HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Senin, 30 Juli 2018

Religiusitas Aidit, Tragedi Abdullah

Oleh: Iswara N Raditya - 30 Juli 2018

DN Aidit; 1958. Wikicommon/Rudi Ulmer


Dipa Nusantara Aidit, Ketua CC PKI, bernama asli Ahmad Aidit dan berasal dari keluarga Muslim taat.
Abdullah Aidit menginap di rumah anak sulungnya, Achmad, di Jalan Pegangsaan Barat Nomor 4, Jakarta pada malam jahanam 30 September 1965. Ia menyaksikan puteranya pergi bersama tiga orang tentara. Achmad yang dimaksud tidak lain adalah Dipa Nusantara (D.N.) Aidit, Ketua Central Committee Partai Komunis Indonesia (PKI). Itulah terakhir kalinya Abdullah melihat Achmad. 

Lelaki renta itu semakin bertanya-tanya ketika beberapa hari kemudian datang massa yang dengan beringas menyerang kediaman Achmad. “Mereka berteriak-teriak dan melempari rumah kami,” kenang Ilham, anak Achmad, cucu Abdullah, dikutip dari seri buku Tempo Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara (2010: 85).

Abdullah hanya bisa merenung dan cemas, menerka-nerka nasib putra kebanggaannya itu.

Keluarga Aidit yang Islami

Tanggal 30 Juli 1923, tepat hari ini 95 tahun lalu, menjadi hari yang paling membahagiakan bagi Abdullah dan istrinya, Nyi Ayu Mailan. Anak pertama mereka lahir, laki-laki. Betapa senang dan bangganya Abdullah.

Achmad, begitu Abdullah memberikan nama untuk sang putra sulung. Lengkapnya Achmad Aidit, merujuk nama belakangnya sendiri. Nama Aidit kelak juga akan disematkan kepada anak-anaknya yang lain, meskipun bukan marga.

Menurut J.F. Tualaka dalam Buku Pintar Politik: Sejarah, Pemerintahan, dan Ketatanegaraan (2009), keluarga Abdullah amat terpandang di Belitung kendati termasuk pendatang. Leluhurnya berasal dari Agam, Sumatra Barat. Abdullah dikenal sebagai tokoh agama dan panutan masyarakat, juga mantri kehutanan. Ia pendiri organisasi Nurul Islam yang berorientasi kepada Muhammadiyah (hlm. 50).

Walaupun sempat bekerja untuk pemerintah daerah, Abdullah sebenarnya anti-kolonial. Ia memimpin gerakan pemuda di Belitung semasa era pergerakan nasional. Nantinya, setelah Indonesia merdeka, Abdullah terpilih sebagai anggota parlemen mewakili rakyat Belitung.

Ayah Abdullah atau kakek Achmad, bernama Haji Ismail, adalah pengusaha ikan yang sukses sekaligus sosok yang dihormati lantaran sudah menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Murad Aidit, adik kandung Achmad, dalam buku Aidit Sang Legenda(2005), bercerita, 
“Kakek kami dulu mempunyai pekarangan seluas 2000 meter persegi” (hlm. 54).
Sementara dari garis ibu, keluarga Aidit tidak kalah pamornya. Nyi Ayu Mailan, ibunda Achmad, berasal dari keluarga bangsawan. Ayah Mailan yang juga kakek Achmad, Ki Agus Haji Abdul Rahman, adalah seorang tuan tanah, kaya-raya, sudah haji pula.

Melihat latar belakang itu, tidak mengherankan jika Achmad dan adik-adiknya dididik secara islami sejak dini. Saban hari sepulang sekolah, anak-anak ini langsung belajar mengaji, dibimbing Abdurrachim, paman mereka. 

“[…] Bang Amat (Achmad) tamat mengaji, khatam Alquran. Kami semua khatam Alquran. Dan kalau perayaan khatam ini, kami bagaikan raja, dihormati dan dikendurikan,” kisah Sobron Aidit, adik tiri Achmad, dalam buku Aidit: Abang, Sahabat, dan Guru di Masa Pergolakan (2003: 47). 
Di kalangan keluarga dan teman-teman dekatnya, Achmad memang akrab dengan panggilan Amat. Orang-orang sekampung mengenalnya sebagai sosok bocah yang alim, rajin ke masjid, juga pandai mengaji.
Achmad dikenal pula sebagai tukang azan atau muazin. Seperti diungkap Satriono Priyo Utomo dalam Aidit, Marxisme-Leninisme, dan Revolusi Indonesia (2016: 35), ia sering diminta untuk mengumandangkan azan karena suaranya dianggap keras dan lafalnya jelas. 

Hingga akhirnya beranjak remaja, Achmad merantau ke Batavia dan mulai turut dalam arus pergerakan nasional. Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang (2010) menyebut bahwa Achmad pernah menjadi anak emas Mohammad Hatta (hlm. 19).

Pergaulan Achmad semakin luas. Memasuki era pendudukan Jepang yang berlangsung sejak 1942, ia berkenalan dan terlibat intensif dengan tokoh-tokoh nasional macam Sukarno, Wikana, Chaerul Saleh, Sukarni, dan lain-lainnya. Menjelang masa-masa itu, Achmad Aidit memutuskan bersulih nama menjadi Dipa Nusantara (D.N.) Aidit.

Islam, Komunisme, dan Pancasila

Abdullah semula menentang kehendak anak sulungnya yang ingin mengganti nama Achmad dengan Dipa Nusantara. Bukan tentang keluarga atau agama, Abdullah hanya tidak ingin ribet dengan urusan administrasi jika Achmad berganti nama.
“Alasan sebenarnya adalah persoalan tertib administrasi, sebab nama Achmad sudah tercetak pada slip gajinya (Abdullah) sebagai pegawai dinas kehutanan. Pasti akan timbul kesulitan kalau tiba-tiba dimunculkan nama lain,” jelas Murad mengenai pergantian nama kakaknya itu (hlm. 19).
Kehidupan kolonial memang menggembleng Achmad menjadi sosok yang lebih nasionalis. Atas alasan itulah ia ingin mengganti nama depannya menjadi nama yang menurutnya lebih “Indonesia”. 

Perubahan nama dari Achmad Aidit menjadi Dipa Nusantara Aidit diresmikan pada akhir era Belanda di Indonesia sebelum kedatangan Jepang. Perubahan nama itu, pada akhirnya, menegaskan juga perubahan pandangan hidup Aidit tentang dunia, terutama tentang Indonesia. Setelah berganti nama, D.N. Aidit kian mantap melakoni perjuangan politiknya secara lebih revolusioner demi membela kaum buruh-tani yang tertindas, dan nantinya dikenal sebagai salah satu pentolan PKI.

Namun, pengalaman religiusitas di masa kecil itu tidak sepenuhnya hilang dari Aidit. Sebagai orang yang masa kecilnya diisi oleh kentalnya atmosfir keagamaan, membuatnya cukup percaya diri untuk beberapa kali berbicara tentang Islam, khususnya dalam usaha mengikis tuduhan anti-agama yang disematkan kepada PKI. 

Pada 1962, untuk menangkal tudingan terkait sikap PKI terhadap Islam dan Pancasila, dikutip dari tulisan Yunantyo Adi berjudul “D.N. Aidit dan Agama” dalam portal elsaonline.com, ia mengatakan:

“Kaum komunis sadar, dengan menerima Pancasila yang sila pertamanya adalah percaya kepada Tuhan YME berarti juga paham tidak boleh sama sekali membuat propaganda anti-agama di Indonesia. Hal ini sungguh kami patuhi dengan sepenuh hati karena kami kaum komunis sama sekali tidak berminat menyibukkan diri dalam propaganda semacam itu.”
Dalam wawancara dengan Solichin Salam yang dimuat di Majalah Pembina edisi 12 Agustus 1964, dikutip dari Historia.id, menjawab pertanyaan “apakah benar ajaran Marxisme tidak mengakui adanya Tuhan, serta berpendapat bahwa agama adalah candu bagi rakyat?” Aidit menegaskan:
“Kami berpendapat, agama yang dianut masing-masing orang adalah masalah pribadi. Karena PKI berdasarkan Marxisme, dan karena itu memahami dengan baik akar-akar sosial dari agama, maka anggota-anggota PKI menghormati hak setiap orang untuk memeluk agama.”
Infografik Religiusitas Keluarga Aidit


Urusan politik, bagi Aidit, tidak seharusnya dicampuradukkan dengan masalah agama. 
“PKI adalah partai politik. Benar apa yang saudara katakan bahwa banyak anggota PKI memeluk agama. Saya dapat pastikan, di dalam PKI terdapat lebih banyak orang yang menganut agama Islam daripada di dalam suatu partai Islam yang kecil,” ucapnya kepada Solichin Salam.
Jauh sebelumnya, pada 28 April 1954, saat masih menjabat sebagai Sekretaris I PKI, Aidit pernah berkomentar keras terhadap partai politik yang mengklaim suatu agama sebagai milik mereka sendiri. Partai politik yang dimaksud adalah Masyumi.
“Nabi Muhammad bukanlah milik Masyumi sendiri, iman Islamnya jauh lebih baik daripada Masyumi,” tandas Aidit, dinukil Remy Madinier dalam Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral (2013).
Permusuhan Masyumi dan PKI memang terang benderang. Kendati dalam kehidupan sehari-hari tokoh-tokohnya bisa dan biasa berinteraksi, di ruang-ruang publik (baik media massa, gedung-gedung parlemen hingga lapangan kampanye) keduanya biasa saling serang dan hantam secara terbuka. Kecurigaan Masyumi terhadap PKI, yang mereka anggap memusuhi agama, tidak pernah disimpan-simpan, melainkan diutarakan dengan terus terang. Begitu juga sebaliknya. PKI pun sering melontarkan kecaman terhadap Masyumi, salah satunya ucapan Aidit di atas.

Sontak kata-kata itu menuai kritik dan kemarahan. Aidit sampai harus memberikan klarifikasi bahkan meminta maaf. 
“Apabila di antara saudara ada yang tersinggung oleh ucapan-ucapan saya, maka saya meminta maaf. Saya hanya ingin mengatakan bahwa PKI tidak anti-agama.”
Tragedi Gerakan 30 September 1965 menjungkirbalikkan kehidupan keluarga besar Aidit, termasuk sang ayah, Abdullah. Setelah sedikit tahu apa yang terjadi sehingga Achmad dijemput tentara pada malam jahanam itu, Abdullah paham bahwa itulah awal dari akhir segalanya.

Abdullah akhirnya bisa pulang ke Belitung. Namun, ia sakit-sakitan lalu wafat tiga tahun berselang. Sakitnya Abdullah lantaran memikirkan nasib anak-cucunya yang tercerai-berai, beberapa ditangkap, dipenjara, hingga diasingkan, ada yang terpaksa hidup di luar negeri dan tidak berani kembali. Achmad, putra sulungnya itu, dikabarkan telah mati, konon dieksekusi tentara di Boyolali.

Jasad Abdullah tergolek selama tiga hari, membusuk. Tidak ada yang sudi mengurus jenazahnya. Orang-orang takut terkena getah tragedi berdarah 1965 yang melibatkan PKI, partai besutan anaknya, Achmad Aidit.

"Saya hanya ingin mengatakan bahwa PKI tidak anti-agama.” (D.N. Aidit)

Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan

Sumber: Tirto.Id 

Pemerintah Akan Bentuk Tim Gabungan Terpadu Tentang Penyelesaian Dugaan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Senin 30/7/2018, 18.31 WIB
Penulis: Dimas Jarot Bayu | Editor: Yuliawati

Tim dibentuk untuk membedah berbagai kendala dan mencarikan solusi penyelesaian kasus HAM masa lalu.

Menko Polhukam Wiranto (kiri).

Pemerintah bakal membentuk tim gabungan terpadu untuk menyelesaikan kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu. Tim ini dibentuk untuk membedah berbagai kendala dan mencarikan solusi penyelesaian kasus tersebut.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Wiranto mengatakan, tim ini akan terdiri dari berbagai pemangku kepentingan, mulai dari kementerian dan lembaga terkait hingga Komnas HAM. Selain itu, organisasi nirlaba akan turut diundang berdiskusi dengan tim ini.
"Kami bedah satu persatu di mana hambatannya. Mungkin tidak dengan proyustisia, atau mungkin nonyudisial. Nonyudisial bagaimana caranya," kata Wiranto di kantornya, Jakarta, Senin (30/7).
Wiranto mengatakan, pemerintah hingga saat ini belum menyelesaikan kasus dugaan pelanggaran HAM masa lalu karena terhambat banyak kendala.
Salah satu kendala tersebut adalah pembuktian di mata hukum. Selama ini memang sudah ada hasil investigasi dari Komnas HAM terkait kasus dugaan pelanggaran HAM masa lalu. Hanya saja, hasil investigasi tersebut belum memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke tahap penyelidikan di Kejaksaan Agung.
Jika dilakukan penyelidikan lagi, Wiranto menilai hal tersebut sulit dilakukan karena peristiwa sudah berlangsung cukup lama. 
"Sulit sekali untuk mencari siapa yang salah dan tanggung jawab," kata Wiranto.
Lebih lanjut, dia menilai kendala juga disebabkan karena belum ada Pengadilan HAM Ad Hoc. Menurut Wiranto, Komnas HAM seharusnya tak langsung menyerahkan hasil investigasi ke Kejaksaan Agung.
Wiranto menilai hasil investigasi seharusnya diberikan ke DPR untuk dibahas lebih dahulu. Hal tersebut agar DPR nentinya memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.
Ada pun, Wiranto menilai saat ini upaya menyelesaikan kasus dugaan pelanggaran HAM masa lalu secara nonyudisial sulit dilakukan karena terbentur Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Hal lain akibat belum ada lembaga yang dapat menyelesaikannya tanpa melalui pengadilan.
"Dulu ada KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi), itu sudah dibubarkan karena tidak sejalan dengan UU. Maka harus ada yang menampung ini," kata dia.
Pemerintah pada 2015 sempat mewacanakan membentuk tim untuk mengusut kasus pelanggaran HAM masa lalu. Setidaknya, ada tujuh kasus yang diprioritaskan pemerintah untuk diprioritaskan, yakni Gerakan 30 September 1965, Talangsari, Wamena, Wasior, penghilangan paksa, penembakan misterius, serta kerusuhan Mei 1998.
Hingga saat ini belum ada langkah konkret dari penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM masa lalu tersebut.
Sumber: KataData.Co.Id 

Maemunah, wanita penakluk hati Pramoedya Ananta Toer


30 Juli 2018 12:52 | Yeni Endah


Hubungan cinta antara Pramoedya Ananta Ter dan Maemunah adalah cinta tanpa syarat, suatu hubungan yang sederhana, indah tanpa pretensi.

Maemunah, istri seorang penulis legendaris Pramoedya Ananta Toer berasal dari keluarga kaya. Maemunah adalah keponakan pahlawan nasional, Muhamammad Husni Thamrin.

Ketika Maemunah menikah dengan Pramoedya Ananta Toer, Maemunah diboyong ke rumah kontrakan di Utan Kayu. Demi cintanya pada Pramoedya Ananta Toer, Maemunah rela menjalani kehidupan yang berbanding terbalik, 360 derajat dari kehidupan sebelumnya.

Pernikahan Pramoedya Ananta Toer dan Maemunah (Foto by : CNN Indonesia)

Di rumah kontrakan itu, Pramoedya Ananta Toer, biasa bekerja di ruang depan, menghadap ke halaman. Di halaman itu terdapat sumur umum, tempat warga sekitar mandi dan mencuci.

Maemunah dikenal sebagai wanita yang tangguh karena mau mengerti dan tabah dalam menghadapi hidup dalam kesulitan bersama Pramoedya Ananta Toer.

Pramoedya Ananta Toer boleh jadi dikenal sebagai sastrawan hebat yang berkali-kali dinominasikan sebagai peraih Nobel sastra, tetralogi Pulau Burunya laku dan dicari banyak orang. Tetapi awal-awal kehidupan penulisnya kondisi tak lebih baik dari anak jalanan. Miskin dan sakit-sakitan.

Pramoedya Ananta Toer saat keluar dari Pulau Buru, disambut Maemunah dengan hangat dan mesra (Foto by CNN Indonesia)

Kehidupan Pramoedya Ananta Toer yang keras dan susah ini, digambarkan dari karyanya Cerita Dari Blora dan Bukan Pasar Malam. Sehingga bolehlah kiranya bahwa kerasnya pendirian Pram, begitu biasa Pramoedya Ananta Toer disapa, dalam hidup, ditempa oleh pengalamannya semasa muda. Yang mungkin oleh Istri pertamanya salah ditafsir dan dimaknai sebagai hidup yang tak berguna dan sengsara.

Dalam banyak kesempatan Pramoedya Ananta Toer menggambarkan istri pertamanya dengan kurang baik. Seperti merongrong suaminya karena kurang keras bekerja atau dalam Bukan Pasar Malam mata yang dulu bagus dan yang kini tak menarik hatiku lagi itu.
Tetapi setelah berpisah dengan istri pertamanya, Pramoedya Ananta Toer menemukan tambatan hatinya. Maemunah, seorang wanita berhati lembut yang menemani Pramoedya Ananta Toer hingga akhir hayatnya.

Awal pertemuan Pramoedya Ananta Toer dengan Maemunah. Saat itu Maemunah menjaga stand buku Toko Gunung Agung. Dalam sebuah fragmen Pram berkata:
Pertemuan dan perkenalan dengan ibumu membikin semangat hidupku bangkit kembali. Dengan dia aku akan hidup.

Sebelumnya Pramoedya Ananta Toer yakin bahwa ia akan mati sebelum umur 30, namun kini ia menemukan bara kehidupan baru. Seakan hidup Pramoedya Ananta Toer yang kedua dimulai pada saat ia bertemu dengan Maemunah.

Saat berkenalan dengan Maemunah ternyata Pramoedya Ananta Toer tidak mengetahui perihal siapakah Hadji Abdulah Thamrin, Ayahanda Maemunah yang juga saudara dari M.H Thamrin itu.

Apalagi perihal kekayaan Ayahanda Maemunah yang banyak memiliki rumah di Jakarta saat itu. Maemunah pun tampaknya tidak begitu peduli dengan materi, karena dengan Pramoedya Ananta Toer, ia tidak berbagi cerita tentang kekayaannya. Barangkali itu pula yang membuat Pramoedya Ananta Toer jadi kasmaran.

Pramoedya Ananta Toer menggambarkan perasaannya pada Maemunah Seakan-akan mereka berdua bertemu sebagai orang yang tak punya sangkut paut dengan apapun. Hubungan yang terjalin diantara keduanya polos, tanpa sesuatu syarat, suatu hubungan yang sederhana, indah tanpa pretensi.

Maemunah menemani Pramoedya Ananta Toer hingga akhir hayatnya dalam suka maupun duka (Foto by CNN Indonesia)

(brl/red)

Sejarah Indonesia | Religiusitas Aidit, Tragedi Abdullah

Oleh: Iswara N Raditya - 30 Juli 2018


DN Aidit; 1958. Wikicommon/Rudi Ulmer

Dipa Nusantara Aidit, Ketua CC PKI, bernama asli Ahmad Aidit dan berasal dari keluarga Muslim taat.
Abdullah Aidit menginap di rumah anak sulungnya, Achmad, di Jalan Pegangsaan Barat Nomor 4, Jakarta pada malam jahanam 30 September 1965. Ia menyaksikan puteranya pergi bersama tiga orang tentara. Achmad yang dimaksud tidak lain adalah Dipa Nusantara (D.N.) Aidit, Ketua Central Committee Partai Komunis Indonesia (PKI). Itulah terakhir kalinya Abdullah melihat Achmad. 

Lelaki renta itu semakin bertanya-tanya ketika beberapa hari kemudian datang massa yang dengan beringas menyerang kediaman Achmad. “Mereka berteriak-teriak dan melempari rumah kami,” kenang Ilham, anak Achmad, cucu Abdullah, dikutip dari seri buku Tempo Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara (2010: 85).

Abdullah hanya bisa merenung dan cemas, menerka-nerka nasib putra kebanggaannya itu.

Keluarga Aidit yang Islami

Tanggal 30 Juli 1923, tepat hari ini 95 tahun lalu, menjadi hari yang paling membahagiakan bagi Abdullah dan istrinya, Nyi Ayu Mailan. Anak pertama mereka lahir, laki-laki. Betapa senang dan bangganya Abdullah.

Achmad, begitu Abdullah memberikan nama untuk sang putra sulung. Lengkapnya Achmad Aidit, merujuk nama belakangnya sendiri. Nama Aidit kelak juga akan disematkan kepada anak-anaknya yang lain, meskipun bukan marga.

Menurut J.F. Tualaka dalam Buku Pintar Politik: Sejarah, Pemerintahan, dan Ketatanegaraan (2009), keluarga Abdullah amat terpandang di Belitung kendati termasuk pendatang. Leluhurnya berasal dari Agam, Sumatra Barat. Abdullah dikenal sebagai tokoh agama dan panutan masyarakat, juga mantri kehutanan. Ia pendiri organisasi Nurul Islam yang berorientasi kepada Muhammadiyah (hlm. 50).

Walaupun sempat bekerja untuk pemerintah daerah, Abdullah sebenarnya anti-kolonial. Ia memimpin gerakan pemuda di Belitung semasa era pergerakan nasional. Nantinya, setelah Indonesia merdeka, Abdullah terpilih sebagai anggota parlemen mewakili rakyat Belitung.

Ayah Abdullah atau kakek Achmad, bernama Haji Ismail, adalah pengusaha ikan yang sukses sekaligus sosok yang dihormati lantaran sudah menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Murad Aidit, adik kandung Achmad, dalam buku Aidit Sang Legenda(2005), bercerita, “Kakek kami dulu mempunyai pekarangan seluas 2000 meter persegi” (hlm. 54).

Sementara dari garis ibu, keluarga Aidit tidak kalah pamornya. Nyi Ayu Mailan, ibunda Achmad, berasal dari keluarga bangsawan. Ayah Mailan yang juga kakek Achmad, Ki Agus Haji Abdul Rahman, adalah seorang tuan tanah, kaya-raya, sudah haji pula.

Melihat latar belakang itu, tidak mengherankan jika Achmad dan adik-adiknya dididik secara islami sejak dini. Saban hari sepulang sekolah, anak-anak ini langsung belajar mengaji, dibimbing Abdurrachim, paman mereka. 
“[…] Bang Amat (Achmad) tamat mengaji, khatam Alquran. Kami semua khatam Alquran. Dan kalau perayaan khatam ini, kami bagaikan raja, dihormati dan dikendurikan,” kisah Sobron Aidit, adik tiri Achmad, dalam buku Aidit: Abang, Sahabat, dan Guru di Masa Pergolakan (2003: 47). 
Di kalangan keluarga dan teman-teman dekatnya, Achmad memang akrab dengan panggilan Amat. Orang-orang sekampung mengenalnya sebagai sosok bocah yang alim, rajin ke masjid, juga pandai mengaji.
Achmad dikenal pula sebagai tukang azan atau muazin. Seperti diungkap Satriono Priyo Utomo dalam Aidit, Marxisme-Leninisme, dan Revolusi Indonesia (2016: 35), ia sering diminta untuk mengumandangkan azan karena suaranya dianggap keras dan lafalnya jelas. 

Hingga akhirnya beranjak remaja, Achmad merantau ke Batavia dan mulai turut dalam arus pergerakan nasional. Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang (2010) menyebut bahwa Achmad pernah menjadi anak emas Mohammad Hatta (hlm. 19).

Pergaulan Achmad semakin luas. Memasuki era pendudukan Jepang yang berlangsung sejak 1942, ia berkenalan dan terlibat intensif dengan tokoh-tokoh nasional macam Sukarno, Wikana, Chaerul Saleh, Sukarni, dan lain-lainnya. Menjelang masa-masa itu, Achmad Aidit memutuskan bersulih nama menjadi Dipa Nusantara (D.N.) Aidit.

Islam, Komunisme, dan Pancasila

Abdullah semula menentang kehendak anak sulungnya yang ingin mengganti nama Achmad dengan Dipa Nusantara. Bukan tentang keluarga atau agama, Abdullah hanya tidak ingin ribet dengan urusan administrasi jika Achmad berganti nama.
“Alasan sebenarnya adalah persoalan tertib administrasi, sebab nama Achmad sudah tercetak pada slip gajinya (Abdullah) sebagai pegawai dinas kehutanan. Pasti akan timbul kesulitan kalau tiba-tiba dimunculkan nama lain,” jelas Murad mengenai pergantian nama kakaknya itu (hlm. 19).
Kehidupan kolonial memang menggembleng Achmad menjadi sosok yang lebih nasionalis. Atas alasan itulah ia ingin mengganti nama depannya menjadi nama yang menurutnya lebih “Indonesia”. 

Perubahan nama dari Achmad Aidit menjadi Dipa Nusantara Aidit diresmikan pada akhir era Belanda di Indonesia sebelum kedatangan Jepang. Perubahan nama itu, pada akhirnya, menegaskan juga perubahan pandangan hidup Aidit tentang dunia, terutama tentang Indonesia. Setelah berganti nama, D.N. Aidit kian mantap melakoni perjuangan politiknya secara lebih revolusioner demi membela kaum buruh-tani yang tertindas, dan nantinya dikenal sebagai salah satu pentolan PKI.

Namun, pengalaman religiusitas di masa kecil itu tidak sepenuhnya hilang dari Aidit. Sebagai orang yang masa kecilnya diisi oleh kentalnya atmosfir keagamaan, membuatnya cukup percaya diri untuk beberapa kali berbicara tentang Islam, khususnya dalam usaha mengikis tuduhan anti-agama yang disematkan kepada PKI. 

Pada 1962, untuk menangkal tudingan terkait sikap PKI terhadap Islam dan Pancasila, dikutip dari tulisan Yunantyo Adi berjudul “D.N. Aidit dan Agama” dalam portal elsaonline.com, ia mengatakan:
“Kaum komunis sadar, dengan menerima Pancasila yang sila pertamanya adalah percaya kepada Tuhan YME berarti juga paham tidak boleh sama sekali membuat propaganda anti-agama di Indonesia. Hal ini sungguh kami patuhi dengan sepenuh hati karena kami kaum komunis sama sekali tidak berminat menyibukkan diri dalam propaganda semacam itu.”
Dalam wawancara dengan Solichin Salam yang dimuat di Majalah Pembina edisi 12 Agustus 1964, dikutip dari Historia.id, menjawab pertanyaan “apakah benar ajaran Marxisme tidak mengakui adanya Tuhan, serta berpendapat bahwa agama adalah candu bagi rakyat?” Aidit menegaskan:
“Kami berpendapat, agama yang dianut masing-masing orang adalah masalah pribadi. Karena PKI berdasarkan Marxisme, dan karena itu memahami dengan baik akar-akar sosial dari agama, maka anggota-anggota PKI menghormati hak setiap orang untuk memeluk agama.”

Infografik Religiusitas Keluarga Aidit

Urusan politik, bagi Aidit, tidak seharusnya dicampuradukkan dengan masalah agama. “PKI adalah partai politik. Benar apa yang saudara katakan bahwa banyak anggota PKI memeluk agama. Saya dapat pastikan, di dalam PKI terdapat lebih banyak orang yang menganut agama Islam daripada di dalam suatu partai Islam yang kecil,” ucapnya kepada Solichin Salam.
Jauh sebelumnya, pada 28 April 1954, saat masih menjabat sebagai Sekretaris I PKI, Aidit pernah berkomentar keras terhadap partai politik yang mengklaim suatu agama sebagai milik mereka sendiri. Partai politik yang dimaksud adalah Masyumi.
“Nabi Muhammad bukanlah milik Masyumi sendiri, iman Islamnya jauh lebih baik daripada Masyumi,” tandas Aidit, dinukil Remy Madinier dalam Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral (2013).
Permusuhan Masyumi dan PKI memang terang benderang. Kendati dalam kehidupan sehari-hari tokoh-tokohnya bisa dan biasa berinteraksi, di ruang-ruang publik (baik media massa, gedung-gedung parlemen hingga lapangan kampanye) keduanya biasa saling serang dan hantam secara terbuka. Kecurigaan Masyumi terhadap PKI, yang mereka anggap memusuhi agama, tidak pernah disimpan-simpan, melainkan diutarakan dengan terus terang. Begitu juga sebaliknya. PKI pun sering melontarkan kecaman terhadap Masyumi, salah satunya ucapan Aidit di atas.
Sontak kata-kata itu menuai kritik dan kemarahan. Aidit sampai harus memberikan klarifikasi bahkan meminta maaf. “Apabila di antara saudara ada yang tersinggung oleh ucapan-ucapan saya, maka saya meminta maaf. Saya hanya ingin mengatakan bahwa PKI tidak anti-agama.”
Tragedi Gerakan 30 September 1965 menjungkirbalikkan kehidupan keluarga besar Aidit, termasuk sang ayah, Abdullah. Setelah sedikit tahu apa yang terjadi sehingga Achmad dijemput tentara pada malam jahanam itu, Abdullah paham bahwa itulah awal dari akhir segalanya.

Abdullah akhirnya bisa pulang ke Belitung. Namun, ia sakit-sakitan lalu wafat tiga tahun berselang. Sakitnya Abdullah lantaran memikirkan nasib anak-cucunya yang tercerai-berai, beberapa ditangkap, dipenjara, hingga diasingkan, ada yang terpaksa hidup di luar negeri dan tidak berani kembali. Achmad, putra sulungnya itu, dikabarkan telah mati, konon dieksekusi tentara di Boyolali.

Jasad Abdullah tergolek selama tiga hari, membusuk. Tidak ada yang sudi mengurus jenazahnya. Orang-orang takut terkena getah tragedi berdarah 1965 yang melibatkan PKI, partai besutan anaknya, Achmad Aidit.

Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan

"Saya hanya ingin mengatakan bahwa PKI tidak anti-agama.” (D.N. Aidit)

Sumber: Tirto.Id 

Minggu, 29 Juli 2018

Holocaust dan "Orang-orang Biasa"

Catatan: Tri Guntur Narwaya


Holocaust dan pembantaian massal pada era fasistik rezim Nazi Hitler yang berlangsung tahun 1941 sampai 1945 adalah potret pengalaman paling mengerikan bagi peradaban manusia. yang pernah terjadi di abad 20. Hampir 6 juta lebih orang dimusnahkan dengan begitu kejam dan hampir sekitar puluhan juta manusia lain yang hilang tak ditemukan. Kekejian ini berdampak luar biasa pada wajah keadaban masyarakat Eropa dan dunia pada umumnya.
Ada banyak lapis persoalan yakni menguatnya rasisme, kontestasi ekonomi politik dan ideologi chaufinistik nasionalisme membabibuta yang mendorong sebuah kelompok bangsa bisa menghabisi komunitas lain dengan sekian brutal dan dengan berbagai banalitas kekejamannya. Dalam praktik kekejian, manusia tak lagi dilihat manusia, tetapi hanya sebatas angka2 dan seonggok mahluk anonim yang mudah dihabisi dan dimusnahkan.
Mengapa kengerian Holocaust bisa terjadi? Bagaimana Holocaust sendiri bisa terjadi?
Pertanyaan ini penting direnungkan, mengingat peristiwa serupa ternyata terus masih berlangsung dan bisa saja akan terus berlangsung. Kejadian2 serupa juga setidaknya pernah terjadi diberbagai belahan bumi lainnya, termasuk Indonesia pasca perang dunia kedua hingga hari ini.
Indonesia tak luput pernah mengalami lintasan sejarah serupa. Tragedi besar 1965 - 1966 adalah momen tragedi kemanusian yang pernah menghampiri Indonesia. Dalam berbagai data temuan dan dokumen riset ada sekitar 500.000 sampai hitungan 3 juta manusia terbunuh. Jumlah korban jiwa yang begitu besarnya. Angka ini belum termasuk dampak panjang kekerasan, diskriminasi dan trauma yang dialami oleh banyak korban atau penyintas hingga hari ini.
Sebagai peristiwa, Holocaust tentu saja tidak datang tiba2. Di fase awal Hitler berhasil menang dalam pemilu demokratis di Jerman dan awal2 rezim Nazi berkuasa, benih2 diskriminasi, kebencian dan rasisme sudah mulai berjalan. Pada awalnya ini tidak dianggap penting dan dianggap sebagai kebijakan politik biasa. Kebijakan diskriminasi disertai berbagai langkah persekusi pelan2 terus diterapkan untuk sebagaian warga Yahudi di Jerman dan kelompok2 sosial yang diangap berseberangan. Holocaust menjadi puncak dari rangkaian banalitas kekejian tersebut.
Pasca kekalahan Hitler dan runtuhnya rezim Nazi oleh kekuatan Sekutu berdampak pada beberapa perubahan penting. Langkah politik rekonsiliasi dan penyelesian masa lalu relatif berhasil di Jerman. Negara serius untuk menuntaskan beban masa lalu ini. Sebagian besar korban telah diberi kompensasi dan rehabilitasi. Monumen2 dan memorial peringatan atas kekejian telah dibangun. Masyarakat Jerman telah membuka babak baru dengan kesadaran bahwa peristiwa Holocoust jangan sampai terulang. Rasa penyesalan dan juga rasa malu atas peristiwa itu begitu kuat. Publik sepakat untuk mengutuk tragedi itu dan memberi pesan pada pentingnya membangun keadaban bangsa yang lebih baru dan berkemanusiaan.
Kita sebagai bangsa memliki banyak masalah terutama upaya penyelesaian masa lalu yang belum pernah tuntas. Negara belum punya tekad dan komitmen baik untuk melampaui ptoblem besar ini. Kita juga belum memiliki langkah serius untuk menuju proses rekonsiliasi dan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Pada banyak langkah dan inisiasi masyarakat untuk upaya itu justru harus berhadapan dengan bernagai tembok resistensi dan persekusi kekerasan sekaligus. Membicarakan masa lalu dianggap aib dan membahayakan.
Jatuhnya jutaan korban atas peristiwa tragedi 1965 - 1966 tentu membawa goresan luka dan ingatan kolektif yang buram bagi masyarakat. Jika ini tak mampu diselesiakan, maka kerab kali justru akan menciptakan lingkaran persoalan kemanusiaan berikutnya. Politik impunitas dan keengganan untuk bertanggungjawab adalah contoh besarnya. Banyak para pelaku yang hari ini masih melenggang bebas dan justru mendapat tempat terhormat dalam struktur politik negara. Tentu ini satu soal bagaimana gambaran potret kemunduran luar biasa dari agenda perjuangan HAM dan penyelesaian kejahatan masa lalu.
Akan lebih berbahaya seandainya masyarajat juga terus berdiam diri dan bungkam atas masalah ini. Berkaca dari proses Holocoust, sesuatunya selalu dimulai dari hal yang biasa dan kerab diacuhkan, yakni kejahatan kecil yang terus dianggap umum dan biasa. Benar kata Viktor Frankl, jika kekejian dianggap biasa dan terus dibiarkan maka ia akan menjadi sesuatu yang normal. Respon 'abnormalitas' atas 'abnormalitas' akan menyokong 'normalitas' yang mengerikan. Hannah Arendt bahkan memberi peringatan bahwa kekejian luar biasa sering dilakukan bukan oleh sosok penjahat yang seram dan menakutkan, ia seringkali dilakukan justru oleh orang2 biasa. Catatan Viktor Frankl dan Hannah Arendt menggelitik kita yang diam2 mungkin menjadi bagian 'orang-orang biasa' yang bisa saja sangat berpotensi masuk menjadi gerombolan para jagal dan algojo bagi nasib kemanusiaan.
Refleksi pentingnya berkaca dari kengerian Holocaust adalah bahwa benih2 kebencian, intoleransi, anti perbedaan, esklusifisme, dan rasisme yang semula terus dibiarkan dan dianggap sesuatu yang lazim dan biasa akan bisa menjadi tonggak2 pancang yang mengerikan untuk membangun 'tembok2 gedung gas beracun pembantaian' dan 'tiang2 gantung penjagalan' bagi nasib kehidupan masyarakat yang lain.
Oleh sebab itu, penyelesaian kejahatan masa lalu menjadi sangat penting dan relevan terus didorong agar kita tidak jatuh pada lubang tragedi yang sama. Rekonsiliasi harus didorong agar kebenaran kita letakkan pada ruang yang tepat. Komitmen ini harus terus kita dorong terutama kepada negara yang berkewajiban untuk menuntaskan beban masa lalu dan memberikan lembar sejarah yang lebih berkeadaban bagi generasi ke depan.
_________________
Sekedar catatan refleksi kecil dari workshop tentang 'Holocaust dan Kekerasan Massal Lain' untuk para guru sejarah, di Kampus Sanata Dharma (28 Juli 2018). Diselenggarakan Pusdema bekerjasama dengan Unesco PBB.

Sabtu, 28 Juli 2018

Sejarawan Sarankan Sejarah Holocaust Diajarkan di Sekolah

Oleh: Alexander Haryanto - 28 Juli 2018


Baskara T Wardaya. foto/tirto/riva rais

Baskara mengatakan sejarah Holocaust tidak diajarkan secara ideal di sekolah.
Sejarawan Baskara T. Wardaya mengatakan, kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di berbagai negara perlu diajarkan di sekolah guna mencegah terjadinya kekerasan di masa mendatang. 

“Pendidikan bisa menjadi pintu masuk untuk memberikan pemahaman kepada siswa mengenai berbagai kekerasan di masa lalu,” kata Baskara dalam “Workshop Holocaust dan Kekerasan Massal Lain” di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, yang diadakan Pusdema atas kerja sama dengan Kotak Hitam dan UNESCO, Sabtu (28/7/2018). 

Salah satu kasus pelanggaran HAM berat yang bisa diajarkan di sekolah itu adalah peristiwa pembunuhan secara sistematis terhadap orang Yahudi atau yang dikenal dengan istilah Holocaust pada perang dunia kedua. Pasalnya, menurut Baskara, kekerasan kemanusiaan itu tidak serta merta terjadi begitu saja. Ada sentimen yang diciptakan, sehingga menjadi legitimasi untuk melakukan kekerasan. 

Ia menjelaskan, peristiwa yang pecah pada tahun 1941 hingga 1945 itu justru merupakan bentuk akumulasi dari sentimen-sentimen terhadap orang Yahudi yang sudah dimulai sejak tahun 1933. Artinya, butuh waktu sekitar delapan tahun sentimen itu benar-benar pecah. 

“Peristiwa Holocaust merupakan akumulasi dari sentimen terhadap anti-Yahudi yang dimulai pada 1933, saat itu ada imbauan boikot terhadap produk Yahudi dan orang Yahudi tak boleh jadi pegawai,” kata dia.

Peristiwa tersebut, kata Baskara, terjadi karena Pemimpin Jerman Adolf Hitler ingin membangun sebuah bangsa yang terbaik, yakni Aria di Kota Berlin. Sehingga, siapa pun yang ingin menghambat rencana tersebut akan dihabiskan. 

“Yang ingin menghambat akan dihabisi, ada sekitar 6 juta orang Yahudi yang dibunuh, namun secara keseluruhan ada sekitar 17 juta jiwa,” ungkap Direktur Pusat Demokrasi dan HAM (Pusdema) ini. 

Menariknya, kata dia, kekuasaan yang didapat Hitler tersebut justru ditempuh melalui sistem Demokrasi yang dipilih rakyat. Namun, ketika Hitler berhasil memegang tampuk kekuasaan, ia justru mengubah menjadi sistem otoriter yang menindas. 

Kepemimpinan itu, kata Baskara, justru membuatnya semakin beringas dan tak hanya menyasar orang Yahudi saja, “tetapi juga orang-orang sakit, bangsa Slavia dan lain-lain,” ungkapnya. 

Senada dengan Baskara, guru sejarah di sekolah Cilacap bernama Tri Suryo menambahkan, materi ajar di SMA memang tak banyak membahas sejarah Holocoust, sehingga ia menilai penting untuk memasukannya ke dalam materi untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM di masa mendatang. 

“Materi mengenai kekerasan ada di kurikulum sekolah, yakni pendidikan karakter. Namun, [materi yang diajarkan] harus materi yang mudah dipahami,” kata dia. 

Dalam kesempatan tersebut, Baskara menjelaskan bahwa tragedi Holocoust bukan satu-satunya kasus kejahatan HAM massal yang terjadi pada abad 20. “Ada genoside yang dilakukan Turki terhadap Armenia, kekerasan Jepang terhadap bangsa Asia, konflik India-Pakistan, hingga Irlandia Utara dan Irlandia Selatan,” kata dia. 

Selain di negara luar, kejahatan kemanusiaan juga pernah terjadi di berbagai daerah di Indonesia setelah tahun 1945, tepatnya di Aceh, Ambon, Poso dan Kalimantan. Namun peristiwa kekerasan yang terbesar adalah tragedi 1965. Masa awal peralihan antara Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto. 

Hanya saja, kata Baskara, sejarah tersebut tidak diajarkan secara ideal di sekolah, “hanya secara normatif saja,” ungkapnya. 

Tragedi 65 Menyasar Pendukung Soekarno

Sejarawan sekaligus dosen Universitas Sanata Dharma, Yerry Wirawan mengatakan, orang-orang yang dimusnahkan dalam tragedi 1965 adalah pendukung Presiden Soekarno dan Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta pendukungnya. “Pembunuhan tersebut juga dilakukan secara sistematis oleh negara, militer dan berjalan secara bersamaan,” kata Yerry. 

Yerry mengatakan, pembunuhan secara massal dan sistematis tersebut menyasar 500 ribu sampai 3 juta jiwa. Meskipun kasus 1965 secara spesifik menyasar kelompok kiri, tetapi tragedi tersebut juga berdampak pada eksistensi etnis Tionghoa, salah satu bentuknya adalah pengubahan nama mereka dan pelarangan kegiatan budaya. “Ini agak mirip Nazi,” kata dia. 

Selain itu, ada 10 ribu orang korban yang dibuang ke Pulau Buru dan pencabutan warga negara bagi mereka yang di luar negeri. Padahal, kata Yerry, undang-undang Indonesia sudah jelas menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan merasa aman. 

Yerry mengatakan, saat ini orang-orang yang terlibat dalam kasus kejahatan HAM tersebut justru mendapat jabatan di pemerintahan. Sehingga, Yerry berpendapat bahwa hal tersebut sekaligus mengisyaratkan bahwa “kekerasan boleh terjadi” karena mereka tidak diproses secara hukum atas kesalahan mereka. 

Sekilas Pengakuan Penyitas Korban 1965

Stevtlana (62), generasi kedua korban 1965 mengatakan, dirinya masih berusia 9 tahun saat ia dan keluarganya digerebek dan dijemput tentara. “Ibu kemudian dibawa ke kodim dan ditahan di sana,” kata dia. 

Sampai saat ini, kata dia, pengalamannya selama tiga bulan di penjara masih membekas sampai saat ini, karena mengalami trauma. “[Setiap hari] Saya mendengar kekerasan, jeritan dan orang keluar dari ruang interogasi. Itu pengalaman yang membuat saya tidak suka kekerasan,” ungkapnya. 

Bahkan, Stevtlana mengaku masih mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan saat ia pindah ke Yogyakarta. “Kami masih merasa takut menggunakan nama asli dan sulit mendapatkan pekerjaan,” kata dia. 

Di sisi lain, Sugianto (72) justru dituduh terlibat PKI saat ia masih menjadi TNI AURI. Padahal, ia merasa tidak pernah bergabung dengan partai tersebut. Akibatnya, ia pun ditahan selama 10 tahun, tepatnya dari 1968 hingga 1978. “Ketika saya ditahan, gaji dan seluruh hasil diberhentikan. Setelah bebas bingung, mau usaha enggak punya modal,” kata dia. 

Sementara itu, Rangga (42) seniman yang bergiat di Mess 56 ini mengatakan bahwa dirinya adalah generasi ketiga dari korban tragedi 1965. “Kakek saya hilang di tahun 1965,” kata dia. 

Saat ini, kata Rangga, dirinya justru menjadikan tema tragedi 1965 sebagai salah satu inspirasi dari karya-karyanya untuk memberikan pemahaman kepada orang-orang bahwa kasus tersebut layak diselesaikan sehingga generasi ke depan tidak lagi mengalami trauma sejarah dan terbebas dari beban masa lalu. 

Reporter: Alexander Haryanto
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto

Sumber: Tirto.Id

Kamis, 26 Juli 2018

Setengah Abad Historiografi G30S dan Dua Solusi Kasus Genosida 1965

Bonnie Triyana | 26 Juli 2018

Sejarawan Asvi Warman Adam dikukuhan jadi profesor riset. Menawarkan solusi macetnya penyelesaian kasus genosida 1965.


Asvi Warman Adam. Ilustrasi: Gun Gun Gunadi/Historia.

SETELAH 50 tahun berlalu, ada tiga periode perdebatan dalam historiografi peristiwa G30S 1965. Hal tersebut disampaikan Asvi Warman Adam dalam pidato pengukuhannya sebagai profesor riset di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kamis pagi 26 Juli 2018.
Tiga periode itu menurut Asvi meliputi periode perdebatan di seputar siapa dalang peristiwa G30S 1965 yang terjadi pada kurun 1965-1968, periode kedua terjadi penulisan sejarah resmi oleh pemerintah Soeharto yang dimulai sejak 1968 sampai 1998. Pada periode ini pula upaya menghilangkan peran Sukarno dalam sejarah terjadi. Periode ketiga terjadi semenjak berhentinya Soeharto sebagai presiden pada 21 Mei 1998. Asvi menyebut periode ketiga ini sebagai periode pelurusan sejarah.
“Buku yang pertama dipublikasi tentang Gerakan 30 September 1965 berjudul 40 Hari Kegagalan ‘G30S’, 1 Oktober-10 November 1965 diterbitkan oleh Lembaga Sejarah, Staf Pertahanan Keamanan atas prakarsa Jenderal Nasution yang menugasi beberapa pengajar UI. Cetakan pertama 27 Desember 1965,” kata Asvi dalam pidato pengukuhannya.
Menurut sejarawan kelahiran Bukittinggi 1954 itu, kendati buku yang digagas Jenderal Nasution tersebut tidak mencantumkan kata PKI di akhir “G30S” namun sudah menyinggung keterlibatan PKI dalam percobaan kudeta tersebut. Pada periode pertama itu juga bermunculan berbagai karya lain yang menyajikan berbagai dugaan siapa dalang utama serta penyebab terjadinya peristiwa G30S 1965.
“Naskah yang kemudian dikenal sebagai Cornell Paper keberadaannya terkuak kepada publik Amerika Serikat karena sebuah tulisan di surat kabar The Washington Post, 5 Maret 1966. Laporan penelitian tersebut ditulis Ben Anderson, Ruth McVey dan FP Bunnell yang baru secara resmi diterbitkan tahun 1971. Dokumen ini menyebut percobaan kudeta tersebut sebagai persoalan internal Angkatan Darat,” ujar Asvi.
Laporan tersebut membuat Ben Anderson dilarang masuk ke Indonesia selama 30 tahun lebih dan membuatnya mengalihkan perhatian serta risetnya ke Thailand. Selain Ben, Asvi juga mencatat sejumlah karya yang menyuguhkan versi siapa yang berada di balik peristiwa pembunuhan jenderal 1 Oktober 1965, antara lain karya Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, The Coup Attempt of September 30 Movement in Indonesia. Buku ini ditulis atas bantuan Guy Jean Pauker dari Rand Corporation yang disebut-sebut bekerja juga untuk CIA.
Periode kedua berkisar di seputar usaha pemerintah Soeharto menyeragamkan versi sejarah G30S berdasarkan tafsir sepihak penguasa. Asvi menyebut nama Nugroho Notosusanto sebagai arsitek dari rekayasa penulisan sejarah tersebut.
“Setelah berhasil melakukan standarisasi sejarah ABRI, Nugroho Notosusanto melakukan hal yang sama dalam sejarah nasional,” ujar Asvi.
Selain menyeragamkan versi sejarah G30S, Nugroho Notosusanto pula yang berperan dalam upaya desukarnoisasi dalam peristiwa kelahiran Pancasila, 1 Juni 1945. Dia menyisihkan peran Sukarno dalam proses penggalian konsep Pancasila dengan mengedepankan peran Mohamad Yamin.
Periode ketiga perdebatan mengenai historiografi G30S 1965 terjadi ketika Soeharto tumbang dari kekuasaannya pada 1998. Menurut Asvi pada periode pelurusan sejarah ini Persatuan Purnawirawan Angkatan Udara Republik Indonesia (PP AURI) jadi yang pertama memulai usaha meluruskan sejarah 1965. Melalui buku Menyingkap Kabut Halim, PP AURI mengajukan versi bahwa mereka tidak pernah terlibat dalam peristiwa G30S 1965.
Setelah Mei 1998, berbagai ragam versi peristiwa G30S bermunculan, baik dari kesaksian para penyintas sampai dengan karya ilmiah hasil kajian para sarjana sejarah dari berbagai universitas, baik dalam maupun luar negeri. Namun demikian seluruh kesaksian dan kajian ilmiah tersebut seakan belum cukup untuk membuat pemerintah menyusun kebijakan penyelesaian kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada kurun 1965-1966.
Padahal menurut Asvi, peristiwa pembunuhan jenderal 1 Oktober 1965 hanya dalih bagi Soeharto untuk menghabisi Partai Komunis Indonesia (PKI) sekaligus merebut kekuasaan dari tangan Sukarno. Sebagian besar korban peristiwa tersebut dipersekusi massal dan tidak pernah bisa dibuktikan apa kesalahannya di muka pengadilan.
Dalam pidato pengukuhannya, Asvi mengajukan rekomendasi kepada pemerintah agar menyelesaikan persoalan tersebut secara bertahap. Dimulai dari penyelesaian persoalan pencabutan kewarganegaraan terhadap warga negara Indonesia (eksil) yang pada saat kejadian berada di luar negeri dalam rangka tugas belajar dan tugas negara. Kasus kedua yang perlu diselesaikan adalah pembuangan tahanan politik ke Pulau Buru
“Kedua kasus tersebut perlu dituntaskan terlebih dahulu sebab dua kasus tersebut murni merupakan kebijakan negara,” kata Asvi.
Selama berkarier sebagai peneliti LIPI, sejarawan lulusan Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS) Paris, Prancis itu telah menghasilkan 14 buku dan puluhan makalah serta artikel. Sejak 2012 Asvi juga tercatat sebagai dewan redaksi ahli majalah Historia dan dikenal giat memperjuangkan keadilan bagi para korban dan penyintas peristiwa 1965
Sumber: Historia 

Seniman Perupa Alumni ASRI Sore

Oleh: Misbach Tamrin*

Foto para tokoh seniman perupa muda yang sedang belajar di ASRI Sore di sekitar tahun '50-an. Tampak berdiri dari kiri : Arby Sama, Soenarto PR dan Gani Lubis. Duduk dikursi : Arwan Isa dan Amrus Natalsya. Duduk jongkok Widodo.
Dalam sejarah perkembangan senirupa Indonesia. Terdapat keberadaan (eksistensi) peran generasi atau angkatan seniman perupanya yang melatar belakangi.
Di mana seperti telah pada kita ketahui. Sejak era kebangkitan nasional hingga proklamasi kemerdekaan. Pada saat setelah dirintis oleh kepeloporan Raden Saleh. Peran Persagi (1938) yang digerakkan tokoh-tokohnya seperti Sudjojono, Agus Djaja, Abdul Salam, Setiyoso, Suromo, dan pelukis wanita Emiria Sunassa. Mereka adalah para seniman perupa generasi pembangkit semangat perjuangan demi kemerdekaan bangsa kita yang pertama.
Kemudian setelah kemerdekaan, konfigurasi keberadaan seniman perupa kita semakin merebak. Memperkaya terhadap perkembangan angkatan pelanjut perjuangan yang telah ditempuh Persagi tersebut.
Barisan nama-nama mereka yang menonjol cukup panjang. Dapat kita sebutkan seperti Affandi, Hendra Gunawan, Sudarso, Trubus, Basuki Abdullah, Henk Ngantung, Basuki Resobowo, Otto Djaja, Barli, Haryadi S, Surono, Soedibyo, Trisno Sumardjo, Wakidjan, Abas Alibasyah, Kartono Yudokusomo, Kusnadi, Sholihin, Eddy Soenarso, Fajar Siddiq, Widayat, Nashar, Oesman Effendi, G. Sidharta, Popo Iskandar, Mochtar Apin dan mungkin masih banyak lagi yang tak sempat disebutkan di sini.

Foto gedung ASRI pertama yang didirikan tahun 1950 di Bintaran Lor Yogya.
Generasi atau angkatan berikutnya dapat kita tandai. Terutama terhadap kelahiran seniman perupa yang terus merebak sejak ASRI berdiri di tahun 1950. Mereka bisa disebut generasi atau angkatan '50-an. Yang nantinya akan terus berkembang untuk dilanjutkan lagi oleh angkatan '60-an, '70-an, '80-an dan seterusnya.
Nah, di sini kita hanya terutama fokus menandai secara khusus tentang angkatan '50-an. Karena angkatan ini adalah merupakan salah satu periode yang kini eksponennya tinggal sedikit tersisa dalam sejarah. Ibarat matahari senja yang sebentar lagi akan terbenam. Ini berkaitan dengan wafatnya Soenarto PR beberapa hari yang lalu. Salah seorang tokoh seniman perupa dari generasi angkatan '50-an. Khususnya salah seorang jebolan atau alumni ASRI Sore.
Selama berdirinya ASRI di tahun 1950. Para perupa muda angkatan "ASRI Sore", adalah* yang paling menonjol. Baik dinilai dari segi keunikan tampilan mereka. Maupun dari segi prestasi karya-karya mereka yang dihasilkan Tokoh-tokohnya ketika itu adalah antara lain Arby Sama, Gani Lubis, Soenarto PR, Arwan Isa, Widodo dan Amrus Natalsya.
Ada seorang lagi seorang tokohnya yang perlu dicatat. Yaitu Lian Sahar, putera seorang inspektur Polisi di Aceh. Anak seorang kaya yang sering datang ke ASRI Sore naik sepeda motor BMW. Tapi suka bergabung kumpul-kumpul dengan kawan-kawannya dalam gaul berbohemian. Karena jiwa kesenimanannya yang guyub. Meski ia di ASRI Sore hampir bisa dikatakan mahasiswa drop-out. Yang hanya terdaftar namanya saja. Tapi jarang masuk, karena ia banyak "membajing-loncatkan" diri dibeberapa institusi pendidikan seperti Gama, UI dan ITB senirupa.
Berbeda dengan mahasiswa reguler, yang biasanya turun kuliah di waktu pagi. Dengan diatur menurut kebijakan direkturnya saat itu Katamsi. Maka mereka dari ASRI Sore diberi kesempatan untuk turut aktif belajar di waktu sore hari.
Semua mereka diterima masuk ASRI sebagai "siswa luar biasa". Atas dasar bakat senirupanya yang bisa diandalkan sebagai ukuran. Meski tanpa ijazah SMA. Nah, di situlah segi yang menarik dan uniknya mereka. Boleh dianggap diluar kebiasaan yang umum.

Foto ketika pameran IMASRI tahun '60-an di Balai Budaya Jakarta. Keterangan nama-nama pelukis terdapat dalam tulisan di garis bawah foto.
Jelas justru dengan peran status mereka semacam itu. Dari segi prestasi, kreativitas dan produktivitas karya-karya senirupa mereka jauh lebih menonjol. Ketimbang dengan hasil prestasi para mahasiswa reguler.
Dengan demikian para seniman perupa dari ASRI Sore ini dapat kita tandai. Merupakan produk akademi senirupa yang paling spesifik dan fenomenal untuk mewakili dilahirkannya calon seniman perupa sejati. Dalam arti bisa dianggap sebagai terobosan dari adanya kecendrungan. Bahwa tak selalu institusi akademi senirupa. Hanya sekedar menghasilkan atau mencetak tamatan bidang kejuruan untuk mendapatkan jaminan ijazah (sipil-effek) semata.
Suatu ilustrasi yang cukup menarik dari kehidupan "human-interest" seniman perupa muda di lingkungan ASRI sore ini. Adalah ciri khas dari keunikan mereka yang tersendiri. Mereka boleh dikatakan merupakan kelompok "bohemian" dalam kehidupan prosais sehari-hari. Mereka bebas bekerja semaunya siang dan malam berkarya dengan konsentrasi dan totalitas yang tinggi.
Ini bisa diambil contoh, misalkan pada tampilan perupa Amrus Natalsya. Di halaman belakang rumah direktur ASRI Katamsi. Amrus yang energik bekerja secara spartan, siang dan malam memahat patung kayunya dari beberapa buah gelondongan batang pohon asam. Kerja, makan dan tidur ditempat itu juga. Relatif selalu dalam keadaan darurat dan sulit terdisiplin waktu. Layaknya kebiasaan lakon liberal kehidupan bohemian.
,
Tentu saja atas dasar kondisi sosek mereka yang terbatas dan sangat minim. Biasanya selalu banyak kesulitan. Sudah menjadi tradisi klasik mereka makan dengan utang mengebon diwarung sekitar lingkungan kampus ASRI di Bintaran Lor. Tapi meski setelah cukup lama menunggu karya mereka selesai dikerjakan untuk dijual jadi uang. Baru kemudian mereka bisa bayar bon makan tersebut. Untung saja mbok warung mau dan bisa bertahan memaklumi dengan dibon lama mereka, atas dasar kepercayaan.
Juga gaya gaul mereka yang urakan. Dengan nuansa tumpul sekaligus tajam ke atas, tapi cair dan lembut kebawah. Dalam artian kebanyakan gaul mereka tak peduli alias cuek atau malah sebagai oposan yang kritis
kepada masyarakat atasan (high-class). Termasuk terhadap para penjabat birokrat kekuasaan. Namun mereka suka bergaul dan berbaur dengan sangat cair ketengah masyarakat bawah alias kerakyatan.
Gejala atau fenomena perangai mereka yang bernuansa agak temperamental dan eksentrik semacam demikian. Bukan saja karena terbentuk oleh karakter internal dari lingkungan sosial mereka. Tetapi juga karena pengaruh eksternal sistem perkembangan masyarakat. Yang dipicu dan dipacu oleh situasi politik yang memanas pada saat itu.
Terutama karena mereka berada di bawah momentum "Perang Dingin" dari situasi global dunia. Suatu gesekan dikotomi pertentangan ideologi dan politik di antara blok sistem kapitalisme yang dimotori Amerika Serikat dan Inggeris. Versus sosialisme yang dipelopori Uni Sovyet dan RRT pada saat itu.
Di dalam negeri tentu saja dampaknya tercermin atas adanya gesekan (friksi) tajam yang memanas. Di antara kaum reaksioner yang bersekutu dengan kekuatan militer sayap kanan. Kontra kaum revolusioner nasionalis kiri dibantu kaum komunis. Yang pada saat itu dipimpin oleh presiden Soekarno dengan segenap ajarannya terutama Manipol Usdek. Sebagai garis haluan negara yang disemangati gerakan revolusioner, dalam menjalankan pemerintahannya.
Sehingga kemudian, para seniman perupa muda jebolan ASRI Sore tersebut. Setelah keluar dari lingkungan kampus akademi. Perorangan di antara mereka, masing-masing menempuh dan memilih jalan hidupnya sendiri.
Bahkan, akibat dampak dari pengaruh situasi politik dan ideologi tersebut di atas. Terjadi suatu persimpangan jalan yang saling berbeda dan bertolak belakang. Membelah persahabatan dan perkawanan mereka selaku anak bangsa yang tadinya bersatu di bawah atap kebersamaan.
Soenarto PR yang selama belajar di ASRI Sore sebagai sahabat sehati dan teman seiring yang akrab dengan Amrus Natalsya. Bersama dengan teman-teman Narto lainnya yang sepaham antara lain seperti Mulyadi W, Wardoyo, Syahwil, Danarto, Handogo Sukarno dll., mendirikan Sanggar Bambu pada tahun 1959.
Maka Amrus Natalsya sendiri kemudian pada tahun 1961 mendirikan Sanggar Bumi Tarung (SBT) bersama dengan kawan-kawannya seperti Ng Sembiring, Kuslan Budiman, Isa Hasanda, Djoko Pekik, Suhadjijo Pudjanadi, Sutopo, Gumelar, Muryono, Gultom dll., termasuk saya sendiri.
Pertarungan politik dan ideologi yang semakin tajam dalam skala global dan nasional di antara dua kubu yang saling pertentangan. Mau tak mau telah menyeret dan melibatkan diri mereka untuk bersikap dan berpihak kepada salah satu pilihan dari dua alternatif.
Jika Sanggar Bambu bernuansa nasionalis moderat. Banyak melangkah di jalur abu-abu (grey-area) yang relatif aman. Maka sanggar Bumi Tarung (SBT) karena berada sebagai organ lembaga senirupa Lekra. Otomatis dianggap secara a priori sebagai kelompok ekstremis kiri.
Setelah meletus peristiwa G30S 1965. SBT telah menerima konsekwensinya yang parah sebagai korban tragedi kemanusiaan. Di mana hampir seluruh anggotanya ditahan sebagai tapol. Sekitar 6 orang dibuang di kamp konsentrasi gulak tropis Pulau Buru. Dan ada 3 orang yang tewas terbunuh dalam libatan pembantaian massal di bawah tanggung jawab rezim otoriter Orde Baru.
Dengan demikian, kini dapat kita bayangkan lewat kilas balik imajiner. Makna perkawanan di antara seniman perupa alumni ASRI Sore dalam perjalanan sejarah. Seperti nasib yang dialami Soenarto PR dan Amrus Natalsya selaku mantan pimpinan sanggar senirupa yang anggotanya kebanyakan berasal dari alumni ASRI.

Foto bertiga : Lian Sahar, Amrus Natalsya dan Misbach Tamrin, saat berada didesa Sawahan, Yogya.....
Mereka berdua ibarat atau bagaikan 2 orang petarung nakhoda. Selaku pimpinan yang telah membawahi sedetasemen kelasinya masing-masing. Yang telah nembawa berlayar 2 buah bahtera yang berbeda. Mengarungi samudra kehidupan senirupa kita yang penuh gelombang ombak yang berdebur dengan dahsyat.
Dan tentu anda dapat menyimak tamsil dari makna perbedaan nasib dari kedua nakhoda. Berserta kelasi-kelasinya dalam bahtera mereka masing-masing.
Kini, baru sekian hari yang lalu. Soenarto PR, tokoh seniman perupa, pendiri Sanggar Bambu telah berpulang. Jadi hanya tinggal Amrus Natalsya seorang diri saja lagi. Selaku pendiri sanggar Bumi Tarung (SBT) berasal habitat dari alumni ASRI Sore yang hampir habis. Diantara lainnya yang sudah lama pada pergi.
Sebagai satu-satunya seniman perupa alumni ASRI Sore terakhir yang masih hidup. Beliau telah berada di usia senja. Sudah sering duduk di kursi roda sambil melukis. Dan kadang masih bisa sedikit memahat patung kayunya. Seolah-olah keberadaan kemampuan daya kerjanya berkarya di usia senjanya kini. Masih bisa ditunjang oleh kebangkitan kenangannya kepada waktu belajarnya di sore hari yang lampau. Ketika berada ditengah kawan-kawannya se ASRI Sore di Bintaran Lor Yogya, 64 tahun yang silam.....
***