Sabtu, 22 September 2018

Penulis Trilogi Primadosa Wimanjaya Liotohe Berpulang

22 September 2018 | Penulis: Rendy Saselah



SANGIHE, BARTA1—Tokoh reformator Indonesia Wimanjaya Keeper Liotohe meninggal dunia pada usia 85 tahun, Kamis (20/9/2018). Beberapa kerabat mengabarkan berita duka itu di antaranya Paulina Saselah bahwa Wimanjaya mengembuskan nafas terakhir di RS Cikini pada pukul 05.00 WIB.
“Berita Duka, telah meninggal dunia saudara kita Bapak Kiper Liotohe (Bung Memi) hari ini jam 05.00 Wib dan Jenazah sekarang disemayamkan di Rumah Duka RS Cikini, Nanti malam jam 19.00 ada ibadah penghiburan,” tulis Paulina Saselah melalui akun media sosialnya, Kamis,
Rencananya jenazah Liotohe akan dimakamkan hari sabtu, 22 September 2018, karena masih menunggu kerabatnya datang dari Sulawesi Utara. Ungkapan dukapun datang dari berbagai kalangan, di antaranya Sovian Lawendatu, Budayawan Sulawesi Utara.
“Turut berdukacita atas wafatnya Pdt Prof Dr. Wimanjaya Keeper Liotohe, sang Ungke yang menggurat ketokohannya sebagai Perintis Reformasi Indonesia, dengan keberaniannya menggugat rezim Orba Soeharto di Mahkamah Internasional melalui bukunya Primadosa pada tahun 1994. Kiranya Keluarga yang ditinggal diberi kekuatan dan penghiburan,” ungkap Lawendatu.
Situs ensiklopedi wikipedia mencatat, Wimanjaya lahir di Kepulauan Sangihe 9 Mei 1933. Ayahnya bernama Anton Liotohe, yang juga tercatat sebagai pejuang merah putih Sangihe-Talaud.
Ia adalah sosok pendobrak rezim Orde Baru. Terutama membongkar skandal kejahatan Soeharto dan kroni-kroninya. Menariknya, gerakan menentang rezim Soeharto itu justru dikumandangkannya ketika Soeharto masih langgeng menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.
Beberapa kali Liotohe dimasukan paksa ke penjara. Tahun 1994, Wimanjaya menerbitkan buku berjudul “Primadosa” Wimanjaya dan Rakyat Menggugat Imperium Soeharto, kemudian ia juga menerbitkan “Primadusta” Daftar Kebohongan Soeharto dan “Primaduka” membahas pembantaian manusia oleh rezim Orde Baru.
Akibat penerbitan bukunya itu, ia diinterogasi polisi pada 13 April 1994, kemudian ditahan dan penerbitan buku-bukunya dilarang. Meski bukunya dilarang cetak dan juga tak ada penerbit yang berani mecetaknya di waktu itu, ia memperbanyak bukunya dengan menggunakan mesin fotocopy.
Tak seberapa lama bebas, ia kemudian ditahan kembali akibat mendeklarasikan diri sebagai Calon Wakil Presiden RI (Cawapres) pada pemilu 1997.
“Pada 1 April 1998 saya divonis bebas murni tidak bersalah oleh PN Jaksel setelah 22 kali sidang lalu ikut bersama mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR selama 3 hari 3 malam melengsengerkankeprabon sang diktator pada 21 Mei 1998,” tulis Wiman dalam daftar riwayat hidupnya, via detik.com.
Pada 2001 Presiden Abdurrahman Wahid memberikan kepadanya amnesti dan abolisi, melalui Keppres R.I. No. 88/2001.
Tahun 2016 Wimanjaya memenangkan perkaranya dengan menggugat pemerintah atas kejahatan masa lalu rezim orba yang menimpa dirinya dan keluarga.
“Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Jaksel) memutuskan Presiden Soeharto melakukan abuse of power terhadap Wimanjaya sehingga negara wajib memberikan ganti rugi Rp 1 miliar kepadanya,” ulas detik.
Wimanjaya menerima Rp1 Miliar dari pihak tergugat akibat kejahatan HAM yang pernah dialaminya di masa lalu. Dengan uang tersebut, Wimanjaya berencana membangun sekolah internasional di Kepulauan Sangihe, kutip Mata Nadjwa edisi 10 Februari 2016. (*)
Sumber: Barta1.Com 

0 komentar:

Posting Komentar