Selasa, 14 November 2017

Keterlibatan Muhammadiyah dalam Pembantaian 1965

Kolumnis: Wahyudi Akmaliah* | 14 November, 2017
Catatan Penulis: Tulisan ini yang paling menyita waktu. Bukan proses menuliskannya. Ini karena, saya memiliki kecepatan sendiri dalam menulis. Lebih dari itu, tulisan ini ditolak berkali-kali oleh media online. Sempat kecewa dan merasa ini tulisan ini tidak layak. Saat dikirimkan ke Tirto.id tulisan ini menemukan semacam takdirnya sendiri untuk bertemu pembaca lebih luas. Silahkan dibaca yang tertarik.

Terkait keterlibatan kelompok Islam dalam pembunuhan massal peristiwa 1965-1966, banyak studi lebih memfokuskan kepada organisasi keislaman Nahdlatul Ulama, khususnya keterlibatan Banser NU. Keterlibatan sayap organisasi NU inilah yang kemudian memprakarsai Abdurrahman Wahid atau Gus Dur untuk meminta maaf secara terbuka saat sedang menjabat presiden. 

Permintaan maaf ini kemudian menggerakkan anak-anak muda NU mendirikan Syarikat Indonesia (Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat) guna melakukan proses rekonsiliasi kultural, khususnya di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur pasca rezim Orde Baru.

Pertanyaannya: mengapa studi keterlibatan Muhammadiyah sedikit dan bahkan tak ada yang membahasnya, kecuali secara selintas? Apakah Muhammadiyah benar-benar bersih dari peristiwa yang mengakibatkan terbunuhnya 200 ribu-1 juta anggota PKI dan siapa pun yang di-PKI-kan?

Secara geografis dan kapital ekonomi, relatif sulit menemukan keterlibatan Muhammadiyah karena dua hal. Pertama, Muhammadiyah tumbuh dan besar di wilayah perkotaan. Kedua, profesi kebanyakan kelompok Islam modernis adalah berdagang. 

Dua hal itu kelihatannya menjauhkan Muhammadiyah dari konflik-konflik tanah di desa-desa nyaris seluruh Jawa sejak Partai Komunis Indonesia menggaungkan reforma agraria. Kebijakan reforma agraria pada 1960-an mengancam kiai dan pesantren, pemilik tanah luas, yang menciptakan prakondisi pembunuhan massal di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur (Woodward: 2011)Latar belakang inilah yang setidaknya menjadi alasan mengapa banyak para sarjana, baik dalam dan luar negeri, tidak menjadikan Muhammadiyah sebagai bagian dari subjek studi pembunuhan massal 1965-1966. 

Namun, latar belakang tersebut jadi janggal jika melihat dua fakta.

Pertama, sejarah KOKAM (Komando Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan Muhammadiyah) sebagai badan paramiliter yang berdiri di Jakarta pada 1 Oktober 1965, pukul 21.30, adalah respons terhadap “Gerakan 30 September”. Ketua dan komandan pertamanya adalah Letnan Kolonel S. Prodjokusumo. KOKAM menyelenggaran pelatihan kursus “Kader Takari”, tujuannya untuk “meningkatkan mental, daya juang keluarga besar Muhammadiyah dalam menghadapi segala kemungkinan”.

Kursus kader ini dibuka pada 1 September 1965 ini, diikuti oleh 250 orang untuk angkatan pertama, diikuti orang tua dan angkatan muda, baik laki-laki maupun perempuan dari utusan Cabang. Acara ini diselenggarakan di Aula Universitas Muhammadiyah Jakarta dengan penanggung jawab PDM (Pimpinan Daerah Muhammadiyah) DKI Jakarta.

Sebagai Komandan KOKAM, Letnan Kolonel S. Prodjokusumo mengeluarkan tiga instruksi penting: 1) Pembentukan KOKAM di setiap cabang Muhammadiyah dan tiap pimpinan cabang harus memberikan laporan setiap hari ke mabes KOKAM di Jl. Limau Kebayoran Baru; 2) Angkatan Muda Muhammadiyah disetiap cabang bertanggungjawab atas keselamatan semua keluarga Muhammadiyah di masing-masing cabang;  seluruh pimpinan Angkatan Muda Muhammadiyah agar siap dan waspada menghadapi segala yang terjadi guna membela agama, negara dan bangsa; 3) Mengadakan kerjasama yang sebaik-baiknya dengan kekuatan-kekuatan anti Gerakan 30 September.

Setelah selesai mengeluarkan instruksi (Perintah Harian) maka peserta kursus dipersilakan pulang ke tempat masing-masing dengan sikap waspada (sangpencerah.id, 30 September 2017).

Kedua, amplifikasi gerakan anti komunis. Secara historis, khususnya di pulau Jawa, NU (termasuk Banser dan GP Ansor) memiliki legitimasi lebih besar untuk mengakumulasi kebencian terhadap PKI saat rezim Orde Baru berkuasa. Namun setelah Soeharto tumbang, justru dari kelompok Islam modernis yang memimpin wacana dan gerakan anti-komunis. Apalagi saat ini mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Amien Rais, getol menyerukan isu kebangkitan PKI, yang pada level akar rumput dipercaya anggota Muhammadiyah di beberapa daerah.  Sebaliknya, kaum Nadhliyin justru kurang percaya isu tersebut, bahkan tak terpancing. 

Di aras lokal, keterlibatan Muhammadiyah dalam peristiwa 1965-1966 ini bekerja secara kontradiktif; sebagai tempat perlindungan sekaligus melegitimasi kekerasan. 

Riset Mark Woodward berjudul "Only Now We Can Speak: Remembering the Politicide in Yogyakarta"(2011) mengungkapkan bahwa di Yogyakarta, orang-orang Muhammadiyah melindungi siapapun yang dituduh PKI di tengah gencarnya upaya pembersihan rejim Orde Baru. Anggota PKI yang kebanyakan muslim abangan pun memilih jadi muslim yang berafiliasi dengan Muhammadiyah. Pilihan menjadi anggota Muhammadiyah didorong motif yang sangat sederhana: selain tidak memiliki banyak hafalan untuk doa-doa, cara ibadah Muhammadiyah yang lebih efektif justru memudahkan mereka mempraktikan nilai-nilai kejawaan dan keislaman secara bersamaan.

Situasi berbeda ditemukan di Medan. Seperti terungkap dalam kiriman telegram 6 Desember 1965 dari Konjen AS di Medan ke Kedubes AS, para ustadz Muhammadiyah terlibat memprovokasi jamaahnya agar membunuh orang-orang yang secara sadar terlibat PKI. Ini karena, menurut mereka, membunuh orang-orang PKI itu sebanding dengan “membunuh seekor ayam”. Kebijakan organisasi Muhamamdiyah ini memiliki implikasi tafsir yang sama dengan kelompok konservatif NU ketika menyikapi PKI. Untuk lebih jelasnya dan kekhawatiran untuk menghindari kesalahan persepsi, saya taruh teks itu secara lengkap. Teks ini saya kutip dari Human Rights Watch melalui situsnya www.hrw.org (18 Oktober 2017).

"Sumber Muhammadiah melaporkan, para pengkhotbah di masjid Muhammadiyah menyerukan kepada jemaat mereka bahwa semua orang yang secara sadar bergabung dengan PKI harus dibunuh. Anggota PKI 'sadar' diklasifikasikan sebagai kafir terendah, penumpahan darahnya sebanding dengan membunuh seekor ayam. Pernyataan ini tampaknya memberi izin kepada Muslim Muhammadiyah untuk membunuh. Kebijakan Muhammadiyah yang reformis sangat mirip dengan isu 'Tafsir Final' keluaran NU yang konservatif, yang memperlihatkan bahwa pendapat Muslim mengenai penyingkiran anggota-anggota PKI diambil dengan suara bulat." (Kabel berlabel "Rahasia" dari Konsulat AS di Medan ke Kedutaan Besar AS di Jakarta, 6 Desember 1965)".

Melihat dua respon berbeda mengenai PKI, apa yang diungkapkan Abdulah Mu’ti, Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah terkait dengan dokumen rahasia Amerika Serikat pada tahun 1965 ini memang ada benarnya, meskipun kurang tepat. Menurutnya, keterlibatan Muhammadiyah dalam peristiwa 1965 itu lebih bersifat pernyataan pribadi ketimbang keputusan organisasi. 

Namun, melihat berdirinya KOKAM, di mana organisasi tersebut merupakan bagian dari organisasi otonom di bawah langsung Pimpinan Muhammadiyah, sulit untuk menilai pernyataan tersebut sebagai pandangan pribadi. Dari yang telah diteliti para sarjana seperti Southwood dan Flanagan (1983), Fein (1993), Robinson (1995), dapat diketahui bahwa pembunuhan massal itu dilakukan Angkatan Darat, dalam hal ini RPKAD dengan meminta (dan "memaksa") bantuan milisi-milisi lokal di daerah. Dengan kata lain, pembunuhan dilakukan secara sistematis dan teroganisir.

Maksud sistematis dan teroganisir di sini lebih kompleks ketimbang bahwa pola pembunuhan telah direncanakan dan disiapkan dengan matang, baik sebab dan akibatnya, serta terukur dampaknya.

Sebelum melakukan pembunuhan biasanya RPKAD, dibantu para milisi lokal yang terdari dari beragam organisasi kepemudaan non-komunis, sudah memiliki daftar nama-nama orang PKI yang harus dibunuh. Namun seringkali di lapangan terjadi praktik “operasi tidak teratur” sehingga jumlah korbannya melampaui daftar nama-nama orang PKI yang harus dibunuh.

Di Jombang dan Kediri, misalnya, militer bersikap relatif pasif, meskipun bukan berarti mereka tidak memberikan izin membunuh. Sikap militer yang seperti itu membuka arena pertarungan bagi kelompok-kelompok Islam setempat—dengan persetujuan diam-diam dari para kyai—untuk membunuh orang-orang PKI tanpa adanya penengah yang mampu mengendalikan kelompok-kelompok ini (Sulistyo, 2011). Dengan kata lain, konteks lokal dan bagaimana relasi kekuasaan antar kelompok masyarakat sipil dan keagamaan saat itu menentukan bagaimana skala pembunuhan massal terjadi.

Bertolak dari penjelasan di atas, jawaban atas pertanyaan yang saya ajukan ini tidak cukup untuk dijadikan basis argumen yang kuat, namun bisa menjadi pemantik diskusi dan riset lanjutan lebih dalam tentang keterlibatan Muhammadiyah dalam peristiwa 1965-1966, baik secara organisasi maupun perorangan.

Hal ini perlu dilakukan agar masa lalu diletakkan pada tempatnya ketimbang terus-terusan jadi hantu, sehingga diskursus 1965 dan upaya rekonsiliasi bisa menyumbang pembaharuan narasi sejarah.

Muhammadiyah memiliki banyak doktor lulusan dalam dan luar negeri yang cukup kompeten di bidangnya, khususnya ilmu sosial dan kemanusiaan. Namun dengan kompetensi tersebut, apakah potensi riset-riset tentang keterlibatan Muhammadiyah dalam pembantaian massal 1965 bisa dilakukan oleh mereka? Jika melihat konteks politik saat ini, di tengah menguatnya populisme Islam di ruang publik, saya ragu itu bisa terjadi.

_________

Catatan dari redaksi:

Tirto menghubungi Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak untuk mendapatkan konfirmasi mengenai keterlibatan Muhammadiyah, khususnya melalui Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM) dalam pembunuhan massal 1965. Melalui sambungan telepon, Dahnil mengatakan: "Iya, fakta sejarah memang pada saat itu kelompok Islam berhadap-hadapan dengan kelompok PKI saat itu. Itu fakta sejarah, tidak perlu ditutup-tutupi, termasuk Kokam."Kokam, kata Dahnil, didirikan Kolonel H.S. Projokusumo atas instruksi Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Lukman Harun. Sebelumnya, Projokosumo sudah meminta izin dari komandan RPKAD saat itu, Sarwo Edhie Wibowo. Dan RPKAD tidak sekadar memberi izin. 

"Kader (Kokam) angkatan pertama," terang Dahnil, "dilatih oleh RPKAD melalui Pak H.S. Prodjokusumo karena memang pada saat itu kader-kader Muhammadiyah banyak dari TNI. Makanya Kokam baretnya merah, karena itu identik dengan Pak H.S. Prodjokusumo dari RPKAD yang sekarang disebut Kopassus. Dalam sejarah Kokam, memang teman-teman Kokam banyak dilatih Kopassus sebagai paramiliter. Termasuk saat Orde Baru, Kokam juga dilatih Kopassus di Jawa Tengah dan lainnya.
Ketika ditanya sikapnya tentang rekonsiliasi, Dahnil menjelaskan bahwa rekonsiliasi perlu dilakukan. "Jangan dosa dan dendam, baik dendam kelompok Islam kepada keturunan PKI, atau keturunan PKI kepada Islam itu dirawat" 

*Wahyudi Akmaliah, Peneliti LIPI
Sumber: Tirto.Id 

0 komentar:

Posting Komentar