kami hanja bermaksud sepintas lalu menundjukkan, bahwa buku dan bersama dengan itu ketjerdasan rakjat dalam bahasa." 

Pendeknja, pandangan kultural Takdir setelah 1950, atau setelah kedaulatan tidak lagi ditangan Belanda setelah perusahaannja tidak mendapatkan pesanan2 langsung dari Departemen van Onderwijs [dan] Eredienst pemerintah Federal, merupakan kekatjauan jang tjampurbaur antara soal2 perdagangan dan ilusi2 kultural ini berkembang semakin menjata sampai pada th 1953 dalam simposion sastra Indonesia di Amsterdam. 

Takdir sebagai budajawan, sudah sedjak mudanja menjindir, mengemplang dan mentjoba menggiling apa sadja jang serba tradisional terutama adat nenek mojangnja sendiri, tanpa keinginan ataupun kemauan baik untuk memahami latarbelakang dan fungsi historiknja. 

Demikianlah, maka kondisi kedjiwaan setiap pengarang, dalam usaha mendapatkan pengertian jang sehat tentang sastra dari bangsa jang sedang membangun dan membentuk diri sebagai bangsa Indonesia dewasa ini sangat penting untuk ditelaah setjara terbuka. 

Segi2 positif Takdir dalam perdjuangan kebudajaan dimasa sebelum Perang Dunia II ternjata disusul dengan tjepatnja oleh perkembangan dari segi2nja jang negatif, hanja karena ia seorang idealis jang memunggungi kenjataan hidup sudah sedjak mulanja. Perkembangan ini semakin tragic sewaktu terdjadi apa jang lazim dinamai dengan "pergolakan daerah," suatu istilah jang sebenarnja berisikan motif2 politik jang sakitan. Dalam persiapan2 untuk meletuskan "pergolakan daerah," golongan2 anti-revolusionar jang djuga mendapat dukungan dari parasardjana idealis jang memunggungi kenjataan (misalnja pernjataan2 dukungan "dengan pertimbangan ilmiah" dari paramahaguru Universita Andalas pada PRRI) mentjoba menarik kekuatan dari dukungan golongan adat, seperti jang telah dilangsungkan Palembang pada bulan Djanuari 1957. Kongres Adat ini didalangi oleh Dewan Garuda jang menelorkan putusan2 jang oleh sementara pers jang masih dapat menghormati Revolusi, persatuan dan kesatuan nasional, diketjam sebagai bersifat feodal dan kontra-revolusionar. Bahkan persiapan mentjetuskan "pergolakan daerah" ini dirasa sebagai bahaja bagi negara Indonesia. Angkatan muda jang tergabung dalam puluhan organisasi setjara terburu2 menjiarkan siaran kilat berisikan 5 pasal jang berseru agar seluruh pemuda dan Rakjat tetap waspada dan tetap memelihara persatuan Bangsa dan Keutuhan Negara. Seruan itu ditudjukan pada semua kekuatan anti-separatisme dikalangan masarakat. Selandjutnja diharapkan kepada barisan pemuda agar tjukup bidjaksana, tjakep untuk mengatasi tiap2 politik adudomba jang bermaksud mentjegah persatuan. Dan ini adalah tindaklaku parapemuda. Sebaliknja golongan tua, termasuk Takdir dan Hazairin, sebagai tokoh2 penting dalam Kongres Adat Sumsel itu, telah menundjukkan bahwa kesardjanaan mereka ternjata tjuma keahlian teknis semata. Para pemuda itu membuktikan pula, bahwa jg mula harus benar dan tepat adalah politik. Bila politiknja tidak benar, maka kesardjanaan hanja ketukangan jang tidak bertudjuan. Sebagai bukti ketukangan tanpa politik jang benar ini Takdir kemudian menerbitkan pidatonja dalam Kongres Adat Sumsel berdjudul Perdjuangan Untuk Otonomi dan Kedudukan Adat Didalamnja, (Pustaka Rakjat 1957). Dan risalah ini merupakan titik penghabisan bagi kegiatan kebudajaan Takdir jang masih mempunjai sumbangan bagi kebudajaan Indonesia. Memang setelah itu ia masih ikut buka mulut dalam diskusi "Batjaan Tjabul" OPI, tapi hal itu tidak mampu memperbaiki posisinja didalam pembiaran [?] kebudajaan apalagi sastra Indonesia. 

Tokoh seangkatan Takdir jang djuga berkembang setjara tragik adalah Tatengkeng dari Indonesia Timur jang pada tarafnja jang terachir menggabungkan diri dengan Permesta. Kedua2nja dapat disamakan dengan tokoh Gregori Melechov dalam roman Sjolokov And Quiet Flows the Don, seorang tokoh perang jang hebat dalam revolusi bolsjewik, jang karena tidak punja ketegasan dilapangan politik achirnja mondar mandir tidak karuan ke berbagai pihak, dan achirnja lenjap sebagai sampah. 

Sampai disini orang terpaksa mengingat doktrin jang dipegang oleh seniman2 dan budajawan2 jang tergabung dalam organisasi kebudajaan Lekra, jang mengadjarkan bahwa "politik adalah panglima." Pengalaman dari orang2 pintar tapi tragik itu membuktikan kebenaran dari doktrin Lekra tsb. Sampai disini pula dapat ditentukan bahwa untuk menghindari terdjadinja ulangan2 tragedi jg sia2 didengar para budajawan2 dan seniman jang toh diharapkan sumbangannja pada nasion-building, maka ketidaktugasan politik, jang menjebabkan timbulnja seni dan pemikiran gelandangan, harus disapu, harus dibabat. Tidak perlu diberikan luang seketjil2nja pun untuk membiarkan berkembang dan berlarut unsur2 penjakit ini, jang ternjata masih dapat mengembangkan sajapnja sampai dewasa ini, sebagaimana telah disinggung dalam Gedjala Sikisma dalam Perkembangan Tjerpen Dewasa Ini, jang telah dimuat dalam "Lentera" beberapa waktu jl. 


(bersambung)

Sumber: Pramoedya.Site 

Jumat, 21 Juli 2000

Sudisman: Uraian Tanggung Jawab

Sudisman, Jakarta 21 Juli 1967

Sdr Hakim Ketua dan para Hakim yang terhormat.
Sdr Oditur dan Oditur-Oditur Pengganti yang terhormat.
Sdr-Sdr Pembela yang terhormat.
Dalam sidang Mahkamah Militer Luar Biasa dengan singkatan MAHMILUB ini, izinkanlah saya menyampaikan terimakasih atas kesempatan dan waktu yang diberikan pada saya untuk menyampaikan perasaan dan pikiran, dan mengemukakan Pokok-Pokok Persoalan sebagai berikut:

POKOK PERTAMA : PENGANTAR

Sdr Hakim Ketua yang terhormat.
Untuk sempurnanya sesuatu masalah biasanya diiringi oleh suatu pengantar. Pengantar sebagai pembuka pintu gerbang kejelasan untuk mencegah supaya tidak tersungkur dalam mencari dan meraba dalam kegelapan, supaya tidak "struikelen in het zuken en tastenin het duister".
Pengantar ini hendak saya gunakan untuk menerangkan arti judul uraian.
Saya lama mengendapkan diri dalam mencari judul uraian yang tepat, sesudah meringkuk ditahan dalam sel berukuran 2 M 20 cm kali 3 M 60 cm selama lebih dari 7 bulan atau kongkritnya 211 hari terhitung mulai 6 Desember 1966; sesudah 14 kali diperiksa langsung selama 18 hari yang berlangsung tidak kurang dari 70 jam pemeriksaan dan menghasilkan Berita Acara Pemeriksaan setebal 152 halaman; sesudah mengalami keseluruhan pemeriksaan pendahuluan sebanyak 40 kali; sesudah mendapat bantuan kiriman sekedar makanan dan pakaian dari TEPERPU [Team Pemeriksa Pusat] sebanyak l6 kali; dan sesudah mendapat sekedar pemeriksaan dokter sebanyak 9 kali. Dalam pengendapan diri itu saya menemukan judul yang tepat, yaitu:

URAIAN TANGGUNG JAWAB

Kenapa tidak memilih judul lain?
Misalnya "Pidato Pembelaan'. Saya sengaja tidak menamakan uraian saya ini suatu pembelaan, karena suatu pembelaan harus memiliki persenjataan yang lengkap baik di bidang teori Marxisme-Leninisme maupun di bidang-bidang lainnya. Persenjataan itulah yang justru tidak saya miliki karena persediaan perpustakaan tidak saya miliki, tidak ada di tangan saya, sehingga segala sesuatu yang saya uraikan ini semata-mata hanya didasarkan kepada ingatan-ingatan yang masih tersimpan dalam otak selaku "supreme headquarters" yang terdiri dari 3 kompartemen, ialah:
1. Fantasi, imajinasi, emosi;
2. Intelek yang menggali pikiran-pikiran dan ide;
3. Memori dan kontrol gerak tubuh.

Karena keterbatasan pengetahuan teori Marxisme-Leninisme yang ada pada saya, maka saya menyisihkan judul "Pidato Pembelaan" saya berpendirian bahwa pengetahuan seseorang itu terbatas. Seseorang bisa mengetahui banyak, tapi tidak bisa tahu semua. Jika seseorang itu berani menyatakan "Saya tahu semua", maka akibatnya tidak lain kecuali tidak mau mendengarkan pendapat orang lain.
Saya selalu berusaha dengan keras untuk mendengarkan pendapat orang lain memang pernah terlintas, yaitu, "PKI MENGGUGAT". Judul agung demikian tak mungkin saya pakai dalam keadaan serba terisolasi, hidup sebatang kara di dalam sel tanpa diskusi dengan seorang kawanpun. Daripada berlayar sendirian dalam keagungan judul uraian, saya berpendapat lebih baik mendamparkan diri pada judul sederhana, "Uraian Tanggung Jawab".
Tanggung-jawab kepada siapa? Dengan sendirinya tanggung jawab kepada rakyat. Siapakah yang dimaksud dengan rakyat itu? Rakyat ialah: kaum buruh, kaum tani, borjuis kecil di luar kaum tani termasuk kaum intelektual revolusioner, dan borjuis nasional yang anti-imperialis dan anti tuan tanah (anti-feodal). Kaum buruh, kaum tani dan borjuis kecil di luar kaum tani termasuk kaum intelektual revolusioner adalah rakyat pekerja dan merupakan tenaga penggerak revolusi dalam tahap revolusi yang nasional dan demokratis, dalam tahap revolusi yang anti imperialis dan anti feodal.
Sedangkan borjuis nasional adalah sekutu tambahan, sebab sesuai dengan watak bimbangnya, maka borjuis nasional dalam batas-batas tertentu dan untuk periode tertentu saja bisa konsekwen anti imperialis dan anti tuan tanah. Inilah pengertian saya tentang rakyat. Berdasarkan pengertian itu maka saya sama sekali tidak merasa terikat untuk bertanggung-jawab kepada musuh-musuh rakyat. Siapakah yang dimaksud dengan musuh-musuh rakyat itu? Musuh-musuh rakyat ialah kaum imperialis, tuan tanah, borjuis komprador dan kaum kapitalis birokrat yang dikenal oleh rakyat sebagai kaum kabir [kapitalis birokrat] atau kaum pencoleng kekayaan negara menurut istilah Bung Karno.
Tanggung jawab saya kepada rakyat adalah sekaligus merupakan tanggung jawab kepada Partai Komunis Indonesia. Sungguh sayang bahwa sidang-sidang Mahmilub yang mengadili perkara saya ini tidak disiarkan oleh RRI seperti halnya dengan sidang-sidang Mahmillub yang lalu sejak mengadili perkara Sdr. Dr. Subandrio. Yah, walaupun tidak disiarkan oleh RRI, saya yakin bahwa secara "getok-tular", secara berantai akan sampai pada mereka, sebab "mondblad", suara dari mulut ke mulut, adalah lebih cepat tersiar daripada "staatsblad", suara Pemerintah. Sdr. Mayor Suwarno.SH, Ketua Team Asisten Pembelaan Mahmillub, pernah menyatakan bahwa dihadapkannya saya di depan Sidang Mahmillub ini adalah penting, sebab mempunyai arti nasional dan internasional. Sdr Mayor Udara Trenggono SH pernah menjelaskan bahwa sidang Mahmillub adalah suatu "fair trial", suatu pengadilan yang jujur (fair). Ini semestinya berarti pengadilan yang terbuka. Dan Sdr LetKol. Subari SH pernah menerangkan kepada Sdr ex Brigjen. Suparjo, bahwa maksud Sdr. Jenderal Suharto mengadakan Mahmilub yang terbuka untuk umum, adalah agar rakyat dapat menilai tentang beleid Pemerintah dalam mengadili perkara-perkara yang berhubungan dengan G-30-S [Gerakan 30 September].
Dikatakannya pula, bahwa bagaimana nanti penilaian rakyat atas dirinya akan diserahkan kepada rakyat.
Sesuai dengan keterangan-keterangan Sdr Mayor Suwarno SH, Sdr Mayor Udara Trenggono SH dan Sdr Letkol Subari SH tersebut di atas semestinya logis kalau seluruh persidangan Mahmillub ini disiarkan RRI. Sesuatu yang logis tapi politis dipandang bisa merugikan Pemerintah, pihak Pemerintah yang kuasa bisa saja berwenang untuk mengesampingkan logika tersebut. Singkatnya, sesuatu yang logis bisa dionlogiskan, sedangkan yang onlogis bisa dilogiskan. Sebagaimana sidang Mahmillub sekarang ini adalah terbuka tapi tertutup, dan bersifat umum sesuai dengan pengumuman di koran-koran yang dihasilkan oleh briefing para petugas militer kepada para wartawan yang tidak diumumkan. Inilah yang dinamakan serba umum tapi tidak umum, yang menurut bahasa rakyat sederhana adalah sama dengan "didikte", artinya tidak demokratis. Jika wartawan yang bersangkutan berani menyimpang dari ketentuan briefing bisa diistirahatkan, di dalam "hotel pro deo". Ya jika diketuk rasa keadilan saya, maka rasa keadilan saya tidak mengangguk membenarkan tapi dengan lantang menyatakan bahwa semua hal itu adalah tidak adil bagi kepentingan rakyat banyak. Ini kalau didasarkan kepada rasa keadilan saya. Tapi saya tahu, ini adalah politik yang tidak usah direntang-panjangkan.
Oleh karena itu saya berusaha keras supaya seluruh uraian saya ini dapat dijelujuri oleh benang merah tangkisan saya pada saat sidang hari pertama, ketika saya diberi kesempatan mengemukakan exceptie, yaitu antara lain sbb:
PERTAMA: semua tindakan saya adalah tindakan politik yang saya lakukan berdasarkan keyakinan Komunis saya; 
KEDUA: pengertian hukum bagi saya adalah exposi atau pernyataan dari kekuasaan yang ada;
KETIGA: saya tidak setuju dengan kebijaksanaan politik pemerintah sekarang.

Saya mengucapkan terimakasih kepada Sdr Oditur yang terhormat yang telah banyak mensilat soal-soal teori Marxis-Leninis sehingga menyegarkan ingatan saya kembali setelah absen selama 7 bulan dalam mempelajari Marxisme-Leninisme.
Juga terimakasih pada Sdr Oditur yang terhormat yang telah mengemukakan dalam dakwaannya bahwa perbuatan saya adalah suatu politiek misdrijf yang di dalam tata hukum Indonesia belum terdapat peraturannya yang khusus di dalam U.U. tersendiri dan di dalam tata perundang-undangan Hukum Pidana Indonesia hingga sekarang belum terdapat U.U. (kodifikasi) khusus tentang delik-delik politik. Sungguh saya sayangkan bahwa Sdr Oditur yang terhormat dalam memperkuat alasan-alasannya menggunakan, selain dari Mr.Drs.E. Utrecht, kutipan-kutipan tafsiran antara lain dari Simons, Stammler, Mr. Robert Van Deputte, Van Bommelen dan Van Hattum, Mr. C. Noyon, Langemeyer yang umumnya sarjana-sarjana dari negeri Belanda yang pernah menjajah Indonesia. Saya akan lebih bisa tegak berdiri dalam mendengarkan pembacaan dakwaan seandainya alasan-alasan tersebut dilandasi oleh pendapat-pendapat Sarjana-Sarjana Hukum Indonesia sendiri, seperti Sdr Prodjodikoro SH, Sdr Susanto SH, Sdr almarhum Wirjono Djokosutono SH, dan sebagainya, sehingga terpancang kuat kepribadian Indonesia yang saya junjung tinggi dan saya bela.
Saya sebagai seorang Komunis, putera Indonesia, malu bahwa pada zaman Belanda sebelum Perang Dunia Kedua ditahan oleh pemerintah Kolonial Belanda karena persdelict dan dituduh melanggar pasal-pasal Engelbrecht, pada zaman Belanda sesudah Perang Dunia Kedua ditahan lagi oleh pemerintah Kolonial Belanda dituduh melanggar pasal-pasal Engelbrecht, dan pada zaman R.I. yang sudah merdeka hampir 22 tahun masih juga dituntut melanggar pasal-pasal Engelbrecht. Bukunya itu-itu juga. Inilah salah satu ciri kenapa PKI menganalisa bahwa Indonesia adalah masih setengah jajahan atau belum merdeka penuh.
Selain itu cirinya ialah belum terkikis habis Imperialisme dan sisa-sisa feodalisme dari persada bumi Indonesia. Saya terus terang tidak setuju jika "des Konings" harus dibaca "Presiden" sebab kita hidup tidak dalam suatu "Koninkrijk" (Kerajaan), tapi dalam suatu "Republik Indonesia" yang saya cintai.
Juga saya tidak setuju jika "ministerieele verandwoordelijkheid" dalam hal ini pemerintah Belanda diidentikkan dengan "Kabinet R.I." - sebab jiwanya sama sekali lain. Tetapi kalau "Staten Generaal" disamakan dengan M.P.R.S. [Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara], bukan pilihan rakyat sekarang, terserah kepada Saudara Oditur yang terhormat.
Semoga ada persamaan pengertian dengan Saudara Oditur yang terhormat mengenai hal ini.

Kembali kepada masalah tanggungjawab, saya berpendapat bahwa setiap tanggungjawab tidak mungkin kokoh, kalau tidak disemen dengan tekad. Oleh karena itu saya memilih:

POKOK KEDUA: TEKAD

Saudara Hakim Ketua yang terhormat.
Sejak sepasukan "Operasi Kalong" bersama kawan Sujono Pradigdo Ketua Komisi Verifikasi CC-PKI datang menggerebeg tempat tinggal saya di kampung tergenang air Tomang, dan menangkap saya, maka saya membulatkan diri dalam tekad untuk "teguh dan tenang".
Tekad saya pada waktu itu bersumber pada moral Komunis. Pengertian moral bagi saya, ialah: "norma-norma atau ketentuan-ketentuan yang mengatur kebebasan aktivitas seseorang sesuai dengan kedudukan kelasnya".
Berdasarkan pengertian ini, maka moral Komunis adalah:
1. Bersikap jujur;
2. Bersatu;
3. Berdisiplin;
4. Bersetia-kawan; dan 
5. Berkorban.

Dalam PKI senantiasa diutamakan dan ditanamkan kejujuran sebab dengan jujur terhadap satu sama lain, akan mudah dicapai persatuan melalui suatu perjuangan.
Persatuan itu sendiri bergerak dan berkembang sehingga terjadi ketidaksatuan dalam persatuan yang perlu diperjuangkan lagi untuk mencapai persatuan kembali, demikian seterusnya, sehingga menurut hukumnya persatuan itu relatif dan perjuangan itu mutlak untuk mencapai persatuan.
Hasil perjuangan dalam persatuan itu adalah mengkikis sesuatu yang usang dan menumbuhkan yang baru dan maju, sedangkan pertumbuhan dari yang maju, pasti mendapat perlawanan dari yang usang.
Hukum itu juga berlaku dalam PKI, kongkritnya hasil perjuangan dalam persatuan itu menelorkan keputusan yang harus ditaati dan dilaksanakan tanpa pamrih.
Inilah disiplin, sebab "dedication of life" tidak mungkin dijalankan tanpa disiplin.
Arti disiplin yang berasal dari perkataan disipel adalah murid, penganut atau apostee. Jadi disiplin adalah keputusan yang harus dilaksanakan oleh penganut-penganutnya, sama halnya dengan disiplin di kalangan ABRI yang terumuskan dalam marga kelima dari Sapta Marga yaitu:
"Kami prajurit Angkatan Perang Republik Indonesia memegang teguh disiplin, patuh dan taat kepada pimpinan serta menjunjung tinggi sikap dan kehormatan prajurit."
Berdasarkan ulasan ini, terang bahwa disiplin PKI bukannya suatu "Kadaver Discipline", bukannya "disiplin mati", dan seorang Komunis bukannya "manusia robot", tapi seorang Komunis adalah manusia biasa yang berpandangan dunia materialisme-dialektik dan histori (MDH).
Bagi PKI, disiplin dimaksud untuk menyelenggarakan pekerjaan dengan tepat dan baik. Dan suatu pekerjaan baru dapat diselenggarakan dengan tepat dan baik kalau disertai dengan kesetia-kawanan atau solidaritas, dan untuk kesetia-kawanan harus berani berkorban, sebab tanpa berani berkorban menundukkan kepentingan pribadi bagi kepentingan umum tidak akan mungkin tercapai solidaritas, tidak akan mungkin tercipta persatuan dan kesatuan antara yang memimpin dan yang dipimpin, tidak akan mungkin tergalang persatuan dan kesatuan antara Bapak dan anak buah. Itulah sekedar uraian tentang moral Komunis.
Berdasarkan moral Komunis itu diterapkan pelaksanaan "sentralisme demokrasi", yaitu sentralisme yang didasarkan kepada demokrasi dan demokrasi yang dipusatkan, dimana dipadukan pertanggungan-jawab kolektif dengan pertanggungan-jawab perseorangan.
Berdasarkan moral Komunis itu saya usahakan dengan sekuat tenaga untuk dalam derita, dalam kesulitan di tengah-tengah petir menyambar dan mati menghadang tetap melaksanakan "tiga satu", yaitu satu pikiran, satu hati, dan satu tujuan.
Satu pikiran ialah pikiran Marxis-Leninis, satu hati ialah hati Komunis, dan satu tujuan ialah perubahan fundamental nasib rakyat, dari hidup miskin menjadi hidup layak, dan dari "serba salah" menjadi "serba benar". Dengan landasan "tiga satu" itulah saya berusaha keras dalam menjalankan tugas, sebab saya selalu bersemboyan berdasarkan pepatah Inggris "be mindful of your task, and do it right, for a task is noble".
Terjemahannya kurang-lebih sebagai berikut: "curahkan penuh pikiran kepada tugasmu dan laksanakanlah dengan baik, sebab tugas adalah suci".
Dengan"tiga-satu" itulah saya melangkah dengan satu tekad seperti yang telah saya rumuskan dalam suatu pernyataan tertanggal 21 Desember 1966 yang saya sampaikan kepada para Sdr pemeriksa saya, yaitu : Sdr. LetKol. Ali Said SH., Sdr. LetKol. Durmawel SH. dan, Sdr LetKol. Subari SH.
Lengkapnya, pernyataan itu adalah sebagai berikut:

PERNYATAAN SUDISMAN

Para Sdr Pemeriksa Yth.
Saya tertangkap pada tanggal 6 Desember 1966 di daerah terpencil Tomang, dalam juang terkepung lawan, tepat setahun sesudah kawan Njoto tertangkap. Peristiwa ini sungguh sesuatu adegan yang mengharukan, persamaan waktu mengibaratkan persamaan nasib dan sepenanggungan.
Keharuan itu menghujam makin dalam dan makin dalam lagi, karena tertusuk kehalusan tindak para Sdr Pemeriksa yang dengan ramah masih memberikan kesempatan terakhir untuk memaparkan kata-kata akhiran saya sebagai pejuang Komunis menjelang akhir tahun 1966. Serba kebetulan, kalau tidak boleh dikatakan serba istimewa, bahwa akhir tahun mengakhiri hidup seorang Komunis. Betapa tidak mengharukan!
Dari haru, tergugahlah lubuk hati saya untuk mengucapkan terima kasih atas segenap daya upaya yang telah ditempuh oleh para Sdr Pemeriksa yang dengan penuh kesabaran telah berikhtiar untuk mengubah tekad saya memilih "jalan-mati" menjadi "jalan-justisi". Juga tidak mungkin pernyataan terima kasih saya begitu saja saya lewatkan, tanpa mengulang, sekali lagi mengulang kembali, terima kasih saya atas adanya pengertian dari pihak para Sdr Pemeriksa mengenai pikiran dan perasaan saya yang terpancang dalam hati: untuk mensenyawakan sikap dengan massa anggota PKI yang telah tertembak mati, untuk melaraskan diri dengan sikap mati pemimpin-pemimpin utama PKI, DN Aidit, MH Lukman, Njoto dan Sakirman, dan untuk memikul tanggung jawab terhadap ratusan ribu korban massa progressif karena kegagalan G-30-S.
Sayapun mengerti dengan baik, bahkan menghormati, bobot uraian yang diajukan para Sdr Pemeriksa yang tetap menganjurkan saya supaya mengambil "jalan-justisi".
Timbul pertanyaan. Kenapa justru saya yang harus memilih "jalan-justisi" padahal kawan-kawan kasih sayang se-team saya dalam memimpin PKI, DN.Aidit, MH Lukman, Njoto dan Sakirman telah merentas "jalan-mati" untuk kehormatan PKI?
Mereka berempat telah mati tertembak tanpa "jalan-justisi". Mereka berempat adalah saya, dan saya adalah mereka berempat, sehingga solidaritas Komunis mengharuskan saya untuk menunggalkan sikap saya dengan mereka berempat dan memilih "jalan mati". Saya dengan mereka berempat telah berpanca-kawan, artinya, berlima telah bersama-sama membangun kembali PKI sejak tahun 1951, dari kecil menjadi besar, dari berpolitik salah menjadi berpolitik benar, dari terisolasi menjadi berfront luas, dari kurang belajar teori menjadi mulai belajar teori Marxisme-Leninisme, dan karena tidak menguasai teori Marxisme-Leninisme secara kongkrit kemudian berakhir terpelanting dalam kegagalan G-30-S yang membawa kerusakan berat pada PKI. Saya pribadi terlibat dalam G-30-S yang gagal. Kegagalan ini berarti pula kegagalan saya dalam memimpin PKI, sehingga mendorong menjadi unggulnya pihak lawan politik PKI.
Keunggulan kaum kanan dalam kontradiksi kekuatan kanan, kekuatan tengah dan kekuatan kiri di dalam negeri. Karena gagal, berarti kalah dan hukumnya bagi pribadi seorang pejuang yang gagal dan kalah di genggaman tangan lawan tidak ada lain, kecuali "MATI". Jadi, bagi saya "jalan-justisi" akan berakhir pada mati, dan "jalan-mati" akan berakhir pula pada "tidak-hidup'. Dua jalan itu bertitik akhir sama. Itulah persamaannya, letak perbedaannya ialah dalam jarak, yang satu berjarak panjang bernama "jalan-justisi", sedangkan yang lainnya berjarak pendek bernama "jalan mati". Saya memilih jalan pendek ini - "jalan mati" jalan berlima menunggal jadi satu, jalan yang telah dilalui oleh kawan-kawan DN Aidit, MH Lukman, Njoto dan Sakirman.
Jika saya menempuh "jalan-mati' dengan menggunakan "hak tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan", maka ini berarti, bahwa:
  1. Bukannya saya nekad, sebab kalau mau nekad, sewaktu ditangkap saya melawan alat-alat negara yang mengurung rumah. Tidak, saya tidak mau mati dikenal sebagai seorang konyol;
  2. Bukannya saya putus asa, sebab kalau berputus asa, dalam sel tahanan saya mencoba untuk bunuh diri. Tidak, saya tidak mau mati dikenal sebagai pengecut;
  3. Bukannya saya ingin berambisi menjadi pahlawan, sebab seorang pahlawan tidak ada yang gagal dalam perjuangannya, kalau terpaksa gugur seorang pahlawan gugur di medan pertarungan. Tidak, saya bukan salah satu dari mereka;
  4. Bukannya saya tidak mencintai keluarga, terutama isteri, anak sebab seluruh perjuangan saya sebagai Komunis justru saya abdikan untuk kepentingan rakyat. Artinya, kalau rakyat menang, maka rakyat berbahagia, dan dalam kebahagiaan rakyat itu termasuk kebahagiaan keluarga, isteri anak saya yang saya cintai. Tidak, bukannya saya tidak mencintai keluarga, isteri anak, tapi justru kebalikannya, saya sangat mencintai mereka.
Jelas-jelaslah, bahwa saya bukannya seorang yang nekad, bukannya seorang yang putus asa, bukannya seorang yang ingin berambisi menjadi pahlawan, dan bukannya seorang yang tidak mencintai istri anak, tapi saya hanya sebagai seorang Komunis yang mau bersetia-kawan menempuh "jalan-mati" jalan berlima menunggal jadi satu.
Berlima kita pernah dihadapkan kepada pemeriksaan, membela pendirian PKI yang tidak menyetujui kebijaksanaan politik Pemerintah R.I pada 8 Juli 1960. Berlima kita diperiksa bersama, dan berlima kita bebas bersama. Kita berlima selalu bersama. Ya, saya hanya sebagai seorang Komunis yang telah berbicara sesuai dengan keperluan, dan selanjutnya menggunakan "hak tidak menjawab pertanyaan", sebab banyak dokumen yang sudah tersita oleh kekuasaan militer sekarang. Dokumen-dokumen itu telah berbicara sendiri tentang PKI dan perjuangannya membela kepentingan rakyat banyak.
Jadi, berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, menurut pendapat saya, bukanlah sesuatu yang berlebih-lebihan setelah kawan berempat saya tertembak mati, maka sayapun berhak memilih dengan tulus-ikhlas jalan yang sama - "jalan-mati", untuk kita berlima. "Jalan-mati" ini saya kira sama sekali tidak menyalahi dengan perintah-harian dari kekuasaan militer sekarang yang secara umum telah memerintahkan tangkap hidup atau mati. Apakah ini artinya? Bagi saya, ini berarti, saya telah dinyatakan sebagai "vogelvrij verklaard", ditangkap hidup pasti mati, dan ditangkap mati tidak diperkarakan.
Ini memperkuat keyakinan saya, bahwa "jalan-justisi" berakhir pada mati dan "jalan-mati" juga berakhir pada mati.
Memang benar, bahwa ada mati karena ada hidup, dan setiap hidup ditutup dengan mati. Jika saya mati sudah tentu bukannya berarti PKI ikut mati bersama kematian saya. Tidak, sama sekali tidak. Walaupun PKI sekarang sedang rusak berkeping-keping, saya tetap yakin bahwa ini hanya bersifat sementara dan dalam proses sejarah nantinya PKI akan tumbuh kembali, sebab PKI adalah anak zaman yang dilahirkan oleh zaman. Tumbuhnya kembali PKI tidak tergantung kepada adanya kita berlima yang telah gagal memberikan pimpinan. Dengan berbagai jalan yang berat dan sulit PKI akan menemukan kembali cara-caranya untuk tumbuh kembali dengan tenaga-tenaga yang jauh lebih segar daripada kita berlima. Mereka pasti akan menjadikan kegagalan-kegagalan itu sebagai ibu kemenangan. Hukum perjuangan menentukan: berjuang gagal, berjuang lagi, gagal lagi, berjuang, gagal ....... akhirnya menang. Kemenangan hanya ada pada mereka yang berani menghadapi kesukaran dan berani berjuang. Dan untuk menang harus berani menempuh jalan panjang. Saya menyadari, bahwa kegagalan dalam perjuangan disebabkan karena kesalahan-kesalahan. Demikian halnya dengan kegagalan G-30-S, karena adanya kesalahan-kesalahan PKI yang menumpuk untuk masa yang panjang, antara lain:
PERTAMA: dibidang ideologi ialah subjektivisme yang bersumber pada lautan borjuis kecil dan bersumber pada cara kerja kepicikan borjuis kecil. Ini berarti, meninjau sesuatu hanya dari satu segi saja, tidak secara menyeluruh sehingga menghadapi kenyataan itu tidak sebagai sesuatu yang utuh, tetapi sebagai sesuatu yang sepotong-potong. Ini mengakibatkan pada saat PKI besar melupakan kewaspadaan bahwa kaum imperialis bersama dengan kaum reaksioner dalam negeri bisa menjadi kalap untuk menyergap. Dalam keadaan demikian sesungguhnya dibutuhkan kepandaian Marxis-Leninis untuk secara ilmiah menghitung imbangan kekuatan secara kongkrit dari kedua belah pihak, dari kekuatan PKI sendiri dan dari kekuatan lawan. Dan dalam mengatur gerakan sangat dibutuhkan disamping keberanian adanya kepandaian revolusioner dalam menentukan waktu yang tepat dan memimpin gerakan. Faktor-faktor ini tidak dipenuhi oleh G-30-S, sehingga menyebabkan kegagalannya. Ditambah lagi gerakan itu terpisah sama sekali dari kebangkitan massa. Padahal menurut pengumuman-pengumuman Dewan Revolusi tujuan G-30-S adalah baik, yaitu: mencegah adanya diktatur militer, mengkonsekwenkan Nasakomisasi di semua bidang, dan bertindak kepada segenap bentuk penyelewengan di bidang finansial dan ekonomi. Saya setuju dengan G-30-S karena hendak membela dan tetap mempertahankan politik kiri R.I.
Selain subjektivisme pada diri pimpinan PKI dihinggapi revisionisme modern yang bersumber kepada pemborjuisan diri setelah berposisi di lembaga-lembaga negara.
Kelemahan-kelemahan ideologi tersebut di atas menyebabkan adanya konsep-konsep teori dengan borjuis. Suatu contoh "Manipol [Manifes Politik] adalah program bersama." Perumusan ini tepat. Tapi menjadi keliru setelah ditambah "jika Manipol sebagai program bersama dilaksanakan dengan konsekwen, maka sama dengan program PKI". Manipol sebagai program bersama meliputi juga kepentingan kelas Kapitalis (borjuis) tetap mempertahankan adanya eksploitasi terhadap kaum buruh. Padahal program PKI adalah Sosialisme yang menghapuskan sama sekali "exploitation de l'homme par l'homme", menghapuskan penindasan manusia atas manusia. Jadi kaum Kapitalis Indonesia tidak mungkin dibawa sampai ke Sosialisme, mereke akan melawan Sosialisme. Buktinya sesudah G-30-S gagal, mereka menuntut penghapusan Manipol, sebab Manipol menentukan bahwa hari depan revolusi Indonesia adalah Sosialisme dan bukannya Kapitalisme.
Demikianlah persoalan yang menyangkut kelemahan ideologi yang telah tertera dalam otokritik PKI.
KEDUA: di bidang politik pimpinan PKI telah tepat menggariskan pentingnya "bersatu dan berjuang" dalam politik ber-front. Tapi dalam prakteknya PKI tenggelam dalam bersatunya dan kurang "berjuangnya". Ber-front berarti bersama dengan kelas-kelas lain, sehingga wajar harus dilakukan perjuangan kelas untuk kepentingan tenaga-tenaga penggerak revolusi, yaitu: kaum buruh, kaum tani penggarap dan borjuis kecil lainnya bukan tani. Tanpa perjuangan, pekerjaan front menjadi mati, dengan perjuangan, pekerjaan front menjadi hidup. Hal ini dibuktikan dengan pekerjaan Front Nasional yang lalu, dimana keputusan-keputusannya tidak dicapai melalui perjuangan maka Front Nasional kurang hidup.
KETIGA: di bidang organisasi pimpinan PKI tidak konsekwen melaksanakan metode menyelesaikan kontradiksi dalam Partai dengan kritik dan otokritik. Ini mengakibatkan di satu pihak adanya liberalisme, dan di pihak lain adanya komandoisme. Tanpa kritik/otokritik kita menjadi tidak kritis dan kritik dari bawah menjadi tidak berkembang.
Kesalahan PKI dibidang ideologi, politik dan organisasi tersebut di atas telah tercantum dalam otokritik PKI yang sudah ada di tangan kekuasaan militer sekarang. Segi positif dari kegagalan G-30-S ialah menggugah PKI untuk meneliti kesalahan-kesalahannya dan menelorkan otokritiknya. Dengan otokritik itu, saya yakin, bahwa dalam proses sejarah nantinya generasi baru dari PKI akan menarik pelajaran sebaik-baiknya. Generasi baru itulah yang akan menjadikan PKI sebagai Partai yang benar-benar Marxis-Leninis, memiliki program agraria revolusioner yang tepat, bebas dari segenap oportunisme dan revisionisme modern. PKI yang demikianlah yang akan mampu memecahkan masalah fundamental rakyat Indonesia, yaitu revolusi agraria bersenjata kaum tani, berlandaskan front persatuan nasional yang luas, persekutuan kelas buruh dan kaum tani di bawah pimpinan kelas buruh PKI yang demikianlah yang pasti dalam kata-kata dan perbuatan dapat sungguh-sungguh mengintegrasikan diri dengan rakyat banyak, sesuai dengan idam-idaman dua bait sajak saya dalam Rumah Tahanan Militer (RT) Jakarta, yang berjudul:

SAMODERA BERPANTAI KRAKATAU

Samodera berpantai krakatau
krakatau berpantai samodera
samodera pantang asat
walau prahara bergunjing
krakatau tak menekuk
walau taufan membadai.

Samodera itulah rakyat
krakatau itulah partai
keduanya saling mempantai
samodra berpantai krakatau
krakatau berpantai samodera

Hanya dengan PKI yang memenuhi syarat-syarat seperti tersebut di ataslah akan dapat diselenggarakan stabilisasi politik dan ekonomi Indonesia. Kekuasaan militer sekarang, menurut keyakinan saya tidak mungkin dibebani tugas sejarah ini sebab:
Pertama, kaum buruh dan kaum tani terutama tidak menyokong kekuasaan militer sekarang, karena penghidupannya makin hari, makin berat, dan pada suatu saat pasti bangkit berjuang menuntut kebebasan demokratis dan perbaikan nasib;
Kedua, kontradiksi intern di kalangan yang berkuasa makin hari makin menajam untuk memastikan siapa yang paling berkuasa di bidang politik dan ekonomi, dan massa rakyat serta partai-partai politik yang demokratis pasti menuntut penghapusan militerisasi, sebab dalam sejarah tidak pernah ada rezim yang secara mutlak dapat semata-mata mempertahankan diri di atas ujung bayonet;
Ketiga, stabilisasi ekonomi bersandarkan kepada apa yang dikatakan bantuan dari kaum imperialis bukannya pemecahan, apalagi mengundang kembali penanaman modal monopoli asing yang telah dilikwidasi oleh revolusi. Sebab sepanjang sejarah tidak ada kaum imperialis yang menyetujui pembebasan rakyat, bahkan justru kebalikannya yang dipaksakan ialah penindasan, penghisapan dan pemerasan rakyat. Inilah kebenaran fakta yang tak direlakan.
Sungguh sayang, keadaan subjektif PKI yang masih dalam keadaan rusak berat belum memungkinkan untuk tampil ke depan, dan terpaksa di tengah-tengah kejaran dan gencaran peluru lawan bertiarap untuk akhirnya merangkak kembali membidik musuh-musuh rakyat ialah Imperialisme, tuan-tanah dan kaum reaksioner lainnya dalam negeri.
Di balik keadaan subjektif yang belum menguntungkan PKI itu, keadaan objektif sangat baik bagi perjuangan rakyat Indonesia, terutama dari segi posisi internasional, Indonesia berada di Asia Tenggara sebagai pusat telengnya kontradiksi dunia, dengan titik pusat Vietnam. Perang yang dibiayai agresor imperialis AS di Vietnam yang bertulang-punggung tentara Vietsel akan berobah menjadi perang lokal yang bertulang-punggung tentara agresor imperialis AS langsung yang sekarang telah berjumlah lebih dari 320.000 serdadu. Menurut perkiraan saya dan dan berdasarkan watak agresif imperialis AS, bahwa sekali perang lokal Vietnam berkobar pasti menjalar ke seluruh Asia Tenggara, sehingga perang berubah posisi menjadi Perang Rakyat yang lambat laun berkobar tanpa mengenal batas. Dalam keadaan demikian Indonesia akan dihadapkan kepada pilihan, memihak Perang Rakyat atau Perang Agresi AS yang menjadikan Indonesia sebagai daerah-belakangnya. Saya yakin bahwa perjuangan rakyat Indonesia akan berpartisipasi kepada Perang Rakyat dan perubahan imbangan kekuatan baru akan timbul di Indonesia dan bangkit bersatu segenap tenaga penggerak revolusi menuju Indonesia Baru yang bebas dari imperialisme dan feodalisme. Inilah jalannya proses sejarah yang tidak dapat dibendung oleh kekuatan apapun juga, juga tidak oleh ulasan kata-kata "menghalau musuh dari Utara, dan membendung Komunisme" Ya, akhirul-kalam dunia telah berganti rupa, untuk kemenangan kita. Demikianlah keyakinan saya.
Maafkanlah kalau ada saru-siku saya selama dalam tahanan, dan izinkanlah saya menutup tulisan ini:
  • dengan rongga dada yang penuh digenggangi kemegahan lagu kebangsaan Indonesia Raya,
  • dengan hati berdebar mengiringi melodi mars kelas buruh sedunia Internasionale,
  • dengan sinar mata tajam mencahayai semboyan "Hidup PKI".
  • dengan seru kalbu bertalu "Kaum Buruh seluruh Dunia, Bersatulah!".
Sekian.
Jakarta, 21 Desember 1966
Pembuat Pernyataan

ttd
SUDISMAN

Tekad saya tersebut di atas, ialah tekad untuk menggunakan "hak tidak menjawab pertanyaan" dengan maksud supaya saya dapat menyatu-ragakan diri dengan sikap menempuh "jalan mati" sebagaimana sudah dialami oleh kawan-kawan Aidit, Lukman, Njoto dan Sakirman, ternyata tidak dapat diluluskan oleh yang berwajib, saya tidak bisa menepuk sebelah tangan. Mencegah supaya jangan sampai saya dituduh "mau mengulur-ulur" penyelesaian perkara "atau mau mendelay perkara", maka saya kemudian menyelaraskan diri dengan kehendak para sdr Pemeriksa dan memasuki pemeriksaan pendahuluan.
Salah satu jawaban saya terhadap pertanyaan penting para sdr Pemeriksa, ingin saya paparkan dalam:

POKOK KETIGA: Disekitar PKI dan G-30-S.

Sdr Hakim Ketua yth.
Pada tanggal 3 Januari 1967 para Sdr Pemeriksa mengajukan pertanyaan yang berbunyi sebagai berikut:
Pertanyaan: Apa yang mendorong PKI untuk mengambil suatu tindakan yang menjurus kepada G-30-S pada akhir bulan September/permulaan 1 Oktober 1965 dalam pemerintahan di bawah kekuasaan Presiden Sukarno?
Jawaban: Dalam menjawab pertanyaan tersebut di atas, saya tetap berpegang teguh kepada statement Politburo CC PKI tertanggal 6 Oktober 1965 yang antara lain menerangkan, bahwa "PKI tidak tahu menahu tentang G-30-S dan peristiwa itu adalah intern AD". Alasannya ialah :
  1. Dalam sidang-sidang Politburo CC-PKI, oleh kawan DN Aidit dijelaskan bahwa ada perwira-perwira maju yang mau mendahului bertindak untuk mencegah kudeta Dewan Jenderal. Untuk itu DN Aidit menugaskan pengiriman beberapa tenaga ke daerah pada hari-hari menjelang mencetusnya G-30-S dengan garisnya "dengarkan pengumuman RRI Pusat dan sokong Dewan Revolusi". Jika PKI secara menyeluruh terlibat dalam G-30-S maka: a) Masalah yang begitu penting harus dibicarakan dalam sidang pleno CC-PKI mengingat scope-nasionalnya yang bersifat luas dan penerapan persoalan teori, bahwa "sekali mengangkat senjata haruslah dirampungkan sampai selesai, dan jangan sekali-kali main api dengan senjata"; b). Masalah yang begitu penting tidak cukup diletakkan penugasan kepada beberapa tenaga ke daerah hanya beberapa hari sebelum peristiwa, tapi seharusnya banyak tenaga yang ditugaskan ke daerah-daerah beberapa bulan sebelumnya dengan garis "bangkitkan massa, adakan perlawanan massa dan bentuk Dewan Revolusi";
  2. Sesudah G-30-3 pecah kenyataannya menunjukkan, bahwa PKI pasif tidak berlawan, malahan menjadi korban penangkapan atas perintah "tindak dengan alasan langsung dan/atau tidak langsung tersangkut G-30-S", menjadi korban pembunuhan massal atas dasar perintah "habisi dan tindas sampai ke akar-akarnya", dan witch-hunting (pengejaran teror putih ketiga (1926, 1948, 1965)). Dalam hati timbul tanda-tanya, apakah dosanya Ny.Njoto bersama anak-anaknya yang tidak tahu menahu tentang perbuatan politik suami-ayahnya, kawan Njoto, sampai dijebloskan di tahanan sel Kodim Budikemulyaan, sehingga oroknya tidak dapat menetek lagi karena air susu asat? Padahal pernah oleh yang berkuasa didesirkan "jangan balas dendam" yah, desiran itu hanya sebagai angin lalu saja sebab kenyataannya yang dilancarkan adalah meng-ex-Komunis-kan anggota PKI sekeluarganya komplit. Hal ini, pasif tak berlawan, tidak mungkin terjadi jika PKI mempersiapkan dan disiapkan untuk G-30-S.
  3. Yang bergerak dalam G-30-S kebanyakan perwira-perwira non-Komunis disamping yang Komunis, sehingga sesuai dengan keterangan kawan DN Aidit, bahwa perwira-perwira maju mau mendahului bertindak. Apalagi kalau dilihat rencana susunan Dewan Revolusi tidak terdiri dari tokoh utama Nasakom dan dipimpin langsung oleh kawan DN Aidit sendiri
Dengan mengemukakan tiga-faktor tersebut di atas bukannya saya bermaksud untuk memungkiri bahwa tokoh-tokoh PKI terlibat langsung dalam G-30-S. Tidak, sebagaimana telah saya jelaskan tokoh-tokoh PKI, termasuk saya sendiri, terlibat dalam G-30-S, tetapi PKI sebagai Partai tidak terlibat dalam G-30-S.
Dengan mengemukakan tiga-faktor tersebut di atas, bukannya saya bermaksud untuk membandingkan dengan peristiwa pemberontakan yang telah dicetuskan oleh Masyumi/PSI [PSI: Partai Sosialis Indonesia]. Masyumi dikenal sebagai partai yang didirikan di zaman militerisme Jepang, Masyumi dikenal anti-Pancasila sewaktu Konstituante, dan Masyumi dikenal sebagai sebagai DI - TII yang legal sedangkan DI-TII [Darul Islam/Tentara Islam Indonesia] sebagai Masyumi yang ilegal yang bersama-sama PSI memberontak mendirikan negara dalam negara R.I. semasa PRRI/PERMESTA [Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia / Piagam Perjuangan Semesta]. Tokoh-tokoh utama Masyumi/PSI terang menjadi menteri-menteri PRRI/PERMESTA, tetapi apakah tindakan Pemerintah pada waktu itu? Tindakan Pemerintah pada waktu itu tidaklah otomatis membubarkan Masyumi/PSI, apalagi membubarkan ormas-ormasnya, menyita hak milik organisasi Masyumi/PSI, menghukum mati takoh-tokohnya dan melarang ajarannya. Malahan Pemerintah memberikan amnesti tokoh-tokoh Masyumi/PSI dibebaskan dan sekarang mulai mengaktifkan kembali Masyumi/PSI. Yang terang GPII [Gerakan Pemuda Islam Indonesia] sudah memproklamasikan diri legal kembali melalui pengumuman di salah satu koran.
Jika, mau mengetuk rasa keadilan dan perikemanusiaan sebagai salah satu sila Pancasila, maka semestinya harus ada perlakuan yang sama baik terhadap Masyumi/PSI maupun PKI, yaitu memisahkan perbuatan tokoh-tokoh PKI yang terlibat dalam G-30-S dan PKI sebagai partai yang tidak tahu-menahu tentang G-30-S. Tetapi hal ini tidak terjadi. Bagi saya jelas, bahwa hal ini tidak terjadi karena yang berkuasa adalah satu kelas dengan Masyumi/PSI. Menurut hukumnya sesuatu klas tidak akan melikwidasi kelasnya sendiri dan yang ditempuh ialah jalan kompromi baik dengan jalan abolisi maupun amnesti. Terhadap PKI yang merupakan lawan kelas dan kekuasan militer sekarang, maka dilakukan tindak likwidasi yang bisa berlangsung untuk sementara dalam artian sejarah.
Disinilah relatifnya keadilan dan kebenaran dipandang dari kekuasaan kelas yang ada pada suatu masa tertentu. Jadi, dengan demikian jelaslah bahwa perjuangan kelas bukannya sirna di Indonesia, tapi justru kebalikannya, perjuangan kelas menjadi menajam.
Sekarang saya akan mengajukan "kekinian" atau "het heden" daripada peristiwa sebelum G-30-S mencetus. Persoalan ini perlu saya ajukan, sebab bagi saya "het heden is onderhevig aan het verleden en de tukomst". Atau "kekinian ditentukan oleh hari kemarin dan menentukan hari depan" Apakah "kekinian" pada waktu itu?
"Kekinian" pada waktu itu, menurut pendapat saya, yaitu beberapa pokok persoalan, yang hendak saya bagi dalam beberapa bab sebagai berikut:
BAB I, sikap PKI terhadap Pemerintahan di bawah kekuasaan Presiden Sukarno: PKI pada waktu itu menentukan sikap terhadap Pemerintahan, ialah menyokong politik Pemerintah yang maju, mengkritik politik Pemerintah yang ragu, menentang politik Pemerintah yang merugikan rakyat. Yang maju dan disokong PKI ialah politik Pemerintah yang pada umumnya anti-imperialis dan dalam batas-batas tertentu anti-tuan-tanah (anti-feodal). Politik anti-imperialis Pemerintah yang tepat adalah pembagian kekuatan dunia dalam dua kubu, yaitu : Kubu NEFO yang terdiri dari negeri-negeri Sosialis, negeri-negeri yang baru merdeka dan rakyat-rakyat progresif di negeri-negeri Kapitalis menghadapi Kubu kedua yaitu kubu imperialis sebagai kubu OLDEFO. Berdasarkan politik Nefo ini dapatlah garis politik Presiden Sukarno yang merumuskan politik luar-negeri R.I., sebagai berikut : "not to make friends but to defend the revolution", dan "Nefo", termasuk RRC adalah "Comrades in arms". Inilah politik kiri yang tepat, politik anti-imperialis yang dalam perbuatan telah menyokong perjuangan rakyat Aljazair melawan imperialis Perancis, menyokong perjuangan rakyat Vietnam melawan imperialis AS, menyokong perjuangan rakyat Kalimantan Utara melawan Inggris dalam bentuk kongkrit berkonfrontasi dengan proyek bersama imperialis Inggris - AS "Malaysia", dan menyokong perjuangan rakyat Pakistan melawan agresi India. Politik kiri anti-imperialis ini sekarang pada hakekatnya sudah dianulir sekarang oleh kekuasaan militer yang sudah tidak lagi anti-imperialis dalam perbuatan, buktinya antara lain mengundang kembali penanaman modal asing dan mengadakan operasi keamanan terhadap "bahaya Komunisme" yang pada hakekatnya ditujukan kepada kaum gerilyawan pejuang Kalimantan Utara. Sekian tentang politik luar negeri anti-imperialis dari Pemerintah yang dulu.
Sedangkan politik dalam negeri yang maju ialah dalam batas-batas tertentu politik anti-tuan tanah (feodal), yaitu: pembatasan hak milik tanah tuan tanah sampai 5 ha dengan pengaturan oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan penurunan setoran kaum tani penggarap dari 5:5 menjadi minimal 6:4 untuk kaum tani penggarap dengan pengaturan oleh Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBM). Politik maju yang sekedar menguntungkan kaum tani penggarap itu sekarang pada hakekatnya telah dianulir oleh kekuasaan militer sekarang, dengan bukti banyak tanah-lebih yang dulu sudah dibagikan dicabut kembali oleh tuan-tanah yang bersangkutan dan bagi hasil kembali kepada maksimaal 5:5, bawon (upah panen) dari 1:5 ada yang menjadi 1:20, dan kaum tani penggarap dikenakan pajak-pajak berat lagi. Singkatnya nasib kaum tani penggarap kembali kepada "serba-salah", berani bicara dicap G-30-S dan tidak bicara dituduh memboikot politik kekuasaan militer sekarang.
Tentang politik pemerintah yang ragu dan dikritik oleh PKI, adalah politik yang kurang konsekwen dalam pelaksanaan politik anti-imperialis dan pelaksanaan UUPA dan UUPBH. Contohnya tidak adanya ketegasan dalam tindakan terhadap investasi imperialis AS di bidang perminyakan yang merupakan sebagian terbesar devisen R.I.
Contoh lain, ialah tidak konsekwen melaksanakan UUPA dan UUPBH. Akibatnya kaum tani penggarap mengadakan aksi-aksi untuk mengkonsekwenkan pelaksanaan dua undang-undang tersebut. Tetapi anehnya justru kaum tani yang mau melaksanakan Undang-undang yang ditindak tetapi kaum tuan-tanah yang mengingkari Undang-Undang tidak dipersalahkan. Inilah kenyataan "yang benar dipersalahkan, dan yang salah dibenarkan". Tentang politik yang merugikan rakyat dan ditentang oleh PKI ialah politik finek (finansial ekonomi) yang berlainan dengan Dekon, yaitu menjadikan pertanian sebagai basis dan industri, sebagai tulang-punggung dan politik menaikkan harga dan tarif untuk menanggulangi kesulitan ekonomi semestinya dengan sungguh-sungguh dilaksanakan social-support, social-control dan social-participation untuk melikwidasi salah urus serta salah duduk. Satu-satunya jalan adalah meniadakan "steurleven" atau meniadakan kehidupan yang serba tak menentu (memperpanjang penderitaan rakyat) dengan mengadakan Nasakomisasi di semua bidang sebagai penyesuaian aparatur negara dengan tuntutan Manipol dan Dekon untuk menumpas tiga sebab pokok kemelaratan rakyat yaitu:
a) Kaum imperialis, terutama imperialis AS sebagai musuh utama rakyat-rakyat progresif sedunia;
b) Di desa menumpas 7 setan-desa:
  1. tuan-tanah jahat yang tidak mau melaksanakan UUPA dan UUPBH;
  2. penguasa jahat yang membela kepentingen tuan-tanah jahat;
  3. tengkulak jahat yang memeras kaum tani;
  4. tabir yang menyalahgunakan kekuasan untuk memperkaya diri dengan memeras kaum tani;
  5. bandit desa yang manjadi centeng (tukang pukul tuan-tanah);
  6. takang ijon [money lenders];
  7. lintah-darat yang menjerat kaum-tani dalam hutang sepanjang hidupnya.
c) Di kota menumpas 3 setan kota baik sipil maupun militer yaitu:
  1. Kabir (?) (kapitalis?)
  2. Penipu (?); dan
  3. Koruptor [corrupt officials].
Dalam pengalaman tindakan terhadap pejabat militer adalah lebih sukar, sesuai dengan pepatah: "blood is thicker than water", atau ikatan korps (kesatuan) adalah lebih kental daripada ikatan hukum.
Faktor sikap tersebut di ataslah yang menjadi syarat mutlak untuk menerapkan Dekon, jadi bukannya peraturan 26 Mei yang sebenarnya menghancurkan Dekon dan yang menggantungkan diri kepada apa yang disebut bantuan imperialis, bukannya memboroskan ekonomi Indonesia kepada export drive saja yang menjadikan Indonesia pasar bahan mentah bagi kaum imperialis, persis seperti ekonomi kolonial dulu. Politik ini akan menjadikan Indonesia sebagai negeri yang tergantung kepada imperialis dan bukan sebagai negeri yang berdikari.
Demikian mengenai sikap PKI terhadap Pemerintah untuk meniadakan sebab-sebab adanya "sleur-leven" yang memperpanjang kemelaratan rakyat.
Bab II: menghadapi kemungkinan agresi imperialis: Saya setuju dengan peringatan Presiden Sukarno bahwa death-line imperialis Inggris membentang dari Teluk Aden, kepulauan Andamanen, "Malaysia" sampai Hong Kong. Untuk mempertahankan death-line sebagai life-line terakhir dari imperialis Inggris, logislah jika Inggris memusatkan kekuatan armada angkatan lautnya, angkatan daratnya dan angkatan udaranya di Malaysia dalam menghadapi politik R.I. yang tepat yaitu bantu Kaltara mengganyang Malaysia. Jadi pengganyangan Malaysia bukannya karena tidak mau rukun dengan bangsa serumpun Melayu tetapi karena imperialis Inggris membentuk federasi Malaysia untuk menumpas Kaltara yang memproklamasikan diri bebas dari belenggu imperialis Inggris.
Inilah politik konfrontasi R.I. yang membawa suasana "on the brink of war", suasana di tepi jurang perang, konsekwensi dari politik ini ialah menjadikan daerah R.I. sebagai daerah berlatih dan beristirahat bagi para pejuang Kaltara, dan pejuang-pejuang Sukarelawan R.I. bertempur membantu pejuang-pejuang Kaltara melawan imperialis Inggris. Suasana agresi imperialis Inggris yang ingin mengamankan daerah belakangnya dan imperialis Amerika pasti membantu sekutunya imperialis Inggris sebab Amerika Serikat takut kalau semangat anti imperialis rakyat Indonesia yang tinggi menular ke Pilipina, sebab akan mengganggu daerah belakang agresi imperials AS di Vietnam. Gaya berpendapat pada waktu itu memang nyaris adanya agresi imperialis, sehingga rakyat harus dibikin werrbaar dan paraat. Caranya ialah mempesenjatai rakyat dengan senjata dari manapun saja, termasuk dari RRC. Rakyat yang bersenjata sebagai pertahanan dan ketahanan nasional yang ampuh harus diatur dalam ikatan organik yang saya rasakan cocok dengan dicetuskannya gagasan Angkatan Kelima oleh Presiden Sukarno.
Dengan demikian rakyat yang bersenjata adalah tubuh kekar dengan ABRI sebagai tinjunya menghadapi agresi imperialis.
Dengan demikian rakyat dan ABRI betul-betul menjelma sebagai air dan ikan yang tak terpisahkan.
Inilah wurbaarlheid dan paraatheid rakyat yang tak terkalahkan menghadapi kemungkinan operasi imparialis. Dalam suasana nyaris agresi imperialis, saya kira tidak salah kalau AURI mengorganisasi latihan-latihan sukerelawan sebagaimana diselenggarakan juga oleh Angkatan-angkatan lainnya. Juga tidak keliru kalau massa anggota PKI ikut serta dalam latihan sukarelewan oleh AURI [Angkatan Udara Republik Indonesia], sebagaimana dilakukan pula oleh massa-anggota partai lainnya untuk ikut serta dalam latihan Sukarelawan oleh Angkatan Bersenjata lainnya.
Andaikata Angkatan ke-V terbentuk saya rasa tidak akan terjadi latihan-latihan Sukarelawan yang terpisah-pisah, tapi semuanya dapat diselenggarakan bersama sebagai suatu kesatuan oleh ABRI secara bersama. Sekian mengenai Bab II.
BAB III: keadaan finek makin memburuk: saya berpendapat pada waktu itu bahwa keadaan finek (finansiil dan ekonomi) makin memburuk, harga-harga barang meningkat tinggi, daya beli dan tingkat hidup rakyat makin merosot. Secara pokok sebab-sebabnya telah saya utarakan di depan.
Jalan keluarnya selalu oleh PKI diajukan konsep-konsep, antara lain tidak setuju dengan politik kenaikan barga, menolak deferred payment, dan hukuman mati bagi koruptor-koruptor besar. Konsep-konsep PKI ada yang disetujui Pemerintah, tetapi setelah menjadi keputusan resmi tinggal sebagai keputusan di atas kertas belaka. Malahan lucunya tidak jarang suatu keputusan diembel-embeli dengan pembentukan lembaga negara baru yang berarti: menambah beban anggaran belanja negara, menyimpangsiurkan wewenang, tugas dan peraturan, serta memacetkan Kementerian yang bersangkutan, karena wewenangnya tergeser oleh lembaga negara baru. Padahal garisnya lembaga-lembaga negara harus di-streamline-kan atau disederhanakan yang menurut hitungan kawan Njoto jumlah lembaga negara pusat tidak kurang dari 150 dan ada seorang pejabat yang menjabat sampai 32 jabatan rangkap. Apakah ini bukan skeur? Disamping skeur, jika rakyat menuntut tanggung jawab para Menteri tentang adanya skeur itu, maka mereka lari berlindung di bawah kewibawaan Presiden Sukarno dan menyatakan mereka hanya sekedar pembantu saja. Mereka lupa pembantu rumah-tangga biasa saja jika ada barang hilang bisa diperkarakan, apalagi pembantu Presiden. Mereka lupa pada pantun:
cerutu bukan sembarang cerutu
cerutu cap Kapiten, mahal harganya.

pembantu bukan sembarang perbantu
pembantu Bapak Presiden,
besar tanggung-jawabnya.

Yang membahayakan ialah pikiran di pihak menteri-menteri yang menganggap usaha swasta lebih baik daripada perusahaan negara, sehingga ada gejala-gejala mau menswastakan perusahan-perusahaan negara.
Secara sederhana pikiran ini hendak menunjukkan bahwa Kapitalisme adalah lebih baik daripada Sosialisme, padahal hari depan revolusi Indonesia menurut Manipol adalah Sosialisme dan bukannya Kapitalisme. Pikiran mereka itu adalah menentang hari depan. Mereka memang sengaja mempertahankan "steur leven" karena sudah vested interest sebagai OKB (Orang Kaya Baru), dan mereka sengaja menutup mata terhadap adanya perusahaan-perusahaan negara yang menguntungkan seperti beberapa pabrik gula, pabrik semen Gresik dan tambang timah Bangka sebab:
a). Kaum buruh mau memberikan social-support, karena ada kebebasan demokratis dan dijamin sekedar perbaikan tingkat hidupnya;
b). Kaum buruh diberi hak social-control dengan diikutsertakan dalam Dewan Perusahaan yang mengawasi management dan maintenance perusahaan;
c). Kaum buruh diberi social-participation, dengan diikutsertakan dalam Dewan Direksi untuk bersama-sama menentukan planning mengadakan meer-produksi yang sebagian daripada hasilnya digunakan untuk sekedar kesejahteraan kaum buruh.
Inilah yang menyebabkan adanya sekedar arbeidsvreugde di kalangan kaum buruh. Semuanya itu menunjukan bahwa jalan ke Sosialisme bukannya jalan yang bertaburan bunga, tapi jalan yang penuh dengan duri dan jurang curam. Orang bisa sepanjang hari berkomat-komit setuju Sosialisme sebagai lip-service, tapi menghantam habis-habisan pelaksanaan sosialisme dalam praktek.
Sekian Bab III
BAB IV, pimpinan kanan AD berpolitik mengisolasi PKI: berdasarkan informasi-informasi dari kawan DN Aidit yang teliti dalam menerima informasi-informasi dan cukup memiliki saluran sebagai Menko untuk mencek, maka dijelaskan bahwa pimpinan kanan AD berpolitik mengisolasi PKI. Hal tersebut saya benarkan dan yang saya ingat antara lain dihebohkannya penjelasan kawan DN Aidit mengenai persetujuan PKI terhadap Pancasila. Serba sulit, diam tentang Pancasila dituduh anti, menerima Pancasila dicap sekedar muslihat. Padahal di konstituante PKI adalah salah satu partai yang gigih membela Pancasila. Lalu dokumen palsu tentang rencana kudeta PKI yang sudah digugat oleh DN Aidit dalam pertemuan partai-partai di Bogor masih saja disiarkan di kalangan AD bahwa dokumen itu betul. Padahal semestinya bersama-sama mencari konseptornya dan bertindak terhadap konseptor itu. Pada permulaan tahun 1965 Jenderal Yani di depan Resimen Yogya menerangkan bahwa kalau tergantung padanya sebaiknya hanya ada satu partai Pancasila, dan alat penghubung dengan massa yang dapat diandalkan oleh AD adalah SOKSI [Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia], sehingga adanya SOKSI perlu dipartahankan. Ini berarti bagi saya bahwa perlu dilikwidasinya partai-partai yang ada, terutama PKI dan ormas-ormas PKI harus ditandingi antara lain SOBSI dihadapi SOKSI. Setelah ulang tahun ke-45 PKI sukses, disiarkan di kalangan AD bahwa PKI bukannya menunjukkan kekuatannya tetapi sudah menunjukkan gigi untuk bertindak, padahal PKI tidak ada niat untuk itu. Politik Nasakom bersatu yang disetujui oleh PKI diubah menjadi Nasakom jiwaku. Bagi saya, ini berarti, bahwa kalau sudah berjiwa Nasakom, maka tidak perlu lagi adanya Kom, tidak perlu lagi adanya PKI. Padahal Nasakom adalah persatuan dari tiga aliran politik yang hidup di Indonesia. Kemudian disuruh oleh penjelasan Jenderal Yani pada tanggal 27 atau 28 Mei di depan rapat para Panglima daerah AD, bahwa Jenderal Yani sendirilah yang membentuk Dewan Jenderal yang bertugas, memberikan penilaian politik. Jadi tidak sebagai badan yang memberikan pernilaian kenaikan pangkat, sebab untuk itu sudah ada Panitia Jenderal Sudirman sebagai pengganti Panitia Jenderal Gatot. Menurut kawan DN Aidit politik Dewan Jenderal berproses kepada penyelesaian formasi Kabinet dan tindakan Kudeta yang diperkirakan pada peringatan Hari Angkatan Perang. Persiapan-persiapan ke arah itu nampak dengan menarik kekuatan politik lainnya untuk diajak mengisolasi PKI, yaitu pertemuan pimpinan AD dengan PNI [Partai Nasionalis Indonesia] pada tanggal 8 Juni 1965 di rumah Sdr. Chaerul Saleh. Jika mau menggalang parsatuan semestinya pertemuan semacam itu diadakan juga dengan partai-partai lain termasuk PKI. Hal ini tidak terjadi, sehingga jelas yang dimaksud ialah mengubah sepenuhnya sesudah G-30-S gagal dengan ikut campurnya langsung pimpinan AD dalam intern PNI. Sedangkan terhadap sesama partai marhaenisnya dilakukan politik "biar mati dengan sendirinya". Sesudah pertemuan 8 Juni tersebut, oleh SUAD I tertanggal 12 Juni 1965 diadakan edaran yang pokoknya memperingatkan bahwa yang terjadi di daerah-daerah terutama di Jatim/Jateng bukannya konsultasi Nasakom tetapi konfrontasi Nasakom dan masalah tanah menjadi hangat. Oleh karena itu disimpulkan supaya para pejabat baik sipil maupun militer untuk tidak menggunakan istilah-istilah seperti integrasi dengan rakyat, sebab penggunaan istilah semacam itu sudah memihak, dan mengawasi pelaksanaan land reform. Dalam praktik ini berarti mengawasi gerakan rakyat, mengawasi PKI dengan ormas-ormasnya, dan bertindak terhadap pelaksanaan land reform terbatas, bertindak terhadap BTI dan PKI. Jurusannya tidak bisa lain kecuali pembekuan PKI dengan ormas-ormasnya, yang pernah dialami oleh PKI dengan peristiwa 3 S (Sulawesi, Selatan, Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan). Kemudian pada permulaan Agustus 1965 ada keputusan KOTI kalau tidak keliru no. 86 yang mengatur pembatasan lebih ketat lagi kebebasan demokratis dengan alasan untuk pengamanan rencana ekonomi KOTU, yang kolonial ialah melulu mendasarkan kepada export-drive. Semua penjelasan kawan DN Aidit saya benarkan, sebab saya berpendapat untuk menjamin berlangsungnya kekuasaan militer harus dilakukan pembatasan hak-hak demokrasi dan dilakukan politik mengisolasi PKI sebelum dapat dilikwidasinya. Selamanya PKI berjuang untuk kebebasan demokratis dan menolak kekuasaan militer. Oleh karena itu PKI, selalu berjuang menuntut penghapusan SOB, dan setelah SOB hapus mensinyalir bahayanya "SOB tanpa SOB". Sesungguhnya secara hakekat kekuasaan militer itu sudah ada sejak SOB. Walaupun SOB hapus tapi kekuasaan militer tidak berubah posisi, dan dengan gagalnya G-30-S menjadi terealisasi sepenuhnya. Walaupun secara resmi bukan sebagai partai politik, tetapi hakekatnya AD adalah partai politik yang politik umumnya ditentukan oleh Seminar AD semacam Kongres partai antara dua seminar AD pelaksanaan politiknya dilakukan oleh Komando golongan karya AD semacam Dewan Pimpinan Pleno partai, dan politik praktis sehari-hari dilaksanakan oleh para Menteri AD dalam Kabinet semacam Dewan Harian partai. Malahan pimpinan kanan AD telah menentukan diri sebagai faktor stabilisasi, ini berarti, kekuasaan negara sepenuhnya di tangan kekuasaan militer, de overwinning is kompleet inihanden. Jadi diktator militer yang ditentang oleh G-30-S dan Dewan Revolusi sekarang menjadi kenyataan. Dan mengekskomuniskan atau meng-eksklusifkan PKI yang ditentang oleh PKI sekarang menjadi kenyataan. Politik kiri R.I. bermutasi menjadi kanan. Sekian Bab IV.
BAB V, perwira-perwira maju dipimpin eks Letkol Untung mendahului bertindak untuk mencegah kudeta Dewan Jenderal: Kawan DN Aidit menjelaskan hal tersebut yang saya yakini akan kebenarannya. Sebab Dewan Jenderal saya artikan sebagai potensi politik kanan dari pimpinan AD yang bertujuan untuk berdominasi penuh dalam kekuasaan negara, sebagaimana sekarang menjadi suatu kenyataan, setiap kekuasaan adalah diktator dan kekuasaan militer adalah diktator militer. Hal inilah yang mau dicegah oleh perwira-perwira maju di bawah pimpinan ex Letkol Untung yang mau mendahului bertindak. Saya setuju, sebab sejak dulu saya berjuang anti-militerisme. Dan sudah tentu persetujuan saya itu didasarkan kepada perkiraan bahwa segala sesuatunya sudah diperhitungkan dengan baik dan secara militer memang ada dalik yang menyatakan bahwa "aanval is de beste verdediging" atau "menyerang adalah pertahanan yang terbaik". Selain itu suasana pada waktu itu diliputi oleh sakitnya Presiden Sukarno yang serius. Semua anggota pimpinan PKI menjadi prihatin. Di balik keprihatinan itu sebagai seorang politik harus memikirkan pengamanan atau "safe-steleen" politik kiri Presiden Sukarno. Saya perkirakan, bahwa tindakan perwira-perwira maju itulah yang akan dapat "safe-steleen" politik kiri Presiden Sukarno, apalagi situasi politik pada waktu itu sebagai situasi politik revolusioner, yang berciri:
  1. Pemerintah terpaksa menyesuaikan politiknya dengan tuntutan massa rakyat banyak;
  2. Politik Pemerintah ditentukan di pabrik, perkebunan-perkebunan dan desa oleh massa-aksi rakyat; dan
  3. Aksi-aksi rakyat terus meningkat dalam birofensi revolusioner
Jadi perkiraan saya pada waktu itu tindakan para perwira maju dengan Dewan Revolusionernya yang Nasakom bersama Presiden Sukarno akan menyudahi "steur-leven" dan mengkonsekwenkan Panca Azimat, yaitu:
  1. Nasakom (1926)
  2. Pancasila (1945)
  3. Manipol (1959)
  4. Trisakti (1964)
  5. Berdikari (1965)
Tindakan tersebut bukan untuk memenuhi sebait sajak Inggris:
Man is a fool
When it's hot, he wants it cool
When it's cool, he wants its hot
He always wants what he has not,

tapi untuk mendekati kalau belum dapat meluluskan rising-demands massa rakyat banyak.
Berdasarkan 5 Bab pokok persoalan tersebut di atas, dan berdasarken tanggapan saya mengenai segenap penjelasan kawan Aidit yang menurut pengalaman saya senantiasa teliti dalam menghitung imbangan kekuatan, maka dasar-dasar itulah merupakan latar belakang saya untuk menyetujui tindakan para perwira maju yang menjurus kepada G-30-S pada akhir bulan September/permulaan 1 Oktober 1965 dalam Pemerintahan di bawah kekuasaan Presiden Sukarno, sebab keyakinan saya ialah, dengan Dewan Revolusi bersama Presiden Sukarno, maka:
PERTAMA: akan dapat dikonsekwenkan politik anti-imperialis dan anti tuan-tanah terbatas daripada Pemerintah R.I.;
KEDUA: akan lebih weerbaar dan paraat rakyat dalam menghadapi kemungkinan agresi imperialis;
KETIGA: akan dapat dikonsekwenkan pelaksanaan Dekon untuk menanggulangi kesulitan ekonomi dengan meritul dan men-Nasakom-kan aparatuur finek, serta bertindak terhadap kaum imperialis, 7 setan desa dan 3 setan kota;
KEEMPAT: akan dapat dicegah adanya diktator militer, dilakukan penghapusan SOB tanpa SOB, dan diadakan Nasakomisasi di semua bidang;
KELIMA:.akan dapat direalisasi dengan baik Panca Azimat.
Jawaban hendak saya tutup dengan mengemukakan bahwa cukuplah sudah penjelasan saya dari saya telah bulat dalam perasaan, pikiran dan hati untuk teguh pada pernyataan saya tertanggal 21 Desember 1966.
Sekian.
Jakarta, 3 Januari 1967.
Pembuat jawaban,

ttd.
SUDISMAN
Berdasarkan penjelasan saya tersebut di atas dan sesudah mempelajari Pleidoi Sdr. ex Brigjen. Suparjo perlu saya tandaskan bahwa:
PERTAMA: Saja yakin bahwa Dewan Jenderal itu ada, berdasarkan dikemukakan oleh kawan Aidit, yaitu antara lain penjelasan Sdr. Jenderal Yani almarhum pada tanggal 27 Mei atau tanggal 28 Mei 1965: di depan rapat Panglima AD, bahwa Sdr. Jendera1 Yani sendirilah yang membentuk Dewan Jenderal yang bertugas memberikan penilaian politik, kalau masih tersimpan baik tentunya risalah (notulen) rapat tersebut masih utuh dan dapat diteliti. Keyakinan saya menjadi tambah kukuh dengan penegasan Sdr. ex Brigjen Suparjo yang dimuat dalam pleidoinya, halaman 31, ialah sebagai berikut: "Saya mengusulkan agar diadakan suatu Mahkamah Nasional yang dapat mengadili kedua belah pihak. Yaitu mengadili G30S seperti MAHMILUB sekarang ini, tapi juga mengadili Dewan Jenderal di lain pihak. Karena seperti yang saya pernah jelaskan G30S tidak berkelahi sendirian; tentu ada yang dilawan. Dan menurut G.30.S. lawannya adalah Dewan Jenderal. Sampai sekarang yang terus diadili adalah mereka-mereka dari G30S, yang dituduh G30S, dan mereka-mereka yang dapat dituduh G30S. Bagaimana dengan para anggota Dewan Jenderal atau yang dapat dituduh Dewan Jenderal. Bila diperlukan saya mempunyai beberapa bahan untuk memulai dengan pengusutan hal tersebut:
a). Keterangan bahwa Dewan Jenderal itu ada;
b). Kegiatan-kegiatan pada masa proloog yang menjurus ke arah itu; 
c). Kegiatan-kegiatan semasa meletusnya G-30-S.;
d). Bahan-bahan pengusutan pada masa epiloog, terutama dalam rangka meminta pertanggungan jawab atas pembunuhan terhadap sekian banyaknya rakyat."

Sungguh sayang dan sangat disesalkan bahwa Sdr. ex Brigjen Suparjo yang saya minta sebagai Saksi à décharge tidak dapat didatangkan. Andaikata dapat didatangkan, maka dengan tanya jawab dalam Sidang MAHMILUB ini akan dapat disingkap penjelasan-penjelasan lebih lanjut. Adil sepihak ini sangat berlawanan dengan rasa keadilan yang ada pada saya. Kalau PKI mengadakan aksi sepihak, dihebohkan bukan kepalang tanggung, tapi kalau dalam sidang MAHMILUB ini terjadi adil sepihak dianggap sah dan "never mind" kalau tidak boleh dikatakan tidak perduli. Tentunya alasan-alasan saya tersebut di atas akan dipukul dengan sanggahan bahwa "Panitia Undang" sudah mengumpulkan semacam petisi atas inisiatif Sdr. Jenderal Nasution, bahwa Dewan Jenderal itu tidak ada. Jika hal ini digunakan sebagai bahan pukulan, maka dalam bathin saya akan ketawa, sebab siapa yang berani pada waktu itu menyatakan "Dewan Jenderal" memang betul ada. Sedangkan Sdr. Dr. Subandrio yang tidak mau memberikan keterangan tentang hal tersebut menjadi bulan-bulanan dalam sidang Mahmilub dan hasil peng-Mahmillub-an Sdr. Dr. Subandrio mendapat gelar M.T., singkatan dari "mati". Sindiran rakyat memang tajam dan secara kreatif rakyat selalu menemukan sesuatu, antara lain pernyataan bahwa, baik salah maupan benar Mahmilub hanya membagikan dua gelar, yaitu: "M.T." bukannya "Master in Teaching" atau "SH" bukannya Sarjana Hukum" tapi Seumur Hidup. Semuanya ini sesuai dengan sifat keluarbiasaan militer. Kembali kepada masalah Dewan Jenderal oleh kawan Aidit diterangkan bahwa politiknya kanan dengan ciri:
a). Tidak anti Imperialis;
b). Tidak anti Tuan Tanah;
c). Anti Nasakom.

Dalam proses sesudah G-30-S gagal ternyata ciri politiknya kanan tersebut dilaksanakan oleh kekuasaan militer sekarang yang secara hakekat dipimpin oleh Sdr. Jenderal Nasution dan Sdr. Jenderal Suharto yang secara berangsur-angsur meluncur secara diam-diam (geruischloos) telah "menaragadingkan" Bung Karno alias "mengamankan" alias "menahan" Bung Karno. Karena kuasa sudah dengan sendirinya segenap perbuatannya adalah sah dan adil, walaupun berlawanan dengan rasa keadilan rakyat banyak. Demikianlah masalah pertama tentang adanya Dewan Jenderal.
KEDUA: Karena ada Dewan Jenderal maka kawan Aidit menjelaskan dengan meyakinkan bahwa ada perwira-perwira maju dan G30S yang mengadakan operasi militer membentuk Dewan Revolusi.
Saya yakin akan kebenaran penjelasan kawan Aidit bahwa memang benar ada perwira-perwira maju tersebut sesudah mendalami pleidoi Sdr. ex Brigjen Suparjo, halaman 5 yang antara lain mengemukakan persoalan sebagai berikut: "Apakah Sdr. Saksi (Sdr. Omar Dani) masih ingat, bahwa saya (Sdr.Suparjo) pernah mengusulkan kepada Saksi (Sdr. Omar Dani) untuk menghadapkan perwira-perwira yang ontevreden terhadap Dewan Jenderal ke hadapan Presiden? Oleh Sdr. Omar Dani dijawab: "masih ingat betul malah lama sebelumnya". Demikian pleidoi Sdr.Suparjo. Perwira-perwira yang ontevreden itulah yang dimaksud oleh Kawan Aidit sebagai perwira-perwira maju yang mempertahankan dan membela politik kiri dan pribadi Presiden Sukarno, ciri politiknya ialah:
(a). Anti-imperialis;
(b). Anti-tuan tanah;
(c) Pro-Nasakom.

Dalam proses sesudah G30S gagal ternyata ciri politik kiri tersebut dilaksanakan oleh perwira-perwira dalam bentuk melawan pendongkelan terhadap Presiden Sukarno yang berkonsekwensi mereka meringkuk dalam tahanan antara lain: Sdr. Kolonel Bambang Supeno, penggali "Sapta Margo" dari rumpun "Browijojo" dan Sdr. Brigjen. Sukendro. Mereka bukan komunis malah bersimpatipun tidak, tapi antara mereka dan PKI ada persamaan politik dalam mempertahankan dan membela politik kiri dan pribadi Presiden Sukarno. Sungguh suatu komedi sejarah, suatu lelucon sejarah, bahwa Indonesia yang ber-Pancasila membungkam penggalinya ialah Bung Karno, dan ABRI yang ber-Sapta Marga membrangus penggalinya ialah Sdr. Kolonel Bambang Supeno. Karena kuasa tentunya tindakan ini adil, walaupan bertentangan dengan rasa keadilan. Sungguh sayang dan sangat saya sesalkan bahwa kawan-kawan Aidit, Lukman dan Njoto yang saya minta sebagai saksi-saksi á décharge tidak dapat didatangkan dengan alasan diplomatis ialah "hingga kini tidak/belum dalam penguasaan yang berwajib". Alasan diplomatis tersebut sama sekali tidak sesuai dengan sifat militer persidangan Mahmilub ini, yang seharusnya bersikap tegas. Kalau sudah ditembak mati katakanlah terus terang di hadapan Mahmilub ini, bahwa mereka sudah "ditembak mati" dengan alasan-alasan yang meyakinkan berdasarkan hukum yang berlaku sah di Republik Indonesia. Jika alasannya tidak meyakinkan tentu saya berhak, tentu saya "gerchtig" untuk bertanya apakah di R.I. sedang berlangsang "terreur dan schrikbewind"? Ya, malahan kawan Lukman ditembak mati bersama kurirnya, kawan Drs. Saleh Junaedi. Berturut-turut kawan Aidit dihabisi sekitar tanggal 25 November 1965, kemudian kawan Njoto di sekitar tanggal 6 Desember 1965, lalu kawan Lukman di sekitar tanggal 30 April 1966. Alasan diplomatis yang biasanya dicap plin-plan oleh kekuasaan militer sekarang adalah tidak sesuai dengan sifat kesatria seorang militer yang dikenal "jujur dalam janji, kata dan konsekwensi perbuatannya". Saya kemudian ingat akan dunia pewayangan ialah sekelumit fragmen dari cerita pakem pedalangan Rama Wijaya tentang penggunaan GUHYA WIJAYA secara salah yang saya ibaratkan sebagai penyalahgunaan kekuasaan secara sewenang-wenang,"Guhija Wijaya" memang senjata ampuh senjata pemunah yang tidak pilih sasaran. Karena ita justru berbahayalah bila senjata itu tidak dikendalikan atas dasar heningnya cipta, kesadaran dengan tujuan untuk mengabdi Kebenaran sebagai dasarnya.
"Pada suatu ketika, sewaktu Ramawijaja menerima percobaan Dewata dengan hilangnya Sinta karena dilarikan Rahwana Raja, maka ia mengeluh. Mengeluh yang disaksikan oleh adiknya Laksmana. Keluhan bathin yang ditujukan kepada kelilingnya Angin, Mega, semak-semak serta pepohonan diumpatnya; mengapa mereka membisu, padahal mustahil bila gunung-gunung dan sebagainya itu tidak tahu kemana perginya Sinta. Gundah hatinya begitu hebatnya, sehingga sejenak lupalah ia akan tugas utamanya sebagai pemayu-ayu jagad raja ini. Merah telinganya, berlinanglah sudut matanya. Dengan gemetar ia meraba astra panah pemanah: dengan Guhya Wijaya ia hendak melebur awan dan dunia. "Laksmana mengetahui dan mengerti gelagad kemarahan kakaknya. Ia segeralah bersimpuh, mencium kaki kakaknya dengan isak yang tak tertahan: "O, kakanda Rama. Paduka hendak berbuat apa lagi? Tahulah hamba dan tahauah semuanya yang paduka panggil bahwa paduka lagi kecewa, pedih dan kesal hati.
Bukanlah semenjak dahalu raja dan brahmana dan kesatria yang merasa diri pernah beramal kebajikan, merasa kecewa di saat-saat tertentu yang tak dikehendaki sendiri? Paduka kini meluapkan gelombang amarah. Hendak melebur bumi dan udara sekaliannya? Bukanlah kita hanya menumpang hidup padanya? Sestungguhnya sesekali manusia akan benci pada diri sendiri. Tetapi bukanlah hidup ini ada: Kesetiaan cinta kasih dan harapan? Ketiga-tiganya adalah kunci abadi. Membuat kita berlembut hati, sabar mau mengalah ikhlas dan tahu berterima kasih.
"Kata para sarjana itulah kunci untuk menjangkau dan mencari cita-cita betapapun tingginya. Dan orang akan sampai padanya. Tidakkah ini merupakan jalan yang lebih baik daripada menuruti genderang dendam hati yang kesal dan murung, sehingga paduka hendak melebur bumi dan adara dengan senjata pemunah Guhya Wijaya.
"Mendengar isak adiknya itu, luluhlah amarah Rama. Dengan lemas lunglai dipeluknya adiknya, setelah menurunkan busur yang telah siap direntang, keduanya malah menjadi menangis berpelukan. Alam turut terharu menyaksikannya. "Atas ketajaman pandangan kewaaspadaan serta kebijaksanaan Laksmana, terhindarlah dunia dari malapetaka, dan terhindarlah senjata ampuh Guhya Wijaya dari keruntuhan dan kehancuran. Itulah sekelumit fragmen dari cerita dunia pedalangan. Dari fragmen itu saya dapat menarik pelajaran supaya jangan sampai karena mentang-mentang berkuasa terus main- main serampangan, main gebyah uyah karena kekecewaan, kepedihan dan kekesalan hati, menggelombangkan diri dalam amarah. Jika tidak dalam amarah dan merasa dirinya benar dan kuat, maka kekuasaan militer sekarang tidak usah mematikan kawan-kawan Aidit, Lukman dan Njoto tanpa melalui proses pengadilan. Demi sembojan Mahmillub sendiri jaitu "Pro Justisia" atau "untuk keadilan" dan bukannya karena 'dumeh Kuasa" ("mentang-mentang kuasa"), saya mengharapkan jawaban apakah tindakan itu adil dan sesuai dengan rasa keadilan rakyat banyak untuk membina supaya kita benar diri tidak lupa daratan maka seorang Jawa biasa berselogan "Ojo dumeh" yang terasa sukar bagi saya untuk menemukan terjemahannya yang sreg dalam bahasa Indonesia. Kalau diurai kenapa karena "mumpung" atau "dumeh kuasa" bartindak sewenang-wenang diperingatkan secara halus dengan "ojo dumeh"? Saja berpendapat bahwa sebab musababnya masalah ini timbul adalah sebagaimana diterangkan oleh Sdr. MJ Prajogo, kalau tidak keliru perwira CPM dalam tulisannya dimajalah Tentara, pada tahan 1964, sebagai berikut: "dengan meningkatnya usia, baik dari individu maupan organisasi; biasanya timbul kecenderungan mengingkari adanya perobahan dan pembaruan dan yang akan lebih suka untuk mengadakan pembatasaan-pembatasan itu dikira akan tercapai suatu stabiliteit dalam hal pemikiran, perasaan serta keadaan, suatu stabiliteit dalam suatu kehidupan." Saya sangat setuju dengan pendapat sdr. M.J. Prajogo ini dan apabila rumus Sdr. M.J. Prajogo itu diuji kebenarannya dapat ditemukan dalam tulisan Sdr. Ds. P.T. Sarumpait, kolonel Tituler dari Pusroh Protestan AD, dalam bakunya kalau tidak keliru "Kepribadian TNI dan seterusnya..... yang antara lain mengemukakan risalah sebagai berikut: "Tugas dari TNI lebih mengandung arti melayani pemerintah Negara dan masyarakat. Melayani dalam arti yang baik yaitu: menyediakan diri untuk kebahagiaan semuanya. Salah satu akibat dari keadaan S.O.B. yang terlalu lama ialah bahwa seorang tentara tidak merasa dirinya lagi sebagai bayangkari, tetapi sudah lebih merasakan dirinya sebagai penguasa dan insyaf atau tidak insyaf tindakannyapun menunjukkan corak itu pula; kita juga menginsyafi benar-benar bahaya yang mengancam apabila, pembela masjarakat itu beralih menjadi penguasa. Mungkin didalam hal inilah nilai daripada "baju ijo" yang dulunya sangat tinggi di mata masjarakat makin lama makin luntur, makin tidak mendapat simpati dari masjarakat. Kiranya aspek melayani ini jangan sampai hilang dari kepribadian TNI. Dan sejajar dengan itu TNI adalah pembela. ..rakyat dan bukan penguasa dan lain sebagainya. Memang setiap orang dapat mengakui bahwa tugas seorang tentara adalah bangat berat. Tetapi janganlah oleh karena itu, seorang tentara menganggap dirinya diperbolehkan melakukan tindakan-tindakan yang bisa menimbulkan kerugian moril dan tentara itu sendiri dan juga mungkin juga bisa menyakiti hati rakyat dan pemerintah. Dengan menetapkan diri sendiri saya sengaja mengambil pendapat-pendapat orang-orang bukan komunis dan juga tidak dari sarjana-sarjana Belanda atau lainnya, supaya kita dapat menggali dari dalam masyarakat Indonesia sendiri. Semua yang saya katakan tersebut di atas adalah fakta-fakta dan pepatah Inggeris menyatakan, bahwa "facts are stronger than words" (fakta-fakta adalah lebih kuat daripada kita). Sangguh interesant dan apakah kiranya yang akan dikatakan oleh sdr. Ds. P.T. Sarumpaet setelah sebagian Jenderal menetapkan bahwa AD adalah faktor stabilator dan penentu sebagai hasil dari seminar AD setahun yang lalu. Andaikata hal yang sama yaitu menetapkan diri sebagai faktor stabilator dan penentu" ini dikatakan oleh PKI pasti akan digegerkan "Zie je nou wel, PKI mau menang sendiri."
Sebagai faktor stabilator dinamisator dan penentu, maka saya berpendapat, bahwa:
(a). AD sebagai penentu atau bisa terjadi disesuaikannya politik Jenderal-jenderal kanan AD untuk mempercepat dan memperbanyak penyesuaian politik tingkat atas, sehingga jumlah Jenderal makin menjadi bertambah. Dalam Komisi C DPR-GR AD dulu pernah dihitung-bitung bahwa jumlah jenderal tidak kurang dari 150 membawai kekuatan tentara kurang lebih 350.000. Ini berarti seorang Jenderal membawai lebih kurang 2500 anak buah, atau seorang jenderal memimpin satu Resimen, padahal kenjataannya suatu resimen pada umumnya dipimpin oleh seorang Letnan Kolonel,
Selama sebagai anggota Komisi C DPR-GR dapat saya mengerti perassan tidak puas tentang pengangkatan-pengangkatan politik yang kadang-kadang terjadi naik sampai 2 kali naik pangkat setahun.
Ketidakpuasan itu tercermin dalam cetusan-cetusan seperti: "nggak naik pangkat nggak petheken" (tidak naik tidak mengapa, dalam nada serius ada Kolonel blawuken - lumuten atau SH akan seumur hidup, artinya sekali Kolonel tetap Kolonel, karena kebetulan tidak dekat dengan pihak atasan yang berwenang memberi kenaikan pangkat politik.
Hal-hal demikian bisa menimbulkan apati atau sinesme dikalangan para perwira yang bisa membahayakan spirit juangnya dalam tugas pertahanan. Saya tidak mengatakan bahwa dengan demikian akan terjadi inflasi jenderal, tidak. Tapi yang terang banyak jenderal yang tidak langsung aktif dalam dinas militer, karena dapat penugasan dibidang-bidang non militer. Saya takut bahwa akibatnya ialah sebagai militer mengurus semua bidang kecuali bidang militer itu sendiri.
Mudah-mudahan saja jangan sampai demikian. Lazimnya jika atasan penuh dengan kesibukan lupa pada bawahan, dan sesudah hampir 22 tahun merdeka, untuk naik pangkat dan prajurit Bintara harus melalui jenderal-jenderal: 1. PRADA, 2. PRATU, 3. PRAKAT 4. KOPDA, 5. KOPTU, 6. KOPKA, 7. SERDA, 8. SERTU, 9. SERKA, 10. SERMA, ll.PELDA dan 12 PELTU. Jadi untuk naik pangkat dari Tamtama menjadi Bintara dibutuhkan 12 jenjang, dan jika kenaikan sejenjang dibutuhkan 2 tahun, maka baru dalam waktu tidak kurang dari 10 tahun baru menjadi Bintara dan sekaligus dipensiunkan. Hal lain tentunya sudah sama-sama kita maklumi bahwa bawahan kalau dapat IB (izin libur) terpaksa tidak dapat menggunakannya, walaupun sudah diusahakan dengan setengah mati melalui "ngobyek" atau "cari rejeki". Kalau toh pergi, terpaksa menjawab "orba" sewaktu ditarik karcis "orba" bukannya "orde baru" tetapi dalam hal "Ora Bayar". Kecuali itu bukannya suatu rahasia lagi, bahwa ini bawahan makan rangsum dengan lauk tempe atau tahu raup (cuci muka), artinya dengan tempe dan tahu godok yang tidak masak betul. Semua ini perlu saya kemukakan untuk menunjukkan bahwa nasib bawahan sudah betul-betul mepet, mereka betul-betul hidup sebagai "prajurit, dalam arti perasojo, jujur lan arif" (sederhana, jujur dan hemat). Sebabnya hal-hal yang sampai demikian itu bisa terjadi karena sampai sekarang belum ada U.U. Pokok Pertahanan sebagai sumber untuk mengatur perundang-undangan organik lainnya. Tujuannya yalah tak lain kecuali untuk meletakkan dasar dasar pertahanan R.I. dan menyederhanakan jenjang pangkat, dengan maksud mendekatkan atasan dan bawahan. Sewaktu masih menjadi anggota Komisi C DPR-GR dan Wakil Ketua Sub Komisi C (Pertahanan) MPRS dsb itu telah saya ajukan.
Ini perlu saya kemukakan untuk membuktikan bahwa saya dan PKI tidak seujung rambut-pun anti ABRI, dan PKI pernah menjelogankan "Dwitunggal, ABRI dan rakyat" dan untuk Tertib Sipil Bantu Polisi". Jang benar-benar ialah saya dan PKI tidak setuju politik kanan beberapa jenderal AD.
(b). AD sebagai penentu akan bisa menjurus kearah politik jenderal-jenderal kanan AD di bidang anggaran belanja AD dengan menyedot anggaran belanja keatas yang berakibat tidak menguntungkan bawahan. Tentang anggaran belanja negara, tepat apa yang dikatakan Presiden Sukarno dalam pidatonya 17 Agustus 1966, bahwa sebagian besar anggaran belanja negara adalah untuk ABRI lebih kurang 60%, dan dari sekian besar anggaran belanja itu yang terbesar ialah untuk AD.
Demikian juga tentang pinjaman dari luar negeri sebesar 2, 3 miljard dolar AS, dimana yang l, 3 miljard dolar AS adalah dari Uni Sovyet, benarlah bahwa sebagian besar anggaran belanja itu digunakan untuk perlengkapan modernisasi ABRI. Jika betul-betul mau jujur, mustahilah kalau sdr Jenderal Nasution tidak tahu, bahwa selama menghancurkan pemberontakan PRRI/PERMESTA dari RRC didapat bantuan senjata seharga lebih kurang 28, 8 juta dolar AS yang kemudian ditiadakan (di-kwyschedea) pinjaman itu oleh permintah RRC dengan alasan bahwa persenjataan itu digunakan untuk menghancurkan karena kontra revolusioner yang berpolitik satu dengan imperialisme AS. Andaikata bukan Presiden Sukarno yang dikenal berpolitik kiri dan anti-imperialis, saja rasa Uni Sovyet dan RRC tidak akan memberi bantuan, dan tanpa bantuan tersebut tentu perkembangan ABRI tidak akan semodern seperti sekarang.
Hati siapa yang tidak memberontak menatap kenyataan, bahwa Presiden Sukarno yang berjasa dalam memodernkan ABRI didongkel, sedangkan pengkhianat dr. Sumitro yang sudah mengabaikan keadaan finek Indonesia, dan pernah mengatur perongrongan diluar negeri terhadap R.I. mendapat kehormatan menduduki singgasana penasehat ekonomi pemerintah. Pengkhianat dr Sumitro yang sudah terang-terangan ikut serta memimpin pemberontakan membentuk negara di dalam negara R.I., dinyatakan masalahnya sudah beres (clear) dan pengkhianatannya dianggap tidak ada, sedangkan G-30-S yang jelas-jemelas tidak membentuk negara dalam negara, tapi tetap taat pada Presiden/Pangti ABRI Sukarno sudah banyak yang telah dijatuhi hukuman mati Timbulah pertanyaan, apakah tindakan itu sungguh-sungguh sesuai dengan rasa keadilan rakyat. Jika dijawab, yah, adil. maka sebagai putra Indonesia, saya berhak menyatakan bahwa sudah terang-terangan tersisihkan "the rule of law" oleh "the rule of will" kalau tidak boleh dikatakan "the rule of power". Jika ini didiamkan, saya takut menjadi kenyataan ucapan Ki Dalang dalam dunia pewayangan pada waktu menggambarkan ketidakadilan Rahwana Raja pada saat mengusir adiknya Wibisono, sebagai berikut: Jojo bang ma-wingo-wingo, sapa siro sapa ingsun, kuntul den arangi dandang, dandang den arani kuntul". Terjemahannya kurang lebih "perduli amat", saya berkuasa, dapat mengatakan putih sebagai hitam dan hitam sebagai putih", saya mengharap berdasarkan "pro Justitia" tidak terjadi hal yang demikian. Dan melalui sidang Mahmilub ini saya menyatakan bahwa saya menyatakan solidaritas saya dengan keluarga Kader-kader PKI yang dibakar hidup-hidup di Situjuh Sumatra Barat oleh PRRI/PERMESTA; saya menyatakan solidaritas saya dengan para janda prajurit yang menyatakan rasa tersinggung kemanusiaannya berkenaan dengan dibenarkannya pengkhianat Dr. Sumitro untuk tinggal di Indonesia dengan tidak melalui pangadilan yang meyakinkan . Kembali tentang anggaran belanja Angkatan Darat pengalaman saya selama dalam Komisi C DPR-GR ialah amat sulit menelitinya sebab selalu terbentur kepada mata-anggaran pro menteri" dan mata anggaran khusus". Dan kalau diminta penjelasan lebih lanjut dijawab rahasia militer, sehingga berhentilah untuk meneliti selanjutnya, dan dalam komisi C DPR-GR menjadi persoalan sampai kemana pengertian dan batas-batas rahasia militer itu. Semua ini tentunya sdr. Jenderal Nasution tahu sebab saya sebalum tertangkap pernah membaca koran yang memberitakan bahwa sdr. Jenderal Nasution tidak membenarkan bahwa tidak bahwa anggaran belanja negara sebagian besar adalah untuk ABRI. Hal itu diucapkan sesudah pidato Presiden Sukarno tanggal 17 Agustus 1966. Dalam rangka anggran belanja negara penting sekali penelitiannya penggunaannya apakah betul-betul berguna. Ada baiknya 'Operasi Budi" dilakukan lagi secara jujur dengan tidak mengenal bulu. Sebab menurut adr. Jenderal Nasution katanya "operasi Budi" dulu dihentikan kerena dilarang oleh Presiden Sukarno, Saya tekankan supaya dilakukan kembali "operasi Budi" dengan jujur, untuk mencegah jangan sampai kalau mengenai "konco atau lingkungannya sendiri" dengan macam-macam akal diberi ulasan "Hij is rijk van huis uit" (ia kaja sejak dari rumah semula), tapi kenjataan sebenarnya adalah "hij is bedelaar van huis uit, en wordt rijk door te breken langs de hiuzen heen" (ia adalah pengemis dari rumah semula dan menjadi kaya dengan mendobrak dari rumah kerumah). Semua itu saya lakukan demi nama baik Angkatan Darat dan saya tidak ada niat untuk merongrongnya.
(c). Sebagai penentu mengharuskan para Jenderal kanan Angkatan Darat bertanggung jawab dalam menentukan haluan dan politik negara.
Untuk itu mereka benar-benar meneliti diri dan apakah sudah mempraktekkan hal-hal yang sudah ditulis didalam buku yang sudah saja sebut di depan oleh Saudara Ds. P.T. Sarumpaet, yaitu sebagai berikut.
"untuk menjalankan politik apalagi mengamankan politik, sangat diperlukan keahlian yang dapat dicapai dengan banyak belajar, banjak bergaul dengan rakyat, sehingga paham akan kesukarar-kesukaran dan keperluan-keperluannya."
Apakah hal-hal tersebut sudah dipenuhi? Yang paling bisa menjawab dengan tepat ialah -Jenderal-Jenderal kanan sendiri, apakah mereka banyak bergaul dengan rakyat sehingga paham akan kesukaran-kesukaran dan keperluannya.
Jika ada kebebasan demokratis maka rakyatpun akan bersuara.
Jika PKI dalam keadaan legal, maka PKI akan lebih bebas tampil kedepan menyuarakan suara rakjat itu.
Demi kepentingan rakyat inilah PKI berjuang dan saya menyatakan terima kasih kepada Saudara Oditur yang terhormat sebab:
PERTAMA, Saudara Oditur yang terhormat telah mencap PKI sebagai makhluk-makhluk iblis, dan PKI memang benar-benar iblis yang akan mengikis habis kaum Imperialis dan feodalis;
KEDUA, Sudara Oditur yang terhormat telah menempatkan diri dipihak bukan tani dan kaum pekerja lainnya, karena sudah menetapkan bahwa kaum tani dan pekerja kurang memiliki kewaspadaan.
Bagi PKI kaum tani dan pekerja lainnya adalah sumber dari segala kreasi, mereka adalah yang paling waspada, dan kalau mau bicara tentang kurang waspada maka pada saat tertentu malahan bisa dilakukan oleh PKI, jadi PKI bisa salah tapi rakyat tidak pernah salah;
KETIGA, Saudara Oditur yang terhormat telah mengakui adanya produk-produk legislatif dan pelaksanaannya dari PKI dalam bidang agraria dan tenaga kerja pada umumnya.
Dengan pengakuan ini, jelaslah bahwa PKI tidak berbuat jahat bagi rakyat banyak. Andaikata kaum Komunis itu jahat, maka jumlah Komunis tidak mungkin berkembang dari hanya dua orang, yaitu Karl Marx dan Friedrich Engels, selama 119 tahun dihitung sejak keluarnya "Manifesto Komunis" (1848) menjadi lebih kurang 40 juta sekarang di seluruh dunia, dan memegang tampuk pimpinan Negara untuk lebih kurang sepertiga penduduk dunia atau lebih dari 1.000 juta umat manusia, di sebagian Eropa, Asia dan Amerika Latin.
KEEMPAT, Saudara Oditur yang terhormat menetapkan PKI sebagai "an invisible man", yang dapat saya artikan "PKI is nergens maar overal" (PKI itu tiada tapi ada di mana-mana).
Dengan demikian di sidang Mahmilub ini sebenarnya secara hakekat ada pengakuan bahwa keyakinan itu tidak dapat diberangus. Menurut hukumnya kalau keyakinan itu benar-benar mengabdi pada rakyat banyak pada akhirnya pasti menang, kalau meminjam bahasa rakyat adalah "wolak-waliking jaman" atau roda dunia berputar".
Saya tetap jakin, walaupun PKI sekarang dilarang tetapi sejarah pasti membebaskan PKI Dan Marxisme - Leninisme tetap bersemayam dalam hati tiap Komunis.
KELIMA, Saudara Oditur yang terhormat dalam keterangannya menambahkan, bahwa "PKI adalah racun", dan memang benar "PKI adalah racun yang mematikan bagi kaum-kaum penghisap, penindas dan pemeras rakyat, tapi PKI sekaligus racun obat penyegar tubuh rakyat".
Bagi saya, segala sesuata tidak hanya bersegi tunggal, tapi bisa bersegi dua, atau bersegi banyak. Misalnjy tubuh manusia tak bisa tumbuh tanpa phospor, atau phospor termasuk racun yang mempunyai daya mematikan kuman disamping daya menumbuhkan tulang.
Sekali lagi terimakasih kepada Saudara Oditur yang terhormat untuk hal-hal tersebut di atas.
Sekarang saya mau kembali kepada tulisan Saudara MJ Prajogo dalam majalah yang sama seperti yang saja sebutkan di depan, yang memberi alasan, bahwa dalam kecenderungan-kecenderungan untuk mengingkari adanya perubahan dan pembaharuan, maka:
"Orang akan lebih mementingkan pangkat dan kedudukan daripada tugas kewajiban; lebih mementingken ketenangan hidup dan kemewahan daripada jasa yang bisa ditunaikan; lebih suka untuk berpegang teguh-teguh pada pengalaman yang dikodifiikasikan daripada pemikiran kreatif; lebih suka akan keamanan yang berdasarkan pengalaman daripada kesempatan untuk mencoba memperbaharui pemikiran dan keadaan". Demikian sdr. MJ Prajogo, dan menurut pendapat saya, contoh konkritnya ialah:
a. Sebelum menjadi Ketua MPRS, sdr. Jenderal Nasution satuju pemilihan umum segera diadakan paling lambat pada tehun 1968, tetapi sesudah menjadi Ketua MPRS dan berhasil menjatuhkan Presiden Sukarno, mengatakan setuju jika pemilihan umum tidak terlaksana tepat pada waktunya alias setuju pemilihan umum diundur. Saya tidak mengatakan, karena adanya sikap tersebut, bahwa sdr. Jenderal Nasution ada plin-plan atau munafik, sebab yang.paling mengetahui keplin-planan dan kemunafikan sdr. Jenderal Nasution adalah sdr. Jenderal Nasution sendiri. Saja sadar bahwa sikap itu adalah politik.
b. Saja dan Sdr. Nasution bersama-sama menjadi anggauta MPRS sebelum diompongi seperti sekarang ini, sebab keanggotaan MPRS sekarang lebih banyak-jumlahnya yang diangkat dari yang dihasilkan oleh pemilihan Umum yang lalu. Dan sesama anggauta MPRS menyetujui pemberian gelar untuk Presiden Sukarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, yang masing-masing suara kita berdua dibawa oleh stemmotevering ksi PKI bagi saja dan oleh stemmotevering Kelompok Karyawan ABRI bagi Jenderal Nasution. Sesudah menjadi ketua MPRS, maka sdr. Jenderal Nasution setuju dengan penanggalan gelar bagi Presiden Sukarno. Jika mau ditarik garis lempang semestinya di satu pihak setuju dengan menanggalkan gelar bagi Presiden Sukarno, maka di lain pihak seharusnya menolak pemberian gelar baginya sendiri, walaupun itu baru gelar dari Kampungnya sendiri, yaitu sdr. Jenral Nasution kalau saya tidak keliru: Raja Iskandar, setiap orang tahu bahwa seorang memanjat bukannya dari atas, tetapi seorang memanjat tetap dari bawah dan jatuh dari atas. Dalam hal ini saya tidak mengemukakan bahwa sdr. Jenderal Nasution tidak konsekwen, sebab ketidak konsekwenan sdr. Jenderal Nasution adalah sdr. Jenderal Nasution sendiri yang paling tahu, saya sadar bahwa samua itu adalah politik.
c. Para tahanan G.30.S. dipenjara Salemba bisa ditanya bahwa dengan meminjam istilah sdr. Oditur yth., yaitu pada tanggal yang tidak dapat ditentukan lagi dengan pasti, setidak-tidaknya pada bulan Agustus 1966, jadi sebelum saya tertangkap, pernah sdr. Nyonya Jenderal Nasution datang dipenjara tersebut, dan menjumpai para tahanan yang tersangkut dengan penembakan terhadap sdr. Jenderal Nasution. Kedatangan sdr. Nyona. Jenderal Nasution itu dirasaken oleh para tahanan yang bersangkutan sebagai sesuatu yang janggal, dan bukannya sekedar "bezuk", tetapi dirasakan sebagai seorang pemeriksa yang mangajukan bertubi-tubi pertanyaan. Meminjam parool atau semboyan hukum sdr. Oditur yth, ialah: "bahwa setiap orang dianggap mengenal hukum" ("ieder wordt geacht de wet te kennen"), apakah menurut hukum yang ada dan berlaku sah di Republik Indonesia, tindakan Sdr. Ny. Jenderal Nasution itu dapat dibenarkan? Kalau dibenarkan pasal-pasal KUHP manakah yang mangatur atau perundang-undangan manakah yang mengaturnya? Saya takut bukannya menuduh, kalau "Orde Baru" sudah menggariskan bahwa seorang isteri pembesar haruslah dianggap pembesarnya itu sendiri dan bisa bertindak sesuai dengan fungsi suaminya, atau suami bisa mendelegeer (mendelegasikan) bisa memberi mandaat, bisa menguasakan kekuasaanya kepada isterinya. Jika ini betul maka saya hanya bisa bergeleng kepala dengan menyebut "bukan main"
Semua perasaan dan pikiran yang saya pandang ada hubungannya dengan diajukannya saya di depan MAHMILUB ini dengan sadar saya tenangkan supaya pihak Mahkamah cukup memiliki bahan-bahan pertimbangan untuk menentukan penilaian yang dapat mendekati objektiefitet. Saya berusaha keras dengan tangan terbuka dan dada lapang menjayakan beribu-ribu terima kasih kepada semua penilaian yang ditujukan pada diri saya, baik dari kawan maupun lawan, baik negatif maupun positif. Khusus kepada sdr. Oditur yang terhormat saya mengangkat topi dan menyatakan terima kasih bahwa masih mempunyai "moed" dan mau menyatakan antara lain bahwa "saya dalam sidang Mahkamah ini menunjukkan sikap yang sopan". Saya berpendirian bahwa penting sakali menerima segenap penilaian-penilaian itu, supaya dalam sisa-hidup saya yang masih menyisa, semua penilaian itu dapat saya gunakan, untuk:
1. memeriksa diri,
2. mengenal diri,
3. memperbaiki diri.

Saya berpendapat tidak mungkin seorang dapat memperbaiki diri tanpa mengenal diri, dan bohong besar seseorang yang menyatakan telah mengenal diri tanpa melakukan pemeriksaan diri. Inilah pangkal utama untuk memberanikan diri melakukan kritik terhadap diri sendiri sebagaimana saya telah berusaha untuk melaksanakannya. Kritik trhadap diri sendiri itu berjudul: "TEGAKKAN PKI YANG MARXIS-LENINIS UNTUK MEMIMPIN REVOLUSI DEMOKRASI RAKYAT. Agar rakyat banyak dapat menilai secara tepat, saya mengusulkan supaya kritik terhadap diri sendiri itu dapat menjadi lampiran dari "Uraian tangung-jawab" ini, sehingga samua menjadi terbuka.
Sikap terbuka bagi rakyat banyak yang demikian itu adalah sepenuhnya sesuai dengan ajaran PKI. Sikap terbuka bagi rakyat banyak yang demikian akan menembus keheningan dan memancarkan rasa tenteram, sebab pada hakekatnya orang harus belajar untuk setiap kali meninggalkan bentuk pandahuluan daripada usaha dan hasil kerjanya, dan harus selalu mencari bentuk-bentuk baru. Orang tidak akan dapat berhenti dan mengaso untuk menikmati hasil-hasil kerjanya, karena hal yang demikian itu merupakan suatu pengkhianatan terhadap sikap sendiri dan terhadap tuntutan yang dibebankan kepada generasi baru Indonesia. Dengan terus menerus orang harus mengatasi (transcenderen) diri sendiri, meninggalkan diri sendiri beserta kepentingan-kepentingannya, dan juga meninggalkan hasil-hasil kerjanya yang sudah pernah dicapai. Berdasarkan keterangan inilah PKI menggariskan:
  1. Tundukkan kepentingan pribadi bagi kepentingan umum, sehingga berlaku semboyan-semboyan: a. Partai adalah saya, tapi saya bukannya Partai; b. Hati lebih keras daripada lapar; c. Tak seorang, berniat pulang walau mati menanti.
  2. rakyat pekerja adalah kreator segala keindahan, maka itu PKI mendidik anggautanya untuk cinta kepada kerja dengan slogan 3 baik: - bekerja baik; - belajar baik, - moral baik.
  3. Dalam memimpin aksi-aksi rakyat, PKI mendasarkan diri kepada 4 jelas: - jelas tuntutan; - jelas sandaran; - jelas sekutu; - jelas sasaran.
  4. Dalam menempuh hidup supaya teguh memegang prinsip 4 kuat yaitu: - Kuat mencintai rakyat, PKI dan Revolusi; - Kuat membenci musuh-musuh rakyat, PKI dan Revolusi; - Kuat pahit dalam arti tahan dalam derita; - kuat manis dalam arti tetap sederhana sewaktu berfungsi sosial penting.
  5. Dalam malaksanakan solidaritas internasional supaya dipadukan patriotisme dengan internasionalisme proletar, untuk melawan sovinisme dan sekaligus melawan cosmopolitanisme.
  6. Dalam melakukan kritik dan kritik terhadap diri sendiri supaya bersikap keras terhadap diri sendiri dan bijiaksana trhadap orang lain. Hal ini dimaksud supaya setiap Komunis teguh memegang prinsip dan luwes dalam peneterapannya.
  7. Dalam menghadapi kesukaran dan kesulitan supaya berani, pandai dan waspada secara ravolusioner dengan menjunjung tinggi semboyan: "sanantiasa mengharap yang baik, tapi siap untuk yang paling sulit".
Tujuh garis PKI itulah yang menuntun saya untuk mengabdi tanpa reserve kepada rakyat, Partai dan Revolusi. Saya berusaha keras untuk merealisesikannya dalam praktek dengan suatu keyakinan Komunis bahwa dalam praktek revolusioner saya pasti terdapat kekurangan dan kesalahan. Karena bekerja dan berjuang tentu terdapat kekurangan dan kesalahan, sebab hanya orang yang tidak bekerja dan tidak berjuang saja yang tidak berbuat salah. Maka itu saya mengharap adanya pengertian dari pihak Mahkamah akan pikiran dan perasaan saya, bahwa bagi pribadi saya kehadiran kawan-kawan Aidit, Lukman, dan Njoto adalah sangat penting. Sebab saya berjuang tidak untuk menipu rakyat banyak dan saya berjuang juga tidak untuk ditipu oleh kawan-kawan separtai saya. Selama saya dalam parjuangan mengenal kawan-kawan Aidit, Lukman dan Njoto, maka mereka belum dan tidak pernah menipu saya dan saya mempunyai keyakinan bulat, bahwa meraka tidak akan dan tidak mau menipu saya, Mengingat bahwa mereka bertiga telah mati, maka "het gaat tegen mijn geweten in" (bertentangan dengan hati nurani saya) untuk mempersoalkan perbuatan-perbuatan diri mereka yang telah mati, apalagi menyalahkannya justru dalam sesuatu kegagalan. Juga "het gaat tegen mijn geweten in" untuk menjebut nama kawan-kawan separtai saya dan tempat-tempat yang telah memberi perlindungan pada saya selama berjuang di bawah tanah, sehingga saya berpendirian untuk tetap tidak mau menyebut nama dan tempat kawan, dan terima kasih kepada semua sdr. Pemeriksa yang mau mengerti akan pendirian saya itu.
Juga "het goat tegan mijn geweten in" untuk berdebat dengan kawan-kawan separtai saya yang dihadapkan sebagai SAKSI, sebab saya tidak mau ditarungkan dengan kawan-kawan separtai saya dalam sidang Mahmilub ini; saya menggarisbawahi pernyataan sdr. Hakim Ketua yth., yang menegaskan bahwa persidangan,ini adalah Mahkamah dan bukannya rapat; dan tepat keterangan sdr. pemeriksa Major Udara Trenggono SH pada saya bahwa dalam sidang Mahmilub saya bisa di-expos, hal mana sedapat mungkin harus saya hindari .
Berdasarkan keterangan tersebut di atas dan justru karena G-30-S. gagal, maka saya perlu menandaskan, demi tanggung jawab dan demi solidaritas Komunis, bahwa:
Pertama: Karena kawan-kawan Aidit, Lukman, Njoto dan Sakirman sudah mati, maka saya ambil oper tanggung-jawabnya segenap perbuatan politik mereka dalam rangka G.30.S.
Kedua: Walaupun saya tidak ikut membuat Dekrit, tidak ikut menyusun komposisi Dewan Revolusi; tidak berada di Halim, Lubang Buaja atau Pondok Gede baik di sekitar maupun pada saat dicetuskannya G.30.S., tapi karena semua perbuatan itu adalah perbuatan oknum-oknum anggauta PKI, maka saya ambil oper tanggung-jawabnya, dan;
Ketiga: dengan penegasan tersebut di atas maka menjadi makin jelas bahwa G.30.S. adalah tanggung-jawab TERTUDUH SUDISMAN dan bukannya tanggung-jawab PKI.
Sesuai dengan rasa tanggung-jawab tersebut di atas perlu saya kemukakan, bahwa terasa sukar untuk menjawab pertanyaan sdr. Hakim Ketua yang terhormat, yang berbunyi: 'Apakah sdr. Tertuduh merasa menyesal atas perbuatan-perbuatannya?
Pertanyaannya sendiri memang sederhana, tapi jawabannya yang sukar, dan lazimnya sesuatu yang sederhana itulah yang sukar sebab tidak mungkin hanya dengan menjawab "YA" atau "TIDAK" tanpa suatu pemikiran dan penerangan. Akhirnya demi keyakinan Komunis saya, demi tanggung jawab saya, demi solidaritas Komunis, saya terhadap kawan-kawan Aidit, Lukman, Njoto dan Sakirman selaku "wapensbroeders" saya yang telah mati, saya membulatkan diri saya untuk mengatakan tidak menjesal. Tapi dibalik itu saya menyadari adanya korban jatuh, dan untuk itu tidak ada lain jalan sebagai seorang Komunis, kecuali saya hening sejenak menundukkan kepala.
Sekarang bertolak kepada rasa tanggung jawab, ingin saya kemukakan fakta-fakta sebagai bahan penilaian MAHMILUB, yaitu bahwa baik dalam sidang-sidang Dewan Harian Politbiro CC-PKI maupun sidang-sidang Politbiro CC-PKI oleh kawan Aidit dijelaskan bahwa para Perwira maju mau mengadakan operasi militer dan tidak pernah mengemukakan bahwa PKI mau mengadakan operesi militer, dan oleh kawan Aidit juga tidak pernah dikemukakan bahwa PKI mau mencetuskan revolusi pada saat itu. Jika hal ini yang, dikemukakan oleh kawan Aidit dalam sidang Dewan Harian Politbiro CC-PKI dan sidang Politbiro CC-PKI, maka walaupun saya masih ada kelemahan-kelemahan tertentu di dalam pengertian teori Marxisme-Leninisme, tapi terlalu tolol bagi saya untuk menyanggahnya karena tidak ada Partai Komunis yang bisa mencetuskan revolusi, dan juga tidak ada Partai Komunis yang dapat dibenarkan mengadakan dan memimpin sendiri operasi militer dalam artian aventurisme militer.
Timbul kemudian pertanyaan, apakah dapat dibenarken suatu Partai Komunis mendukung suatu operasi militer semacam G.30.S.? Jawabannya: bisa dan tidak.
Bisa: Ya, jika operasi militer bersifat revolusioner, seperti G.30.S. Karena G.30.S itu mempertahankan anti penjajahan, anti tuan tanah dan kebijakan pro Nasakom dari Presiden Sukarno dan secara nyata melindungi pribadi Presiden Sukarno. Adakah contoh di luar negeri tentang terjadinya suatu operasi militer yang revolusioner? Ada, yaitu salah satu diantaranya ialah operasi militer Kolonel Kasim yang anti imperialis menjatuhkan pemerintahan El Nuri yang pro-imperialis. Hasilnya pemerintahan Irak yang berpakta militer Bagdad dengan Imperialis Amerika Serikat, diganti menjadi Pemerintahan Irak tanpa, Pakta Bagdad, tanpa pakta militer dengan Imperialis Amerika Serikat.
Sekarang jawaban kedua: yaitu tidak dapat mendukung suatu operasi militer, jika operasi militer itu reaksioner yaitu seperti:
Pertama: kudeta ex Letkol. Zulkifli Lubis dan ex Major Zaelani Komandan Rekad sebagai proloog pemberontakan PRRI/PERMESTA yang anehnya pemberontak ex. Letkol. Lubis sekarang sudah bebas tanpa diajukan di depan pengadilan;
Kedua: kudeta yang gagal, 17 Oktober 1952, oleh sdr. Jenderal. Nasution dengan menempatkan moncong-moncong meriam menghadap Istana Merdeka yang berarti ditujukan kepada Presiden Sukarno yang berpolitik anti Imperialis. Karena dukungan rakyat terhadap Presiden Sukarno dan karena keteguhan Presiden Sukarno, maka kudeta itu dapat digagalkan yang mengakibatkan jatuhnya sdr. Sultan Hamengkubuwono selaku Menteri Pertahanan dan di nonaktifkannya sdr. Jenderal Nasution. Malahan peristiwa 17 Oktober 1952 yang nyata-nyata konkrit ada oleh sdr. Jenderal Nasution dinyatakan tidak ada, karena sudah diselesaikan secara intern dalam Angkatan Darat dengan antara lain Ikrar Yogya dan sebagainya. Ini berarti mengabstrakkan sesuatu yang konkrit. Jika peristiwa 17 Oktober 1952 boleh diabstrakkan sebagai pemberontakan (opstand) melakukan makar (aanslag) yang didahului dengan mengadakan permufakatan jahat (samenspanning), apakah ini bukannya "emban cinde", "emban siladan" (pipih kasih). Padahal kenyataanya sebagaimana tercantum dalam halaman 14 Pleidooi sdr. ex. Brigjen. Suparjo ialah sebagai berikut:
"Tertudah (sdr. Suparjo) diminta bantuannya untuk membuat teks pengumuman bahwa Presiden dalam keadaan selamat, sehat. Teks diperlukan agar rakjat segera mengetahui tentang situasi Presiden. Dan diumumkan melalui Istana oleh Letkol. Marokeh. Saksi (Brig. Jen. Moch. Sabur) mengusulkan agar Presiden segera pindah dari Halim. Tetapi Presiden menjawab bahwa untuk sementara tinggal di Halim saja, untuk mengasakan sidang dengan menteri-menteri di Halim. Komentar saya (sdr. Suparjo) dari ketarangan saksi menunjukkan bahwa Kepala Negara vult zich op zijn gemak - berarti tidak ada tekanan physik maupun psychis".
Dari penandasan Pleidooi sdr. Suparjo tersebut di atas sebetulnja gamblang bahwa Presiden Sukarno tidak diganggu gugat oleh G.30.S. dan tetap dalam fungsi sebagai Presidan yang menurut fasal 4 Undang-Undang Dasar '45 dinyatakan, bahwa "Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan Pemerintah menurut Undang-Undang Dasar" berdasarkan fakta ini jelas bahwa:
  1. G.30.S. secara konkrit menyelamatkan Presiden Sukarno.
  2. G.30.S. taat kepada Presiden, dengan bukti-bukti bahwa sdr. Let.Kol. Untung akan melaksanakan keputusan apapun dari Presiden (ploidooi sdr. Suparjo halaman 19).
Dari segi taat kepada Presiden Sukerno yang sekaligus adalah Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi, pada waktu itu, sesuai dengan Sumpah Prajurit, maka sesunguhnya tidak ada fakta menggulingkan Pemerintahan Republik Indonesia yang sah. Jika G.30.S. yang taat kepada perintah Presiden/Pangti ABRI/Presiden Sukarno sesuai dengan "Sumpah Prajurit" dikategorikan sebagai memberontak, maka kategori apakah yang harus diberikan kepada sejumlah Jenderal yang tidak taat kepada perintah Presiden/Pangti ABRI/Presiden Sukarno dan pada tanggal 1 Oktober 1965 berhimpun di Kostrad dan melakukan serangkaian (Ploidooi sdr. ex Brigjen Suparjo) halaman 26 dan 27 sebagai berikut:
  1. Jenderal Pranoto yang diperintahkan mengadap Pangti Presiden R.I./PBR kemudian tidak menghadap, perintah ini melalui Ajudan Presiden yaitu Kombes Sunirat sebagai kurier pribadi Presiden.
  2. Jenderal Umar Wirahadikusuma selaku Pangdam V/Jaya dipanggil Presiden R.I./PBR juga tidak datang. (perintah ini disampaikan oleh kurier pribadi Presiden jaitu Kolonel Bambang Wijanarko).
  3. Waktu Kolonel Bambang Wijanarko masuk ke Kostrad melihat Jenderal Harto sedang berdialog dengan sejumlah Perwira-perwira
  4. Kemudian waktu Kolonel Bambang Wijanarko menyampaikan pesan atas perintah Presiden untuk memanggil Pangdam V Jaya, maka dijawab oleh Pak Harto: "Jenderal Umar blyft hier" artinja "Jenderal Umar tetap di sini". Dan ditegaskan pula bahwa semua perintah harus melalui Pak Harto.
  5. Waktu Menteri/Pangal menjampaikan Keputusan Presiden/Pangti ABRI/PBR tentang: 
    • Angkatan Darat sementara dipegang oleh Pangti;
    • Care-taker Angkatan Darat sebagai pelaksana sehari-hari dan sifatnya sementara.
    • Berhenti garakan (keputusan ini adalah hasil panitia ad hoc yang disusun oleh 3 Menteri Angkatan dengan seorang Perdana Menteri dan disahkan ditanda-tangani Presiden R.I.)
  6. Kemudian Jenderal Nasution berkata kepada Menteri/Pangal "mengapa ikut-ikut mengurusi soal-soal lain Angkatan Kita jangan rame-rame. Persoalan militer, adalah soal militer, persoalan politik adalah politik. Marilah kita pecahkan masalah kemiliteran ini dan serahkan masalah politik pada Presiden.
  7. Terjadi dialoog antara Kolonel Bambang dan Jenderal Harto sebagai berikut: Presiden ada di mana - di Halim- Jenderal Pranoto tidak boleh menghadap - kemudian Jenderal Harto menetapkan: Saya mengambil alih pimpinan Angkatan Darat. Semua perintah harus melalui saja.
  8. Bila dibandingkan kegiatan tertuduh (sdr. ex Brigjen. Suparjo) yang selalu taat pada perintah-perintah kepala negara, sekalipun dengan hal-hal yang sepele yang menyangkut peristiwa di Kostrad. Jadi siapa yang seharusnya dituduh sebagai dalang persekongkolan?.
Demikian sekelumit sejarah yang saya ambil dari pleidooi sdr. ex Brigjen. Suparjo yang intisarinya adalah mengetengahkan tidak taatnya sejumlah Jenderal kepada perintah atasannya dalam hal ini Pangti/Presiden Sukarno. Tindakan ini adalah berlawanan dengan "Sumpah Prajurit", dan apa jadinya dengan TNI kalau tingkat bawahan mengikuti jejak para Jenderal tersebut? Yang pasti apabila tingkat bawahan melanggar "Sumpah Prajurit" maka mereka akan ditindak tanpa ampun, tapi kalau hal yang sama dilakukan oleh sejumlah Bapak Jenderal bisa diampuni. Singkatnya untuk tingkat bawahan berlaku tak kenal ampun, tapi untuk atasan berlaku boleh diampuni. Apakah ini bukannya diskriminasi dalam disiplin, apakah hal ini tidak berbahaya bagi pelaksanaan "degorder" atau "perintah harian"? Apakah ini tidak merobek-robek jiwa "Sumpah Prajurit" junjungan ABRI?. Saya berpendapat bahwa serangkaian ceramah sdr. Jenderal Nasution yang tanggalnya tidak saya ingat secara pasti, tetapi pada akhir pertengahan tahun 1966 kepada para Perwira AURI, yang menyatakan bahwa sudah biasa bagi setiap perintah dari perwira atasan tidak dilaksanakan, menunjukkan gejala ketidakdisplinan yang serius bagi ABRI. Mungkin perumusan Sdr. Jenderal Nasution tidak setegas perumusan yang saja ajukan, tetapi intinya sama. Bagaimana kita dapat menerima rasa keadilan dengan dihukumnya para pelaku G.30.S seperti sdr. Hargijono dan kawan-kawannya yang taat kepada perintah Komandannya dan kepada Presiden Sukarno dan yang perbuatannya menjadi tanggung jawab Komandannya, sementara pengabaian disiplin yang dilakukan Jenderal Nasution tidak diakui sebagai subversi TNI. Saya sadar bahwa tindakan sdr. Jenderal Nasution itu adalah tindakan politik untuk mencapat tujuan politik tertentu yang mengarah keeinddoel. Saya tidak mengatakan bahwa sdr. Jenderal Nasution ingin menjadi Presiden R.I. - tidak. Sebab, setiap warganegara R.I. yang baik berhak untuk mencalonkan diri sebagai Presiden, tapi jalannya apakah mesti dengan menjadikan sebagai suatu Presiden yang mengabaikan disiplin TNI?
"Karena tindakan itu tidak dilakukan oleh PKI, maka dengan sendirinya bukannya diberi stempel "het dul heiligt de middelen". Alangkah baiknya jika segala sesuatu tersebut ditelaah oleh fihak Mahkamah dan betul-betul demi keadilan, demi kemurnian "sumpah prajurit" dan "Sapta Marga."
Sekarang saya hendak melangkah ke:
POKOK KE-EMPAT:
Dari penangkapan sampai kesidang MAHMILLUB.

Saudara Hakim Ketua yang terhormat.
Untuk dapat menggambarkan secara tepat bagaimana jalannya suatu penangkapan, baiklah saja ketengahkan sebait sajak saya, berjudul:
DISERGAP
Seisi rumah lagi enak nyenyak,
mendadak terperanjat, bangun terbentak,
oleh gedoran pintu dibarengi derap sepatu,
todongan pistol bernikel menuding-nuding,
mengabakan, ayo jongkok dipojok,
dengan baju celana dalam thok,
alangkah berkesan bagiku adegan ini,
disergap sesaat mentari merekah pagi.

Dari sebait sajak ini terlukis pistol nikel terkokang diputar-putar á là cowboy Amerika Serikat, sambil menghardik-hardik. Saja rasa hal demikian tidak perlu terjadi lagi. Sebab sewaktu saya tertangkap pada zaman kolonial Belanda dan fasis Jepang, saya tidak diperlakukan demikian. Saya berpikir penting juga saya kemukakan penertiban cara menangkap demi Republik Indonesia yang berazaskan Pancasila, tentang barang bukti sitaan, ketika pada zaman Belanda dan Jepang dulu dilakukan pendaftaran ditempat sehingga tidak terdapat kekeliruan. Pengalaman menunjukkan bahwa sewaktu saya ditangkap telah disita selain dokumen-dokumen yang sudah diserahkan kepada Sdr. Hakim Ketua Yth., juga disita barang lainnya, seperti: arloji tangan merk Tudor, uang lebih kurang Rp.3.000, radio transistor, pakaian dan sebagainya. Tetapi sungguh mati saya tidak tahu dikemanakan barang-barang itu. Belum lagi barang-barang kawan-kawan Sukadi dan Tan Sui Liang yang serumah dengan saya. Memang sengaja baru sekarang ini hal itu saya kemukakan, bukan dengan maksud untuk minta kembali barang-barang tersebut, tidak sama sekali, tapi untuk mengukur kejujuran para petugas militer "Operasi Kalong" yang menangkap saya demi Pancasila.
Saya malu bahwa hal demikian masih terjadi dalam alam Indonesia Merdeka, sedangkan pada waktu zaman Kolonial dulu tidak saya alami keganjilan seperti itu. Ini tidak berarti bahwa saya mau kembali ke zaman normal, dalam arti zaman penjajahan lagi,tidak, tetapi saya menginginkan peraturan dan pengaturan yang lebih baik daripada zaman penjajahan dulu baik dalam kata-kata maupun perbuatan. Jangan biarkan senjata menjadi bagian penangkapan dan jangan biarkan tangkapan menjadi semacam penjarahan. Saya mengharap melalui Mahkamah ini supaya diteruskan kepada yang berwajib untuk ditertibkan cara menangkap orang, supaya tidak terganggu rasa "freedom from fear" rakyat. inilah praktek konkrit yang saya kemukakan tanpa embel-embel.
Dari persoalan penangkapan saya menjurus ke pemeriksaan. Saya ingin mengemukakan bahwa saya pribadi tidak pernah mengalami pukulan selama pemeriksaan, malahan hubungan antara pemeriksa dan yang diperiksa berdasarkan saling menghormati dan saling mengerti akan keyakinan masing-masing titik tolaknya, saling menghormati walaupun menganut perbedaan politik. Tetapi tidak demikian halnya jyng dialami oleh kawan-kawan saya, sampai-sampai kawan Anwar Sanusi, calon anggota Politbiro CC-PKI dan bekas wakil Sek.Jen. Front Nasional pusat masih dipukul juga, apalagi yang lain. Ragam pukulan hampir menyerupai siksaan sewaktu zaman fasis Jepang, hanya digantung sajalah yang tidak digunakan. Sungguh mengerikan kalau melihat derita akibat pukulan yang dialami kader-kader PKI dan mereka yang dituduh tersangkut dengan G.30.S., padahal ke- salahan mereka belum terbukti, dan belum tentu mereka itu bersalah. Belum tentu bersalah tetapi badannya sudah rusak akibat pukulan dan diselomoti (dibakar) dengan nyala rokok, sandal karet yang dibakar, sampai distrom.
Saya tidak sampai hati untuk menyebut satu persatu macam pukulan dengan dalih pertanyaan tentang pengertian mereka mengenai Pancasila. Kepada saya waktu ditahan di Kodim Budikemuliaan, pernah oleh seorang yang mengaku bernama Jimmy, dan memperkenalkan diri sebagai Intelligence Service (IS), ditawarkan untuk melihat kawan-kawan saya yang bergelimpangan di dalam sal. Saya menolak untuk menghindari penderitaan batin. Akibat siksaan selama pemeriksaan pendahuluan kawan-kawan separtai saya, dapat dilihat langsung ketika mereka dihadapkan sebagai saksi-saksi. Malahan seorang non komunis, sdr. Sarjono dari Partindo jatuh pingsan saya tidak menyanggah keterangan yang telah menyatakan, bahwa sdr. Sarjono terserang masung angin. Ini satu segi, tapi saya ingin mengajukan segi lain yaitu bagaimana perasaan seorang civil berhadapan dengan pembesar militer, ialah sebagai berikut: umumnya ada rasa gelisah, rasa takut dan rasa kuatir yang sangat mendalam, sebagai gejala psychis yang ditimbulkan oleh adanya konflik-konflik emosionil disertai ciri-ciri yang khas, ialah berdebarnya jantung secara tidak normal yang dapat sekaligus dirasakan mengerasnya denyutan urat nadi.
Dan sebab-sebab itulah dimulainya neurose jantung dengan gejala-gejala khusus umpamanya: nafas atau di dalam dada menjadi sesak atau setengah mampet".
Persoalan tersebut perlu saya kemukakan supaya dapat digunakan sebagai bahan dalam mempertimbangkan kebenaran keterangan Saksi, dan sekaligus menegaskan bahwa seorang sipil seharusnya dihadapkan ke depan pengadilan biasa dan bukan ke pengadilan militer.
Sewaktu mereka diperiksa di Mahmilub dengan jelas terlihat adanya siksaan-siksaan terhadap para Saksi, Kader-Kader PKI, maka demi Pancasila saya mengusulkan kepada Mahkamah:
  1. Dengan adanya siksaan-siksaan diluar batas perikemanusiaan itu tidak lain karena anggapan bahwa tidak ada salahnya membunuh orang Komunis sebab:
    a. Adakalanya seorang pembesar militer mengemukakan melalui wawancara di koran-koran supaya tokoh-tokoh Komunis "ditangkap hidup atau mati", atau "kalau orang-orang Komunis setelah dibebaskan bergerak lagi supaya ditembak saja". Dapatkah hal ini dibenarkan secara hukum yang sah berlaku di Indonesia? Apakah ucapan-ucapan semacam itu tidak menggelisahkan masyarakat luas, terutama para keluarga anggauta dan simpatisan PKI yang berjumlah jutaan orang?
    b. Instruksi yang sangat luas dari sdr. Jenderal Nasution yang isinya kurang lebih, supaya terhadap orang-orang Komunis dihabisin sampai keakar-akarnya" dan tindak mereka yang ada indikasi G.30.S. baik langsung maupun tidak langsung? Dengan adanya instruksi tersebut, maka terjadi pembunuhan massal. Apakah fihak Mahkamah tidak sependapat dengan tertuduh bahwa dalam hal pembunuhan massal itu mesti diminta pertanggungjawaban sdr. Jenderal Nasution?
  2. Mengundang International Fact Finding Commission melalui Kedutaan-Kedutaan Besar Negara Sosialis di Indonesia, yang berkewajiban mencari fakta kebenaran tentang:
    a. Terbunuhnya tanpa melalui proses pengadilan anggota CC dan Kader-kader penting PKI lainnya diataranya kawan-kawan: Aidit, Lukman, Njoto, Sakirman, S. Samidikin dan Thayb Adamy (Aceh), Rachman, Ainuddin dan Nursutind (Sumbar), J.Suak (Sul. Utara) Rissi (Kupang) dan lain-lainnya;
    b. Cara-cara pembunuhan massal meilputi kurang lebih 70,000 orang Jawa Tengah 60.000 (Jawa Timur), 50.000 (Bali) dan ribuan lagi di tempat-tempat lainnya. Caranya antara lain ada yang ditenggelamkan bersama kapal Adri (J.Suak dengan tigapuluh kawan lainnya), hidup-hidup dimasukkan parit alam (luweng) di Wonosari dan sebagainya;
    c. Keadaan para tahanan yang masih menyisa, apakah cukup kalori makanannya untuk sekedar hidup, kalau tidak apakah tidak menjurus ke '"geleidelijke moord" (pembunuhan secara halus)?
Fakta-fakta tersebut sangat penting untuk diteliti secara obyektif oleh International Fact Finding Commission supaya tidak berat sebelah. Ini jika mau mencari kebenaran.
Dalam sidangMahmillub ini dapat diketahui bahwa dalam PKI, diberi kebebasan dalam menganut kepercayaan, sehingga ada yang tak beragama, ada yang tidak beragama tapi percaya kepada Tuhan, ada yang beragama Islam, Kristen, Protestan dan Khong Hu Cu. Sebab PKI berpendapat bahwa ajaran seseorang tidak dapat dibatasi secara administratif, dan kepercayaan itu adalah soal pribadi sehingga pada masing-masing anggauta PKI diberi kebebasan untuk menetapkan kepercayaan masing-masing dengan menekankan bahwa setiap anggota satu sama lain saling menghormati kepercayaan masing-masing. Bertolak pada dasar inilah, maka seorang Komunis tidak boleh memiliki dendam perorangan, dan kebenarannya dapat dibuktikan oleh persetujuan saya terhadap penetapan sdr. Moch. Daljono SH sebagai penasehat hukum saya, walaupun saja tahu benar bahwa sdr. Moch. Daljono SH adalah bekas pemimpin Masyumi. Hal ini perlu saja kemukakan untuk menghilangkan salah tafsir bahwa orang-orang Komunis itu mempunyai perasaan dendam, karena itu ide revolusi mereka ditafsirkan sebagai hanya mau bunuh-membunuh saja.
Pengertian Komunis tentang revolusi bukannya indentik dengan bunuh-membunuh tetapi revolusi adalah pemindahan kekuasaan dari klas yang menindas ke klas yang tertindas. Sekarang saya mau menjelaskan:
POKOK KELIMA: Plebisit untuk Memilih Presiden.
Jika kita betul-betul jujur terhadap satu sama lain dan menganalisa keadaan secara tenang lepas dari rasa sentimen, harus diakui bahwa dalam kenyataannya SP 11 Maret 1966 dicapai dengan kudeta yang geruisloos (tanpa sanggahan), sebab sdr. Jenderal Suharto berada dalam overmacht (posisi yang sangat kuat). Saja berpendapat, bahwa SP ll Maret 1966 dapat keluar karena Presiden didatangi oleh tiga Jenderal Angkatan Darat yaitu Jenderal Basuki Rachmad, Jenderal. Amir Machmud, dan Jenderal Jusuf, yang mempunyai dukungan kuat dari Angkatan Darat dan tindakan tiga Jenderal itu tidak mungkin terlepas dari pertemuan duapuluh Februari 1966, atau kalau meminjam istilah sdr. Oditur yth. setidak -tidaknya pada sekitar akhir Februari 1966 di Aula MBAD, yang dihadiri oleh lebih dari 20 perwira. Saya tidak menyebut di sini siapa-siapa saja, yang hadir, tapi kalau betul-betul mau mencari kebenaran, lepas dari segenap sentimen tentunya yang merasa hadir pada pertemuan itu akan dapat datang kehadapan Mahkamah dan dengan terus terang menjelaskan. Selain, penjelasan tersebut di atas perlu saja ketengahkan bahwa saja berpendapat "show of force" l2 Maret 1966 itu sebetulnya mempunyai dua aspek:
Pertama: Kalau Presiden Sukarno menolak untuk menandatangani maka akan ada gerakan operasi militer.
Kedua: Kalau Presiden Sukarno menandatangani akan digunakan untuk show of force atau pamer kekuatan sebagai pemenang.
Setelah tercapai Surat Perintah 11 Maret, maka berangsur dlakukan usaha-usaha untuk menjatuhkan Presiden Sukarno, dari kedudukannya. Umumnya taktik yang dipakai adalah menyerang PKI dulu setelah itu tujuan sasaran adalah "unner centre" seperti PNI, Partindo, dan penyokong-penyokong Presiden Sukarno lainnya, dan sesudah itu langsung menyerang "centrumnja" jaitu Presiden Sukarno.
Motivasi serangan politikdariJenderal beraliran kanan Angkatan Darat terhadap Presiden Sukarno yang dikenal sebagai "trouble-maker" bagi Imperialis Amerika Serikat, ialah untuk "to merry go round", agar secara politik bergandengan tangan dengan Imperialisme Amerika Serikat. Contoh konkrit Indonesia sekarang sudah menjauhkan diri dari perasaan solidaritas dengan negara blok Asia Afrika, misalnya tidak mengatur solidaritas terhadep RPA dalam melawan agresi Israel. Menurut perhitungan sederhana Israel tidak mungkin menyerang R.P.A secara besar-besaran tanpa ada "backbone", tulang punggungnya yaitu kaum Imperialis Amerika dan Inggris terutama Imperialis Amerika Serikat pencipta gerakan "zionisme". Israel baru menjerang R.P.A. setelah konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia. Berhenti. Ini berarti bagi kaum imperalis bahwa keamanan sudah terjamin dan kaum imperialis tidak takut terganggu kedudukannya di Indonesia dan sekitarnya. Sementara itu, kalau pemerintah R.I. masih revolusioner dan anti Imperialis sesuai dengan alinea preamble mukadimah UUD-1945 yang berbunji:
"bahwa sesungguhnya kemerdekaaa itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan",
maka harus menjadi pelopor dalam mengorganisasi solidaritas A-A untuk "membantu negara-negara Arab mengganyang Israel". Ini kalau mau memurnikan UUD 1945 dalam kata-kata dan perbuatan. Selaku orang revolusioner semestinya harus memukul Imperialis, sebab salah satu ciri dunia sekarang ialah perjuangan sengit antara kaum imperialis dengan gerakan pembebasan nasional secara menyeluruh. Tentunya kita sama-sama ingat bahwa Jenderal bermata satu, Jenderal Dayan dari Israel pernah dijagoi oleh Imperialis Amerika Serikat untuk memimpin pertempuran di Vietnam Selatan dan harapan Imparialis meleset sama sekali, sebab pasukan-pasukan Jenderal bermata satu itu dibikin hancur oleh pasukan Front Nasional Pembebasan Vietnam Selatan.
Jadi kalau kaum revolusioner sedunia ini konsekwen memukul kaum Imperialis, maka kaum revolusioner bisa membikin kaum Imperialis lari mondar mandir kian kemari sehingga capai dijalan, dan menjadi terkencing-kencing sebelum sampai di W.C. Ini jika mau revolusioner "in weerd en daad", dan bukannya revolusioner sebegai "lamis-lamising lambe" atau sebagai "lip-service".
Dan untuk aktivis imperialis Amerika saja merasa berkewajiban untuk mengemukakan, bahwa:
  1. Bussines Amerika pada saat ini telah merupakan bussines yang internasional sifatnya. Modal A.S. mempunyai kepentingan dan investasi hampir di semua negara di benua-benua di dunia ini, Amerika Serikat mengirimkan hasil-hasil industrinya,, memberikan berbagai macam kredit serta sumbangan, di samping membeli bahan-bahan mentah dari negara-negara tersebut;
  2. Bertuk baru penanaman modal AS melalui bank, dan dilakukan oleh bank yaitu Bank of America dan First National City Bank Strategi AS. untuk berekspansi kalau negeri yang bersangkutan tidak mengizinkan, maka dielakkan peraturan yang berlaku dengan jalan membeli saham bank swasta atau lembaga keuangan lainnya". Contoh di Jerman Barat kaum Imperialis Amerika berhasil membeli saham Deutsche Bank Union Frankfurt sampai 55 juta dollar AS Jalan ini ditempuh oleh AS untuk mencegah jangan ada kebencian rakyat terhadapnya, karena usahanya tertutup. Jalan ini yang disabut oleh AS yang paling "workable" dan "profitable".
  3. Cara seperti tersebut di atas dibarengi oleh kegiatan CIA, misalnya mendirikan, "American friends of the Middle East" yang membiayai harian "Al Hiwar" yang berpolitik anti RPA, sehingga RPA melarang beredarnya "Al Hiwar", dan pers Kairo terus menerus mengutuk. dominasi Imperialis AS dalam mengeskploitasi perminyakan Arab. Ingat saja sejak tahun 1965 investment AS dalam produksi minyak Arab keuntungannya 50 persen dari penanamannya dalam minyak Eropah Barat "Egyptian Mail" pernah berseru, supaya rakyat Arab bertekad melawan kartel-kartel minjak asing AS yang berkeras kepala dalam menggaruk keuntungan sebesar-besarnya. Jelaslah bahwa setiap penanaman modal asing mengakibatkan pengerukan keuntungan keuntungan ke luar negeri. Contohnya "Inter American Development Bank" selama 2 tahun telah mengeluarkan kredit 700 juta dollar AS untuk Amerika Latin dalam bukunya, tetapi dalam kenyataannya hanya:
    a. mengeluarkan 60 juta dollar AS, diantaranya kredit sebanjak 24 juta dollar untuk Equador, hanya dikeluarkan 240 ribu dollar AS.
    b. Sisanya 600 juta dollar AS, untuk membeli saham AS.
  4. Mengingat pengalaman-pengalaman tersebut di atas saja mengharap kewaspadaan patriot Indonsaia yang cinta-tanah air dan rakyat Indonesia dan supaya meneliti pemberian kredit sebanyak 295 juta dollar AS kepada Indonesia, Cegah adanya kong kalikong sebagaimana terjadi di Amerika Latin. Untuk membangun Indonesia bantuan kresit tidak mencukup, dan pembiayaan dengan kredit adalah "uang mahal" Juga pembangunan Indonesia pesat bisa ditempuh dengan kenaikan harga dan tarif yang sengaja ditujukan untuk menghilangkan kejanggalan perimbangan harga-harga dan untuk menekan subsidi Pemerintah. Dan inflasi diatasi dengan memotong uang dalam peredaran yang berakibat depresi dengan menurunkan kegiatan-kegiatan ekonomi, memperluas pengangguran, karena pembangunan berhenti, industri berhenti dan perdagangan menjadi spekulatif, achlirnya pajak diperkeras semuanya ini mengakibatkan harga terus meningkat, daya beli rakyat merosot dan upah sebulan kerja hanya cukup untuk seminggu saja.
rakyat banyak gelisah karena ketidakmampuan pemerintah dalam mencari pemecahan secara tepat di bidang ekonomi dan keuangan yang menguntungkan rakjat banjak, dan teringatlah rakyat pada waktu ada PKI ada yang memperjuangkan nasibnya, tetapi sekarang serba sukar. Kalau mengeluh soal nasibnya di cap setuju dengan "G.30.S, tetapi kalau diam saja bisa mati kelaparan. Akhirnya rakyat yang hidup senen-kemis. Achirnya menyeletuk ORLA [Orde Lama] artinya "Ora Lali Bapak". Demikianlah suara Kampung.
Sesudah dengan positif Presiden Sukarno berhasil didongkel, maka apa yang dikatakan oleh kawan Aidit semasa proloog G.30.S. menjadi suatu kenyataan sekarang, yaitu:
Pertama: Dewan Jenderal mau mengadakan kudeta, menjadi suatu kenyataan hanya saja geriuschloos (secara diam-diam) sebab imbangan kekuatan menjomplang menguntungkan Jenderal Angkatan Darat yang beraliran kanan;
kedua: Dawaan Jenderal tidak anti-imperialis, sekarang menjadi suatu kenyataan dengan diundangnya kembali modal monopoli asing dan dikembalikannya lagi perusahaan-perusahaan Imperialis antara lain Goodyear dan dijadikannya pengkhianat Sumitro sebagai penasehat ekonomi pemerintah; tidak ada pembatasan modal asing buka areal sawah; dan Taiwan mengolah 750.000 bal kapas untuk Indonesia;
ketiga: Dewan Jenderal tidak anti tuan-tanah sekarang menjadi suatu kenyataan sebab tidak lagi melaksanakan UUPA dan UUPBH, dan kaum tani dilanda pajak antara lain dikenakan penyetoran 10 persen padi; rakyat kewalahan (keberatan) bayar pajak; wayang golek dipajak Rp.1000,--; lenong/ tanjidor dipajak Rp.500,-- ;
keempat: Dewan Jenderal anti Nasakom sekarang menjadi kenyataan dengan pembubarakan PKI, tidak oleh Presiden Sukarno tetapi oleh sdr. Jenderal Suharto.
Karena menang, maka Dewan Jenderal sebagai kekuatan kanan tidak dikenakan tuduhan konspirasi (samenspanning), tidak malakukan penyerangan (aanslag) dan tidak malakukan pemberontakan (opstand). Ini semuanya menujukkan benarnya teorie Marxisme-Leninisme, yang menyatakan bahwa: Negara adalah alat kekuasaan atau diktatur dari klas yang satu untuk menindak klas lain, dan bentuk konkritnya alat kekuasaan itu adalah ABRI dan Birokrasi ada di tangan siapa. Di Indonesia sekarang ada di tangan para Jenderal beraliran kanan Angkatan Derat dan pengaruh politiknya. Walaupun sesama Jenderal tetapi politiknya kiri pasti ditangkap. Bung Karno tidak boleh mengadakan aktivitas politik adalah politik yang tidak demokratis, sebab Bung Karno adalah seorang politikus tapi dilarang mengadakan aktivitas politik. Apakah demokratis seorang politikal dilarang berpolitik. Akan tetapi secara terang-terangan menyatakan Bung Karno ditahan, tidak berani karena takut rakyat banjak akan marah. Jika betul-betul memihak demokrasi, kekuatan militer sekarang supaya mengadakan plebisit dengan tema:
  1. Bung Karno, ya atau tidak.
  2. Atau pilih antara Bung Karno dan Jenderal Nasution misalnya.
Plebisit tanpa biaya dapat diselenggarakan, yaitu dengan serentak di seluruh Indonesia diadakan pemilihan lurah dengan tema seperti di atas, Sampai sekarang dalam pemilihan umum lurah, rakjat membiayainya sendiri dan tidak ada anggaran dari pemerintah untuk itu. Ini jika mau menempuh jalan demokratis, jangan dengan jalan seperti sekarang ini.
Dengan plebisit saya yakin rakyat akan pilih kembali Bung Karno sebagai Presiden. Sungguh suatu tragedi nasional, Bung Karno dijatuhkan oleh MPRS yang sebagian besar angautanya adalah 'conflicten regoling' yang mengatur sengketa antara Presiden dengan MPR belum ada dan sekarang terang ada konflik. Jalan satu-satunya adalah plebisit. Saja teringat pada zaman penjajahan Belanda du1u kita minta "Volksraad" dan "Rood van Indie" diganti dengan "Parlemen" karena baik "Volkraad" maupun "Rood van Indie" tidak dipilih langsung oleh rakjat dan sebagai anggautanya terdiri dari anggota-anggota angkatan Gubermur Jenderal. Dimana letak tragedinya? Tragedinya ialah di zaman penjajahan kita berjuang maju ke Indonesia Berparlemen, tapi setelah merdeka kita mundur ke semacam "Rood van Indie" bahasa Jawanjy "jo kebangeten" atau "keterlaluan".
Saja dan PKI tidak. pernah memberikan gelar ini atau itu kepada Bung Karno, tidak pernah memberikan agung ini, atau agung itu, sebab gelar satu-satunya yang tepat adalah "Bung Karno" sehingga nama Bung Kerno berkembang dari Sukarno (ada kesukaran) ke Bung Karno (artinjy bongkar kesukaran). Sebagai sesama orang revolusioner, justru dalam keadaan sulit separti sekarang inilah saya terus membela dan mempertahankan Bung Karno, sebab sesuatu mengatakan bahwa "in de nood leert men zijn vrien den kennen" (dalam kesulitan kita mengenal kawan) dan "jo sanak, jo kedang, jen mati aku sing kelangan" kata Bung Karno untuk PKI. Sebagai arek Surabaya, saja sambut uluran tangan Bung Karno dengan: "ali-ali nggak ilang, nggak isa lali ambek kancane". (artinya tidak bisa lupa sama kawannya).
Kenapa saja bela dan pertahankan Bung Karno? Sebabnya ialah sepanjang sejarahnya Bung Karno konsekwen anti Imperialis sampai berani menyemboyankan "go to hell with your aid" terhadap imperialis Amerika Serikat; Bung Karno setuju mengikis sisa-sisa feodal dengan mengadakan landreform terbatas; dan Bung Karno setia pada persatuan tenaga-tenaga revolusioner. Inilah dasar daripada instruksi saya pada anggota-anggota PKI, untuk masuk dan bentuk "Barisan Sukarno".
Dalam kesulitan seperti sekarang ini berlakulah pepatah Pavlov bagi Bung Karno "a discovery begins where an unsuccessful experiment ends" (suatu penemuan mulai pada saat pengalaman yang tidak sukses berhenti).
Sekarang saya sampai ke pokok terachir yaitu:
POKOK KEENAM: Hidup untuk berjuang, dan berjuang untuk hidup.
Sdr. Hakim Ketua yang terhormat, selama saya hidup, saya jumpai bermacam-macam pendirian tentang hidup. Ada sementara orang berpedoman pada pepatah Jerman "Ein Leben ist ein Spiel", atau "hidup itu adalah suatu sandiwara".
Bagi saya, saya tidak sependapat dengan pendapat tersebut, sebab tarasa kelihatannya sebagai sesuatu yang enteng yang ringan, ya asal saja. Artinya menjadi ini boleh, menjadi itu baik, dan semuanya dikerjakan serba main-main tanpa kesungguhan, tanpa kebulatan hati.
Tidak saya tidak ingin bersandiwara dalam hidup, maka itu selogan Jerman tadi harus diubah menjadi: "Ein laben ist nicht ein Spiel, aber en Leben ist ein Streit". Terjemahannya ialah: Hidup bukannya sandiwara, tapi hidup adalah suatu perjuangan".
Kita hidup untuk berjuang, dan kita berjuang untuk hidup, Kita hidup bukan sekedar hidup, kita hidup untuk mempertahankan hidup itu dengan keberanian sampai jantung berhenti berdenyut. Sejak manusia dilahirkan mulai dengan rengek baji pertama sampai hembusan nafas terakhir, tak lain merupakan suatu perjuangan. Kadang-kadang menghadapi perjuangan sangat berat menghadapi pertarungan sengit dan pertarungan bisa sengit tapi tidak setiap pertarungan sengit dimahkotai dengan suatu kemenangan. Tujuan hidup, adalah berani mamasuki pertarungan sengit dan sekaligus memenangkan pertarungan sengit itu sendiri. Inilah yang diimpikan oleh setiap pejuang, tak ketinggalan seorang pejuang komunis , Inipun impian saya dalam hidup. Tanpa impian, tanpa cita-cita, hidup menjadi tandus: "What wonder of wonders is the living, is life!"
Aijaib bin ajaib dalam kehidupan adalah hidup.
Hidup untuk berjuang dan berjuang untuk hidup. Demikian tujuan Komunis-ku.
Tujuan itu tak mungkin tercipta tanpa tanggung-jawab. Dan tanggung jawab bagi saya adalah ibarat kata-intan. Bersumber pada kata intan inilah saya sajikan sajak coretan dalam sel tahanan, sebagai berikut:

KATA INTAN TANGGUNG JAWAB

kuhadapi,
razia demi razia,
kuhadapi,
pemeriksa demi pemeriksa
kuhadapi sel siksa-demi sel siksa.

kuhadapi,
penjara demi penjara
dengan kepala dan hati,
rela mati bagi PKI,
demikian makna
kata intan tanggung jawab.

Sungguh kilau kegemilapan cahaya,
Kata intan tanggung iawab
tapi, kalau
diingkari sama dengan insan khianat
dan lari menanggalkan itulah laknat
sebab, terang
tanggung-jawab mengamanatkan
tri eka tunggal eka
tunggal dalam pikiran, hati dan tujuan

Kalau petir menyambar dan mati menghadang,
kuhadapi
tanggung jawab silih berganti
ku tak ingar, ku tak lari
apalagi menanggalkan
kuhadapi dengan teguh dan tenang
sederhana dan rendah hati
demi rakyat, PKI dan revolusi
demi proletariat sejagad dan PKI,
demikian makna
kata intan tanggung jawab.

Setelah saya sajikan sajak tersebut, dengan meminjam perkataan penulis Andrew Carve, saya akan menatap pelaksanaan hukuman bagi saya dengan:
No tears for Disman - Tiada airmata bagi Disman,
sedangkan bagi para petugasnya, saya sampaikan:
You had done the world a service - Kalian telah berbuat bakti bagi dunia.
Sajy adalah seorang Komunis berasal dari Jawa sehingga berkewajiban sesuai dengan kebiasaan Jawa, untuk menyampaikan:
Pertama: matur nuwun, terima kasih kepada semua pihak yang telah merasa membantu saya selama berjuang;
Kedua: nyuwun gunging pangaksomo, minta seribu maaf, terutama kepada massa progressif revolusioner yang merasa saya rugikan selama dalam perjuangan;
Ketiga: nyuwun pangestu, minta restu terutama pada semua keluarga istri dan anak-anak dalam saya melaksanakan putusan hukuman.
Hidup Republik Indonesia! 
Hidup Partai Komunis Indonesia!

Copy of transcript courtesy of Ben Anderson, corrected by Nani Pollard, University of Melbourne

Source: Marxist.Org