HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Minggu, 30 September 2018

Gatot Nurmantyo Tuduh B.J Habibie dan Gusdur PKI?

Hermanto Purba | 30 September 2018


Sebelum Gatot Nurmantyo diberhentikan oleh Presiden Jokowi sebagai Panglima TNI pada Desember tahun lalu, beberapa kali dia melakukan tindakan, mengeluarkan pernyataan, serta melakukan aksi yang seharusnya tidak pantas dia lakukan sebagai seorang prajurit TNI. Adalah hal yang sangat dipantangkan mengkritik atasan bagi seorang prajurit.

Seorang prajurit harus loyal kepada atasan. Seorang prajurit harus taat pada perintah atasan. Namun apa yang kerap ditampilkan oleh Gatot agak sedikit melenceng dari nilai-nilai keprajuritan. Mungkin ini pula yang membuat Presiden Jokowi merasa gerah sehingga karirnya sebagai Panglima TNI harus disudahi lebih awal.
Praktis selama empat bulan, pasca diberhentikan sebagai panglima, Gatot menganggur. Seorang jenderal bintang empat, tidak memiliki jabatan apa pun di TNI. Hal itu sesungguhnya begitu menyakitkan dan memalukan. Namun, ketidakpatuhannya, ketidakloyalannya, dan ketidaktaatannya kepada Panglima Tertinggi, adalah musababnya.

Pada tahun 2016 lalu, bertepatan dengan HUT TNI ke-71, Gatot pernah mengusulkan agar hak berpolitik aparat TNI dipulihkan. Sementara, Gatot jelas-jelas mengetahui bahwa Undang-undang tidak memberi ruang sedikit pun bagi aparat TNI untuk berpolitik. Hal tersebut bertujuan untuk menjaga netralitas TNI.

Dan satu hal lagi yang tidak kalah kontorversial adalah instruksi Gatot untuk melakukan nonton bareng film G30S/PKI. Gatot turut termakan isu murahan yang dihembuskan oleh Amien Rais dan Kivlan Zein tentang munculnya kembali PKI di Indonesia. Atau mungkin, Gatot memang sengaja melakukannya, agar Indonesia seolah-olah sedang darurat PKI.

Pernyataannya untuk mewajibkan menonton film G30S/PKI kembali diulanginya. Ia bahkan menantang Panglima TNI, Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Mulyono untuk memutar kembali film G30S/PKI. Gatot menyebut jika KSAD tidak berani memerintahkan nobar film G30S/PKI, sebaiknya KSAD pulang kampung saja.

Sebuah pernyataan yang begitu angkuh dan tidak berkelas dari seorang mantan Panglima TNI. Tidak sepantasnya jenderal purnawirawan bintang empat itu mengeluarkan pernyataan seperti itu. Apakah jika KSAD tidak memerintahkan nobar kepada seluruh jajarannya lalu KSAD dicap sebagai seorang pemimpin penakut seperti yang dituduhkan Gatot?

Sungguh sebuah pemikiran yang cukup dangkal dari seseorang yang sudah memiliki begitu banyak pengalaman dalam dunia ketentaraan. Apa urgensinya sehingga Gatot begitu ngotot mendesak Panglima TNI dan KSAD agar melaksanakan nobar film G30S/PKI yang begitu menonjolkan sosok seorang Soeharto dalam film tersebut?

Saya tidak yakin jika Gatot Nurmantyo tidak mengetahui bahwa ada banyak penyimpangan dan rekayasa sejarah dalam film propaganda orde baru (Soeharto) tentang bahaya PKI tersebut. Dan itu pulalah yang menjadi alasan mengapa pemutaran film tersebut pada setiap tanggal 30 September dihentikan sejak pemerintahan B.J Habibie.

Dalam sebuah acara talk show di Kompas TV yang dipandu oleh presenter Rosianna Silalahi, Gatot Nurmantyo kembali mengulangi pernyataan bodohnya tentang kewajiban menonton kembali film G30S/PKI. Ia bahkan menuduh bahwa mereka yang secara sengaja menghentikan pemutaran film G30S/PKI tersebut adalah PKI.

Gatot menuduh bahwa pihak-pihak yang melakukan perbaikan terhadap pelajaran sejarah di sekolah ia tuduh PKI, yang menuntut pencabutan TAP MPRS No. XXV tahun 1966 tentang PKI, Marxisme dan Leninisme adalah PKI, yang menghentikan pemutaran film G30S/PKI adalah PKI. Dari pernyataannya tersebut, saya jadi yakin bahwa Gatot memiliki pengetahuan yang sangat minim tentang sejarah PKI.

Terhadap peninjauan ulang terhadap pelajaran sejarah di sekolah secara khusus tentang sejarah pemberontakan G30S/PKI, penghapusan TAP MPRS No. XXV Tahun 1966, penghentian pemutaran film G30S/PKI, menurut Gatot merupakan bagian dari strategi dan taktik dari mereka yang terafiliasi dengan PKI yang ia sebut sebagai rangkaian kebangkitan PKI.

Namun pernyataan Gatot Nurmantyo tersebut segera dibantah oleh Usmad Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, yang juga hadir sebagai narasumber pada acara talk show tersebut. Penjelasan Usmad Hamid tersebut berhasil membuat mantan Panglima TNI tersebut terdiam seribu bahasa.

Bahwa yang memerintahkan pemberhentian pemutaran film G30S/PKI bukanlah PKI, namun Presiden Habibie lewat Menteri Penerangan ketika itu, Yunus Yosfiah. Sebab film tersebut ada yang perlu ditinjau ulang. Dan yang mengajukan pencabutan TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 adalah Gusdur, yang ketika itu menjabat sebagai presiden.

Apakah B.J Habibie yang meninjau ulang buku sejarah sekolah yang dianggap memuat sejarah yang tidak benar, dan yang menghentikan pemutaran film G30S/PKI adalah PKI? Apakah Gusdur yang mencabut TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 adalah PKI yang menjadi dasar bagi diskriminasi bagi begitu banyak orang yang tidak bersalah adalah PKI?

Jika mengacu pada pernyataan awal Gatot Nurmantyo pada acara talk show tersebut, secara jelas bahwa Gatot menuduh B.J Habibie dan Gusdur adalah PKI. Ampun jenderal!!

Sumber: Seword.Com 

Kisah Pedih dari Tragedi G30S PKI: Inilah Sumini, Ketua Gerwani yang Digebuki dan Dicap Bermoral Bejat


Muflika Nur Fuaddah - Minggu, 30 September 2018 | 19:45 WIB

Deborah Sumini

Intisari-Online.com- Kisah pedih ini tidak akan pernah lepas dari benak Ibu Deborah Sumini.

Masih lekat di ingatan Sumini bagaimana dirinya ditahan selama hampir 6,5 tahun hanya karena pernah menjadi Ketua Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) ranting Pati, Jawa Tengah.

Siksaan demi siksaan, stigma, bahkan cemoohan harus dia terima selama mendekam di penjara.

Ia masih tidak memahami apa yang menjadi dosa besar dirinya ketika memutuskan untuk bergabung dengan Gerwani.
"Kami dibilang bejat moralnya. Itu setiap hari yang masih saya dengar. Belum lagi digebuki setiap pemeriksaan," kata Sumini saat ditemui di sela acara "Simposium Membedah Tragedi 1965" di Hotel Aryaduta, Jakarta, tahun 2016 silam sebagaimana dilansir dari Kompas.com.

Sumini menceritakan, ketertarikannya terhadap Gerwani muncul karena melihat program-programnya yang sangat berpihak pada perempuan.
Dulu di Pati, adalah sebuah kewajaran ketika seorang anak perempuan yang masih duduk di kelas II sekolah rakyat dipaksa untuk menikah.

Saat itu, kata Sumini, Gerwani mengeluarkan larangan terhadap praktik perkawinan terhadap anak perempuan yang masih di bawah umur.

Selain itu, Gerwani juga menjadi organisasi perempuan pertama yang merespons ketika pemerintah mencanangkan pemberantasan buta huruf.

Sepulang kerja, Sumini selalu mengajar membaca dan menulis anak-anak di desanya.

Bahkan ketika pada saat itu belum ada taman kanak-kanak, dia bersama teman-temannya di Gerwani berinisiatif untuk membangan TK Melati pertama di Pati.
"Kalau pagi saya kerja. Malam ngajar buta huruf. Lalu saya berhenti kerja, mengajar di TK Melati. Waktu itu belum ada TK, tapi Gerwani sudah membuat TK Melati. Saya ikut karena program-programnya menyentuh hati saya," ungkapnya.
Setelah peristiwa G-30-S meletus, Gerwani menjadi salah satu organisasi kemasyarakatan yang dituduh sebagai sayap PKI.

Mereka pun menjadi sasaran penumpasan.

Sumini dan beberapa temannya ditangkap oleh tentara sekitar tanggal 21 November 1965.

Sumini sempat mendekam selama 5 bulan di penjara Pati, kemudian dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan khusus wanita di Bulu, Jawa Tengah.

Hingga 6,5 tahun ditahan, Sumini tidak pernah diadili.

Saat itu, tutur Sumini, Gerwani difitnah sebagai organisasi sayap Partai Komunis Indonesia dan ikut melakukan aksi kekejaman terhadap 6 jenderal yang ditangkap pada peristiwa G-30-S.

Sumini mengatakan, pada 1965 koran Berita Yudha dari Angkatan Bersenjata mengabarkan ada dua nama anggota Gerwani yang ditangkap, yaitu Jamilah dan Fainah.

Keduanya diberitakan melakukan kekerasan, seperti menyileti dan mencungkil mata para jenderal.

Berita itu memancing amarah masyarakat.

Gerwani menjadi bulan-bulanan.

Pemberangusan terhadap organisasi itu pun dilakukan di bawah pimpinan tentara.

Sumini menyangkal bahwa kedua perempuan itu adalah anggota Gerwani.
Menurut dia, kedua wanita itu adalah pekerja seks komersial yang dipaksa untuk mengaku sebagai anggota Gerwani.

Di dalam penjara Bukit Duri, Jakarta, seorang teman Sumini pernah bertemu dengan Fainah.

Kepadanya, Fainah mengaku dipaksa menari dalam keadaan telanjang di hadapan para jenderal sebelum pembunuhan.

Tarian diiringi lagu "Genjer-Genjer".
"Padahal, setelah diangkat jenazahnya itu, mata mereka semua utuh. Itu dikatakan oleh dokter forensik. Tidak benar kalau Gerwani dilatih untuk mencungkil mata jenderal," ujar Sumini.
Pada umurnya yang sudah semakin tua ini, Sumini hanya berharap Presiden Joko Widodo bisa memberikan rehabilitasi untuk membersihkan namanya dari peristiwa G-30-S.

Sumini mengaku tidak tahan jika harus menerima teror dan stigma sepanjang hidupnya. Setelah dilepaskan dari tahanan, Sumini mengaku selalu mendapat teror dari aparat kemanan.

Hampir setiap hari dia dihubungi oleh pihak kepolisian untuk menanyakan tentang keberadaan Sumini dan apa saja yang akan ia lakukan di luar rumah. Gerak-gerik Sumini selalu diawasi.

Sumini mengungkapkan, beberapa kali dia dan korban tragedi 1965 dilarang oleh pihak berwajib dan kelompok masyarakat tertentu untuk membuat acara pertemuan, meskipun sekadar arisan atau temu kangen.

Sumini mengaku heran kenapa dia harus masih menerima perlakuan seperti itu kendati para korban tragedi 1965 sudah diperlakukan dengan tidak adil setelah G-30-S.
"Saya inginnya nama saya itu dipulihkan kembali. Stigma masih saya rasakan. Kan jokowi dengan Nawacita-nya berjanji akan melindungi seluruh warga negara. Saya ini kan juga warganya, lah kenapa saya ini terus diteror," kata Sumini.
Gerwani dan Kebohongan Orde Baru

Kehadiran sejumlah anggota Gerwani di Lubang Buaya, Jakarta, pada malam 1 Oktober 1965, dikaitkan dengan keterlibatannya dalam peristiwa G30S 1965.

Sejak itu, kampanye fitnah tentang Gerwani mengalir deras.

Gerwani difitnah menyilet kemaluan para Jenderal dan mencungkil matanya.
Tak hanya itu, kehadiran Gerwani di Lubang buaya juga dikaitkan dengan pesta seks bebas dan tarian seksual “Harum Bunga”.

Propaganda fitnah itu awalnya dilancarkan oleh koran-koran milik Angkatan Bersenjata.

Propaganda itu kemudian dipahatkan melalui diorama di museum Lubang Buaya.

Lalu, sejak tahun 1980-an, fitnah itu dikemas melalui film Pengkhianatan G30S/PKI.

Cerita fitnah itu juga diawetkan melalui penulisan buku-buku sejarah versi Orba.

Ini Sejumlah Fakta Gerwani yang dikumpulkan dari berbagai sumber dan dokumen sejarah, seperti dikutip Grid.ID dari Berdikari Online:

1. Pada tahun 1952, Gerwani (pertama kali didirikan bernama Gerwis) aktif dalam memperjuangkan hak-hak kaum tani, seperti di Semarang, Kendal, Tanjung Morawa (Sumut), Brastagi (Sumut), dan lain-lain.
2. Pada tahun 1955, Gerwani (Cat: Gerwis berganti nama menjadi Gerwani di kongres II tahun 1954) aktif memperjuangkan Undang-Undang Perkawinan yang demokratis.
Di DPR, Ketua Umum Gerwani Umi Sardjono menegaskan bahwa perjuangan mengesahkan UU perkawinan harus dipandang sebagai perjuangan melengkapi revolusi nasional.
3. Pada tahun itu juga Gerwani mengadvokasi seorang perempuan bernama Maisuri, yang dipenjara karena menolak kawin paksa dan memilih lari dengan pacarnya.
Gerwani juga mengecam dan mengusut tuntas kasus pembunuhan Attamini, seorang perempuan dari keluarga miskin di Malang, oleh seorang pedagang kaya keturunan Arab.
4. Gerwani paling keras menentang poligami, perkawinan anak-anak, dan pelecehan terhadap perempuan.
Bagi Gerwani, pengertian kemerdekaan nasional sepenuhnya meliputi juga penghapusan terhadap poligami, kawin paksa, pelacuran dan beban kerja ganda.
5. Pada tahun 1957, Gerwani mendukung aktif perjuangan bangsa Indonesia untuk mengusir kolonialisme Belanda di Irian Barat.
Gerwani bahkan mengirimkan anggotanya untuk menjadi sukarelawati untuk pembebasan Irian Barat.
6. Tak hanya itu, Gerwani memobilisasi 15.000 wanita ke Istana Negara, saat peringatan Hari Perempuan Sedunia, 1 Maret 1961, untuk menentang pembentukan negara boneka Papua oleh kolonialis Belanda.
7. Pada tahun 1957, Gerwani aktif mendukung gerakan buruh untuk menasionalisasi perusahaan asing, terutama perusahaan milik Belanda.
Langkah ini sekaligus upaya pemerintahan Bung Karno untuk melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial.
8. Dalam kampanye nasionalisasi terhadap perusahaan minyak Caltex, Gerwani dan SOBSI menggalang pembantu rumah tangga untuk memboikot majikan mereka.
Aksi itu meluas ke restoran dan toko-toko untuk menolak melayani orang asing.
9. Pada tahun 1960-an, Gerwani berkampanye untuk ketersediaan pangan dan sandang bagi rakyat.
Tak hanya itu, gerwani rajin melakukan aksi demonstrasi untuk menentang kenaikan harga bahan pokok. Salah satu demonstrasi besar yang digalang Gerwani untuk menolak kenaikan harga terjadi pada tahun 1960.
10. Bung Karno merespon aksi tersebut dan berjanji menurunkan harga dalam tiga tahun.
11. Di desa-desa, anggota Gerwani giat bekerjasama dengan Barisan Tani Indonesia (BTI) untuk membela dan memperjuangkan hak-hak kaum tani, seperti hak atas tanah, pembagian hasil panen yang adil, dan lain-lain.
12. Gerwani juga menggelar kursus dan pelatihan bagi perempuan tani di desa-desa. Gerwani juga aktif memperjuangkan dilaksanakannya UU Pokok Agraria (UUPA) 1960 dan UU Perjanjian Bagi Hasil (PBH).

30 September 1965: Menjelang G30S 1965 Ahmad Yani Tahu Dirinya akan Diculik

Oleh: Petrik Matanasi - 30 September 2018

Letnan Jenderal Ahmad Yani dan Letnan Kolonel Untung. tirto.id/Sabit
Luput dan lengah. 
Noda sejarah pada 
malam berdarah.
Kalender tanggal 30 September 1965 jatuh pada hari Kamis. Pukul 08.00, Brigadir Jenderal M. Sabur menemui Presiden Sukarno guna menyerahkan sebuah berkas soal pergantian Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad). Kala itu Menpangad dijabat Letnan Jenderal Ahmad Yani. 

Sedari 6 Maret 1962, Yani adalah orang nomor satu di Angkatan Darat. Sukarno kemudian menorehkan tanda tangan dalam rancangan pergantian itu. Surat tersebut lalu diteruskan sekretaris presiden, Yamin.

Orang yang rencananya menggantikan Yani adalah Mayor Jenderal Moersjid. Sama seperti Yani, Moersjid punya darah Bagelen. Ayahnya berasal dari daerah di Purworejo itu dan ibunya berdarah Betawi. Jenderal kelahiran Jakarta, 10 Desember 1924 ini, menurut Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI AD (1989: 208-209), juga pernah dinas di PETA, seperti Yani. Moersjid adalah Shodancho PETA Jakarta. 

Sukarno sudah bertanya ke Moersjid soal kesediaannya pada sore 29 September 1965. Seperti ditulis Anthony C.A. Dake dalam Soekarno File (2005: 31) dan dicatat buku Kronik ’65 (2017: 218) yang disusun Kuncoro Hadi dan kawan-kawan, Moersjid menjawab: “Saya bersedia menerimanya.”

Antara Sugandhi, Sukarno, dan Yani

Tiga jam setelahnya, sekitar pukul 11.00, Brigadir Jenderal Sugandhi, salah satu orang dekat Sukarno, datang menghadap sang presiden. Kala itu Sugandhi adalah anggota DPR-GR. Kepada Sukarno, Gandhi bercerita dirinya telah bertemu dengan D.N. Aidit dan Sudisman. “Keduanya mengajak Sugandhi untuk bergabung dalam aksi melawan Dewan Jenderal,” catat Kuncoro Hadi dan kawan-kawan (2017: 223).

Menurut Victor M. Fic dalam Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi (2005: 110-111), mereka berdua bilang jika Sukarno sudah tahu. Sebagai ajudan presiden, Gandhi hendak mengkonfirmasi soal tindakan terhadap para jenderal ini ke Sukarno. Gandhi tentu bertanya tentang tahu atau tidaknya presiden soal itu. Sukarno dengan nada marah menyuruh agar Gandhi jangan ikut campur. Sukarno menambahkan pula, “Kamu jangan PKI-phobi!”. 

Victor M. Fic menceritakan, Gandhi berusaha menjelaskan bahwa Yani setia kepada presiden. Tapi Sukarno tidak termakan penjelasan Gandhi.

“Sudah! Jangan banyak bicara, jangan ikut-ikut. Kamu tahu dalam revolusi menurut Thomas Carlyle, seorang Bapak dapat memakan anaknya sendiri,” kata Sukarno.

“Waduh, kalau begitu bapak ini sudah jadi PKI,” timpal Gandhi.

“Diam kamu! Tak tempeleng pisan kowe. Sudah sudah pulang sana. Yang ngati-ati,” pesan Sukarno yang berusaha menahan amarah. 

Sugandhi tidak sakit hati dengan omongan Sukarno nan kasar. Itu hal biasa baginya.

Cerita soal pertemuan antara Gandhi dengan Sukarno tak hanya dicatat McFic. Amelia Yani, putri Ahmad Yani, juga mencatat hal yang kurang-lebih sama dalam Ahmad Yani, Sebuah Kenang-kenangan (1981: 299). Setelah siang yang panas bersama Sukarno itu, Gandhi pun berusaha melaporkannya kepada Yani. Ia berusaha secepatnya, namun Yani sulit ditemui. Sugandhi lalu menelepon, tapi Yani sedang menerima kedatangan Mayor Jenderal Basoeki Rachmat.

Menurut Rum Aly dalam Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 (2006), Yani akhirnya hanya bisa bicara lewat telepon. Yani tidak yakin akan penculikan atas dirinya. Dari pembicaraan itu, menurut Gandhi seperti dikutip Rum Aly, "rasa percaya diri Yani masih cukup kuat sepanjang hubungannya dengan Sukarno” (hlm. 118). 

Yani merasa omongan Sudisman dan Aidit yang katanya akan menindak jenderal adalah pancingan belaka.

Yani sendiri pernah mendapat informasi dari Mayor Jenderal Suwondo Parman, asisten intel Menpangad, tentang adanya gerakan pada 19-20 September 1965 yang dimotori PKI. Tapi gerakan itu tidak terjadi. Laporan Gandhi tentu dimentalkan Yani. Meski begitu, Yani berpesan, “kita harus berhati-hati.”

Jelang malam 30 September 1965, tepat hari ini 53 tahun lalu, Yani tidak berusaha menambah jumlah pasukan pengawal untuk dirinya sendiri. 

Pada dini hari 1 Oktober 1965, rumah Yani pun disatroni Pasukan Pasopati, yang jumlahnya cukup untuk melumpuhkan penjagaan di kediamannya. Ketika bertemu pasukan penculik, Yani yang merasa diperlakukan dengan kurang ajar sempat mengadakan perlawanan hingga dia ditembak Sersan Gijadi.

Infografik Mozaik Sebelum Yani diculik

Setelah Tanggal 30 Berakhir

Mayor Jenderal Moersjid, sebelum 30 September, adalah Deputi I (Operasi) Menpangad. Dia dianggap orang nomor dua di Angkatan Darat setelah Yani. Menurut catatan Julius Pour di harian Kompas (24/8/2008), Moersjid yang dicap tukang gelut konon termasuk dalam daftar jenderal yang akan diculik juga. Meski sumber lain menyebut Ahmad Sukendro lah sasaran yang tidak jadi diculik.

Moersjid tak pernah mengisi jabatan Menpangad, meski Ahmad Yani terbunuh dan rencananya pada 6 Oktober 1965 akan ada serah terima jabatan. Dia juga tidak pernah menuntut jabatan yang disodorkan Sukarno itu. Reputasi Moersjid sebagai tukang gelut dinilai membahayakan jika diangkat menggantikan Yani di masa kacau tersebut.

Sukarno sempat menunjuk Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro, jenderal berdarah Bagelen yang lain, untuk menjadi pejabat Menpangad. Niatan Sukarno ini tak pernah terwujud. Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto yang kemudian menjadi nomor satu di Angkatan Darat.

Baik Moersjid maupun Pranoto belakangan jadi tahanan. Karier mereka mati, hanya sampai mayor jenderal. Moersjid sempat dijadikan Wakil Menteri Koordinator Pertahanan sebelum ditahan selama empat tahun tanpa kejelasan. Moersjid pernah juga dijadikan Duta Besar Indonesia untuk Filipina sebelum namanya rusak.

Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan

Yani merasa omongan Sudisman dan Aidit yang katanya akan menindak jenderal adalah pancinganSumber: Tirto.Id 

Kisah 2 Penyerang Legendaris Timnas Indonesia yang Maju Menjadi Caleg dari Kubu PKI

Afif Khoirul M - Minggu, 30 September 2018 | 17:15 WIB

Timnas Indonesia di Piala Dunia

Intisari-online.com - Tepat 53 tahun lalu pada hari ini sebuah pergerakan yang disebut dengan G 30 S PKI terjadi.

Tepatnya pada 30 September 2018 silam, kala itu sebuah revolusi berdarah dilakukan oleh sekelompok partai yang mengatasanamakan diri sebagai Partai Komunis Indonesia (PKI).

Beberapa orang menjadi sasaran penumpasan PKI, mereka menculik beberapa jenderal, lalu membunuhnya.

Akibat pemberontakan tersebut, kedaulatan negara menjadi terancam, alhasil segala upaya dikerahkan untuk menumpas G 30S PKI.

Namun, jauh sebelum penumpasan atas PKI, sejatinya partai ini adalah salah satu partai yang besar dan cukup berpengaruh di Indonesia.
Menurut catatan sejarah anggota PKI di Indonesia kurang lebih sekitar 3 juta orang pada tahun 1960-an.

Bahkan nama-nama kondang waktu itu juga masuk dalam jajaran partai ideologi sayap kiri ini, baik dari golongan intelektual maupun rakyat biasa.
Partai ini berhasil menarik simpati kaum buruh, dan uniknya sebuah catatan sejarah menyebut ada pemain sepak bola Indonesia yang masuk dalam PKI.

Hal itu mengacu pada masa kejayaan sepak bola Indonesia, Ir Soekarno sempat menyebut sepak bola Indonesia sebagai 'alat revolusi', kalimat itu pula yang juga diamini oleh PKI.

Sebagaimana sepak bola menjadi alat pemersatu, ia juga dijadikan alat politik untuk menambah daya tarik masyarakat.

Misalnya dalam catatan sejarah, ada dua nama penyerang legendaris timnas Indonesia yang menjadi caleg dari kubu PKI.

Dua nama yang dimaksud adalah, Ramlan dan Endang 'Si Kuda Terbang' Witarsa, saat itu mereka didapuk penjadi caleg dari PKI saat pemilu tahun 1955.

Meski demikian, banyak yang menyebut dua nama ini hanya dijadikan alat oleh PKI untuk menarik simpatisan rakyat kala itu.
Nama, Ramlan memang begitu tersohor sebab ia menjadi kapten timnas Indonesia sedang nama Witarsa adalah pemain muda yang cukup bersinar kala itu.

Dengan menggandeng dua nama tersebut, terbukti cukup ampuh bagi PKI, bahkan menurut catatan mereka berhasil menarik banyak simpatisan dalam pemilu 1955.

Kisah lain, adalah ketika PKI mengundang pemain asal Rusia, Lokomotiv Moskow untuk bertanding di Indonesia.

Saat itu Lokomotiv Moskow adalah tim yang di isi oleh para buruh kereta api Uni Soviet, mereka bertanding dengan tim-tim besar Indonesua macam, Persija Jakarta PSMS Medan, dan Persebaya Surabaya.

Kisah Para Penyintas G30S 1965: Sulit Dapat Kerja Hingga Batal Menikah Lantaran Dituduh PKI


Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Erlina Fury Santika
Minggu, 30 September 2018 16:38
Penulis: Erlina Fury Santika
Editor: Muhammad Zulfikar

Kegiatan para penyintas G30S 1965 di Gereja Komunitas Anugerah Reformed Baptist.

TRIBUNJAKARTA.COM - Setiap tanggal 30 September, bangsa Indonesia tak pernah lupa akan kejadian 53 tahun silam.

Peristiwa pembantaian massal, yang disebut Gerakan 30 September (G30S) pada tahun 1965 itu menyisakan trauma terhadap beberapa orang.

Suarbudaya Andi Rahadian, seorang pendeta dari Gereja Komunitas Anugerah Reformed Baptist merupakan satu dari sebagian orang yang membantu rekan-rekan terdampak G30S.

Suar mengatakan, gerejanya sudah mulai melakukan pendampingan kepada rekan-rekan terdampak atau penyintas peristiwa tahun 1965 sejak tahun 2013 silam.

Para penyintas adalah mereka yang dahulu ditangkap dan dijadikan tahanan lantaran diduga terhubung dengan kelompok yang dicurigai menjadi penggerak peristiwa tersebut, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI).

Terkait pendampingan itu, Suar menjelaskan pihaknya kerap mengunjungi para penyintas dan melakukan pengecekan kesehatan.
Suar menjelaskan, rata-rata usia para penyintas kini 70 tahun.

Selain melakukan kunjungan dan pengecekan kesehatan, Suar dan rekan-rekan gereja juga mengambil cerita, data, foto kegiatan-kegiatan mereka di masa lalu, selama di tahanan.
"Dokumentasinya kami kumpulkan untuk kami tabulasikan sebagai bank data kisah-kisah para penyintas '65," jelas Suar saat dihubungi TribunJakarta.com, Minggu (30/9/2018).

Lebih lanjut, Suar menceritakan kisah-kisah para penyintas.
Suar menjelaskan, bahwa rata-rata penyintas justru bukan dari orang yang terlibat langsung pembantaian massal itu.

Satu di antara penyintas G30S 1965 wafat dan dimakamkan (Dokumen pribadi Suarbudaya Andi Rahadian)



Beberapa penyintas, lanjutnya, ada yang ditangkap hanya karena menonton pertunjukkan seni ataupun tergabung di kelompok musik.
 "Kebanyakan dari mereka dituduh. Ada yang cuma datang ke acara pertunjukkan musik yang kebetulan diselenggarakan oleh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Orang yang datang ke pertunjukkan itu ditangkap," terang Suar.
"Ada yang cuma ikut jadi anggota drum band, yang kebetulan terkait dengan Pemuda Rakyat. Pemuda Rakyat itu bukan PKI. Itu cuma dekat dengan PKI," sambungnya 
Para penyintas itu ditahan dan dicabut hak sipilnya selama orde baru.
Padahal menurut Suar para penyintas itu bukanlah narapidana.
"Mereka ditangkap (dan dipenjara) di Pulau Buru belasan tahun, dicabut hak-hak sipilnya, disiksa, dipenjara, dan sebagainya. Jadi mungkin ada puluhan ribu orang yang tidak terkait dengan PKI," terangnya.
"Mereka bukan narapidana. Mereka kan nggak pernah diadili. Orang yang disebut narapidana kan yang sudah divonis bersalah dan menjalani hukuman. Dan orang-orang ini tidak tepat disebut napol atau narapidana politik karena puluhan tahun tidak pernah mendapat keputusan pengadilan," jelasnya 
"Orang-orang ini kebanyakan tidak ada hubungannya dengan PKI sama sekali," tegasnya.
Suar menerangkan, selama masa hidup para penyintas dan keluarga besar penyintas kerap mendapat stigma negatif dari masyarakat.

Tak hanya itu, mereka juga diminta melapor dan kartu identitasnya (KTP) ditandai sebagai tahanan politik usai lepas dari tahanan pada masa orde baru.

Namun sejak reformasi, pelaporan itu sudah tidak dilakukan lagi.
"Bahkan selama bulan September itu biasanya setiap minggu harus laporan, itu berpuluh-puluh tahun terjadi," jelasnya.
"Dari tahun 1968 atau sejak tahun dimana mereka dilepaskan dari tahanan, mereka dikenakAn wajib lapor. KTPnya dulu ditandai sebagai tahanan politik," terang Suar.
"Di era reformasi sudah tidak seperti itu. Tapi di awal reformasi 1999-2000 masih ada begitu," tambahnya.
Akibat dari pelaporan dan pembedaan identitas itu, Suar menjelaskan para penyintas dulunya kerap mengalami kesulitan mencari kerja, melanjutkan kuliah, bahkan ada yang batal menikah.

Sebab, lanjutnya, banyak yang menolak jika berurusan dengan orang-orang yang dianggap tahanan politik.
"Mereka sulit mendapatkan pekerjaan dan melanjutkan studi karena stigma dari kampus. Bahkan ketika mau menikah, calon istri atau suami, dan calon keluarganya menolak karena mereka dianggap keturunan tahanan politik," jelasnya
Seiring waktu, para penyintas bangkit dari keterpurukan dengan berbagai macam strategi.
Beberapa di antaranya, terang Suar, ada yang mendapatkan kepercayaan diri, mengganti identitas dan pindah ke luar kota.

Para penyintas itu tak jarang juga merekayasa cerita hidupnya agar bisa diterima masyarakat sekitarnya.
"Ada yang mereka mendapatkan kepercayaan diri kembali, dilayani oleh gereja. Di Indonesia ada banyak komunitas gereja yang diam-diam menangani kelompok penyintas 65," terang Suar
"Ada juga yang pindah kota, pindah tempat tinggal, mengganti identitas sehingga latar belakangnya tidak ketahuan. Supaya tidak terlacak masa lalunya," jelasnya.

"Mereka ada juga yang mengarang cerita hidup baru. Sehingga masyarakat tahunya latar belakangnya apa. Padahal sesungguhnya mereka pernah ditahan karena dikait-kaitkan dengan kasus '65," tambahnya.

Masih ada stigma negatif

Suar, yang juga pengurus forum '65, meyakini stigma negatif masih kerap diberikan kepada para penyintas '65.
Ia bahkan menyebut pemberian stigma negatif era sekarang lebih kuat.
"Stigma kepada penyintas '65 itu semakin kuat hari-hari ini karena ide tentang kebangkitan PKI dihembus-hembuskan," terangnya.
Iapun mengambil contoh pengepungan di kantor LBH Jakarta setahun silam.
Pada saat itu para penyintas 65 berkumpul mengadakan reunian.
Saat reuni diadakan, sekira 1000 orang berkumpul mengepung LBH Jakarta.
"Pertemuan-pertemuan yang sifatnya reuni di antara penyintas '65 itu dituduh sebagai pertemuan yang bersifat politik dan hubungan dengan kebangkitan PKI, sehingga memancing kemarahan masyarakat dan masyarakat yang tidak tahu apa-apa digiring ke isu itu untuk diserbu," papar Suar.
Hal itulah yang menurut Suar, membuat para penyintas masih trauma hingga saat ini.
Para orang tua itu takut untuk berkumpul lagi.
"Karena takut digrebek, takut dituduh macam-macam. Apalagi pasca-peristiwa LBH Jakarta," ungkapnya.
"Jadi saya rasa, orang-orang tua ini pada masa tuanya bukannya mendapatkan rehabilitasi, apalagi perlakuan yang baik, justru malah makin mendapat stigma," tambahnya.

Suar meyakini peristiwa 1965 menyisakan luka yang belum sembuh.
Masyarakat, lanjut Fuad, harus diberikan edukasi terkait peristiwa 1965 itu.
"Jadi jelas, luka itu belum sembuh. Bangsa ini punya PR untuk menyelesaikan problem di masa lalu," ucap Suar.
"Ini perlu upaya membuka kebenaran. Sebenarnya apa yang terjadi tahun 1965-1966 pada generasi muda. Dan hoaks-hoaks kebangkitan PKI itu jelas harus diluruskan oleh media massa. Karena itu memang berpotensi menimbulkan konflik horizontal," tandasnya.

Video: Sejarah Penumpasan PKI di Sungai Pemali Brebes

Irsyam Faiz - 30 September 2018


Berikut penuturan Sejarawan Brebes Wijanarto:

Di Kabupaten Brebes, terdapat beberapa tempat bersejarah yang merupakan saksi bisu penumpasan PKI. Salah satunya di Jembatan Pemali Gantung yang berada di Desa Wanacala, Kecamatan Songgom Kabupaten Brebes.

Jembatan yang saat ini dilewati pengendara, merupakan bangunan baru. Sedangkan puing jembatan lama yang menjadi saksi bisu berada di sebelah selatan jembatan baru. 

Diperkirakan, jembatan lama yang opritnya sudah amblas tergerus arus sungai itu didirikan sekitar tahun 1930-an.

BerikUt penuturan Sejarawan Brebes Wijanarto:




Penangkapan Pengguna Kaos Palu Arit dan Hoaks yang Dipelihara

Winda | September 30th, 2018

Sumber foto: Groupon.com

Di tengah-tengah usaha pemerintah membahas hoaks, ternyata ada beberapa sejarah dan ilmu yang masih enggan untuk dibuktikan kebenarannya. Contohnya saja pelarangan faham komunisme. Dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementera (MPRS) RI, ideologi Marxisme-Leninisme ini dilarang karena ajarannya dianggap bertentangan dengan Pancasila.
Ketetapan yang diputuskan pada 1966 itu membuat segala hal berbau komunisme menjadi haram hukumnya. Bahkan larangan itu juga termasuk kepada pemakai kaos bergambar palu arit, sebab merupakan simbol komunis.

Kasus Penangkapan Hanya Karena Kaos Bergambar Palu Arit

Maret 2018 lalu, perempuan bernama Masyita harus berurusan dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) lantaran mengenakan kaos merah bergambar palu arit saat belanja di tempat pelelangan ikan Kelurahan Lappa, Kecamatan Sinjai Utara, Sinjai, Sulawesi Selatan. Setelah diinterogasi petugas, barulah diketahui bahwa Masyita yang berumur 37 tahun itu mendapatkan kaos tersebut dari Malaysia saat dirinya bekerja sebagai TKW. Masyita kemudian diinterogasi dan ditanyai mengenai alasan dia menggunakan baju bergambar lambang Partai Komunis itu. 
"Kita bawa dia untuk interogasi," ungkapnya.
Sesudah diinterogasi, warga Desa Lamatti Riawang, Kecamatan Bulupoddo, Kabuapaten Sinjai itu mengaku kalau dia tidak mengetahui bahwa baju tersebut dilarang untuk digunakan. Ia mengaku tidak mengetahui arti kaos tersebut, bahkan tidak tahu menahu soal larangan terkait pemakaian kaos bergambar palu arit. Namun pengakuannya itu tak cukup, ia bahkan dijemput oleh Unit Intelijen Kodim 1424 Sinjai untuk dilakukan interogasi ulang
Tahun sebelumnya, seorang pemuda asal Wonosobo, berinisial AZN juga pernah berurusan dengan anggota TNI karena sebuah kaos. Sama dengan Masyita, AZN juga tidak mengetahui bahwa lambang persatuan palu arit itu dilarang di Indonesia.

Arti  Lambang Palu Arit dan Hoaks yang Dipelihara

Palu arit adalah sebuah lambang yang lahir ketika pecah revolusi Bolshevik, tahun 1917, kala itu Russia dipimpin oleh Vladimir Lenin. Palu sendiri melambangkan buruh, dan arit melambangkan petani. Jadi, pada saat itu, petani dan buruh bersatu untuk menggulingkan kekaisaran yang sudah bercokol di Russia selama ratusan tahun.
Uniknya, saat ini Indonesia seakan ketakutan hanya dengan melihat gambar itu bertengger di sebuah kaos. Hal ini tentu  berkaitan dengan negara Indonesia yang tiap tahunnya dicekokin film pengkhianatan G30 SPKI. Begitu juga dengan buku-buku sejarah yang menceritakan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) saat itu sangat kejam. Mereka diisukan menyiksa para jenderal dengan sangat keji, seperti disayat, dipotong kemaluannya, dan dicongkel matanya.
Hal itu diungkapkan oleh kabar berita milik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yaitu harian Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha yang pertamakali melayangkan tudingan "penyiksaan barabarik" terhadap para jendral korban kudeta PKI. Bahkan Presiden Suharto yang saat itu memimpin Indonesia membenarkan membenarkan adanya "indikasi penyiksaan" di tubuh korban.
Nyatanya, hasil otopsi berkata lain. Selama delapan jam tim forensik yang dipimpin Dr. Roebiono Kertopati dan Dr. Sutomo Tjokronegoro bekerja hingga dini hari buat mengungkap penyebab kematian ketujuh jendral pahlawan revolusi. Otopsi itu sendiri dilakukan atas perintah Soeharto sendiri, ternyata hasilnya tidak sesuai dengan keinginan dan jejaknya pun dihilangkan.
Namun hasil otopsi itu ditemukan lagi oleh sejahrawan Cornell University, Amerika Serikat, Ben Anderson.  Ia mengungkapkan bahwa tidak ada indikasi penyiksaan seperti pencongkelan mata, pemotongan alat kelamin, dan lain halnya seperti yang digembar-gemborkan pemerintah orde baru kala itu.
Bukti itu sama dengan pengakuan Hendro  Subroto, wartawan yang menjadi saksi sejarah Gerakan 20 September 1965. Dalam wawancara yang dimuat di majalah Tempo edisi 11 Maret 2001, Hendro mengaku, saat menjadi juru  kamera TVRI, ia menjadi saksi karena bertugas mengabadikan momen pengangkatan enam jenazah jenderal.
"Tubuh para jenderal itu tidak disayat-sayat. Dari jarak itu, saya tidak melihat adanya bekas-bekas penyiksaan. Alat kelamin jenderal ini tidak dipotong dan disayat-sayat. Coba Anda lihat. Masih utuh, kan?” ujar Hendro, dinukil dari majalah Tempo edisi Maret 2001.
Ia mengaku hasil liputannya itu banyak dibumbui serpihan dramatisir, dan mirisnya liputan itu terus disiarkan di TVRI selama tiga hari berturut-turut, dengan teks berita untuk menggambarkan pembunuhan yang dilakukan dengan cara yang keji. Hasilnya dari liputan tersebut, membuat amarah rakyat membuncah, dilakukannya pembantaian dan persekusi puluhan tahun kepada orang-orang PKI. Hingga kini pun, ketakutan itu  masih melakat di hati sebagian masyarakat Indonesia, dan masih menjadi propaganda elite politik.
Padahal, komunisme sendiri adalah faham tentang aturan sosial-ekonomi, yang cita-citanya menghilangkan kelas sosial dengan membentuk kepemilikan bersama. Oleh sebab itu, tidak semua komunis adalah orang PKI. Sayangnya, hal ini yang tidak banyak diketahui masyakarat Indonesia, sebab adanya larangan rancu yang dibuat pada 52 tahun silam, alias Tap MPRS No.25 1966.
Sumber: Asumsi.Co 

Jejak PKI di Kaltim: Dipimpin Bangsawan Kutai Keturunan Arab, Ikut Menasionalisasi Shell


Oleh: Fel GM - 30 September 2018
  
Ilustrasi: Fel GM (kaltimkece.id)

Figur pemimpin Partai Komunis Indonesia di Kaltim adalah anomali. Seorang putra bangsawan keturunan Arab. 

Kongres nasional partai sudah memasuki hari-hari terakhir ketika Sayid Fachrul Barakbah mendapat kesempatan berdiri di podium. Kurang lebih setengah jam, Sekretaris Committee Daerah Besar (setara dewan pengurus provinsi) Partai Komunis Indonesia Kalimantan Timur itu membaca naskah pidato. Orasinya disimak dengan saksama oleh seluruh peserta Kongres Nasional VI PKI di Jakarta, 7-14 September 1959.

“Kalimantan Timur adalah daerah yang sangat luas tetapi penduduknya tipis dan terbelakang. […] Jadi dalam tiap-tiap kilometer persegi (wilayah provinsi), hanya 2-3 penduduk. Kekayaan alamnya sangat besar namun belum dipergunakan secara maksimal untuk kemakmuran rakyat,” ucap Fachrul Barakbah membuka orasinya (Bintang Merah Nomor Special Jilid II, Dokumen-Dokumen Kongres Nasional Ke-VI Partai Komunis Indonesia, 1959). 

Fachrul Barakbah adalah pemuda Kaltim yang baru berusia 34 tahun ketika tampil di depan ketua Committee Central PKI Dipa Nusantara Aidit. Saat itu, Aidit hanya dua tahun lebih tua darinya. Dalam pidato, Fachrul menyatakan bahwa sebagian besar undang-undang pengambilalihan perusahaan asing peninggalan kolonial Belanda telah dibentuk.
Begitu pula penetapan undang-undang otonomi daerah dan pencabutan penanaman modal asing. Namun, dia menilai, pelaksanaan aturan tersebut belum memuaskan. 

“Kawan-kawan, perjuangan rakyat Kalimantan Timur, yang karenanya, masih memberikan kemungkinan bagi kaum feodal dan kaum anti-demokrasi lainnya untuk dapat memperpanjang kekuasaan feodal atau swapraja yang sudah dibenci rakyat,” seru Fachrul diiringi tepuk tangan yang membahana. 

Seturut doktrin sosialis-komunis, PKI seringkali menyorong paham tentang masyarakat tanpa kelas. Kampanye penghapusan sistem feodal seperti kesultanan di daerah-daerah terus digalakkan PKI. Tak luput pula, penentangan kapitalis yang disebut berwujud dalam perusahaan asing peninggalan kolonial Belanda. 

Dalam kesempatan orasi berikutnya, DN Aidit selaku ketua umum partai memberikan tanggapan. Bagi rakyat Indonesia, “Langit pagi sudah memerah tanda hari bahagia akan tiba,” katanya. Sementara untuk kelompok feodal dan kapitalis, Aidit menyatakan, “Benar pula kata Kawan Fachrul dari Kalimantan Timur. Hari sudah hampir magrib bagi kaum reaksioner.” 

Selepas kongres, Fachrul dipilih menjadi ketua CDB PKI Kaltim. Di bawah kepemimpinannya, partai komunis di Bumi Etam mengambil hati kaum buruh, selaras dengan napas pergerakan partai. Melalui perahu PKI, Fachrul menduduki jabatan wakil ketua DPRD Kaltim. 

Bangsawan Kutai

Kebencian Fachrul Barakbah kepada kaum feodal adalah hal yang unik. Sama tak lazimnya dengan pilihan ideologi kiri yang dianut keturunan Arab seperti dirinya. Bagaimanapun, nama ayahnya yaitu Sayid Barakbah adalah nama keluarga yang banyak dipakai orang-orang dari Hadramaut, Yaman. Dari sanalah nenek moyang Fachrul berasal.

Imigran dari Yaman mulai berdatangan pada awal abad ke-19 seiring beroperasinya kapal uap. Pemerintah kolonial Belanda menempatkan mereka di kota-kota besar di Pulau Jawa (Saudagar Baghdad dari Betawi, hlm 24). Selain berdagang, sebagian imigran tersebut ikut dalam politik. Sebagian dari mereka merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW.
Masyarakat Indonesia menempatkan mereka di kelas sosial yang tinggi, termasuk oleh para sultan. Mereka pun diberi gelar bangsawan. 

Di Kesultanan Kutai, ayah Fachrul yaitu Sayid Barakbah meniti karier pemerintah. Sayid Barakbah memiliki tiga orang putra. Yang sulung bernama Sayid Mochsen Barakbah, bergelar Aji Raden. Mochsen bekerja sebagai penjawat di Kesultanan Kutai sebelum bergabung dengan Partai Nasional Indonesia ketika Indonesia merdeka. Dia menjadi penasihat utama Gubernur Abdoel Moeis Hassan, tokoh yang separtai dengannya (East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy, 2010, hlm 96). 

Putra Sayid Barakbah yang kedua bernama Sayid Gasyim Barakbah. Gasyim adalah tokoh Nahdlatul Ulama di Kaltim. Dia menjadi anggota parlemen melalui Partai NU. Selain itu, Gasyim dikenal sebagai penasihat agama Jos Sutomo, sekarang pemilik jaringan Hotel Senyiur (hlm 90).
Fachrul adalah anak laki-laki terakhir. Berbeda dengan bangasawan Kutai keturunan Arab seperti kedua kakaknya, dia memilih jalan yang jauh menyimpang. Fachrul menganut ideologi kiri yang sangat menentang sistem feodal. 

Pejuang Kemerdekaan

Fachrul baru saja lulus dari Hollandsch-Inlandsche School Tenggarong yang setara SMA ketika Jepang menduduki Indonesia. Dia segera memimpin perang gerilya di Samarinda pada akhir 1945. Ketika Jepang takluk dan Belanda kembali ke bumi pertiwi, Fachrul terpaksa melarikan diri dengan perahu ke Jawa Timur (hlm 91). 

Dalam disertasinya di Universitas Cornell, Amerika Serikat, Burhan Magenda menulis bahwa Fachrul bergabung dengan Laskar Pesindo di Jawa Timur. Dia dikirim ke markas pergerakan di Jogjakarta pada 1947. Di sana, Fachrul kemudian menjadi kader Front Demokrasi Rakyat atau FDR pada 1948. FDR sangat lekat dengan ideologi sosialis-komunis karena merupakan gabungan partai-partai kiri, termasuk PKI. Organisasi ini terlibat dalam pemberontakan Madiun pada 1948. 

Fachrul selamat dari Peristiwa Madiun. Dia kembali ke Samarinda pada awal 1950-an. Di tanah kelahirannya, dia mengorganisasi PKI cabang Kaltim. Fachrul maju sebagai anggota parlemen daerah. Pada Pemilu 1955, di bawah kepimpinannya, PKI meraih 8.209 suara dan menempati posisi keenam. Partai Nasional Indonesia adalah pemenangnya waktu itu sebagaimana tercatat dalam Pemilu Indonesia Dalam Angka dan Fakta Tahun 1955-1999 (2000). 

Nasionalisasi Shell

Kekuatan utama PKI di Kaltim adalah kaum buruh minyak. PKI mendirikan Persatuan Buruh Minyak (Perbum) sebagai underbow partai. Posisi PKI semakin kuat setelah kedatangan Kolonel Suhario atau Hario Kecik sebagai panglima Daerah Militer VI/Mulawarman. Suhario didaulat sebagai pimpinan Front Nasional, sebuah lembaga yang diciptakan pada 15 April 1961 oleh Presiden Sukarno. Front Nasional merupakan bagian dari struktur Demokrasi Terpimpin. Keanggotaannya didominasi pejuang angkatan 45 (East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy, 2010, hlm 56).

Bersama-sama pejuang 45 dari Kaltim seperti Harun Nafsi dan Fachrul Barakbah, Suhario menjadi pengurus provinsi Front Nasional. Fachrul tentu saja membawa nama PKI Kaltim. Tidak mengherankan karena Suhario disebut bersimpati kepada PKI. Front Nasional makin beraroma komunis ketika Nyonya Sutijo ditunjuk sebagai wakil sekretaris. Nyonya Sutijo adalah pemimpin provinsi organisasi perempuan yang berafiliasi dengan PKI, Gerwani. Hal itu membuat koalisi buruh di Front Nasional terbelah. Bagi kelompok kanan, PKI dianggap sering menyudutkan buruh-buruh muslim. 

Namun demikian, pengaruh Front Nasional --bersama PKI dan Perbum-- amatlah kuat di Balikpapan. Front ini mulai begerak pada 1961. Bermula dari Indonesia yang baru saja memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda karena perebutan Irian Barat. Konstelasi itu membuka peluang merebut Bataafsche Petroleum Maatschappij atau BPM, perusahaan minyak Balikpapan yang dimiliki pemodal Inggris dan Belanda. 

Ketegangan kedua negara membuat Perbum segera bersikap. Organisasi sayap PKI itu memaksa pemerintah mengambil alih saham Belanda di BPM. Ketika seteru kedua negara terus meningkat, orang-orang Belanda di Balikpapan kembali ke negara mereka. Posisi mereka digantikan orang-orang Inggris, Amerika, dan Prancis. BPM kemudian di bawah penguasaan Shell, pemegang saham BPM dari Inggris dan Belanda.

Front Nasional bersitegang lagi dengan Shell. Pada 1963, semangat menasionalisasi perusahaan asing terus menggelora setelah Presiden Soekarno membuka konfrontasi dengan Inggris. Bung Karno waktu itu menolak pendirian Malaysia yang disebut boneka Amerika dan Inggris. Aksi “Ganjang Malaysia” menyeruak di mana-mana (Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa, 2013, hlm 167).


Dari balik Front Nasional dan Perbum, Kolonel Suhario dan Fachrul Barakbah mengatur strategi. Keduanya memang sepaham dalam menentang penanaman modal asing di tanah air. Setelah rangkaian rencana kelar, mereka memboikot orang-orang Inggris yang bekerja untuk Shell di Balikpapan. Sebanyak 5 ribu buruh minyak terlibat pemboikotan. Hampir seluruh pekerja, mulai sopir hingga staf, tidak berbicara kepada orang Inggris. Tidak pula melayani mereka. Perbum juga berinisiatif menciptakan serangkaian teror. Sementara Kolonel Suhario melarang menggunakan bahasa Inggris dan mewajibkan bahasa Indonesia untuk mengawasi seluruh aktivitas orang asing (hlm 168). 

Shell akhirnya berhasil diambil alih koalisi buruh yang didominasi Perbum. Aset perusahaan dikuasai dengan dalih menyelamatkan produksi minyak demi kepentingan nasional. Organisasi buruh juga menguasai Sifo, toko serba ada milik Shell di Balikpapan. Para buruh menyatakan, menunggu kebijakan Presiden Soekarno. Kelak, pemerintah Indonesia menasionalisasi Shell. Namanya sekarang menjadi Pertamina. 

Dua tahun kemudian, kekuatan PKI, Perbum, dan Front Nasional mulai pudar. Kolonel Suhario yang memiliki kedekatan dengan Presiden Soekarno disekolahkan ke Uni Soviet. Sementara di Jakarta dan Jogjakarta, peristiwa 30 September 1965, hari ini tepat 53 tahun lalu, mengubah segalanya. Penculikan para jenderal angkatan darat berujung dengan pembersihan seluruh petinggi PKI berikut organisasi sayap partai. Dibersihkan sebersih-bersihnya oleh pemerintahan Orde Baru. Tak terkecuali Sayid Fachrul Barakbah. Karier politiknya berakhir setelah ditangkap militer. 

(*)

Senarai Kepustakaan

·         Bintang Merah Nomor Special Jilid II, 1960 (Majalah). Dokumen-Dokumen Kongres Nasional Ke-VI Partai Komunis Indonesia, 7-14 September 1959. Jakarta: Yayasan Pembaruan. 
·         Biro Humas Komisi Pemilihan Umum, 2000. Pemilu Indonesia Dalam Angka dan Fakta Tahun 1955-1999. 
·         Erman, Erwiza, dan Saptari, Ratna (editor), 2013. Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
·         Magenda, Burhan Djabier, 2010. East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy, Jakarta: Equinox Publishing. 
·         Shahab, Alwi, 2004. Saudagar Baghdad dari Betawi, Jakarta: Penerbit Republika.