HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Rabu, 29 Juli 2015

Telusur Jejak SARBUPRI ( Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia )



Sarbupri singkatan dari Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia, adalah sebuah serikat para buruh perkebunan perkebunan di Indonesia. Pada akhir 1950-an, menjadi serikat buruh terbesar di negara ini. Sarbupri berafiliasi ke pusat serikat buruh SOBSI, yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia.

Sarbupri didirikan pada bulan Februari 1947. Sarbupri awalnya bekerja hanya di daerah Republik yang dikuasai. Kegiatannya saat ini tidak begitu banyak dalam pengorganisasian serikat di perkebunan, sebagai organisasi lebih terlibat dalam membangun milisi pekerja untuk melawan pasukan Belanda. Sebagian besar pengorganisasian pekerja di perkebunan ini cenderung terbatas pada mempersiapkan para pekerja untuk taktik bumi hangus dalam kasus kemajuan Belanda.
Ketua Sarbupri Maruto Darusman tewas di tengah-tengah tahun 1948 ketika Peristiwa Madiun.
Pada awal 1950-an Sarbupri adalah serikat pekerja buruh perkebunan satu-satunya yang memiliki kepentingan nasional di negara ini. Sebuah serangan besar-besaran ini diselenggarakan oleh Sarbupri pada Agustus-September 1950, membuat sebagian besar perkebunan swasta berhenti. Sebagai akibat dari aksi mogok tersebut, pemerintah melakukan intervensi dan melembagakan upah minimum untuk buruh perkebunan (jauh lebih tinggi dari upah rata-rata sebelumnya). Pemogokan merupakan kemenangan besar pertama dari SOBSI. Sebuah serangan besar kedua diselenggarakan pada September 1953, memaksa pemerintah untuk menerapkan kenaikan upah 30% untuk pekerja perkebunan.
Sarbupri berkampanye secara aktif terhadap penggunaan tenaga kerja sementara di perkebunan. Pada saat serikat menyerukan peningkatan kontrol pemerintah untuk mencegah penggunaan tenaga kerja sementara, ketika Sarbupri menyerukan penghapusan total sistem kerja sementara.
Pada tahun 1952 Sarbupri mengklaim keanggotaan sekitar 700.000, meskipun jumlahnya mungkin meningkat. Sekitar tahun 1956, keanggotaan diperkirakan sekitar 370-390,000. Sarbupri menerbitkan jurnal Warta Sarbupri.
Suparna Sastradiredja adalah sekretaris jenderal sepanjang sejarah serikat.
Pada tahun 1957, Sarbupri membentuk tubuh koordinasi bersama bersama dengan tujuh pekerja perkebunan serikat lainnya.
Jumlah pasti anggota Sarbupri yang jatuh menjadi korban penganiayaan setelah kudeta 1965 tidak diketahui. Namun, terutamanya, sangat sedikit mantan pemimpin Sarbupri cabang lokal atau perwakilan estate yang masih hidup pada awal 1980-an. Suparna Sastradiredja selamat dengan berada di China pada saat kudeta.
Dalam beberapa kasus, anak-anak dari pemimpin Sarbupri dipaksa untuk mengamati eksekusi nenek moyang mereka. Untuk selamat dari represi, keanggotaan mereka di Sarbupri terus menjadi stigma sosial selama bertahun-tahun yang akan datang. Pada masa Orde Baru, mantan anggota Sarbupri sering diblokir dan dipecat dari pekerjaan di perkebunan (meskipun langkah tersebut sulit untuk diterapkan di perkebunan di mana sekitar 90% dari staf dulunya milik Sarbupri). Sampai akhir 1976, PHK massal dari mantan anggota Sarbupri terjadi di Sumatera.[11] Dalam bangun dari penumpasan Sarbupri, penggunaan tenaga kerja sementara meningkat tajam tindakan dimotivasi oleh masa lalu komunis dari individu-individu. Selama masa penumpasan Sarbupri, penggunaan tenaga kerja sementara meningkat tajam.
Sarbupri wikipedia 
PembebasanSubang 

Mengenal Suparna Sastra Diredja pendiri SARBUPRI dan Direktur Perkebunan Negara Dwikora Subang


Suparna Sastra Diredja (lahir di Tarogong, Tarogong Kidul, Garut, Jawa Barat, 2 Juni 1915 – meninggal di Amsterdam, 7 Juli 1996 pada umur 81 tahun) adalah seorang tokoh gerakan kemerdekaan Indonesia, tokoh serikat buruh, dan pengarang yang hidupnya berakhir dalam pengasingan di Belanda.
Suparna dilahirkan dari keluarga Abdul Sastra Diredja (1885-1968) dan Nyi Emi Resmi (1896-1970) di desa Tarogong, Jawa Barat. Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga, sementara ayahnya seorang guru sekolah dasar di Garut.

Suparna menempuh pendidikannya di Europeesche Lagere School di Cicalengka, lulus pada 1930, lalu melanjutkan ke MULO di Bandung, dan lulus pada 1933. Dari situ ia melanjutkan pendidikannya di Algemene Middelbare School (AMS) di Batavia, dan selesai pada 1936.
Sejak masih duduk di bangku sekolah menengah, Suparna sudah aktif dalam organisasi pemuda nasionalis Indonesia Muda. Ia menjadi anggota dewan pimpinan organisasi ini dan bertanggung jawab sebagai redaktur majalah bulanan gerakan ini dengan nama yang sama, “Indonesia Muda”. Pada 1937, ia dijatuhi hukuman tahanan selama 10 bulan di Batavia karena menerbitkan artikel yang dianggap menghasut dalam majalah ini. Pengacaranya adalah Mr. Amir Sjarifuddin, Mr. Mohammad Yamin dan Mr. Sjah, yang belakangan menjadi tokoh-tokoh terkenal Republik Indonesia
Suparna Sastra Diredja sering menghadiri rapat-rapat politik serta kelas-kelas pendidikan politik di malam hari yang diselenggarakan oleh mahasiswa-mahasiswa nasionalis. Belakangan ia menjadi anggota partai politik Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).
Suparna juga menjadi guru di salah satu “sekolah liar”, Perguruan Rakyat, di Jakarta yang digunakan oleh kaum nasionalis untuk membakar semangat orang-orang muda.
Pada masa pendudukan Jepang, Suparna Sastra Diredja ikut serta dalam gerakan anti Jepang di bawah tanah di Jawa Barat. Ia bergerak melalui Koperasi Rakyat Indonesia (Korindo), sebuah koperasi guna-produksi, namun kemudian dibubarkan atas perintah tentara Jepang. Suparna kemudian bergabung dengan pemuda-pemuda revolusioner, di antaranya WikanaChaerul Saleh dan Sukarni.
Ia memimpin kantor Badan Penolong Prajurit Pekerja, sebuah lembaga setengah resmi di Priangan. Badan ini dibentuk untuk membantu keluarga-keluarga para romusha. Suparna menggunakan lembaga ini untuk mengorganisasi dapur umum untuk membantu rakyat yang kelaparan.
Setelah Perang Dunia II, segera setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Suparna mendirikan Angkatan Pemuda Indonesia, sebuah organisasi pemuda bersenjata di Bandung. Ia terpilih sebagai anggota Komite Nasional Indonesia, badan perwakilan rakyat sementara, untuk distrik Bandung dan Priangan. Kemudian ia menjadi kepala departemen logistik dari organisasi bersenjata dan anggota Dewan Nasional untuk Rencana Pembangunan. Ia ikut serta dalam delegasi Indonesia pada perundingan-perundingan dengan pihak Belanda, khususnya menyangkut masalah-masalah perkebunan.
Suparna adalah salah satu pendiri serikat buruh perkebunan yang bernama Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri) pada 1947 dan menjabat sebagai sekretaris jenderalnya hingga 1965. Ia juga menjadi anggota Dewan Pimpinan Pusat serikat buruh SOBSI.
Setelah pemilihan umum 1955 Suparna menjadi anggota Dewan Konstituante mewakili fraksi PKI. Setelah nasionalisasi tanah-tanah perkebunan asing, ia ditunjuk sebagai direktur Perkebunan Negara Dwikora di Subang, Jawa Barat.
Pada September 1965, Suparna ikut serta dalam delegasi DPR-GR ke Korea Utara dan Tiongkok. Dalam kunjungan itu, Suparna kebetulan harus dirawat di rumah sakit di Tiongkok dan karena itu ia tidak dapat segera kembali ke Indonesia. Bersamaan dengan itu, terjadi perkembangan lain di tanah air, khususnya setelah meletusnya G30S. Karena itu Suparna tidak sempat ditangkap ataupun dilenyapkan seperti kebanyakan orang komunis atau yang dicurigai sebagai komunis. Akhirnya Suparna tinggal di Tiongkok selama 12 tahun. Betapapun juga ia tidak merasa bebas di Tiongkok karena ia tidak dapat berhubungan dengan sanak keluarga dan teman-temannya di Indonesia. Karena itulah pada 1978 ia pindah ke Belanda dan memperoleh suaka politik di negara itu.
Di Belanda, sejak awal sekali Suparna telah aktif dalam gerakan-gerakan untuk demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia. Ia ikut serta dalam berbagai aksi, menulis artikel, menyampaikan informasi lisan dan tertulis tentang situasi di Indonesia. Ia menjadi anggota dewan pengurus SKBSI, Aksi Setia Kawan, dan sekretaris Yayasan Perhimpunan Indonesia. Bersama-sama dengan sejumlah temannya ia menerbitkan artikel-artikel dan tulisan-tulisan lain menyangkut Indonesia. Ia menjadi bendahara yayasan ini. Selain itu, sejak 1982 Suparna juga menjadi anggota Partai Komunis Belanda.
Suparna menikah dengan Enok Djuariah, seorang perempuan kelahiran Ciamis pada 1915, yang hingga pada 1965 juga bekerja sebagai guru. Mereka memiliki lima orang anak. Pada 1968, setelah Suparna tidak dapat kembali lagi ke Indonesia, mereka bercerai. Suparna menikah kembali pada 1987 dengan Neneng Marsiah.
Suparna Sastra Diredja Wikipedia.Org 

Senin, 27 Juli 2015

Badan Ekonomi "Sama Rata Sama Rasa"


Tak ingin keduluan, kaum komunis di Sumatera Timur membentuk badan untuk memperjuangkan perekonomian rakyat.

Massa Partai Komunis Indonesia.

JOENOES Nasution, tokoh komunis Sumatera Timur, bergerak cepat untuk mengisi revolusi di Sumatera. Pada 11 Desember 1945, dia mendirikan Badan Pusat Perekonomian Rakyat Sumatera (BAPPER). Tujuannya memegang kendali ekonomi di seluruh Sumatera.

Kala itu, sumber utama perekonomian di Sumatera Timur adalah perkebunan dan pertambangan. Revolusi membuat berbagai pihak, tak terkecuali tentara, saling memperebutkannya. Dengan mengendalikan perkebunan, unit-unit militer memiliki kekuatan politik yang otonom.

“Melalui pedagang-pedagang Tionghoa, komandan militer mulai mengekspor sejumlah besar produk perkebunan (terutama karet dan kelapa sawit) ke Penang dan Singapura,” tulis Audrey Kahin dalam Regional Dynamics of the Indonesian Revolution.

Gagal dengan BAPPER, Joenoes bersama Amir Joesoef dan Bustami, lalu mendirikan Ekonomi Rakyat Republik Indonesia (ERRI) pada Februari 1946. Badan ini memperjuangkan ekonomi kerakyatan dengan slogan “sama rata sama rasa”. Upaya tersebut segera mendapat dukungan dari banyak kalangan, terutama kaum kiri dengan laskar-laskarnya dan rakyat bawah.

Amir dan Bustami meminta Gubernur Sumatra Tengku Muhammad Hasan untuk menjadikan ERRI sebagai otoritas resmi, kepanjangan tangan pemerintah yang mengatur perekonomian Sumatra. Penolakan gubernur membuat ERRI makin agresif bergerak. ERRI mengatur dan mewadahi pedagang asongan, kain, obat-obatan, dan lain-lain, ke dalam asosiasi dan koperasi.

Para pemimpin ERRI kembali mencari pengakuan resmi kepada Wakil Gubernur Dr. Mohamad Amir. “Mereka mendapatkan pengakuan resmi yang diinginkan. Ini merupakan mandat untuk memperluas kegiatannya dalam mengontrol total ekonomi Sumatra,” tulis Anthony Reid dalam The Blood of the People Revolution and the end of Traditional Rule in Northern Sumatra.

ERRI mendapat dukungan dari laskar-laskar kiri, terutama Pesindo dan Barisan Merah. Paralel dengan kekuatan bersenjata pendukungnya, cabang-cabang ERRI segera berdiri di berbagai tempat. Di Aceh, kantor pusat ERRI berdiri di Banda Aceh pada 16 Maret 1946.

ERRI segera mengeluarkan berbagai aturan. “Semua produksi perkebunan harus diserahkan kepada ERRI,” lanjut Reid. ERRI juga mengambilalih kepemilikan banyak toko milik Tionghoa atau India di Medan dengan alasan untuk memblokade logistik Sekutu. Semua bahan makanan yang memasuki kota mereka sita. Untuk mendukung pelaksanaan itu, seorang inspektur ditempatkan di tiap sektor wilayah kekuasaan ERRI.

ERRI juga mengekspor komoditas perdagangkan terutama ke Penang dan Singapura. Untuk itu, tulis Reid, “Ada upaya untuk mengambilalih semua fasilitas transportasi baik di darat maupun laut.” Di Aceh, ERRI menarik bea atas tiap barang ekspor dari Sigli dan Meulaboh, juga mengambilalih tambang emas milik Prancis. Terakhir, skema medis komprehensif seluruh Sumatra Timur menjadi program yang diluncurkan ERRI. Dalam program ini, semua dokter akan didaftar dan obat-obatan akan diberikan oleh ERRI.

Menurut teori, semua sumber ekonomi yang dikuasai ERRI akan dibagikan kepada rakyat sesuai semboyan “sama rata sama rasa.” Namun, hal itu tak masuk akal bagi para penentang ERRI. Kritik makin gencar dan keras menghampiri ERRI. Melalui tulisan-tulisannya di Soeloeh Merdeka, Arif Lubis menjadi salah satu penyerang paling vokal. Penyalahgunaan kekuasaan dan praktik korupsi para pemimpin ERRI menjadi sorotan utamanya. 
“Super komunis” dan “hiper ekstrimis” menjadi cap yang diberikan lawan-lawan politik ERRI dan laskar-laskar pendukungnya.

ERRI kian tersingkir. Mereka lalu memusatkan diri ke Siantar. Di sana, ERRI bersandar kepada laskar paling setia, Cap Rante di bawah pimpinan Waldemar Marpaoeng. Para pemimpin ERRI di Siantar lalu membentuk Dewan Nasional berisi lima orang. Menurut Reid, upaya tersebut sebagai tandingan kepada Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka.

Menyadari bahaya ekses peran ERRI, Wakil Gubernur Amir balik badan. Di depan badan-badan perjuangan, dia berpidato yang menguatkan hati kalangan penentang ERRI dan komunis. Penangkapan Joenoes Nasution –yang sempat menjadi Residen Sumatra Timur selama sepuluh hari– dan pelarangan ERRI yang menjadi dua poin penting dari pidato Amir memicu gerakan perlawanan terhadap ERRI.

Pada 4 Mei 1946, Residen Luat Siregar membubarkan ERRI. Persatuan Perjuangan memerintahkan cabang-cabangnya melikuidasi semua operasional ERRI dan mengambilalih kegiatan ekonominya untuk sementara waktu. Riwayat ERRI pun berakhir.

“Satu ciri penting dari revolusi di Sumatra Timur dan Residensi Tapanuli adalah kekuasaan yang dilakukan para pemimpin unit bersenjata dalam mengendalikan wilayah dan sumberdaya ekonomi yang signifikan,” tulis Audrey Kahin.

http://historia.id/modern/badan-ekonomi-sama-rata-sama-rasa

Jumat, 10 Juli 2015

Soal Kasus Pelanggaran HAM Berat, Kejaksaan Tak Bisa Apa-apa

Jumat, 10 Juli 2015 | 17:07 WIB

KOMPAS.com/Sabrina Asril | Jaksa Agung HM Prasetyo
__________

JAKARTA, KOMPAS.com — Jaksa Agung HM Prasetyo mengaku tidak dapat berbuat apa-apa terkait mandeknya penyidikan sejumlah kasus pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) pada masa lalu. Ia pun berpendapat, rekonsiliasi merupakan satu-satunya jalan keluar.

"Langkah yudisial sudah dilakukan, tetapi pada faktanya hasil penyelidikan belum memenuhi syarat untuk ditingkatkan ke penyidikan. Jadi, kejaksaan tidak bisa berbuat apa-apa lagi," ujar Prasetyo di kantornya, Jumat (10/7/2015).

Prasetyo juga mengatakan bahwa Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menyetujui solusi itu. Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, sebut Prasetyo, seiring dan seirama dalam penuntasan sejumlah perkara pelanggaran berat HAM dengan rekonsiliasi.

"Artinya, peristiwa itu sudah lama terjadi dan sudah sulit menemukan bukti-buktinya, saksi-saksinya, dan tersangkanya. Situasi ini tentu kita syukuri karena semua stakeholder begitu bersemangat menyelesaikan masalah ini," ujar Prasetyo.

Mantan politisi Partai Nasional Demokrat itu pun meminta publik ikut mendukung langkah rekonsiliasi. Terlebih lagi, penyelesaian dengan non-yudisial dibenarkan oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

Soal proses ke arah rekonsiliasi itu sendiri, dia mengatakan telah berkomunikasi dengan para korban pelanggaran berat HAM pada masa lalu. Dia menyebut, ada beberapa korban yang telah menyetujui rekonsiliasi.

"Banyak juga yang sudah memahami bahwa rasanya tak ada manfaatnya kita memelihara beban sejarah tanpa ada kesudahannya," ujar Prasetyo.

Penulis: Fabian Januarius Kuwado
Editor : Fidel Ali Permana

http://nasional.kompas.com/read/2015/07/10/17075541/Soal.Kasus.Pelanggaran.HAM.Berat.Kejaksaan.Tak.Bisa.Apa-apa?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd

Senin, 06 Juli 2015

Kesaksian Seorang Serdadu Baret Merah, Dari Balibo Hingga Santa Cruz




Kolonel (Purn) Gatot Purwanto, mantan prajurit baret merah (Kopassus), adalah prajurit yang kaya pengalaman operasi di Timor-Timur. Banyak pengalaman menarik yang dialami oleh Gatot Purwanto saat menjalankan tugas di Timor-Timur. Gatot adalah salah satu tokoh kunci pada peristiwa Balibo (1975) dan Santa Cruz (1991). Pada saat peristiwa Santa Cruz,  Gatot adalah satu-satunya lulusan Akademi Militer angkatan 1971 yang telah mencapai pangkat Kolonel, mendahului rekan-rekan lain seangkatannya. Sayang, prajurit komando ini harus mengakhiri karirnya di Mahkamah Militer karena kasus Santa Cruz.
Dalam wawancara ini Gatot membeberkan dugaan adanya pengkhianat dari internal TNI sehingga terjadi peristiwa Santa Cruz. Pada saat peristiwa Santa Cruz, Gatot menjabat sebagai Asisten Intelijen merangkap Komandan Satgas Intelijen. Gatot pernah mengkondisikan musuh dalam kondisi terjepit sehingga memudahkan pasukan Prabowo Subianto melakukan eksekusi. Selain itu Gatot juga membeberkan analisisnya tentang keterlibatan Prabowo Subianto dan Sjafrie Sjamsoeddin di Peristiwa Santa Cruz 12 November 1991.
Berikut petikan wawancara dengan Kolonel (Purn) Gatot Purwanto, yang dilakukan pada tanggal 24 April 2015 oleh Stanislaus Riyanta, mahasiswa S2 Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia. Kolonel (Purn) Gatot Purwanto dalam wawancara mengizinkan materi ini untuk direkam, ditulis, dipublikasikan
***
Bagaimana awal penugasan di Timor-Timur?
Saya lulus dari Akademi Militer tahun 1971 dan menyelesaikan pendidikan Komando. Kemudian saya dikirim ke Kalimantan Barat melawan PGRS/Paraku. Saat itu saya perwira operasi, dengan Kasi 1 Kapten Hendropriyono dan komandan Satgas Sintong Panjaitan. Setelah dari Kalimantan  saya ditugaskan ke Timor-Timur.Saya masuk dalam Tim Susi sebagai perwira operasi, tim yang pertama kali ditugaskan oleh Kopassanda.
Operasi Tim Susi didesain sebagai operasi tertutup. Kopassanda bertugas untuk pengkondisian.Hal ini dilatarbelakangi dorongan politik oleh dunia barat yang disponsori oleh Amerika, Autsralia karena kekhawatiran adanya suatu negara yang berhaluan komunis, Timor Portugis. Saat itu hampir semua negara jajahan Portugis sebelum dilepas masyarakatnya banyak yang menentukan pilihannya dalam partai-partai.
Bagaimana dengan Peristiwa Balibo, dan kenapa Kopassus begitu disudutkan dalam peristiwa itu?
Operasi Balibo sebenarnya operasi serangan untuk melemahkan titik-titik kuat sebelum pasukan besar datang. Yang ingin saya tekankan kepada banyak pihak, yang melakukan serangan tersebut bukan hanya Tim Susi atau Kopassanda saja, kita hanya sebagian kecil. Seluruh anggota tim hanya 64 orang, yang berangkat maksimal 60 orang karena ada yang jaga di belakang.
Milisi pro Indonesia Apodeti yang kita rekrut dan persiapkan jauh lebih banyak. UTD terusir dari Dili dan berlarian ke Atambua. UTD karena menyebrang ke wilayah kita, Atambua, kemudian kita rekrut untuk membantu kita, Tim Susi. Dalam penyerangan ke Balibo, Kopassanda hanya sebagian kecil. Sebagian  besar adalah Apodeti dan UDT.
Saat itu ada 5 wartawan asing menjadi korban tertembak di Balibo?
Yang menembak itu jangan dipastikan itu Kopassanda, karena tim Kopassanda hanya sebagian kecil.
Ada data bahwa kemudian jenazah wartawan tersebut dibakar, apakah ada perintah untuk membakar?
Dibakar untuk menghilangkan jejak. Saat itu komunikasi dengan Jakarta masih susah. Dibakar karena sudah tertembak dan mati. Penembakan tersebut terjadi karena inisiatif anggota di lapangan. Pak Yunus (Yunus Yosfiah) pun tidak tahu, Pak Yunus sedang minta petunjuk ke Jakarta. Pak Dading (Dading Kalbuadi) di Batu Gede, kita bisa kontak ke Batu Gede. Lalu Pak Dading sedang meminta pentunjuk kepada Pak Benny (Benny Moerdani) di Jakarta, belum ada jawaban. Anak-anak (Milisi) di lapangan sudah melihat gerakan yang mengkhawatirkan dari gerakan wartawan itu akhirnya ditembak.
Uskup Belo pernah menyatakan bahwa September 1981, ABRI sampat mengepung Gunung Aitana dan melakukan pembantaian besar-besaran dan menewaskan lebih dari seribu orang?
Saya tahun 1981 tidak di Timor Timur, baru tahun 1982 saya kembali ke sana. Kalau operasi di Gunung Aitana dan gunung yang lain itu sudah biasa karena konsentrasi lawan di sana. Tapi kalau menewaskan sampau seribu orang saya tidak yakin. Posisi Uskup Belo saat itu dalam posisi yang sulit, dia Pastor biasa yang baru lulus dan dijadikan Uskup, sementara Pastor-pastor disekelilingnya adalah senior dia. Dia akhirnya mencari pelarian supaya jangan selalu dicap sebagai agen Indonesia, dia berusaha menunjukkan bahwa dia membantu. Kalau di satu titik penyerbuan hingga korban seribu itu tidak mungkin
Bagaimana hubungan dengan Gereja setempat?
Dengan Uskup Belo saya baik, saat Uskup Belo disiapkan di Mess Kodam Udayana Jatinegara waktu mau dijadikan Uskup, bersebalahan ruangan dengan saya, jadi sering ngobrol.
Tahun 1983, tim Nanggala Kopassus berhasil  membuka akses komunikasi dengan Jose da Conceita, Asisten Politik Fretilin untuk Sektor Timur di Los Palos. Kontak ini kemudian menjadi jalan untuk bertemu dengan Xanana Gusmao. Bagaimana cerita keberhasilan kontak damai tersebut?
Itu diawali saat saya menjadi komandan Nanggala di sana, Pak Sahala Raja Guguk baru selesai melaksanakan operasi kikis. Dimana beliau mengerahkan ribuan tentara ribuan orang dibariskan dari pantai utara sampai pantai selatan lalu bergerak maju. Hasil dari operasi itu Pak Sahala menyatakan musuh sudah hancur dan Xanana sudah tertembak mati.
Pada saat itu musuh tercerai berai. Walaupun kenyataannya tercerai berai bukan berarti pasukan Fretelin hancur, itu tidak. Tetapi Pak Sahala menyatakan bahwa sudah selesai, GPK sudah hancur, sehingga pada saat itu Kopassus yang 6 kompi dikurangi menjadi 2 kompi, Batalyon Infanteri yang biasa 14 batalyon dikurangi menjadi 6-8 batalyon. Sehingga pada saat itu GPK yang sementara tercerai berai karena operasi kikis pelan-pelan mulai konsolidasi dan melakukan serangan balik.
Saya sebagai komandan nanggala keteteran terus. Kalau kita lapor nanti dibilang kita panakut karena musuh dikatakan sudah hancur. Saya kontak dengan musuh yang tertangkap dengan Jose, mereka menyatakan tidak hancur, mereka mengaku tercerai berai, dan baru konsolidasi dan mulai mengambil inisiatif untuk melakukan serangan.
Kalau saya ngomong ke belakang dibilang penakut, karena begitu maka saya harus tau persis berapa kekuatan GPK itu. Dari situ saya kontak Jose dan Jose kontak orang sektor tengah sehingga saya bisa mengetahui persis berapa jumlah kekuatan GPK dan saya bisa kontak Xanana.
Bagaimana hubungan dengan Xanana saat itu?
Setelah terjadi kontak damai saya berusaha menyelesaikan pertempuran di sana, kemudian secara politik juga tidak tuntas, kemudian setelah itu saya dengan Xanana tidak ada hubungan apa-apa. Waktu itu ada kunjungan ada anggota parlemen Australia, lalu Xanana meminta supaya bisa menemukan rombongan Australia itu dengan Xanana. Saya meminta petunjuk ke Komandan Korem Pak Purwanto, tetapi tidak diijinkan. Akhirnya saya menghindar terus. Situasi menjadi renggang.Situasi sebenarnya sudah mulai tidak kondusif dengan Xanana, dia merasa saya membohongi.
Situasi ini digunakan untuk mulai mendekati hansip-hansip kita yang kemudian banyak yang terpengaruh. Disamping kita mulai banyak menurunkan GPK turun menjadi masyarakat, tetapi banyak hansip yang terpengaruh juga. Lalu ada peristiwa Klaras, ada beberapa hansip kita yang bisa dipengaruhi membunuh tentara kita. Sejak itu hubungan dengan Xanana menjadi memburuk.
Bagaimana sebenarnya peristiwa Santa Cruz 12 November 1991 ?
Saya belum membuat riset secara ilmiah, tetapi secara umum kita merasakan bahwa peristiwa itu banyak diciptakan oleh Prabowo (Prabowo Subianto) dengan Abilio. Karena Abilio sudah tahu ada kunjungan Human Right dari PBB, pada saat itu tidak ada masalah, peristiwa sudah baik-baik saja. Satu minggu sebelum kedatangan Human Right ini masa yang dikendalikan Abilio melakukan provokasi ke Gereja, mereka menembak mati Sebastion. Peristiwa ini terjadi satu minggu sebelum kedatangan human rights.Menurut saya itu semua diciptakan sehingga pada saat Human Right datang Abilio juga bisa masuk ke dalam kelompok yang anti pemerintah untuk membuat tabur bunga yang mengerahkan masa banyak.
Apa motifnya untuk menciptakan peristiwa itu?
Untuk menjatuhkan kita, para pimpinan militer yanga ada di sana.
Apa intelijen tidak membaca akan ada peristiwa itu?
Itulah, saya juga ditegur oleh Pak Sintong, kenapa kamu tidak mewaspadai. Saya bilang Prabowo datang saya tidak pernah terpikir bahwa orang kita akan mengkhianati kita. Saya pikir kalau Prabowo datang dia dalam rangka bagaimana membantu secara tidak langsung kegiatan operasi militer di sana. Saya tidak mewaspadai Prabowo datang. Saya sering ditegur sama Panglima, Gatot itu kan yunior kamu, kamu tegur donk kan sama-sama Kopassus. Prabowo datang kan seenak sendiri.
Apakah sudah ada keresahan dari pejabat-pejabat militer di sana kalau Prabowo datang?
Kalau keresahan tidak, kita semua tidak pernah berprasangka buruk terhadap Prabowo. Kita pikir Prabowo datang untuk memotivasi kelompok-kelompok Abilio, memberikan semangat atau dukungan untuk membantu kita. Saya berpikir positif, tapi salah saya. Pengkhianatan teman, ya terus gimana? Bowo kan tentara saya pikir dia datang dalam rangka memberikan bantuan, tidak taunya dialah mengkoordinir segala sesuatunya.
Saat itu Mayor Geerhan Lantara ditikam?
Jadi saat ada tamu dari PBB itu ada tabur bunga satu minggu setelah Sebastion mati dan melibatkan orang banyak, rombongan melewati samping Kodim, ada Pak Geerhan dan ditikam.
Apakah penikaman itu yang memicu prajurit melepaskan tembakan?
Itu mempermudah karena andaikan Geerhan tidak ditikam, mereka sampai Santa Cruz pasti tentara di Tai Besi yang sedang beristirahat akan dikompor-kompori.
Apakah ada skenario pihak ketiga yang merencanakan peristiwa Santa Cruz?
Saya menduga ada, karena memang persiapan pihak lawan, wartawan asing yang akan meliput peristiwa itu ada. Sepanjang tidak ada perintah, tidak bisa prajurit TNI menembak, pasukan sedang istirahat.Tapi kenyataan begitu Geerhan ditusuk dan masa berteriak-teriak di Santa Cruz lalu tentara datang menembak. Kalau saya dianggap gagal, mungkin karena saya dianggap tidak waspada terhadap teman-teman sendiri, ya.Semua tentara Indonesia harusnya bersinergi dan memenangkan ini, saya tidak pernah curiga kalau Bowo datang ke sana bertemu dengan Abilio untuk mempersiapkan.
Bagimana dampak Peristiwa Santa Cruz 12 November 1992 terhadap intelijen dan para penanggung jawab pasukan saat itu?
Setelah itu ada proses pergantian pimpinan dijabat oleh Pak Theo Syafei, lalu semua jabatan disana diganti. Kita ditarik ke SUAD ada sidang Mahkamah Militer. Dari Pangdam, Pangkolapops dan Asisten sampai Dandim, hukumannya bervariasi. Semua yang berstatus komandan langsung diberhentikan dengan hormat. Kalau yang tidak berstatus komandan seperti Asisten Operasi hanya tidak diberi jabatan militer tetapi tetap dinas.
Apa reaksi  ketika diberhentikan dengan hormat dari dinas militer
Saya sangat terkejut, tidak menyangka kalau seperti itu. Tapi setelah itu tahu kalau masalahnya latar belakang politik. Kita sudah mulai tahu kalau sebenarnya pekerjaan Prabowo. Sebelum diputuskan kalau komandan diberhentikan dengan hormat kita sudah tahu kalau putusannya akan seperti itu. Jadi semuanya karena Prabowo selalu ke Pak Harto, lalu Pak Harto memerintahkan ke Pak Edi Sudrajat dan memerintahkan pak Faisal Tanjung sebagai komandan Mahkamah Militer.
Ini ambisinya Prabowo untuk …. kan pada waktu Prabowo mau naik yang menghambat dia banyak perwira yang non muslim, seperti Pak Benny, Pak Sahala Raja Guguk, Pak Sintong, Pak Luhut Panjaitan dan lain-lain.
Apa operasi intelijen yang pernah dilakukan di Timor Timur?
Secara umum kegiatan intelijen ya sama, yang dikendalikan Komandan Satgas Intel semua hanya kegiatan, bukan operasi. Pernah saya membantu Prabowo untuk membantu pasukannya Den-81, Prabowo sebagai komandannya, mau pulang hasilnya masih kurang bagus, Prabowo menghadap saya minta bantu untuk mendapatkan target bisa nembak mati musuh dan merampas senjata.
Keberhasilan kegiatan intelijen yang paling dirasakan saat itu?
Kalau kegiatan ya rutin-rutin saja, tapi kalau operasi saya pernah berhasil mengatur gerombolan GPK turun dari bukit waktu tertentu jam tiga sore, turun dari bukit jalan kaki, lalu tim anggota Prabowo tinggal nembak-nembakin saja dari jarak sangat dekat sekali. Jalan setapak itu tidak lebar, setengah meter, anggota gerombolan turun, pasukan sudah siap, pasukan dari Den-81.
Kegagalan intelijen di Timor Timur?
Kalau karena pengkhianatan dari belakang ya Santa Cruz boleh juga dianggap yang paling gagal. Walaupun sebenarnya tidak bisa disalahkan karena yang menggerakkan teman-teman sendiri yang bukan musuh. Ketika teman-teman kita, Abilio, malam-malam mengadakan patroli sesama satuan Indonesia ya tidak apa-apa, ternyata memprovokasi Gereja dan menembak mati.Saya kira intelijen dikatakan berhasil baik juga tidak, dikatakan gagal juga tidak, normal-normal saya.
Satuan-satuan Batalyon masing-masing menguasai wilayahnya, dan dijalankan dengan baik, hasilnya ada yang bagus ada yang nenurunkan gerombolan dan mendeteksi lokasi-lokasi tertentu, itu rutin.Pada waktu operasi 1975 intelijen yang masuk ke Timor Timur bukan dari Kopassus saja, ada yang dari Bakin dll, sehingga keputusan untuk melakukan penyerbuan bukan hanya dari kami saja.
Bagaimana koordinasi di lapangan antar tim intelijen?
Di lapangan kami tidak berkoordinasi tapi di pusat ada koordinasi, wilayahnya masing-masing. Kami Tim Susi wilayah ada di Timor, Target Operasinya beda-beda. Kalau yang dari bakin mereka melakukan dari kota Atambua. Kalau kami masuk ke dalam ke wilayah Timor Portugis.
Pengalaman yang paling menarik di Timor Timur ?
Yang paling menarik dan tidak bisa dilakukan orang lain saya bisa bertemu dan bertukar …. dengan Xanana, dan yang saya senang sekali karena saya bisa mengetahui persis kekuatan GPK tidak hancur, saya bisa membuat foto dan saya bisa laporkan ke Jakarta. Itu operasi intelijen. Pak Sahala yang sudah menyatakan bahwa gerombolan di Timor Timur sudah habis, ternyata tidak begitu, dan Pak Sahala menyatakan Xanana sudah mati, saya bisa membuktikan karena saya ketemu Xanana.
Saat itu kondisi ekonomi Indonesia sedang turun, sebelumnya Xanana pernah mengatakan menjajaki kemungkinan ada Timor Timur menjadi daerah otonomi, tapi Xanana tiap hari monitor radio BBC akhirnya bisa tahu bahwa Indonesia sedang kesulitan keuangan, akhirnya mereka membuat strategi dan mempengaruhi hansip-hansip itu untuk membunuh tentara kita, peristiwa Claras itu.
Peristiwa yang paling tidak disukai di Timor Timur ?
Kalau teknis dilapangan misalkan ada musuh tertembak tapi tidak mati-mati, ususnya keluar berjam-jam minta tolong, kalau begitu ya terkesan, tapi ya…..
Bagaimana dengan peristiwa Santa Cruz?
Satu-satunya Asisten yang berpangkat Kolonel yang langsung turun lapangan ya saya, Asisten Operasi yang harusnya bertanggung jawab malah terbang pakai helikopter lihat dari atas. Begitu saya mendengar tembakan dari markas Korem saya ke lapangan. Dampaknya akhirnya saya diberhentikan dengan hormat karena saya komandan Satgas.
Kejadian di Timor Timur yang kira-kira belum diketahui publik namun perlu disampaikan untuk pelurusan sejarah
Bahwa saya pernah membantu Prabowo untuk menaikkan hasil dari satuannya, tapi kemudian pada saat saya jadi komandan satgas intel dikhianati oleh Prabowo. Itu secara pribadi.
Tentang Santa Cruz?
Peristiwa itu terjadi karena ada skenario, ada pengkondisian, diatur,  sehingga saya tidak bisa terlalu menyalahkan, berkali-kali saya sudah katakan bahwa kita-kita ini termasuk saya  menghadap ke depan.Sepertinya pada saat itu Sjafrie (Sjafrie Sjamsoeddin) masih ada disana. Sjafrie pasukannya sudah keluar, tapi karena saya masih sibuk dengan tamu Human Right, saya tidak punya tendensi apa-apa. Saya bilang kepada Sjafrie “Kamu jangan pulang dulu, selesai Human Right pulang, kita pesta-pesta, potong kambing, kita makan-makan kamu baru pulang”
Padahal kehadirannya Sjafrie dalam peristiwa Santa Cruz dia kan bisa membantu idenya Prabowo karena dia memang orangnya Prabowo. Ini peristiwa terjadi tidak kecil perannya Sjafrie juga, yang waktu itu tidak jabatan apa-apa. Karena saya tidak punya pikiran apa-apa waktu itu maka saya minta Sjafrie tinggal dulu.Santa Cruz tercipta oleh suatu kondisi yang memudahkan, saat itu saya tidak pernah curiga karena itu teman, mana nungkin Bowo dan Sjafrie mengkhianati kita.Yang menyatakan itu bukan hanya saya saja, Pak Sintong juga menyatakan hal yang sama.
Pada saat diberhentikan dari dinas militer, sebelumnya mempunyai karir yang bagus, bagaimana dengan hal itu? Apakah ada kekecewaan?
Saya ngacau nggak karuan, pergi ke diskotik, hura-hura dam lain, ya ngacau. Tapi setelah saya bergabung dengan grup Tommy Winata saya diberi kesibukan saya mulai berubah. Yang memang kadang-kadang sekarang ini merasa tertekan, karena misal katakanlah yang simple menghadiri acara perkawinan, ada tempat tertentu bagi para perwira tinggi (jendral), sedang saya Kolonel.
Sedangkan saya tahu yang perwira tinggi masuk situ kan orang-orang yang kalau diukur ya apa, yang dari Ajen, dari Keuangan, nongkrongnya di tempat yang terhormat. Karena dia mulus-mulus saja, dia mendapatkan tempat yang terhormat, sedangkan saya mesti duduk di belakang. Itu yang kadang-kadang kalau ada undangan saya males. Sebetulnya mereka tidak membatasi walaupun saya cukup bangga saat ini karena kalau saya masuk ke mereka juga tidak berani negur, misal Pak Kiki (Kiki Syahnakrie) tetap saja menghargai saya.
Hubungan dengan Xanana sekarang?
Hubungan saya dengan Xanana sampai sekarang baik, mereka mendapat bantuan cukup banyak dari Indonesia, sembilan bahan pokok dari Indonesia kecuali beras. Pemenang tender pembangunan kebanyakan dari Indonesia. Ketergantungan mereka dengan Indonesia sangat tinggi.Beberapa waktu yang lalu kira-kira tiga minggu yang lalu, saya pergi ke Dili, pengawal-pengawalnya Xanana bergabung karena tahu saya buka meja. Mula-mula lagu barat tidak begitu, tapi begitu diganti lagu dangdut mereka lebih enjoy, pengaruh budaya Indonesia begitu besar.
Saran bagi TNI dan Pemerintah agar peristiwa disintegrasi seperti ini tidak terulang?
Ini tidak bisa dilihat hanya dari kacamata militer, apalagi hanya intelijen, tapi ada banyak faktor. Dari sisi militer, hal tidak logis adalah seorang tentara yang mengkhianati tentara lain. Kalau saya buat saran, kalau operasi militer kita juga tetap mewaspadi garis belakang, mewaspadai teman-teman kita yang  akan menusuk kita menusuk di dalam selimut. Yang paling parah kan itu.

Sabtu, 04 Juli 2015

Simpulan & Rekomendasi Penelitian dan Verifikasi Korban Pelanggaran HAM Peristiwa 1965/1966 di Kota Palu

04/06/2015



Simpulan
Penelitian dan verifikasi ini menemukan sejumlah fakta, Peristiwa 1965/1966 yang diawali oleh Gerakan 30 September 1965 di Jakarta, imbas dan dampaknya terjadi juga di Kota Palu. Sebagaimana yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, di Kota Palu pun pada saat itu terjadi “pembersihan” terhadap mereka yang terlibat di Partai Komunis Indonesia berserta dengan segenap elemen-elemennya.
Sebagai bagian dari upaya “pembersihan” ini, di Kota Palu terjadi penangkapan, penahanan, dan pemenjaraan terhadap mereka yang tergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), anggota organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan PKI, dianggap sejalan dan bersimpati dengan ideologi komunisme, atau (hanya) dituduh begitu saja sebagai bagian dari PKI. Tindak penangkapan, penahanan, dan pemenjaraan itu sendiri bisa dikategorikan sebagai perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik secara sewenang-wenang yang melanggar asas-asas atau ketentuan pokok hukum karena tidak didasari dengan bukti dan kejelasan kesalahan. Dalam perpektif hak asasi manusia, tindakan demikian bisa digolongkan sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia; dan mereka yang mengalami tindakan tersebut bisa dikategorikan sebagai korban pelanggaran hak asasi manusia.
Bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia lainnya yang muncul terkait dengan Peristiwa 1965/1966 di Kota Palu yang dicatatkan secara lebih mendalam di dalam penelitian dan verifikasi ini adalah penyiksaan (satu kasus di antaranya adalah yang sampai menyebabkan kematian); wajib lapor dan kerja paksa; penghilangan orang secara paksa; dan kekerasan terhadap perempuan. Bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia tersebut sekurang-kurangnya dialami oleh 485 warga Kota Palu yang berhasil diverifikasi dan mau membagikan informasinya untuk penelitian ini. Para korban yang bersedia diverifikasi ini berasal dari enam kecamatan dan tersebar di 19 kelurahan. Palu Utara tercatat sebagai kecamatan yang paling banyak dihuni oleh korban, yaitu sebanyak 326 orang.
Mereka yang menjadi korban pelanggaran HAM terkait Peristiwa 1965/1966 tersebut kemudian harus mengalami dampak berkepanjangan. Kehidupan mereka dan keluarganya diabaikan oleh negara. Selama rezim Orde Baru, dengan diterapkannya berbagai kebijakan yang tidak adil dan diskriminatif, mereka harus kehilangan hak-hak sipil dan politik; sedangkan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya mereka pun dibatasi. Mereka mengalami stigmatisasi dan diskriminasi secara sistematis, dipinggirkan secara sosial, “dimiskinkan” secara ekonomi karena kehilangan dan tertutupnya berbagai akses dan kesempatan (terutama akses terhadap pendidikan dan pekerjaan), sehingga mereka hidup seperti dalam “kotak isolasi” yang itu pun penuh dengan tekanan dan ancaman.
Secara sosial-ekonomi, mereka yang menjadi korban sebagian besar hidup sebagai masyarakat yang tergolong miskin. Secara mental-psikologis, sampai saat ini, sebagian korban masih tetap dibayangi dengan trauma yang mendalam. Masih kuatnya trauma itu pula yang menjadi salah satu sebab, ada sejumlah korban yang menolak untuk diverifikasi dan mau membagikan informasi berkenaan dengan apa yang terjadi dan pernah mereka alami.
Konteks Peristiwa 1965/1966 yang teradi di Kota Palu memiliki karakteristik yang boleh disebut berbeda dengan Peristiwa 1965/1966 yang juga terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Tidak sebagaimana yang terjadi di Sumatera, Jawa, Bali, dan sejumlah wilayah Sulawesi lainnya, Kota Palu terhindar dari adanya “banjir darah”. Ketika Peristiwa 1965/1966 terjadi, situasi dan kondisi di Kota Palu relatif cukup terkendali. Di samping kasus penghilangan paksa terhadap empat orang, jatuhnya korban jiwa relatif sedikit.
Faktor paling kuat yang berhasil menjaga Kota Palu dari adanya “banjir darah” pada peristiwa ini adalah karena masyarakat Suku Kaili, yang menjadi mayoritas warga Kota Palu, memiliki hubungan kekeluargaan dan kekerabatan yang sangat erat dan kuat. Ketika Peristiwa 1965/1966 terjadi di Kota Palu, masyarakat Suku Kaili rupanya tetap menjunjung tinggi filosofi belontana data nosampesuvu (atau posampesuvu, rasa kekeluargaan), yang dalam praktiknya hal itu berwujud saling menjaga dan melindungi satu sama lain.
Filosofi itu pula yang secara langsung atau tidak kemudian bisa membukakan jalan yang lebih lapang ketika ada niat dan keinginan untuk mulai melakukan rekonsiliasi di tingkat masyarakat. Di tengah adanya stigmatisasi dan diskriminasi sistematis terhadap para korban, benih-benih rekonsiliasi sesungguhnya sudah mulai tersemai. Benih-benih itu kian tumbuh di era reformasi, ketika berbagai hal yang terkait Peristiwa 1965/1966 mulai tidak lagi dianggap tabu dan sering dibicarakan. Pengakuan Sersan Bantam—salah seorang tentara yang turut membawa tiga orang tanahan dari Penjara Donggala yang kemudian dihilangkan secara paksa—yang, dengan kesadaran diri dan rasa kemanusiannya, memberikan informasi terperinci mengenai proses penghilangan paksa terhadap ketiga tahanan yang dibawanya kepada keluarga korban, menjadi satu tonggak penting bagi bergulirnya proses rekonsiliasi di Kota Palu. Sekurang-kurangnya, pengakuan dari Sersan Bantam itu telah membawa secercah titik terang kebenaran bagi keluarga korban.
Tonggak penting lainnya dalam proses rekonsiliasi di Kota Palu ini adalah disampaikannya permintaan maaf dari Walikota Palu, H. Rusdy Mastura, kepada warga Kota Palu yang menjadi korban pelanggaran HAM Peristiwa 1965/1966 pada 24 Maret 2012. Permintaan maaf Walikota Palu itu merupakan langkah terobosan berani yang patut diapresiasi dan dihargai. Ketika negara, dalam hal ini pemerintah pusat di Jakarta, masih gamang dalam menyikapi Peristiwa 1965/1966, Walikota Palu justru mengakui akan adanya kekeliruan yang dilakukan oleh bangsa dan negara ini di masa lalu.
Permintaan maaf Walikota Palu yang ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Peraturan Walikota (Perwali) Palu Nomor 25 Tahun 2013 tentang Rencana Aksi Hak Asasi Manusia Daerah yang memandatkan adanya pemenuhan HAM bagi para korban pelanggaran HAM, membuka babak baru bagi para korban pelanggaran HAM di Kota Palu. Ini bisa menjadi pintu untuk menembus kebuntuan dan kebekuan dalam upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Ada harapan dan sekaligus niat, pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama kini akan mencari solusi terbaik untuk memutus ketidakadilan dan diskriminasi yang selama ini dialami oleh para korban.
Perwali itu sendiri memang bukanlah hasil sempurna, yang sanggup mengakomo-dasi semua hak dan kepentingan para korban pelanggaran HAM yang telah berpuluh tahun diperjuangkan. Akan tetapi, terlepas dari segala kekurangan yang ada, terber-sit seberkas harapan, para korban pelanggaran HAM itu, sekurang-kurangnya, kini telah bisa “diakui” keberadannya: bahwa mereka nyata adanya, patut mendapatkan perhatian, bukan semata-mata karena mereka warga Kota Palu dan warga negara Indonesia yang secara konstitusional memiki hak yang sama sebagaimana warga negara lainnya. Lebih dari itu, mereka memang layak untuk mendapatkan perhatian khusus karena selama berpuluh tahun negara telah abai terhadap mereka dan telah merampas hak-hak mereka sebagai manusia.
Rekomendasi
Berangkat dari kesimpulan tersebut, berikut adalah sejumlah rekomendasi untuk ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah Kota Palu :
  1. Pemerintah Daerah Kota Palu harus menuangkan permintaan maaf Walikota terhadap para korban pelanggaran HAM Peristiwa 1965/1966 secara tertulis yang bisa dijadikan sebagai dokumen resmi.
  2. Pemerintah Daerah Kota Palu harus segera menindaklanjuti “Surat Keterangan Korban” dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia yang diberikan kepada para korban pelanggaran HAM Peristiwa 1965/ 1966 di Kota Palu sebagai bagian untuk memenuhi harapan terbesar korban yang menghendaki rehabilitasi nama baik. Upaya tindak lanjut yang dimaksud adalah dengan mengeluarkan “Surat Keterangan Khusus” yang secara resmi diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Kota Palu. Dengan surat keterangan khusus tersebut para korban setidaknya akan mendapatkan “pengakuan awal” yang terlegitimasi dari lembaga negara yang berwenang dan Pemerintah Daerah sebelum Negara Republik Indonesia benar-benar bisa memberikan rehabilitasi nama baik kepada mereka.
  3. Pemerintah Daerah Kota Palu perlu untuk terus melakukan berbagai terobosan di ranah penegakkan hak asasi manusia, dan senantiasa menjadikan hak asasi manusia sebagai perspektif serta dasar pijakan dalam merumuskan berbagai kebijakan dan perencanaan pembangunan daerah.
  4. Pemerintah Daerah Kota Palu harus segera mengimplementasikan Perwali Nomor 25 Tahun 2013 untuk memberikan program pemenuhan hak asasi manusia kepada pada korban pelanggaran HAM Peristiwa 1965/1966 sebagaimana yang dimandatkan dengan mengacu pada data korban pelanggaran HAM Peristiwa 1965/1966 yang telah terverifikasi.
    • Merumuskan dan merancang program pemenuhan HAM bagi para korban secara lebih terencana, terintegrasi, dan saksama agar setiap SKPD, teruta-ma dinas-dinas dan lembaga-lembaga yang menjadi penyedia layanan, bisa menjalankan program-program pemenuhan HAM bagi para korban secara efektif, tepat sasaran, dan berkelanjutan.
    • Mengutamakan pemenuhan HAM terhadap korban langsung, terutama yang berkenaan dengan penenuhan hak di bidang kesehatan (karena para korban langsung kini sudah lanjut usia dan kondisi mereka sering sakit-sakitan), hak di bidang perumahan (agar di masa tuanya mereka memiliki tempat tinggal yang lebih layak), dan hak di bidang ekonomi, yang di antaranya bisa dalam bentuk bantuan modal usaha (selain bisa membantu meningkatkan taraf hidup dan perekonomian keluarga, bantuan modal usaha ini pun bisa ditujukan untuk mengisi aktivitas para korban di masa tua mereka sebagai bagian dari proses pemulihan trauma).
  5. Pemerintah Daerah Kota Palu perlu untuk mengambil langkah-langkah konkret dan langkah-langkah afirmatif, sekurang-kurangnya yang sesuai dengan kesanggupan dan kewenangan, baik di tataran politik-kebijakan, sosial-ekonomi, maupun psiko-sosial, di samping menjalankan program pemenuhan HAM sebagai-mana yang dimandatkan Perwali.
  6. Pemerintah Daerah Kota Palu perlu untuk menjaga dan memperkuat proses rekonsiliasi yang selama ini telah dirajut agar bisa terus berlanjut dan berdampak lebih luas. Langkah-langkah yang bisa dilakukan di antaranya adalah dengan memberi dan membuka ruang lebih lebar kepada para korban untuk “mengungkapkan kebenaran” atas peristiwa yang pernah mereka alami dan melibatkan mereka secara penuh untuk turut berpartisipasi dalam berbagai proses tahapan dan kegiatan pembangunan di Kota Palu tanpa dihantui dengan ketakutan dan kecemasan serta adanya tekanan, ancaman, stigmatisasi, dan diskriminasi sebagaimana yang pernah terjadi dan mereka alami di masa lalu.
  7. Pemerintah Daerah Kota Palu perlu memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap para korban yang mengalami kerja paksa di Kota Palu; dan sekaligus menandai lokasi-lokasi tempat kerja paksa tersebut sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah perkembangan dan pertumbuhan Kota Palu. Hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa proses pembangunan sejumlah infrastruktur, fasilitas, dan sarana publik yang kini ada dan dinikmati oleh warga Kota Palu merupakan hasil jerih payah dan kontribusi dari para korban pelanggaran HAM Peristiwa 1965/1966 yang kala itu dipekerjapaksakan.
  8. Pemerintah Daerah Kota Palu perlu untuk melakukan verifikasi lanjutan terhadap anak-anak korban sebagai “korban terdampak langsung”, agar mereka bisa menikmati program pemenuhan HAM secara lebih merata dan tepat sasaran. Proses verifikasi terhadap korban Peristiwa 1965/1966 baru mencakup korban langsung; sementara, program pemenuhan HAM yang dimandatkan oleh Perwali mencakup juga keluarga (anak-anak dan cucu korban) yang merupakan “korban terdampak langsung”.
  9. Pemerintah Daerah Kota Palu perlu untuk mengusulkan kepada Dinas Pendidikan untuk memasukkan materi Hak Asasi Manusia dan Konteks Peristiwa 1965/ 1966 di Kota Palu sebagai bahan ajar di sekolah-sekolah, sekurang-kurangnya sebagai muatan lokal.
  10. Pemerintah Daerah Kota Palu perlu untuk menyosialisasikan hasil penelitian dan verifikasi ini kepada berbagai pihak, khususnya kepada segenap warga Kota Palu, agar informasi mengenai pelanggaran HAM Peristiwa 1965/1966 yang terjadi di Kota Palu bisa menjadi pengetahuan dan bahan pembelajaran bersama untuk menata kehidupan yang lebih baik di masa depan.
Unduh Ringkasan Eksekutif Penelitian dan Verifikasi Korban Pelanggaran HAM Peristiwa 1965/1966 di Kota Palu

Sumber: SKP-HAM 

5 Kerangka Korban Peristiwa G 30 S PKI 1965 di Sumur Tua


Sabtu, 04 Juli 2015 | 16:10 WITA


 Beritabali.com, Jembrana. Warga Banjar Anyar, Desa Baluk, Kecamatan Negara, Jembrana Bali, Sabtu (4/7/2015), dihebohkan dengan penemuan 5 kerangka manusia di sebuah  sumur tua milik warga setempat. 5 kerangka manusia yang sudah mulai hancur itu, diduga merupakan korban peristiwa politik G 30 S PKI tahun 1965.

Penemuan 5 kerangka manusia tersebut bermula saat pemilik tanah hendak menggali tanahnya untuk mencari sebuah sumur tua yang sudah tertimbun beberapa tahun lalu.

Menurut pemilik tanah, I Wayan Nantrem,  sumur tua digali untuk selanjutnya dibongkar, sesuai kepercayaan umat Hindu Bali.

Umat hindu percaya, jika ada sumur yang tertimbun, maka harus diupacarai agar tidak menimbulkan penyakit atau hal-hal buruk lainnya.

Ketika penggalian sudah mencapai kedalaman 9,5 meter, 5 kerangka jenazah yang diduga korban pembunuhan politik G 30 S PKI tahun 1965 ditemukan.
"Sebelum membeli tanah tersebut saya sudah mendengar informasi jika di areal tanah itu terdapat sumur tua yang digunakan mengubur jenazah korban pembunuhan peristiwa  G 30 S PKI tahun 1965," jelas Wayan Nantrem.
Penemuan tersebut langsung dilaporkan ke kepolisian Polres Jembrana guna keperluan pemeriksaan. 
"Kerangka tersebut merupakan korban dari peristiwa  politik tahun 1965 di wilayah itu," ujar Kapolres Jembrana, AKBP Harry Haryadi.  
Untuk keperluan pemeriksaan, kerangka jenazah tersebut dibawa ke kamar jenazah RSU Negara. Setelah diperiksa, selanjutnya 5 kerangka tersebut akan diserahkan kepada pihak desa untuk diupacarai secara agama Hindu.
[bbn/jsp]

Kamis, 02 Juli 2015

Mantan Kepala CIA di Indonesia Tutup Usia

KAMIS, 02 JULI 2015 | 20:22 WIB

Lambang Central Intelligence Agency (CIA), badan intelijen Amerika, yang terdapat di Lobi Markas Besar CIA di Langley. cia.gov

TEMPO.CO, Washington - Hugh Tovar, yang pernah menjadi kepala kantor badan intelijen Amerika Serikat, Central Intelligence Agency (CIA) di Indonesia, meninggal Sabtu, 27 Juni, 2015, di Greensburg, Amerika Serikat. Berita ini dilansir situs triblive.com edisi 2 Juli 2015.

Tovar menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan CIA dan berada di tengah-tengah apa yang disebut Newsweek sebagai "dua operasi aksi rahasia paling kontroversial CIA selama Perang Dingin" sebelum akhirnya pensiun ke Laurel Highlands, Pennsylvania.

Bernardo Hugh Tovar, dikenal secara profesional sebagai B. Hugh Tovar dan dipanggil "Hugh" oleh keluarga dan teman-temannya, meninggal dengan tenang di Rumah Sakit St Anne di Greensburg, dalam usia 92 tahun.

Tovar, yang berkarir 30 tahun di CIA membeli sebuah pondok di Champion, tahun 1967, yang letaknhya beberapa mil dari Seven Springs. "Kami pindah ke sana pada akhir tahun 2001 dan memutuskan untuk membangun rumah di sana," kata istrinya, Pamela Kay Balow.

"Kami menghabiskan enam bulan di sana dan beberapa tahun kemudian, pada tahun 2004 atau 2005, kami pindah ke sana secara penuh. Kami mencintai keindahan Laurel Highlands, kami mencintai ketenangan, kami mencintai lingkungan dan teman-teman kami," kata Balow, yang menikah dengan Tovar pada 31 Desember 1975, di Bangkok, Thailand.

Tovar pensiun pada tahun 1978 tetapi tidak pernah benar-benar berpisah dengan masa lalunya sebagai orang intel. "Dia akan berbicara dengan siapa saja yang akan tertarik bicara dengannya. Dia tidak akan berbicara tentang rahasia. Apa yang dia bisa katakan adalah apa yang dilakukannya dan mengapa ia melakukannya. Ada beberapa prestasi dan beberapa kesulitan."

"Dia menulis sejumlah hal pada 1970-an dan 1980-an untuk National Strategy Information Center di Washington yang menjadi sumber primer untuk berbagai bagian dari bisnis intelijen - aksi rahasia, kontra intelijen, operasi paramiliter - yang diajarkan di universitas-universitas," kata Balow.

Koresponden keamanan nasional Newsweek Jeff Stein menulis pekan ini bahwa perang terselubung CIA di Laos selama masa Tovar adalah operasi paramiliter terbesar dan terpanjang dalam sejarah CIA.

"Itu berlangsung 1961-1975 dan mempekerjakan ratusan agen CIA dan pilot, serta ribuan suku lokal Hmong dalam upaya yang gagal untuk memblokir Komunis Vietnam Utara dan menggunakan Laos sebagai rute pasokan dan landasan untuk serangan ke Vietnam Selatan," tulis Stein.

"Hugh membuat jejak selama bertugas di Indonesia pada pertengahan 1960-an ketika ia menjadi Kepala Kantor CIA selama kerusuhan anti-Cina yang sangat berdarah yang menyebabkan Soekarno terguling dan naiknya Soeharto," kata Colin Thompson, mantan petugas CIA kepada Newsweek.

Tovar selalu membantah memberikan informasi rahasia kepada orang-orang di Kedutaan Besar AS di Jakarta yang memberi militer Indonesia nama-nama orang yang diduga Komunis, yang kemudian diburu dan dibunuh, kata Stein. "AS tidak --dengan sejumlah cara -- membantu Angkatan Darat menekan Komunis," kata Tovar dalam sebuah wawancara tahun 2001, yang dikutip Stein.

Tovar, yang berasal dari Bogata, Kolombia, dan merupakan veteran Perang Dunia II, disebut Stein sebagai "pengkritik yang terukur" dari upaya Amerika Serikat untuk menggulingkan pemerintah asing.

TRIBLIVE.COM | ABDUL MANAN