Penulis: Ignatius Dwiana - 07:27
WIB | Minggu, 23 Februari 2014
Dari kiri ke kanan, Basuki
Raharjo, Indro Suprobo, dan moderator Ruth Indiah Rahayu. (Foto: Ignatius
Dwiana)
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM Kuatnya tekanan tidak menghilangkan ingatan. Tetapi dapat
membuat orang kehilangan kata-kata tentang riwayat kehidupan keluarga untuk
sementara. Hal ini dialami Basuki Raharjo.
Basuki Raharjo mempunyai bapak seorang anggota PETA
(Pembela Tanah Air) yang kemudian menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat).
Masyarakat pada umumnya mengenal bapaknya sebagai pejuang. Tetapi setelah
peristiwa 1965, bapaknya hilang tanpa kabar.
Saya tidak tahu persis apa pun yang terjadi pada waktu
itu, mendadak bapak saya tidak pulang. Kalau orang sekarang ya mungkin hilang.
Di situ saya masih kecil beserta ibu saya mencari bapak yang hilang, tidak ada
berita seperti sekarang. Singkat cerita, bapak saya ditahan, itu pun tanpa
pemberitahuan.
Dia mengetahuinya setelah mencari keterangan perihal
bapaknya di tiga instansi negara. Yaitu di tempat bapaknya bekerja sebagai
Kepala Kantor Urusan Veteran, di Kodim, hingga CPM.
Keterangan yang diperoleh Basuki Raharjo waktu itu hanya
menyebutkan bahwa bapak ditahan untuk sementara, tetapi ternyata ditahan sampai
13 tahun. Akibatnya, Basuki Raharjo dan keluarganya hidup terlunta-lunta dan
terjerembab miskin.
Peristiwa 1965 yang dialami Basuki Raharjo ini kemudian
dituangkan dalam bentuk buku Berpijak di Dunia Retak: Catatan Keluarga
Penyintas Tragedi 1965. Dalam peluncuran dan diskusi buku itu di kantor
Indonesia untuk Kemanusiaan (IKA) Jakarta pada Kamis (20/2), penulis menyatakan
buku itu ditulis jauh dari
rasa dendam, minta belas kasih, menghujat, atau pun menyalahkan siapa pun.
Sementara editor buku, Indro Suprobo, dari Nafas Pustaka
menyebutkan buku itu bisa dibilang memuat ingatan membahayakan. Karena di
dalamnya menggugat kesewenangan, ketidakadilan, ketidakpedulian, dan rasa aman.
Ingatan semacam ini menurut Indro Suprobo sangat
dibutuhkan dalam meruntuhkan mitos dan mantra politik yang melumpuhkan sikap
kritis serta melanggengkan kebohongan terkait peristiwa 1965.
Berpijak di Dunia Retak ini juga menyoroti para
perempuan yang terus berupaya berjuang. Menurut Indro Suprobo para perempuan
ini justru menanggung akibat dari tragedi kesewenang-wenangan dan ketidakadilan
akibat peristiwa 1965. Mereka bersama anak-anaknya harus bergulat dalam banyak
kesusahan dan menjaga harapan dengan terus bertahan hidup tanpa mengorbankan
martabatnya.
Indro Suprobo berharap ingatan para penyintas tragedi
peristiwa 1965 dan kekerasan masa lalu dapat menjadi milik banyak orang dan
menjadi ingatan yang menggugat. Terkait ingatan itu tidak tempat untuk
netralitas.
Editor : Bayu Probo
0 komentar:
Posting Komentar