HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Rabu, 22 November 2017

Pembantai Muslim Bosnia Dihukum Seumur Hidup

22.11.2017

Ratko Mladic, mantan Jenderal Pasukan Serbia dinyatakan bersalah di Pengadilan Kejahatan Perang PBB di Den Haag. 100.000 orang warga muslim Bosnia dinyatakan tewas akibat peristiwa yang terjadi tahun 1992-1995 tersebut.



Rabu (22/11), tiga hakim panel dari Pengadilan Internasional PBB untuk bekas Yugoslavia (ICTY) menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada mantan Ratko Mladic. Vonis yang dijatuhkan tersebut didasarkan pada 10 dari 11 tuduhan yang diarahkan kepada mantan pimpinan tentara Serbia tersebut.
Hakim secara detail memaparkan pembunuhan, pemukulan, pemerkosaan dan bentuk kejahatan lainnya, yang sebagian besar terjadi atas perintah atau disaksikan langsung oleh Mladic selama Perang Bosnia yang menyebabkan 100.000 orang tewas dan 2,2 juta orang mengungsi.
"Karena telah melakukan kejahatan tersebut, maka majelis hakim menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada Ratko Mladic," ujar hakim Alphons Orie.
Warga muslim Bosnia menyambut bahagia keputusan hakim yang dianggap menjawab penantian panjang mereka atas keadilan perang yang terjadi dua dekade lalu. "Terima kasih Tuhan! Demi putra-putra kami! Saya bahagia bahwa keadilan bisa ditegakkan," sorak Nedziba Salihovic, yang kehilangan suami, ayah dan putranya di Srebrenica.
Sang Terdakwa, Mladic memperlihatkan reaksi yang berbeda. Ia mengamuk marah dan menolak dinyatakan bersalah atas kejahatan yang terjadi tahun 1995 di Srebrenica.  "Ini semua adalah bohong, Anda semua adalah pembohong," seru pria berusia 75 tahun tersebut sebelum dikeluarkan dari ruang persidangan.
Bosnien Herzegowina eine bosnische Frau reagiert in Potocari auf das Urteil von Ratko Mladic in Den Haag (Reuters/D. Ruvic)
Perempuan Bosnia yang mengikuti jalannya persidangan bersorak gembira atas vonis seumur hidup bagi Ratko Mladic
Genosida di Srebenica
Hakim berketetapan pembunuhan atas sekitar 8000 warga Muslim Bosnia di Sribenica adalah bentuk genosida. Mladic dituduh "secara permanen menghilangkan" Muslim Bosnia dan Kroasia lewat upaya pembersihan etnis.
Puncak pembersihan etnis di bawah pimpinan Jenderal Mladic mencapai puncaknya pada Juli 1995. Saat itu, tentara Bosnia menyerbu kota Srebrenica. 25.000 warga berada dalam perlindungan tentara perdamaian PBB dari Belanda. Tentara PBB yang kalah jumlah dikabarkan tak mampu menghalangi tentara Serbia yang seketika membantai 2.000 pria dan remaja. Sekitar 6.000 orang lainnya terbunuh ketika mencoba melarikan diri ke hutan di sekitar kota. 30.000 anak dan perempuan juga diusir dari tempat tinggal mereka.
Peristiwa tersebut dianggap sebagai pembantaian terburuk yang terjadi di Eropa setelah peristiwa Holocaust Yahudi. Selain pembantaian di Srebrenica, Mladic dianggap turut bertanggung jawab atas tewasnya sekitar 10.000 warga ketika tentara mengepung ibu kota Bosnia, Sarajevo, selama 43 bulan.
"Penjagal Bosnia", Pahlawan Serbia
Pria yang dijuluki sebagai ‘penjagal Bosnia‘ tersebut bagi sebagian banyak orang tetap dianggap pahlawan Serbia. Kuasa hukum Mladic dalam pembelaannya menyebut perbuatan kliennya adalah upaya membela warga Serbia dari para pemimpin yang melakukan "jihad."
"Ratko Mladic bukan monster. Dia adalah prajurit yang berjuang melawan monster, yakni mesin perang Islam," ujar Branko Lunic di akhir sidang yang telah berlangsung selama empat tahun tersebut. 
Putra Mladic beranggapan bahwa keputusan pengadilan PBB tersebut sebagai  ”propagranda perang." Lewat kuasa hukumnya, Mladic mengaku tidak bersalah dan akan mengajukan upaya pembelaan hukum atas keputusan hakim tersebut. "Ayah saya bukanlah moster seperti yang digambarkan dalam sejarah. Seperti yang Anda ketahui, sejarah ditulis oleh para pemenang,” katanya. 
Sementara itu, Kepala Urusan HAM PBB, Zeid Ra'ad Al Hussein mengapresiasi hasil pengadilan di Den Haag. "Mladic adalah lambang kejahatan, dan vonis atas Mladic adalah lambang bagaimana keadilan internasional dapat ditegakkan," ujar Al Hussein seperti dikutip dari Reuters, "Keputusan hari ini menjadi bentuk peringatan bagi para pelaku yang melakukan kejahatan demikian bahwa mereka tidak bisa menghindari keadilan, tak peduli seberapa berkuasa mereka dan selama apapun waktu yang dibutuhkan."
Sebelum akhirnya menjalani persidangan, Mladic sempat menjadi buron selama 15 tahun sebelum tertangkap Mei 2011. Persidangan kali ini adalah proses terakhir dan yang terpenting pada persidangan PBB sejak dibentuk 23 tahun lalu untuk mengatasi kejahatan perang yang terjadi di kawasan Balkan pada tahun 1990-an. Sebanyak 161 orang dari berbagai profesi menjadi terdakwa. 83 orang diantaranya telah divonis, termasuk rekan Mladic, Radovan Karadzic yang dijatuhi hukuman 40 tahun penjara, Maret 2016 lalu.
"Penjagal Bosnia", Pahlawan Serbia
Pria yang dijuluki sebagai ‘penjagal Bosnia‘ tersebut bagi sebagian banyak orang tetap dianggap pahlawan Serbia. Kuasa hukum Mladic dalam pembelaannya menyebut perbuatan kliennya adalah upaya membela warga Serbia dari para pemimpin yang melakukan "jihad."
"Ratko Mladic bukan monster. Dia adalah prajurit yang berjuang melawan monster, yakni mesin perang Islam," ujar Branko Lunic di akhir sidang yang telah berlangsung selama empat tahun tersebut. 
Putra Mladic beranggapan bahwa keputusan pengadilan PBB tersebut sebagai  ”propagranda perang." Lewat kuasa hukumnya, Mladic mengaku tidak bersalah dan akan mengajukan upaya pembelaan hukum atas keputusan hakim tersebut. "Ayah saya bukanlah moster seperti yang digambarkan dalam sejarah. Seperti yang Anda ketahui, sejarah ditulis oleh para pemenang,” katanya. 
Sementara itu, Kepala Urusan HAM PBB, Zeid Ra'ad Al Hussein mengapresiasi hasil pengadilan di Den Haag. "Mladic adalah lambang kejahatan, dan vonis atas Mladic adalah lambang bagaimana keadilan internasional dapat ditegakkan," ujar Al Hussein seperti dikutip dari Reuters, "Keputusan hari ini menjadi bentuk peringatan bagi para pelaku yang melakukan kejahatan demikian bahwa mereka tidak bisa menghindari keadilan, tak peduli seberapa berkuasa mereka dan selama apapun waktu yang dibutuhkan."
Sebelum akhirnya menjalani persidangan, Mladic sempat menjadi buron selama 15 tahun sebelum tertangkap Mei 2011. Persidangan kali ini adalah proses terakhir dan yang terpenting pada persidangan PBB sejak dibentuk 23 tahun lalu untuk mengatasi kejahatan perang yang terjadi di kawasan Balkan pada tahun 1990-an. Sebanyak 161 orang dari berbagai profesi menjadi terdakwa. 83 orang diantaranya telah divonis, termasuk rekan Mladic, Radovan Karadzic yang dijatuhi hukuman 40 tahun penjara, Maret 2016 lalu.

Sumber: DW.Com 

Dari Timor Timur Sampai Papua, Suara Noam Chomsky untuk Indonesia

Reporter: Akhmad Muawal Hasan | 22 November, 2017

Noam Chomsky. FOTO/AP
  • Total penjualan senjata AS ke Indonesia selama 24 tahun pendudukan Timor Timur bernilai 1 miliar dolar AS
  • Noam Chomsky rajin membeberkan keterlibatan Barat, khususnya Amerika Serikat, dalam tragedi kemanusiaan dan huru-hara politik di Indonesia, dari Timor Timur hingga Papua.




Kabar tentang memanasnya situasi di Distrik Tembagapura, Papua, sampai ke telinga akademisi internasional. Mereka yang tergabung dalam forum International Academics for West Papua kemudian membuka lagi isu sensitif terkait pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh tentara Indonesia di Papua Barat. Sebagaimana tertuang dalam surat terbuka yang dipublikasikan melalui laman resmi, mereka menyatakan rasa prihatin yang mendalam. 
“Sejak 1969 tentara Indonesia rutin menembaki demonstrasi damai, membakar pedesaan, dan menyiksa aktivis sipil,” demikian isi surat. 
“Meski secara rutin dilarang dari provinsi tersebut, pengamat independen seperti Human Right Watch, Amnesty Internasional dan Tapol telah mendokumentasikan pelanggaran HAM yang parah dan endemik yang dilakukan pemerintah Indonesia di Papua Barat. Unit khusus dan pasukan kontra-terorisme seperti Kopassus dan Detasemen 88—dilatih oleh negara-negara Barat—terlibat dalam pemukulan, pembunuhan ekstra yudisial dan pembunuhan massal.” 
International Academics for West Papua mengajukan beberapa tuntutan. Antara lain mendorong pemerintah Indonesia untuk mendemiliterisasi Papua Barat—dimulai dengan penarikan pasukan dari wilayah tersebut, membebaskan tahanan politik, dan membuka akses bagi jurnalis internasional maupun pegiat kemanusiaan. Tak lupa, mereka juga mengajak komunitas internasional untuk turut peduli dengan apa yang terjadi di Papua Barat. 

Surat diakhiri dengan daftar para penandatangan. Di urutan pertama ada satu nama yang tak asing lagi dalam pusaran isu pelanggaran HAM: Noam Chomsky. 

Noam Chomsky berstatus sebagai profesor linguistik di Institute Teknologi Massachusetts (MIT). Namun, selama ini ia juga aktif sebagai kritikus sosial dan politik. Kritikan pria kelahiran Philadelphia, Amerika Serikat, pada 7 Desember 1928 ini tergolong pedas, terutama untuk kebijakan luar negeri pemerintah AS yang berdampak buruk pada negara lain. Cukup pedas sampai-sampai masuk ke daftar musuh Presiden Richard Nixon pada era 1970-an. 

Pada Desember 2013, Tabloid Jubi merilis pernyataan kritis Chomsky yang menilai situasi di Papua Barat sebagai sebuah skandal besar. Aktor utama di balik ketidakstabilan di tempat tersebut, katanya dalam sebuah video wawancara, adalah pemerintah AS dan Australia yang punya kepentingan terhadap sumber daya alam di Papua. Situasinya serupa dengan yang terjadi di Timor Timur, wilayah yang diperjuangkan kemerdekaannya oleh Chomsky sejak pertama kali terjadi invasi militer Indonesia pada 1975. 
 
Pada 1974, Portugis memulai proses dekolonisasi Timor Timur setelah menguasainya selama berabad-abad. Sempat terjadi perang sipil skala kecil sebelum pejuang kemerdekaan Fretilin menguasai ibu kota Dili, dan menetapkan kemerdekaan pada 28 November 1975. Pemerintah Indonesia menyatakan klaim kemerdekaan itu adalah permintaan Barat. Maka lahir invasi militer pada dua bulan berikutnya, dan tahun 1976 Timor Timur resmi menjadi provinsi baru di Indonesia. 

Aneksasi berlangsung hingga 1999, dan sepanjang periode tersebut muncul beragam bentuk pelanggaran hak asasi manusia kepada warga Timor Timur. Menurut hasil investigasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), selama 24 tahun pemerintah Indonesia melakukan penyiksaan sistematis, perbudakan seksual, eksekusi di luar hukum, pembantaian, dan bencana kelaparan yang disengaja kepada rakyat Timor Timur. 


Jumlah korban tewas sulit diperkirakan secara tepat. Commission for Reception, Truth and Reconciliation(CAVR) melaporkan korban kematian terkait konflik di Timor Timur setidaknya berjumlah 102.800 orang. Dari jumlah tersebut, sekitar 18.600 orang dibunuh atau hilang, dan sekitar 84.000 orang meninggal karena kelaparan atau sakit parah. Angka-angka tersebut mewakili perkiraan minimum dari CAVR yang temuannya diklaim berbasis ilmiah. 
 
Dalam retrospeksi yang dimuat Le Monde diplomatique bulan Oktober 1999, Chomsky memaparkan dukungan AS dalam invasi militer Indonesia dalam bentuk diplomatik maupun transaksi dagang senjata. Chomsky menilai angka penjualan senjata AS ke Indonesia “mengesankan”. Totalnya hingga 1 miliar dolar AS sejak 1975 hingga 1999. Bantuan militer AS untuk Indonesia di era Bill Clinton (1993-2001) berjumlah sekitar 150 juta dolar AS, dan pada 1997 Pentagon masih melatih pasukan Kopassus. 

Sementara dalam retrospeksi yang ditulis Chomsky pada 1994 untuk Guardian dan dipublikasi ulang di laman pribadinya, pada invasi 1975, mayoritas persenjataan tentara Indonesia berasal dari AS. Chomsky menyebut perkiraan hingga 90 persen. Tahun 1977 persediaan senjata menipis, Chomsky sebut sebagai buah dari begitu semangatnya tentara Indonesia untuk misi menganeksasi Timor Timur. Pemerintah AS segera menindaklanjuti dengan menjual lebih banyak senjata. Inggris turut membantu setahun setelahnya, kemudian diikuti dengan Perancis. 
Chomsky berusaha mengabarkan tragedi kemanusiaan di Timor Timur sejak periode awal muncul invasi. Pada bulan November 1978 dan Oktober 1979, Chomsky menyampaikan pernyataan kepada Panitia Keempat Majelis Umum PBB tentang tragedi Timor Timur dan kurangnya liputan media internasional di tempat tersebut. Pada 1999, saat referendum akan digelar di Timor Timur, Chomsky menulis tiga alasan mengapa rakyat AS perlu peduli dengan isu ini. 
“Pertama, sejak invasi Indonesia pada bulan Desember 1975, Timor Timur telah menjadi saksi kekejaman terburuk di era modern—kekejaman yang semakin meningkat saat ini,” tegas Chomsky melalui kanal Mother Jones
“Kedua, pemerintah AS telah memainkan peran yang menentukan dalam meningkatkan kekejaman ini dan dapat dengan mudah bertindak untuk mengurangi atau menghentikannya. Tidak perlu mengebom Jakarta atau menjatuhkan sanksi ekonomi. Cukup bagi Washington untuk menarik dukungan dan untuk menginformasikan kepada kliennya di Indonesia bahwa permainan telah berakhir. Ini tetap berlaku karena situasinya kini mencapai titik balik yang penting—inilah alasan ketiga.” 
Referendum dilaksanakan pada 30 Agustus 1999 karena Presiden B.J. Habibie menyanggupi permintaan Sekjen PBB Kofi Annan. Hampir 80 persen rakyat Timor Timur ingin merdeka. Chomsky turut merasa lega, namun setelahnya kembali prihatin karena hasil referendum tak bisa diterima dengan legowo oleh TNI, yang membalas kekalahan dengan menyerbu warga Timor Timur, menghancurkan banyak rumah dan bangunan hingga melahirkan gelombang pengungsi ke daerah sekitarnya. 

Chomsky mendukung website East Timor Action Network (ETAN). Beberapa tahun sekali, sejak kemerdekaan Timor Timur pada 20 Mei 2002, ia menekankan dukungannya untuk ETAN dan mengajak agar para pembaca turut berkontribusi untuk menjaga ETAN tetap mengudara. Mendukung ETAN, kata Chomsky, turut membantu Timor Timur memelihara kemerdekaannya dan mendukung kemerdekaan bagi komunitas-komunitas yang masih terjajah lainnya. 

Dari Timor Timur Sampai Papua, Suara Noam Chomsky untuk Indonesia

Chomsky turut bersuara atas tragedi pembantaian tahun 1965-1966 yang menyeret nyawa ratusan ribu anggota Partai Komunis Indonesia dan para tertuduh lainnya. Di tulisannya untuk Jurnal Indonesia volume 66 (Oktober 1998), Chomsky menyebut peristiwa yang menjadi bibit penggulingan Presiden Sukarno itu sebanding dengan kekejaman Joseph Stalin di Rusia, Adolf Hitler di Jerman, atau Mao Zedong di RRC. Dalang di balik ini semua tak lain adalah rezim Soeharto, yang disebut Chomsky berkuasa dengan bantuan Badan Intelijen Pusat AS (CIA). 
 
Soeharto telah jadi favorit pemerintah dan investor Barat sejak 1965. Untuk mempertahankan kekuasaannya, Gedung Putih telah berulang kali melanggar keputusan Kongres agar tetap bisa memberi bantuan dan pelatihan militer kepada militer Indonesia. Chomsky mencatat bantuan ini datang dari peraturan presiden AS Jimmy Carter pada 1978 maupun Bill Clinton pada 1993 dan 1998. Indonesia yang ramah investasi, kata Chomsky, jadi hadiah terbaik bagi Barat yang haus akan bahan mentah dan hasil tambang yang melimpah di Indonesia—termasuk Papua. 

Manuver Barat serupa juga terbaca di Timor Timur. Australia dulunya jadi satu-satunya negara asing yang mengakui Timor Timur sebagai salah satu provinsi Indonesia (dukungan yang senada kemudian datang dari AS, Jepang, Kanada, dan Malaysia). Motivasi utama dari pengakuan resmi ini kemudian terungkap jelas pada tahun 1989 ketika pemerintah Australia dan rezim Soeharto menandatangani kesepakatan untuk mengeksploitasi minyak di wilayah laut antara Timor Timur dan Australia. 

Kontrak tersebut benar-benar dijalankan usai Insiden Santa Cruz. Bulan November 1991 militer Indonesia membantai 271 warga sipil pro-demokrasi Timor Timur di kuburan Santa Cruz, Dili. Tercatat 382 orang terluka, dan 250 lainnya hilang. Tragedi ini berhasil direkam oleh dua jurnalis AS Amy Goodman dan Allan Nairn, serta ditangkap melalui video oleh jurnalis Inggris Max Max Stahl.
Reputasi Indonesia di mata warga dunia pun tersungkur. Protes datang bergelombang, dan publik internasional makin tercerahkan atas apa yang sebenarnya terjadi di Timor Timur—salah satunya berkat suara Chomsky. 
Sumber: Tirto.Id 

Trimo Saat di Buru


Harry S. Waluyo | Nov 22, 2017


Pakde Trimo. Foto: Koleksi pribadi

Ini adalah cerita beberapa waktu lalu saat saya mengunjungi rumah Nenek di Cilacap, Jawa Tengah. Liburan ini mulanya terasa seperti biasa: main ke pantai, wisata kuliner, dan mengunjungi banyak saudara yang kadang saya tak ingat lagi namanya dan kadang pula terasa canggung saat bertemu.

Seperti biasa saat liburan, beberapa hari tak terasa sudah berlalu. Kedua nenek saya, dari keluarga Ibu dan Bapak, kebetulan tinggal berdekatan, jadi tiap malam tiba saya bisa istirahat di mana pun saya suka. Liburan satu minggu liburan memang saya rencanakan untuk bermalam di rumah kedua nenek dan beberapa saudara yang sangat senang bercerita.

Malam itu saya memutuskan untuk tidur di rumah Nenek, ibu dari ayah saya, dan saya teringat Bapak yang pernah bercerita pengalaman hidup ibunya mungkin akan membuat saya betah berlama-lama mendengar ceritanya; pengalaman hidup saat peristiwa 30 September 1965 terjadi.

Sebelumnya saat bertemu, saya tidak pernah menanyai Nenek tentang cerita hidupnya ketika G30S terjadi. Malam saya menginap di rumah Nenek, ditemani teh hangat dan keripik pisang, akhirnya saya mulai bertanya-tanya mengenai pengalaman Nenek pada periode waktu itu.

Nenek dulunya sinden keroncong dan punya usaha cuci pakaian. Sebelum tragedi G30S, Nenek sering sekali tampil di acara besar dan kecil di kampungnya. Nenek bercerita bagaimana kondisi hidupnya serba mewah karena banyaknya jadwal tampil dan usaha cuci pakaian yang laris manis.

Sesudah peristiwa G30S, Nenek memutuskan untuk berhenti tampil sebagai sinden dan pindah dari Banyumas ke Cilacap karena banyak orang di sekitarnya saat itu yang tewas dibunuh atau hilang tak nampak lagi.

Dengan trauma yang jelas terlihat di wajahnya, Nenek bercerita bahwa lingkungan tempat tinggal barunya di Cilacap pun sepi karena para penghuninya ternyata juga banyak yang hilang dan rumah mereka dibiarkan kosong hingga sekarang.


Nenek. Foto: Koleksi pribadi

Sesekali Nenek mengelus tangan karena merinding ketika mengingat peristiwa itu, kemudian ia balik bertanya untuk apa saya bertanya-tanya. Ia juga terkadang terlihat takut untuk sekedar menyebut “PKI”.

Kudune kowe dolan nggone Trimo keh nang Jatilawang (harusnya kamu main ke tempat Trimo di Jatilawang),“ katanya saat saya terus bertanya. Nenek tampak ketakutan dan enggan untuk lebih banyak menguak cerita sejarah hidupnya.

Keesokan harinya, saya memutuskan untuk menolak tawaran pergi memancing dan memilih untuk pergi ke Jatilawang bersama orang tua dan beberapa saudara dengan sepeda motor.

Setelah sampai di Jatilawang, suguhan kopi dan kue manis dari banyak saudara malah membuat saya ingin segera menemui Trimo, yang ternyata menurut paman dan bapak saya, adalah pakde dari keluarga Bapak.

Nenek sempat bercerita bahwa Pakde Trimo pernah ditangkap dan kembali setelah belasan tahun, tetapi ketakutan dan trauma yang tampak pada diri Nenek membuat saya berhenti menanyakan kisah selanjutnya dan memutuskan untuk langsung menemui Pakde Trimo.

Kebetulan di Jatilawang saya punya banyak saudara yang memang hendak saya kunjungi juga. Saya berjalan kaki mengunjungi setiap rumah saudara dan hanya berbincang sebentar agar saya bisa berlama-lama di rumah Pakde. Saat saya tiba di rumah Pakde Trimo yang sederhana dan akhirnya berjumpa dengan beliau, Pakde sibuk ingin membuatkan es dawet dagangannya, sambil bertanya kabar saya dan ingin tahu saya sibuk mengerjakan apa sekarang.

Ada alasan kenapa saya penasaran akan peristiwa-peristiwa sejarah ini, termasuk cerita Nenek dan Pakde, yang selama ini terasa disembunyikan.

Saya lahir di Bandung pada bulan dan tahun ketika Uni Soviet resmi dibubarkan. Pelajaran sejarah yang saya dapat di sekolah adalah pelajaran sejarah masa Orde Baru dan era reformasi. Tidak mengherankan saya merasa aneh ketika melihat kakak yang sedang menjalani kuliah kesulitan mendapatkan buku-buku sejarah yang ditulis berdasarkan perspektif lain.

Buku yang membahas korban kebiadaban rezim kala itu hanya dijumpai di toko buku kecil dan seringkali disembunyikan. Buku-buku semacam ini tidak jarang diberangus demi langgengnya kekuasaan rezim saat itu.

Kembali ke cerita Pakde, ternyata Pakde ditangkap saat masih remaja. Karena Pakde hobi menggambar, ia diajak kawannya untuk masuk anggota Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia. Saat itu memang banyak kawan Pakde yang menjadi anggota organisasi itu.

Sampai satu waktu ketika sedang menggambar di pasar, Pakde diajak untuk berkumpul di kelurahan oleh tentara bersenjata tanpa tahu untuk apa. Ternyata dari kelurahan Pakde dibawa ke penjara Banyuwangi. Ia masih tak mengerti apa salahnya, hanya bisa merasa takut dan terus berdoa supaya bisa cepat pulang.

Hampir tiap malam di penjara Banyumas, satu per satu para tahanan dipanggil namanya kemudian dinaikkan ke truk. Hampir semua tidak ada yang kembali.

Dari Banyumas, Pakde dibawa pergi dengan truk militer entah ke mana. Ia kemudian diturunkan di perkebunan dengan kondisi babak belur, dihajar saat di penjara. Mereka dibariskan dengan tangan terikat di belakang, pisau di leher, dan moncong laras panjang di dada.

“Kamu tahu apa itu dewan revolusi? Disuruh apa kamu? Kamu tahu dewan jendral?”

Pakde bingung mendengar pertanyaan-pertanyaan itu. Belum selesai Pakde memikirkan jawabannya, tentara itu bicara lagi.

“Kamu bilang tidak tahu atau kamu tahu pun, kamu akan saya tembak.”

Saat itu Pakde pasrah dan berdoa tanpa henti, sampai akhirnya ia memberikan jawaban yang ternyata dianggap jawaban yang benar oleh tentara, sekalipun Pakde sendiri tidak paham apa maksud jawaban itu.

“Ya, saya disuruh dewan revolusi, tapi saya tidak mau.”

Sesudah itu, Pakde dipisahkan dan dibawa kembali ke penjara. Truk saat itu hanya berisikan beberapa orang.

Dari penjara Banyumas, Pakde dipindahkan lagi. Semula ia berharap akan dipulangkan, tapi yang terjadi ternyata ia diasingkan ke Pulau Buru. Hutan belantara dengan alang-alang tinggi dan tajam menjadi temannya selain beberapa kawan sesama pengasingan. Pakde masuk camp 5, tahanan politik golongan B.

Penyiksaan terus-menerus dilakukan tanpa alasan yang jelas. Hanya ada sedikit makanan yang didapatkan dan dibuat untuk dibagikan. Itu pun sering diambil dan disisakan hanya keraknya. Pemukulan terhadap tahanan sudah menjadi hal yang biasa, tanpa sebab dan biadab. Sekali waktu karena kekesalan yang sudah memuncak, tahanan memukuli petugas di tengah hutan, sampai akhirnya tertangkap basah. Sebagai hukuman, seluruh tahanan direndam di dalam air sehari penuh dan dihadapkan pada berondongan peluru. Yang tak menyelam atau tak kuat menahan nafas, kepala taruhannya.

Saat bulan puasa tiba, penderitaan mereka menjadi lebih berat. Pekerjaan yang berat, makan sahur yang sering sekali hanya air putih, dan hukuman yang tidak manusiawi mendera pada tahanan.

Suatu waktu, Pakde bersama tahanan lain disuruh untuk meratakan alang-alang tinggi menggunakan punggung mereka. Sekujur tubuh para tahanan dipenuhi darah tersayat ilalang tajam dan penyiksaan ini baru berhenti saat buka puasa. Guyon saat itu di antara mereka, “Kita hari ini buka puasa sama kecap!” Tentu bukan kecap kedelai, tetapi darah yang menghitam dicampur tanah di sekujur tubuh.

Selain cerita tragis masa penahanan, Pakde juga mengungkapkan keinginannya untuk menulis buku. Sayangnya, menurutnya ia tak pandai menulis. Ia berharap generasi muda saat ini terus berjuang melawan propaganda Orde Baru. “Kebiadaban rezim Orba harus dibongkar, angger ora(kalau tidak) ya rakyatnya akan terus bodoh, miskin, dan gak makmur,” ujarnya.

Tanpa saya sadari hari mulai larut. Akhirnya kami pamit dan berjanji akan segera kembali mengunjungi Pakde. Sambil mengantar kami keluar, Pakde menunjuk ke arah kebun rindang di belakang rumahnya. Di Jatilawang masih ada banyak kebun pisang dan pohon rindang. Pakde kemudian berujar, “Itu juga tempat eksekusi. Kemarin dibongkar, ada belasan orang dikubur di situ.”


Cerita Pakde hanyalah satu cerita dari serangkaian sejarah kelam tragedi kemanusiaan di Indonesia. Saat mengakhiri perjumpaan, sambil memeluk saya, Pakde berpesan, “Teruslah bicara tentang kebenaran, jangan pernah takut, berjuang terus.”

Banyumas, kali pertama berjumpa, masih menyimpan banyak tanda tanya.


Sumber: Medium.Com 

Selasa, 21 November 2017

Dirgahayu, Poncke!

Hendi Jo | Selasa 21 November 2017 WIB

Tentang seorang manusia yang memandang kemanusiaan melebihi semua ideologi.


H.J.C. Princen alias Poncke. 
Foto

Hari ini H.J.C. Princen berulangtahun. Jika dia masih ada di tengah kita, usia lelaki yang akrab dipanggil Poncke itu sudah mencapai angka 92. Namun nyatanya Poncke sudah pergi sejak Februari 2002 dan sekarang jasadnya bersemayam di Taman Pemakaman Umum Pondok Kelapa, Jakarta Timur, tempat yang dia pilih sendiri untuk beristirahat panjang.

Poncke sebenarnya sangat bisa dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Tahun 1949, Presiden Sukarno telah menganugerahinya Bintang Gerilya dan itu memberinya hak untuk dimakakamkan di “tempat yang terhormat” tersebut. Tapi sejak awal, Poncke telah menolaknya. “Papah pernah bilang ingin dimakamkan sebagai orang biasa saja dan tidak di TMP.Kalibata yang dia bilang banyak koruptornya,” ungkap Wilanda Princen suatu hari kepada saya.

Saya percaya Poncke pernah mengatakan itu. Sebagai pejuang kemanusiaan yang hampir tiap waktu bertempur melawan kesewenang-wenangan, hal-hal yang terkait dengan heroisme baginya sudah selesai. Tak ada sikap pamrih seperti dimiliki sebagian besar para politisi kita hari ini. Karakter dan prinsipnya sangat jelas. “Dia orang yang setia kepada hatinurani dan rakyat tertindas,” ujar Y.B. Mangunwijaya alias Romo Mangun dalam Gerilya yang Tak Pernah Selesai.

Romo Mangun tentunya tidak sembarang meyebut Poncke seperti itu. Tapi saya yakin, dia tidak memiliki kalimat lain untuk melukiskan seorang lelaki Belanda yang “nekad” berpihak kepada “kaum ekstrimis” yang dimusuhi negaranya hanya karena soal kemanusiaan. Padahal bila mau, (seperti puluhan ribu serdadu Belanda lainnya saat itu) bisa saja Poncke berdalih bahwa dia hanya eksekutor dari para jenderal semata. Tapi toh itu tidak dilakukannya.

“Aku pernah menjadi bagian suatu negara yang ditindas oleh para fasis Jerman, apakah aku harus berlaku sama seperti para penindas itu kala berhadapan dengan orang-orang Indonesia yang ingin merdeka?” kata Poncke saat saya wawancarai pada 1996.

Desember 1948, Poncke secara resmi membelot ke kubu Republik. Ia lantas bergabung dengan Batalyon Kala Hitam Divisi Siliwangi dan ikut melakukan long march dari Yogyakarta ke Jawa Barat. Bersama sekira seribu prajurit (ditambah para perempuan dan anak-anak), dia berjalan dari hari ke hari hampir dalam waktu dua bulan lamanya menyusuri kaki gunung, hutan, sawah dan sungai.

Masih segar dalam ingatan Poncke, saat mereka tengah berjalan tertatih-tatih dalam suatu barisan panjang, kerap kali pesawat-pesawat tempur militer Belanda menghujani mereka dengan peluru dan bom. Dia harus menjadi saksi semua hal buruk yang ditimbulkan oleh saudara-saudara sebangsanya: orang-orang terluka karena bom, anak-anak stres karena ketakutan dan para istri yang menangis karena kehilangan suami.

“Omong kosong, kalau itu semua tidak membuatku semakin terikat dalam satu nasib dan satu penderitaan dengan mereka!” ujarnya seperti dikutip oleh penulis Joyce van Fenema dalam Kemerdekaan Memilih. Bisa jadi, pengalaman itu pula yang menjadikan Poncke selalu memilih posisi bersama rakyat tertindas dan bersebrangan dengan pihak penguasa. Baginya kemanusiaan melebihi semua ideologi yang dimiliki manusia termasuk nasionalisme.

Setelah keluar masuk penjara karena kerap berbeda pendapat dengan pemerintah Sukarno, pada awal 1969, Poncke lagi-lagi memerahkan kuping penguasa. Kali ini rezim Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto yang menjadi sasarannya. Saat itu, di hadapan pers, Poncke membongkar pembunuhan ratusan anggota dan simpatisan PKI (Partai Komunis Indonesia) di Purwodadi.

Rezim Orde Baru murka. Mereka menyebut berita itu disebarkan oleh seorang “komunis kesiangan”. Bahkan tanpa tedeng aling-aling, Gubernur Jawa Tengah Moenadi menuduh Poncke sebagai anggota Partai Komunis Belanda. Sebuah tuduhan yang tentu saja sangat ngawur.

Sudah pasti Poncke tak pernah peduli dengan semua tuduhan tersebut. Bahkan saat dia dikecam sebagai “sekali pengkhianat tetap pengkhianat” oleh Ali Said (Ketua Komnas HAM) karena pembelaanya kepada para aktivis pro kemerdekaan Timor Leste, Poncke tetap setia dengan jalan oposisi-nya.

Poncke memang manusia yang jarang dilahirkan oleh zaman. Saya pikir, hingga kini tak banyak orang seperti dia lagi. Kendati begitu banyak hal yang bisa diteladani darinya, orang-orang hari ini agaknya tidak akan seberani dia lagi ketika harus memilih jalan. Dirgahayu, Poncke!

Sumber: Historia.Id 

Dirgahayu, Poncke!

Tentang seorang manusia yang memandang kemanusiaan melebihi semua ideologi.

H.J.C. Princen alias Poncke. 
Historia 

Komnas HAM Telaah Temuan Kuburan Korban Tragedi 1965-1966

Reporter: 

Fransisco Rosarians Enga Geken  

Editor: 

Rina Widiastuti

Selasa, 21 November 2017 07:26 WIB



Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) Bedjo Untung bersama korban lainnya saat berada di Gedung Komnas HAM, Jakarta, 15 November 2017. TEMPO/Subekti.

TEMPO.COJakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) masih menelaah informasi dan data tentang temuan terbaru lokasi kuburan massal korban peristiwa 1965-1966 yang mereka terima pekan lalu. Menurut Koordinator Subkomisi Penegakan HAM, Amiruddin Al Rahab, lembaganya selalu menindaklanjuti semua laporan, termasuk temuan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965-1966 tersebut.
“Harus dipahami, kami ini semua (komisioner baru) baru saja mulai bekerja. Semuanya tentu masih harus ditelaah,” kata Amiruddin saat dihubungi, Senin, 20 November 2017.
Adapun korban peristiwa 1965-1966 dan keluarga mereka mengharapkan bantuan serta peran Komnas HAM untuk menyelesaikan kasus tersebut. “Kami berharap Komnas HAM lebih berani. Kami kecewa dengan komisioner lama. Kami siap bantu karena punya data di mana saja,” kata Ketua YPKP 1965-1966, Bedjo Untung.
Kelompok yang sama juga melakukan perlawanan dengan mengajukan kasus tersebut ke Sidang Rakyat Internasional di Den Haag, Belanda. Rekomendasi sidang yang mengukuhkan temuan terjadinya pembunuhan massal pada 1965-1966 itu pupus karena pemerintah menolak intervensi internasional.
Presiden Joko Widodo membentuk tim penyelesaian kasus HAM masa lalu pada Mei 2016. Namun hingga kini belum ada tanda-tanda langkah penyelesaian, termasuk verifikasi lokasi kuburan massal. “Ini banyak yang belum paham. Maunya dibawa ke persidangan, tapi berkasnya saja belum lengkap (saksi, bukti, dan terduga pelaku dinilai belum jelas),” kata Jaksa Agung Muhammad Prasetyo.
Sumber: Tempo.Co 


Jokowi Kritik Istilah PKI Bangkit dan Antek Aseng

Anugerah Perkasa , CNN Indonesia | Selasa, 21/11/2017 04:04 WIB


Presiden Joko Widodo mengkritik pendidikan yang diberikan elite politik kepada anak-anak, di antaranya soal penyebutan antek aseng. (CNN Indonesia/Christie Stefanie)
Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo mengkritik pendidikan yang diberikan oleh elite politik kepada anak-anak, di antaranya soal penyebutan antek aseng.

Hal itu disampaikan Jokowi saat membuak Simposium Nasional Kebudayaan 2017 di Jakarta, Senin (20/11). Dia menuturkan banyak elite politik yang memberikan pendidikan tak baik kepada masyarakat dan anak-anak.

Di antaranya adalah istilah antek asing maupun antek 'aseng'. Antek asing secara umum adalah sebutan yang dialamatkan kepada pihak yang bekerja kepada pemerintahan asing, biasanya untuk Barat, sedangkan antek 'aseng' identik dengan China. 


“Coba kita lihat, banyak yang masih berteriak-teriak mengenai antek asing. Istilah-istilah seperti itu, mengenai antek 'aseng', mengenai PKI Bangkit. Ya kalau saya PKI bangkit ya gebuk saja sudah, gampang. Wong payung hukumnya juga jelas,” kata dia dalam situs Sekretariat Kabinet yang dikutip CNNIndonesia.com, Senin (20/11).

Jokowi menyarankan agar cara-cara politik yang baik serta beretika dapat dilakukan. Dalam hal ini, Presiden mengharapkan para senior di Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD), Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI/Polri dapat memberikan contoh kepada generasi muda. 


Dia menuturkan organisasi itu dapat menyampaikan cara berpolitik dan berbicara dengan etika, menghargai senioritas serta menjaga nilai-nilai kesantunan. 

“Nilai-nilai ke-Indonesia-an, kesopanan, kesantunan, semua yang terkandung dalam ideologi Pancasila harus terus disampaikan kepada anak-anak, sebagaimana kerukununa, persaudaraan dan toleransi,” kata Presiden.
 (kid)


Sumber: CNN Indonesia 

Senin, 20 November 2017

Riwayat Rewang Mengumpulkan Sisa-Sisa PKI 1965

Reporter: Petrik Matanasi | 20 November, 2017

Portrait Rewang, mantan tapol PKI yang telah bebas. FOTO/Istimewa
Rewang dan kawan-kawan tertangkap dalam operasi militer Trisula oleh Kodam Brawijaya.
Setelah PKI dibikin babak belur, Rewang dan kawan-kawan bergerilya di Blitar Selatan dan akhirnya tertangkap.
Berbulan-bulan Sri Kayati tak tahu lagi kabar suaminya. Sampai dia dengar berita dari kawan-kawannya, pada akhir 1967, jika suaminya berada di Surabaya. Perempuan yang pernah jadi anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) ini pun memutuskan meninggalkan Jakarta, menuju Surabaya, mencari suaminya. 

Namun, begitu tiba di Surabaya, nasib sial menimpanya. Belum juga menemukan sang suami, ia digelandang petugas keamanan. Suami Sri Kayati adalah Rewang, pentolan Partai Komunis Indonesia (PKI).
“Seperti tersangka lain, ia ditangkap tanpa melalui prosedur hukum yang ada. Ia ditangkap begitu saja tanpa ada surat perintah penangkapan,” tulis Amurwani Dwi Lestariningsih dalam Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan (2011). 
Saat Sri Kayati ditangkap, para petugas itu bilang: Ia akan dibebaskan setelah suaminya dapat ditangkap. Belakangan, Sri Kayati menghuni Kamp Plantungan, tahanan khusus perempuan untuk mereka yang dianggap PKI. Di situ ia mengaku menyaksikan penganiayaan yang tiada tara kejamnya.

Perlawanan yang Gagal di Blitar Selatan

Setelah Gerakan 30 September (G30S) 1965 pimpinan Letnan Kolonel Untung digagalkan, banyak pimpinan PKI ditangkapi dan tercerai-berai. Begitu juga Rewang, yang berkeliaran di sekitar Blitar Selatan ketika Sri Kayati ditahan. 

Dalam pelariannya itu, menurut catatan Sukri Abdurahman dalam Malam Bencana 1965 Dalam Belitan Krisis Nasional: Bagian II Konflik Lokal (2012), Rewang yakin “PKI tidak salah” pada peristiwa G30S. Dia termasuk anggota politbiro PKI yang tidak setuju dengan petualangan partai dengan sekelompok tentara yang tidak puas dengan atasan mereka.

Rewang dan kawannya, Iskandar Subekti, berada di Surabaya sejak Februari 1967. Sebelum ke Surabaya, bersama Sudisman, Oloan Hutapea, dan Sukatno; Rewang membangun PKI “gaya baru” dengan sebutan Tripanji PKI pada September 1966. Dalam PKI “gaya baru” itu, Rewang juga menjadi anggota Politbiro. Posisi lainnya adalah Ketua Departemen Agitasi Propaganda.
Bersama sisa-sisa anggota PKI dan simpatisannya, mereka membangun basis di Blitar selatan—yang kala itu terisolir. “Tak ada lagi pilihan bagi mereka selain melawan atau ditangkap hidup-hidup atau mati,” tulis Amurwani. 
Di situ Rewang ikut jadi pemimpinnya. Di Blitar selatan, terdapat sungai bawah tanah yang potensial menjadi lokasi pelarian dan persembunyian orang-orang komunis yang dikejar aparat tentara. Beberapa tahun pertama gerilya sisa-sisa komunis tersebut, mereka agak sulit dihantam, karena lokasi persembunyian yang disediakan alam itu.
Berkat bantuan dari “mantan Dandim Pandeglang, Letnan Kolonel Pratomo, Rewang dan kawan-kawan, mendapat latihan militer bagi para anggotanya. Gerakan mereka dengan cepat memperoleh simpati masyarakat sekitar. Sebab Blitar Selatan merupakan daerah terpencil dengan taraf hidup rakyat yang sangat minim,” tulis Dasman Djamaluddin dalam Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar (2008). 
Sementara dalam Tahun Yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65: Esai-esai Sejarah Lisan (2004), Rewang mengatakan, "bahkan anak sekolah dasar pun membantu memberitahu seandainya ada polisi yang datang." Menurutnya, "massa di Blitar selatan memberikan perlindungan tanpa paksaan, karena aktivis PKI tidak membawa [senjata] apa-apa.”
“Selama di Blitar Selatan saya tanpa sabun dan handuk. Pendeknya kita benar-benar meninggalkan pola hidup kota,” terang Rewang dalam memoar yang diterbitkan Ultimus, Saya Seorang Revolusioner (2017), yang disusun Joko Waskito. Bagi Rewang, “perlawanan itu dilakukan dalam situasi amat sulit, ketika sebagian rakyat masih berada dalam ketakutan akibat pembunuhan massal yang sangat kejam dan biadab.”

Riwayat Rewang Mengumpulkan Sisa-Sisa PKI 1965
Gerilyawan-gerilyawan komunis yang hendak meniru gerilya Vietkong melawan Perancis dan Amerika itu tak pernah sukses. Meski wilayahnya sulit terjangkau, pelan-pelan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) berhasil mematahkan perlawanan gerilyawan-gerilyawan komunis. Di masa-masa itu, tak hanya sisa PKI di Blitar selatan yang berontak. Setidaknya, ada juga PGRS/Paraku di Kalimantan.

Rewang dan kawan-kawannya akhirnya kena gulung operasi militer Trisula oleh Komando Daerah Militer (Kodam) Brawijaya (Jawa Timur). Menurut pihak militer dalam Operasi Trisula Kodam VIII Brawidjaja (1969), “Rewang alias Parto alias Karto alias Demo alias Siman, lahir tahun 1928 di Dawung Wetan Solo.” 

Rewang adalah anak dari Marjosuwiknjo. Ketika ia ditangkap, kedua orang tuanya sudah meninggal. Sang ayah wafat pada 1948. Menurut catatan militer itu pula, Rewang lulus sekolah dasar dan tidak lulus sekolah menengah MULO.

Di masa mudanya, ketika berusia 22 tahun, menurut Bintang Merah volume 6 tahun 1950, Rewang adalah anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) cabang Sukoharjo, Jawa Tengah. BTI merupakan organisasi petani yang belakangan merasa satu tujuan dengan PKI. 
Lalu, sebelum Agustus 1965, menurut MR Siregar dalam Tragedi Manusia dan Kemanusiaan (2007), “Rewang adalah Sekretaris Pertama CDB (Comite Daerah Besar) PKI Jawa Tengah.”
“Awal Juli 1966 saya pindah ke Jakarta. Kepindahan saya ke Jakarta karena mendapat tugas baru sebagai Kepala Departemen Kebudayaan dan Sekretariat CC [PKI],” aku Rewang yang akhirnya jadi anggota politbiro partai.
Perlawanan di Blitar Selatan itu, menurut Rewang, hanya bertahan satu setengah tahun dari 1966 hingga 1968. Rewang tertangkap pada 21 Juli 1968 dan ketika diadili ia sudah siap dieksekusi mati. Namun, majelis hakim akhirnya memvonis penjara seumur hidup. Dalam memoarnya, Rewang bercerita soal salah satu anggota majelis hakim yang menjatuhkan vonis padanya belakangan masuk penjara Cipinang gara-gara korupsi. 
Sumber: Tirto.Id