HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Jumat, 07 Desember 2007

Pramoedya Ananta Toer | Sang Pemula Yang "Menemukan" Tirto Adhi Soerjo

07/12/2007

Pramoedya Ananta Toer adalah buku. Buku yang seutuh-utuhnya buku. Karena ia buku yang besar, meluas, dan berwibawa, maka ia abadi: Scripta manent verba volant (tulisan itu abadi, sementara lisan cepat berlalu bersama derai angin).
Dan ia yakin akan abadi (W. 30 April 2006). Dan keyakinan itu sudah ia tuliskan dalam sebuah artefak utuh tanpa ragu di halaman 356 kuartet keempat Buru, Rumah Kaca: “Menulislah, jika tak menulis, maka kamu akan ditinggalkan sejarah.”
Pram memang bukanlah buku yang biasa. Buku yang datang tergesa-gesa, cepat, dan setelah itu dilupakan orang. Pram juga bukan buku cengeng, picisan, dan penuh cekikikan. Sebab hidup Pram adalah hidup yang selalu sepi, sunyi, disiakan, sekaligus keras dan berjelaga. Nasib dan respons kehidupan yang tak memanjakan membawanya menjadi buku yang selalu tegak menantang cadas. Apa pun yang mengganggu otonomi tubuh dan pikiran serta ideologinya.
Ia adalah Pramis; individu yang percaya akan kemampuannya dan karena itu ia lampaui otoritas dari siapa pun,apa pun. “Bahkan dengan Tuhan pun aku tak mau meminta,” katanya.
Mungkin, karena sikap konsistensi yang bertumpu pada diri sendiri itu, ia kerap disalahpahami sebagai buku yang kaku, keras, dan sama sekali tak menarik. Mochtar Lubis, lawan politik sastranya, berkata tatkala ditanyai tentang kesannya dengan Bumi Manusia oleh Denny JA: “Buku apaan itu. Datar. Tak menarik. Hanya dua halaman saya tahan membacanya.” Ajib Rosjidi berkata: “Jangan harap karya Pram ada adegan seks yang menegangkan. Membaca percintaan antara Minke dan Annelis saya sama sekali tak terangsang. Malah lucu menurut saya.”
Pram memang bukan buku yang lemah, gemulai, dan menebar senyum. Ia adalah buku yang tegak menantang siapa pun. Tapi ia berdiri tidak dengan segerombolan serdadu dengan samurai terhunus, melainkan menantang dengan senjata bernama buku. Tak ada apa pun selain itu. Pram sendiri kita tahu adalah pribadi yang introvert, tak gaul, dan rendah diri. Bukulah yang membuatnya menyala. Serupa api yang menjilat-jilat. Dan ia datang memang untuk membakar dan melecut semangat perlawanan kalangan muda dan juga dirinya sendiri.
Bagi Pram, menulis adalah melawan. Dan Pram yakin bahwa perlawanan itu bisa dilakukan dengan menulis buku, seperti halnya ia lakukan. Bagi Pram, buku adalah visi, sekaligus sikap. Perjuangan tanpa visi adalah perjuangan yang hanya menanti mati disalip kekuasaan pragmatis setelah riuh pasar malam perjuangan usai diteriakkan. Bukulah yang membuat Pram tidak menjadi massa atau gabus yang dipermainkan ombak di tengah samudera sejarah dan setelah itu takluk terhempas jadi sampah di pantai.
Sastrawan Pramoedya Ananta Toer adalah sang pemula yang dengan segala kegigihannya menampilkan kembali Tirto Adhi Soerjo dari pembungkamannya yang panjang dengan riset yang melelahkan. Novel Kuartet Buru adalah sebuah penghormatan tak ternilai kepada tokoh ini yang sebisa-bisa diusahakannya. Tirto Adho Soerjo adalah sang pemula di masanya, tapi Pram yang kemudian membuat nama ini mahsyur ke seantero jagat dengan kharismanya sebagai manusia dan sekaligus pembangkit dinamo kebangsaan yang tetap terjaga. Atas ikhtiar itulah, Newseum Indonesia memberikan Anugerah Tirto Adhi Soerjo tepat seabad usia Medan Prijaji kepada Pramoedya Ananta Toer.
Buku adalah obor, sekaligus kemudi bagi sejarah. Lihatlah, dengan buku Pram menawarkan sejarah yang dipahaminya. Celakanya, sejarah yang dikandung buku Pram adalah sejarah yang selalu bertabrakan muka dengan sejarah resmi yang dikreasi negara.
Dan dengan buku pula, Pram kemudian membangun presepsi yang sama sekali baru tentang apa arti Indonesia, Nusantara, peradaban-peradabannya, serta sejarah orang-orang yang bergolak di dalamnya yang bertarung dalam pusaran sejarah. Terutama sejarah anonim dari orang-orang yang dilindas sejarah.
Dengan begitu, lewat buku Pram menawarkan dunia. Dunia yang diyakininya benar. Dunia orang-orang yang disepelekan sejarah. Orang-orang menyebut usaha ini adalah usaha penulisan sejarah senyap. Yakni, sejarah orang-orang tak terdengarkan. Jika saja bukan usaha Pram menuliskan kembali biografi Tirto Adhi Surjo, mungkin tokoh sentral lahirnya kelompok cendekia yang menulis di awal abad 20-an akan terhapus dari sejarah. Lalu juga kisah orang-orang anonim, tapi penting dalam proses pembentukan kota, peradaban, dan karakter-karakter yang dikandungnya dibasahi Pram dalam bentuk karya imajinasi. Jadilah dunia dalam buku Pram menjadi dunia tersendiri, merdeka, dan sekaligus merangsang pikiran untuk mendudukkan Indonesia dalam konteks yang lebih khusus.
Dengan cara menulis buku itulah Pram menawarkan Indonesia kepada dunia. Tak ada yang lain cara efektif yang dipahami Pram selain dengan buku. Terlalu serak dan pendek umur ucapan sebuah pidato atau semua teriakan. Buku yang punya usia memanjang. Buku adalah arsip. Dan arsip adalah nyawa sebuah bangsa, lengkap dengan segerbong kisah-kisah kemenangan dan kekalahannya. Karena itu novelis eksil Ceko, Milan Kundera, menjadi benar ketika berseru: “Untuk menghancurkan sebuah bangsa, bumihangus buku-bukunya. Niscaya bangsa itu akan lupa. Dan saat itulah ia akan hancur.”
Tak hanya itu, dengan buku itu pula Pram memperkenalkan sekaligus memaklumkan dirinya di hadapan publik dunia. Bagi peradaban maju, usaha-usaha yang dilakukan pribadi-pribadi seperti Pram ini mendapat apresiasi dan kedudukan yang sangat tinggi. Oleh karena peradaban disebut tinggi tatkala masyarakatnya menghormati kerja-kerja arsip dan penulisan. Kerja-kerja itu adalah kerja pengabadian ingatan. Dan Pram melakukan itu dengan tekun dan sungguh-sungguh. Lalu menjelmalah ia menjadi suara lain Indonesia; suara yang tak seragam sebagaimana yang diyakini rezim yang melingkupinya.
Pram memang berambisi besar menjelaskan Indonesia secara tuntas. Maka dia baca buku-buku sejarah, lalu dia tafsir, dan tafsirnya itu berbuah novel. Namanya novel sejarah.
Pram juga tak berkutat pada novel untuk menjelaskan Indonesia. Lalu ia memilih menggunting koran sebagai sebuah kegiatan untuk merangkum Indonesia dalam dunia paling pribadi dan intim Pram. Ia membuat kronik. Sejak 1982 ia merancang Ensiklopedi Citrawi Indonesia atau Ensiklopedi Kawasan Indonesia yang mencitrakan kawasan Indonesia yang beragam, indah, dan kaya tetapi diperintah oleh penguasa-penguasa yang bebal dan jahat.
Kegiatan menulis buku yang setebal-tebal bantal itu dilakukan Pram bukan usaha angin-anginan atau iseng-isengan untuk kebutuhan diri sendiri, tapi diniatkan sebagai tugas nasional. Secara pribadi dan tanpa disokong serta diperhatikan pemerintah, ia bekerja sendiri melakukan itu. Ia bangun sendiri koleksinya, ia rancang sendiri waktu kerjanya dengan kedisiplinan yang luar biasa.
Karena semangat kerja yang dingin, sepi sunyi, dan sendirian itu ia menjadi terlihat sangat individualis dan sekaligus menjadi buku polemis. Sebab ia tak mau menurut dengan asumsi umum yang lazim karena memang masyarakat umum dan pemerintah tak mau tahu dengan dirinya. Dan karakter Pram seperti itu yang menjadikan karakter bukunya menjadi keras dan ofensif.
Sejarah telah mencatat serapi-rapinya bagaimana sikap Pram yang tak mau tunduk kepada aliran kawan-kawan yang dulunya seperjuangan di Gelanggang Merdeka yang juga di sana ia pernah berperan. Ketika ia ditunjuk untuk menjadi pengasuh Lentera, lembar kebudayaan Harian Bintang Timoer yang berafiliasi secara sikap dan mata ideologi dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), ia gigih melakukan polemik dan menantang siapa pun di luar posisi dan sikap yang dibangunnya. Salah satu esainya yang keras, panas, dan menantang: “Jang Dibabat dan Jang Tumbuh”, adalah bukti dari mendidihnya polemik. Dan Pram adalah buku yang berada di titik bara itu.
“Dalam menulis saya harus menciptakan kebebasan diri sendiri,” tegasnya. Dan kebebasan itu memang ia ambil. Tak tanggung-tanggung kata-katanya yang ofensif menyeru-nyerukan serangan kepada setiap kelembekan sikap dan ketakjelasan posisi yang itu bisa menghalau jalannya revolusi yang diyakininya membawa Indonesia ke jalur yang benar. Benar atau salah sikap yang diambil Pram dalam irama politik yang menghentak dan meraung-raung waktu itu, Pram dengan kebebasannya sudah memilih posisi dan sikap. Dan pilihan itu mengantarkannya dalam penderitaan yang panjang dan melelahkan.
Dalam acara bedah buku Pram pada 2003, ziarawan Taufik Rahzen mengandaikan tiga tali simpul dari karya-karya Pramoedya. Simpul kesatu adalah kebenaran. Kebenaran bukan kekuasaan. Kebenaran menuntun sementara kekuasaan memerintah. Kebenaran seperti halnya traktat sejarah adalah tempat orang melanglangi dunia. Kebenaran adalah asas adalah lentera ke mana seseorang melangkah. Dengan kebenaran seseorang jadi tahu dari mana ia berangkat dan mengikuti ke mana pendulum tujuannya bergerak.
Simpul kedua adalah keadilan. Kebenaran harus ditabrakkan dengan kenyataan sosial dalam sirkulasi yang dialektis. Kebenaran yang tidak menyata dan memperjuangkan keadilan bukanlah ajaran, melainkan penjara langit. Di simpul keadilan ini kebenaran diuji dalam golak sejarah, baik di ranah struktural (kekuasaan politik) maupun kultural (strategi kebudayaan). Pertautan antara kebenaran dan keadilan itu yang melahirkan simpul ketiga, yakni keindahan. Keindahan yang dipahami Pramoedya tidak sama dengan keindahan yang dikonsepsikan oleh kalangan Balai Pustaka dan pewarisnya, yakni kemahiran mengutak-atik bahasa. Bagi Pramoedya, keindahan terletak pada kemanusiaan dan perjuangan untuk kemanusiaan: pembebasan terhadap penindasan.
Lalu ia pun dituduh komunis karena “keindahan” yang diyakininya itu. Dengan simpul keyakinan berkaryanya Pram menjadi buku yang mengambil sikap menolak tuduhan sebagai komunis walau ada beberapa sikap kesastraannya bertemu secara khusus, seperti menulis bukanlah kerja salon para pesolek yang bersunyi-sunyi ria bahasa sastranya, tapi kerja dalam pusaran perikehidupan rakyat banyak yang tertindas. Posisinya pun bisa disamakan dengan John Steinbeck. Steinbeck adalah pengarang yang memperjuangkan nasib buruh tani di California dengan melukiskan kesengsaraan mereka. Seperti halnya Pram, ia menuliskan keadaan manusia yang dilupakan, yang ditindas, atau dianggap sampah oleh masyarakat. Karyanya The Graps of Wrath sempat menimbulkan reaksi dari masyarakat termasuk anggota Konggres AS. Dan tak main-main, buku ini mengantarkan Steinbeck menyandang stigma sebagai “komunis”.
Dan Pram juga bernasib sama; hanya karena ia dan buku-bukunya menyeru, menyeru, menyeru, karena revolusi menghendaki semua-mua pengorbanan.
Pram adalah buku yang sendiri yang secara kebetulan atau tidak memang condong ke kiri. Mengacu pada ucapan Njoto, salah seorang otak teks Manifesto Kebudayaan Wiratmo Sukito mengatakan bahwa Pram termasuk orang paling berbahaya, kekiri-kirian, dan akan datang masanya menjadi marabahaya bagi organisasi (Lekra atau lebih luas PKI). Pram bukannya tak sadar dengan ucapan Njoto itu dengan bukti sejumlah sinisme yang dilontarkan lewat Pojok Harian Rakjat, yang memang hanya diketahui oleh kalangan internal dalam jumlah terbatas.
Pertama-tama Lekra mengucilkan Pram dengan sejumlah prakarsanya yang tak pernah ditanggapi, bahkan diterima dengan dingin, yang sebenarnya terlalu banyak untuk diperinci. Pram juga merasa mulai tersudut dalam organisasi ketika Lekra merasa perlu menempatkan tenaga dari Jawa Tengah untuk “membantu” kerjaan Pram yang ia tahu betul sosok itu tak lain daripada melakukan tugas sebagai anjing pelacak, sedang di luar kehadiran Pram, “pembantu” itu melancarkan propaganda yang mendiskreditkannya. Bahkan ketika Pram berada dalam tahanan Salemba di Jakarta. “Ini merupakan kesadaran terlambat yang sungguh-sungguh pahit, mengingat, bahwa saya bersedia menerima pengangkatan jadi anggota pimpinan Lekra untuk diajar berorganisasi, dididik. Apa yang saya harapkan tidak pernah terpenuhi. Sampai sekarang tetap seorang individualis, dan pengalaman-pengalaman besar belakangan semakin memperkuat individualisme saya.”
Ya, Pram memang buku yang kukuh dengan sikap individualitasnya yang menjulang. Ia ingin merangkum segalanya dalam dirinya. Termasuk persepsi tentang negara, pemerintah, perilaku pembesar-pembesarnya, erangan manusia-manusia yang dibekuk olokan sebagai sampah-sampah dalam masyarakat. Ia adalah buku yang bersikap, mandiri, dan konsisten. Jasad Pram telah turun ke liang gelap. Pram tiada. Tapi bukunya tetap hadir. Pikirannya gentayangan.
Surga pun mungkin tak ada buat Pram, sebab ia memang tak hadir di sana. Pram hadir dan tertinggal di setiap nadi pembacanya yang mencintai sepenuhnya sosok-sosok yang mengembara dalam buku Pram; bahkan pembaca-pembaca terjauh yang tak pernah Pram bayangkan sosoknya.
Di hati jutaan pembacanya itulah surga terindah Pram. Dan di surga itu, Pram hadir dan suaranya menggema serta terus menyeru, menyeru, menyeru: “Angkatan muda harus bisa melahirkan pemimpin dan jangan jadi ternak saja yang sibuk mengurus diri sendiri. Angkatan muda harus bekerja dan berproduksi. Jangan jadi pengonsumsi. Negara ini sudah terpuruk karena konsumsi terus-terusan. Bahkan tusuk gigi pun harus diimpor. Memalukan.”
http://radiobuku.com/2007/12/pramoedya-ananta-toer-buku-yang-tak-pernah-selesai-dibaca/

Jumat, 02 November 2007

Pembantaian November Kelabu

NOVEMBER 2, 2007 · 7:44 PM


Bali bulan November tahun 1965 adalah masa masa awal pembantaian terbesar abad 20. Bahkan tidak ditemukan proporsi yang lebih tajam dari pembantaian ini sepanjang sejarah bangsa Indonesia atau bahkan Asia Tenggara. Proporsi yang meliputi besarnya jumlah korban dalam kecilnya wilayah pulau Bali dan dalam tempo pembantaian yang sangat singkat.
Tidak ada yang tahu pasti berapa jumlah korban pembataian itu, khususnya di Bali yang memang secara proporsi paling besar. Perkiraan jumlah yang paling rendah adalah 40.000 dan tertinggi adalah 100.000. Soe Hok Gie memberikan angka 80.000 sebagai perkiraan yang paling konservatif. Pembantaian yang begitu besar itu terjadi hanya dalam kurun waktu minggu saja.
Pada pembataian etnis Tionghoa tahun 1740 oleh Belanda di Batavia hanya mencapai angka 10.000. Jumlah yang setara untuk korban pembataian adalah di Kamboja oleh tentara Khmer Merah pimpinan Pol Pot tetapi memakan waktu yang jauh lebih panjang dan menarik perhatian dunia.
Apa yang terjadi di Bali memang agak berbeda dengan di Jawa. Setelah G30S, di Jawa telah terjadi “pembekuan” terhadap segala hal yang berbau PKI sedangkan di Bali segala macam kegiatan PKI masih bisa berlangsung. Ini yang membuat lawan politik PKI geram dan mengorganisir “pembekuan” itu secara swadaya.
Kalau di Jawa perburuan terhadap simpatisan PKI dilakukan oleh tentara maka di Bali “tugas” tersebut lebih banyak dilakukan oleh warga sipil. Para warga sipil terutama dari partai lawan politik PKI yang secara sukarela menjadi algojo dikenal dengan nama Tameng. Para Tameng ini bertugas mencari informasi, mendata, mendaftar, memburu, menangkap dan membunuh para simpatisan PKI.
Pada ketentaraan tugas tugas tersebut biasanya dilakukan oleh kesatuan yang terpisah. Ketika daftar orang yang akan diburu telah disampaikan oleh kesatuan intelijen maka kesatuan buru sergap melakukan tugasnya dengan berkoordinasi dengan atasan mereka yang kemudian hasilnya diberikan kepada kesatuan eksekusi. Walaupun tidak selalu demikian tapi ada otoritas yang jelas.
Pada kelompok Tameng semua tugas dilakukan kebanyakan bukan oleh kesatuan terpisah. Mulai dari proses pendataan hingga pembataiannya banyak dilakukan sendiri. Satu satunya yang berhak melakukan validasi untuk orang yang terdaftar atau tidak adalah komandan Tameng. Jika komandan bilang bahwa seseorang layak masuk daftar maka anak buah akan melaksanakannya tanpa ragu ragu.
Sebelum pembataian terjadi memang masyarakat Bali pada waktu itu telah didera konflik yang berat meliputi konflik ekonomi, sosial dan politik. Konflik itu sesungguhnya memiliki akar sejarah yang sangat dalam yang meliputi persoalan aparatur pemerintahan negara, feodalisme kasta dan ego Puri. Konflik ideologi partai justru tidak terlalu menonjol.
Puri Puri di Bali memiliki rivalitas satu sama lain yang menyebabkan jika satu Puri menjadi simpatisan ideologi politik tertentu maka Puri rivalnya akan serta merta memihak ideologi politik yang berseberangan dengan rivalnya tanpa merasa perlu menelaah kecocokan visi politik.
Latar belakang konflik ini mewarnai pembataian. Konflik konflik dimasa lalu berperan penting menjadi faktor penentu apakah seseorang layak masuk daftar yang akan dibantai atau tidak. Prosesnyapun tidak memakan waktu lama. Bahkan ada yang secara adhoc alias dadakan, misalnya kelompok Tameng bertemu seseorang dijalan lalu ditangkap, dikonfirmasikan sebentar ke komandan Tameng, jika komandan Tameng setuju maka terjadilah pembataian.
Hampir tidak ada sama sekali verifikasi tentang apakah seseorang itu punya afiliasi dengan partai komunis atau tidak. Tidak ada jaminan aman dari pembantaian walaupun untuk seorang pejabat pemerintahan setingkat Gubernur sekalipun. AA Bagus Sutedja adalah gubernur Bali pada saat itu yang sangat setia dan dekat dengan Bung Karno.
Lawan lawan politik PKI senantiasa menaruh curiga pada orang orang yang menyatakan kesetiaan kepada Bung Karno walaupun tidak otomatis orang yang militan kepada Bung Karno adalah PKI. Sebagian dari mereka yang dibantai memang PKI tapi sebagian lagi tidak dapat divalidasi. Banyak dari mereka yang hanya jadi korban konspirasi.
Kalau Gubernur saja bisa menjadi korban konspirasi politik maka tidak ada lagi tempat yang aman bagi warga biasa. Tak terbayangkan suasana yang sangat menegangkan kala itu. Orang berlarian larian kesana kemari ditengah jalan. Pintu pintu rumah ditutup. Toko toko dan pasar tutup. Banyak desa yang sepi karena ditinggal penduduknya bersembunyi di hutan karena takut didatangi Tameng.
Sering kali terjadi salah tangkap dan salah bunuh hanya karena kemiripan wajah atau kemiripan nama. Tapi tidak jarang juga terjadi penangkapan atas dasar sentimen pribadi antara komandan Tameng dengan para musuhnya dimasa lalu.
Kelompok Tameng berpakaian hitam hitam bersenjatakan kelewang (samurai) dan beberapa bedil. Mereka datang untuk “menjemput” tidak perduli waktu pagi, siang atau malam. Pintu rumah didobrak, tangkapan diseret masuk kedalam truk yang sudah penuh dengan orang orang yang berwajah pucat pasi, disebuah ladang mereka dipenggal kemudian mayatnya didorong kedalam lubang kuburan masal.
Pernah terjadi buruan tak ditemukan lalu anggota keluarga yang lain dibawa sebagai gantinya. Bahkan ada komandan Tameng yang memanfaatkan mencari jodoh dengan cara memaafkan seorang calon korban asal bersedia menyerahkan adik perempuannya yang cantik sebagai istri komandan Tameng. Para Tameng sangat berkuasa kala itu. Ini disebabkan karena mereka mendapat legitimasi dari pemuka agama baik Hindu maupun Islam bahwa apa yang mereka lakukan adalah bukan dosa.
Adalah mudah memberi legitimasi bagi para pemuka agama itu karena ideologi komunis menafikan keberadaan Tuhan, paling tidak itulah yang dipahami oleh masyarakat Bali dikala itu. Disamping legitimasi pemuka agama diperparah juga oleh ketakutan atas militansi PKI dimasa sebelum G30S. Sebelum G30S terjadi, PKI sangat militan dengan berbagai show of force yang membuat lawan politiknya bergidik.
Berbagai lagu diciptakan untuk mengejek dan membangkitkan semangat. Parade, pawai dan provokasi yang berbau pembantaian disebar ke masyarakat. Mereka bersumpah jika PKI menang maka lawan lawan politik mereka akan dibantai habis habisan sampai ke anak cucu.
Propaganda PKI bukan gertak sambal karena pada pemberontakan PKI di Madiun pembantaian lawan politik oleh PKI benar benar dilakukan dengan keji. Jadi kengerian yang memiliki landasan trauma jika PKI menang maka habislah kita semua.
Semua aksi aksi itu menambah ketegangan politik yang memang sudah ada sejak lama. Kengerian yang begitu besar terhadap propaganda PKI ditambah dengan konflik konflik sebelumnya membuat pembantaian ini menjadi sangat radikal dibanding dengan pembataian di Jawa atau ditempat lain.
Bagi kita yang lahir belakangan dan tidak mengalami kejadian tersebut bisa dengan mudah membuat pertanyaan: “Walaupun komunis adalah ideologi yang terlarang di Indonesia tapi layakkah mereka dibantai?”. Sulit buat mereka yang menjadi saksi sejarah kejadian itu untuk menjawab secara gamblang.
Saya tidak ingin jadi orang yang pongah mengorek suatu peristiwa yang sangat delicate untuk diceritakan. Saya hanya bisa mendengar kesaksian para orang tua tentang kejadian itu dan berusaha menghayati suasana hati mereka mengarungi sejarah.
Belum lagi bagi para keluarga yang salah satu anggotanya menjadi korban pembataian. Bertahun tahun lamanya mereka hidup dalam diskriminasi dan tidak pernah menceritakan atau membahas tentang anggota keluarganya itu kecuali kepada sesamanya. Janda janda dan anak yatim bertebaran dimana mana. Banyak desa yang lengang karena sebagian penduduknya telah dibantai.
Cerita cerita tentang peristiwa itu banyak disembunyikan dan tak ingin diceritakan. Jangankan dari sisi keluarga yang menjadi korban, dari sisi pihak yang tidak menjadi korbanpun atau hanya sekedar menjadi saksi pembataianpun sulit didapat. Mereka enggan untuk cerita sesuatu yang sangat mengguncang jiwa.
Mungkin karena itulah kejadian ini hampir dilupakan dan tidak mendapat perhatian khusus dari para peneliti akademis tanah air. Penulis asing seperti Geoffrey Robinson lebih memiliki hasrat untuk menulis ketimbangan penulis lokal. Saya beruntung masih bisa mendengar cerita dari berbagai sumber pelaku sejarah melalui cerita langsung mereka maupun dari tulisan yang mereka tulis.
***
Saya ingin menceritakan sebuah kisah pada kala itu yang menurut Adrian Vickers seorang penulis asing yang banyak menulis tentang Bali, sebagai sebuah kisah kepahlawanan.
Suatu pagi di RSUP Sanglah Denpasar segerombolan orang berpakain hitam hitam bersenjatakan kelewang dan bedil masuk ke halaman Rumah Sakit ingin bertemu dengan direktur RS. Mereka adalah para Tameng. Pegawai RS sempat dibuat gempar karena cara mereka masuk yang sangat demonstratif.
Oleh direktur RSUP Sanglah yang kala itu dijabat oleh Dr AAM Djelantik mereka dipersilahkan masuk ke kantornya. Komandan Tameng meminta kepada Dr Djelantik untuk menyerahkan 6 orang pasien yang tercatat dalam daftar yang mereka buat. Keenam orang pasien tersebut menurut komandan Tameng adalah simpatisan PKI.
Dr Djelantik sempat terkejut oleh akurasi nama nama dalam daftar yang mereka sodorkan. Mereka mendesak untuk segera diserahkan keenam pasien tersebut. Para perawat dan dokter yang lain berpikiran habislah sudah riwayat ke enam orang pasien ini. Siapa yang berani melawan Tameng. Apalagi bagi hanya seorang direktur Rumah Sakit bertubuh kecil bernama Dr Djelantik itu.
Apakah prinsip kedokteran yang harus bersedia melayani dan mengayomi pasien masih akan tetap ditegakan Dr Djelantik sementara taruhannya adalah lehernya sendiri. Pedang samurai berkelebat dihadapan Dr Djelantik yang sedang ditunggu jawabannya.
Sebagian petugas kesehatan mungkin merasa cari aman lebih baik keenam orang pasien itu diserahkan saja ketimbang melihat para Tameng itu marah dan menggila di Rumah Sakit. Dr Djelantik sebagai direktur RSUP Sanglah tidak merasa perlu berkonsultasi untuk menjawab pertanyaan.
Jawaban yang Dr Djelantik berikan adalah:
“Maaf, tapi selama para pasien itu masih dalam perawatan di Rumah Sakit ini, maka mereka adalah tanggung jawab saya. Saya tidak bisa menyerahkan mereka selama mereka masih dirawat.Mereka sudah menyerahkan nasib mereka ketangan saya sejak mereka masuk Rumash Sakit. Kalau mereka sudah selesai dirawat dan berada diluar lingkungan Rumah Sakit maka mereka bukan tanggung jawab saya lagi.” 
Jawaban itu disampaikan dengan suara mantap walaupun lutut bergemetar. Mendengar jawaban direktur Rumah Sakit yang tegas itu para Tameng saling pandang sesaat. Mereka kemudian pamit tapi menyisakan pertanyaan besar: apa yang bakal mereka lakukan.
Terlepas dari itu berita telah tersebar keseantero ruang perawatan Rumah Sakit. Ke enam orang pasien yang termasuk kedalam daftar menjadi stress. Dr Djelantik memberi instruksi supaya keenam orang pasien tersebut diperpanjang masa perawatannya sebisa mungkin. Jangan keluarkan mereka walaupun mereka sudah sembuh hingga keadaan politik membaik.
Tapi ketakutan tak terbendung, sebagian dari mereka melarikan diri bersama keluarganya untuk bersembunyi. Ketakutan tidak hanya menghinggapi keenam orang pasien itu tapi juga pasien lain dan petugas kesehatan tak terkecuali Dr Djelantik sebagai direktur RS yang telah menghalangi penangkapan.
Malam hari dikediaman Dr Djelantik pintu rumah digedor oleh beberapa orang berpakaian hitam hitam. Ibu Astri istri Dr Djelantik membuka pintu dan menanyakan keperluan orang tersebut. Mereka mengatakan akan membawa Dr Djelantik karena ada komandan Tameng yang sedang sakit. Apakah benar demikian atau ini hanya teknik untuk “menjemput”.
Keadaanpun menjadi panik, Dr Djelantik segera menelepon Bupati saat itu yang memiliki hubungan dekat dengan beberapa komandan Tameng. Setelah mendapat kepastian dari Bupati bahwa memang benar ada komandan Tameng yang sedang sakit maka Dr Djelantik merasa lega lalu segera berangkat bersama para Tameng ke tempat komandan Tameng yang sedang sakit itu. Rupanya komandan Tameng sedang menggigil demam karena malaria dan tak bisa bertugas, jangankan menebas kepala orang, bangkit dari tempat tidur saja tidak bisa.
Sementara itu pembantaian dimana-mana tetap berlangsung. Siang hari jalanan sepi dalam perjalanan ke Rumah Sakit Dr Djelantik dari dalam mobil land roveryang ia naiki, terlihat dikejauhan beberapa Tameng sedang bertugas menggerebek sebuah rumah. Seiring dengan mendekatkanya mobil Dr Djelantik penggerebekan itu berhenti, seorang Tameng melihat ke arah mobil lalu memberi salam karena mengenali Dr Djelantik. Setelah mobil Dr Djelantik berlalu penggerebekan itu dilanjutkan.
Hati Dr Djelantik berkecamuk. Apa yang mesti ia lakukan? Berhenti dan menggagalkan usaha penggerebekan itu? Ah itu sama saja bunuh diri karena ini bukan dalam lingkungan Rumah Sakit. Perasaannya yang galau mengganggu pikirannya dan hanya bisa berharap agar pembataian ini segera berakhir.
Malam hari kemudian segerombolan mobil Tameng kembali menghampiri Dr Djelantik dikediamannya. Kali ini tidak ada yang sakit. Mereka hanya ingin minta ijin untuk membakar rumah tetangga Dr Djelantik milik seorang saudagar Tionghoa yang telah melarikan diri seminggu sebelumnya karena takut dicap PKI. Etnis Tionghoa memang punya alasan untuk takut karena partai komunis berafiliasi erat dengan negara Republik Rakyat China.
Pembakaran rumahpun dilakukan tapi sebelumnya Dr Djelantik meminta para Tameng untuk memeriksa apakah rumah tersebut sudah benar benar dalam keadaan kosong untuk menghindari kecelakaan terpanggangnya orang yang tak bersalah.
Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh Dr Djelantik, beliau hanya seorang dokter. Seorang dokter yang harus melayani pasien entah mereka itu datang dari pihak yang dibantai atau dari pihak yang membantai. Sungguhpun demikian tidaklah mudah menjadi dokter yang berpegang teguh pada prinsip kedokteran ditengah tengah gejolak politik tahun itu.
Semoga cerita diatas bisa memberi sedikit gambaran tentang suasana yang terjadi pada masa itu beserta dengan segala dilema berprinsip dan bersikap. Saya tidak ingin menyimpulkan apa apa. Terlalu sok tahu kalau saya berani menyimpulkan tentang suatu kejadian yang sangat rumit dan penuh emosi. Saya bersukur tidak perlu mengalami atau menjadi saksi sebuah sejarah kelam bangsa ini.
Sumber: Den Demang 

Pembantaian November Kelabu

NOVEMBER 2, 2007 · 7:44 PM



Bali bulan November tahun 1965 adalah masa masa awal pembantaian terbesar abad 20. Bahkan tidak ditemukan proporsi yang lebih tajam dari pembantaian ini sepanjang sejarah bangsa Indonesia atau bahkan Asia Tenggara. Proporsi yang meliputi besarnya jumlah korban dalam kecilnya wilayah pulau Bali dan dalam tempo pembantaian yang sangat singkat.
Tidak ada yang tahu pasti berapa jumlah korban pembataian itu, khususnya di Bali yang memang secara proporsi paling besar. Perkiraan jumlah yang paling rendah adalah 40.000 dan tertinggi adalah 100.000. Soe Hok Gie memberikan angka 80.000 sebagai perkiraan yang paling konservatif. Pembantaian yang begitu besar itu terjadi hanya dalam kurun waktu minggu saja.
Pada pembataian etnis Tionghoa tahun 1740 oleh Belanda di Batavia hanya mencapai angka 10.000. Jumlah yang setara untuk korban pembataian adalah di Kamboja oleh tentara Khmer Merah pimpinan Pol Pot tetapi memakan waktu yang jauh lebih panjang dan menarik perhatian dunia.
Apa yang terjadi di Bali memang agak berbeda dengan di Jawa. Setelah G30S, di Jawa telah terjadi “pembekuan” terhadap segala hal yang berbau PKI sedangkan di Bali segala macam kegiatan PKI masih bisa berlangsung. Ini yang membuat lawan politik PKI geram dan mengorganisir “pembekuan” itu secara swadaya.
Kalau di Jawa perburuan terhadap simpatisan PKI dilakukan oleh tentara maka di Bali “tugas” tersebut lebih banyak dilakukan oleh warga sipil. Para warga sipil terutama dari partai lawan politik PKI yang secara sukarela menjadi algojo dikenal dengan nama Tameng. Para Tameng ini bertugas mencari informasi, mendata, mendaftar, memburu, menangkap dan membunuh para simpatisan PKI.
Pada ketentaraan tugas tugas tersebut biasanya dilakukan oleh kesatuan yang terpisah. Ketika daftar orang yang akan diburu telah disampaikan oleh kesatuan intelijen maka kesatuan buru sergap melakukan tugasnya dengan berkoordinasi dengan atasan mereka yang kemudian hasilnya diberikan kepada kesatuan eksekusi. Walaupun tidak selalu demikian tapi ada otoritas yang jelas.
Pada kelompok Tameng semua tugas dilakukan kebanyakan bukan oleh kesatuan terpisah. Mulai dari proses pendataan hingga pembataiannya banyak dilakukan sendiri. Satu satunya yang berhak melakukan validasi untuk orang yang terdaftar atau tidak adalah komandan Tameng. Jika komandan bilang bahwa seseorang layak masuk daftar maka anak buah akan melaksanakannya tanpa ragu ragu.
Sebelum pembataian terjadi memang masyarakat Bali pada waktu itu telah didera konflik yang berat meliputi konflik ekonomi, sosial dan politik. Konflik itu sesungguhnya memiliki akar sejarah yang sangat dalam yang meliputi persoalan aparatur pemerintahan negara, feodalisme kasta dan ego Puri. Konflik ideologi partai justru tidak terlalu menonjol.
Puri Puri di Bali memiliki rivalitas satu sama lain yang menyebabkan jika satu Puri menjadi simpatisan ideologi politik tertentu maka Puri rivalnya akan serta merta memihak ideologi politik yang berseberangan dengan rivalnya tanpa merasa perlu menelaah kecocokan visi politik.
Latar belakang konflik ini mewarnai pembataian. Konflik konflik dimasa lalu berperan penting menjadi faktor penentu apakah seseorang layak masuk daftar yang akan dibantai atau tidak. Prosesnyapun tidak memakan waktu lama. Bahkan ada yang secara adhoc alias dadakan, misalnya kelompok Tameng bertemu seseorang dijalan lalu ditangkap, dikonfirmasikan sebentar ke komandan Tameng, jika komandan Tameng setuju maka terjadilah pembataian.
Hampir tidak ada sama sekali verifikasi tentang apakah seseorang itu punya afiliasi dengan partai komunis atau tidak. Tidak ada jaminan aman dari pembantaian walaupun untuk seorang pejabat pemerintahan setingkat Gubernur sekalipun. AA Bagus Sutedja adalah gubernur Bali pada saat itu yang sangat setia dan dekat dengan Bung Karno.
Lawan lawan politik PKI senantiasa menaruh curiga pada orang orang yang menyatakan kesetiaan kepada Bung Karno walaupun tidak otomatis orang yang militan kepada Bung Karno adalah PKI. Sebagian dari mereka yang dibantai memang PKI tapi sebagian lagi tidak dapat divalidasi. Banyak dari mereka yang hanya jadi korban konspirasi.
Kalau Gubernur saja bisa menjadi korban konspirasi politik maka tidak ada lagi tempat yang aman bagi warga biasa. Tak terbayangkan suasana yang sangat menegangkan kala itu. Orang berlarian larian kesana kemari ditengah jalan. Pintu pintu rumah ditutup. Toko toko dan pasar tutup. Banyak desa yang sepi karena ditinggal penduduknya bersembunyi di hutan karena takut didatangi Tameng.
Sering kali terjadi salah tangkap dan salah bunuh hanya karena kemiripan wajah atau kemiripan nama. Tapi tidak jarang juga terjadi penangkapan atas dasar sentimen pribadi antara komandan Tameng dengan para musuhnya dimasa lalu.
Kelompok Tameng berpakaian hitam hitam bersenjatakan kelewang (samurai) dan beberapa bedil. Mereka datang untuk “menjemput” tidak perduli waktu pagi, siang atau malam. Pintu rumah didobrak, tangkapan diseret masuk kedalam truk yang sudah penuh dengan orang orang yang berwajah pucat pasi, disebuah ladang mereka dipenggal kemudian mayatnya didorong kedalam lubang kuburan masal.
Pernah terjadi buruan tak ditemukan lalu anggota keluarga yang lain dibawa sebagai gantinya. Bahkan ada komandan Tameng yang memanfaatkan mencari jodoh dengan cara memaafkan seorang calon korban asal bersedia menyerahkan adik perempuannya yang cantik sebagai istri komandan Tameng. Para Tameng sangat berkuasa kala itu. Ini disebabkan karena mereka mendapat legitimasi dari pemuka agama baik Hindu maupun Islam bahwa apa yang mereka lakukan adalah bukan dosa.
Adalah mudah memberi legitimasi bagi para pemuka agama itu karena ideologi komunis menafikan keberadaan Tuhan, paling tidak itulah yang dipahami oleh masyarakat Bali dikala itu. Disamping legitimasi pemuka agama diperparah juga oleh ketakutan atas militansi PKI dimasa sebelum G30S. Sebelum G30S terjadi, PKI sangat militan dengan berbagai show of force yang membuat lawan politiknya bergidik.
Berbagai lagu diciptakan untuk mengejek dan membangkitkan semangat. Parade, pawai dan provokasi yang berbau pembantaian disebar ke masyarakat. Mereka bersumpah jika PKI menang maka lawan lawan politik mereka akan dibantai habis habisan sampai ke anak cucu.
Propaganda PKI bukan gertak sambal karena pada pemberontakan PKI di Madiun pembantaian lawan politik oleh PKI benar benar dilakukan dengan keji. Jadi kengerian yang memiliki landasan trauma jika PKI menang maka habislah kita semua.
Semua aksi aksi itu menambah ketegangan politik yang memang sudah ada sejak lama. Kengerian yang begitu besar terhadap propaganda PKI ditambah dengan konflik konflik sebelumnya membuat pembantaian ini menjadi sangat radikal dibanding dengan pembataian di Jawa atau ditempat lain.
Bagi kita yang lahir belakangan dan tidak mengalami kejadian tersebut bisa dengan mudah membuat pertanyaan: “Walaupun komunis adalah ideologi yang terlarang di Indonesia tapi layakkah mereka dibantai?”. Sulit buat mereka yang menjadi saksi sejarah kejadian itu untuk menjawab secara gamblang.
Saya tidak ingin jadi orang yang pongah mengorek suatu peristiwa yang sangat delicate untuk diceritakan. Saya hanya bisa mendengar kesaksian para orang tua tentang kejadian itu dan berusaha menghayati suasana hati mereka mengarungi sejarah.
Belum lagi bagi para keluarga yang salah satu anggotanya menjadi korban pembataian. Bertahun tahun lamanya mereka hidup dalam diskriminasi dan tidak pernah menceritakan atau membahas tentang anggota keluarganya itu kecuali kepada sesamanya. Janda janda dan anak yatim bertebaran dimana mana. Banyak desa yang lengang karena sebagian penduduknya telah dibantai.
Cerita cerita tentang peristiwa itu banyak disembunyikan dan tak ingin diceritakan. Jangankan dari sisi keluarga yang menjadi korban, dari sisi pihak yang tidak menjadi korbanpun atau hanya sekedar menjadi saksi pembataianpun sulit didapat. Mereka enggan untuk cerita sesuatu yang sangat mengguncang jiwa.
Mungkin karena itulah kejadian ini hampir dilupakan dan tidak mendapat perhatian khusus dari para peneliti akademis tanah air. Penulis asing seperti Geoffrey Robinson lebih memiliki hasrat untuk menulis ketimbangan penulis lokal. Saya beruntung masih bisa mendengar cerita dari berbagai sumber pelaku sejarah melalui cerita langsung mereka maupun dari tulisan yang mereka tulis.
***
Saya ingin menceritakan sebuah kisah pada kala itu yang menurut Adrian Vickers seorang penulis asing yang banyak menulis tentang Bali, sebagai sebuah kisah kepahlawanan.
Suatu pagi di RSUP Sanglah Denpasar segerombolan orang berpakain hitam hitam bersenjatakan kelewang dan bedil masuk ke halaman Rumah Sakit ingin bertemu dengan direktur RS. Mereka adalah para Tameng. Pegawai RS sempat dibuat gempar karena cara mereka masuk yang sangat demonstratif.
Oleh direktur RSUP Sanglah yang kala itu dijabat oleh Dr AAM Djelantik mereka dipersilahkan masuk ke kantornya. Komandan Tameng meminta kepada Dr Djelantik untuk menyerahkan 6 orang pasien yang tercatat dalam daftar yang mereka buat. Keenam orang pasien tersebut menurut komandan Tameng adalah simpatisan PKI.
Dr Djelantik sempat terkejut oleh akurasi nama nama dalam daftar yang mereka sodorkan. Mereka mendesak untuk segera diserahkan keenam pasien tersebut. Para perawat dan dokter yang lain berpikiran habislah sudah riwayat ke enam orang pasien ini. Siapa yang berani melawan Tameng. Apalagi bagi hanya seorang direktur Rumah Sakit bertubuh kecil bernama Dr Djelantik itu.
Apakah prinsip kedokteran yang harus bersedia melayani dan mengayomi pasien masih akan tetap ditegakan Dr Djelantik sementara taruhannya adalah lehernya sendiri. Pedang samurai berkelebat dihadapan Dr Djelantik yang sedang ditunggu jawabannya.
Sebagian petugas kesehatan mungkin merasa cari aman lebih baik keenam orang pasien itu diserahkan saja ketimbang melihat para Tameng itu marah dan menggila di Rumah Sakit. Dr Djelantik sebagai direktur RSUP Sanglah tidak merasa perlu berkonsultasi untuk menjawab pertanyaan.
Jawaban yang Dr Djelantik berikan adalah:
“Maaf, tapi selama para pasien itu masih dalam perawatan di Rumah Sakit ini, maka mereka adalah tanggung jawab saya. Saya tidak bisa menyerahkan mereka selama mereka masih dirawat.
Mereka sudah menyerahkan nasib mereka ketangan saya sejak mereka masuk Rumash Sakit. Kalau mereka sudah selesai dirawat dan berada diluar lingkungan Rumah Sakit maka mereka bukan tanggung jawab saya lagi.”
Jawaban itu disampaikan dengan suara mantap walaupun lutut bergemetar. Mendengar jawaban direktur Rumah Sakit yang tegas itu para Tameng saling pandang sesaat. Mereka kemudian pamit tapi menyisakan pertanyaan besar: apa yang bakal mereka lakukan.
Terlepas dari itu berita telah tersebar keseantero ruang perawatan Rumah Sakit. Ke enam orang pasien yang termasuk kedalam daftar menjadi stress. Dr Djelantik memberi instruksi supaya keenam orang pasien tersebut diperpanjang masa perawatannya sebisa mungkin. Jangan keluarkan mereka walaupun mereka sudah sembuh hingga keadaan politik membaik.
Tapi ketakutan tak terbendung, sebagian dari mereka melarikan diri bersama keluarganya untuk bersembunyi. Ketakutan tidak hanya menghinggapi keenam orang pasien itu tapi juga pasien lain dan petugas kesehatan tak terkecuali Dr Djelantik sebagai direktur RS yang telah menghalangi penangkapan.
Malam hari dikediaman Dr Djelantik pintu rumah digedor oleh beberapa orang berpakaian hitam hitam. Ibu Astri istri Dr Djelantik membuka pintu dan menanyakan keperluan orang tersebut. Mereka mengatakan akan membawa Dr Djelantik karena ada komandan Tameng yang sedang sakit. Apakah benar demikian atau ini hanya teknik untuk “menjemput”.
Keadaanpun menjadi panik, Dr Djelantik segera menelepon Bupati saat itu yang memiliki hubungan dekat dengan beberapa komandan Tameng. Setelah mendapat kepastian dari Bupati bahwa memang benar ada komandan Tameng yang sedang sakit maka Dr Djelantik merasa lega lalu segera berangkat bersama para Tameng ke tempat komandan Tameng yang sedang sakit itu. Rupanya komandan Tameng sedang menggigil demam karena malaria dan tak bisa bertugas, jangankan menebas kepala orang, bangkit dari tempat tidur saja tidak bisa.
Sementara itu pembantaian dimana-mana tetap berlangsung. Siang hari jalanan sepi dalam perjalanan ke Rumah Sakit Dr Djelantik dari dalam mobil land roveryang ia naiki, terlihat dikejauhan beberapa Tameng sedang bertugas menggerebek sebuah rumah. Seiring dengan mendekatkanya mobil Dr Djelantik penggerebekan itu berhenti, seorang Tameng melihat ke arah mobil lalu memberi salam karena mengenali Dr Djelantik. Setelah mobil Dr Djelantik berlalu penggerebekan itu dilanjutkan.
Hati Dr Djelantik berkecamuk. Apa yang mesti ia lakukan? Berhenti dan menggagalkan usaha penggerebekan itu? Ah itu sama saja bunuh diri karena ini bukan dalam lingkungan Rumah Sakit. Perasaannya yang galau mengganggu pikirannya dan hanya bisa berharap agar pembataian ini segera berakhir.
Malam hari kemudian segerombolan mobil Tameng kembali menghampiri Dr Djelantik dikediamannya. Kali ini tidak ada yang sakit. Mereka hanya ingin minta ijin untuk membakar rumah tetangga Dr Djelantik milik seorang saudagar Tionghoa yang telah melarikan diri seminggu sebelumnya karena takut dicap PKI. Etnis Tionghoa memang punya alasan untuk takut karena partai komunis berafiliasi erat dengan negara Republik Rakyat China.
Pembakaran rumahpun dilakukan tapi sebelumnya Dr Djelantik meminta para Tameng untuk memeriksa apakah rumah tersebut sudah benar benar dalam keadaan kosong untuk menghindari kecelakaan terpanggangnya orang yang tak bersalah.
Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh Dr Djelantik, beliau hanya seorang dokter. Seorang dokter yang harus melayani pasien entah mereka itu datang dari pihak yang dibantai atau dari pihak yang membantai. Sungguhpun demikian tidaklah mudah menjadi dokter yang berpegang teguh pada prinsip kedokteran ditengah tengah gejolak politik tahun itu.
Semoga cerita diatas bisa memberi sedikit gambaran tentang suasana yang terjadi pada masa itu beserta dengan segala dilema berprinsip dan bersikap. Saya tidak ingin menyimpulkan apa apa. Terlalu sok tahu kalau saya berani menyimpulkan tentang suatu kejadian yang sangat rumit dan penuh emosi. Saya bersukur tidak perlu mengalami atau menjadi saksi sebuah sejarah kelam bangsa ini.

Sumber: DenDemang 

Rabu, 10 Oktober 2007

Mengenang Malam Jahanam [13]: Pembantaian Massal

October 10, 2007
Tulisan ini adalah karya Harsutejo, dimuat atas izin yang diberikan si penulis kepada saya, dan karenanya saya berterima kasih. Pemuatan tulisan ini untuk menyambut peringatan peristiwa G30S yang telah mengubah secara fundamental jalan sejarah negeri ini. Kalau boleh, saya ingin mendedikasikan pemuatan tulisan ini kepada semua korban di pihak manapun dan keluarga korban peristiwa keji itu dan rangkaian perisiwa keji dengan efek horor yang tak terperikan yang terjadi berikutnya.
Oleh: Harsutejo
Prof Teuku Jacob mendaftar ulah kekejaman manusia dengan kata-kata lugas yang cukup mencengangkan. Penyiksaan dan penganiayaan tahanan dan tawanan menunjukkan kebengisan yang tak terbayangkan, mulai dari mencambuk, mencabut kuku, menjepit ibu jari, melilit tubuh, membakar bagian badan, menyiram cairan panas, menjepit daging dengan jepitan membara, memotong urat, membuang, memperbudak, memenggal kepala, menggantung, melempar dari tempat tinggi, mencekik, membenamkan, mengubur hidup-hidup, mencincang, sampai membunuh atau memperkosa anggota keluarganya di depan mata, menjemur, tidak memberi makan, menyeret dengan kuda, membakar dalam unggun api, dan sebagainya… sebagian besar dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya sendiri.
Begitu sulit dipercaya bahwa ulah kekejaman semacam itu dilakukan juga oleh rezim militer Orde Baru terhadap musuh politik mereka atas nama suatu gagasan yang begitu tinggi dan mulia, yakni Pancasila! Malahan rezim ini masih menggenapi khasanah penyiksaan dan pembunuhan dengan penemuan baru mereka: memasukkan tahanan politik hidup-hidup ke dalam luweng atau sumur alam yang amat dalam, memasukkan ke dalam kapal bobrok dan menenggelamkannya, meneggelamkan hidup-hidup tahanan dengan beban besi atau batu, menyiram gua dan ruba tempat persembunyian dengan bensin dan membakarnya serta melemparkan alat peledak, menyetrom kemaluan laki perempuan ketika mereka dipaksa bersetubuh, menancapkan bambu runcing ke dalam vagina, dan tindakan keji lain yang sulit diterima akal sehat dan akal normal dan sulit dipercaya oleh masyarakat beradab. Dan hebatnya rezim ini berusaha keras untuk menghapusnya dari memori orang banyak dengan segala macam cara termasuk memalsu sejarah dan menggantinya dengan memori rekayasa, Pancasila sakti.
Perburuan dan pembantaian orang-orang PKI dan yang disangka PKI serta seluruh gerakan kiri sering dimulai dengan apa yang disebut sebagai “penemuan” dokumen-dokumen di kantor atau tokoh PKI atau organisasi yang lain tentang daftar hitam tokoh-tokoh lawan PKI yang hendak dibunuh. Di samping itu juga adanya dokumen yang berisi rencana-rencana gelap dan jahat yang lain. Setelah 1 Oktober 1965 dan sepanjang tahun 1966, koran dan penerbitan di Indonesia penuh dengan berita segala macam kekejian dan kekotoran PKI beserta ormasnya sampai dengan yang paling ganjil dan tidak masuk akal, telah menimbulkan histeria nasional dan histeria bangsa sebagai landasan subur untuk melakukan pembasmian terhadap mereka. Tidak selembar pun dokumen semacam itu pernah diajukan di suatu pengadilan.
Dalam telegram No. 868 kepada Kemlu AS pada tanggal 5 Oktober 1965, sore hari setelah menghadiri pemakaman para jenderal di Kalibata, Dubes AS Marshall Green memaparkan tentang petunjuk dasar dalam membantu rezim militer di Indonesia agar benar-benar dijaga kerahasiaannya. Pentingnya disebarkan dongeng kesalahan dan pengkhianatan PKI serta kebiadabannya, sesuatu yang bersifat amat mendesak.
Kedubes Inggris di Jakarta menghubungi kantor besar dinas rahasia mereka di Singapura tentang langkah-langkah yang perlu segera diambil menghadapi perkembangan situasi di Indonesia. Perang urat syaraf alias perang penyesatan terhadap lawan untuk merongrong dan melemahkan PKI. Tema propaganda berupa kisah kebiadaban PKI dalam pembunuhan para jenderal dan puteri Jenderal Nasution, bahwa PKI agen asing. Hal-hal itu harus dilaksanakan dengan halus, seolah sama sekali tidak melibatkan Inggris, bahan semacam itu sebaiknya dikirim dari Pakistan atau Filipina sebagai tercantum dalam telegram rahasia kedubes Inggris No.1835 6 Oktober 1965.
Sebagai spesialis propaganda Norman Reddaway dipilih oleh Dubes Inggris Gilchrist sebagai orang terbaik untuk pekerjaan kotor itu. Selanjutnya sang spesialis antara lain memanfaatkan jalur koresponden BBC Asia Tenggara, Roland Challis. Ia meminta sang koresponden melakukan apa saja untuk merusak dan menghancurkan Sukarno, di samping PKI serta mendukung Jenderal Suharto dengan menyiapkan dokumen-dokumen untuk dimanfaatkan olehnya. Karena sang koresponden tak bisa masuk ke Indonesia sampai pertengahan 1966, maka ia menggunakan sumber-sumber MI6 yang agen-agennya mondar mandir keluar masuk Indonesia. Dalam berita-berita yang ditulisnya tak satu pun menyinggung adanya pembantaian ribuan orang di Indonesia, yang ada perang saudara dan gerombolan komunis bersenjata. Berita itulah yang muncul dalam koran-koran Inggris The Times, Daily Telegraph, Observer, dan Daily Mail.
Robert J Martens, seorang agen CIA dengan jabatan Perwira Politik pada Kedubes Amerika di Jakarta telah berhasil menyusun daftar terpilih terdiri atas 5.000 orang kader PKI dari tingkat pusat sampai pedesaan beserta organisasi massanya dengan rincian jabatannya. Daftar itu dibuat selama dua tahun (1963-1965) dengan bantuan para pegawai CIA sebagaimana yang dibenarkan oleh Joseph Lazarsky, Deputi Kepala CIA di Jakarta. Selanjutnya diadakan kesepakatan dengan perwira intelijen Kostrad Ali Murtopo, secara berkala yang bersangkutan melaporkan siapa-siapa dari daftar itu telah ditangkap dan siapa-siapa telah dibunuh. Kostrad menjadi pusat pemantauan terhadap laporan pihak militer dari seluruh penjuru tentang penangkapan dan pembunuhan terhadap kaum komunis dan golongan kiri lain. Demikian tulis Cathy Kadane dalam San Fransisco Exeminer, 20 Mei 1990.
Penghancuran terhadap PKI dan seluruh gerakan kiri pertama-tama adalah membasmi secara fisik para anggota dan pendukungnya. Basmi sampai akar-akarnya, itulah yang terus-menerus diserukan baik oleh Jenderal Suharto maupun Jenderal Nasution serta para pengikutnya. Kekuasaan, dan segalanya ada di bawah laras senapan.
Pertama-tama perlu diingatkan bahwa segala macam aksi terhadap gerakan kiri dan pendukung BK yang lain yang antara lain dimotori oleh KAP (Komite Aksi Pengganyangan) Gestapu, mendapatkan dana dari kekuatan asing yang selalu disebut oleh BK dengan Nekolim. Resminya badan ini didirikan oleh tokoh NU Subchan ZE bersama Harry Tjan, tapi di baliknya beberapa perwira Kostrad dengan Brigjen Sucipto sebagai pemrakarsa. Pemerintah Amerika dengan CIA nya mendukung dana sebesar Rp50 juta [ketika itu setara dengan US1,2 juta] yang diberikan lewat tangan Adam Malik sebagaimana yang dimintanya. Meskipun jumlah bantuan itu menurut CIA relatif kecil, tetapi cukup berarti untuk kegiatan badan ini. Di pihak lain bantuan ini akan dapat meningkatkan pamor Adam Malik (CIA 2001:379-380), ini berarti pamor sang kancil telah dibeli dengan dollar.
Pada 17 Oktober 1965, pasukan elite RPKAD di bawah Kolonel Sarwo Edhi, lulusan sekolah staf AD Australia, berada di basis PKI segi tiga Boyolali-Klaten-Sala dengan tugas dengan cara apa pun juga untuk menghancurkan basis itu. Ketika disadari bahwa jumlah pasukan tidak mencukupi untuk tugas, maka “Kami memutuskan untuk menggalang barisan anti komunis untuk membantu tugas tersebut. Di Sala kami mengumpulkan para pemuda kelompok nasionalis dan Islam. Kami memberikan latihan selama dua tiga hari, kemudian mengirimkan mereka untuk membantai kaum komunis”, demikian kata Sarwo Edhi. Hal ini berlanjut pada akhir Oktober dan permulaan November 1965 di Jawa Timur dan pada Desember 1965 dan permulaan 1966 di Bali.
Dalam penyelidikannya tentang pembantaian di Jawa Timur, terutama di daerah Kediri, sejarawan Hermawan Sulistyo menemukan bahwa para perwira tertinggi [AD] setempat (Korem, Kodim), perwira intelijen, dalam derajat tertentu memulai pembantaian. Kemudian juga pimpinan partai politik dan tokoh setempat termasuk beberapa ulama berpengaruh. Lapis selanjutnya adalah organisasi seperti Ansor dengan Banser-nya. Dalam beberapa kasus, si pembunuh menjilati darah korban, meskipun hal itu dilarang oleh para kiai, tetapi jalan terus. Dan dengan rasa kesetanan mereka membantai korban-korban berikutnya. Algojo kadang memotong alat kelamin korban, kuping, jari, untuk menyebarkan teror.
Di Sumatra Utara, pembunuhan-pembunuhan telah dimulai sejak 1 Oktober 1965. Brigjen Kemal Idris yang sedang bertugas di daerah itu mengambil inisiatif membersihkan wilayahnya dari orang-orang komunis dalam radius 5 km dari pengkalan mereka di Tebing Tinggi. Ketika perintah datang dari Jakarta, ia telah membunuh 20% buruh perkebunan karet di Medan area.
Dalam banyak kasus para kader dan aktivis komunis dibunuh beserta seluruh keluarganya, agar di belakang hari tidak akan timbul pembalasan dendam atau retaliasi (Cribb 2000:13). Pendeknya pembunuhan menumpas sampai cindil abange, sampai bayi yang baru lahir. Ini rupanya versi pelaksanaan perintah Jenderal Suharto dan seruan Jenderal Nasution ‘menumpas sampai ke akar-akarnya’.
Di banyak tempat terutama di Jawa Timur, setelah dibantai beramai-ramai mayat mereka ditinggalkan begitu saja berserak di berbagai tempat sampai berhari-hari tak seorang pun berani mengurusnya. Atau mayat-mayat itu beramai-ramai diseret dilempar ke sungai. Mendapatkan laporan keadaan itu Presiden Sukarno dalam pidatonya pada 18 Desember 1965 mengutuk pembunuhan-pembunuhan dan mengingatkan akan perintah agama tentang soal merawat jenasah.
Di Bali ribuan orang komunis atau yang disebut komunis diburu dan dibantai. Ribuan anak-anak dan perempuan diusir dari desa mereka, lalu desa itu diluluhlantakkan dengan api. Dari malam yang satu ke malam yang lain, api menyala di banyak desa di Bali, menghancurkan pemukiman beserta penghuninya dalam kuburan massal. Adakah desa-desa yang hancur itu kemudian diresaikel. Seseorang bercerita bahwa di bawah hotel Oberoi yang mewah itu sampai ke pantai terkubur 2000 mayat mereka yang dibantai. Mungkin berbeda dengan di Jawa, di Bali tempat-tempat kuburan massal semacam itu dijadikan sasaran pemerintah Orba untuk mendirikan proyek-proyek sebagai cara untuk menghilangkan jejak secara permanen. Konon sejumlah tengkorak manusia sering ditemukan dalam proyek semacam itu, sesuatu yang biasa bagi orang Bali, dan mereka tahu tengkorak macam apa itu. Hal ini tidak pernah diberitakan media massa [selama rezim Orba, hs]
Penjagalan TerhadapTapol
Ratusan ribu orang ditahan dalam ratusan rumah tahanan dan penjara serta tahanan darurat di seluruh Jawa, Sumatra, dan pulau-pulau lain. Kata-kata Jenderal Suharto, “Siapa yang akan memberi makan mereka?” dilaksanakan dengan sebaik-baiknya di banyak tempat. Umumnya pada malam hari puluhan atau ratusan tahanan, tergantung pada kapasitas tahanan atau pun pada besarnya logistik yang dapat mereka siapkan berupa truk dan tenaga pembantai. Mereka dinaikkan truk-truk untuk dipindah, tetapi tangan mereka dalam keadaan terikat. Sesampai di suatu tempat yang telah ditentukan, maka lubang-lubang besar sudah siap untuk menelan mereka selama-lamanya, setelah para pembantai beraksi serentak baik dengan senjata api mau pun senjata tajam. Sebuah kuburan massal. Mereka berasal dari penjara-penjara Kalisosok Surabaya, Lowokwaru Malang, Banyuwangi, Madiun, Kediri, Tulungagung, Blitar, Sala, Sragen, Yogya, Wonosobo, Semarang, Ambarawa, Nusakambangan dan dari banyak tempat tahanan lain termasuk Jakarta dan Bandung.
Pulau Kemarau terletak di tengah Sunga Musi. Di situ terdapat bangunan bekas tempat usaha penimbunan besi tua yang diubah sebagai tempat tahanan. Pada permulaan Maret 1966 para tahanan mendapat jatah makan sekali sehari sebanyak tiga sendok. Kemudian makanan ini diganti jagung sebanyak 25 butir tiap kepala. Pada 1 Juni 1966 semua sel dikunci, selama tiga hari tiga malam para tahanan tidak diberi makan maupun minum. Maka satu per satu mereka menjadi tengkorak dan mayat. Mayat ditumpuk jadi satu disusun selang seling kepala dan kaki, lalu dibungkus karung dan diikat. Dengan diganduli besi, karung-karung tersebut dibuang ke Sungai Musi. Kejadian ini berlangsung hampir sebulan lamanya. Dari seluruh penjuru Jawa Tengah dan Timur, ribuan tapol diangkut ke penjara-penjara Nusakambangan, mencapai 30.000 orang. Di samping yang mati kelaparan dan penyakit, maka tiap malam berpuluh tapol dibawa ke Pasir Putih di bagian barat pulau untuk dibantai dan dikubur secara massal. Selama 1966-1969 jatah makanan begitu buruknya, tiap orang menunggu kematian.
Yang sangat umum terjadi selama 1965 sampai 1969 adalah sangat buruknya jatah makanan dan kesehatan di seluruh tahanan dan penjara, di banyak tempat hampir tanpa layanan medis apa pun. Satu-satunya pengecualian adalah rumah tahanan Nirbaya, tempat sejumlah menteri ditahan. Tak aneh apabila segala macam penyakit dari hongerudim, tifus, tbc dsb melanda para tapol. Ribuan orang dibunuh secara perlahan-lahan dengan cara ini. Selama tahun 1967/68 di penjara Kalisosok Surabaya, puluhan orang meninggal setiap harinya, sedang di Nusakambangan rata-rata 20 orang tiap harinya. Kembali ribuan orang ditangkap setelah operasi Trisula di Blitar Selatan. Pendeknya pembunuhan massal telah terjadi di banyak tahanan dan penjara. Inilah praktek dari perikemanusiaan yang adil dan beradab model Orde Baru.
Para tapol yang selama bertahun-tahun dibuat lapar serta menderita busung lapar serta berbagai penyakit lain itu secara ironis pada setiap tahunnya menjelang puasa diajari oleh ulama yang didatangkan dari dunia bebas, tentang pentingnya berpuasa, menahan lapar, menahan nafsu…” Demikian Pramoedya mencatat pengalamannya
Sasaran Pembunuhan
Sasaran pembunuhan yang telah direncanakan di samping tokoh-tokoh PKI dari puncak sampai ke akar rumput, juga termasuk kader dan aktivis semua lapisan organisasi massanya. Di samping itu terdapat target khusus yang lain berupa kaum intelektual dan tokoh yang duduk di pemerintahan seperti walikota, bupati, juga guru, seniman, kepala desa dsb. yang dianggap komunis atau simpatisan komunis. Nampaknya target tertentu ini benar-benar telah direncanakan dengan matang setelah analisis mendalam tentang kemungkinan hari depan komunisme di Indonesia. Mungkin sekali hal ini ada kaitannya dengan daftar maut CIA seperti tersebut di atas yang dimasak oleh dapur intelijen Jenderal Suharto.
Pemilihan target ini dilakukan baik dengan pembunuhan secara langsung maupun ditujukan bagi mereka yang telah mendekam di ratusan kamp tahanan dan penjara. Dengan demikian rezim militer Orba hendak memastikan bahwa tidak ada peluang lagi bagi kemungkinan kebangkitan mereka. Sebagaimana tak henti-hentinya dicanangkan oleh Jenderal Suharto dan Jenderal Nasution yang diikuti oleh media massa, ‘pembasmian kaum komunis dan komunisme sampai ke akar-akarnya’. Dan yang mereka maksud dan mereka laksanakan pertama-tama adalah pembasmian fisik. Selanjutnya diikuti oleh penghapusan dan rekayasa memori sosial dengan penghancuran segala macam dokumentasi, buku, perpustakaan, dan karya budaya dan intelektual yang lain sebagai bagian dari vandalisme. Karena itu betapa tidak masuk akalnya jika pembunuhan itu terjadi secara spontan tanpa perencanaan matang.
Standar Ganda dan Terorisme Negara
Biarlah pembantaian itu berjalan terus, toh yang dibunuh orang komunis! Begitulah standar ganda perikemanusiaan dan hak asasi manusia yang dianut rezim Barat yang mereka terapkan sebagai yang telah dianut jurnalisme majalah Time dalam artikel ‘Vengeance in Smile’ pada 15 Juli 1966 yang melukiskan pembantaian massal itu sebagai “Kabar paling bagus bagi Barat selama bertahun-tahun di Asia”, “The West’s best news for years in Asia.”
Celakanya standar ganda semacam ini pun masih terus hidup di Indonesia sebagai hasil gelombang fitnah tak berkesudahan termasuk lewat buku pelajaran sejarah dan upaya cuci otak yang terus-menerus dilakukan rezim Orba selama 32 tahun, dalam beberapa hal bahkan sampai saat ini, sering tanpa sadar dianut oleh jutaan rakyat Indonesia termasuk sejumlah kecil intelektualnya. Untuk meletakkan nilai-nilai perikemanusiaan yang adil dan beradab sesuai dengan Pancasila dan ajaran semua agama, diperlukan daya upaya yang terus menerus tiada kenal lelah dari semua yang memiliki kesadaran dan kemauan baik dengan memerangi standar ganda tersebut di atas. Untuk itu diperlukan waktu, barangkali setidaknya setara dengan waktu bercokolnya rezim militer Orba Suharto atau lebih. Menyebarkan nilai luhur sekaligus memerangi kejahatan memerlukan waktu dan daya upaya jauh lebih besar daripada kebalikannya.
Apabila terorisme didefinisikan sebagai ancaman, penistaan dan pembantaian terhadap penduduk sipil dalam jumlah amat besar dalam waktu pendek, terhadap mereka yang tidak tahu-menahu urusannya, tidak memiliki kemampuan melawan atau membela diri sendiri beserta keluarganya serta tanpa peluang menyelamatkan diri, maka ini merupakan terorisme paling hebat dan mengerikan di jaman modern, terorisme yang dilakukan oleh negara. (Dipetik dari Harsutejo, “Sejarah Gelap G30S” – revisi).
Upaya Mengelak Tanggungjawab
Sejumlah petinggi militer, sebagai yang pernah ditulis Jnderal Yasir Hadibroto yang membanggakan diri sebagai eksekutor DN Aidit, ketika itu (1965-1966) merupakan keadaan perang. Selanjutnya sejumlah pelaku dan penulis pendukung Orba seperti Sulastomo, Fadly Zon, Mayjen Samsudin, menggambarkan seolah-olah ketika itu dalam keadaan “membunuh atau dibunuh”. Itu semua bohong dan tidak ada buktinya, sekedar upaya mengelakkan tanggungjawab, agar pembantaian itu sah adanya. Apa ada situasi “membunuh atau dibunuh” di kamp tahanan dan penjara sebagai yang dipropagandakan untuk penyesatan oleh pendukung rezim Orba, agar pembunuhan massal itu dapat diterima sebagai kewajaran.
Meski keadaan politik tegang tetapi situasi relatif aman sebagai yang direkam buku yang populer disebut Cornell Paper yang disusun berdasarkan berita koran Orba sampai dengan Desember 1965, karenanya laporan Benedict Anderson dan Ruth McVey ini dinamainya A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia, 1971. Fakta-fakta yang terhimpun dalam buku ini didukung dan dilengkapi dengan fakta-fakta berupa sejarah lisan dari berpuluh-puluh narasumber mereka yang mengalami langsung pada 1965/1966 yang antara lain terekam dalam buku John Roosa cs (ed), Tahun yang Tak Pernah Berakhir, 2004 dan HD Haryo Sasongko, Korupsi Sejarah dan Kisah Derita Akar Rumput, 2005. Pembunuhan itu dilakukan dengan senjata bedil oleh pasukan militer, juga dengan menggunakan golongan anti-komunis yang termakan propaganda hitam dan rakyat yang dipaksa dan melakukannya baik dengan senjata api maupun senjata tajam, termasuk dengan bambu runcing.
Apa pun celoteh mereka, termasuk mencoretnya dari buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah, pembunuhan massal terhadap satu sampai tiga juta rakyat tak berdosa itu merupakan kejahatan berat terhadap kemanusiaan yang tidak akan dapat dilupakan dengan Jenderal Besar (Purn) Suharto sebagai pelaku tertingginya.
Sumber: TeguhTimur