HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Senin, 24 Februari 2014

Seabad RM Djajeng Pratomo: Pejuang yang Terlupakan

Dia berkampanye memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, bergerilya-kota melawan Nazi-Jerman, serta membela kemerdekaaan Indonesia saat agresi Belanda.

RM Djajeng Pratomo di usia tua (kiri) dan mengenakan kostum tari Jawa (kanan). 
Historia 

Biografi Haji Mohammad Misbach – Penulis Api di “Ladang” Petani

8:41 AM


“Kita wajib membikin peraturan guna membongkar fitnah, tanpa memandang apa bangsa dan agamanya.”[1] – Mohammad Misbach

Misbach berseru kepada kaum Muslim untuk fisabillilah melawan penindasan. Rentang waktu antara bulan Desember 1918 hingga 7 Mei 1919, Misbach membikin tulisan-tulisan provokator, mencoba menggerakkan kaum Muslimin, dalam hal ini petani. Tulisannya mengajak massa petani bersatu-padu menggalang kekuatan lewat Insulinde, organisasi radikal lanjutan IP (Indische Partij), dengan memegang teguh hukum yang mampu merukunkan umat manusia, yaitu hukum Tuhan (Al-Quran). Untuk selanjutnya bergerak bersama-sama menantang penindasan melawan pemerintah.

Tulisan Api, Menyulut Petani

Haji Mohammad Misbach terkenal dengan tulisannya yang berapi-api. Hingga sepercik api yang disulutnya mampu melecut bara semangat di dada petani, kaumnya para kromo. Tekanan-tekanan yang diberikan pihak penguasa terhadap rakyat Hindia sangat berat. Misbach yang merasa batinnya terpanggil, ingin melihat sesamanya mendapatkan kebebasan. Tidak digencet pihak manapun.

Setelah aktif di kancah perpolitikan, dengan mendirikan IJB (Indlandsche Journalist Bond) pada 1914 bersama Marco Kartodikromo, Misbach mulai melontarkan pikiran-pikirannya lewat tulisan. Apalagi usai mendirikan koran pertamanya, Islam Bergerak, pada 1915.

Walaupun dikenal sebagai tokoh islam yang mubaligh, Misbach juga dikenal sebagai orang yang getol mensinkretismekan Islam dengan Komunis. Dua ideologi yang sama sekali berlainan itu menjadi kekuatan yang menyatu di tangan Misbach. Itu sebabnya, tulisan-tulisannya kerap diwarnai warna Islam. Bahkan gaya penulisannya hampir-hampir mirip dengan gaya seorang mubaligh.

Salah satu petilan tulisan api, dimuat di Islam Bergerak pada 10 Maret 1919, yang dipakainya dan bertujuan mengajak petani melawan bisa kita lihat di bawah ini:

Nah! Sekarang telah nyatalah perintah Tuhan, kita orang diwajibkan menolong kepada siapa saja yang dapat penindasan, hingga mana kita berwajib perang juga jika penindasan itu belum dihentikannya.

Ini tulisan dimuat dalam Islam Bergerak. Perintah berperang ini lantas disambung dengan perintah kepada para petani untuk berbaris rapi demi menggalang kekuatan. Memegang wet (hukum) yang mesti terpakai oleh sekalian manusia di atas hidupnya. Adalah hukum manusia yang didasarkan pada perintah Tuhan, Al-Quran.[2] Jalan yang bisa ditempuhnya, coba dijelaskan oleh Misbach pada 1918, ketika dia menuliskan kata-kata apinya di Medan Moeslimin.

Politik yang dilakukan di Hindia pada waktu ini, amat tidak mengertikan orang, sifatnya Agama Islam di Hindia kalang kabut, geraknya suara pers dan pergerakan di tanah Jawa amat bertambah-tambah serunya...” kemudian dia menyambung, “Medan Moeslimin... tempat berdiskusi yang aloes... cuma saja suara kita sekarang terpaksa tidak bisa halus bagai talingan Regeering... sedang adanja penindasan malah bertambah banjak dan berat.” Dan, seolah-olah sedang bertabligh, dia melanjutkan kata-kata apinya, “...jikalau Bumiputra bersatu, Agama Islam sudah tentu menjadi kuat. Dan tidak mudah dihisap darahnya. Dari itu, yang anti kita lantas akan membikin akal buat menipu daya supaya Bumiputra jangan satu Agama Islam.

Agar mendapat keabsahan dan menguatkan kata-katanya, tak urung pula dinukil ayat-ayat Al-Quran.

Benarkanlah barang yang benar, kelirukanlah barang yang keliru, kendati orang yang keliru itu membenci kepadamu.

Kata-kata Misbach ini ada di dua artikelnya yang terkenal. Masing-masing berjudul, “Orang bodo djoega machloek Toehan, maka fikiran jang tinggi djoega bisa didalam otaknja” dan “Seroean kita”. Artikel tersebut merupakan buah refleksi kritis pemikiran Misbach, terkait kondisi kaum petani. Artikel itu usil menyentil para penghisap kapitalis, Residen Surakarta, Pakubuwono X, dan apa yang dia tuduh sebagai “Islam Lamisan”.

Misbach juga mengungkit omongan yang dikatakan regeering. Disebutnya omongan itu omong kosong. Karena katanya regeering itu mau memproteksi rakyat, tetapi tanpa sebuah bukti. Misbach menyebutkan, Pemerintah Kolonial hanya mau memproteksi kaum kapitalis, akan tetapi membiarkan para petani berkorban.

Dalam menyampaikan risalah, Misbach terkenal berapi-api. Semangat ini, yang barangkali saja benar, mampu menular kepada rakyat pada zaman itu. Memang benar Misbach memiliki ciri berbeda dengan seorang yang juga keras dalam masa pergerakan, Cipto Mangunkusumo, yang langsung mencucuk hidung Pemerintah Kolonal menunjukkan kesalahannya.

Ketika Misbach ingin menggoyang pemerintah, ia berupaya membawa serta petani. Menggugah kesadaran mereka lewat Islam. Petani-petani dibuat supaya melihat kondisi mereka. Setelah terjadi saling pengertian, pengaruh kata-kata Misbach meresap, kekuatan baru bisa dibangun. Kemudian dikumandangkanlah kata: Perlawanan!

Strategi Potong Kepala Ular

Tidak dapat dipungkiri memang bahwa Misbach memiliki kepandaian menggalang massa. Sebagai orang pergerakan, jurnalis dan propagandis, tokoh Islam satu ini tidak ngedon di dalam kamar saja. Memprovokasi petani tanpa tahu kondisinya, sama halnya berkata-kata kosong. Dengan dasar inilah, Misbach bergiat aktif di lapangan. Dalam catatan sejarah Indonesia, rentang enam bulan, Desember 1918 hingga 7 Mei 1919, Misbach memimpin sedikitnya sebelas rapat Insulinde di desa-desa Surakarta—Kartasura, Banyudono dan Ponggok. Di mana enam di antaranya merupakan rapat pengukuhan kring-kring Insulinde[3].

Kesempatan itu dipakai untuk mengumpulkan dan memobilisasi petani. Dia kerap menyebutkan kata-kata “Djangan Koeatir”. Dengan mengutip ayat-ayat Al-Quran, dia menjabarkan contoh-contoh yang telah dilakukan Nabi Muhammad sekaligus menegaskan tujuan Insulinde, yaitu kebebasan negeri kita. Puncak semua itu terjadi tepat pada 23 Februari 1919, yang mana, hari ini, kuli-kuli kenceng Nglungge mengadakan mogok untuk menuntut tiga hal: pertama, wajib ronda dan patroli desa serta negara harus dikurangi; kerja wajib memelihara jalanan umum harus dibayar, dan meminta agar pejabat desa juga melakukan kerja wajib.

Awalnya aksi mogok ini dibiarkan berlalu begitu saja oleh pemerintah, seolah-olah tak merasa terganggu dengan itu semua. Namun, tiga bulan pasca pemogokan, tepatnya tanggal 19 April 1919, Residen Surakarta mengirim seorang controleur (pengawas) urusan pertanian dan regent polisi (kepala polisi) Klaten ke Nglungge. Punggawa-punggawa pemerintah tersebut memberikan peringatan kepada petani yang mogok, dan mengatakan bahwa tindakan mereka ilegal. Meskipun demikian, saat itu, tak seorangpun dari mereka digulung.

Selang beberapa hari kemudian, kenyataannya berbalik, enam orang pemimpin kring yang didakwa melakukan aksi ilegal tersebut diciduk pemerintah setempat. Kejadian ini membuat Misbach tersulut. Pada 27 April 1919, dia menyerang penguasa yang telah menangkap para pemimpin kring kemudian menyuruh para petani terus mogok. Menghadapi serangan Misbach, pemerintah juga tak tinggal diam. Tiga hari kemudian, digelarlah serangkaian persidangan kasus enam para pemimpin kring. Persidangan ini dibuka di Landraad (Pengadilan Negeri) Klaten.

Ketika persidangan digelar, tak kurang dari 180 orang petani datang, dan menuntut pembebasan enam pemimpin mereka. Alih-alih berhasil, pihak berwenang kolonial malah menangkap empat orang petani yang memimpin 180 orang ini. Termasuk Soemoloekito—Ketua kring Gawok, dan putra Pak Ngabid. Kemudian para petani dibubarkan secara paksa. Usai peristiwa itu, pemogokan di Nglungge padam di pertengahan Mei 1919.

Pun demikian, bara dalam sekam tetap menyala dan membakar sekam bagian bawah. Pemogokan di Nglungge memang lenyap, namun itulah awal dari pemogokan-pemogokan selanjutnya yang menyebar ke lain tempat. Bahkan pemogokan-pemogokan ini mulai berani menyabotase prapat[4].

Kali ini Misbach turun tangan. Dia, untuk pertama kalinya, mendapat kepercayaan diri unjuk muka di depan massa. Dan terang-terangan menyatakan diri akan menyerang pemerintah pada 23 April 1919. Pada mulanya, propaganda yang dilakukan Misbach memang berlangsung “malu-malu” sehingga tidak menyinggung-nyinggung pranatan keraton yang mengharuskan kerja wajib bagi petani atau mengajak petani mogok. Setelah kejadian-kejadian yang sudah melebar, pada akhirnya Misbach harus menyinggung pranatan keraton ini, yang mana merupakan urat sensitif petani. Tersenggol urat sensitifnya, awal Mei 1919, massa 17 desa bergabung. Total massa mencapai angka 20.000 orang. Mereka ini yang kemudian mogok di Perkebunan Tegalgondo. Menuntut kenaikan glidig.

Tak ayal pemerintah kalang kabut menghadapi kondisi yang sudah tak mampu dikendalikan. Untuk menghentikannya, pemerintah harus memakai taktik potong kepala ular. Dengan taktik potong kepala ular, tubuh ular akan mati. Pada 7 Mei 1919, Residen A.J.W. Harloff mengadakan sidang darurat dengan Asisten Residen Surakara dan Boyolali, controleur urusan pertanian, dan regent polisi untuk membicarakan langkah yang tepat mengatasi pemogokan petani.

Sidang darurat yang diadakan Residen A.J.W. Harloff, menyimpulkan bahwa kepala dan otak pemogokan ini harus ditangkap. Pada hari yang sama pula Misbach, Darsosasmita, Gatoet Sastrodihardjo (Sekretaris Insulinde Surakarta) bersama 80 orang pemimpin dan anggota ditangkap. Tuduhannya mendalangi dan mengorganisir pemogokan secara sistematis.

Koesoen, seorang hofdredacteur (Pemimpin Redaksi) dan propagandis utama SATV, menulis pembelaannya terhadap Misbach di Islam Bergerak. “Mereka—Misbach, Darsosasmito, dan lainnya—dipenjara bukan karena merampok, mencuri, menodong, membunuh atau menipu, tetapi justru karena mereka melawan pihak yang bertindak sewenang-wenang atau tepatnya, bandit-bandit yang selalu mengganggu kesejahteraan umum,” demikian sebut Koesoen. Para aktivis SATV memang melihat Misbach sebagai mubaligh sejati yang mempropagandakan Islam tidak dengan kata-kata saja, tetapi juga dengan perbuatan.

Penangkapan itu tak lama, tanggal 22 Oktober 1919, Misbach dibebaskan. Hal ini bermula saat Insulinde, yang sudah berganti nama lagi menjadi NIP-SH (Nationaal Indische Partij-Sarekat Hindia), mengadakan rapat umum pada 15 Oktober 1919. Rapat ini, dihadiri 2.000 orang di Surakarta, merupakan rapat pertama sejak Insulinde dilarang mengadakan perkumpulan bulan Juni 1919.

Di hari yang sama, saat sedang berlangsung rapat, Douwes Dekker dibebaskan Raad van Justitie (Dewan Pengadilan) Semarang. Alasan pembebasannya menjadi penting dan dipakai juga untuk membebaskan Misbach seminggu setelahnya. Dekker dituntut lantaran sudah menyulut aksi-aksi kriminal di Polanhardjo berdasarkan pasal 102 hukum pidana Hindia. Raad van Justitie menyatakan, pasal tersebut tidak berlaku di daerah Voorstenlanden. Dan Surakarta termasuk empat dari daerah vorstenlanden yang ada di Jawa.

Pesta sambutan untuk merayakan kebebasan Misbach, digelar NIP-SH Surakarta dari malam ke malam. Banyak orang hadir dalam pesta meriah ini. Tak lama sesudah pembebasannya. Misbach menggantikan Ny. Vogel sebagai pemimpin NIP-SH Surakarta. Meski berhasil dibebaskan, toh pada akhirnya karir politik Miscbah harus tamat juga. Memang beberapa waktu ke depan pasca pembebasan ini ia masih bisa bergiat dalam panggung politik Hindia Belanda. Gayanya masih sama, meminjam istilah Remy Silado, Mbeling.

Gara-gara ke-mbeling-an ini, ia kerap bolak-balik masuk penjara dan dianggap sebagai pengganggu keamanan dan ketertiban. Pungkasnya terjadi, tanggal 20 Oktober 1923. Pemerintah yang gerah menuduhkan padanya tuduhan-tuduhan yang lebih berat ketimbang hanya sebagai pembuat onar, yaitu  keterlibatannya dalam sejumlah aksi revolusioner (pembakaran bangsal, penggulingan keretapi dan pemboman).

Beberapa aksi spektakuler yang merebak di sejumlah kota pertengahan Oktober 1923, ialah untuk kali pertamanya, ijazah-ijazah Sekolah Bumiputera Ongko Loro dibakari; bulan Mei 1923 Gubernur Jenderal yang datang ke Yogyakarta naik kereta dilempari bom; banyak orang memberanikan diri melempar kotoran ke kantor-kantor pemerintah, mencopoti potret Ratu Wilhelmina dan melumurinya dengan kotoran dan kalimat celaan.[5] Kejadian-kejadiannya sendiri meningkat drastis menjelang peringatan ulangtahun Ratu Wilhelmina akhir Agustus dan awal September.

Di kota-kota Jawa Tengah dan Timur juga banyak merebak kekisruhan. Di Yogyakarta, bulan Juli 1923 sebuah keretapi tergelincir dari relnya. Di Madiun, akhir Agustus 1923 seorang aktivis Sarekat Ra'jat (SR) dan bekas buruh keretapi pemerintah ditemukan mati dan lainnya terluka, ketika bom buatan mereka meledak tiba-tiba. Di Semarang, dari Agustus sampai September sedikitnya delapan bom telah dilemparkan di muka publik. Di Surakarta, pertengahan Oktober 1923, menjelang dan sesudah perayaan Sekaten, sejumlah rumah dibakar. Bangsal perayaan sekatenan dirobohkan orang. Di pedesaan, tempat pengeringan tembakau dibakar.

Darma Kanda, media yang menyuarakan aspirasi kaum ningrat mengingatkan bahaya "zaman Tjipto" (Tjipto Mangunkusumo). Para pangeran kasunanan dan pejabat tinggi ketakutan pada "komunis-komunis" mulai menebar cerita dan mengatakan Haji Mohammad Misbach berada di balik serangkaian kejadian itu. Misbach disebut-sebut telah membangun "pasukan sabotase", melatih prajurit untuk melakukan pengeboman, pembakaran rumah, perampokan, penggelinciran kereta api, dan aksi teror lainnya. Pada awal Oktober pamflet stensilan dengan simbol palu dan arit di atas gambar tengkorak manusia disebarluaskan orang-orang tak dikenal. Pamflet itu isinya mengingatkan orang agar tidak menghadiri perayaan sekaten.[6]

Serangkaian kejadian yang terjadi di Jawa itu menjadi sebuah alasan yang cukup kuat bagi pemerintah untuk mengkambing-hitamkan Misbach. Gerak Misbach memang harus dipatahkan agar borok masyarakat tidak menguar kemana-mana. Dan strategi potong kepala ular rupanya cukup ampuh untuk mematahkan gerak Misbach selanjutnya.

Bagi tokoh pejuang Indonesia, hal yang paling menakutkan adalah hukuman buang. Sebab, hukuman ini akan memutus hubungan antara kerabat-kerabat yang dikenal, tersiksa ketika menjalaninya dan juga kerentanan penyakit. Seperti sewaktu Soekarno harus menjalani hukuman buang ke Ende, Flores.[7]

Dan tampaknya hal yang paling belakangan yang sungguh menakutkan bagi Misbach. Ketika divonis harus menjalani hukuman buang di Manokwari, Papua, ia dijangkiti malaria—penyakit yang menjadi momok bagi penduduk Hindia Belanda saat itu, karena kotornya tempat-tempat hunian manusia. Di sanalah biografi tokoh Haji Mohammad Misbach berakhir. Kesan yang dapat ditangkap adalah bahwa seorang yang mampu menggoyang pemerintah kolonial tetap harus melakoni takdirnya sebagai seorang manusia biasa.

Sekelumit tentang Biografi Tokoh Nasional Misbach

Pengetahuan kita tentang biografi tokoh Indonesia satu ini sangat amat terbatas. Data-data yang berhasil dicatat dan disajikan hanyalah sebuah potret kecil dari hidupnya yang demikian besar. Haji Mohammad Misbach dilahirkan pada 1876 di Kauman, Surakarta, dari keluarga pedagang batik sukses. Namanya waktu kecil Achmad. Namanya waktu menikah Darmodiprono. Dan namanya setelah naik haji Mohammad Misbach.

Dia bukan dari kalangan keluarga Islam kuat – tentunya juga bukan berasal dari tokoh Islam dunia. Hanya saja lingkungan tempat tinggalnya yang berada di lingkungan pejabat keagamaan kraton, mendorong Misbach masuk ke dalam dunia pesantren. Dia hampir-hampir tak tersentuh pendidikan barat. Sekolah bentukan Belanda yang sempat dikeyamnya saja hanya sampai Sekolah Bumiputera Pemerintah Ongko Loro. Itu pun cuma kuat dilakoni delapan bulan.

Dunia dagang menjadi pelabuhan hati pertama dalam mencari sesuap nasi. Begitu mengenal politik dan masuk SI (Sarekat Islam) dan IJB (Inlandsche Journalisten Bond)[8] sebagai Sekretaris, ia langsung kesengsem. Karena berbakat, namanya bisa cepat mencuat. Terutama setelah aktif di organisasi TKNM (Tentara Kanjeng Nabi Muhammad) sebagai salah seorang donatur. Dia pula yang mempelopori pendirian SATV (Sidik Amanah Tablig Vatonah) dan sekolah Ze School Met Der Qur’an.

Pada masa pergerakan, suratkabar-suratkabar mulai tumbuh bak cendewan di musim hujan. Seakan tak mau ketinggalan, Misbach turut menerbitkan suratkabar, Medan Moeslimin (1915) dan Islam Bergerak (1917). Yang pada awalnya didirikan digunakan untuk merespon suratkabar Kristen Mardi Raharjo, namun dalam perkembangan selanjutnya menjadi salahsatu media massa berpengaruh. Media inilah yang dipakai Misbach meracik pikiran-pikirannya dalam menentang Belanda.

Dan kekerasan hati yang dimilikinya membuat segan kawan dan lawan. Misbach adalah sesosok manusia yang sudah dengan berani menentang kekuasaan kolonial dengan cara dan kekuatan yang dipunyainya. Jauh sebelum meninggalnya, Tjipto, pernah melukiskan keberanian itu dalam sebuah artikel, dimuat di suratkabar Panggoegah 12 Mei 1919. Sebagai seorang ksatria sejati (Misbach) mengorbankan hidupnya demi pergeliatan pergerakan Bumiputera. Ia pejuang yang semata-mata berjuang karena terpanggil memenuhi kewajibannya sebagai makhluk Tuhan.

Marco Kartodikromo, kawan seperjuangan Misbach pernah pula menggambarkannya. Misbach adalah tokoh yang senantiasa membumi. Dia dapat berbaur dengan kalangan anak muda, di samping juga tidak suka membeda-bedakan siapapun, baik itu kupu-kupu malam, pencuri, orang berpangkat maupun orang-orang dari seluruh kalangan. Pun demikian sosoknya tetap memiliki wibawa tinggi. “Misbach seperti harimau di dalem kalangannya binatang-binatang kecil. Karena dia tidak takut lagi mencela kelakuannya orang-orang yang sama mengaku Islam tetapi selalu menghisap darah teman hidup bersama,” kata Marco.

Dua Jalan Menyatu: Islam-Komunis

Dua mata tombak yang seringkali disinggung-singgung Misbach dalam tulisan-tulisannya adalah Islam dan Komunisme. Bagi Misbach, Islam dan Komunisme adalah harmonisasi yang ideal. Islam tak selalu harus dipertentangan dengan Komunis. Malah sebaliknya, melalui Komunis-lah, Islam menjadi agama yang bergerak untuk melawan penindasan dan ketidakadilan.

Menurut Nor Hiqmah, pertentangan kedua terminologi ideologi itu terjadi pada tataran politis. Selanjutnya serangkaian peristiwa menguatkan argumen tersebut. Bahkan lebih jauh dipertentangkan dalam hal penghayatan tentang ketuhanan, yang kemudian dipersempit dengan terminologi “agama”[9] hingga sekarang.

Dan sintesis tentang Islam-Komunis itu kemudian dijelentrehkan Misbach dalam artikel yang diberinya judul “Islam dan Komunisme”. Artikel ini sekaligus merupakan pembelaan Misbach demi menangkis serangan kaum putihan, yang memandang bahwa Komunisme bertentangan dengan agama. Berikut potongan artikel tersebut:

Hai Saoedara-saoedara ketahoei! Saja saorang jang mengakoe setia pada Agama dan djoega masoek dalam lapang pergerakan kommunist dan saja mengakoe djoega bahoea tambah terboekanja fikiran saja di lapang kabenaran atas perintah agama Islam itoe, tidak lain jalan dari sasoedah saja mempelajari ilmoe komminisme, hingga sekarang saja berani mengatakan djoega, bahoea kaloetnja kesalamatan doenia ini tidak lain hanja dari djahanam kapitalisme dan imperialisme jang berboedi boeas itu sahadja, boekannja kesalamatan dan kemerdekaan kita hidoep dalam doenia ini sadja, hingga kepertjajaan kita hal agama poen beroesaha djoega olehnja.[10]

Misbach berkeyakinan total bahwa agama dan politk memiliki benang merah yang mengikat. Dalam agama, manusia diperintahkan untuk menegakkan kebenaran, keadilan, kemanusiaan, di mana hal tersebut hanya dapat diwujudkan lewat politik. Karena itulah, siapa saja yang ingin berjuang menegakkan agama, harus masuk dalam pergerakan dan melawan sistem busuk yaitu kapitalisme. Bagi Misbach, dan bagi kalangan komunis, sistem kapitalisme memakan sifat-sifat alamiah manusia. Sistem itu pula yang menindas manusia, penghambaan manusia terhadap materi, dan akhirnya menjauhkannya dari agama.

Sementara, dalam pandangan Misbach, Komunis betul-betul memperjuangkan masyarakat kelas bawah (kromo). Islam sendiri memerintahkan untuk menolong kepada yang lemah, dalam hal ini yang tertindas (masyarakat bawah). Dan baginya, partai atau orang yang mengaku-aku Islam tetapi menghalang-halangi rakyat untuk masuk dalam politik sama halnya dengan munafik, atau dalam istilah Misbach sendiri, Islam lamisan.

Catatan kaki
[1] “Semprong Wasiat: Partijdisciplin SI Tjokroaminoto Mendjadi Ratjoen Pergerakan Rak’jat Hindia,” Medan Moeslimin, September 1923. Baca Nor Hiqmah, H. M. Misbach; Sosok dan Kontroversi Pemikirannya, Yogyakarta: Yayasan Litera Indonesia, 2000, h. 9.
[2] Takashi Shirashi, Zaman Bergerak; Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta: Grafiti Press, h. 201.
[3] Takashi Shirashi, Ibid., h. 204.
[4] Prapat adalah lembaga tradisional untuk menengahi pertikaian antar kepentingan di pedesaan Surakarta, terutama antara pihak petani dan perkebunan, sekaligus untuk menunjukkan kekuasaan negara. Takashi Shirashi, Ibid., h. 231.
[5] Iqbal Setyarso, Majalah Panji Pustaka, No. 09 Tahun IV - 21 Juni 2000.
[6] Ibid.
[7] Untuk keterangan ini baca di Reni Nuryanti, Biografi Inggit Ganarsih, Yogyakarta: Ombak, 2006. Khususnya di bab pembuangan di Ende, Flores.
[8] IJB didirikan oleh Mas Marco Kartodikromo pada 1914. Organisasi jurnalistik se-Hindia Belanda ini sempat vakum selama lima tahun. Dan diaktifkan kembali pada 8 Maret 1919. Susunan pengurusnya waktu itu adalah Dr. Cipto Mangunkusumo (ketua), H. Mohammad Misbach (sekretaris), Hardjasoemitra (bendahara), Sosrokardono, Semaoen, H. Agoes Salim, Darnakoesoemah sebagai komisaris. Baca: Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah, Franz Fanon  Foundation, tt, hlm. 46-47.
[9] Nor Hiqmah, H.M. Misbach; Sosok dan Kontroversi Pemikirannya, Yogyakarta: Yayasan Litera Indonesia, 2000, hlm. 36-40. Khususnya: bab 3: Islam dan Komunisme Menurut H.M. Misbach di sub bab 3: Islam Versus Komunisme.
[01] Ibid., hlm. 41-42.

***

Referensi

I. Buku

Nor Hiqmah, H. M. Misbach; Sosok dan Kontroversi Pemikirannya, Yogyakarta: Yayasan Litera Indonesia, 2000.
Takashi Shirashi, Zaman Bergerak; Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta: Grafiti Press, 1997.
Taufik Rahzen, dkk., Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia, Jakarta: I-BOEKOE, 2007.
Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah, Franz Fanon  Foundation, tt.

II. Internet 

batarahutagalung.blogspot.com 

http://www.dbiografi.com/2014/02/biografi-haji-mohammad-misbach.html?m=1

Minggu, 23 Februari 2014

Kisah Thaib Adamy dan eksistensi PKI di Aceh

Minggu, 23 Februari 2014 15:40 | Reporter : Afif

Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). ©2012 Merdeka.com/Ari Basuki

Merdeka.com - Keberadaan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Aceh nyaris tidak diketahui oleh masyarakat banyak. Sejarah sepak terjang partai dimusuhi oleh Orde Baru (Orba) ini tidak muncul dan tidak banyak dibicarakan di negeri syariat ini. Bahkan mahasiswa dan pelajar lainnya tidak mengenal dan tidak mengetahui tentang keberadaan PKI di Aceh.

Padahal sejak tahun 1960-an, pada dasarnya PKI sudah eksis di Aceh. Meskipun cerita dan kisah PKI tidak seperti kisah konflik lainnya di Aceh. Seperti konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia yang berakhir damai 15 Agustus 2005 yang lebih dikenal dengan MoU Helsinki.

Namun kisah PKI di Aceh minim literatur dan tidak ada yang menulis dengan perjalanan kisah PKI di Aceh, kecuali kita bisa mendengar kisah dari mulut ke mulut. Itupun kalau ada saksi yang masih hidup mereka lebih memilih bungkam dan tidak mau bercerita.

Setelah hasil penelusuran panjang, ternyata di Aceh ada sebuah buku yang dituliskan oleh seorang tokoh PKI di Aceh saat itu. Sosok tokoh itu adalah bernama Thaib Adamy menjabat sebagai Wakil Sekretaris pertama di Committee PKI Aceh masa itu.

Lalu hasil penelusuran ditemukanlah sebuah buku yang berjudul 'Atjeh Mendakwa' yang menceritakan tentang pembelaannya dalam persidangan di Pengadilan Negeri Sigli pada tanggal 12 September 1963. Thaib Adamy disidangkan atas tuduhan keterlibatannya dalam segala kegiatan revolusioner di organisasi PKI.

Buku itu dituliskan langsung oleh Thaib Adamy yang kemudian dibukukan pada tahun 1964 oleh Komite PKI Atjeh 1964.

Sebagaimana dilansir dalam situs online atjehpost.com, sejak Thaib Adamy disidangkan di Pengadilan Negeri Sigli, ada sekitar 5 sampai 10 ribu warga Aceh mengikuti persidangan itu. Terutama pada saat Thaib Adamy membacakan pledoinya selama 5,5 jam di hadapan majelis hakim dengan tebal berkas pledoinya 122 halaman. Di dalam pledoinya itu ia membenarkan perjuangan yang dilakukan oleh PKI.

Banyak petisi, wesel dan berbagai macam dukungan lainnya disampaikan untuk Thaib Adamy yang dikenal alim. Semua dukungan itu meminta majelis hakim untuk melepaskan dari tahanan Thaib Adamy ketika masa itu.

Tuduhan yang membuat Thaib Adamy dijerat hukum sampai dipidanakan akibat orasi politiknya yang mengajak untuk berjuang melakukan revolusi di Indonesia. Thaib Adamy menyebutkan musuh rakyat miskin adalah sistem kapitalisme yang sedang berlangsung di Negara Indonesia dan juga Aceh pada masa itu.

Saat itu Thaib Adamy yang merupakan Wakil Sekretaris Pertama Committee PKI Atjeh. Dia juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) Aceh dari fraksi PKI, memberikan orasi politik dalam rapat umum PKI tanggal 3 Maret 1963 di Sigli. Atas dasar itulah Pengadilan Negeri Sigli menuduh Thaib Adamy melakukan provokasi dan propaganda yang menyebabkan terjadi kerusuhan.

Dalam pledoinya, ucapan yang paling dikenal dan banyak dikutip oleh media dan penulis lainnya adalah: 
"Kalau pemimpin PRRI, Permesta dan DI/TII yang sudah terang melawan pemerintah RI dengan kekerasan, merusak bangunan-bangunan dan sebagainya bahkan sampai berakibat hilangnya puluhan ribu nyawa rakyat tidak dihukum, apakah adil kalau saya dipersalahkan dan dihukum karena melakukan aktivitas revolusioner, membela rakyat dan revolusi memperkuat Manipol dengan menggangjang kontra revolusi kapitalis, birokrat, pencoleng harta negara?" kata dia yang disambut dengan tepuk tangan massa yang menghadiri persidangan sebagaimana ditulis oleh atjehpost.com.
Kendati demikian, untuk memperoleh data akurat terkait sejarah PKI di Aceh sangat sulit ditemukan di Aceh. Di perpustakaan yang ada di Aceh tidak ditemukan sama sekali setelah merdeka.com melakukan penelusuran.


Tanggal 16 September 1963, Pengadilan Negeri Sigli yang dipimpin oleh hakim Chudari, menjatuhkan hukuman dua tahun penjara atas Thaib Adamy yang tercatat masih mewakili PKI di DPRD-GR Provinsi Daerah Istimewa Aceh pada waktu [bal]

Sumber: Merdeka.Com 

Penyintas Tragedi 1965 Menulis untuk Memulihkan Ingatan


Penulis: Ignatius Dwiana - 07:27 WIB | Minggu, 23 Februari 2014

Dari kiri ke kanan, Basuki Raharjo, Indro Suprobo, dan moderator Ruth Indiah Rahayu. (Foto: Ignatius Dwiana)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM Kuatnya tekanan tidak menghilangkan ingatan. Tetapi dapat membuat orang kehilangan kata-kata tentang riwayat kehidupan keluarga untuk sementara. Hal ini dialami Basuki Raharjo.

Basuki Raharjo mempunyai bapak seorang anggota PETA (Pembela Tanah Air) yang kemudian menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat).  Masyarakat pada umumnya mengenal bapaknya sebagai pejuang. Tetapi setelah peristiwa 1965, bapaknya hilang tanpa kabar.

Saya tidak tahu persis apa pun yang terjadi pada waktu itu, mendadak bapak saya tidak pulang. Kalau orang sekarang ya mungkin hilang. Di situ saya masih kecil beserta ibu saya mencari bapak yang hilang, tidak ada berita seperti sekarang. Singkat cerita, bapak saya ditahan, itu pun tanpa pemberitahuan.

Dia mengetahuinya setelah mencari keterangan perihal bapaknya di tiga instansi negara. Yaitu di tempat bapaknya bekerja sebagai Kepala Kantor Urusan Veteran, di Kodim,  hingga CPM.

Keterangan yang diperoleh Basuki Raharjo waktu itu hanya menyebutkan bahwa bapak ditahan untuk sementara, tetapi ternyata ditahan sampai 13 tahun. Akibatnya, Basuki Raharjo dan keluarganya hidup terlunta-lunta dan terjerembab miskin.

Peristiwa 1965 yang dialami Basuki Raharjo ini kemudian dituangkan dalam bentuk buku Berpijak di Dunia Retak: Catatan Keluarga Penyintas Tragedi 1965. Dalam peluncuran dan diskusi buku itu di kantor Indonesia untuk Kemanusiaan (IKA) Jakarta pada Kamis (20/2), penulis menyatakan buku itu ditulis jauh dari rasa dendam, minta belas kasih, menghujat, atau pun menyalahkan siapa pun.

Sementara editor buku, Indro Suprobo, dari Nafas Pustaka menyebutkan buku itu bisa dibilang memuat ingatan membahayakan. Karena di dalamnya menggugat kesewenangan, ketidakadilan, ketidakpedulian, dan rasa aman.
Ingatan semacam ini menurut Indro Suprobo sangat dibutuhkan dalam meruntuhkan mitos dan mantra politik yang melumpuhkan sikap kritis serta melanggengkan kebohongan terkait peristiwa 1965.

Berpijak di Dunia Retak ini juga menyoroti para perempuan yang terus berupaya berjuang. Menurut Indro Suprobo para perempuan ini justru menanggung akibat dari tragedi kesewenang-wenangan dan ketidakadilan akibat peristiwa 1965. Mereka bersama anak-anaknya harus bergulat dalam banyak kesusahan dan menjaga harapan dengan terus bertahan hidup tanpa mengorbankan martabatnya.

Indro Suprobo berharap ingatan para penyintas tragedi peristiwa 1965 dan kekerasan masa lalu dapat menjadi milik banyak orang dan menjadi ingatan yang menggugat. Terkait ingatan itu tidak tempat untuk netralitas.

Editor : Bayu Probo

Kamis, 20 Februari 2014

Tan Malaka Dan Islam




Sosok Tan Malaka memang pantang surut. Kendati sudah lama mati berkalang tanah, tetapi pikirannya masih sangat ‘diwaspadai’. Seperti katanya sendiri: “Dari dalam kubur suaraku akan jauh lebih keras daripada diatas bumi.”

Tanggal 7 Februari lalu, acara bedah buku Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia jilid IV, yang sedianya digelar di Perpustakaan C2O di Jalan Dr Cipto, Surabaya, gagal terlaksana. Penyebabnya, sekelompok orang yang terhimpun dalam Front Pembela Islam (FPI) mengancam akan membubarkan paksa acara tersebut.

Tindakan FPI tersebut sangat menggelikan. Alasan yang dikemukakan FPI, bahwa Tan Malaka adalah tokoh PKI (Partai Komunis Indonesia, sangat tidak memadai. Sebab, seperti dicatat sejarah, Tan Malaka adalah sosok yang ditendang keluar dari gerbong PKI. Malahan, partai yang didirikannya, Murba, pada tanggal 11 November 1966, menyatakan secara tegas berposisi sebarisan dengan Orde Baru.

Selain itu, kalau yang ditakutkan adalah pemikiran Tan Malaka, yang sangat marxis itu, ini juga keblinger. Sebab, kalau FPI rajin membuka lembar sejarah, hampir semua pendiri bangsa Indonesia pernah belajar dan terpengaruh oleh marxisme. Jadi, kalau FPI mau serius memerangi marxisme, maka perangi juga Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tjokroaminoto, dan lain-lain.

Tetapi ada satu hal yang dilupakan oleh FPI dan ormas-ormas yang berusaha membenturkan Tan Malaka dengan Islam: pertama, pengaruh Islam di dalam diri Tan Malaka; kedua, pandangan dia terhadap Islam sebagai agama; dan ketiga; dukungan dia terhadap aliansi antara kaum komunis dengan Islam.

[1]

Tan Malaka lahir dari keluarga pemeluk Islam di Sumatera Barat. “saya lahir dalam keluarga Islam yang taat,” katanya di dalam risalah berjudul Islam Dalam Tinjauan Madilog (1948). Bahkan, melebihi orang-orang yang sering mengkafirkannya, Tan Malaka kecil sudah bisa menafsirkan Al-Qur’an dan menjadi guru muda.

Tan Malaka sangat mengagumi Nabi Muhammad SAW. Semasa masih kecil, ketika Ibunya menceritakan kisah Nabi Muhammad SAW yang yatim-piatu, air mata Tan Malaka mengucur. Bahkan, seperti dituturkan keponakan Tan, Zulfikar, “Tan Malaka kecil–sering dipanggil Ibra–tidak pernah meninggalkan sembahyang dan hafal Al-quran.”

Ketika belajar di Haarlem, negeri Belanda, Tan Malaka tidak putus dengan ajaran Islam. Terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Belanda beberapa kali ditamatkannya. Buku-buku tentang Islam, termasuk karya  Snouck Hurgronje, terus dibacanya. Kendati demikian, Tan Mengakui bahwa pengaruh bacaan baru dan situasi dunia kala itu, terutama Revolusi Rusia 1917, banyak mempengaruhi pandangan hidupnya.

Lantas, apakah ketika sudah terpengaruh bacaan baru, terutama marxisme, Tan Malaka meninggalkan keislamannya? Pada bulan November 1922, di hadapan perwakilan partai komunis dari berbagai belahan dunia, Tan Malaka menegaskan, “ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan seorang Muslim, karena Tuhan mengatakan bahwa banyak iblis di antara banyak manusia!”

[2]

Sekarang kita tengok pandangan Malaka sebagai marxis terhadap Islam. Ketika berbicara soal konsep Tauhid dalam Islam, yakni pengakuan terhadap ke-Esaan Allah SWT, Tan menghubungkannya dengan sejarah ekonomi dan politik masyarakat Arab.

Menurut Tan, masyarakat Arab pra-Muhammad SAW adalah masyarakat yang terbelah dalam banyak suku dan masing-masing menyembah bermacam-macam berhala. Situasi itu membawa bangsa-bangsa Arab dalam peperangan saudara yang panjang dan sangat keji. Karena itu, bagi Tan, masyarakat Arab butuh pemimpin yang bisa menyatukannya.

Tan mengatakan, “persatuan itu tidak terdapat pada satu maha-patung, di antara beberapa patung yang ada di Arabia dan berpusat di Mekkah di masa itu, melainkan pada ke-Esaan Tuhan dan Kemahakuasaan-Nya, yang tiada lagi takluk kepada tempat dan tempo, seperti patung dimanapun juga, yang dibikin oleh tangan manusia dari benda apapun juga di dunia ini.”

Pada saat itu muncullah Nabi Muhammad SAW. Yang menarik, Tan melihat kemunculan Nabi Muhamad SAW sebagai pemimpin bukan karena faktor inmaterial, melainkan dari faktor material. Pertama, Muhammad, yang masih muda tapi haus pengetahuan, suka menyendiri dan merenung di pegunungan luar kota Mekah. Di sana ia mengamati berbagai fenomena alam, seperti bulan, peredaran bintang, dan jatuhnya hujan, sembari mengajukan pertanyaan-pertanyaan.

Tak heran kalau pemuda Muhammad didesak oleh persoalan sebagai siapakah yang mengemudikan jalannya bulan dan jutaan bintang ini, yang tetap teratur ini. Siapakah yang menjatuhkan hujan yang memberi hidupnya tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia itu? Apakah asalnya dan akhirnya manusia ini? Tiadakah ada buat mempersatukan bangsaku, memperlihatkan seteru sengketa dan menerangi gelap gulita itu : mengangkat bangsaku jadi obor dunia?” kata Tan Malaka.
 
Kedua, perjalanan dagang Nabi Muhammad ke berbagai negara-negara di sekitar Arab memberinya pengalaman dan pengetahuan untuk menjadi pemimpin. Terhadap hal ini, Tan menjelaskan, “Pengalaman yang diperoleh ketika mengikuti kafilah, yang acap kali menghadapi pelbagai musuh telah mendidik, melatih semua sifat pemimpin yang terpendam dalam jiwa Muhammad bin Abdullah.”

Bagi Tan, kendati Nabi Muhammad SAW itu masih buta-huruf, “University of Life” (Universitas hidup) telah menggemblengnya mengenali berbagai persoalan yang dihadapi masyarakatnya dan menemukan jalan pemecahannya. Ini pula yang melahirkan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin besar.
Dengan konsep ke-Esaan Tuhan dan ke-Mahakuasaan-Nya, Islam menempatkan semua manusia–tanpa memandang kekayaan, pangkat, suku, warna kulit, jenis kelamin, dan lain– setara di hadapan Tuhan.

Dalam konteks Madilog, kata Tan Malaka, “Yang Maha Kuasa itulah bisa lebih kuasa dari undang alam (hukum alam).” Menurut dia, jangkauan ‘Ilmu Bukti’ hanyalah pada hukum atau kodrat alam, yakni hukum yang mengatur benda-benda di alam raya ini untuk bergerak berpadu, berpisah, saling tolak, saling tarik, dan sebagainya.

Sementara “Yang Maha Kuasa”, juga Surga dan Neraka, jelas berada di luar “Ilmu Bukti”.  Dan berarti diluar jangkauan Madilog. Bagi Tan Malaka, percaya dan tidaknya akan “Yang Maha Kuasa” itu tergantung dari masing-masing orang. “Tiap-tiap manusia itu adalah merdeka menentukannya dalam kalbu sanubarinya sendiri. Dalam hal ini saya mengetahui kebebasan pikiran orang lain sebagai pengesahan kebebasan yang saya tuntut buat diri saya sendiri buat menentukan paham yang saya junjung,” kata Tan Malaka.

[3]

Kemudian, kita akan membahas dukungan penuh Tan Malaka terhadap aliansi strategis antara Islam dan Komunis.
Di tahun 1921, Tan Malaka menghadiri kongres Sarekat Islam (SI). Di sana ia bertemu tokoh-tokoh SI, seperti HOS Tjokroaminoto dan Semaun. Tetapi ia lebih terpikat pada Semaun.

Semaun, yang saat itu menjabat Ketua PKI, mengajak Tan ke Semarang. Di sana Semaun meminta Tan membantunya mendirikan sekolah-sekolah yang disponsori oleh SI-Semarang. Namanya SI school atau Sekolahan SI Semarang. Tan Malaka menjadi pengajar utama di sekolah tersebut.

Tak lama kemudian, karena kepiawaian organisatoris dan pengetahuan teoritiknya, Tan ditunjuk sebagai Ketua PKI pada Desember 1921. Yang menarik, seperti dicatat oleh Harry A Poeze, peneliti sekaligus penulis buku berjudul Tan Malaka: Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, ketika menjabat sebagai Ketua PKI dari 1921-1922, Tan Malaka teguh mendukung proyek aliansi Islam-Komunis.

Sejak tahun 1916, pasca kegagalan kerjasama dengan Insulinde, kaum sosialis (ISDV) mulai menjajaki kerjasama dengan Sarekat Islam. Sejak itu, titik temu antara sosialisme dan islam banyak dibicarakan. Apalagi, keduanya sama-sama menentang kolonialisme dan imperialisme.

Tetapi berbagai masalah pribadi muncul mengusik kerjasama itu. Pertama, pada tahun 1920, posisi Tjokroaminoto sebagai ketua SI mulai merosot. Terutama karena kasus ‘Seksi B’, yaitu pemberontakan rakyat Garut, Jawa Barat, yang dipimpin oleh SI, yang membuat Tjokroaminoto terancam ditangkap. Karena itu, Tjokro meminta agar SI mengendurkan serangan dan menghindari kontroversi yang mengganggung penguasa. SI cabang Semarang, yang dikuasai kaum merah, mengecam sikap mengendur Tjokro tersebut.

Kedua, serangan Darsono, seorang tokoh ISDV, yang membongkar kasus korupsi di tubuh pimpinan SI, Tjokroaminoto dan Brotosoehardjo. Tuduhan Darsono itu benar-benar menampar tokoh-tokoh SI, terutama para loyalis Tjokro.

Beruntung, pada kongres SI di bulan Maret 1921, berbagai masalah itu berhasil diredam sementara. Semaun dan Haji Agus Salim sepakat menyusun program bersama berdasarkan prinsip Islam dan komunis. Salah satu poin kesepakatan itu adalah: Sarekat Islam sepakat bahwa kejahatan penindasan secara nasional dan ekonomi merupakan produk kapitalisme, karenanya rakyat koloni harus bebas dari kejahatan tersebut, berjuang melawan kapitalisme dengan sekuat tenaga dengan kekuatan dan kemampuan, terutama melalui serikat buruh dan tani.

Namun, kerjasama ini hanya sementara. Rupanya, sentimen anti-komunis makin merasuki segelintir pimpinan SI, terutama Tjokroaminoto dan Haji Agussalim. Keduanya mulai berpikir untuk menendang kaum komunis dari SI. Pada kenyataannya, sentimen anti-komunis dari tokoh SI ini tidaklah ideologis maupun politis, melainkan didorong oleh persaingan politik.

Propaganda anti-komunis pun dilancarkan. Tjokro, misalnya, berkampanye bahwa SI berdasarkan agama islam, sedangkan komunis tidak percaya Tuhan dan tidak mengakui agama Islam. Agus Salim, yang berada dibalik proposal Disiplin Partai, menyatakan bahwa SI mendasarkan perjuangannya pada semua klas, sementara komunis hanya pada satu klas: proletar. (Lihat, Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak, hal 326).

Tak hanya itu, Tjokro dan Agus Salim menuding kaum komunis sebagai ‘tukang pecah-belah’. Tak hanya itu, dengan meminjam tesis Komunis Internasional (Komintern) tentang Pan Islamisme, keduanya mempropagandakan bahwa kaum komunis menentang proyek Pan-Islamisme.
Akhirnya, pada kongres SI di Surabaya, Oktober 1921, proposal Disiplin Partai diajukan. Yang berarti: menendang kaum komunis dari tubuh SI. Pada saat itulah Tan Malaka muncul. Menurut dia, PKI tidak boleh dikecualikan dari program Disiplin Partai. Alasannya, komunisme secara alami menjadi Islam dalam melawan imperialisme.

Tan Malaka menunjukkan bahwa di luar negeri kaum komunis bisa beraliansi dengan gerakan Islam. Ia mencontohkan, kaum Bolsevik beraliansi dengan kaum muslim di Kaukasus, Persia, Afghanistan, dan Bukhara. Bagi Tan, kalau SI memang organisasi religius internasional, maka mereka harus belajar dari komunitas islam di luar negeri yang beraliansi dengan komunis.

Namun Agus Salim mengeluarkan bantahan. Menurutnya, semua yang disebutkan oleh Marx sudah ada dalam Al-Quran. Selain itu, kata dia, sekalipun muslim timur tengah menerima bantuan Bolshevik, tetapi mereka tetap merdeka dan tidak membiarkan Bolshevik memasuki masyarakatnya. ( Lihat: Ruth McVey, Kemunculan Komunis Indonesia, hal 170-171)

Pada bulan Desember 1921, PKI menggelar Kongres. Tan Malaka menjadi pembicara penting di Kongres itu. Dia menekankan, “kalau perbedaan Islamisme dan Komunisme kita perdalam dan lebih-lebihkan, kita memberikan kesempatan kepada musuh yang terus mengintai untuk melumpuhkan gerakan rakyat Indonesia.”

Pasca kongres, berkat pengaruh Tan Malaka, PKI banyak menarik kesesuaian antara komunisme dan islamisme. Misalnya, dalam aspek propaganda, mereka merujuk ke ayat Al-quran untuk untuk menunjukkan simpati kepada rakyat dengan mengecam penindasan dan keserakahan. Tak hanya itu, PKI Semarang membentuk Komite Haji untuk mengubah peraturan Haji pemerintah yang memberatkan ataupun bertentangan dengan hukum Islam.

Tak hanya di partainya, dukungan Tan Malaka terhadap aliansi Islam-Komunis juga ditunjukkan di forum komunis Internasional. Pada Kongres Komunis Internasional ke-empat, 12 November 1922, Tan Malaka menyatakan perlunya dukungan terhadap Pan-Islamisme dalam kerangka melawan imperialisme.

Di kongres itu Tan Malaka berseru, “Saat ini, Pan-Islamisme berarti perjuangan untuk pembebasan nasional, karena bagi kaum Muslim Islam adalah segalanya: tidak hanya agama, tetapi juga Negara, ekonomi, makanan, dan segalanya. Dengan demikian Pan-Islamisme saat ini berarti persaudaraan antar sesama Muslim, dan perjuangan kemerdakaan bukan hanya untuk Arab tetapi juga India, Jawa dan semua Muslim yang tertindas. Persaudaraan ini berarti perjuangan kemerdekaan praktis bukan hanya melawan kapitalisme Belanda, tapi juga kapitalisme Inggris, Perancis dan Itali, oleh karena itu melawan kapitalisme secara keseluruhan. Itulah arti Pan-Islamisme saat ini di Indonesia di antara rakyat kolonial yang tertindas, menurut propaganda rahasia mereka – perjuangan melawan semua kekuasaan imperialis di dunia.”

Seruan Tan Malaka didukung oleh seorang perwakilan dari Tunisia dan seorang delegasi Belanda. “Saya tidak mendapat jawaban apapun, kendati pidato saya mendapat sambutan hangat dari Kongres,” kata Tan Malaka. Kendati tidak menyalahkan taktik PKI yang beraliansi dengan Sarekat Islam, tetapi Komintern tetap mengutuk Pan-Islamisme.

Rudi Hartonopengurus Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (PRD); Pimred Berdikari Online

Sabtu, 15 Februari 2014

Martin Aleida: Takdir Sastra Adalah Membela Korban

Fathimah Fildzah Izzati


POGROM ’65 bukan hanya sekedar menghancurkan gerakan massa yang kuat, lebih dari itu adalah dihancurkannya karakter kebangsaan yang penuh dengan harga diri. Suatu karakter kebangsaan yang menempatkan nilai-nilai solidaritas, kesetaran, keadilan sosial sampai dengan kemandirian dalam kesadaran normatif masyarakatnya. Tidak heran, jika pasca ’65 Indonesia hampir bisa dikatakan kehilangan jati dirinya. Dominasi kapitalisme dan imperialisme yang difasilitasi oleh rezim otoritarian Orde Baru, begitu mengakar dalam keseluruhan kehidupan masyarakatnya. Implikasi dari struktur ekonomi politik ini pada akhirnya membuat bangsa ini begitu sulit untuk melakukan identifikasi serta pembangunan kesadaran kebangsaan yang sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia itu sendiri.
Martin Aleida adalah salah seorang saksi mata sejarah yang merasakan secara langsung bagaimana proses penghancuran sistematis atas karakter bangsa melalui peristiwa ’65 tersebut. Sebagai sastrawan yang harus menjadi korban dari pogrom ’65 karena banyak terlibat dalam LEKRA, pogrom ’65 adalah peristiwa yang harus selalu dikabarkan sebagai kepada khalayak ramai Indonesia. Dalam hal ini, sastra dapat berperan dalam upaya pengabaran akan pengalaman korban ’65. Bentuk sastra seperti ini bukan sekedar untuk mengharapkan rasa iba agar dikasihani oleh orang-orang, tetapi lebih daripada itu presentasi sastra seperti ini adalah bagian untuk mengungkapkan satu kebenaran mengenai sikap kita dalam berbangsa dan bernegara. Bahwa tindakan untuk membunuh dan menghabisi saudara sebangsanya sendiri adalah tindakan yang, pada akhirnya, akan menghancurkan kesadaran akan nilai kebangsaan itu sendiri, nilai yang diraih dalam perjuangan bersama untuk menghilangkan kolonialisme serta imperialisme bangsa asing. Berikut petikan wawancara Fathimah Fildzah Izzati dari Left Book Review (LBR) dengan Martin Aleida:
Sejak kapan Anda mulai tertarik menulis karya-karya sastra?
Saya mulai menulis ketika masih di Sekolah Menengah Atas (SMA), kalau tak salah ingat, ketika saya duduk di kelas dua. Saya lahir dan sekolahnya tuh kan di Tanjung Balai, tapi bukan Tanjung Balai Karimun ya, tapi Tanjung Balai Asahan, selatan Medan. Tulisan-tulisan tersebut kemudian saya kirim ke koran di Medan, Indonesia Baru, dan juga ke Jakarta, Harian Rakjat, karena dua koran ini yang memuat cerita pendek setiap hari. Sekarang ini nggak ada media yang seperti itu. Tetapi, terutama Harian Rakjat tiap hari Sabtu dia punya rubrik kebudayaan, dimana ada cerita pendek atau puisi atau artikel lain melalui proses seleksi yang lebih ketat. Waktu itu, Harian Rakjat bisa memuat cerita pendek yang dimuat sekaligus dalam satu penerbitan, kalau ceritanya lebih panjang bisa diterbitkan dua-tiga hari berturut-turut, mungkin juga empat hari.
Siapa orang dan karya yang menginspirasi Anda sehingga menjadi seorang sastrawan?
Kalau Anda tanyakan siapa yang mempengaruhi, sulit saya katakan. Tapi saya terutama membaca Hamka, dan, tentu saja, Pram. Marah Rusli, ya, tapi Marah Rusli kan sangat terbatas. Saya juga membaca Motinggo Busye. Adapun penulis luar yang saya ikuti dengan cermat adalah Ernest Hemingway. Kalau Hamka kan ada Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, apalagi Pram, karyanya lebih banyak lagi. Saya membaca karya-karya itu terkadang sampai membawanya ke dalam kelambu, pakai senter bacanya. Namun, walaupun cerita-cerita mereka itu sangat memikat, tapi kalau terpengaruh betul sih tidak. Kalau dari segi gaya menulis, saya kira saya tidak begitu terpengaruh. Sementara untuk karya luar negeri, saya baca terutama Ernest Hemingway. Juga Jack London. The Call of the Wild karya London saya baca berulang kali. Belakangan, saya juga membaca Tuesday With Morrie karya Mitch Albom. Anda sudah baca? Judulnya itu tidak diterjemahkan oleh kelompok Kompas, tapi ceritanya diterjemahkan. Saya baca dalam bahasa Inggris, kosa-katanya tidak terlalu sulit, jadi jarang sekali saya membuka kamus. Kalau Anda ada waktu, bacalah yang Bahasa Inggris. Itu karya bagus, ditulis oleh seorang wartawan olah raga, berdarah Yahudi. Saya lihat bukunya ada di toko buku di Kemang, di toko yang konon dimiliki oleh novelis Laksmi Pamuntjak. Tetapi, buku seperti Pamuk (Orhan Pamuk, red), saya nggak selesai membacanya. Dulu saya diminta menerjemahkannya, saya sudah terjemahkan 1 Bab, tapi kemudian manajemennya kacau gitu ya, jadi saya nggak jadi. Novel Pamuk agak ruwet. Dan seingat saya, saya nggak pernah menulis puisi. Cerita pendek saja. Hanya cerita pendek, selain dua novel.
Dalam karya-karya Anda,sering sekali Anda mengangkat persoalan mengenai tragedi ’65. Bisa diceritakan mengenai hal ini?
Itu karena saya mengalami sendiri peristiwanya. Sesuatu yang sangat dekat dengan hidup saya. Waktu peristiwa itu meledak, saya berumur 22 tahun. Pekerjaan saya ketika itu sebagai wartwan di Harian Rakjat, milik Partai Komunis Indonesia (PKI), dan liputan terakhir saya adalah kegiatan Bung Karno. Antara, kira-kira dari Januari-an ‘65 sampai sekitar Juli atau Agustus ’65 ya.[1] Nah, itu sangat membekas buat saya, karena dia bagian dari diri saya. Dan karena dia begitu dekat dengan diri saya, apapun percikan-percikan kecil yang menyangkut peristiwa itu, memberikan kesempatan pada saya untuk membangun sebuah cerita, sebuah fiksi yang membela korban. Saya menulis dari segi korbannya. Dalam banyak kesempatan saya selalu mengatakan bahwa takdir sastra adalah membela korban. Karya yang besar tidak harus besar dalam volumenya. Dia bisa sekecil catatan harian. Menurut saya karya terbesar yang dihasilkan Perang Dunia II adalah Catatan Harian Anne Frank, gadis belasan tahun yang menjadi korban keganasan Nazi. Sebagai penulis saya merasa ditakdirkan untuk mengagungkan korban yang diperlakukan sewenang-wenang oleh kekuasaan dalam kurun waktu tertentu, dalam hal ini Pasca-peristiwa 1965.
Salah satu cerita pendek saya berkisah tentang orang yang saling jatuh cinta, kemudian menikah, tetapi sepanjang perkawinan merekansaling menyembunyikan indentitas diri. Inilah dampak paling keji dari stigma yang berhasil dibangun rezim militer Suharto. Jadi, stigma waktu itu begitu mematikan, sehingga orang mau melupakan sejarah dirinya, sejarah keluarganya. Judul cerita itu Leontin Dewangga. Si perempuan juga menyembunyikan identitas dirinya. Tapi pertemuan mereka sebetulnya ya romantisme biasa. Jatuh cinta pada pandangan pertama, terus seneng, lalu jatuh cinta, dan kemudian menikah. Nah, dalam perjalanan menikah itu rahasia yang ditutup rapat tersebut muncul. Si perempuan ini melihat bahwa si laki-lakinya kok pergaulannya ternyata tidak seperti dahulu mula-mula ketika dia kenal. Si laki-laki ini kan ceritanya tuh ditangkep tentara, sesudah lepas dia menggelandang, tapi dia sebetulnya kepingin menjadi aktor. Dia sudah sempat membintangi beberapa film, sebagai figuran. Dia dikejar-kejar tentara karena ikut dalam organisasi yang dilarang tentara. Sesudah bebas dari tahanan tentara, dia menjadi buruh tukang angkat barang ibu-ibu kalau habis dari pasar, kuli pangggul namanya. Lalu kebetulan ada seorang ibu yang senang melihat dia karena kelakuannya baik dan tampangnya ok, ya dia kan aktor kan, nah akhirnya dibawa ke rumahnya, dan dikenalkan dengan anak gadis ibu yang jadi langganannya itu.
Tetapi dalam perjalanan pernikahan mereka itu, si perempuan yang mengenal suaminya sebagai gelandangan, kok tiba-tiba sekarang ada orang yang menelepon. Orang yang tidak biasaan bagi seorang eks gelandangan yang berprofesi tukang angkat belanjaan ibu-ibu di pasar. Nah, si perempuan ini merasa suaminya itu punya sesuatu yang disembunyikan. Suatu hari sang istri ini sakit parah dan dirawat rumah sakit, dan si laki ini ingin ngasih tahu pada perempuan itu, bahwa dia mau meminta maaf, supaya dia kuat, mau menerima pengakuan. Dia mencari waktu yang tepat dan perempuan itu mengatakan, ceritakan saja, ceritakan, saya siap. Lalu si lelaki ini menceritakan siapa dirinya sebetulnya. Tak disangka, si perempuan yang selama ini juga menyembunyikan identitasnya merasa ini saat yang tepat untuk mengatakan identitas dirinya yang sebenarnya. Pada saat sekarat itu dia mengatakan, kamu kan selama ini cuma terpesona oleh mata saya, mata yang kamu puja, tapi kamu tidak pernah melihat yang lain. Cobalah kamu lihat liontin saya, liontin itu bisa dibuka, pemberian bapak saya. Ketika saya berumur 17 tahun, bapak saya hilang dan kemudian tidak pernah kembali lagi. Bapaknya terlibat dalam organisasi tani yang berafiliasi dengan PKI, Barisan Tani Indonesia (BTI). Dia juga ditangkap dan bisa menikmati kebebasan karena dia menyerah pada nafsu iblis komandan yang memerkosa dia. Nah, kayak gitu. Ketika liontin itu dibukanya, tampak simbol dari BTI. Si lelaki ini jadi kaget dan cerita pendek itu berakhir di situ.
Jadi Peristiwa ’65 itu memang paling dekat dengan diri saya dan menurut saya, peristiwa itu merupakan bencana terbesar yang dialami oleh bangsa ini. Kalau peneliti luar mengatakan sekitar 500.000 yang mati, tidak diadili, dan ada juga yang mengatakan sampai tiga juta. Saya kira ini perlu terus diingatkan. Saya tidak punya pretensi untuk mengingatkan, tapi sebagai penulis, ini harus saya tulis. Dapatkah Anda katakan kepada saya karya yang besar yang tidak memihak pada korban?! Sastra, menurut anggapan saya, memang ditakdirkan untuk membela korban dan semua yang saya ceritakan itu adalah mereka yang jadi korban peristiwa ’65 tersebut. Agama-agama besar juga diturunkan untuk membela mereka yang menjadi korban dalam perjalanan waktu tertentu. Dan saya yakin permintaan atau doa yang mudah mendatangkan rahmat dari Tuhan adalah permohonan dari hambanya yang sedang ditindas, diperkosa, tidak sebagaimana Tuhan memperlakukannya dengan penuh kasih.
Saya terutama membaca Hamka, dan, tentu saja, Pram. Marah Rusli, ya, tapi Marah Rusli kan sangat terbatas. Saya juga membaca Motinggo Busye. Adapun penulis luar yang saya ikuti dengan cermat adalah Ernest Hemingway.
Apakah Anda pernah tergabung dalam LEKRA?
LEKRA itu punya media resmi, namanya Zaman Baru. Tapi terbitnya tidak teratur, tidak seperti Harian Rakjat. Dia bentuknya mula-mula tabloid dan kemudian pada tahun ‘63 akhir, kalau tidak salah ingat, saya disuruh menerbitkannya kembali dalam format majalah dan logonya juga berubah. Ketika majalah ini terbit 2 atau 3 nomer, saya dapat kerjaan sebagai wartawan. Ya sudah itu ditinggal, digantikan oleh yang lain, oleh A. Kohar Ibrahim dan Sutikno WS. Mungkin Anda kenal namanya A. Kohar Ibrahim? Dia sering muncul di internet, orang Betawi tapi udah meninggal di Belgia karena gak bisa pulang ke Indonesia. Tahun ’65 dia diundang untuk menghadiri ulang tahun berdirinya Republik Rakyat Tiongkok. 1 Oktober ’65, seperti Sobron Aidit, dll, ratusan orang saya kira, dia tinggal di Eropa, Belgia, kemudian menikah dengan orang Belgia. Ada anaknya saya kira. Ya saya sebagai staf redaksi di Zaman Baru. Pemimpin redaksinya adalah Rivai Apin, temannya Chairil Anwar, staf lainnya adalah S. Anantaguna, salah seorang anggota Pimpinan Pusat LEKRA.
Anda baca di harian Republika, dimana Ajip Rosidi menulis LEKRA itu PKI apa bukan? Di LEKRA itu nggak ada itu resmi pakai kartu anggota, di sana orang komunisnya ada, yang non-PKI juga ada, tapi LEKRA itu independen dari PKI. Memang di situ ada pimpinan PKI yang namanya Njoto, tapi Njoto ini orangnya juga independen. Independensi anggota ini yang nggak dimengerti oleh orang-orang Angkatan Darat dan orang-orang kepala batu itu. Sepertinya, mereka yang lebih tahu tentang diri orang lain.
Bagaimana rumusan LEKRA soal realisme sosialis di bidang kebudayaan?
Aduh saya nggak ikut campur. Saya berusaha agak menjauh dari masalah-masalah teoritis. Waktu itu bacaan sangat terbatas, tidak seperti sekarang. Saya nggak terlibat dalam perdebatan yang bersifat teoritis. Saya lebih aktif di masalah-masalah kreatif. Masalahnya adalah kepekaan intuitif pada kenyataan sosial. Dan dalam menulis, ketika saya menggunakan metode 1-5-1 itu adalah masalah yang otomatis, walaupun itu merupakan hasil formulasi dari para tokoh kebudayaan yang bernaung di bawah LEKRA. Pembelaan terhadap mereka yang disingkirkan dalam kehidupantumbuh dari dalam. Intuisi. Panggilan jiwa itu yang saya ikuti, tak perduli apakah saya akan menjadi korban kekerasan sebuah rezim di kemudian hari. Bahwa ada orang-orang analis sastra memberikan formulasi mengenai metode penciptaan, ya itu urusan dia, urusan lain, silahkan saja. Kita menulis berdasarkan apa kata hati. Kata hati lebih kuat dari kata-kata terpilih dari mereka yang merenungkan makna dari kata-kata. Kalau dikatakan itu realisme sosialis, juga tidak. Karena di sini kan tidak ada tatanan sistem sosialis. Kalau, misalnya, Anda katakan realisme kerakyatan, mungkin betul. Kalau realisme sosialis seperti itu lho, pengarang Uni Soviet Maxim Gorky. Saya ingat novel Membangun Hari Kedua oleh Ilya Ehrenburg, ya, itu realisme sosialis, karena basis dimana cerita itu bermain adalah dia dalam tatanan masyarakat sosialis, juga visi dari cerita itu, di mana Anda akan dibawa ke sebuah tatanan social ekonomi yang lebih tinggi lagi. Ya, metaforanya adalah ‘hari kedua.’ Membangun Hari Kedua juga ditafsirkan sebagai tatanan lebih tinggi yang sedang dibangun Soviet waktu itu. Kita kan nggak. Rakyat masih melata, hendak bangkit dari kenistaan ekonomi maupun sosial. Kalau dikatakan realisme kerakyatan ya betul, karena kita kebanyakan juga menulis sastra yang berpihak kepada rakyat, apakah buruh, atau tani. Pokoknya mereka yang membutuhkan pembebasan dari belenggu yang melingkari kaki dan leher mereka.
Di LEKRA itu nggak ada itu resmi pakai kartu anggota, di sana orang komunisnya ada, yang non-PKI juga ada, tapi LEKRA itu independen dari PKI. Memang di situ ada pimpinan PKI yang namanya Njoto, tapi Njoto ini orangnya juga independen. Independensi anggota ini yang nggak dimengerti oleh orang-orang Angkatan Darat dan orang-orang kepala batu itu.
Mengenai perkubuan LEKRA-Manikebu, bagaimana Anda menempatkannya dalam konteks kebudayaan saat ini? Apakah masih relevan?
Ini cermin dari masyarakat kita ya. Budayawannya, kaum intelektualnya, kepala batu, tidak bersikap terbuka. Kalau Anda ikuti, misalnya, Goenawan Muhamad, dia lain lho. Saya kira Goenawan menganggap perdebatan itu tidak perlu lagi sekarang ini. Yang perlu sekarang adalah semacam solidaritas untuk mereka yang pernah dilarang, Manikebu yang dilarang dan PKI/LEKRA yang dilarang, ditumpas. Larang melarang ini, seperti kata Goenawan, menyebabkan bangsa ini nggak bakal maju-majunya. Perbedaaan atau kecenderungan pikiran yang berbeda seharusnya tidak menjadi tembok yang memisahkan, menjauhkan manusia dari kodrat mereka yang seharusnya bisa berada dalam komunitas besar, dengan berbagai cita-cita hidup yang mungkin berbeda. Namun bagi beberapa orang, seperti yang Anda tahu, Ajip Rosidi atau Taufiq Ismail yang kepala batu itu, larang-melarang itu tetap melekat dalam benak mereka, membatu! Diskusi buku mereka tebas, padahal, meraka, katanya, setuju demokrasi. Sehingga kadang-kadang dia tersungkur sendiri. Menjilat kembali ludah sendiri. Menghujat orang baru meninggal. Setelah terbentur pada kenyataan yang tak terelakkan, sumpah serapah berubah menjadi permintaan ampun!
Sikap kepala batu Ajip Rosidi itu, misalnya, begini: ketika AS Sidartha, salah seorang pendiri dan sekretaris umum pertama LEKRA meninggal, Ajip Rosidi menulis ‘In Memoriam’ yang mengatakan bahwa orang ini (AS Dharta) tidak bakal diterima Tuhan karena dia ateis. Kebetulan saya baca tulisan itu di Pikiran Rakyat. Saya kemudian membuat tulisan yang mengatakan Anda kok bisa berkata begitu? Darimana Anda tahu kalau dia ateis? Kalau anda baca buku biografi Lenin yang ditulis oleh wartawan Amerika, dia sangat religius. Tulisan saya itu kemudian dibaca oleh seorang sohib Ajip yang mengatakan bahwa pengetahuan Ajip mengenai Dharta salah, maka dia harus menulis kedua kali mengenai AS Dharta. Kalau Anda beli buku Ajip Rosidi judulnya Mengenang Hidup Orang Lain yang diterbitkan KPG, di situ Anda akan menemukan dari puluhan orang yang meninggal yang dia tulis, AS Dharta dia tulis dua kali. Pertama, ketika dia dizalimi; yang kedua kali dia tulis karena ada temennya yang ngasih tahu ’tuh anak yang menulis mengenai Dharta itu (Martin Aleida, red.) benar, dan saya tahu Dharta 50 tahun lebih dan keluarga dia itu tidak seperti yang kau pikirkan, kata sohib itu. Dan akhirnya dia minta maaf, minta ampun kepada keluarga AS Dharta.
Jadi memang, ya masyarakat kita keadaannya seperti begitu. Menurut saya, orang boleh saja punya kecenderungan politik ideologi ke sana ke mari, gak masalah, tapi kalau sikap ngotot dan tanpa dasar seperti itu ya ngawur. Seperti, misalnya, Ajip itu mengatakan bahwa Njoto pacaran dengan perempuan Rusia, penerjemahnya. Itu menjadi desas-desus luar biasa untuk menjatuhkan Njoto. Masih menurut Ajip ini, Njoto dan Aidit pernah bicara berjam-jam sehingga pada akhirnya, katanya, Njoto mengatakan bahwa dia akan memilih istri. Darimana dia tahu? Apakah dia hadir di dalam pertemuan itu? Kan enggak. Apakah dia kepingin menelan ludahnya sendiri lagi. Dan lagi…Dan itu kan masalah-masalah pribadi ya. Itu yang kadang-kadang saya nggak ngerti ya. Orang bermain di tataran pandangan hidup, kemudian bercampur baur dengan sikap-sikap pribadi yang tidak berdasar.
Nah apakah masalah LEKRA atau Manikebu itu masih relevan atau tidak, saya katakan tidak. Saya kira dia sudah tidak zamannya. Ini kan zamannya sudah lain. Zaman punya dialektikanya sendiri. Tahun 1986, Arswendo Atmowiloto menulis novel Pengkhiatan G30S/PKI (berdasarkan film dengan judul sama sutradara Arifin C. Noer) yang dijadikan bahan kampanye untuk melikuidasi mereka yang dituduh komunis dan samasekali tidak berbicara mengenai korban pasca-1965. Sekarang Arswendo memberikan apresiasi yang tinggi pada cerita-cerita pendek saya yang mengagungkan para korban. Bagaimana kita memaknai perubahan yang disodorkan waktu sekarang ini, itulah masalah budaya kita yang paling penting. Hanya kepala batu yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan kehendak zaman. Dengan jalan pintas, mereka menyalahgunakan lembaga yang berada di tangan mereka untuk melikuidasi kecenderungan tertentu dengan sewenang-wenang. Perlajarilah baik-baik apa yang terjadi dengan Akademi Jakarta belakangan. Saya terlibat, maka sebaiknya saya berhenti berbicara sampai di sini. Penggunaan gadget ini, misalnya, apakah kaum kepala batu itu bisa mengikutinya? Saya ragu. Saya kenal salah seorang di antara mereka. Wong mengirim e-mail saja tidak bisa lho. Orang-orang begini ini mereka gak mau tahu. Di Facebook itu kalau saya lihat, 90 persen yang nulis statusnya itu kecederungannya Kiri, karena itu pernah ada seminar kecil gitu di LIPI, diorganisir oleh Amin Mudzakir, yang temanya kalau tak salah ‘Facebook dan Kecenderungan Kiri.’ Jadi karena ada peraturan-peraturan yang melarang komunisme, LEKRA, itu ada, maka ketololan berlindung di balik ketentuan pemerintah yang sudah kadaluwarsa tersebut tetap lestari.
Sama seperti kejadian belum lama berselang, saya yang kabarnya semestinya dapat hadiah Akademi Jakarta tetapi dianulir. Dengan sewenang-wenang mereka melanggar kehormatan juri yang mereka angkat sendiri, hanya untuk menjatuhkan seseorang yang dikabarkan sebagai LEKRA. Tempo hari ketika saya mengritik tulisannya mengenai Dharta, Ajip juga bilang saya kritik tulisannya itu karena saya tidak suka padanya, karena saya LEKRA. Dia bilang saya jadi anggota Dewan Kesenian Jakarta karena dia yang usul. Kalau sejak semula saya tahu, lebih baik saya jadi gelandangan saja dari pada direkomendasikan orang dengan karakter seperti itu.Benar, saya tidak tahu kalau dia mengusulkan itu. Yang lebih penting buat saya adalah dia tidak jujur mengatakan mengapa di antara saya dan dia itu terjadi ketegangan. Dia nggak menceritakan mengapa dia menjilat ludah dia sendiri ketika menulis tentang AS Dharta. Itu soalnya. Kalau nggak, hubungan saya dengan dia baik lho. Dia datang ke rumah saya, saya datang ke rumah dia. Tapi dia tidak menceritakan itu. Jadi nggak jujur, gitu lho. Menurut Goenawan, sebagai anggota Akademi Jakarta, dalam kasus saya itu, Akademi Jakarta melakukan hal yang tidak patut.
Jadi akademi ini tiap tahun memberikan hadiah gitu ya, semacam Lifetime Achievement Award dengan cara membentuk juri, juri inilah yang memilih. Tak ada lagi yang di atas juri. Tetapi, sekarang keputusan juri ditolak. Tapi, menurut berbagai laporan, juri bilang tidak atas penolakan itu kalau yang menang bukan yang mereka rekomendasikan. Kalau bukan Martin, mereka tidak mau, mereka mengundurkan diri. Jurinya mengundurkan diri. Itu kan aneh, jadi konyol-konyol gitu. Kalau misalnya mau menelikung saya, carilah jalan yang manis, gitu. Ya Akademi Jakarta itu tidak seperti Komite Nobel. Tapi Komite Nobel itu kan banyak yang mau bermain politik, bagaimana supaya Sartre tidak dapat nobel, itu kan ada permainan yang sangat bagus. Walau kemudian kebobolan juga, kerana Pablo Neruda muncul sebagai pemenang. Sementara yang dilakukan Akademi Jakarta ini sangat kasar, saya kira. Tapi sekarang persoalannnya sudah lain dan semakin banyak orang-orang yang terpelajar, dan celakanya yang kepala batu ini tidak mau ngerti jika pertumbuhan generasi sekarang itu sudah lain. Anda tidak bisa menutup akses mereka. Membungkam mereka, apalagi terhadap bacaan-bacaan yang diharamkan. Sekarang di internet mau akses apa saja ada, ini yang mereka nggak mau ngerti. Kalau Goenawan dia bagus sekali. Serangan-serangan kasar terhadap dia tidak diladeninya, tapi serangan-serangan yang sangat bagus yang ditulis oleh Martin Suryajaya, misalnya, dia jawab baik-baik, berbudaya, berakhlak terpuji.
‘Saya tidak menyesal. Saya hanya menyesal kalau saya tidak bisa bersuara untuk mereka yang dibuat tak bisa berbicara puluhan tahun. Bayangkanlah, di negeri kita ini mati dengan baik-baik, diiringi selenting doa saja tak mungkin.’
Apa Anda melihat pentingnya politik kebudayaan saat ini ditengah-tengah gempuran kapitalisme neoliberal yang begitu hegemonik?
Saya nggak ngerti menjelaskannya ya, mengapa kita sebagai bangsa tidak punya karakter yang kuat. Kenapa itu? Saya nggak tahu menjelaskannya. Kita dengan mudah dipengaruhi oleh, katakanlah yang terakhir ini, seni budaya Korea, dipuja-puja, saya heran. Kita memuja apa yang memukau dari luar, okelah, tetapi kekayaan kita sendiri, kita tidak pupuk, kita tidak hargai. Kalau kita lihat Jepang, misalnya, mereka hargai apa yang bagus dari luar, mereka main golf, tapi sumo tetap ada. Jadi diri dia itu tetap ada. Tetapi kita ini, kayak air gitu lho, Anda kasih warna ijo jadi, warna merah jadi, saya nggak ngerti itu kenapa. Tapi pastilah itu ada kaitannya dengan pendidikan, apakah anak-anak sekolah, apakah di dalam rumah tangga, apakah di dalam masyarakat, kita lemah. Apakah karena alam kita yang membuat kita mudah sekali berpindah-pindah karena tetap bisa hidup mudah, saya nggak tahu.
Jadi pendidikan, termasuk pendidikan bahasa, kesusasteraan, itu sangat perlu. Memperhalus budi orang ya. Cuma, ini masalahnya, pendidikan sastra di sekolah itu ada yang nggak benar, yaitu pelajaran meringkas. Jadi, nggak tau ya angkatan kalian itu masih ada atau nggak. Siti Nurbaya diringkas, jadi kalian menghadapi tugas itu tidak membaca roman Siti Nurbaya yang utuh, tetapi ringkasan. Hal yang sama terjadi ketika orang dibuat sedemikian rupa tidak membaca Atheis karya Achdiat Karta Miharja secara utuh, tapi hanya disuruh membaca ringkasan Atheis. Meringkas itu nggak baik, karena fantasia kita, tidak muncul di dalam ringkasan itu. Yang tidak dilakukan oleh Indonesia sekarang itu adalah apa yang dilakukan di luar, seperti di Amerika, misalnya. Di sana itu ada banyak novel-novel atau buku yang sangat monumental, misalnya novel The Call of the Wind, yang ditulis kembali untuk anak-anak SMP. Jadi pemilihan kata, alur cerita, disesuaikan dengan bahasa murid sekolah menengah pertama, sehingga secara psikologis daya tangkap mereka sama seperti kita orang dewasa yang membaca novel tersebut. Itu yang tidak pernah dilakukan di sini. Diringkas-ringkas itu sama sekali salah. Ya pendidikan sangat perlu saya kira. Tapi itu juga tentu sangat dipengaruhi oleh pilihan kebijakan ekonomi kita. Kalau kebijakan ekonomi kita tetap seperti ini, ya kita tidak bisa jadi dewasa. Kita tidak bisa berdiri di atas kaki kita sendiri dan jangan mimpi kita menjadi kuat. Ekonomi kita sangat tergantung pada luar, sehingga itu gampang sekali goyah.
Dalam buku Langit Pertama, Langit Kedua yang baru saja diterbitkan, Anda meletakkan karya-karya fiksi sebagai ‘Langit Pertama’ dan karya-karya non-fiksi sebagai ‘Langit Kedua.’ Bisa diceritakan bagaimana pandangan Anda mengenai hal ini?
Langit pertamanya dilihat dari luar angkasa. Ya karena bagaimanapun juga yang tertinggi itu tetap fiksi. Bagi saya, kritik dan esai itu sekunder. Kalau misalnya tidak ada yang primer tadi tidak mungkin ada yang sekunder. Tentu saja kritik dan esai itu akan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan fiksi. Tapi fiksilah yang menjadi utama, karena ada fiksi itulah maka ada kritik dan esai. Fiksi menempati posisi yang lebih penting karena ia adalah hasil kreasi, hasil imajinasi. Seperti pernah saya umpamakan kritik itu seperti benalu, tetapi di antara benalu ada benalu yang bermanfaat untuk penyakit tertentu, seperti tumor dan kanker.
Bagaimana pandangan Anda terhadap berbagai penghargaan serta kritik yang diberikan kepada para penulis sastra? Apakah hal itu penting bagi para sastrawan?
Penghargaan ya penting, untuk memotivasi penulis menulis lebih banyak lagi. Yang di Langit Pertama, Langit Kedua itu, saya mencoba mengatakan bahwa kritik itu tidak mesti serius. Tidak meti berhalaman-halaman. Jadi orang nyeletuk atau apa pun kan itu juga kritik, sebagai masukan. Jadi ada yang memberikan kritik atau saran atau tanggapan itu melalui e-mail, ada yang melalui sms, ada juga yang memberikan uraian, malah mengadaptasi cerita saya menjadi puisi yang panjang. Saya nggak mau kalau itu tinggal sms, lantas saya masukkan di buku ini. Ada orang yang memberikan interpretasi yang lebih panjang dari cerita pendeknya sendiri. Ada juga yang mengirim sms bertanya ‘ini ditulis pake kertas A4 berapa halaman?’ Itu kan lucu ya, tapi nggak apa-apa, kita bisa melihat tingkat manfaatnya dan itu yang menjadi bunga dalam hidup kita sebagai pengarang. Ada juga yang bertanya ‘pohon Hariara itu apa?’ Sebetulnya kalau lihat di kamus, dia akan tahu. Tujuan saya juga supaya orang lihat di kamus. Sebab saya, sebagai penulis, tidak hanya menuliskan apa yang saya rasakan dan pikirkan, tapi juga mencoba agar pembaca dapat memperkaya kosakata diri dia yang bisa dia lihat sendiri di kamus. Kadang-kadang ada juga komentar yang menanyakan maksud kata-kata yang mereka tidak mengerti. Jadi saya masukkan saja sekalian. Mungkin itu belum pernah dilakukan orang. Itu yang dikatakan oleh Arswendo Atmowiloto, yaitu saya menjadikan gosip menjadi narasi sastra. Jadi selama ini kan hanya digosip-gosipkan dan kini saya tulis. Kritik sastra diperlukan iya, karena ini memberi masukan kepada penulisnya dan memberikan penjelasan kepada khalayak, ini yang baik, kekurangan tulisan ini begini, dll. Itu fungsi kritik sastra dan esai, menurut saya. Penghargaan juga sama pentingnya. Artinya, penghargaan itu juga bisa diterima sebagai kritik dan juga sebagai apresiasi.
Apa yang membuat Anda tetap bertahan sebagai seorang penulis hingga saat ini?
Menulis itu mengasyikkan, karena kadang-kadang orang menafsirkannya secara lain dan sering kita nggak duga bahwa tulisan itu akan seperti itu tafsirannya. Saya nggak ngerti bahwa orang bisa menafsirkan sedemikian rupa tulisan saya. Itu satu keasyikan tertentu dalam dunia penulisan. Ada contohnya, tapi saya lupa, jadi dia itu memberikan penafsiran yang saya sendiri kaget, kok bisa ditafsirkan begitu ya. Tapi menulis itu menderita juga, itu saya akui. Karena begitu Anda menuliskan, Anda harus memikirkan, bagaimana Anda menulis kalimat pertama, pilihan katanya bagaimana, paragraf pertama bagaimana, itu sangat menyiksa. Dan saya tidak seperti Anda yang bisa menulis sambil duduk lantas jadi. Saya nggak. Kalau buntu, saya jalan. Oleh karena itu, sering saya kalau di rumah itu nggak bisa nulis. Di depan rumah saya itu kan banyak pohon, jadi kalau saya lihat ada daun kering jatuh di beranda itu, saya nyapu. Akhirnya saya nggak nulis. Karena itu kebanyakan tulisan itu saya tulis di Taman Ismail Marzki (TIM) sini, terutama di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin. Selain karena sepi, ruangannya begitu luas dan pengunjungnya sehari rata-rata hanya 2-3 orang. Buku ada di sana. Saya tidak bisa cepat menulis. Tapi dorongan dari dalam bahwa ada sesuatu yang harus saya katakan keluar dari diri saya itu yang membuat saya bertahan. Jadi apa yang saya alami, apa yang saya ketahui. bahwa ada orang yang tak bisa menerima, itu tidak jadi masalah.
Saya dituduh mendendam. Apa benar? Soalnya saya menggugat kematian dari beribu orang sebagai korban kesewenang-wenangan. Apakah itu dendam. Baiklah, soalnya apakah saya menulis dendam itu dengan membangkitkan dendam palsu sebagaimana rezim militer Suharto lakukan terhadap mereka yang dituduh komunis? Baiklah kalau saya dituduh mendendam lantaran saya mengingatkan melalui cerita-cerita saya, sementara mereka menyurukkan kepala ke dalam pasir untuk melupakan banjir darah yang ikut mereka tumpahkan sehingga membikin cacat yang tak sembuh-sembuhnya di tubuh bangsa ini! Saya tidak menyesal. Saya hanya menyesal kalau saya tidak bisa bersuara untuk mereka yang dibuat tak bisa berbicara puluhan tahun. Bayangkanlah, di negeri kita ini mati dengan baik-baik, diiringi selenting doa saja tak mungkin, karena ribuan yang dibinasakan sebelum mereka sempat meminta izin kepada suami atau istri, anak atau ayah, sesama kekasih untuk berangkat lebih dulu menemui Tuhan mereka Yang Maha Pengasih.
Bagaimana Anda melihat perkembangan dunia kesusasteraan Indonesia sekarang?
Bagini ya, saya kan banyak menulis cerita pendek. Pertumbuhan cerita pendek sekarang ini, dari segi kuantitas atau bentuk itu negatif. Ambil contoh Kompas itu, dan diikuti oleh media lain, dia membatasi. Jadi kapital itu sudah begitu berkuasa sehingga sastra pun terpuruk. Kompas itu, dia akan dengan gampang mengembalikan tulisan anda kalau lebih dari 10.000 karakter, weak spaces. Kecuali yang mengirim itu orang yang punya nama seperti Seno Gumira atau Budhi Dharma. Itu kelihatan betul bahwa kuasa kapital itu kuat sekali. Padahal kan bisa bersambung ke halaman lain. Tapi sebetulnya juga dia tidak konsisten. Ada berita di Kompas itu yang masih bersambung. Tapi untuk cerita sastra tidak. Ini perkembangan yang tidak bagus. Kompas itu juga, dan ini anehnya, memberikan ruang yang terlalu istimewa buat ilustrasi cerita. Jadi pernah ya salah satu cerita saya yang judulnya Tidak Darah di Lamarera yang sulit dipahami orang kayaknya. Lalu redakturnya bilang, Martin ini yang bikin ilustrasi anak ITB, anak perempuan, tolong dong potong 2.000 karakter. Itu permintaan yang sulit sekali. Saya potong 2.000 karakter dan begitu dimuat, kalau margin kanan kiri dari ilustrator itu dirapatkan, masuk. Itu sebabnya, hampir semua cerita pendek saya selalu ada dua versi, karena itu tadi, harus sesuai dengan jumlah karakter yang ditentukan. Tapi kalau kata-kata itu dibuang kan sayang sekali, karena kata-kata itu kan mengandung unsur musikal, jadi cemplang gitu. Mungkin pengarang yang lain juga mengalami hal yang sama. Tapi kalau ada batasan-batasan seperti itu saya kira tidak baik, sebab Anda mengungkapkan perasaan dan pikiran itu harus ada penampung yang tidak terbatas. Tidak bisa anda batasi.
Bagaimana pendapat Anda terkait dengan proyeksi politik kebudayaan Kiri Indonesia pasca LEKRA? Apakah dimungkinkan untuk dimunculkan sekarang ini?
Sebetulnya orang-orang Kiri, sebagaimana yang ditulis oleh Asep Samboja, mereka tetap menulis. Tapi mereka tidak bisa beradaptasi dengan perkembangan kesusasteraan sekarang. Jadi, sikap dogmatis itu selalu muncul. Jadi kritik saya yang paling serius dan orang tidak suka adalah ketika saya mengatakan bahwa orang-orang yang tidak bisa pulang dari luar itu, mereka ini salah. Salahnya adalah, dia selalu menulis mengenai Indonesia, yang jauh dari dirinya. Dia dapat info tentang Indonesia itu dari e-mail, dari tangan ketiga atau keempat. Makanya kalau Anda lihat bagiaman Agam Wispi, misalnya, ketika menulis puisi mengenai Kedung Ombo, gak bagus. Dia mungkin duduk di Cafe di Belanda, menghadapi kopi dan cokelat, tapi dia tidak melihat langsung, sehingga jadinya tidak bagus.
Begitu juga Sobron Aidit. Sobron itu menghasilkan sesuatu yang bermakna buat hidup dia. Saya satu kos sama dia dulu di sini, di Gondangdia. Dia diundang menjadi guru di Beijing, lantas, ada revolusi kebudayaan, di sana mereka semua harus mengangkat kotoran manusia, dpaksa oleh Partai Komunis. Yang gaya hidupnya borjuis, dipaksa masuk ke daerah-daerah pertanian. Nah ketika RRT itu, menurut saya licik, membuka pasar ke Indonesia, kira-kira yang saya lihat ya Pak Harto maunya buka hubungan diplomatik, nah Sobron dan ratusan orang itu diusir oleh RRT, mereka mengembara. Belasan tahun di RRT, mereka buka restoran. Sobron itu orang tuanya haji. Dia khatam Quran berkali-kali dan empat tahun sebelum dia meninggal, dia masuk Kristen. Dan dia untuk menghadapi masalah bahwa dia ingin diri dia ada di Belitung, ada di Beijing, ada di Amsterdam, dan ada di Paris, lalu dia berkenalan dengan seorang Buddhis di Perancis, dan memutuskan agar jenazahnya dikremasi. Anda seorang Islam, kemudian masuk Kristen, lalu memutuskan untuk dikremasi. Itu kan kalau ditulis luar biasa. Itu tidak ada. Makanya kalau Anda lihat nanti di endorsement dari Gung Ayu Ratih, dia menulis dengan baik mengenai Sobron yang Sobron sendiri tidak menuliskannya dan sangat disesalkan. Jadi, Sobron ini aktif di e-mail, mengritik pemerintahan di sini. Tapi mengenai diri dia sendiri, tidak. Keberadaan mereka di luar jadinya tidak memberikan sumbangan yang berarti untuk sastra Indonesia. Kecuali ada satu yang bertahan, dia penulis tahun 1950an, Supriyadi Tomodiharjo. Dia bertahan, termasuk gaya menulis dia. Di antara penulis-penulis LEKRA itu ada yang bisa bertahan dengan keadaan dan ada yang tidak. Karena itu, penulis-penulis sekarang kalau membaca tulisan mereka, yang terkesan adalah mereka tuh sangat bombastis, ke kiri-kirian.
Untuk yang pasca LEKRA, dia muncul sebetulnya, seperti JAKER, lalu ada kelompok-kelompok Jogja seperti Bumipoetra. Masalahnya adalah tidak ada tokoh yang bisa menghimpun penulis atau pemikir yang lebih banyak ke dalam kelompok mereka. Kalau dulu zaman LEKRA ada orang seperti Njoto, dia sangat kharismatik. Dia bisa menghimpun orang, dia bisa main alat musik tertentu. Di Istana itu kalau Bung Karno habis pidato, tim kesenian itu maju dan Njoto termasuk dalam tim itu. Dia berteman baik dengan Jack Lesmana dan Bing Slamet. Orang-orang seperti itu yang sekarang ini tidak ada, yang disegani oleh orang-orang yang kecenderungan politiknya berbeda. Kan kalau kecenderungan politiknya sama dia bertahan. Nah sekarang ini tidak ada. Jadi kelompok-kelompok seperti Jaker atau Bumipoetra itu belum ya. Kita lihat lah nanti, mungkin ada penulis-penulis yang bagus seperti Martin Suryajaya. Kalau tambah banyak lagi penulis seperti Martin Suryajaya, hebat gerakan.

https://indoprogress.com/2014/02/martin-aleida-takdir-sastra-adalah-membela-korban/