Rabu, 01 November 2017

Seni Pembebasan Semsar Siahaan


Salah satu lukisan Semsar Siahaan.

Mengusung tajuk Semsar Siahaan: Art, Liberation, Gadjah Gallery di Singapura menghelat pameran tunggal karya pengabadi humanisme rasa realisme, Semsar Siahaan. Setidaknya ada 28 lukisan karya Semsar dari periode 1984 hingga 2004 yang akan dipamerkan. Di antara karya itu termasuk beberapa karya yang sering disebutkan namun jarang ditunjukkan, seperti “Olympia: Identity with Mother and Child” dan “G-8 Pizza” yang luar biasa—karya monumental terakhir yang terlahir di akhir oeuvre-nya.

Jasdeep Sandhu, penggagas pameran sekaligus pemilik Gadjah Gallery, butuh persiapan hingga tiga tahun untuk mempersiapkan pameran tunggal Semsar tersebut. Dia mengatakan, sulitnya mengumpulkan karya-karya kunci Semsar yang bisa memberi roh menjadi tantangan utama menghelat pameran itu.

“Ini bukan lagi tentang kami menjadi galeri, tapi tentang warisan yang sangat penting. Semsar mungkin adalah artis Indonesia yang paling penting dari akhir 1970-an, 1980-an, dan awal 1990-an,” tutur Jasdeep, seperti dikutip pluralartmag.com.

Di mata Jasdeep, Semsar adalah permata yang sedang ditemukan kembali oleh akademisi lokal dan asing di tingkat tertinggi. Dan, Semsar Siahaan: Art, Liberation memang tak berniat menunjukkan “potongan-potongan”.

“Dia sangat menderita dan dia adalah yang terdepan dalam gerakan aktivis seni. Kami, jika saya bisa mengatakannya, menunjukkan tubuh yang sangat penting dari karyanya,” kata Jasdeep.

Dia menyebut, melalui karya-karya yang dibuat pada fase perlawanan terhadap rezim Soeharto, Semsar menggambarkan seni sebagai unsur penting proses kemanusiaan menuju kebebasan. Oleh karenanya, karya-karya Semsar berpengaruh pada masyarakat—sebagaimana dia terus menggunakan karya seni sebagai alat perlawanan.

Alat perlawanan itulah yang dietalasekan secara luas di beberapa institusi seni di Jepang, Singapura, dan di Tanah Air sebelum kepindahan Semsar ke Kanada tahun 1998. Ada benang merah menjulur: sejarah dan pergerakan politik memang  menjadi  dasar karir Semsar. Namun, inspirasinya selalu datang dari pengalam pribadinya yang berada di luar institusi, bahkan institusi seni sekalipun.  Jasdeep menganggap Semsar belum mendapatkan tempatnya yang layak di barisan seniman-seniman penting Indonesia.

Olympia: Identity with Mother and Child” adalah garapan Semsar sebagai apropriasi “Olympia” karya Edouard Manet, dengan mengkritik kepatuhan Indonesia atas kuasa kapitalisme Barat. Akan halnya “G-8 Pizza” merupakan simbol politik global dari negara G8 yang maujud dalam bentuk delapan iris pizza yang terbuat dari medium kardus bekas kemasan.


Sebagian karya gambar Semsar.

Tak hanya cermat memotret geopolitik global yang dikuasai negara maju dengan neokapitalisme, Semsar juga memperluas konteks dan mempercanggih visual negara G-8 menjadi bentuk piza raksasa yang dipotong delapan. Dan, piza raksasa itu dikontrol manusia-binatang-iblis alias si Manubilis dan kroninya.

Bersama Semsar, lukisan menjadi begitu bertenaga sebagai alat pembebasan masyarakat dari kemiskinan dan ketidakadilan. Bagi dia, keindahan muncul sendiri dari upaya pembebasan yang dilakukan seniman. Kebebasan ada demi pembebasan manusia terbanyak.
Tak hanya Gadjah Galeri, perhelatan seni dua tahunan Jakarta Biennale 2017 pada 4 November -11 Desember 2017 juga bakal menampilkan sosok dan karya Semsar Siahaan dalam Menimbang Kembali Sejarah, yang dikhususkan mengangkat seniman berkontribusi khas di dunia seni rupa Indonesia. Selain memamerkan karya lukisan, gambar dan reproduksi poster, Jakarta Biennale 2017  juga akan memajang arsip pribadi Semsar, termasuk buku harian yang dia tulis pada rentang 24 Oktober 1998 sampai 13 September 2002.

Lahir sebagai anak tentara, Semsar memperoleh pendidikan formal seni pertama kali di San Francisco Art Institute (SFAI), San Francisco, Amerika Serikat, tahun 1975. Dia berguru dari para pelukis Amerika, seperti Bruce McGaw hingga Ursula Schneider, dan kembali ke Indonesia dua tahun kemudian.  Di Tanah Air, Semsar menekuni seni patung di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, di bawah bimbingan pematung-pematung top, seperti Rita Widagdo, G. Sidharta, Soenarjo, dan Surya Pernawa. Di Kampus Gajah, Semsar tak cuma belajar membuat patung, tapi juga mulai melukis.


Membuat Geger

PADA AWAL dekade 1980-an, Semsar membuat geger dunia seni rupa Indonesia ketika membakar patung “Citra Irian dalam Torso” karya Profesor Soenarjo, dosennya di Jurusan Patung ITB. Padahal, patung itu baru tiba kembali setelah dipamerkan di pameran seni patung internasional di Fukuoka, Jepang.

Tak cuma mengabukan patung itu, Semsar membungkus nasi kuning dengan daun pisang yang disajikan sambil menyatakan apa yang ia lakukan itu sebagai “seni kejadian”. Tanpa menunggu lama, pihak ITB mencoret nama Semsar sebagai mahasiswa dan menggelandang Semsar ke balik sel di hotel prodeo.

Di mata Semsar, seni modern Indonesia jatuh derajatnya bila hanya menjadi pemuja keindahan estetik. Seniman dianggap memanipulasi seni tradisi untuk kepentingan mereka sendiri.

Mengambil penjuru ke Barat sekaligus memimpikan kemakmurannya sejak kepeloporan Raden Saleh, Semsar menganggap estetika abai pada kenyataan sosial di negeri sendiri, yakni petani miskin dan nelayan. Itulah yang sangat ditentang secara konsisten oleh Semsar pada masa rezim Soeharto, karena hak-hak dasar rakyat dihilangkan dan kemanusiaan dirampas.

Sikapnya yang garang dan tak kenal kompromi itu membuat Semsar sulit mendapat kapling untuk berpameran. Tinggal di wilayah kumuh di Jakarta, dia mulai kembali melukis dan berstudio di jalanan. Bertahun-tahun mencoba, ia pada tahun 1988 akhirnya berhasil menggelar pameran tunggal yang didukung Dewan Kesenian Jakarta.


Semsar dan karyanya, “G8 Pizza”.

Pada pameran itu, dia mengusung 250 gambar hitam-putih dan 12 lukisan yang rata-rata mencitrakan penindasan dan kekerasan yang mengerikan. Brita L. Miklouho-Maklai, peneliti seni modern Indonesia, menyebut karya-karya Semsar itu diolah dari karya humanistis seniman Jerman, KƤthe Kollwitz, dan satir George Grosz.

Kedekatan Semsar dengan Grosz bisa dilihat dari citra manubilis yang sebelumnya sudah muncul dalam cerita pendek yang ditulis pada 1982. Manubilis digambarkan sebagai pengisap tengik yang sopan dan penuh adab.

Hampir pada semua karya Semsar, suasana jelata, kematian, dan penindasan terlihat sangat tajam. Citra itu berkelindan dengan gambaran ketamakan, kekuasaan, dan kebengisan penuh ironi, sinis, nyelekit, sekaligus sarkas. Keutamaaan estetika benar-benar pingsan di jalan pembebasan Semsar.

Tak hanya di Taman Ismail Marzuki, lukisan itu kemudian berkeliling mengunjungi jejaring aktivis Yogyakarta, Surakarta, Salatiga, hingga Bandung. Di pengujung pameran, di Gedung Yayasan Pembina Kesenian, Bandung, pada hari Minggu, 10 April 1988, Semsar memproklamasikan “Seni Peristiwa Monumental Menentang Pemilikan Pribadi atas Karya Seni”.

Bagi dia, pemilikan pribadi adalah persemaian neofeodalisme, yang dengan gampang berbiak di era kekuasaan rezim Soeharto. Seperti mengulang pembakaran patung Soenarjo tujuh tahun sebelumnya, Semsar membakar semua karyanya sekaligus bersuara lantang bahwa karyanya “harus dikembalikan pada apinya semangat pembaharuan”.

Dengan pameran itu, Semsar seperti menyuntikkan semangat aktivis dan penggiat hak asasi. Keterlibatannya juga dituangkan pada spanduk, poster, baliho, dan gambar-gambar yang dipakai demonstran saat turun ke jalan. Bahkan, dia sendiri yang mengusung poster-poster buatannya ketika aksi menentang Perang Teluk pada tahun tahun 1991.

Lima tahun kemudian, Semsar kembali menggelar pameran di Galeri Utama Taman Ismail Marzuki, yang akan dibongkar karena akan direbovasi. Ia mengusung tajuk “Penggalian Kembali” sebagai monumen korban kekejaman politik sejarah Indonesia mutakhir. “Monumen negatif” itu berupa galian seluas 9 meter x 3,5 meter x 2 meter sebagai kuburan patung manusia tanah yang ia gambarkan sebagai jenazah para korban yang dikeliling mural hitam putih penuh manubilis.

Semsar menuding debat isme-isme pada dunia seni tak bakal memecahkan masalah perjuangan kemanusiaan yang nyata yang dengan lantang diekspresikan dalam kalimat di dinding masuk, “Anda memasuki daerah bebas gravitasi posmo.”

Ketika itu, gerakan Post-modernisme memang sedang menjadi semacam fashion di kalangan pekerja seni, dengan “pusat gravitasi”-nya di kantor majalah Tempo dan dosen filsafat Universitas Indonesia, Tommy F. Awuy, sebagai “juru bicara”-nya.

Pada tahun 1994, ketika Semsar bergabung dengan para demonstran menentang pemberedelan majalah TempoEditor, dan tabloid Detik, tentara menghajar kakinya, yang memang lemah karena pernah diserang polio. Kakinya patah tiga.

Tercatat, sejak tahun 1979, Semsar setidaknya sudah mengikuti 12 kali pameran, baik itu bersama meupun tunggal di Bandung, Jakarta, dan Australia. Termasuk di antara pameran itu meliputi patung, lukisan, dan karya seni rupa-pertunjukan. Tahun 1991, dia memberi ceramah keliling di Sydney, Melbourne, Wollongong, Canberra, Hobart, dan Adelaide. Dia juga diundang sebagai perupa tamu di University of New South Wales, Australia.

Keadaan sosial dan politik yang terus memanas bagaimanapun membuat Semsar waswas. Ketika beberapa mahasiswa mati ditembak; aktivis dan penyair sahabatnya, Wiji Thukul, diculik tahun 1998, dia merasa jiwanya terancam. Ia memutuskan pindah ke Kanada.

Semsar baru kembali ke Tanah Air tahun 2004 dan menggelar pameran The Shade of Northern Lights di Galeri Nasional Indonesia. Pada pameran itu jelas terlihat seni oposisional Semsar tampak mengalami perluasan konteks dan pencanggihan visual. Juga tema dan bentuknya.
Melalui pameran itu juga, Semsar pamit setelah memutuskan mencari tempat yang lebih tenang. Tempat itu terletak di Tabanan, Bali Utara, yang ia rancang sebagai sanggar kreatif. Sayang, di tengah persiapannya itu tiba-tiba dia tersungkur akibat serangan jantung. Semsar Siahaan meninggal pada Rabu dini hari, 23 Februari 2005, di rumah sakit di Tabanan.


Kisah Kaki Patah Tiga

MENGABAIKAN seragam resminya, puluhan tentara itu cuma mengenakan kaos hitam. Seram dengan mata nyalang dan pentungan yang tergenggam di tangan. Di depannya, demonstran dan langit terik serta keringat membanjir. Mereka tak sabar menggunakan pentungnya. Ketika mereka benar-benar mengamuk, demonstran di seberang gedung Departemen Penerangan, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, yang hanya berjumlah ratusan itu kocar-kacir.

Semsar Siahaan, selain rangkap profesi sebagai seniman dan aktivis, adalah orang yang dikaruniai solidaritas tinggi. Bersama beberapa aktivis, dia ikut berdemonstrasi pada tanggal 27 Juni 1994 itu, menentang pembreidelan majalah TempoEditor, dan tabloid Detik.

Ketika unjuk rasa berubah menjadi chaos, Semsar sebenarnya sudah dalam posisi aman. Namun, dia berbalik untuk melindungi seorang teman. Semsar memapah dan menyuruh sang teman berlari kencang menjauh.

Saat sang teman mencoba balik dan mengajak dirinya, Semsar hanya melambaikan tangan tanda mengusir dan menolak ditemani. Sial, kaki yang sejak kecil memang sudah lemah karena penyakit polio itu dihajar tentara. Tempurung lutut dan tulang keringnya patah tiga dihajar tentara. Ironis, karena bapak Semsar juga seorang tentara.

Tak hanya karena solidarita yang tinggi, Semsar dikenal. Banyak yang menyebut, di keningnya ada cap si pembuat gara-gara. Selain pernah membakar patung karya dosennya saat kuliah di ITB, Semsar juga membuat geger ketika memanjat kubah Planetarium di Taman Ismaill Marzuki pada tengah malam. Dia nekat memanjat kubah itu untuk memasang spanduk manifesto politik berkeseniannya. Tentu saja tanpa izin penguasa. [TUS]
Sumber: KoranSulindo 

0 komentar:

Posting Komentar