HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Minggu, 28 Februari 2016

Perang Candu/Opium, antara China – Inggris


 
Perang Candu adalah perang yang terjadi antara pemerintah China dibawah Dinasti Qing menghadapi negara-negara eropa yang dipimpin Inggris. Perang ini terjadi karena usaha China dalam memerangi perdagangan opium dinegara tersebut yang disuplai oleh para pedagang inggris karena telah meresahkan kesehatan dan kehidupan sosial masyarakat China

Perang ini sendiri terbagi dalam dua tahap, dimana dalam Perang Candu pertama yang terjadi antara tahun 1840 -1842 sedangkan perang candu kedua terjadi pada tahun 1856-1860. Namun sebelum perang candu pecah pun, dalam dinasti Manchu ini sudah terjadi kericuhan yang disebabkan berbagai kebijakan China sangat merugikan merugikan Inggris, sehingga kedua negara sempat bersitegang. Hingga akhirnya setelah melewati liku-liku perundingan, akhirnya perdagangan dibuka kembali dengan syarat Inggris boleh dagang hanya di Guangzhou (Canton) saja.

Latar belakang Perang
 
Selama Abad 18 -19, bangsa Barat membeli barang-barang dari China seperti porselin, sutra, rempah-rempah dan teh dalam mata uang China  perak untuk dijual di Eropa. Sementara masyarakat Tiongkok sendiri tidak terlalu menerima bahan dagang Eropa seperti tekstil dan katun yang dijual oleh Inggris. Perdagangan dengan Tiongkok pun gagal. sehingga perdagangan dengan China ini dinilai gagal dan sangat menguras cadangan devisa. Sejak Dinasti Qing berkuasa berusaha menutup diri dari dunia luar karena merasa mampu memenuhi kehidupanya sendiri, sehingga tidak mengizinkan pedagang asing berdagang di China.
 
Sikap kemandirian yang dahsyat dari Dinasti Ming, ini lah yang membuat bangsa-bagsa Eropa berusaha mencari jalan bagaimana agar China mau berdagang denga para pedagang asing serta mau membuka pelabuhan-pelabuhan dagangnya bagi bangsa Eropa, untuk membalikkan neraca perdagangan yang minus antara Eropa dan China.
 
Inggris yang memahami kebiasaan masyarakat China yang gemar menggunakan opium/candu memanfaatkan hal ini dengan menyalahi isi kesepakatan dagang antar kedua negara dengan memasukkan barang larangan (opium) sebagai komoditas dagang. Peredaran dan perdagangan candu ini direspon positif  oleh masyarakat China dengan banyak yang mengkonsumsinya apalagi Inggris memiliki akses mendapatkan opium dari daerah penghasilnya di India yang letaknya tepat di selatan Cina.
 
Perdagangan ilegal opium melalui China selatan ini mendatangkan keuntungan yang luar biasa bagi Inggris yang kemudian menancapkan kukunya di India mlihatnya sebagai peluang emas untuk memperbesar cadangan devisanya.

Larangan Candu/Opium
 
Sebenarnya, bangsa Tionghoa telah mengenal candu pada sekitar abad ke-15 M. namun kerajaan melarang penghisapan candu pada tahun 1729, karena seperti yang kita tahu bahwa candu mempunyai efek yang buruk jika dipakai secara berlebihan dan tidak sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Perdagangan candu dengan China sebelumnya dipelopori oleh bangsa India dibawah kerajaan Mughol (1556-1605).
 
Membanjirnya candu di China secara ilegal berdampak kepada rakyat China yang semakin melemah. Karena kebanyakan pemakai candu merupakan kalangan rakyat, ada juga kalangan atas yang memakai candu ini sehingga Kaisar Daoguang pada tahun 1799, negara menegaskan kembali pelarangan impor candu ini dan pada tahun 1810 . 
 
Mengetahui semakin banyaknya pencandu di Guangzhou, Kaisar Tao Kwang pada tahun 1839, mengambil satu langkah tegas dengan adalah mengangkat Lin Tse-Hsu Lin Tse Hu atau Lin Zexu (1785-1850) sebagai Komisioner di Canton dengan kekuasaan penuh. 
Dalam membasmi peredaran candu menghadapi pedagang-pedagang Inggris, ia bertindak sangat keras. Pada tahun 1839 Ia menyita 20.000 peti candu dari para pedagang Ingris yang kemudian dimusnahkan. Setelah memusnahkan habis opium, dinasti Qing memerintahkan agar perdagangan dapat berjalan kembali dengan normal tetapi dengan syarat bahwa opium tidak boleh diperdagangkan.
 
Kejadian ini mencetus kemarahan orang Inggris dan mereka pun mendeklarasikan perang dengan Dinasti Qing pada tahun 1839. Inggris pun mulai menyerang daerah pesisir Guangzhou atau Kanton. Karena pada waktu itu Pemerintah Qing melemah, mereka pun tidak mampu untuk berperang melawan Inggris dan mengakibatkan kekalahan fatal dalam sejarah Tiongkok

Perjanjian Nanjing (1842)
 
Kekalahan ini menyebabkan Dinasti Qing dengan terpaksa menandatangani Perjanjian Nanking atau Nanking Treaty pada 29 Agustus tahun 1842 di atas kapal Inggris, HMS Cornwallis di kota Nanjing. Perjanjian ini menandakan berakhirnya Perang opium I dengan Inggris keluar sebagai pemenangnya. Perjanjian yang sangat merugikan pemerintahan China ini memuat beberapa ketentuan pokok sebagai berikut,
  • Dinasti Qing harus untuk membuka 5 kota sebagai kota untuk berdagang. 5 kota ini adalah ; Guangzhou (Kanton), Amoy (Xiamen), Fuzhou, Ningbo, dan Shanghai.
  • Inggris diperbolehkan berdagang dengan siapa saja dalam tarif yang ditetapkan oleh pihak Inggris.
  • Pemerintah Dinasti Qing diwajibkan untuk membayar total 6 juta perak untuk opium yang telah dibakar habis, 3 juta perak untuk menutup hutang pedagang Hong di Kanton, dan 12 juta untuk membiayai kerusakan yang diakibatkan dari perang.
  • Pemerintah Dinasti Qing harus menyerahkan pulau Hongkong kepada Inggris.
Perjanjian Nanjing menjadi pintu pembuka peredaran candu dan pembuka pintu dagang Barat ke Timur.

Perang Candu/Opium II
 
Pada tahun 1856, Pemerintah China kembali menangkap kapal bebendera Inggris The Arrow di Guangzhou karena menyelundupkan opium secara ilegal ke daratan China. Insiden ini membuat Inggris marah lalu mendeklarasikan perang lagi terhadap China. Dalam pertempuran kali ini Inggris bersekutu dengan Perancis. Akhirnya Inggris keluar sebagai pemenang lagi, Kota Guangzhou diduduki pasukan Inggris-Prancis sampai 1861.
 
Cina yang kembali mengalami kekalahan dipaksa menandatangai Treaty of Nanjing (1858) dimana Perancis, Rusia dan Amerika iku ambil bagian. Dalam perjanjian ini Cina dipaksa untuk membuka sebelas pelabuhanya bagi pedagang asing, China dipaksa mengizinkan berdirinya kedutaan asing, mengizinkan aktivitas para misionaris Kristen serta melegalkan impor candu.
 
Setelah menghadapi Perang Candu I dan II ini Dinasti Qing dibawah suku Manchu posisinya makin melemah wibawanya di kalangan rakyat karena tak berhasil menghadapi bangsa asing yang mulai menjajah China, dan secara perlahan-lahan setelah ini China terus mengalami pergolakan antara lain Perang tahun 1859 saat Cina menghalangi masuknya diplomat asing ke Beijing yang membuat China sekalilagi dipaksa menyetujui Konvensi Beijing tahun 1860 yang isinya sangat merugikan China kembali dan setelah itu Perag Boxer tahun 1899 yang membuat China harus menandatangani Protokol Boxer tahun 1901. 
Hingga akhirnya Dinasti Qing dijatuhkan gerakan nasionalisme rakyat China yang mayoritas Suku Han pada 10 Oktober 1911 yang mendirikan Republik China yang mengakhiri pemerintahan monraki etnis Manchu yang dinilai lemah dalam menghadapi Penjajah.

Sabtu, 27 Februari 2016

Menyingkap Misteri G30S

27 Februari 2016.
  • Tjatatan Bung Asahan Aidit.

PADA pertengahan Agustus 1965 saya bertemu dengan delegasi PKI yang singgah di Peking dari kunjungan ke Partai Komunis Uni Sovjet di Moskow.

     Dalam pembicaraan saja dengan Ketua PKI D.N Aidit mengatakan kepada saya bahwa beberapa hari sebelumnya saya diberi izin untuk ikut serta untuk melanjutkan perjalanan Delegasi PKI ke Vietnam. 
Tapi menjelang keberangkatan kami ke Vietnam, Ketua PKI mendapat telegram dari Jakarta yang mengatakan Ketua PKI harus kembali secepatnya ke Jakarta karena Bung Karno sakit keras hingga rencana perjalanan Delegasi PKI ke Vietnam dibatalkan dan Ketua PKI segara pulang ke Jakarta.

    Selama 3 hari saya bersama Ketua PKI, kami membicarakan situasi politik Indonesia dan sama sekali tidak ada pembicaraan mengenai PKI untuk mengadakan perebutan kekuasaan. Juga salah seorang anggota delegasi yang ikut berunding dan bertemu dengan Ketua Mao Tje Tung menceritakan kepada saya situasi pertemuan yang penuh persahabatan, formalitas, protokeler, dan sama sekali tak ada perundingan tentang persiapan PKI akan menyiapkan sebuah "perebutan kekuasaan".

     Saya sebagai juga anggota partai menerima imformasi yang lengkap mengenai situasi politik Indonesia waktu itutermasuk bilapun ada penyampaian situasi yang berifat rahasia.

     "PKI sebagai dalang G30S" adalah sebuah kebohongan besar dan fitnah 100 persen. Tidak ada satupun dari ratusan anggota PKI di luar negri termasuk para pimpinan tertinggi mereka yang sedang berada di Peking waktu itu yang tau akan meletusnya Periatiwa G30S. 

     Tidak ada satupun, dan semua kami heran, heran dan heran, tidak tahu-menahu. Sedangkan persiapan suatu pemberontakan politik adalah hal yang trramat serius, tidak bisa dan tidak boleh hanya diketahui dua-tiga orang tertinggi dalam Partai dan PKI sama sekali tidak punya  tradisi segala sesuatunja hanya ditentukan oleh seorang Ketua Partai atau bebarapa orang terpenting saja.

    PKI telah kena fitnah besar dan bohong besar dalam sejarah Indonesia. Dan bohong besar maupun fitnah besar tidak akan jadi kebenaran dalam sejarah. Yang terjadi sekarang adalah fitnah besar dan bohong besar itu belum terungkap jelas. masih dibikin misterius masih digelapkan dan digelontorkan secara besar-besaran dalam kebohongan dan fitnah.

    Ucapan Soedisman dalam Mahmilub adalah ucapan seorang pengkhianat besar Partai dengan cara membikin kebohongan dan fitnah kepada Partainya sendiri yang itu digunakan sebaik-baiknya oleh musuh PKI dan Soeharto sebagai bahan fitnah jang sangat keji dan badab.

1 Maret 2016.

SAYA bukan peneliti, lebih-lebih di bidang politik yang bukan bidang saya, namun saya punya perhatian dan bahkan hingga terlibat dalam politik yang karenanya saya anggota Partai.

     Yang saya tulis adalah pengalaman saya sendiri, yang saya ketahui dan juga sebagian yang saya saksiakan sendiri dan saya coba menganalisanya, meskipun tidak sebagai peneliti. toh mungkin saya masih termasuk pemerhati.

    Kesaksian saya berdeasarkan dekatnya saya dengan Ketua PKI D.N. Aidit yang juga kebetulan adalah abang sulung saya dan juga kesaksian-kesaksian dekat lainnya sebagai anggota Partai sejak saya berumur 18 tahun. Dan pernah tinggal bersama abang sulung saya di kota Jakarta sebagai pekerja Partai, yang karena juga saya banyak mengenal petingi-petinggi PKI dan kader-kader Partai lainnya pada berbagai tingkat.

     Soal MKTBP, sejak PKI runtuh, memang banyak dikritik dalam intern PKI sendiri, terutama oleh klik oportunis kanan kiri PKI (kaum oporkaki PKI). Itu menyangkut masalah teori dan praktek yang akan dijadikan taktik dan strategi perjuangan PKI dalam merebut kekuasaan,

    Ketika mempeladjari pikiran Mao Tje Tung di Tiongkok dan di Vienam, saya turut mendiskusikan MKTBP selama setahun tampa kesatuan pendapat dalam suasana perdebatan sengit dan berkepanjangan. Tapi satu hal MKTBP tidak bisa dijadikan bukti bahwa PKI adalah dalang G30S karena benang merah MKTBP adalah merebut kekuasaan dengan jalan damai (parlementer)  yang menimbulkan pro dan kontra dalam intern PKI.

    Kesimpulan saya : Pihak-pihak lawan PKI sangat sedikit mengetahui kehidupan interen PKI, tidak tidak menguasai sejarah PKI karenanya tidak akan pernah mendapatkangambaran yang obyektif tntang PKI yang sesungguhnya, yang dari sarangnya terdalam. Hampir semua imformasi tentang PKI datang dari mulut pengkhianat PKI, karenanya mereka tidak mendapai gambaran yang mendekati kebenaran maksmal tentang PKI (termasuk para peneliti profesional dalam dan luar negri).

    Tapi justru di sini juga terletak keunggulan PKI yang tertinggal di balik kehancuran dan kegagalannya: Roc pki tak mungkin lenyap. Dan arogansi dari pihak lawan-lawan PKI, juga ikut menyelamatkan roh PKI yang bersemayam dalam hati rakyat Indonesia. Pihak lawan PKI dan kaum anti komunis selalu merasa mereka lebih menguasi Marxisme dan komunisme dari siapapun termasuk orang komunis atau PKI itu sendiri.

    Saya khususnya merasa lega dan terima kasih atas percaya diri daripihak-pihak lawan PKI dan yang anti- komunis. Beladjar dari mereka dengan cara mendengar, jauh lebih efektif mendapat pengetahuan daripada membantah dan merasa diri lebih pintar.

1 Maret 2016.

SAYA termasuk orang yang berpendapat hubungan darah tidak menentukan warisan politikyang menurun menurut DNA(bukan D.N Aidit).

    Saya adalah salah seorang pengkritik tampa ampun terhadap "Politik jalan damai (parlementer)" yang dilancarkan PKI ang diketuai D.N. Aidit yang abnag sulung saya itu. Bahkan kaum oportunis kanan-kiri (oporkaki PKI) melakukan politik pemencilan terhadap saya, melancarkan kampanye pembencian hingga penyabotan terhadap aktivitas sastra atas novel-novel saya yang diterbitkan di Jakarta.

    Bahkan tidak sedikit agen-agen kaum opor kaki PKI yang menyerang dan memaki-maki serta menfitnah saya dengan keji dan menuduh saya sebagai pengkhianat abangnya sendiri. Tapi okelah, ini adalah soal "interen PKI" dan saya mengatakan semua ini hanyalah sebagai keterangan untuk menyanggah tiori bahwa hubungan politik adalah bersifat hubungan darah.  
 
     Pemerintahan yang sekarang meskipun "berbau rakyat" ("populisme") tapi dalam kenyataannya sehari-hari, pemerintahan yang sekarang tidak mampu dan juga tidak peduli terhadap pelanggaran  hak kebebasan rakyat Indonesia dalam menyatakan pendapat, berdemokrasi secara benar dan sehat , tidak memberi jaminan akan keamanan rakyatnya setjara bebas melontarkan kritik apalagi mengekspresikan semua pikiran dan keinginan rakyatnya. dan hal itu telah dibuktikan dengan tindakan tangan besi aparat negara terhadap kegiatan maupun insiatif-inisatif rakyat yang bahkan hanya bersifat kebudayaan atau pesta-pesta rakyat.

    Tapi terus terang, khususnya tentang diri saya sendiri saya ambil berat dan waspada tentang kemungkinan agen-agen kaun opor kaki PKI yang juga menggunakan kesempatan melancarkan teror gelap terhadap saya (tapi saya tidak takut terhadap mereka). Kalau toh terjadi, apalah artinya bagi saya yang sudah hampir mencapai usia 80 (setiap saat siap berangkat dengan alasan apa pun). 

     Kesaksian pribadi (apalagi kesaksian saya) tidak akan banyak punya arti menentukan dalam mengungkapkan kebanaran yang terus-terusan dibenam semakin dalam dan semakin dalam oleh pihak yang memusuhi dan menaruh dendam kesumat pada PKI dan komunisme.

    Saya bukab tokoh poitik, yang saya geluti seumur hidup adalah satra dan menulis karya sastra. Tapi karerna satra tidak akan sempurna tampa melek politik, saya pun berusaha supaya tidak buta politik dan memperhatikannya secara sungguh hati yang mungkin saya curahkan. Saya lebih suka ngomong tentang makanan tempat-tempat penjual makanan yang enak di Jakarta sambil melihat perempua-perempuan Indonesia yang canti-cantik yang lalu-lanang dan menguraukannya.

     Sebagai äcluk poitik" saya tidak berharga. Sia-sia saja intel Indonesia mengikuti gerak-gerik saya. Saya punya adekdot  sungguhan waktu saja masih tinggal di Vietnam ; Salah satu intel yang kebetulan murid saya (polisi rahasia) bilang pada saya "Sudalah Pak, bapak tinggal di rumah saja, jangan pergi-pergi bikin capek kami, bikin bosan mengikuti Bapak yang cuma ergi ke bibliotik, warung makan, jalan-jalan ke pasar lihat barang di vitrine dan tidak pernah beli, lalu pulang. itu saja sepanjang tahun. Tapi kami yang harus lelah laporanya itu-itu saja".     

    Dulu ketika Ajip Rosidi masih sering nginap di ruah saya di Belanda, kami sering ngobrol sampai pagi dan kadang-kadang samapai tiga hari berturut-turut.

    Banyak oang tahu bahwa Ajip itu anti komunisnya setengah mati, tapi kami hampir-hampir tidak pernah berdebat dan dia membantu saya sangat banyak terutama dalam meberikan buku-buku hingga menerbitkan novel saya. Belakangan dia bosan dan meninggalkan saya karena dia anggap sebagai makhluk politik saya tidak ada harganya.

     Ajip betul. Pada saya memang tidak ada papa-apanya selain teman ngobrol. Dan Ajip juga tidak berhasil "meng-Islamkan" saya yang memang sudah Islam sejak lebih dari 7 turunan. Missi politik dan agamanya berhasil dengan kegagalan. Asahan hanya Asahan saja Aidit itu saya sangkutkan karena adalah nama bapak saya yang sangat saya hormati dan cintai.

Semangat Tanjung Priok

17 April 2010.

PERLAWANAN rakyat dalam peristiwa Tanjung Priok pada 16 April 2010 lalu yang berbentuk kekerasan pemerintah melawan kekerasan rakyat adalah satu peristiwa yang tak mungkin terjadi di zaman Soehartotau kalau terjadi tidaklah bisa dibayangkan  orang, bagai mana rezim Soeharto akan menjadikan massa rakyat mendjadi tepung kalau berani menghadapi kekerasan militer rezim Soeharto.

     Tapi itu tidak berarti bahwa pemerintah penerus orba yang sekarang bersikap lebih manusiawi terhadap rakyat yang berani melawan perbuatan semena-mena dan main sejata memperkosa kehidupan spirituil rakyat. Pasukan polisi pemerintah yang tampa berunding terlebih dahulu dengan massa rakyat ekitar makam yang diggap suci, telah mempertontonkan kepada rakyat sikap melecehkan dan meremehkan serta menghina rakyat yang ingin begitu saja man gusur dengan dukungan polisi bersenjata yang sama sekali tidak mengindahkan kehidupan spirituil atau kebudayaan rakyat setempat.

     Dan dalam menghadapi perbuatan dan tindakan pasukan polisi bersenjata yang main hantam kromo saja bagaikan serdadu-serdadu Jepangdi masa lalu, rakyat tidak mau lepas tangan dan mengadakan perlawanan sengit, keras lawan keras, senjata polisi lawan "senjata"rakyat. Meskipun tidak punya sejata seperti yang dimiliki pasukan poliisi penindas, tapi rakyat dengan menggunkana apa saja, benda apa saja di sekitar kehidupan mereka sehari-hari, telah berlawan  sengit antara hidup da mati melawan pasukan polisi bersenjata lengkap yang mebidas mereka.

     Rakyat yang semula bertanga kosong, tapi dengan serta mertan menggunakan senjta apa saja seperti batu, kepingan besi, kaju,pisau parang, dsb. untuk membela diri dan menyerang balik untuk melindungi jiwa mereka sendiri dan memepertahankan wilayah suci speritualitas mereka dengan gagah perkasa meskipun tidak sedikit jatuh korban di kalangan mereka sendiri. Meskipun ini belu suatu gerakan politik melawan penindasan dan kesemena-menaan pasukan bersenjata penguasa yang ingin memperkosa kehidupan spperituil rakyat dengan mengandalkan serdadu fasis sebagai alat penguasa.

    Dan meskipun masih bersfat lokal sebatas Tanjung Priok, tapi semangat perlawanan rakyat sudah jelas menunjukan bahwa rakyat sudah tidak seperti rakyat di zaman Soeharto yang dibkin Soeharto tidak berdaya dibikin takut, dibikin bodoh, dibikin masa bodoh dan dibikin menyerah tampa syarat dan dijadikan rakyat paria atau budak dalam satu negara rezim fasis milter yang korup dan kejam.

     Penyembelihan 3 juta rakyat yang dilakukan oleh Soeharto, tidak bisa lagi dilakukan oleh rezim penerusnya dengan cara gratis tampa perlawanan, tampa korban dipihak penguasa. Meskipun rakyat yang belawan dan berani masih kalah dan menderita korban lebih banyak, tetapi semangatperlawanan mereka terhadap kekerasan dan kekejaman serta kesemena-menaan penguasa sudah tidak bisa dianggap sepi oleh penguasa. Setiap tidak kekerasan alat negara atau pasukan bersenjata penguasa akan dibalas oleh rakyat dengan kekerasan dan sejata apa saja yang bisa terjangkau dan dipunyai rakyat.

    Ini suatu kesimpulan dan kenyataan yang harus dicermati oleh kaum sosdem yanga dalam peristiwa ini pun suara mereka bungkam dan tidak berpihak kepada rakyat yang dalam pada itu seorang tokoh Pemuda Ansor (dulu ikut menjembelihkepala rakyat dan komunis) menuntut agarpihak pemerintah meminta maaf kepada rakyat Tanjung Priok. Sungguh absurd sikap bungkam kaum sosdem dan partai mereka yang katanya selalu gembar-gembor sebagai "pembela wong cilik". Dalam kenyataan dalam kata pun tidak berani membela rakyat kecuali cuma tekantuk-kantuk di kursi DPR dan sigap terbangun ketika sudah waktunya ngambil gaji.

      Pelajaran besar yang bisa ditarik dari peristiwa perlawanan rakyat di Tanjung Priok itu bahwa rakyat yang berani melawan dengan mempersenjatai diri (meskipun sudah teramat sederhana dan apa adanya) akan menjadi kekuatan riil dan kekuatan yang bisa berkembang luasdan terorganisasi di masa yang akan datang, kekuatan yanga akan dipimpin oleh sebuah partai pelopor rakyat sendiri bagi menghancurkan rezim penguasa anti-rakyat, penghisaprakyat, penindas rakyat yang bersekutu dengan musuh-musuh rakyat dalam selimut rakyat yang berpura-pura berteriak "pembela wong cilik" yang adalam perbuatannya pembela wong gede yang belum sempat korupsi dan tertangkap sebagai koruptor.

    Rakyat hanya memerlukan sebuah partai pelopor yang kuat dan setia mutlak kepada rakyat dan hanya memiliki partaipelopor demikian rakyat akan mampu memperjuangkan nasib mereka dan menempuh jalan ke sosialisme yang nyata dan bukan sosialisme utopi kaum sosdem yang mereka pancing di geung DPR dengan menggunkan umpan kepala rakyat.
[]

Jumat, 26 Februari 2016

Empat Pulau Terpencil Ini Ibarat "Neraka" bagi Para Tahanan


Rizka Diputra, Jurnalis · Jum'at 26 Februari 2016 13:02 WIB


Pulau Nusakambangan (Foto: Mustholih/Okezone)

Pada zaman penjajahan Belanda, banyak cara dilakukan pemerintah kolonial untuk menghukum para tahanan, terutama mereka yang menjadi tahanan politik. Selain menjebloskan ke penjara yang tidak manusiawi, para tahanan ini diasingkan ke sebuah pulau terpencil agar tak mendapat akses dari dunia luar.

Setidaknya, ada empat pulau di Indonesia yang pernah dijadikan tempat pengasingan bagi para tahanan oleh penjajah Belanda dulu. Pulau-pulau tersebut sangat terpencil sehingga tentu akan membuat tahanan frustrasi dan menderita. Berikut ulasan lengkapnya seperti dikutip dari laman boombastis.com.

Pulau Buru

Pulau Buru di Maluku pernah dijadikan tempat "pembuangan" banyak tahanan pada tahun 1965 pasca pergolakan G30S/PKI. Penangkapan besar-besaran dilakukan terhadap anggota dan simpatisan PKI pada 1 Oktober 1965. Pada kudeta itu tujuh orang jenderal pucuk pemimpin Angkatan Darat (AD) tewas dibunuh. Mayat mereka dimasukkan ke dalam sumur tua di Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Para anggota dan simpatisan PKI inilah yang kemudian diasingken ke Pulau Buru. Tempat pengasingan itu terbilang sangat mengerikan. Mereka diperbudak dengan cara yang tidak manusiawi hingga akhirnya dibebaskan atau meninggal dunia lantaran mengidap penyakit. Seseorang yang pernah merasakan kengerian Pulau Buru ini ialah sastrawan Pramoedya Ananta Toer.

Pulau Onrush

Pulau yang terletak di Kepulaun Seribu ini awalnya berfungsi sebagai tempat peristirahatan para raja Banten. Belakangan, pulau terpencil itu digunakan sebagai tempat pengasingan para tahanan penting dari Belanda.

Pulau ini juga pernah digunakan untuk menahan beberapa orang Jerman yang ada di Indonesia pada masa perang dunia ke-II. Para tahanan itu meraskaan penderitaan lantaran minimnya fasilitas dan terisolasi dari dunia luar.

Pulau Cipir

Pulau Cipir juga masih terletak dalam jajaran Kepualauan Seribu yang tidak jauh dari Pulau Onrush. Di pulau tersebut ada beberapa penjara yang diperkirakan milik pemerintah kolonial Belanda. Di sanalah para tahanan mendapat penyiksaan hingga akhirnya meninggal dunia.

Di Pulau Cipir juga terdapat sebuah rumah sakit yang konon digunakan antara tahun 1911-1933. Rumah sakit ini pernah berfungsi sebagai tempat karantina para jamaah haji yang terjangkit penyakit pada musim haji di masa lalu. Para korban penyiksaan yang tewas itu kemudian dibuang ke Pulau Kelor.

Pulau Nusakambangan

Pulau Nusakambangan di Cilacap, Jawa Tengah dibangun pada masa pendudukan kolonial Belanda. Nusakambangan ibarat "neraka" bagi narapidana berat, berbahaya, dan juga penjahat narkoba. Lokasinya yang sangat terpencil membuatnya mendapat julukan sebagai "Alcatraz"-nya Indonesia.

Penjara di Pulau Nusakambangan juga memiliki penjagaan super ketat sehingga sulit meloloskan diri dari sana. Tingginya ombak di sekitar Pulau Nusakambangan juga membuat narapidana harus berpikir berulang kali untuk melarikan diri.
(uky)

Kamis, 25 Februari 2016

Amnesti Internasional: Presiden Jokowi Gagal Atasi Pelanggaran HAM

25.02.2016 | Fathiyah Wardah
 
 Menurut laporan tahunan Amnesti Internasional terbaru, penegakan HAM di Indonesia di bawah Presiden Jokowi mengalami banyak kemunduran, meskipun ada sedikit kemajuan. Hal-hal yang dianggap sebagai kemunduran, antara lain meningkatnya pengekangan berekspresi dan pembatasan kebebasan beragama.
 
Amnesty Internasional meluncurkan laporan pelanggaran HAM di Indonesia 2015 di Jakarta (24/2). Dari kiri: Koordinator Kontras Haris Azhar, Deputi Direktur Amnesti Internasional Josef Benedict, Peneliti Amnesty Internasional Papang Hidayat dan Peneliti Elsam Wahyudi Djafar.
 
Organisasi hak asasi manusia Amnesti Internasional hari Rabu (24/2) meluncurkan laporan tahunan HAM secara global. Laporan ini mendokumentasikan serangkaian masalah HAM di Indonesia sepanjang tahun 2015, termasuk soal meningkatnya pengekangan berekspresi, pembatasan kebebasan beragama, penggunaan kekuatan berlebihan dan pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan dan kembalinya penggunaan hukuman mati.
Amnesti soroti penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat keamanan

Deputi Direktur Kampanye Asia Tenggara Amnesti Internasional, Josef Benedict dalam jumpa pers di Jakarta mengatakan polisi dan militer masih menghadapi tuduhan-tuduhan pelanggaran HAM, termasuk penggunaan kekuatan berlebihan yang tidak diperlukan.

Dicontohkannya, pada bulan Maret 2015 beberapa anggota Brimob menyerang para penduduk di kampung Morekau, Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku, setelah para penduduk tersebut mengadu kepada komandan Brimob yang datang ke kampung mereka bahwa para anggota Brimob tersebut mengganggu sebuah upacara keagamaan.

Tiga belas orang mengalami luka serius akibat serangan tersebut. Meskipun komandan kepolisian setempat berjanji akan menyelidiki peristiwa itu, hingga kini belum ada seorang pun yang diseret ke muka hukum.

Contoh lain – ujar Josef – terjadi ketika pada bulan Agustus seorang personel militer yang tidak bertugas menembak mati dua orang di depan sebuah gereja di Timika, Provinsi Papua. Polisi di tempat yang sama juga menembak dua orang pelajar sekolah menengah dalam sebuah operasi keamanan di bulan September, di mana salah seorang di antaranya meninggal.
Contoh-contoh itu belum mencakup penangkapan sewenang-wenang para pengunjuk rasa damai – khususnya di Papua – yang juga terjadi di sepanjang 2015.


Intimidasi dan serangan terhadap kelompok minoritas sering terjadi 

Dalam laporan itu, Amnesti Internasional menyatakan bahwa pemerintah telah membatasi kegiatan-kegiatan yang memperingati 50 tahun peristiwa pelanggaran HAM 1965-1966.
Gangguan intimidasi dan serangan terhadap kelompok minoritas agama di berbagai tempat di Indonesia juga kerap terjadi tahun lalu, dengan difasilitasi oleh ketentuan hukum yang diskriminatif – baik di tingkat nasional maupun lokal.

Josef Benedict juga menyebut sebuah hukum pidana Islam di Aceh (Qanun Jinayat) yang mulai diberlakukan pada Oktober 2015, yang memperluas penggunaan hukuman yang kejam bagi pelaku hubungan seksual sejenis dan hubungan intim antara dua orang di luar perkawinan, dengan hukuman cambuk maksimum masing-masing 100 dan 30 kali. Hingga laporan ini disampaikan sedikitnya ada 108 orang dicambuk di Aceh berdasarkan hukum Syariah, baik karena perjudian, minum alkohol atau zina pada tahun 2015, padahal hukuman cambuk merupakan penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi.
Josef juga menyebut eksekusi mati 14 orang terkait narkoba pada tahun 2015 sebagai bentuk pelanggaran HAM lain. Yang sangat mengkhawatirkan tambahnya pemerintah juga telah mengalokasikan anggaran untuk melanjutkan eksekusi mati pada tahun 2016.


Amnesti desak Jokowi memperbaiki agenda pemajuan HAM

Untuk itu Amnesti Internasional meminta Presiden Jokowi untuk memperbaiki agenda pemajuan HAM ini.

"Konsen serius kita adalah Jokowi menjadi presiden karena dia membawa agenda-agenda HAM pada saat kampanyenya, yang sama sekali kita lihat ada kemajuan kecil, tapi banyak kemunduran. Indonesia telah menandatangani berbagai kovenan internasional termasuk tentang penyiksaan. Polisi dan militer harus menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan yang ada," ungkap Josef.

Amnesti Internasional mengapresiasi langkah Presiden Jokowi yang telah membebaskan sejumlah tahanan politik di Papua, seperti Filep Karma, tetapi janji Jokowi untuk membebaskan tahanan politik lainnya belum terealisasikan.
Amnesti Internasional juga memuji kebijakan Jokowi yang mengijinkan wartawan asing masuk ke Papua, meskipun belum terealisir dengan baik di lapangan.


Kontras: kebebasan berekspresi era Jokowi jauh lebih buruk

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) Haris Azhar mengakui memang soal keamanan di Papua masih menjadi salah satu masalah yang berat dan tidak adanya penegakan hukum bagi aparat yang melanggar, membuat aksi kekerasan yang dilakukan aparat di Papua terus terjadi.

Haris juga menyatakan kebebasan berekspresi pada era Presiden Jokowi jauh lebih buruk di banding di bawah kepemimpinan Presiden SBY. Sejumlah aturan seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik justru banyak mengkriminalkan orang yang bependapat. Pembatasan kebebasan kerap dijadikan alat untuk menekan hak-hak fundamental yang idealnya harus dilindungi dalam keadaan apapun.

Selanjutnya, Haris Azhar menilai belum ada perubahan sikap aparat keamanan dalam menjalankan penegakan hukum dan menjaga ketertiban sipil.
Alasan keamanan juga kerap dijadikan agenda untuk membatasi kebebasan dan ruang-ruang ekspresi warga. Alasan keamanan cenderung digunakan untuk membungkam ekspresi politik damai di wilayah sensitif seperti di Papua. Alasan yang sama digunakan untuk menciptakan stigma dan diskriminasi terhadap korban atau keluarga korban dari peristiwa 1965.

Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang terus didengungkan pemerintah menurut Kontras hanyalah omong kosong, pasalnya hingga kini pemerintah belum melakukan apapun untuk menyelesaikan hal itu.
"Jadi menurut saya, satu tahun kepemimpinan Jokowi ini, saya mau bilang tidak bersahabat dengan hak asasi manusia, justru cenderung membahayakan angka kekerasan terhadap masyarakat sipil meningkat," ujar Haris.


Menkumham akui masih banyak hal yang harus diperbaiki

Sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengakui bahwa memang masih banyak hal yang harus diperbaiki dan kerjakan. Pelaksanaan penegakan hukum tambahnya memang masih terjadi pelanggaran HAM tetapi saat ini secara bertahap hal itu diperbaiki. Ditambahkannya membangun tanpa memperhatikan persoalan hak asasi manusia sama saja dengan menafikan kehidupan manusia itu sendiri.

"Peristiwa-peristiwa yang dilakukan oleh banyak pihak, baik yang dilakukan secara individual atau oknum penyelenggaraan pemerintahan masih tingkat pelaksanaan penegakan hukum yang masih banyak pelanggaran HAM-nya, secara bertahap sudah mulai kita perbaiki, penegakan hukum, penyiksaan dll. Semua itu memori-memori yang harus kita jadikan sebagai refleksi," demikian menurut Yasonna. [fw/em]
 
http://www.voaindonesia.com/content/amnesti-nilai-jokowi-gagal-atasi-ham-/3206741.html

Kisah Perburuan Kapten Westerling

GAGAL menguasai Bandung pada 23 Januari 1950, para prajurit APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) mundur ke arah Cianjur. Di sana lagi-lagi ratusan pengikut Kapten Westerling tersebut harus menghadapi batu sandungan dari Batalyon H Divisi Siliwangi pimpinan Mayor Sutoyo.

“Mereka terkepung dan kocar-kacir, bahkan sebagian nekad menerjunkan dirinya ke jurang-jurang yang ada di wilayah hutan-hutan Maleber, “ tulis Kolonel (purn) Mochamad Rivai dalam Tanpa Pamrih, Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Sadar gerakannya patah di tengah jalan, Westerling memutuskan untuk melarikan diri ke Jakarta. Pengawal setianya Pim Colsom dan dua anggota polisi Indonesia yang membelot menyertai pelarian Westerling. Sang kapten melarikan diri menggunakan tiga mobil yang ia tumpangi secara bergantian di tiap titik tertentu.

“Intelijen kami mengidentifikasi mobil-mobil itu masing-masing berplat nomor wilayah Bandung dan Jakarta: D 1067, D 1373, B 16107,” ujar Rivai.

Menurut sejarawan Salim Said, sesampai di Jakarta, Westerling hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Salah satunya adalah rumah milik seorang Belanda di bilangan Kebon Sirih. Bahkan di tengah pelariannya itu, ia pun dikabarkan sempat bertemu beberapa kali dengan Sultan Hamid II, salah seorang simpatisan gerakan APRA.

“Mereka bertemu di suatu tempat yang letaknya sekarang ada di sekitar Jalan Veteran, Jakarta Pusat,” ujar mantan jurnalis yang pernah mewawancarai Westerling secara langsung di Belanda pada 1970-an.

Awal Februari 1950, salah satu pendukung kuat Westerling dari kalangan mantan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda), Letnan Kolonel Rappard tewas dalam suatu pengepungan oleh kesatuan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) di Jakarta. Tewasnya Rappard menjadikan Westerling gundah dan memutuskan untuk lebih cepat melarikan diri ke luar Indonesia. Maka disusunlah sebuah rencana pelarian yang melibatkan beberapa pejabat tinggi militer dan sipil Belanda.

Konspirasi melarikan Westerling ke luar negeri, ternyata tercium jua oleh intelijen APRIS. Maka dibentuklah secara kilat tim pemburu Westerling oleh pihak militer Indonesia Serikat dipimpin oleh Mayor Brenthel Soesilo. Menurut salah satu anggota tim pemburu, Letnan J.C.Princen, Kamis, 23 Februari 1950, tim-nya menerima informasi dari agen intelijen di lapangan bahwa Westerling dengan dikawal beberapa orang bergerak ke arah Pelabuhan Tanjung Priok.

“Kami lalu mengutus Letnan Supardi dan Letnan Kesuma untuk mengejar Westerling…” ujar mantan serdadu Belanda yang membelot ke pihak Republik Indonesia tersebut.

Dengan menggunakan jip Willys, menjelang pukul 19.00, bergeraklah kedua prajurit APRIS tersebut ke Tanjung Priok. Di mulut Pelabuhan II, mereka berpapasan dengan kendaraan yang ditumpangi Westerling. Alih-alih menghindar, Westerling yang saat itu menggunakan seragam KNIL berpangkat sersan, malah turun dari mobil dan mendekati Letnan Supardi dan Letnan Kesuma.

“Orang gila itu malah mengajak kedua letnan tersebut singgah di satu bar dan minum bir…” kenang Princen.

Ajakan itu ditampik. Letnan Kesuma justru mengajak Westerling untuk singgah sebentar ke sebuah pos tentara APRIS di dekat pelabuhan. Westerling setuju. Ia lantas menaiki mobilnya dan mengikuti jip yang ditumpangi Letnan Kesuma dan Letnan Supardi. Namun belum 100 meter bergerak, tiba-tiba serentetan tembakan menyalak dari kendaraan Westerling dan membuat jip yang dikendarai kedua tentara APRIS itu terjungkal seketika. Setelah menembak, mobil yang ditumpangi Westerling kemudian berbalik kembali ke arah pelabuhan dan berjalan dengan kecepatan tinggi.

Mengetahui anak buahnya tertembak, Mayor Brenthel Soesilo ganti yang mengejar Westerling. Bersama Letnan Princen, mereka bahkan sempat adu tembak dengan pengawal-pengawal Westerling di Pelabuhan II Tanjung Priok. Di tengah pertempuran kecil itulah, Westerling meluputkan diri ke Singapura dengan bantuan sebuah pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda.

Karena alasan masuk tanpa surat izin, sesampai di Singapura, Westerling ditahan pihak keamanan Inggris. Begitu mendapat kabar tersebut, Pemerintah RIS langsung meminta kepada otoritas Inggris di Singapura untuk mengekstradisi Westerling Indonesia. Namun dengan alasan Westerling adalah warga negara Belanda, pimpinan Pengadilan Tinggi Singapura, Hakim Evans, menolak permintaan tersebut.

Pada Agustus 1950, Westerling “diusir” dari Singapura. Ditemani Konsul Jenderal Belanda untuk Singapura, Mr. R. van der Gaag, ia bergerak menuju Eropa. Sezin van der Gaag pula ia lantas turun di Brussel, Belgia, sebelum beberapa waktu kemudian dialihkan ke Belanda secara diam-diam.

Rabu, 24 Februari 2016

Komnas HAM sebut pemda jadi bagian massa intoleran

Wartawan BBC Indonesia
24 Februari 2016

Kongres Nasional Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jakarta, Selasa (23/02), mengundang Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menemukan bahwa pemerintah kabupaten/kota adalah pelaku yang paling banyak diadukan melakukan dugaan pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Bahkan, pemerintah daerah justru menjadi bagian dari massa intoleran dan turut berpartisipasi dalam perbuatan intoleran.
Dalam laporan Komnas HAM yang dikemukakan dalam Kongres Nasional Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jakarta, Selasa (23/02), pemerintah kabupaten/kota menempati peringkat tertinggi pada daftar pihak yang diadukan sebagai pelaku dugaan pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan keyakinan dengan 36 kasus dari total 93 kasus sepanjang 2015.
Komnas HAM menilai hal ini terjadi karena Pemda tidak berani berhadapan dengan massa intoleran.
Pemda justru menjadi bagian dari massa intoleran dan turut berpartisipasi dalam perbuatan intoleran.
“Kecenderungannya, pemerintah daerah mengikuti apa yang diinginkan kelompok intoleran. Komnas HAM melihat pelaku pelanggaran HAM yang ditindak, tidak lantas kemudian kelompok korban yang disuruh mengalah dan dikorbankan,” kata Koordinator Desk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Komnas HAM, Jayadi Damanik.
“Dari yang kami temukan, (peraturan) ini ditiru kabupaten/kota dan sekaligus menjadi alat kelompok-kelompok tertentu alat pembenar untuk melakukan kekerasan terhadap Ahmadiyah,” kata Jayadi kepada wartawan BBC Indonesia.
Hak atas fotoAP
Image captionAksi kekerasan terhadap kaum Ahmadiyah terjadi di Pandeglang, 2011 lalu.

Mudah membuat aturan

Dihadapkan pada temuan Komnas HAM, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menilai Pemda terlalu mudah membuat berbagai aturan yang bertentangan dengan Konstitusi.
Dia mengklaim telah mengembalikan 139 Perda yang bermasalah dan bertentangan dengan undang-undang hingga awal tahun ini.
"Kebanyakan Perda yang kami kembalikan bertentangan dengan undang-undang diatasnya. Misal, wanita kalau sendirian di atas jam 22.00 ditangkap. Lah kalau dia kerja sampai malam? Ada wali kota mau buat aturan di daerahnya semua perempuan harus berjilbab, padahal ada sembilan persen yang beragama non-Muslim. Nah itu harus dilihat," ujar Tjahjo.
Lantas, apakah ada langkah lanjutan dari Kemendagri? “Ya pokoknya sudah kami ingatkan. Kalau tetap nekad, kami coret, itu saja.”
Lain halnya dengan Mendagri, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin merespons temuan Komnas HAM dengan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama yang tengah disiapkan.
”Pemerintah akan mencatat hasil pertemuan ini dan menjadi pijakan bagi pemerintah untuk memperbaiki kebijakan-kebijakannya. Ini momentumnya pas karena kami di Kementerian Agama tengah menyiapkan RUU Perlindungan Umat Beragama. Kami berharap tahun ini bisa selesai sehingga tahun depan bisa dibahas dengan DPR,” kata Lukman.
Hak atas fotoREUTERS
Image captionMassa membakar sebuah gereja di Aceh Singkil, 2015 lalu.

Menyusup ke birokrasi

Temuan Komnas HAM bahwa pemerintah kabupaten/kota kerap menjadi bagian dari massa intoleran dikuatkan oleh pengamatan staf khusus Kepala Staf Kepresidenan, Jaleswari Pramodhawardani.
Dalam diskusi tentang Kebebasan Agama, Gerakan Takfiri dan Deradikalisasi, di Jakarta, Senin (22/02), Jaleswari mengungkapkan bahwa sikap intoleransi telah menyusup ke dalam masyarakat, termasuk birokrasi.
Dia menyebut ada pegawai negeri sipil yang masuk dalam organisasi massa yang intoleran, menolak Pancasila, dan mendirikan khilafah atau negara Islam.
Birokrasi pemerintahan, kata Jaleswari tidak steril dengan nilai-nilai fundamentalisme dan itu tidak dapat dikontrol. Tetapi, menurut dia, seharusnya negara yang diwakili oleh pemimpin tidak seharusnya bekerja sama atau berkompromi dengan kelompok-kelompok intoleran.
Image captionPemerintah dinilai punya andil penting dalam menyuburkan iklim toleransi maupun intoleransi.
Yenni Wahid dari Wahid Institute menilai pemerintah pusat sejatinya tidak punya rancangan besar dalam menangani kasus-kasus intoleransi.
”Pemerintah pusat tampaknya belum punya blueprint (cetak biru) bagaimana harus menghadapi kasus-kasus itu. Kami melihat negara bisa punya peran luar biasa dalam hal menyuburkan iklim toleransi maupun intoleransi,” kata Yenni.
Imdadun Rahmat selaku pelapor khusus kebebasan beragama dan berkeyakinan dari Komnas HAM mencatat pemerintah masih menerapkan sejumlah kebijakan diskriminatif, seperti UU Nomor1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama.
Lalu ada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadat.
Dalam laporannya, Komnas HAM menyebut Jemaah Ahmadiyah sebagai pihak yang paling sering menjadi korban pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan 17 kasus dari 93 kasus.
Adapun Jawa Barat menempati peringkat teratas dalam daftar pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan berdasarkan sebaran wilayah peristiwa dengan 20 kasus dari 87 kasus.

Sumber: BBC Indonesia 

Selasa, 23 Februari 2016

Sosialisasi IPT'65, YPKP Gelar Forum di Medan


INI MEDAN BUNG: Pertemuan Korban 65/YPKP65 Sumtera Utara di Medan yang berlangsung pada 14 Februari 2016 pukul 10.00-14.00 wib; di Gedung Merdeka Aula Bung Karno terlaksana dengan lancar dan aman. 

Dihadiri tidak kurang dari 125 massa Korban 65 yang datang dari berbagai kota di wilayah Sumut dengan pembicara Bedjo Untung, Doktor Darsono, Syamsul Hilal (mantan anggota DPRD Fraksi PDIP), Supardi (YPKP65 Pati Jateng), Lili Pintauli Siregar ( LPSK), Syahriar Sandan, Astaman Hasibuan, Eddy Sugianto. 

Tema: Sosialisasi Hasil Tribunal 65 Den Haag, prospek perjuangan Korban 65. Forum rapat sepakat dan mendesak Pemerintah RI harus segera menuntaskan/menyelesaikan pelanggaran HAM 65 karena sudah menjadi rahasia umum keterlibatan penguasa RI ketika itu dalam melakukan pembunuhan massal rakyat yang dituduh anggota PKI, simpatisan PKI, pendukung Sukarno. 


Rapat juga mendesak -seperti yang diputuskan oleh Tribunal Den Haag- pemerintah AS, Kerajaan Inggris serta Australia ikut bertanggungjawab karena terlibat dalam supply senjata, dana dan peralatan komunikasi untuk pembantaian massal 65. 
Pekik: BEBAS, MERDEKA menggelegar di Aula Bung Karno. 

(Bedjo Untung YPKP65)

Senin, 22 Februari 2016

Yang Muda Yang Berkuasa

Senin 22 Februari 2016 WIB

Kelompok Aidit menyusun partai secara sistematis. Mulai soal ideologi sampai perluasan keanggotaan.

DN Aidit dan Njoto, dua pemimpin muda PKI. 
Foto

Kapal dari Singapura berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Dua penumpangnya turun. Mereka berusaha keluar pelabuhan secara ilegal. Dua orang itu Aidit dan Lukman.
“Beberapa hari yang lalu Aidit dan Lukman, dua anggota dari agitprop (agitasi dan propaganda) PKI, telah tiba di Jakarta dari Vietnam,” tulis Sinpo, 25 Juli 1950. Sinpo mengabarkan Aidit dan Lukman pernah menjadi gerilyawan di Vietnam.
Jacques Leclerc, seorang pakar sejarah kiri Indonesia, berpandangan kemunculan Aidit dan Lukman penuh perhitungan dan skenario. Mereka muncul saat pemerintah mengurangi tekanan terhadap PKI dengan sebuah cerita heroik rekaan. Dari perjuangan di Tiongkok dan Vietnam sampai upaya mereka masuk ke Indonesia secara ilegal sehingga menarik perhatian suratkabar.
“Mereka mau memberikan prestise diri mereka sebagai pimpinan yang sebelumnya berkedudukan di Yogya kembali ke Jakarta justru pada saat perjuangan dan konfrontasi di dalam tubuh partai antara berbagai garis strategi telah memasuki tahap menentukan,” tulis Jacques Lecrerc dalam 
“Aidit dan Partai Pada Tahun 1950”, termuat di Prisma, 7 Juli 1982.
Di Jakarta, Aidit dan Lukman mulai bergerak. Sebagai anggota CC PKI, mereka melihat kelompok komunis tua bakal membawa jalannya partai melenceng dari prinsip Jalan Baru Musso. Mereka mengajak Njoto dan Peris Pardede menerbitkan kembali Bintang Merah (BM), terbitan berkala, untuk menegaskan garis perjuangan partai dan menghimpun pendukung. Mereka juga menerjemahkan karya-karya klasik mengenai teori Marxis.

Memperoleh kepercayaan kader muda partai melalui penerbitan BM, kelompok Aidit mengalihkan perhatian ke struktur partai. Mereka menjalin kontak dengan Seksi Comite (SC) pendukung Jalan Baru untuk merombak struktur partai dari dalam.

Menyingkirkan Kelompok Tua

Pada 7 Januari 1951, CC PKI menggelar Sidang Pleno. Dalam sidang kelompok Aidit mendebat gagasan Tan Ling Djie mengenai Irian Barat dan Partai Sosialis sebagai partai penampung. Tan kalah dukungan. Sidang memutuskan mencabut keterangan tertulis Tan mengenai Irian Barat dan membubarkan Partai Sosialis.

Sidang juga menetapkan Aidit, Lukman, Njoto, Sudisman, dan Alimin sebagai anggota Politbiro. Sementara Tan Ling Djie turun pangkat, tapi masih masuk dalam keanggotaan CC. Salah satu pertimbangannya, Tan menerima keputusan CC dan berjanji memperbaiki diri.

Tan mulai terisolasi. Terlebih sebelumnya pendukung setianya, Ngadiman Hardjosubroto dicabut kedudukannya sebagai wakil PKI di parlemen sementara karena mengeluarkan siaran tentang Irian.

Namun ini baru langkah awal. Pada Agustus 1952, CC membentuk Komisi Kontrol untuk menyelidiki aktivitas Tan yang bertentangan dengan kebijakan partai. Berdasarkan laporan Komisi Kontrol itulah, dalam Sidang Pleno CC PKI pada Oktober 1953, kelompok Aidit menyingkirkan Tan Ling Djie dari keanggotaan CC. Sementara Alimin, atas permintaan sendiri dengan alasan kesehatan, digantikan Sakirman sebagai anggota Politbiro. Untuk membenarkan tindakannya, Aidit menulis artikel panjang berjudul “Tentang Tan Ling Djie-isme” di Bintang Merah, Februari-Maret 1954.

Kepemimpinan partai dalam genggaman. Kongres V PKI pada 16-20 Maret 1954 mengabsahkannya. Dalam Kongres ini pula Alimin dan Wikana tersingkir sebagai anggota CC; gagal terpilih kendati dicalonkan.
Kendati tak menempati posisi strategis, Alimin tetap jadi duri dalam daging. Ketika Aidit berada di Moskow untuk menghadiri Kongres ke-20 Partai Komunis Uni Soviet, Alimin menyerang kepemimpinan Aidit dan politik front persatuan. Tidak secara langsung tapi melalui sebuah tulisan yang dibagikan ke kawan-kawan dekatnya.

Sadar keutuhan partai terancam, Sekretariat CC PKI mengajak Alimin berdiskusi. Alimin bersedia mencabut tulisannya. Ternyata persoalan belum selesai. Beberapa kutipan dari tulisan Alimin tersiar di media. CC PKI segera membuat keterangan pers. Selain menegaskan sikapnya mengenai front persatuan nasional, CC menelanjangi cara kerja Alimin di dalam partai. 
“Sikap pimpinan PKI sekarang banyak tergantung pada sikap Kawan Alimin sendiri mengenai kesalahannya,” tulis keterangan Sekretariat CC PKI, 3 Juli 1956.
Alimin terdesak. Pada 8 Agustus 1956, dia menyatakan keluar dari PKI dengan alasan kesehatan.

Kelompok komunis tua sudah disingkirkan. Namun, secara bertahap mereka “direhabilitasi”. Tan Ling Djie dan Wikana diplih sebagai wakil ketua II dan sekretaris grup partai di Konstituante. Ngadiman, pada 1959, jadi ketua Komisi Pemilihan Pusat PKI. Pada Kongres tahun 1959, Wikana kembali masuk sebagai anggota CC, Tan dan Ngadiman dipilih sebagai anggota Komisi Verifikasi, dan Alimin diberi kehormatan untuk duduk di presidium kongres.
“Aidit cukup yakin kontrolnya terhadap partai untuk memanfaatkan kemampuan Wikana, Tan Ling Djie, dan Ngadiman dalam posisi fungsional tapi, dalam hal kekuasaan, tidak penting,” tulis Donald Hindley dalam The Communist Party of Indonesia, 1951-1963.

Menjadi Partai Raksasa

Sejak Aidit mengambil-alih kepemimpinan partai, PKI berkembang pesat. Salah satu langkah signifikan adalah penerapan strategi front persatuan nasional yang merupakan modifikasi dari konsep Jalan Baru Musso. Kerjasama terutama dijalin dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Dengan strategi ini, tulis Hindley, PKI mendapat toleransi dari pemerintah untuk mengembangkan partai dan organisasi massanya serta mengisolasi kekuatan politik antikomunis.

Pembangunan partai menemukan bentuknya sejak 1956 melalui Plan 3 Tahun Mengenai Organisasi dan Pendidikan. Sekolah-sekolah dan kursus partai digelar. Perluasan anggota dan organisasi digalakkan. Setelah mencapai kemajuan pesat dan dapat mengkonsolidasi diri, pada 1963 PKI menerapkan Plan 4 Tahun Mengenai Kebudayaan, Ideologi, dan Organisasi.

Hasilnya, jumlah anggota PKI naik pesat, kader-kadernya disiplin dan militan, berhasil menaungi berbagai elemen massa, meraup suara signifikan dalam pemilu, dan mampu mempengaruhi arah perpolitikan nasional.
PKI menjadi raksasa dalam waktu singkat. Hingga datanglah prahara 1965 itu menjatuhkan raksasa ini tanpa ampun.

Sumber: Historia.Id