HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Selasa, 30 September 2003

Menyibak Tirai Hitam Mahmilub

Selasa, 30 September 2003 | Tim Redaksi 

Tak banyak yang tahu kalau gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di bilangan Diponegoro Jakarta adalah tempat digelarnya persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa. Tempat itu menjadi saksi bisu proses peradilan bagi tokoh-tokoh yang dituduh terlibat G.30.S. Hampir semuanya dihukum mati.


Di akhir November dan awal Desember 1965 Mayjen Soeharto meminta wewenang Presiden Soekarno menggunakan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) untuk memeriksa dan mengadili para tahanan yang dituduh terlibat G-30S. Kemudian, melalui Keppres No. 370/1965 lembaga dimaksud diberi mandat mengadili "tokoh-tokoh" aksi G.30.S.

Dalam buku "Mengadili Korban" (ELSAM, 2003), Samuel Gultom mengungkapkan bahwa kala itu Suharto yang berkuasa untuk menentukan siapa yang dikategorikan sebagai "tokoh", bertindak sebagai perwira penyerah perkara dan menentukan susunan Mahmilub. Sebagai tempat penyelenggaraan persidangan dipilih gedung Bappenas di Jalan Diponegoro Jakarta Pusat.
Mahmilub sendiri sebenarnya telah ada sejak 1963 melalui Penetapan Presiden No.16/1963, dan kasus pertama yang ditangani lembaga ini adalah perkara Dr. Soumokil dengan Republik Maluku Selatan-nya. Perkara Soumokil diputus berdasarkan Putusan Mahmilub No.1, 25 April 1964.
Pengadilan militer untuk sipil
Kekhususan dari Mahmilub, menurut Gultom, terletak pada dua hal. Pertama, institusi tersebut adalah pengadilan tingkat pertama sekaligus terakhir, karena terdakwa ataupun oditur atau penuntut tidak dapat melakukan upaya banding. Kedua, Mahmilub merupakan lembaga peradilan militer yang memeriksa warga sipil.

Gultom menyatakan bahwa secara keseluruhan Mahmilub memeriksa sebanyak 17 perkara yang terkait dengan aksi G.30.S. Sementara, hingga 1978 Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) memeriksa sebanyak 291 perkara dan pengadilan negeri sebanyak 466 perkara.
Namun, Buku Putih G.30.S yang diterbitkan Sekretariat Negara RI tahun 1994, mencatat bahwa ada 24 orang dari ratusan atau mungkin ribuan tokoh yang terlibat PKI yang "beruntung" diajukan ke pengadilan. Dan hampir seluruhnya adalah mereka yang masuk dalam Golongan A. Selengkapnya lihat tabel nama-nama tokoh PKI yang pernah disidangkan di bawah ini:
No
Terpidana
Jabatan/Pangkat Terakhir
Putusan
1
Njono
Anggota Politbiro CC PKI
Putusan Mahkamah No.PTS-009/MB-I/A/1966, tanggal 21 Februari 1966
2
Untung bin Samsuri
Letkol Infanteri
Putusan Mahkamah No.PTS-03/MB-III/U/1966, tanggal 6 Maret 1966
3
Wirjomartono
Anggota Biro Khusus PKI
Putusan Mahkamah No.PUT-07/MB-II/WN/1966, tanggal 18 Mei 1966
4
Sujono
Major Udara
Putusan Mahkamah No. PUT-07/MLB-V/SJN/66, tanggal 3 Juni 1966
5
Peris Pardede
Ketua Komisi Kontrol CC PKI
Putusan Mahkamah No. PTS 07/MB/VI/PPAA/1966, tanggal 23 Juni 1966
6
Sudisman
Ketua Komisi Kontrol CC PKI
Putusan Mahkamah No. PTS 23/MLB/VI/PPAA/1966, tanggal 23 Juni 1966
7
Heru Atmodjo
Letkol Udara
Putusan Mahkamah No. PTS-010/MLB-VII/H.A/1966, tanggal 12 Agustus 1966
8
Ulung Sitepu
Brigjen TNI
Putusan Mahkamah No. PTS-012/I/MHL/1966, tanggal 18 September 1966
9
Dr. Soebandrio
Wakil Perdana Menteri I/Menteri Luar Negeri RI
Putusan Mahkamah No. PTS-013/MLB-XI/BDR/1966, tanggal 23 Oktober 1966
10
Omar Dani
Laksamana Madya Udara, Menteri/Panglima Udara
Putusan Mahkamah No. PTS-017/MLB/XIV/OD/1966, tanggal 23 Desember 1966
11
Supardjo
Brigjen TNI
Putusan Mahkamah No.PTS-19/MLB-II/SPD/1967, tanggal 12 Maret 1967
12
Tamuri Hidajat
Peltu
Putusan Mahkamah No. PTS-026/MLB-IX/SPD/1967, tanggal 30 September 1967
13
Kamaruzzaman bin Achmad Mubaidah alias Sjam
Kepala Biro Khusus PKI
Putusan Mahkamah No. PTS-27/MLB/I/K/1968, tanggal 9 Maret 1968
14
Moeljono bin Ngali alias Bono Walujo
Pimpinan Biro Khusus PKI
Putusan Mahkamah No. PTS-028/MLB-II/W/1968, tanggal 9 Oktober 1968
15
Abdullah Alihami
Sekretaris I CBD PKI Riau
Putusan Mahkamah No. PTS-PK-032/MLB-I/AA/70, tanggal 16 Februari 1970
16
Ranu Sunardi
Letkol Laut
Putusan Mahkamah No. PTS-033/MLB/X/RS/1970, tanggal 18 Oktober 1970
17
Sukatno
Sekjen Dewan Nasional Pemuda Rakyat, anggota CC PKI
Putusan Mahkamah No. 51/70/Vord, tanggal 11 Maret 1971
18
Supono Marsudidjojo alias Pono
Pimpinan Biro Khusus PKI
Putusan Mahkamah No. PTS-035/MLB-III/SM/1972, tanggal 8 Maret 1972
19
Suwandi
Sekretaris CDB PKI Jawa Timur
Putusan Mahkamah No. 520/K/1973, tanggal 11 Juni 1973
20
Ismail Bakri
Sekretaris I CDB PKI Jawa Barat
Putusan Mahkamah No. 1/1973/PID.SUBV, tanggal 3 Oktober 1973
21
R. Sugeng Sutarto
Brigjen Polisi
Putusan Mahkamah No. PTS-37/MLB-IX/RSS/1973, tanggal 24 Desember 1973
22
Ruslan Widjajasastra
Anggota CC PKI, Ketua Politbiro PKI Blitar Selatan
Putusan Mahkamah No. 15/PID-SUB/74Vord, tanggal 15 Juli 1974
23
Rustomo alias Istam alias Hasjim alias Amat alias Hasdi
-
Putusan Mahkamah No. 40/1975, tanggal 22 Oktober 1975
24
Gatot Sutarjo alias Gatot Lestarjo alias Sadi
-
Putusan Mahkamah No. 456/1975/PIOD/SUBV, tanggal 2 Januari 1976
Sumber: Sekretariat Negara RI, 1994
Kecuali Letkol. (udara) Heru Atmodjo yang divonis hukuman penjara seumur hidup, semua terdakwa yang diadili di Mahmilub dijatuhi dengan hukuman mati. Sedangkan, pemimpin-pemimpin puncak PKI seperti Aidit, Nyoto, dan Lukman yang dituduh ikut mendalangi aksi G.30.S dieksekusi setelah diinterogasi seadanya, tanpa pernah diajukan ke pengadilan.
Terhadap mereka yang dituduh menjadi anggota PKI dan pendukungnya, Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) menggolongkan mereka ke dalam tiga golongan sebagai berikut:
  1. Golongan A, yaitu mereka yang terlibat langsung dalam pemberontakan G.30.S/PKI, baik di pusat maupun daerah.
  2. Golongan B, yaitu mereka yang telah disumpah atau menurut saksi telah menjadi anggota PKI atau pengurus ormas yang seasas dengan PKI atau mereka yang menghambat usaha penumpasan G.30.S/PKI.
  3. Golongan C, yaitu mereka yang pernah terlibat dalam pemberontakan PKI-Madiun; atau anggota ormas seasas dengan PKI, atau mereka yang bersimpati atau telah terpengaruh sehingga menjadi pengikut PKI.
Tindakan hukum terhadap ketiga golongan tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Terhadap Golongan A, pemerintah memproses melalui sidang pengadilan.
  2. Terhadap Golongan B, pemerintah melakukan pemisahan dari masyarakat dengan cara mengumpulkan mereka di dalam satu tempat, dengan tujuan mengamankan mereka dari kemarahan-kemarahan rakyat dan mencegah jangan sampai mereka melakukan kegiatan yang menghambat upaya penertiban keamanan yang dilakukan pemerintah. pada tahun 1978 Golongan B ini seluruhnya telah dikembalikan lagi ke dalam masyarakat.
  3. Terhadap Golongan C, pemerintah memberikan bimbingan dan mereka bebas hidup dalam masyarakat sehingga diharapkan akan menjadi warga negara yang baik.
Namun, dalam kenyataannya "tindakan hukum" terhadap sebagian besar orang-orang yang dianggap terlibat PKI, baik yang termasuk Gol. A, Gol. B, ataupun Gol. C, sama sekali menginjak-injak hukum yang berlaku. penangkapan yang tidak mengindahkan hukum dan perikemanusiaan merupakan hal yang lumrah dilakukan ketika itu.

Mengenai hal ini, Gultom menulis bahwa terjadi pembunuhan massal terhadap para pemimpin, pendukung, dan simpatisan PKI, atau bahkan yang hanya memiliki hubungan famili dengan orang-orang komunis.
Gultom memaparkan pula bahwa pada masa itu ratusan ribu bahkan jutaan orang dibunuh tanpa pernah dijelaskan apa kesalahannya. Propaganda melalui media massa tentang kesadisan aksi G.30.S membuat banyak orang memaklumi eksekusi tanpa proses pengadilan tersebut-atau malah ikut-ikutan secara sadis dan membunuhi mereka yang dituding komunis.

PKI dalangnya

Sementara itu, Sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam berpendapat bahwa pada intinya dihidupkannya kembali Mahmilub semata-mata untuk mengungkapkan PKI sebagai dalang. Karena itu semua pemeriksaan diarahkan pada PKI  sebagai dalang.
"Yang anehnya, hasil pemeriksaan yang menyebutkan lain itu tidak dipakai. Jadi, ada kesaksian seorang mayor dari Jawa timur yang menyatakan dalangnya itu adalah Untung dan Latief, tapi itu tidak dipakai. Justru hasil pemeriksan yang menyatakan PKI itu yang justru kemudian dijadikan bahan sejarah," jelas Asvi.
Asvi menambahkan bahwa semua pemeriksaan di Mahmilub diarahkan pada PKI sebagai dalang, tujuannya agar PKI bisa dihancurkan. 
"Soeharto itu bertindak sebagai perwira penyerah perkara. Nah, ketika ia menyerahkan perkara itu, ia sudah menyatakan dalam pidato penyerahan itu PKI ini bersalah. Jadi, apa artinya Mahmilub karena sebelum diserahkan perkaranya, dalam pengantarnya, Soeharto sudah menyatakan PKI ini bersalah," katanya.
Oleh karena tujuan utama dari Mahmilub semata-mata adalah untuk menghancurkan PKI, maka itulah sebabnya mengapa hampir semua terdakwanya diganjar vonis hukuman mati. 
"Jadi jelas targetnya, melenyapkan mereka," tandas Asvi.

Sumber: HukumOnline 

Perjuangan Panjang Mencari Rehabilitasi Diri

Selasa, 30 September 2003

Ketika Hersri Setiawan meluncurkan buku berjudul "Aku Eks Tapol" pada Kamis (23/08) pekan lalu, salah seorang kawannya sesama tapol yang pernah mendekam di Pulau Buru mengajukan protes pada Hersri. Kawan itu, Gorma Hutajulu memprotes judul buku yang Hersri yang mencantumkan kata eks tapol.
Tim Redaksi


Ketika Hersri Setiawan meluncurkan buku berjudul "Aku Eks Tapol" pada Kamis (23/08) pekan lalu, salah seorang kawannya sesama tapol yang pernah mendekam di Pulau Buru mengajukan protes pada Hersri. Kawan itu, Gorma Hutajulu memprotes judul buku yang Hersri yang mencantumkan kata eks tapol.
Menurut Gorma,  sampai saat ini, ia masih merasa sebagai tahanan politik (tapol), bukan eks tapol. Pasalnya, saat ini pun para eks tapol masih tidak memiliki hak untuk dipilih, walaupun memiliki hak untuk memilih dalam Pemilihan Umum. 

Sampai saat ini, diskriminasi terhadap eks tapol dan keluarganya memang belum sepenuhnya berakhir. Selain tidak dapat dipilih dalam Pemilihan Umum, para eks tapol juga tidak dapat memperoleh KTP seumur hidup yang lazimnya diberikan pada warga negara berusia di atas 60 tahun. Bagi eks tapol, mereka harus memperpanjang KTP setiap tiga tahun.  Hal ini tertera dalam Kepmendagri N0 24 Tahun 1991.

Diskriminasi yang tak kunjung berakhir inilah yang menjadi salah satu alasan para korban 1965, antara lain eks tapol dan keluarganya, masih terus berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan rehabilitasi. 


Surat MA

Kalau Presiden Megawati sempat meneliti surat-surat yang diterimanya dalam beberapa bulan terakhir, ia akan menemukan paling tidak tiga buah surat dari tiga lembaga. Isi ketiga surat itu hampir serupa, yaitu meminta Presiden agar merehabilitasi para korban G.30.S.

Surat pertama tertanggal 12 Juni 2003 berasal dari Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan. Dalam surat bernomor KMA/403/VI/2003 itu, Bagir menyatakan bahwa MA banyak menerima surat dari berbagai kelompok masyarakat yang menyatakan diri sebagai korban orde baru dan mengharapkan untuk memperoleh rehabilitasi. 

"Dengan dilandasi keinginan untuk memberikan penyelesaian dan kepastian hukum yang dapat memulihkan status dan harkat mereka sebagai warga negara yang sama, serta didorong oleh semangat rekonsiliasi bangsa kita, maka Mahkamah Agung dengan ini memberikan pendapat dan mengharapkan kesediaan saudara presiden untuk mempertimbangkan dan mengambil langkah-langkah konkrit ke arah penyelesaian tuntutan yang sangat diharapkan tersebut," tulis Bagir dalam surat, yang salinanannya diperoleh hukumonline.

Surat ketua MA itu juga melampirkan 10 surat permohonan rehabilitasi dari berbagai kelompok masyarakat korban Orde Baru. Berdasarkan amandemen pertama pasal 14 ayat 1 UUD 1945, presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.  Patut dicatat bahwa sebelum mengirimkan surat ke Presiden, Bagir Manan pernah bertemu dengan para korban, pada 11 Maret 2003.

Surat dari lembaga tertinggi di bidang pengadilan itu mendapat respon positif dari para korban. Gustav Dupe, salah seorang korban, menilai surat MA itu sebagai 'angin baru bagi perjuangan untuk pemulihan atau rehabilitasi hak-hak sipil dan politik'. 

Surat berikutnya  berasal dari Ketua Komnas HAM, Abdul Hakim Garuda Nusantara, tertanggal 25 Agustus 2003. Dalam surat itu, Komnas mendorong Presiden Megawati untuk mempertimbangkan dan mengambil langkah nyata untuk memenuhi tuntutan para korban G 30 S PKI untuk memperoleh rehabilitasi. 

Komnas HAM juga mengajukan beberapa pertimbangan mengapa Komnas mendorong pemberian rehabilitasi bagi korban G 30 S PKI. Antara lain, para korban tidak pernah diputus bersalah oleh pengadilan dan sudah terlalu lama menanggung beban penderitaan sebagai akibat perlakuan yang diskriminatif oleh rezim orde baru. Selain itu, anak cucu mereka juga harus menanggung beban dosa politik secara turun menurun, padahal mereka tidak mengetahui sama sekali peristiwa tersebut. 

Menurut Komnas, perlakuan diskriminatif serta pembebanan dosa kolektif terhadap keturunan mereka tersebut merupakan tindakan yang tidak adil dan melanggar HAM. Untuk itu, pemerintah harus dengan segera memberikan rehabilitasi dan kompensasi agar mereka dapat menikmati kehidupan mereka dengan tenang dan damai sesuai pasal 3 Undang-Undang No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.

"Pemberian rehabilitasi terhadap para korban G.30.S tersebut adalah untuk memberikan penyelesaian dan kepastian hukum yang dapat memulihkan harkat dan martabatnya sebagai warga negara Indonesia yang sama kedudukannya di muka hukum dan pemerintahan, dan dalam rangka terciptanya rekonsiliasi nasional bagi penyelesaian permasalahan HAM," tulis Abdul Hakim dalam surat tersebut. 

Surat lain berasal dari DPR-RI, tertanggal 25 Juli 2003, yang meneruskan aspirasi Forum Koordinasi Tim Advokasi dan Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban 1965 yang datang ke DPR, meminta DPR mendesak presiden menggunakan hak prerogatifnya untuk melakukan rehabilitasi terhadap korban peristiwa 1965 beserta keluarganya dan memulihkan hak-hak korban dan mengembalikan harkat dan martabatnya sebagai warga negara yang telah dirampas tanpa melalui proses hukum.

Forum Koordinasi Tim Advokasi dan Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban 1965 merupakan gabungan dari 12 organisasi yang memberikan advokasi untuk rehabilitasi terhadap korban tahun 1965.   

Lahirnya surat dari tiga lembaga di atas memang tidak dapat dilepaskan dari perjuangan para korban yang tergabung dalam beberapa perkumpulan. Misalnya, Paguyuban Korban Orde Baru (Pakorba), Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru, Tim Advokasi/Rehabilitasi Polri, Forum Komunikasi eks-Menteri Kabinet Dwikora, Korban Penyalahgunaan Surat Perintah 11 Maret 1965, Tim Advokasi untuk Rehabilitasi eks-anggota TNI/AL, Solidaritas Korban Pelanggaran HAM, Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 1965,  Yayasan Penelitian Korban pembunuhan 1965-1966, Tim Advokasi Perhimpunan Purnawirawan Angkatan Udara (PPAU) dan lain-lain. 


Nani Nurani

Namun, selain upaya rehabilitasi oleh korban yang dilakukan melalui perkumpulan-perkumpulan korban, ada pula upaya yang dilakukan oleh masing-masing individu. Yang paling gres adalah putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada Juli 2003 yang mengabulkan gugatan Nani Nurani terhadap Camat Koja, Jakarta Utara. 

Majelis hakim PTUN memenangkan  Nani selaku penggugat dan menyatakan tidak benar tindakan yang dilakukan Camat Koja, Jakarta Utara, yang menolak membuatkan KTP seumur hidup bagi Nani hanya karena tuduhan yang bersangkutan terlibat organisasi terlarang. 

Majelis berargumen bahwa sesuai fakta yang terungkap di persidangan, hingga kini belum ada satu pun putusan pengadilan yang menyatakan Nani terlibat PKI atau organisasi terlarang lainnya. Hakim mengutip asas hukum: seseorang tidak dapat dinyatakan bersalah sebelum pengadilan menyatakan demikian. 

Nani merupakan seorang eks tapol yang ditangkap dan mulai ditahan pada 21 Desember 1968. Ia baru dilepas tujuh tahun kemudian. Ironisnya, Ny Nani tidak mengetahui sama sekali apa kesalahan yang telah ia lakukan karena tuduhannya tidak pernah diperiksa atau dibuktikan lewat pengadilan. 

Ia tersandung cap "kiri" karena pernah berprofesi sebagai penari klasik Sunda dan penyanyi tradisional Cianjuran di Istana Cipanas. Saat itu, ia juga tercatat sebagai pegawai Dinas Kebudayaan Dati II Cianjur. 

Tuduhan "kiri" menguat karena Ny Nani ikut menari pada hari ulang tahun PKI pada Juni 1965 di sebuah gedung pertemuan di Cianjur. Padahal menurut Nani, profesi sebagai penari Pemda mewajibkan dirinya harus ikut berpartisipasi jika ada acara-acara resmi, apalagi yang dihadiri tamu dari luar.

Selain itu, para korban masa lalu itu pernah pula mengajukan gugatan terhadap sejumlah instansi pemerintah, antara lain Menko Polkam, Panglima TNI, Kapolri di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun gugatan itu kandas di tengah jalan, majelis menolak gugatan penggugat.


Proses hukum 

Witaryono S. Reksoprodjo, Koordinator Tim Advokasi dan Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban 1965, berpendapat bahwa proses rehabilitasi tidak hanya penting bagi korban melainkan juga merupakan proses awal untuk rekonsiliasi. Rehabilitasi bertujuan untuk menyelesaikan berbagai persoalan diskriminasi yang masih terjadi.

Menurutnya, perlakuan diskriminasi timbul akibat masih banyaknya aturan, bahkan undang-undang, yang sangat diskriminatif. "Dalam UU Pemilu yang baru, korban 65 boleh memilih tapi tidak boleh dipilih. Jadi hanya menjadi komoditas politik, orang boleh milih tapi tidak bisa dipilih. Kemudian ada aturan Mendagri yang tidak membolehkan korban 65 jadi pengacara. Itu masih berlaku dan belum dicabut," tukas Witaryono. 

Belum lagi perlakuan terhadap keluarga para korban, terutama di daerah. Anak korban tidak boleh menjadi tentara atau Pegawai Negeri Sipil. Persoalan diskriminasi ini, menurut Witaryono, bisa selesai jika dikeluarkan rehabilitasi terhadap para korban. 

Tuntutan terhadap rehabilitasi biasanya juga dibarengi dengan tuntutan agar peristiwa tahun 1965 dibuka secara gamblang.  Esther Indahyani Jusuf, aktivis yang pernah membantu Yayasan Penelitian Korban 1965 menyatakan proses rehabilitasi tidak dapat dilakukan tanpa membongkar fakta yang terjadi pada peristiwa 1965 (Lihat Penggalian Korban '65 untuk Ungkapkan Fakta). 

"Proses itu tidak bisa lompat, proses  harus tetap ada penyelidikan atas peristiwanya untuk menentukan bagaimana positanya (kasus posisi-red). Sehingga dari positanya, melalui proses hukum baru bisa ditentukan apa yang bisa direhabilitasi atau tidak," ujar Esther.

Rehabilitasi tanpa adanya proses hukum, menurut Esther merupakan proses yang lompat. "Mana  bisa melakukan rehabilitasi kalau kita sendiri tidak tahu apa yang harus direhabilitasi. Misalkan seorang mau direhabilitasi karena pernah dituduh melakukan pencurian, ternyata ia tidak melakukan pencurian, tapi bagaimana kita bisa menyatakan ternyata ia tidak mencuri. Tapi ia dianiaya karena telah melakukan suatu pencurian," lanjutnya.


Tergantung Presiden

Sementara, sejarawan dari LIPI, Asvi Warman Adam menilai surat dari MA kepada Presiden Megawati merupakan suatu hal yang sangat signifikan untuk proses rehabilitasi. Dengan adanya surat MA itu, kini terserah pada Presiden Megawati apakah mau memberikan rehabilitasi atau tidak. Apalagi MPR telah memberikan mandat untuk melakukan rehabilitasi terhadap Presiden Soekarno dan tokoh nasional lainnya.

Bahwa Presiden Megawati sampai saat ini belum juga menindaklanjuti surat dari MA, Asvi menduga Mega mempertimbangkan bahwa pemberian rehabilitasi pada korban 1965 akan mengecilkan hati kalangan Islam, misalnya.  Atau kalangan militer yang masih menyimpan ketakutan mereka akan diadili karena melanggar HAM.  

Asvi menyatakan ada dua hal menyangkut rehabilitasi, yaitu rehabilitasi nama baik dan rehabilitasi yang menyangkut kompensasi. Yang paling penting, menurutnya, adalah rehabilitasi nama baik. Soal kompensasi, ganti rugi dan semacamnya, itu bisa diperhitungkan kemudian, jika keuangan negara sudah mengijinkan. 

Apa yang dikatakan Hersri, mungkin bisa menjadi gambaran. Lelaki yang menghabiskan waktu tujuh tahun di Pulau Buru ini mengatakan pemberian ganti rugi miliaran pun baginya tidak berarti. "Buat saya, pembodohan pada masyarakat Indonesia ini yang tidak bisa dimaafkan".

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol8886/perjuangan-panjang-mencari-rehabilitasi-diri-