Sabtu, 29 September 2018

PKI, Musuh Khayalan Para Pahlawan Kesorean


September 29, 2018, 12:54 pm | Redaktur: Siti Afifiyah

Presiden Joko Widodo didampingi Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo menonton film "Pengkhianatan G 30 S/PKI" di Bogor, Jumat malam (29/9/2017). (Foto: Biro Pers Setpres/Laily Rachev)

Oleh: Eko Kuntadhi*

Seperti biasa, setiap akhir September akan menyeruak lagi isu soal PKI. Seolah bangsa ini sejak dulu tidak pernah move-on dari isu yang itu-itu juga. Padahal PKI sudah tamat sejak 1966 lalu. Kekuasaan diambil alih oleh Soeharto. Sebuah kisah sejarah yang menempatkan PKI sebagai biang kerok, dijejalkan ke masyarakat.

Sejak itu kita tidak pernah mendengar lagi PKI berulah. Yang ada hanya tudingan, di zaman Orde Baru, siapa saja yang kritis pada kekuasaan Soeharto akan dicap PKI.

PKI dan paham komunisme seperti senjata yang bisa ditikamkan kepada siapa saja. Istilah bahaya laten komunis seperti wabah yang selalu diwaspadai. Dengan cara itulah Orde Baru mempertahankan kekuasaannya. Masalahnya di zaman itu, kekayaan rakyat dikeruk oleh kroni Soeharto dan kroninya. Pelanggaran HAM adalah pemandangan biasa.

Untuk terus mempertahankan kekuasaanya Orde Baru membuat narasi tunggal berkenaan dengan sejarah prahara 1965. Padahal banyak ahli menulis sejarah 1965 itu dengan sudut pandang lain. Tapi di zaman Soeharto publik diharamkan mendalami berbagai kemungkinan sejarah itu. Yang ada hanya satu cerita, yang menempatkan Soeharto sebagai pahlawan dan PKI sebagai musuhnya.

Akibatnya siapa saja yang dicap PKI hidupnya akan merana. Anak cucu mereka sengsara. Hak politik dan ekonominya dihambat. Banyak rakyat yang sebetulnya tidak bersalah kena sapu isu PKI ini. Mereka jadi korban kampanye anti PKI yang disebarkan pemerintah Soeharto.

Di sekolah-sekolah sejarah satu versi ini juga dipompakan. Puncaknya ketika Orde Baru mensponsori pembuatan film G-30-S/PKI. Lalu memerintahkan stasiun TV untuk memutar ulang setiap akhir September.

Rakyat muak. Kekuasaan Soeharto yang menjarah kekayaan Indonesia akhirnya tumbang pada 1998. Timbul kesadaran bersama saat itu bahwa indoktrinasi anti PKI hanyalah cara Orde Baru mempertahankan kekuasaanya. Sejarah pemberontakan 1965 yang monotafsir ditinjau ulang. Rakyat berhak tahu apa yang terjadi pada bangsa ini sebenarnya.

Soeharto berganti Habibie. Di zaman Habibie lah, Menteri Penerangan Junus Yosfiah, seorang jenderal Angkatan Darat, yang mengeluarkan aturan film G-30-S/PKI versi Orde Baru itu bukan lagi tontotan wajib. Demikian juga Menteri Pendidikan kala itu, Juwono Sudarsono yang memerintahkan pelajaran sejarah ditinjau ulang.

Artinya, ketika itu, ada satu kesadaran bahwa Indonesia selama ini dicekoki oleh kisah yang belum teruji kebenarannya. Reformasi adalah jalan untuk membuka peluang korektif terhadap versi sejarah. Jangan sampai anak cucu kita hidup dari kisah manipulasi ke kisah manipulatif berikutnya.

20 tahun berlalu sejak seruan film G-30-S/PKI tidak penting lagi untuk ditonton. Kini Menteri Penerangan di zaman Habibie itu duduk sebagai penasihat tim kampanye Prabowo-Sandi. Entah kepana, justru ada desakan dari para pendukung Prabowo-Sandi pada pemerintah Jokowi untuk mewajibkan lagi tontonan G-30-S/PKI.

Kenapa ada desakan seperti itu? Pertama mereka sedang memantas-mantaskan dirinya sebagai pejuang anti PKI. Dan secara tidak langsung menuding lawan politiknya sebagai antek PKI. Mereka merasa berlatar belakang Islam. Dan Islam adalah musuh PKI. Dengan cara itu mereka merasa menjadi pahlawan bangsa ini.

Padahal saat kekuatan PKI mendominasi, yang menjadi sasaran adalah NU. NU berjuang menghalau kepentingan PKI. Bertaruh dengan nyawa dan darah para kiai.

Pada tahun 1965, belum ada FPI. Belum ada juga HTI. Apalagi GNPF. Tapi kini mereka merasa mewakili umat Islam melawan PKI. Padahal kebangkitan PKI hanyalah khayalan mereka saja. Mereka mau jadi pahlawan melawan musuh yang diciptakan dalam khayalannya sendiri.

Sementara NU sendiri memahami, bangsa ini tidak boleh terus menerus didera isu yang membelah rakyat. Persatuan harus dijaga. Pemaafan dan rekonsiliasi adalah hal penting untuk perjalanan Indonesia ke depan.

Kedua, isu PKI dibangkitkan kembali menjelang Pilpres agar ada tudingan siapa saja yang tidak setuju diklaim sebagai PKI. Bahkan NU yang telah terbukti menjadi kekuatan penghalau PKI di Indonesia, juga ingin dituding melindungi PKI.

Apalagi fitnah busuk hasil operasi tabloid Obor Rakyat yang memfitnah Presiden Jokowi sebagai PKI. Sebuah tudingan keji.

Ketiga, kita tahu di belakang Prabowo sekarang berdiri anak-anak Soeharto. Mereka yang dulu dihempaskan rakyat karena keserakahannya ingin kembali ke kursi kekuasaan. Oleh sebab itu isu PKI, yang dulu menjadi senjata Orde Baru mempertahankan kekuasaan, kini dibangkitkan kembali.

Sepertinya mereka paham, rakyat Indonesia punya ingatan pendek. Kekuasaan Orde Baru yang 20 tahun lalu dirobohkan rakyat karena penuh kebusukan dan menyengsarakan, kini bisa bersih-bersih diri. Mereka mau berkuasa lagi.

Apalagi Capres yang didukung bekas orang dalam keluarga mereka. Prabowo adalah mantan menantu Soeharto. Dan mantan ipar-iparnya beserta mantan istrinya berdiri berbaris di sekeliling Prabowo.

Isu PKI adalah isu basi yang terus dimainkan menjelang perhelatan politik. Tapi mereka lupa, rakyat bukan kerbau bodoh yang dicucuk hidungnya.

Untuk sebuah film. Silakan saja apabila orang mau nonton atau gak. Bagi rakyat, film G-30-S/PKI itu sama dengan film Wiro Sableng. Bisa saja ditonton sebagai hiburan. Bisa juga dikritisi. Bisa juga diabaikan. []

*Eko Kuntadhi Pegiat Media Sosial

Source: Nasional Tagar 

0 komentar:

Posting Komentar