Minggu, 30 September 2018

Jejak PKI di Kaltim: Dipimpin Bangsawan Kutai Keturunan Arab, Ikut Menasionalisasi Shell


Oleh: Fel GM - 30 September 2018
  
Ilustrasi: Fel GM (kaltimkece.id)

Figur pemimpin Partai Komunis Indonesia di Kaltim adalah anomali. Seorang putra bangsawan keturunan Arab. 

Kongres nasional partai sudah memasuki hari-hari terakhir ketika Sayid Fachrul Barakbah mendapat kesempatan berdiri di podium. Kurang lebih setengah jam, Sekretaris Committee Daerah Besar (setara dewan pengurus provinsi) Partai Komunis Indonesia Kalimantan Timur itu membaca naskah pidato. Orasinya disimak dengan saksama oleh seluruh peserta Kongres Nasional VI PKI di Jakarta, 7-14 September 1959.

“Kalimantan Timur adalah daerah yang sangat luas tetapi penduduknya tipis dan terbelakang. […] Jadi dalam tiap-tiap kilometer persegi (wilayah provinsi), hanya 2-3 penduduk. Kekayaan alamnya sangat besar namun belum dipergunakan secara maksimal untuk kemakmuran rakyat,” ucap Fachrul Barakbah membuka orasinya (Bintang Merah Nomor Special Jilid II, Dokumen-Dokumen Kongres Nasional Ke-VI Partai Komunis Indonesia, 1959). 

Fachrul Barakbah adalah pemuda Kaltim yang baru berusia 34 tahun ketika tampil di depan ketua Committee Central PKI Dipa Nusantara Aidit. Saat itu, Aidit hanya dua tahun lebih tua darinya. Dalam pidato, Fachrul menyatakan bahwa sebagian besar undang-undang pengambilalihan perusahaan asing peninggalan kolonial Belanda telah dibentuk.
Begitu pula penetapan undang-undang otonomi daerah dan pencabutan penanaman modal asing. Namun, dia menilai, pelaksanaan aturan tersebut belum memuaskan. 

“Kawan-kawan, perjuangan rakyat Kalimantan Timur, yang karenanya, masih memberikan kemungkinan bagi kaum feodal dan kaum anti-demokrasi lainnya untuk dapat memperpanjang kekuasaan feodal atau swapraja yang sudah dibenci rakyat,” seru Fachrul diiringi tepuk tangan yang membahana. 

Seturut doktrin sosialis-komunis, PKI seringkali menyorong paham tentang masyarakat tanpa kelas. Kampanye penghapusan sistem feodal seperti kesultanan di daerah-daerah terus digalakkan PKI. Tak luput pula, penentangan kapitalis yang disebut berwujud dalam perusahaan asing peninggalan kolonial Belanda. 

Dalam kesempatan orasi berikutnya, DN Aidit selaku ketua umum partai memberikan tanggapan. Bagi rakyat Indonesia, “Langit pagi sudah memerah tanda hari bahagia akan tiba,” katanya. Sementara untuk kelompok feodal dan kapitalis, Aidit menyatakan, “Benar pula kata Kawan Fachrul dari Kalimantan Timur. Hari sudah hampir magrib bagi kaum reaksioner.” 

Selepas kongres, Fachrul dipilih menjadi ketua CDB PKI Kaltim. Di bawah kepemimpinannya, partai komunis di Bumi Etam mengambil hati kaum buruh, selaras dengan napas pergerakan partai. Melalui perahu PKI, Fachrul menduduki jabatan wakil ketua DPRD Kaltim. 

Bangsawan Kutai

Kebencian Fachrul Barakbah kepada kaum feodal adalah hal yang unik. Sama tak lazimnya dengan pilihan ideologi kiri yang dianut keturunan Arab seperti dirinya. Bagaimanapun, nama ayahnya yaitu Sayid Barakbah adalah nama keluarga yang banyak dipakai orang-orang dari Hadramaut, Yaman. Dari sanalah nenek moyang Fachrul berasal.

Imigran dari Yaman mulai berdatangan pada awal abad ke-19 seiring beroperasinya kapal uap. Pemerintah kolonial Belanda menempatkan mereka di kota-kota besar di Pulau Jawa (Saudagar Baghdad dari Betawi, hlm 24). Selain berdagang, sebagian imigran tersebut ikut dalam politik. Sebagian dari mereka merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW.
Masyarakat Indonesia menempatkan mereka di kelas sosial yang tinggi, termasuk oleh para sultan. Mereka pun diberi gelar bangsawan. 

Di Kesultanan Kutai, ayah Fachrul yaitu Sayid Barakbah meniti karier pemerintah. Sayid Barakbah memiliki tiga orang putra. Yang sulung bernama Sayid Mochsen Barakbah, bergelar Aji Raden. Mochsen bekerja sebagai penjawat di Kesultanan Kutai sebelum bergabung dengan Partai Nasional Indonesia ketika Indonesia merdeka. Dia menjadi penasihat utama Gubernur Abdoel Moeis Hassan, tokoh yang separtai dengannya (East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy, 2010, hlm 96). 

Putra Sayid Barakbah yang kedua bernama Sayid Gasyim Barakbah. Gasyim adalah tokoh Nahdlatul Ulama di Kaltim. Dia menjadi anggota parlemen melalui Partai NU. Selain itu, Gasyim dikenal sebagai penasihat agama Jos Sutomo, sekarang pemilik jaringan Hotel Senyiur (hlm 90).
Fachrul adalah anak laki-laki terakhir. Berbeda dengan bangasawan Kutai keturunan Arab seperti kedua kakaknya, dia memilih jalan yang jauh menyimpang. Fachrul menganut ideologi kiri yang sangat menentang sistem feodal. 

Pejuang Kemerdekaan

Fachrul baru saja lulus dari Hollandsch-Inlandsche School Tenggarong yang setara SMA ketika Jepang menduduki Indonesia. Dia segera memimpin perang gerilya di Samarinda pada akhir 1945. Ketika Jepang takluk dan Belanda kembali ke bumi pertiwi, Fachrul terpaksa melarikan diri dengan perahu ke Jawa Timur (hlm 91). 

Dalam disertasinya di Universitas Cornell, Amerika Serikat, Burhan Magenda menulis bahwa Fachrul bergabung dengan Laskar Pesindo di Jawa Timur. Dia dikirim ke markas pergerakan di Jogjakarta pada 1947. Di sana, Fachrul kemudian menjadi kader Front Demokrasi Rakyat atau FDR pada 1948. FDR sangat lekat dengan ideologi sosialis-komunis karena merupakan gabungan partai-partai kiri, termasuk PKI. Organisasi ini terlibat dalam pemberontakan Madiun pada 1948. 

Fachrul selamat dari Peristiwa Madiun. Dia kembali ke Samarinda pada awal 1950-an. Di tanah kelahirannya, dia mengorganisasi PKI cabang Kaltim. Fachrul maju sebagai anggota parlemen daerah. Pada Pemilu 1955, di bawah kepimpinannya, PKI meraih 8.209 suara dan menempati posisi keenam. Partai Nasional Indonesia adalah pemenangnya waktu itu sebagaimana tercatat dalam Pemilu Indonesia Dalam Angka dan Fakta Tahun 1955-1999 (2000). 

Nasionalisasi Shell

Kekuatan utama PKI di Kaltim adalah kaum buruh minyak. PKI mendirikan Persatuan Buruh Minyak (Perbum) sebagai underbow partai. Posisi PKI semakin kuat setelah kedatangan Kolonel Suhario atau Hario Kecik sebagai panglima Daerah Militer VI/Mulawarman. Suhario didaulat sebagai pimpinan Front Nasional, sebuah lembaga yang diciptakan pada 15 April 1961 oleh Presiden Sukarno. Front Nasional merupakan bagian dari struktur Demokrasi Terpimpin. Keanggotaannya didominasi pejuang angkatan 45 (East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy, 2010, hlm 56).

Bersama-sama pejuang 45 dari Kaltim seperti Harun Nafsi dan Fachrul Barakbah, Suhario menjadi pengurus provinsi Front Nasional. Fachrul tentu saja membawa nama PKI Kaltim. Tidak mengherankan karena Suhario disebut bersimpati kepada PKI. Front Nasional makin beraroma komunis ketika Nyonya Sutijo ditunjuk sebagai wakil sekretaris. Nyonya Sutijo adalah pemimpin provinsi organisasi perempuan yang berafiliasi dengan PKI, Gerwani. Hal itu membuat koalisi buruh di Front Nasional terbelah. Bagi kelompok kanan, PKI dianggap sering menyudutkan buruh-buruh muslim. 

Namun demikian, pengaruh Front Nasional --bersama PKI dan Perbum-- amatlah kuat di Balikpapan. Front ini mulai begerak pada 1961. Bermula dari Indonesia yang baru saja memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda karena perebutan Irian Barat. Konstelasi itu membuka peluang merebut Bataafsche Petroleum Maatschappij atau BPM, perusahaan minyak Balikpapan yang dimiliki pemodal Inggris dan Belanda. 

Ketegangan kedua negara membuat Perbum segera bersikap. Organisasi sayap PKI itu memaksa pemerintah mengambil alih saham Belanda di BPM. Ketika seteru kedua negara terus meningkat, orang-orang Belanda di Balikpapan kembali ke negara mereka. Posisi mereka digantikan orang-orang Inggris, Amerika, dan Prancis. BPM kemudian di bawah penguasaan Shell, pemegang saham BPM dari Inggris dan Belanda.

Front Nasional bersitegang lagi dengan Shell. Pada 1963, semangat menasionalisasi perusahaan asing terus menggelora setelah Presiden Soekarno membuka konfrontasi dengan Inggris. Bung Karno waktu itu menolak pendirian Malaysia yang disebut boneka Amerika dan Inggris. Aksi “Ganjang Malaysia” menyeruak di mana-mana (Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa, 2013, hlm 167).


Dari balik Front Nasional dan Perbum, Kolonel Suhario dan Fachrul Barakbah mengatur strategi. Keduanya memang sepaham dalam menentang penanaman modal asing di tanah air. Setelah rangkaian rencana kelar, mereka memboikot orang-orang Inggris yang bekerja untuk Shell di Balikpapan. Sebanyak 5 ribu buruh minyak terlibat pemboikotan. Hampir seluruh pekerja, mulai sopir hingga staf, tidak berbicara kepada orang Inggris. Tidak pula melayani mereka. Perbum juga berinisiatif menciptakan serangkaian teror. Sementara Kolonel Suhario melarang menggunakan bahasa Inggris dan mewajibkan bahasa Indonesia untuk mengawasi seluruh aktivitas orang asing (hlm 168). 

Shell akhirnya berhasil diambil alih koalisi buruh yang didominasi Perbum. Aset perusahaan dikuasai dengan dalih menyelamatkan produksi minyak demi kepentingan nasional. Organisasi buruh juga menguasai Sifo, toko serba ada milik Shell di Balikpapan. Para buruh menyatakan, menunggu kebijakan Presiden Soekarno. Kelak, pemerintah Indonesia menasionalisasi Shell. Namanya sekarang menjadi Pertamina. 

Dua tahun kemudian, kekuatan PKI, Perbum, dan Front Nasional mulai pudar. Kolonel Suhario yang memiliki kedekatan dengan Presiden Soekarno disekolahkan ke Uni Soviet. Sementara di Jakarta dan Jogjakarta, peristiwa 30 September 1965, hari ini tepat 53 tahun lalu, mengubah segalanya. Penculikan para jenderal angkatan darat berujung dengan pembersihan seluruh petinggi PKI berikut organisasi sayap partai. Dibersihkan sebersih-bersihnya oleh pemerintahan Orde Baru. Tak terkecuali Sayid Fachrul Barakbah. Karier politiknya berakhir setelah ditangkap militer. 

(*)

Senarai Kepustakaan

·         Bintang Merah Nomor Special Jilid II, 1960 (Majalah). Dokumen-Dokumen Kongres Nasional Ke-VI Partai Komunis Indonesia, 7-14 September 1959. Jakarta: Yayasan Pembaruan. 
·         Biro Humas Komisi Pemilihan Umum, 2000. Pemilu Indonesia Dalam Angka dan Fakta Tahun 1955-1999. 
·         Erman, Erwiza, dan Saptari, Ratna (editor), 2013. Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
·         Magenda, Burhan Djabier, 2010. East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy, Jakarta: Equinox Publishing. 
·         Shahab, Alwi, 2004. Saudagar Baghdad dari Betawi, Jakarta: Penerbit Republika.

0 komentar:

Posting Komentar