HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Rabu, 10 Oktober 2007

Mengenang Malam Jahanam [13]: Pembantaian Massal

October 10, 2007
Tulisan ini adalah karya Harsutejo, dimuat atas izin yang diberikan si penulis kepada saya, dan karenanya saya berterima kasih. Pemuatan tulisan ini untuk menyambut peringatan peristiwa G30S yang telah mengubah secara fundamental jalan sejarah negeri ini. Kalau boleh, saya ingin mendedikasikan pemuatan tulisan ini kepada semua korban di pihak manapun dan keluarga korban peristiwa keji itu dan rangkaian perisiwa keji dengan efek horor yang tak terperikan yang terjadi berikutnya.
Oleh: Harsutejo
Prof Teuku Jacob mendaftar ulah kekejaman manusia dengan kata-kata lugas yang cukup mencengangkan. Penyiksaan dan penganiayaan tahanan dan tawanan menunjukkan kebengisan yang tak terbayangkan, mulai dari mencambuk, mencabut kuku, menjepit ibu jari, melilit tubuh, membakar bagian badan, menyiram cairan panas, menjepit daging dengan jepitan membara, memotong urat, membuang, memperbudak, memenggal kepala, menggantung, melempar dari tempat tinggi, mencekik, membenamkan, mengubur hidup-hidup, mencincang, sampai membunuh atau memperkosa anggota keluarganya di depan mata, menjemur, tidak memberi makan, menyeret dengan kuda, membakar dalam unggun api, dan sebagainya… sebagian besar dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya sendiri.
Begitu sulit dipercaya bahwa ulah kekejaman semacam itu dilakukan juga oleh rezim militer Orde Baru terhadap musuh politik mereka atas nama suatu gagasan yang begitu tinggi dan mulia, yakni Pancasila! Malahan rezim ini masih menggenapi khasanah penyiksaan dan pembunuhan dengan penemuan baru mereka: memasukkan tahanan politik hidup-hidup ke dalam luweng atau sumur alam yang amat dalam, memasukkan ke dalam kapal bobrok dan menenggelamkannya, meneggelamkan hidup-hidup tahanan dengan beban besi atau batu, menyiram gua dan ruba tempat persembunyian dengan bensin dan membakarnya serta melemparkan alat peledak, menyetrom kemaluan laki perempuan ketika mereka dipaksa bersetubuh, menancapkan bambu runcing ke dalam vagina, dan tindakan keji lain yang sulit diterima akal sehat dan akal normal dan sulit dipercaya oleh masyarakat beradab. Dan hebatnya rezim ini berusaha keras untuk menghapusnya dari memori orang banyak dengan segala macam cara termasuk memalsu sejarah dan menggantinya dengan memori rekayasa, Pancasila sakti.
Perburuan dan pembantaian orang-orang PKI dan yang disangka PKI serta seluruh gerakan kiri sering dimulai dengan apa yang disebut sebagai “penemuan” dokumen-dokumen di kantor atau tokoh PKI atau organisasi yang lain tentang daftar hitam tokoh-tokoh lawan PKI yang hendak dibunuh. Di samping itu juga adanya dokumen yang berisi rencana-rencana gelap dan jahat yang lain. Setelah 1 Oktober 1965 dan sepanjang tahun 1966, koran dan penerbitan di Indonesia penuh dengan berita segala macam kekejian dan kekotoran PKI beserta ormasnya sampai dengan yang paling ganjil dan tidak masuk akal, telah menimbulkan histeria nasional dan histeria bangsa sebagai landasan subur untuk melakukan pembasmian terhadap mereka. Tidak selembar pun dokumen semacam itu pernah diajukan di suatu pengadilan.
Dalam telegram No. 868 kepada Kemlu AS pada tanggal 5 Oktober 1965, sore hari setelah menghadiri pemakaman para jenderal di Kalibata, Dubes AS Marshall Green memaparkan tentang petunjuk dasar dalam membantu rezim militer di Indonesia agar benar-benar dijaga kerahasiaannya. Pentingnya disebarkan dongeng kesalahan dan pengkhianatan PKI serta kebiadabannya, sesuatu yang bersifat amat mendesak.
Kedubes Inggris di Jakarta menghubungi kantor besar dinas rahasia mereka di Singapura tentang langkah-langkah yang perlu segera diambil menghadapi perkembangan situasi di Indonesia. Perang urat syaraf alias perang penyesatan terhadap lawan untuk merongrong dan melemahkan PKI. Tema propaganda berupa kisah kebiadaban PKI dalam pembunuhan para jenderal dan puteri Jenderal Nasution, bahwa PKI agen asing. Hal-hal itu harus dilaksanakan dengan halus, seolah sama sekali tidak melibatkan Inggris, bahan semacam itu sebaiknya dikirim dari Pakistan atau Filipina sebagai tercantum dalam telegram rahasia kedubes Inggris No.1835 6 Oktober 1965.
Sebagai spesialis propaganda Norman Reddaway dipilih oleh Dubes Inggris Gilchrist sebagai orang terbaik untuk pekerjaan kotor itu. Selanjutnya sang spesialis antara lain memanfaatkan jalur koresponden BBC Asia Tenggara, Roland Challis. Ia meminta sang koresponden melakukan apa saja untuk merusak dan menghancurkan Sukarno, di samping PKI serta mendukung Jenderal Suharto dengan menyiapkan dokumen-dokumen untuk dimanfaatkan olehnya. Karena sang koresponden tak bisa masuk ke Indonesia sampai pertengahan 1966, maka ia menggunakan sumber-sumber MI6 yang agen-agennya mondar mandir keluar masuk Indonesia. Dalam berita-berita yang ditulisnya tak satu pun menyinggung adanya pembantaian ribuan orang di Indonesia, yang ada perang saudara dan gerombolan komunis bersenjata. Berita itulah yang muncul dalam koran-koran Inggris The Times, Daily Telegraph, Observer, dan Daily Mail.
Robert J Martens, seorang agen CIA dengan jabatan Perwira Politik pada Kedubes Amerika di Jakarta telah berhasil menyusun daftar terpilih terdiri atas 5.000 orang kader PKI dari tingkat pusat sampai pedesaan beserta organisasi massanya dengan rincian jabatannya. Daftar itu dibuat selama dua tahun (1963-1965) dengan bantuan para pegawai CIA sebagaimana yang dibenarkan oleh Joseph Lazarsky, Deputi Kepala CIA di Jakarta. Selanjutnya diadakan kesepakatan dengan perwira intelijen Kostrad Ali Murtopo, secara berkala yang bersangkutan melaporkan siapa-siapa dari daftar itu telah ditangkap dan siapa-siapa telah dibunuh. Kostrad menjadi pusat pemantauan terhadap laporan pihak militer dari seluruh penjuru tentang penangkapan dan pembunuhan terhadap kaum komunis dan golongan kiri lain. Demikian tulis Cathy Kadane dalam San Fransisco Exeminer, 20 Mei 1990.
Penghancuran terhadap PKI dan seluruh gerakan kiri pertama-tama adalah membasmi secara fisik para anggota dan pendukungnya. Basmi sampai akar-akarnya, itulah yang terus-menerus diserukan baik oleh Jenderal Suharto maupun Jenderal Nasution serta para pengikutnya. Kekuasaan, dan segalanya ada di bawah laras senapan.
Pertama-tama perlu diingatkan bahwa segala macam aksi terhadap gerakan kiri dan pendukung BK yang lain yang antara lain dimotori oleh KAP (Komite Aksi Pengganyangan) Gestapu, mendapatkan dana dari kekuatan asing yang selalu disebut oleh BK dengan Nekolim. Resminya badan ini didirikan oleh tokoh NU Subchan ZE bersama Harry Tjan, tapi di baliknya beberapa perwira Kostrad dengan Brigjen Sucipto sebagai pemrakarsa. Pemerintah Amerika dengan CIA nya mendukung dana sebesar Rp50 juta [ketika itu setara dengan US1,2 juta] yang diberikan lewat tangan Adam Malik sebagaimana yang dimintanya. Meskipun jumlah bantuan itu menurut CIA relatif kecil, tetapi cukup berarti untuk kegiatan badan ini. Di pihak lain bantuan ini akan dapat meningkatkan pamor Adam Malik (CIA 2001:379-380), ini berarti pamor sang kancil telah dibeli dengan dollar.
Pada 17 Oktober 1965, pasukan elite RPKAD di bawah Kolonel Sarwo Edhi, lulusan sekolah staf AD Australia, berada di basis PKI segi tiga Boyolali-Klaten-Sala dengan tugas dengan cara apa pun juga untuk menghancurkan basis itu. Ketika disadari bahwa jumlah pasukan tidak mencukupi untuk tugas, maka “Kami memutuskan untuk menggalang barisan anti komunis untuk membantu tugas tersebut. Di Sala kami mengumpulkan para pemuda kelompok nasionalis dan Islam. Kami memberikan latihan selama dua tiga hari, kemudian mengirimkan mereka untuk membantai kaum komunis”, demikian kata Sarwo Edhi. Hal ini berlanjut pada akhir Oktober dan permulaan November 1965 di Jawa Timur dan pada Desember 1965 dan permulaan 1966 di Bali.
Dalam penyelidikannya tentang pembantaian di Jawa Timur, terutama di daerah Kediri, sejarawan Hermawan Sulistyo menemukan bahwa para perwira tertinggi [AD] setempat (Korem, Kodim), perwira intelijen, dalam derajat tertentu memulai pembantaian. Kemudian juga pimpinan partai politik dan tokoh setempat termasuk beberapa ulama berpengaruh. Lapis selanjutnya adalah organisasi seperti Ansor dengan Banser-nya. Dalam beberapa kasus, si pembunuh menjilati darah korban, meskipun hal itu dilarang oleh para kiai, tetapi jalan terus. Dan dengan rasa kesetanan mereka membantai korban-korban berikutnya. Algojo kadang memotong alat kelamin korban, kuping, jari, untuk menyebarkan teror.
Di Sumatra Utara, pembunuhan-pembunuhan telah dimulai sejak 1 Oktober 1965. Brigjen Kemal Idris yang sedang bertugas di daerah itu mengambil inisiatif membersihkan wilayahnya dari orang-orang komunis dalam radius 5 km dari pengkalan mereka di Tebing Tinggi. Ketika perintah datang dari Jakarta, ia telah membunuh 20% buruh perkebunan karet di Medan area.
Dalam banyak kasus para kader dan aktivis komunis dibunuh beserta seluruh keluarganya, agar di belakang hari tidak akan timbul pembalasan dendam atau retaliasi (Cribb 2000:13). Pendeknya pembunuhan menumpas sampai cindil abange, sampai bayi yang baru lahir. Ini rupanya versi pelaksanaan perintah Jenderal Suharto dan seruan Jenderal Nasution ‘menumpas sampai ke akar-akarnya’.
Di banyak tempat terutama di Jawa Timur, setelah dibantai beramai-ramai mayat mereka ditinggalkan begitu saja berserak di berbagai tempat sampai berhari-hari tak seorang pun berani mengurusnya. Atau mayat-mayat itu beramai-ramai diseret dilempar ke sungai. Mendapatkan laporan keadaan itu Presiden Sukarno dalam pidatonya pada 18 Desember 1965 mengutuk pembunuhan-pembunuhan dan mengingatkan akan perintah agama tentang soal merawat jenasah.
Di Bali ribuan orang komunis atau yang disebut komunis diburu dan dibantai. Ribuan anak-anak dan perempuan diusir dari desa mereka, lalu desa itu diluluhlantakkan dengan api. Dari malam yang satu ke malam yang lain, api menyala di banyak desa di Bali, menghancurkan pemukiman beserta penghuninya dalam kuburan massal. Adakah desa-desa yang hancur itu kemudian diresaikel. Seseorang bercerita bahwa di bawah hotel Oberoi yang mewah itu sampai ke pantai terkubur 2000 mayat mereka yang dibantai. Mungkin berbeda dengan di Jawa, di Bali tempat-tempat kuburan massal semacam itu dijadikan sasaran pemerintah Orba untuk mendirikan proyek-proyek sebagai cara untuk menghilangkan jejak secara permanen. Konon sejumlah tengkorak manusia sering ditemukan dalam proyek semacam itu, sesuatu yang biasa bagi orang Bali, dan mereka tahu tengkorak macam apa itu. Hal ini tidak pernah diberitakan media massa [selama rezim Orba, hs]
Penjagalan TerhadapTapol
Ratusan ribu orang ditahan dalam ratusan rumah tahanan dan penjara serta tahanan darurat di seluruh Jawa, Sumatra, dan pulau-pulau lain. Kata-kata Jenderal Suharto, “Siapa yang akan memberi makan mereka?” dilaksanakan dengan sebaik-baiknya di banyak tempat. Umumnya pada malam hari puluhan atau ratusan tahanan, tergantung pada kapasitas tahanan atau pun pada besarnya logistik yang dapat mereka siapkan berupa truk dan tenaga pembantai. Mereka dinaikkan truk-truk untuk dipindah, tetapi tangan mereka dalam keadaan terikat. Sesampai di suatu tempat yang telah ditentukan, maka lubang-lubang besar sudah siap untuk menelan mereka selama-lamanya, setelah para pembantai beraksi serentak baik dengan senjata api mau pun senjata tajam. Sebuah kuburan massal. Mereka berasal dari penjara-penjara Kalisosok Surabaya, Lowokwaru Malang, Banyuwangi, Madiun, Kediri, Tulungagung, Blitar, Sala, Sragen, Yogya, Wonosobo, Semarang, Ambarawa, Nusakambangan dan dari banyak tempat tahanan lain termasuk Jakarta dan Bandung.
Pulau Kemarau terletak di tengah Sunga Musi. Di situ terdapat bangunan bekas tempat usaha penimbunan besi tua yang diubah sebagai tempat tahanan. Pada permulaan Maret 1966 para tahanan mendapat jatah makan sekali sehari sebanyak tiga sendok. Kemudian makanan ini diganti jagung sebanyak 25 butir tiap kepala. Pada 1 Juni 1966 semua sel dikunci, selama tiga hari tiga malam para tahanan tidak diberi makan maupun minum. Maka satu per satu mereka menjadi tengkorak dan mayat. Mayat ditumpuk jadi satu disusun selang seling kepala dan kaki, lalu dibungkus karung dan diikat. Dengan diganduli besi, karung-karung tersebut dibuang ke Sungai Musi. Kejadian ini berlangsung hampir sebulan lamanya. Dari seluruh penjuru Jawa Tengah dan Timur, ribuan tapol diangkut ke penjara-penjara Nusakambangan, mencapai 30.000 orang. Di samping yang mati kelaparan dan penyakit, maka tiap malam berpuluh tapol dibawa ke Pasir Putih di bagian barat pulau untuk dibantai dan dikubur secara massal. Selama 1966-1969 jatah makanan begitu buruknya, tiap orang menunggu kematian.
Yang sangat umum terjadi selama 1965 sampai 1969 adalah sangat buruknya jatah makanan dan kesehatan di seluruh tahanan dan penjara, di banyak tempat hampir tanpa layanan medis apa pun. Satu-satunya pengecualian adalah rumah tahanan Nirbaya, tempat sejumlah menteri ditahan. Tak aneh apabila segala macam penyakit dari hongerudim, tifus, tbc dsb melanda para tapol. Ribuan orang dibunuh secara perlahan-lahan dengan cara ini. Selama tahun 1967/68 di penjara Kalisosok Surabaya, puluhan orang meninggal setiap harinya, sedang di Nusakambangan rata-rata 20 orang tiap harinya. Kembali ribuan orang ditangkap setelah operasi Trisula di Blitar Selatan. Pendeknya pembunuhan massal telah terjadi di banyak tahanan dan penjara. Inilah praktek dari perikemanusiaan yang adil dan beradab model Orde Baru.
Para tapol yang selama bertahun-tahun dibuat lapar serta menderita busung lapar serta berbagai penyakit lain itu secara ironis pada setiap tahunnya menjelang puasa diajari oleh ulama yang didatangkan dari dunia bebas, tentang pentingnya berpuasa, menahan lapar, menahan nafsu…” Demikian Pramoedya mencatat pengalamannya
Sasaran Pembunuhan
Sasaran pembunuhan yang telah direncanakan di samping tokoh-tokoh PKI dari puncak sampai ke akar rumput, juga termasuk kader dan aktivis semua lapisan organisasi massanya. Di samping itu terdapat target khusus yang lain berupa kaum intelektual dan tokoh yang duduk di pemerintahan seperti walikota, bupati, juga guru, seniman, kepala desa dsb. yang dianggap komunis atau simpatisan komunis. Nampaknya target tertentu ini benar-benar telah direncanakan dengan matang setelah analisis mendalam tentang kemungkinan hari depan komunisme di Indonesia. Mungkin sekali hal ini ada kaitannya dengan daftar maut CIA seperti tersebut di atas yang dimasak oleh dapur intelijen Jenderal Suharto.
Pemilihan target ini dilakukan baik dengan pembunuhan secara langsung maupun ditujukan bagi mereka yang telah mendekam di ratusan kamp tahanan dan penjara. Dengan demikian rezim militer Orba hendak memastikan bahwa tidak ada peluang lagi bagi kemungkinan kebangkitan mereka. Sebagaimana tak henti-hentinya dicanangkan oleh Jenderal Suharto dan Jenderal Nasution yang diikuti oleh media massa, ‘pembasmian kaum komunis dan komunisme sampai ke akar-akarnya’. Dan yang mereka maksud dan mereka laksanakan pertama-tama adalah pembasmian fisik. Selanjutnya diikuti oleh penghapusan dan rekayasa memori sosial dengan penghancuran segala macam dokumentasi, buku, perpustakaan, dan karya budaya dan intelektual yang lain sebagai bagian dari vandalisme. Karena itu betapa tidak masuk akalnya jika pembunuhan itu terjadi secara spontan tanpa perencanaan matang.
Standar Ganda dan Terorisme Negara
Biarlah pembantaian itu berjalan terus, toh yang dibunuh orang komunis! Begitulah standar ganda perikemanusiaan dan hak asasi manusia yang dianut rezim Barat yang mereka terapkan sebagai yang telah dianut jurnalisme majalah Time dalam artikel ‘Vengeance in Smile’ pada 15 Juli 1966 yang melukiskan pembantaian massal itu sebagai “Kabar paling bagus bagi Barat selama bertahun-tahun di Asia”, “The West’s best news for years in Asia.”
Celakanya standar ganda semacam ini pun masih terus hidup di Indonesia sebagai hasil gelombang fitnah tak berkesudahan termasuk lewat buku pelajaran sejarah dan upaya cuci otak yang terus-menerus dilakukan rezim Orba selama 32 tahun, dalam beberapa hal bahkan sampai saat ini, sering tanpa sadar dianut oleh jutaan rakyat Indonesia termasuk sejumlah kecil intelektualnya. Untuk meletakkan nilai-nilai perikemanusiaan yang adil dan beradab sesuai dengan Pancasila dan ajaran semua agama, diperlukan daya upaya yang terus menerus tiada kenal lelah dari semua yang memiliki kesadaran dan kemauan baik dengan memerangi standar ganda tersebut di atas. Untuk itu diperlukan waktu, barangkali setidaknya setara dengan waktu bercokolnya rezim militer Orba Suharto atau lebih. Menyebarkan nilai luhur sekaligus memerangi kejahatan memerlukan waktu dan daya upaya jauh lebih besar daripada kebalikannya.
Apabila terorisme didefinisikan sebagai ancaman, penistaan dan pembantaian terhadap penduduk sipil dalam jumlah amat besar dalam waktu pendek, terhadap mereka yang tidak tahu-menahu urusannya, tidak memiliki kemampuan melawan atau membela diri sendiri beserta keluarganya serta tanpa peluang menyelamatkan diri, maka ini merupakan terorisme paling hebat dan mengerikan di jaman modern, terorisme yang dilakukan oleh negara. (Dipetik dari Harsutejo, “Sejarah Gelap G30S” – revisi).
Upaya Mengelak Tanggungjawab
Sejumlah petinggi militer, sebagai yang pernah ditulis Jnderal Yasir Hadibroto yang membanggakan diri sebagai eksekutor DN Aidit, ketika itu (1965-1966) merupakan keadaan perang. Selanjutnya sejumlah pelaku dan penulis pendukung Orba seperti Sulastomo, Fadly Zon, Mayjen Samsudin, menggambarkan seolah-olah ketika itu dalam keadaan “membunuh atau dibunuh”. Itu semua bohong dan tidak ada buktinya, sekedar upaya mengelakkan tanggungjawab, agar pembantaian itu sah adanya. Apa ada situasi “membunuh atau dibunuh” di kamp tahanan dan penjara sebagai yang dipropagandakan untuk penyesatan oleh pendukung rezim Orba, agar pembunuhan massal itu dapat diterima sebagai kewajaran.
Meski keadaan politik tegang tetapi situasi relatif aman sebagai yang direkam buku yang populer disebut Cornell Paper yang disusun berdasarkan berita koran Orba sampai dengan Desember 1965, karenanya laporan Benedict Anderson dan Ruth McVey ini dinamainya A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia, 1971. Fakta-fakta yang terhimpun dalam buku ini didukung dan dilengkapi dengan fakta-fakta berupa sejarah lisan dari berpuluh-puluh narasumber mereka yang mengalami langsung pada 1965/1966 yang antara lain terekam dalam buku John Roosa cs (ed), Tahun yang Tak Pernah Berakhir, 2004 dan HD Haryo Sasongko, Korupsi Sejarah dan Kisah Derita Akar Rumput, 2005. Pembunuhan itu dilakukan dengan senjata bedil oleh pasukan militer, juga dengan menggunakan golongan anti-komunis yang termakan propaganda hitam dan rakyat yang dipaksa dan melakukannya baik dengan senjata api maupun senjata tajam, termasuk dengan bambu runcing.
Apa pun celoteh mereka, termasuk mencoretnya dari buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah, pembunuhan massal terhadap satu sampai tiga juta rakyat tak berdosa itu merupakan kejahatan berat terhadap kemanusiaan yang tidak akan dapat dilupakan dengan Jenderal Besar (Purn) Suharto sebagai pelaku tertingginya.
Sumber: TeguhTimur 

Minggu, 07 Oktober 2007

Lokasi Makam D.N Aidit (Ketua PKI) Akhirnya Terkuak

7 Oktober 2007


Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah. Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah (Jasmerah) - Presiden Soekarno . Setiap bulan September, kita selalu rutin mengibarkan bendera Sang Merah Putih setengah tiang untuk mengenang tragedi berdarah 30 September 1965 yang selalu digembar-gemborkan oleh rezim Orde Lama didalangi oleh PKI, dimana DN Aidit menjadi "godfather"-nya.

Menurut cerita sejarah yang dipelajari di sekolah dan diorama museum pengkhianatan G30S/PKI di Lubang Buaya, DN Aidit ditangkap di Solo. Namun setelah itu tidak ada yang tahu menahu kelanjutan nasibnya, bahkan dimana lokasi makamnya, semua gelap.

Tapi, konon ia dimakamkan di Boyolali, di sebuah tempat yang tidak disangka-sangka.

Hamparan berpasir itu ditumbuhi labu siam dan ubi jalar. Pohon mangga dan jambu biji menaunginya di kanan-kiri. Hanya itu. Tak ada satu pun penanda yang menunjukkan bekas sumur di pekarangan belakang gedung tua itu. Dulu, bangunan ini adalah bagian dari kompleks markas Batalion 444 TNI Angkatan Darat di Boyolali--sebuah kota kabupaten sekitar 25 kilometer di sebelah barat Solo, Jawa Tengah.

Meski tak berbekas, banyak orang meyakini, di sepetak halaman itu pernah ada sebuah sumur tua tempat jenazah Dipa Nusantara Aidit, Ketua Umum Komite Sentral PKI, dikuburkan pada akhir November 1965. Salah satunya Ketua Nahdlatul Ulama Boyolali, Tamam Saemuri, 71 tahun.

Pada suatu malam di tahun 1965, dia bertemu Kolonel Yasir Hadibroto dalam sebuah rapat organisasi massa di pendapa kabupaten. Saat itu Tamam muda adalah aktivis Gerakan Pemuda Ansor yang terlibat dalam ”operasi pembersihan”. 

Dia bercerita bahwa dalam pertemuan itu Yasir mengumumkan pasukannya telah menembak mati Aidit beberapa hari sebelumnya. 

”Eksekusinya subuh-subuh,” Tamam menirukan Yasir.
Seakan meneguhkan ucapan kepada lawan bicaranya, Yasir menunjukkan jam tangan yang dia kenakan. 
”Ini arloji Aidit,” katanya. 

Sewaktu Tamam mendesaknya menceritakan bagaimana pucuk pimpinan PKI itu tewas, Yasir berujar, ”Dia diberondong senapan AK sampai habis 1 magasin.”
Sejumlah sumber lain membenarkan cerita Tamam. Setelah puluhan tahun, cerita itu sampai juga ke telinga putra Aidit, Ilham. Empat tahun lalu dia memutuskan datang sendiri ke tempat yang diduga sebagai pusara ayahnya. 
”Sejak lulus kuliah sampai 1998, saya selalu mencari kuburan ayah dengan sembunyi-sembunyi,” katanya tatkala dihubungi pekan lalu. 
Saat itu dia hanya berbekal sepotong informasi dari koran bahwa Aidit tewas ditembak di Boyolali. Berbilang kawan dekat ayahnya dia tanyai, tapi tak ada satu pun yang tahu nasib Aidit selepas meninggalkan Ibu Kota.

Menemukan makam Aidit bukan perkara mudah, bahkan bagi anaknya sekalipun. Ada upaya sistematis untuk membuat peristirahatan terakhir Aidit dilupakan orang. Sumur tua itu, misalnya, sampai dua kali diuruk batu setelah November 1965. Kompleks gedung markas Batalion 444 juga dibongkar dan kini hanya menyisakan sebuah gedung tua. Gedung itu sekarang digunakan sebagai mes pegawai Komando Distrik Militer (Kodim) Boyolali.

Batalion 444 dikenal sebagai kesatuan tentara pro-komunis. Salah satu komandan kompinya adalah Letnan Kolonel Untung Syamsuri, yang kemudian memimpin operasi penculikan sejumlah jenderal pada malam 30 September. Tahun-tahun menjelang 1965, Boyolali juga dikenal sebagai basis PKI Jawa Tengah. Dalam pemilu 1955 dan pemilihan kepala daerah tiga tahun sesudahnya, PKI meraih kemenangan besar di sana.

Pencarian Ilham baru berbuah ketika sebuah lembaga swadaya masyarakat lokal di Boyolali menghubunginya dan menceritakan temuan mereka. 


“Mereka mengetahui lokasi ini dari sumber-sumber kredibel yang terlibat langsung dalam pembunuhan anggota PKI saat itu,” kata Ilham.
Seperti dilansir Tempo, seorang penghuni di mes Kodim membenarkan pekarangan belakang gedung itu disebut-sebut sebagai lokasi kuburan Aidit.

Dia menambahkan, telah lama warga setempat berusaha menghindari bekas sumur tua itu. 

”Pernah ada orang yang mau membuat bak sampah tepat di atasnya, tapi cangkulnya membentur batu keras,” katanya. 
Saat bergeser beberapa meter ke samping, justru muncul pecahan tulang tempurung tengkorak. Lubang itu buru-buru ditutup lagi. Si penghuni ini menolak disebut namanya karena khawatir keselamatannya terancam.

Tak sampai 100 meter dari lokasi itu, ada sebuah tanah lapang lain yang juga disebut-sebut berhubungan dengan Aidit. Di sanalah, konon, Aidit yang juga menjabat Wakil Ketua Majelis MPR Sementara itu ditembak mati. Pekarangan tersebut bagian dari satu rumah berarsitektur tua di belakang gedung Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah. Kini rumah itu tampak terkesan tak terurus dan ditempati lima keluarga berbeda.

”Jadi, setelah ditembak di sana, baru jenazahnya dimasukkan ke sumur di sebelahnya,” kata Ilham. 

Pada 1965, rumah itu digunakan sebagai Sekolah Pendidikan Guru. Lokasinya tak jauh dari Pasar Boyolali, yang berhadap-hadapan dengan markas polisi militer Kodim Boyolali dan gedung yang dulu digunakan sebagai Sekretariat PKI.

Mbah Jungkung, seorang pensiunan pegawai negeri setempat yang banyak mengetahui ihwal kejadian pada masa itu, membenarkan kisah Ilham. Bahkan, menurut dia, gedung sekolah itu dahulu dijadikan semacam kamp tahanan. Para anggota dan simpatisan PKI dikumpulkan di situ sebelum dieksekusi.


***

Ketika akhirnya berdiri di samping pusara ayahnya pada 2003 lalu, Ilham mengaku tak kuasa menahan getaran hatinya. ”Naluri saya mengatakan memang di sinilah tempatnya,” katanya dengan suara tercekat. Putra Aidit itu juga mengaku memendam keinginan untuk memindahkan jenazah ayahnya ke tempat yang layak. 

”Tapi mungkin belum bisa sekarang,” katanya pelan. ”Kami harus bersabar.”

(Tempo Edisi i. 32/XXXVI/01 - 7 Oktober 2007)

Kutipan: Unikei 

Kuburan Rahasia Sumur Mati


Tempo, 1-7 Oktober 2007


HAMPARAN tanah berkerikil itu ditumbuhi labu siam dan ubi jalar. Pohon mangga dan jambu biji menaunginya di kanan-kiri. Hanya itu. Tak ada satu pun penanda yang menunjukkan bekas sumur di pekarangan belakang gedung tua itu. Dulu, bangunan ini adalah bagian dari kompleks markas Batalion 444 TNI Angkatan Darat di Boyolali--sebuah kota kabupaten sekitar 25 kilometer di sebelah barat Solo, Jawa Tengah.

Meski tak berbekas, banyak orang meyakini, di sepetak halaman itu pernah ada sebuah sumur tua tempat jenazah Dipa Nusantara Aidit, Ketua Umum Comite Central PKI, dikuburkan pada 23 November 1965. Salah satunya Mustasyar Nahdlatul Ulama Boyolali, Tamam Saemuri, 71 tahun.

Pada suatu malam di tahun berdarah 1965, dia bertemu Kolonel Yasir Hadibroto dalam sebuah rapat organisasi massa di pendapa kabupaten. Saat itu Tamam mudal adalah aktivis Gerakan Pemuda Anshor, organisasi yang banyak terlibat dalam "operasi pembersihan."

Kepada Tempo dua pekan lalu, dia bercerita bahwa dalam pertemuan itu Yasir mengumumkan pasukannya telah menembak mati Aidit beberapa hari sebelumnya.
"Eksekusinya subuh-subuh," Tamam menirukan Yasir. Seakan meneguhkan ucapan kepada lawan bicaranya, Yasir menunjukkan jam tangan yang dia kenakan.
"Ini arloji Aidit," katanya.
Sewaktu didesak menceritakan bagaimana pucuk pimpinan PKI itu tewas, Yasir berujar, "Dia diberondong senapan AK sampai habis 1 magasin."
Sejumlah sumber lain membenarkan cerita Tamam. Setelah puluhan tahun, cerita itu sampai juga ke telinga putra Aidit, Ilham. Empat tahun lalu dia memutuskan datang sendiri ke tempat yang diduga sebagai pusara ayahnya.
 "Sejak lulus kuliah sampai 1998, saya selalu mencari kuburan ayah dengan sembunyi-sembunyi," katanya tatkala dihubungi pekan lalu.
Saat itu dia hanya berbekal sepotong informasi dari koran bahwa Aidit tewas ditembak di Boyolali. Berbilang kawan dekat ayahnya dia tanyai, tapi tak ada satu pun yang tahu nasib Aidit selepas meninggalkan Ibu Kota.

Menemukan makam Aidit bukan perkara mudah, bahkan bagi anaknya. Ada upaya sistematis untuk membuat peristirahatan terakhir Aidit dilupakan orang. Sumur tua itu, misalnya, sampai dua kali diuruk batu setelah November 1965. Kompleks gedung markas Batalion 444 juga dibongkar dan kini hanya menyisakan sebuah gedung tua. Gedung itu sekarang digunakan sebagai mes pegawai Komando Distrik Militer (Kodim) Boyolali.

Batalion 444 dikenal sebagai kesatuan tentara pro-komunis. Salah satu komandan kompinya adalah Letnan Kolonel Untung Syamsuri, yang kemudian memimpin operasi penculikan sejumlah jenderal pada malam 30 September. Tahun-tahun menjelang 1965, Boyolali juga dikenal sebagai basis PKI Jawa Tengah. Dalam Pemilu 1955 dan pemilihan kepala daerah dua tahun sesudahnya, PKI meraih kemenangan besar di sana.

Pencarian Ilham baru berbuah ketika sebuah lembaga swadaya masyarakat lokal di Boyolali menghubunginya dan menceritakan temuan mereka.
 "Mereka mengetahui lokasi ini dari sumber-sumber kredibel yang terlibat langsung dalam pembunuhan anggota PKI saat itu," kata Ilham.
Tempo mendatangi lokasi itu dua pekan lalu. Dan seorang penghuni di mes Kodim membenarkan pekarangan belakang gedung itu disebut-sebut sebagai lokasi kuburan Aidit.

Dia menambahkan, telah lama warga setempat berusaha menghindari bekas sumur tua itu.
 "Pernah ada orang yang mau membuat bak sampah tepat di atasnya, tapi cangkulnya membentur batu keras," katanya.
 Saat bergeser beberapa meter ke samping, justru muncul pecahan tulang tempurung tengkorak. Lubang itu buru-buru ditutup lagi. Si penghuni ini menolak disebut namanya karena khawatir keselamatannya terancam.

Tak sampai 100 meter dari sana, ada sebuah lokasi lain yang juga disebut-sebut berhubungan dengan Aidit. Di sanalah, konon, Wakil Ketua Majelis MPR Sementara itu ditembak mati. Pekarangan tersebut bagian dari satu rumah berarsitektur tua yang sekarang menjadi gedung Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah.
"Jadi setelah ditembak di sana, baru jenazahnya dimasukkan ke sumur di sebelahnya," kata Ilham kepada Tempo. 
Pada 1965, rumah itu digunakan sebagai Sekolah Pendidikan Guru. Lokasinya tak jauh dari Pasar Boyolali, yang berhadap-hadapan dengan markas polisi militer Kodim Boyolali dan gedung yang dulu digunakan sebagai Sekretariat PKI.

Mbah Jungkung, seorang pensiunan pegawai negeri setempat yang banyak mengetahui ihwal kejadian pada masa itu, membenarkan kisah Ilham. Bahkan, menurut dia, gedung sekolah itu dahulu dijadikan semacam kamp tahanan. Para anggota dan simpatisan PKI dikumpulkan di situ sebelum dieksekusi.

●●●

Ketika akhirnya berdiri di samping pusara ayahnya pada 2003 lalu, Ilham mengaku tak kuasa menahan getaran hatinya.
 "Naluri saya mengatakan memang di sinilah tempatnya," katanya dengan suara tercekat. Putra Aidit itu juga mengaku memendam keinginan untuk memindahkan jenazah ayahnya ke tempat yang layak.
 "Tapi mungkin belum bisa sekarang," katanya pelan. "Kami harus bersabar."

Kamis, 04 Oktober 2007

ibrahim isa bernagi cerita; Trikoyo, DH Aidit dan Impunitas

Oleh : Ibrahim Isa Alias Bramijn | 04-Okt-2007, 12:39:40 WIB
TRIKOYO, DN AIDIT dan IMPUNITAS 

Tulisan berikut ini mungkin berkepanjangan, dimaksudkan sebagai pengantar atas CERPEN sahabatku TRIKOYO, putranya Mbah Ramidjo, digulis, pejuang kemerdekaan. Trikoyo menyoroti betapa ketiadaan hukum, IMPUNITAS, di negara RI yang dinyatakan sebagai suatu 'rechtsstaat', NEGARA HUKUM.

Sekitar 30 September, boleh dikatakan setiap tahun,
hampir semua media memuat tulisan yang bersangkutan dengan 'Peristiwa G30S'. Ada yang berupa studi, penulisan sejarah, atau, tidak jarang, hanya reka-rekaan atau pemilintiran fakta sejarah semata. Ditulislah mengenai apa, dan sampai dimana peran DN Aidit ketua PKI dalam peristiwa tersebut. Bersama 'Biro Chususnya', DN Aidit dituduh, bahkan Orba sudah memastikannya sebagai dalang dari G30S dan pembunuhan enam jendral plus seorang perwira menengah TNI-AD.

Tetapi sebegitu jauh semua tulisan tsb tidak jauh dari tulisan-tulisan yang merupakan berbagai varian analisis dan cerita mengenai apa sebenarnya G30S, yang oleh Bung Karno dinamakan GESTOK dan oleh Orba dan para pengikut dan pendukungnya disebut dan ditulis G30S/PKI.
***

Salah satu segi positif gerakan Reformasi yang telah berhasil menjatuhkan Jendral Suharto (tetapi tidak menghapuskan struktur politik dan kekuasaan dan pengaruh plitik Orba), -- Adalah munculnya pelbagai tulisan dan komentar, studi dan 'oral-history' menyangkut pelbagai analisis dan kesimpulan mengenai G30S termasuk siapa dalangnya. Ini memberikan kesempatan bagi yang memang mau berfikir dan menganalisisnya sendiri, untuk menarik kesimpulannya masing-masing.

Barangkali para akhli hukum Orba bisa memberikan jawaban atas pertanyaan berikut ini:

Mengapa justru yang dituduh paling bertanggung jawab dan menjadi dalang dari G30S, seperti, sebut saja: ketua PKI DN Aidit atau Presiden Republik Indonesia Sukarno, --- Mengapa justru mereka itu, tidak diajukan ke pengadilan? Untuk diadili dan dijatuhi hukuman yang setimpal bila terdapat bukti-bukti mengenai kesalahan mereka,. Yang itu harus dilakuka oleh suatu lembaga pengadilan yang independen dan transparan. Kalau itu dilakukan: Bukankah akan lebih sesuai dengan ketentuan hukum dan akan lebih meyakinkan jika 'tertuduh utama' Sukarno dan DN Aidit dimintai pertanggungan jawabnya di muka pengadilan? Supaya menjadi jelas bagi seluruh rakyat Indonesia dan dunia, duduk perkara sebenarnya mengenai G30S. Tidak, mereka tidak diajukan ke pengadilan. DN Aidit ditembak mati secara ekstra-judisial. Sedangkan Presiden Sukarno dikenakan tahanan rumah. Ditutup secara hermetis dari dunia luar, dibiarkan menderita sakit tanpa obat dan perawatan yang pantas dan sudah seharusnya bagi seorang kepala negara yang menderita sakit, sampai beliau meninggal dunia.

Dalam suatu kasus yang menyangkut pembunuhan, apalagi jika itu suatu komplotan perebutan kekuasaan negara, seperti yang dalam hal ini dituduhkan pada DN Aidit, dimana jatuh korban tidak kurang dari 6 jendraal dan seorang perwira menengah TNI-AD, diajukan pertanyaan sbb: Siapa yang menarik keuntungan dari kasus ini?

Sejarah telah membuktikan bahwa yang menarik keuntungan paling besar dari peristiwa G30S, yang dinyatakan sebagai komplotan itu, ---- adalah Jendral Suharto dan klik militernya. Adalah kekuatan kolonialisme dan imperialisme di dunia ini yang berpesta ria dengan jatuhnya Presiden Sukarno dan naiknya Jendral Suharto sebagai presiden RI. Juga menjadi jelas kemudian bahwa yang dilikwidasi dalam peristiwa tsb adalah saingan-saingan Jendral Suharto.

Aku ingat apa yang dikatakan oleh seorang diplomat ulung perempuan Indonesia, Ibu Supeni, anggota Komisi LN DPR RI, bahwa (ini kata-katanya sendiri, yang kebetulan untung masih bisa kujumpai dalam kunjunganku ke Indonesia sebelum beliau meninggal dunia). Ibu Supeni tanpa tedeng aling-aling mengatakan sbb:

'BILA TAK ADA G30S SUHARTO TAK AKAN MENJADI PERSIDEN'. Suatu pernyataan yang penuh mengandung arti dan kebenaran!

* * *

CERPEN 100307

D.N. AIDIT, SIAPA PEMBUNUHNYA?
Renungan : Tri Ramidjo.

Di mass media sering disebut-sebut yang menangkap dan menginterogasi Aidit adalah Kolonel Yasir Hadibroto pada tanggal 22 Nopember 1965 di desa Sambeng belakang stasiun Balapan, Solo (Surakarta) dan pagi esoknya dibawa ke Boyolali 25 km dari Solo kemudian di tembak dengan AK satu magasin (satu magasin setahuku isinya 25 butir peluru tajam.). AK adalah sejenis senapan mesin ringan buatan Rusia. Apa singkatan AK aku tak tahu.

Menurut mass media Aidit ditembak membelakangi sumur tua dan langsung terjungkel di sumur tua itu.

Negeri ini adalah negara hukum. Orang yang dihukum mati pun jenazahnya diserahkan kepada keluarganya dan dimakamkan secara baik-baik menurut agama yang dianutnya.

Tapi Aidit ditembak tanpa proses hukum, terikat dan tidak berdaya. Tawanan perang pun yang tertangkap tidak diperlakukan semena-mena.

Aku bisa berkata demikian karena aku mengalami bertempur dalam perang dunia ke II. Ketika itu aku adalah komandan kompi dalam angkatan darat Jepang. Pasukanku pernah menangkap spion atau mata-mata tentara sekutu, lengkap dengan tanda anggotanya dan sepucuk pistol Vickers. Mata-mata itu tidak langsung ditembak mati tapi melalui proses pemeriksaan, pengadilan militer dan baru dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.
Itu dalam keadaan perang di tahun 1944 dan yang berkuasa adalah tentara fasis Jepang. Bayangkan, kita semua tahu betapa kejamnya tentara fasis Jepang waktu itu.

Sedang Aidit, beliau adalah seorang menteri dari pemerintahan yang syah di bawah Presiden yang juga syah Sukarno. Suharto yang merebut kedudukan tertinggi militer angkatan darat dan melawan perintah Panglima Tertinggi, bertindak atas kewenangannya sendiri dan Yasir Hadibroto apakah bertindak atas perintah Suharto atau bertindak sendiri masih kurang jelas disebut dalam mass media.

Tapi bagaimana pun juga tindakan kolonel Yasir pada waktu itu terang melanggar hukum. Yasir adalah pembunuh dan harus diadili. Harus ditindak menurut hukum.

Kalau menurut cerita-cerita silat Tiongkok, hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa dan anak-anak yang berbakti kepada orang tuanya pasti membalaskan dendam.
Itu cerita silat.

Tapi Aidit yang ditembak mati semena-mena oleh Yasir tanpa proses hukum, sudah sepatutnya penegak hukum di negeri ini harus bertindak. Apakah harus menunggu laporan pengaduan dari anak-anak, kerabat atau familinya yang menuntut hukum?
Apakah penegak hukum di negeri ini sudah banci, impoten seperti diriku ini? Aku menderita impoten bertahun-tahun juga karena siksaan interrogator orba dan bahkan sekarang ini menderita stroke sehingga tangan kananku tidak berfungsi.

Aku juga ditahan bertahun-tahun diasingkan ke pulau Buru akibat fitnah dan tidak pernah melalui proses hukum pengadilan apa pun apakah itu yang dinamakan hukum perdata atau pun hukum pidana.

Apakah aku yang sudah 81 tahun ini harus tertatih-tatih masuk keluar kantor menghadap petinggi-petinggi negeri ini untuk mengadukan nasib derita akibatvfitnah? Masyaallah, sungguh keterlaluyan hukum di negeri ini.

Benar-benar negeri ini bukan negara hukum lagi lebih baik disebut negeri di luar hukum dan yang memegag bedil sama klasnya seperti cowboy-cowboy di Amerika.
Apakah rakyat negeri ini dianggap sapi yang digiring oleh cowboy-cowboy?
Cerita-cerita cowboy masih jauh labih baik sebab dalam cerita cowboy yang benar selalu menang.

Sudah 42 tahun berlalu negeri ini menjadi negeri yang amburadul. Sudah saatnya para petinggi negeri ini mawas diri dan mengambil tindakan yang sesuai dengan norma-norma hukum,
Ahli-ahli hukum di negeri ini sudah cukup banyak tapi yang benar-benar mengerti hukum dan melaksanakan hukum masih sangat langka. Astagfirullah.

Sudah saatnya kita bisa menyanyikan lagu komponis terkenal Cornel Simandjuntak :
Maju tak gentar, membela yang benar,
dan bukan
maju tak gentar, membela yang......bayar.

Hahaha.
Maaf, sudah 21 hari ini aku puasa. Aku tak boleh marah-marah sebab puasa seperti diperinthkan Allah adalah agar kita bertaqwa.
Ayahku sering mengatakan bertaqwa artinya mentaati dan melaksanakan perintah-perintah Allah serta menjauhi larangan-larangan Allah.

Hal ini tentu saja tak perlu kutulis, sebab setiap umat Islam pasti sudah mengerti. Apalagi mereka yang rajin shalat lima waktu. Setiap shalat pasti didahului dengan wudhu dan tentu saja mengerti betul artinya wudhu. Kemudian berdiri dan takbir Allahu Akbar dan membaca do'a iftitah ...........Innashalati .....dst.
Jelas di dalam do'a iftitah itu setiap muslim tahu betul untuk apa hidup ini sebenarnya. 


Tangerang hari ke 21 puasa, Rabu Pon 03 Oktober 2007.

Dari: Kabar Indonesia 

Mengenang Malam Jahanam (11): Jenderal Soeharto

October 04, 2007 

Tulisan ini adalah karya Harsutejo, dimuat atas izin yang diberikan si penulis kepada saya, dan karenanya saya berterima kasih. Pemuatan tulisan ini untuk menyambut peringatan peristiwa G30S yang telah mengubah secara fundamental jalan sejarah negeri ini. Kalau boleh, saya ingin mendedikasikan pemuatan tulisan ini kepada semua korban di pihak manapun dan keluarga korban peristiwa keji itu dan rangkaian perisiwa keji dengan efek horor yang tak terperikan yang terjadi berikutnya.
Oleh: Harsutejo
SUDAH menjadi keterangan klasik apa yang dikisahkan oleh Kolonel Latief tentang dua kali pertemuannya dengan Jenderal Suharto. Pertemuan kedua terjadi beberapa jam sebelum penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal yang dilakukan oleh pasukan G30S. Sudah sangat dikenal bahwa dua batalion pasukan Brawijaya dan Diponegoro yang didatangkan ke Jakarta yang kemudian menjadi bagian pasukan G30S didatangkan atas perintah Jenderal Suharto. Pasukan itu pun sesuai dengan perintah bersiap untuk bertempur. Pasukan ini pula yang kemudian sebagian menyerah bongkokan kepada Jenderal Suharto di Kostrad karena tiadanya logistik, bahkan para prajuritnya kelaparan dan minta makan ke markas Kostrad. Inilah bagian dari skenario G30S yang dirancang untuk gagal (lihat analisis tentang Brigjen Suparjo).
Bicara tentang G30S selalu memuat tentang sang dalang. Sudah sejak dini sejarawan Prof Dr Nugroho Notosusanto menuduh Presiden Sukarno sebagai dalangnya (yang kemudian juga dianut oleh Victor M Fic). Rezim Orba dan para kerabatnya menuduh Aidit/PKI, yang lain CIA, Jenderal Suharto, atau dan berbagai kombinasi. Sejumlah ahli lebih menitikkan pada dalang peristiwa kelanjutannya berupa pembantaian 500.000 sampai 3 juta rakyat yang dituduh terlibat G30S atau PKI dalam waktu beberapa bulan tanpa ada perang. Sebagian orang menguar-uarkan tentang adanya situasi ketika itu yang digambarkan sebagai “membunuh atau dibunuh” untuk mengelakkan tanggungjawab pembantaian massal tersebut sebagai ditulis oleh Brigjen (Purn) Samsudin, Sulastomo, Fadly Zon, Salahuddin Wahid dsb, sesuatu yang sama sekali tidak ada buktinya dan tidak benar.
Sejumlah peristiwa yang menelan korban sebelum 1 Oktober 1965 serta bentrokan yang terjadi di beberapa tempat segera sesudah peristiwa G30S disebut sebagai situasi “membunuh atau dibunuh”, sesuatu yang sangat dibesar-besarkan. Justru propaganda hitam seluruh mesin rezim Orba terus-menerus (bahkan sampai tahunan) yang membuat panas situasi, mematangkan situasi untuk melakukan pembunuhan massal itu (lihat misalnya Lubang Buaya dan Gerwani). Dalam hubungan ini tidak ada kontroversi, Jenderal Suharto yang bertanggungjawab, sedang Kolonel Sarwo Edhie Wibowo dan sejumlah petinggi militer lain sebagai penanggungjawab lapangan. Tidak berlebihan jika Suharto kita sebut sebagai Sang Jagal.
Sang Jagal
Jenderal Besar (Purn) Suharto, Bapak Pembangunan, Sang Supersemar, Presiden Republik Indonesia (1968-1998), juga Ketua Dewan Pembina Golkar di sepanjang tiga dekade kekuasaannya. Selama itu Suharto dipilih sebagai Presiden RI sebanyak 7 kali dengan dukungan penuh Golkar sebagai bagian dari tiga pilar ABG: ABRI, Birokrasi, dan Golkar. Itulah yang disebut sebagai Demokrasi Pancasila. Seorang penulis menyebut ‘Suharto adalah Golkar dan Golkar adalah Suharto’. Sebenarnyalah ‘Suharto adalah ABRI dan ABRI adalah Suharto’ di samping ‘Suharto adalah Birokrasi dan Birokrasi adalah Suharto’, jadi Suharto itu identik dengan kekuasaan negara, bahkan dengan negara itu sendiri. Pendeknya Suharto ya Indonesia dan Indonesia ya Suharto.
Karena Indonesia itu juga Suharto, maka tak aneh jika hanya dia yang berhak menafsirkan UUD 1945. Dalam pasal 7 disebutkan “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Kalimat ini dianggap jelas bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden hanya lima tahun pertama dan lima tahun kedua jika dipilih. Sama sekali tidak disebutkan bahwa boleh lima tahun ketiga dst. “Siapa bilang UUD 45 membatasi jabatan presiden cumak dua kali, tidak ada nyang membatasi…” begitu Suharto bersabda sebagai tafsirnya. Dalam bahasa gaul kira-kira berbunyi “sukak-sukak aku”.
Selanjutnya tentang Pasal 33 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Itu berarti untuk kemakmuran Suharto, anak cucu cicit, begundal alias kroninya dalam dan luar negeri. Kan Suharto itu Indonesia dan Indonesia itu Suharto, tidak ada yang salah bukan?
Rezim militer Orba dibangun oleh Suharto cs lewat lumuran darah para jenderal dan tiga juta rakyat Indonesia setelah didahului fitnah kotor dongeng horor tentang tarian harum bunga Gerwani di Lubang Buaya. Selanjutnya kedudukan Suharto mendapatkan legitimasi dengan apa yang disebutnya Supersemar, surat perintah 11 Maret 1966 dari Presiden Sukarno yang dipalsukan itu. Legitimasi selanjutnya didapat dengan menafsirkan UUD 1945 seenak udelnya sendiri. Legitimasi yang lain perlu dibangun dengan peran sejarah Letkol Suharto dalam serangan umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta terhadap pendudukan Belanda yang diklaimnya sebagai pemilik gagasan dan pelaksana di lapangan.
Senyum Suharto menggambarkan kata-kata yang tak diucapkannya, “Habis petinggi militer yang lain pada ngumpet carik slamet, sedang Hamengkubowono IX cumak nongkrong di di istananya, maka ya saya sendiri yang tampil menghadapi musuh…….” Tentu saja Suharto mendapatkan dukungan barisan kaum intelektual dan cerdik pandai di segala lini yang dapat dibelinya. Maka ditulislah sejarah dirinya dengan tinta emas, dibuatlah film kepahlawanan dirinya yang tiada tara seperti ‘Janur Kuning’ dan ‘Pengkhianatan G30S/PKI’ serta bangunan ‘Monumen Yogyakarta Kembali’ di Yogya yang megah itu.
Dunia Barat merasa berutang budi ketika Jenderal Suharto menggulung PKI dan seluruh gerakan kiri dan akhirnya berhasil menggulingkan Presiden Sukarno, simbol rakyat Indonesia dan dunia ketiga dalam menghadapi imperialisme dunia. Maka langkah selanjutnya adalah mendepolitisasi rakyat yang menjadi tujuan bersama antara dunia Barat dengan penguasa represif. Dua kekuatan itu bekerja sama menyingkirkan mayoritas penduduk Indonesia dari kehidupan ekonomi dan politik di negara mereka sendiri. Gaya rezim ini adalah tiadanya pembangunan politik elementer alias politik tanpa pembangunan politik, soalnya politik itu tabu bagi rakyat. Biarlah politik itu menjadi monopoli Suharto, ABRI, Birokrasi, dan Golkar. Sedang dua partai lain, PPP dan PDI diberi peranan politik pinggiran pupuk bawang sebagai ornamen demokrasi.
Suharto masih merasa kurang pas jika belum dilengkapi legitimasi yang lain daripada yang lain, yakni legitimasi alam gaib. Ia pun dibentengi oleh sejumlah dukun dan azimat yang diatur dari atas, barangkali oleh Ki Semar. Bukan kebetulan jika Suharto mengidentifikasikan dirinya dengan Ki Semar. Salah seorang dukun yang tersohor sekaligus asisten khusus Suharto ialah Jenderal Sudjono Humardani. Ia pernah diutus menjemput “kembang wijayakusuma” bagi kesaktian dan kemenangan Suharto.. Untuk itu Suharto melakukan apa yang dalam bahasa Jawa disebut nglakoni, menjalankan olah mental dan spiritual dengan cara berpuasa, kungkum di sungai tertentu yang dianggap istimewa atau wingit dengan air dingin menusuk, tidak sebarang orang tahan dan bisa diterima oleh tempat itu. Suharto bersemadi di pinggir sungai yang seram, di gua atau di pantai Samudera Hindia untuk menghadap Nyai Loro Kidul dalam mitos Jawa, bahkan disebut melakukan perkawinan sakral [bukan perselingkuhan?] dengan sang Nyai. Apa isterinya tidak cemburu ya?
Bapak Koruptor Teladan
Dalam hubungannya dengan harta korupsi yang pernah dijarah Suharto bersama keluarganya, maka ada gagasan Presiden Gus Dur untuk melakukan tawaran damai kepada keluarga Cendana. Hal ini merupakan langkah persuasif Presiden Gus Dur agar keluarga Cendana “sudi berkontribusi kepada negara dan rakyat”. Maka pada akhir Mei 2000 dikirimlah utusan terdiri dari Menteri Pertambangan dan Energi Susilo Bambang Yudoyono, Ketua Gerakan Pemuda Ansor Saifullah Yusuf dan Zarnuba Arifa Chafsoh alias Yenny, putri Presiden Gus Dur.
Jika keluarga Cendana setuju dengan jalan damai, maka rencananya Gus Dur akan mengeluarkan surat pengampunan kepada Suharto dengan imbalan keluarga Cendana mengembalikan harta jarahannya sebesar 70-90%. Konon harta yang diincar di luar negeri saja sebesar 45 miliar dollar AS. Ketika itu jaksa Agung Marzuki Darusman sedang melakukan pengusutan perkara korupsi Suharto. Niat baik Gus Dur tak terimbangi. Ya mereka hanya mau menjarah dan tak sudi berkontribusi untuk negara dan rakyat. Rakyat jelata mempunyai ungkapan sederhana “mana ada maling mau mengaku”. Konon polisi Indonesia punya kiat jitu, bahkan mumi Mesir Kuno pun tak dapat mengelak mengakui umurnya.
Ketetapan MPR No. X1/1998 mengamanatkan pemberantasan KKN yang dilakukan siapa pun termasuk mantan Presiden Suharto. Pada tahun 2000 Suharto hendak dituntut dalam perkara “gurem” dalam tindak korupsi sebesar Rp1,7 triliun dan 419 juta dollar AS terhadap uang yayasan yang didirikannya (Yayasan Darmais, Dakab, Supersemar, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana Mandiri, Gotong Royong dan Trikora).
Yayasan yang bertujuan sosial ini memiliki aset sebesar Rp4,014 triliun. Yayasan ini telah menghimpun dana dengan berbagai macam aturan pemotongan gaji pegawai negeri, sebagian laba bank pemerintah serta BUMN serta dari para pengusaha kakap. Dalam kenyataannya dana itu dibuat bancaan untuk modal perusahaan milik Bob Hasan, Bank Yama milik Tutut, Sempati Air milik Tommy. Ini semua merupakan penyalahgunaan. Akhirnya Jaksa Agung Mei 2006 mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3). Suharto memang digdaya. Hidup Suharto!
Diberitakan pada akhir Februari 2007 bahwa tim Kejagung, instansi sama yang mengeluarkan SP3 akan melayangkan somasi dengan gugatan perdata terhadap mantan Presiden Soeharto yang harus mengembalikan uang negara sekitar Rp 1,5 triliun yang diduga hasil korupsi semasa mengetuai tujuh yayasan. Menurut pakar bidang perkorupsian Junus Aditjondro, hal ini cuma akal-akalan mencari popularitas. Kata Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, Suharto telah melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum, itu yang akan digunakan dalam gugatan perdata.
Jatuhnya Suharto pada 1998 tidak serta merta mengakhiri rezim lama, pelembagaan hal-hal menyesatkan terus berlangsung. Jenderal Besar (Purn) Suharto ditumbangkan, kuku-kukunya sebagai bagian dari rezim militer Orba masih mencengkeram berbagai aspek kehidupan bangsa dan negeri ini. Bersamanya terdapat suatu lapisan militer dan sipil yang telah mencengkeram akumulasi kekayaan amat besar negeri ini yang kemudian menjadi sah secara hukum yang akan tetap memberikan pengaruhnya dalam jangka panjang dalam bidang politik maupun ekonomi terutama melalui apa yang disebut money politics, dengan politik kekuatan uang alias politik menyogok, menekan, mengancam dan meneror yang menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya kekerasan rezim Orba.
Kekayaan mereka itu setidaknya sebesar 60 miliar dollar AS ketika Suharto jatuh, hampir setara dengan 600 triliun rupiah. Sedang realisasi APBN Perubahan 2006 untuk belanja negara sebesar Rp 528 triliun, artinya Suharto beserta kroninya mampu membeli negeri ini. Awas, kepala kita masing-masing bisa dibelinya. Situasi mutakhir Sang Jagal yang Bapak Koruptor mendapat hadiah Rp 1 triliun dari Mahkamah Agung RI dalam perkaranya dengan majalah Time, diikuti pentahbisan dirinya sebagai penjarah kekayaan negara kelas hiu nomor wahid di dunia dari StAR (State Assets Recovery) Initiative PBB. Kita ikuti seruan penyair Wiji Thukul, “Hanya ada satu kata: Lawan!” (Petikan dari naskah belum terbit)
Sumber: TeguhTimur