Minggu, 30 September 2018

Hoax di Film Pengkhianatan G30S


Oleh: P Hasudungan Sirait

Mata para jenderal pahlawan revolusi dicongkel dan alat kelaminnya disayat-sayat serta dipotong? Gambaran yang ada di film yang bertolak dari karya Brigjen Nugroho Notosutanto dan Letjen Ismail Saleh itu ‘hoax’ [informasi palsu] belaka.

ilustrasi: Tayangan Film Pengkhianatan G30S/PKi di sebuah TV swasta 

Prof. Dr. Arif Budianto (Liem Joey Thay), dokter ahli forensik anggota tim yang menangani jenazah ketujuh jenderal, membeberkan keadaan yang sesungguhnya kepada reporter majalah kami (‘D&R’), Imelda Bachtiar dan Ondy A. Saputra [keduanya kemudian menjadi istri-suami dan kini telah memiliki anak yang sudah remaja; salamku untuk pasangan yang berbahagia tersebut].

Demi kelurusan sejarah yang kini hendak ditekuk-tekuk kembali, dari Bogor yang sedari tadi pagi dalam dekapan hujan lebat sengaja kuhadirkan untuk Anda sekalian sajian ‘D&R’ edisi 3 Oktober 1998 yang berjudul ‘Meluruskan Sejarah Penyiksaan Pahlawan Revolusi’ tersebut. Teksnya utuh dan sesuai aslinya; beberapa kalimat saja yang kuturunkan menjadi paragraf agar lebih mudah dibaca. 

Selamat menyimak kisah yang 32 tahun digelapkan penguasa Orde Baru.

***

Meluruskan Sejarah Penyiksaan Pahlawan Revolusi

DUA DEKADE LEBIH, ORANG INDONESIA tak bisa melihat suguhan lain di televisi pada malam 30 September kecuali film kolosal ‘Pengkhianatan G3OS-PKI’. Film arahan sutradara Arifin C. Noer, yang dibuat tahun 1984 itu, di tahun 1990-an mencapai puncak kepopulerannya. Tayangan berita di TVRI soal pemberontakan PKI misalnya; disertai beberapa menit cuplikan karya itu.

Bagian yang selalu teringat—mungkin karena paling tegang dan menguras air mata– di benak anak-anak Sekolah Dasar di tahun 1985 yang diwajibkan menonton film itu di bioskop adalah adegan penyiksaan tujuh pahlawan revolusi. 

Lebih dari 10 menit, penonton disuguhi adegan menyilet, menyudut, dan mencungkil mata pahlawan revolusi yang sedang sekarat. Pelakunya PKI-wan dan PKI-wati. Penyiksaan dilakukan sambil menari dan menyanyi seperti orang kerasukan. Lokasinya di tengah hutan bambu di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur.

‘Pengkhianatan G3O S PKI’ memang dibuat dari satu sudut pandang saja. Kabarnya, tim periset film mewawancarai Soeharto, yang kala itu Presiden RI, sampai berbulan-bulan. Cerita bagian penyiksaan itu memang persis sama dengan penuturan Soeharto dan berita-berita koran pemerintah saat itu, seperti ‘Angkatan Bersenjata’ dan ‘Berita Yudha’.

Tapi, benarkah kejadiannya seperti yang dilukiskan itu? 

Ternyata menurut Prof. Dr. Arif Budianto, tidak. Orang yang dulunya lebih dikenal sebagai Liem Joey Thay ini adalah dokter ahli forensik yang merupakan anggota tim yang menangani jenazah ketujuh pahlawan itu. Tim tersebut merupakan gabungan Tim Kedokteran ABRI dari Rumah Sakit Darat (RSPAD) Gatot Subroto dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI).

Selain Arief (FKUI) yang waktu itu dokter termuda di dalam tim, anggota yang lain antara lain Prof. Soetomo Tjokronegoro (FKUI), Brigadir Jenderal Prof. Roebiono Kertapati (Direktur RSPAD dan Patolog, dr. Frans Pattiasina (patolog dari RSPAD), dan dr. Ferry Liaw Yan Siang (FKUI). Dari nama yang disebut itu tinggal Arif dan Ferry yang masih hidup. Ferry hijrah ke Amerika Serikat usai tragedi G30S.

Prof. Arif yang boleh dibilang pelopor ilmu kedokteran forensik di Indonesia hingga kini masih aktif berpraktik. Namun. sejak dua tahun belakangan ia sudah tak mengajar lagi di FKUI. Berikut tuturan kakek dari seorang cucu itu kepada Imelda Bachtiar dan Ondy A. Saputra dari ‘D&R’. 


Membantu Otopsi Mayat

Hari itu 4 Oktober 1965. Sekitar pukul 20.00 datang satu truk dengan lebih dari 20 tentara ke rumah saya, di kawasan Kampung Angus, Gelondongan, Glodok, Kota. Waktu mereka datang, ibu saya kaget setengah mati. Ibu pikir saya dijemput karena terlibat gerakan komunis. Waktu itu kan sedang gencarnya pembersihan.

Tidak tahunya, tentara itu membawa surat dari Prof. Soetorno Tjokronegoro. Dalam surat itu disebutkan saya diminta datang ke RSPAD Gatot Subroto untuk membantu beliau memeriksa mayat tujuh pahlawan yang terbunuh pada 30 September.

Setelah berpakaian saya berangkat dengan truk itu menuju ke RSPAD. Waktu itu, suasana Jakarta sangat mencekam. Jam malam masih berlaku dan di beberapa tempat ada pos penjagaan.

Kami diharuskan berhenti dan pengantar-pengantar saya menyebutkan satu kata sandi. Dan, setiap akan berhenti di satu pos, baik yang menjemput saya maupun yang di pos siap-siap mengokang bren-gunnya.

Saya waktu itu takut sekali. Itu truk tentara yang pakai terpal dan saat itu saya duduk depan. Untunglah, semuanya berjalan lancar dan kami sampai dengan selamat di RSPAD Gatot Subroto. Saya masih ingat pasukan yang menjemput saya bukan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat), tapi pasukan Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat).

Ketika saya sampai di kamar otopsi RSPAD, di sana sudah ada profesor saya, Soetomo, dan seorang senior saya yang lain dan Forensik FKUI, dr. Ferry Liauw Yan Siang. Kelulusan saya dan dr. Ferry cuma berbeda lima bulan. Saya ditunjuk dr Soetomo untuk membantu dia karena memang kami inilah yang paling senior. Saya malah paling muda di antara mereka. Dr. Ferry lulus lima bulan lebih dulu dari saya. Saya lulus dari FKUI tahun 1957 dan setelah itu langsung mengambil spesialis forensik.

Di kamar otopsi, saya melihat secara umum kondisi mayat memang sudah busuk. Memang tidak berulat, tapi kulit arinya sudah ngelotok. Tidak terlalu kembung, tapi sedikit berlendir dan kulit-kulitnya kekuningan. Semua mayat masih berpakaian lengkap seperti yang dipakainya terakhir. Itu sebabnya kami juga ikut mendata benda-benda yang melekat di tubuh mayat.

Saya memeriksa mayat pertama mulai dari gigi. Di antara dua gigi serinya, juga gigi taringnya ada kecil clan aneh. Itu kelainan, namanya ‘mensio dentis’. Saya lihat keanehan itu. Lalu saya tanyakan ke seorang dokter Angkatan Darat, dokter giginya, adakah yang punya gigi begitu. Dia langsung bilang, 
“Oh, ini Jenderal Ahmad Yani!”

Ketika saya memeriksa mayat Jenderal Ahmad Yani ada satu hal yang saya paling ingat. Bola matanya sudah copot dan mencelat keluar. Itu terjadi, karena ketika dimasukkan ke sumur, kepalanya lebih dulu. Di dasar sumur itu ada air, jadi kepalanya terendam di sana.

Saya juga bisa mengenali pakaian Jenderal Yani. Dia menggunakan pakaian piyama loreng-loreng, biru-putih-biru. Kemeja piyamanya penuh pecahan kaca. la ditembak di depan pintu kaca rumahnya. Itu sebabnya sisa pecahan kacanya masih berhamburan ke mana-mana. Selain mayat Ahmad Yani, saya memeriksa jenasah MT. Haryono.

Kami bekerja sepanjang malam itu sampai dini hari. Di ruang otopsi itu digunakan dua buah meja otopsi. Kami tanyakan waktu, apakah mayat para jenderal akan diotopsi lengkap atau tidak. Para jenderal yang hadir, termasuk pak Harto, bilang tidak usah."

Kebenaran yang Harus Dikemukakan 
Tentang Pak Harto, sewaktu kami sedang sibuk-sibuknya lakukan otopsi, beliau juga datang. Ada beberapa jenderal yang masuk ke ruangan otopsi saat itu. Pak Harto tidak bicara apa-apa ketika itu; dan saya juga tak sempat memperhatikan karena sedang sibuk bekerja.

Yang saya ingat, saya sedikit mengangkat kepala mayat yang sedang saya periksa dan baru sadar Pak Harto ada di ruangan. Dia menggenakan ‘batlle dress’ (pakaian tempur). Kabarnya, RSPAD dari malam sampai pagi itu dijaga ketat pasukan Kostrad. Tapi, kepada kami tak ada tekanan apa pun, khususnya kepada saya. Itu sebabnya saya berani bicara seperti itu kepada yang lain.

Di luar kami sudah mendengar berita-berita yang menyeramkan soal kondisi penis korban. Karena itu kami melakukan pemeriksaan yang lebih teliti lagi tentang hal ini.

Tapi apa yang kami temukan malah kondom di kantung salah satu korban yang bukan jenderal. Ada juga korban yang ditemukan tidak sunat.
Kami periksa penis-penis para korban sangat teliti. Jangankan terpotong, bahkan luka iris saja juga sama sekali tidak ada. Kami periksa benar itu: dan saya berani berkata itu benar. Itu faktanya.
Satu lagi: soal mata yang dicongkel. Memang, kondisi mayat ada yang bola matanya copot, bahkan ada yang sudah kotal-katil. Tapi, itu karena sudah lebih tiga hari terendam, bukan karena dicongkel paksa. Saya sempat periksa dengan saksama tapi matanya dan tulang-tulang sekitar kelopak mata, apakah ada tulang yang tergores. Ternyata tidak ditemukan.

Ketika saya dan Prof. Roebiono sedang memeriksa salah satu mayat, saya melihat di dadanya ada peluru yang kelihatan ngumpet agak di permukaan kulit. Prof. Roebiono lalu bilang, “Itu ambil saja, nanti gue tutupin!”

Dia tutupin saya sama badannya. Lalu ambil peluru itu sambil sedikit mencungkil. Lalu saya serahkan ke Prof. Roebiono. Entahlah, sekarang, peluru itu ada dimana. Saya juga lupa dari tubuh siapa peluru itu saya ambil.

Kalau dikatakan sama sekali tak ada penyiksaan itu juga tak betul. Mayat-mayat itu ditembaki berkali-kali. Pergelangan tangan mayat Haryono malah jelas sekali hancur karena bebatan perekat yang direkat kuat-kuat dan diikat sejak dari Lubang Buaya. Saya tak percaya, mayat yang dijatuhkan ke sumur bisa mengalami hancur pergelangan tangan dan telapak tangan seperti itu.

Kepala mayat Jenderal Soetojo pecah. ltu juga kami tak bisa bilang karena penyiksaan, karena kami tak ada di sana. Tapi, yang jelas; itu luka tembak. Seluruh korban memang bisa disimpulkan meninggal karena luka tembak. Jadi, kembali saya tegaskan, luka-luka di luar tubuh memang ada namun, karena kondisi mayatnya sendiri yang sudah busuk, kami tak bisa bedakan lagi apakah ini kondisi mayat sesudah mati atau sebelum mati.

Seperti dikatakan tadi, kami sampai was-was setelah selesai memeriksa mayat karena karena tidak menemukan penis yang dipotong; sehingga waktu membuat tulisan visum, semua anggota tim forensik ini ketakutan. Bagaimana ini dilakukan? 
Sementara itu di luar sudah berkembang sangat santer cerita-cerita yang tidak benar dan terlalu dilebih-lebihkan soal kondisi mayat para perwira.

Saya sebagai yang termuda di kelompok tim forensik cukup tahu diri. Saya bicara paling terakhir, setelah senior-senior saya. Waktu itu, saya bilang, ini adalah tugas negara.

Bolehlah kami anggap negara adalah wakil dari Yang Mahakuasa. Jadi perintah itu kita anggap datang dari Yang Mahakuasa. Karena itu, kebenarannya lah yang harus dikemukakan.

Saya tekankan sekali kata itu: kebenaran yang harus dikemukakan. Kalau sampai itu yang dipersalahkan biarlah kami yang tujuh orang ini masuk penjara. Tapi, saya yakin, itu tak mungkin terjadi. Kenapa? Karena, kami melakukan yang benar. Hal yang benar itu memang tak pernah terungkap di surat kabar di sini. Tapi di koran-koran Amerika pernah diungkapkan kebenaran ini.

Buat saya, selama melakukan otopsi, saya belum mendengar pemberitaan di luaran itu. Saya murni bekerja obyektif. Objektivitas saya seratus persen. Cuma saya tidak tahu anggota yang lain. Saya baru tahu berita-berita itu waktu selesai tugas di dini hari 5 Oktober. Kami duduk di ruangan besar di RSPAD membicarakan hasil tadi.

Setelah selesai diperiksa, semua mayat itu dimasukkan ke dalam peti dan dibawa ke Markas Besar Angkatan Darat yang di Jalan Veteran. Mula-mula, saya dibawa ke Kostrad dulu, yang di depan Gambir. Upacara berlangsung di Markas Besar Angkatan Darat.

Setelah itu saya pulang. Jadi saya melakukan otopsi dari malam 4 Oktober sampai pagi 5 Oktober 1965.

Sumber: Hasudungan Sirait 

0 komentar:

Posting Komentar