HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Rabu, 28 Februari 2018

Jejak Kekerasan Media Di Masa Orde Baru

Minanullah


TENTANG bagaimana normalisasi kekerasaan melalui produk budaya, Wijaya Herlambang, dalam disertasinya dengan judul Kekerasan Budaya Pasca 1965 telah menguraikannya secara panjang lebar. Pada hasil riset setebal 328 halaman itu ia menemukan bahwa selain agresi fisik, Orde Baru juga menggunakan media sastra dan film untuk menjustifikasi dan melegitimasi praktik kekerasannya. Akibatnya, tindakan di masa lalu yang banyak menyudutkan korban 65 dianggap sebagai sesuatu yang mudah untuk dilupakan.
Seperti yang telah diketahui, Herlambang memulai kerja akademisnya dengan meminjam rumusan kekerasan budaya Johan Galtung. Dalam konteks ini, kekerasan yang dimaksud ialah aspek-aspek kebudayaan seperti ruang-ruang simbolis dari keberadaan manusia–termasuk di dalamnya–agama dan ideologi, bahasa dan seni, pengetahuan empiris dan formal (semisal logika atau matematika) yang dapat digunakan untuk membenarkan, menjustifikasi atau melegitimasi baik kekerasan langsung maupun kekerasan struktural (dalam sistem sosial masyarakat).[1]
Dengan demikian gagasan mengenai kekerasan tidak melulu harus terwujud dalam bentuk fisik (direct violence) dan struktural saja melainkan juga pembenaran atas tindakan tersebut. Sebab kekerasan sesungguhnya dapat dibenarkan melalui produk-produk kebudayaan yang utamanya berfungsi untuk mentransformasikan nilai-nilai moral dan ideologis agar masyarakat dapat melihatnya sebagai kejadian yang normal atau alamiah.[2] Maka dari itu, suatu pembenaran atas tindak kekerasan tak lain adalah bagian dari praktik kekerasan itu sendiri.
Kekerasan budaya beroperasi dengan mengubah warna moral sebuah tindak kekerasan. Misalkan membunuh dan menyiksa dengan alasan bela negara atau demi kepentingan mayoritas adalah perilaku yang dapat diterima namun, jika dilakukan secara individual lantas tidak dibenarkan. Selain itu, kekerasan budaya juga beroperasi dengan mereduksi atau mengubah kenyataan menjadi bias melalui perantara bahasa, seni, pengetahuan dan simbol-simbol lain sehingga kekerasan tidak lagi terlihat atau sekurangnya dapat dilihat namun sebagai tindakan yang tidak terlalu keji dan masih dapat diterima.
Berbekal pengertian serta cara kerja di atas, Herlambang kemudian mengurai pesan-pesan ideologis yang terselubung pada cerpen-cerpen yang terbit seusai tragedi 65. Hasilnya, ia menemukan fakta bahwa semangat humanisme universal yang terkandung pada cerpen-cerpen tersebut banyak dimanipulasi oleh pengarangnya. Manipulasi itu dilakukan dengan cara mengeksploitasi konflik psikologis para tokoh utama (di dalam cerpen) sehingga fokus pembacaan tak lagi tertuju pada narasi pembantaian atau, setidaknya pembantaian yang terjadi dilihat sebagai hal yang wajar. Melalui manipulasi tersebut, pembaca justru diajak untuk bersimpati terhadap konflik batin yang menimpa para penjagal tinimbang para korbannya.[3]
Sungguhpun demikian, nampaknya ide kekerasan budaya juga berlaku pada produk kebudayaan lain (meskipun kita tidak bisa dengan serta merta menggeneralisirnya) seperti jurnalisme. Jurnalisme, yang selama ini dianggap sebagai media yang paling jernih untuk merepresentasikan realitas, pada kenyataannya juga dapat dimanipulasi sedemikian rupa guna menyudutkan puak-puak maupun pandangan ideologis tertentu.
***
Beberapa hari yang lalu seorang karib datang berkunjung dengan menenteng majalah lawas. Awal mulanya saya mengira majalah tersebut adalah majalah dewasa karena desain sampulnya. Tentu tidak demikian. Majalah tersebut merupakan majalah hiburan atau, kalau boleh menyebutnya: majalah gosip.[4]
Uniknya, pada majalah Selecta terbitan tahun 1972 silam, terpapar hasil reportase Marcel Beding–seorang wartawan Kompas–dengan judul Buru Bukan Surga, Bukan Pula Neraka yang dimuat di halaman 19 dan 30. Ya, Buru yang dijadikan tempat pembuangan para tahanan politik setelah peristiwa 65 terjadi; pulau yang masih segugusan dengan tempat mendekamnya bung Hatta selama pengasingan; pulau yang kata Pram dalam bukunya Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer telah mengenal istilah eksil semenjak masa pendudukan Jepang.
Membaca reportase Marcel Beding ihwal pulau Buru bukanlah kali pertama saya mendapatkan informasi mengenai pulau tersebut. Sebab kisah-kisah lain telah banyak diceritakan oleh para mantan penghuninya semisal Pramoedya Ananta Toer atau Mars Noersmono melalui bukunya yang belum lama ini terbit dengan judul Bertahan Hidup Di Pulau Buru.
Yang mengusik adalah bagaimana isi reportase yang disampaikan oleh Marcel Beding menjadi berbeda meskipun berasal dari tempat yang sama. Bahkan, dalam poin-poin tertentu, isi reportase tersebut berbanding terbalik dengan sumber-sumber yang selama ini pernah saya baca. Pada paragraf ketiga halaman 19 misalkan, ia menyatakan:
Projek Buru adalah suatu projek kemanusiaan. Dan pemerintah dalam persoalan ini selalu memikirkan segi2 kemanusiaannja, dengan tetap memperhatikan segi-segi politik dan juridisnya. Paling sedikit ini pernjataan jang datang dari petugas2 resmi jang mengurus projek ini. Dan karena pemerintah memperhatikan segi2 kemanusiaannja itu, maka teruslah diusahakan perbaikan2. Para tapol Buru hidup lebih baik, dibandingkan dengan keadaan penduduk Buru umumnja. Setjara lahir, pernyataan di atas ini memang harus diakui, sebab hidup dan rumah itu masih mempunjai segi2 lain lagi daripada jang kelihatan di mata sadja.
Pernyataan ini justru berbanding terbalik dengan apa yang disampaikan oleh Mars Noersmono. Sebagaimana tercatat dalam otobiografinya, ia mengatakan bahwa rombongan tapol yang datang lebih awal sebelum dirinya, yang ditempatkan di unit I Wanapura, unit II Wanareja dan unit III Wanayasa benar-benar dibuang begitu saja. Di hamparan ilalang dan semak belukar mereka dipaksa bertahan hidup tanpa tempat untuk berteduh, bekal, ataupun keterampilan yang memadai.[5]
Di tempat yang diresmikan oleh Letnan Kolonel A.S. Rangkuti itu, perampasan hak kemerdekaan hingga tekanan fisik dalam wujud penyiksaan adalah hal yang lumrah terjadi. Noersmono menganggap praktik tersebut sebagai bagian dari rencana penghancuran total baik secara fisik maupun mental bagi siapa saja yang sudah berhasil digelandang ke pulau Buru, entah dari mana asal daerah ataupun organisasinya.[6]
Arti kemanusiaan dalam reportase Marcel Beding memang sudah selayaknya untuk ditafsirkan kembali. Maksud saya, mungkin dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan seperti: kemanusiaan yang bagaimanakah yang dikehendaki? Atau, kemanusiaan versi siapakah yang dimaksud? Karena dengan membaca membaca kutipan paragraf di atas, seolah tersirat makna kemanusiaan masih tetap terjalin utuh setelah mereka–secara paksa–menahan dan mengasingkan para tapol. Bahwa memisahkan mereka dari orang-orang terdekat di sekitarnya adalah sesuatu yang wajar saja. Dalam hal ini, contoh yang paling sering diceritakan tentunya kisah Pramoedya Ananta Toer yang diasingkan di Pulau Buru selama 10 tahun dan mengalami tindakan kesewenang-wenangan dari aparat.
Saya lantas tidak dapat memahami pernyataan yang dimaksud oleh Marcel yang menyatakan bahwa pemerintah tetap memperhatikan segi-segi politik dan yuridis para tahanan. Segi politik dan yuridis manakah yang tetap diperhatikan dan dalam wujud seperti apa? Karena menurut Noersmono sendiri, proses seleksi dan klasifikasi para tapol yang masuk kriteria “pembuangan”, yang diadakan di rutan Salemba sebelum pemberangkatan menuju Buru, dilakukan secara serampangan. Bahkan untuk mencapai jumlah target pembuangan yang harus dipenuhi, status para tapol Gol. C diubah menjadi klasifikasi B tanpa ada pertimbangan sehingga banyak di antaranya sudah cukup tua dan tidak produktif.[7] Tak jarang pula tapol-tapol yang sebenarnya sudah masuk daftar yang akan dibebaskan pada tahun sebelumnya turut dibuang begitu saja. Demikian halnya dengan para tahanan yang sakit. Selama masih mampu berjalan, ia masih dianggap layak untuk dimanfaatkan tenaganya di tempat pembuangan.
Pun menjelang akhir paragraf dikatakan kondisi hidup para tahanan lebih baik daripada penduduk asli pulau Buru. Namun, cukupkah mengukur kondisi kemakmuran suatu komunitas masyarakat hanya dengan memperhatikan segi-segi fisiknya saja? Adanya pernyataan tersebut justru mengarahkan pembaca untuk mengiyakan bahwa penderitaan yang dialami oleh para tahanan di Pulau Buru dapat digantikan dengan hal-hal materil saja.
Pada paragraf selanjutnya, Marcel menyatakan bahwa semua tapol di pulau Buru memang tidak dimaksudkan untuk menjadi petani. Karena, kalau produksi sudah mencapai target yang diperhitungkan maka tenaga-tenaga para tapol akan disalurkan sesuai dengan bidang minat, bakat dan keahliannya masing-masing.
Yang tidak dikatakan oleh Marcel dalam hal ini ialah bagaimana proses penyaluran tenaga para tapol tersebut melalui cara-cara kekerasan. Menurut penuturan Noersmono, para tapol dipaksa untuk membuka lahan dan hutan. Di sana, mereka diawasi oleh serdadu berseragam lengkap dengan stengun dan wewenang untuk berlaku kasar. Istirahat pun menjadi barang mahal. Sebab, siapa saja yang berhasrat untuk mendapatkannya, tidaklah mustahil yang terjadi malah sebaliknya; tak hanya mengundang malapetaka bagi dirinya sendiri namun juga dapat mencelakakan seluruh orang yang bekerja di kelompok tersebut.[8] Oleh sebab itu, tak jarang para tapol dengan sengaja merusak alat pertanian mereka sendiri seperti sabit, cangkul dan palu demi mendapatkan waktu untuk beristirahat.
Demikian pula ketika hasil pertanian mulai dapat dipanen. Para tapol tidak memiliki hak sepenuhnya atas hasil produksi mereka sendiri. Jangankan bertanya atas hak, mampu bernafas sampai hari esok pun sudah untung. Sebaliknya, komandan unitlah yang menentukan jatah pembagian menurut kepentingan pribadi. Nyaris tidak ada kesepakatan jumlah yang akan dikantonginya dan jumlah yang akan diberikan kepada para tapol. Wewenang sepenuhnya ada pada komandan unit dan tak seorang pun bisa mengubah kemauannya.[9]Keterbatasan inilah yang menyebabkan para tahanan terpaksa bertahan hidup dengan memakan larva, serangga, rerumputan dan tikus ketika bahan pokok telah habis.
Lebih dari itu, Marcel bahkan menganggap bahwa proyek Buru merupakan bukti itikad baik serta sikap positif dari pemerintah dalam menyikapi tahanan politik Gol. B. Menurutnya, proyek Buru bisa dijadikan salah satu teladan yang istimewa bagi pengembangan Indonesia karena bisa menjadi contoh proyek transmigrasi yang berhasil. Ia juga menegaskan bahwa proyek Buru tidak bisa dibandingkan dengan kamp-kamp tahanan lain di berbagai negara. “Tetapi tidak bisa projek ini dibandingkan atau disamakan dengan keadaan2 di negara lain. Karena projek ini benar2 suatu projek dengan latar belakang, sedjarah dan tudjuan jang lain sama-sekali dibandingkan dengan kamp2 tahanan di berbagai negara lain baik di masa lampau maupun di masa kini”, tutur Marcel.
Memang kita tidak dapat membanding-bandingkan atau bahkan menyamakan kondisi kamp Buru dengan beberapa kamp tahanan di negara lain karena perbedaan-perbedaan tersebut. Namun, bentuk penyiksaan, pemaksaan, serta penghilangan nyawa tetaplah tidak dapat dibenarkan baik dengan latar belakang sejarah dan tujuan apapun. Karena apa yang terjadi di kamp Auschwitz–yang konon menewaskan kurang lebih satu juta tahanan itu, pada dasarnya juga terjadi di pulau Buru walaupun dengan kuantitas yang berbeda.
Alih-alih membantu memulihkan hak-hak politik para tapol yang dirampas rezim, di akhir reportasenya Marcel justru menganjurkan perbaikan dan penyempurnaan proyek Tefaat (Tempat Pemanfaatan) Buru dengan tujuan agar para tahanan dapat lebih betah di sana.
Pendek kata, projek besar jang sudah dimulai itu harus terus diperbaiki, terus disempurnakan. Supaja para tapol itu bisa hidup lebih betah di sana sebagai manusia jang normal. Dengan demikian sikap mereka pun akan lebih terbuka. Tetapi djanganlah sekali-sekali melalui projek itu kita menanamkan benih2 kebentjian, rasa dendam dan sakit hati, jang achir2nja akan menjeret kita ke dalam bentjana jang baru lagi.
Dengan demikian, secara tidak langsung Marcel terkesan sedang mengaburkan realitas yang mengandaikan bahwasanya hidup dalam pengasingan lebih baik tinimbang di luar sebagai manusia bebas. Mengapa para tapol harus hidup lebih betah di tahanan jika yang diharapkan adalah kembalinya hak-hak individual mereka? Bagaimanapun juga, bentuk kenyamanan di tempat seperti itu tak lebih merupakan realitas ilusif yang sengaja dibangun oleh institusi tersebut. Keadaan ini lumrah diketahui dengan apa yang oleh Goffman (1968) sebut sebagai “terinstitusionalisasi”.
Institusi total sebagai “tempat-tempat tinggal dan bekerja di mana sejumlah orang yang dikondisikan sama dipisahkan dari masyarakat yang lebih luas untuk waktu yang cukup lama, bersama-sama menjalani kehidupan yang diatur secara formal berdasarkan jadwal-jadwal yang ketat”. Ia mengatakan bahwa dalam kondisi demikian, pengaturan kehidupan benar-benar dirancang untuk mengganti citra-diri yang ada dengan yang baru, yang lebih dapat diterima oleh institusi. Proses inilah yang disebutnya “institusionalisasi”.[10]
Sebuah penelitian pernah dilakukan oleh Mackenzie & Robinson guna mengungkap dampak psikologis narapidana wanita yang mendapatkan hukuman penjara seumur hidup. Hasil penelitian menyebutkan bahwa secara psikis, mereka kehilangan kemampuan untuk menjaga relasi dengan keluarga serta kerabat dekatnya secara perlahan-perlahan. Penelitian itu juga menyebutkan bahwa sebagian besar tahanan wanita kehilangan kepercayaan dirinya sebelum masuk ke penjara, dan kehidupan penjara hanya semakin merendahkan statusnya. Ketakutan mereka, terutama menyebabkan kemerosotan psikologis yang terletak pada proses institusionalisasi, kehilangan identitas dan ketidakmampuan untuk merencanakan atau membayangkan masa depan keluarganya dari penjara.[11]
Jika kita pernah menonton film The Shawsank Redemption (1994) yang diperankan oleh Morgan Freeman, tentu kita akan ingat dengan salah satu adegan di mana Brooks Hatlen, seorang penjaga perpustakaan di lembaga pemasyarakatan, yang justru merasa asing ketika bebas dari penjara dan memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan gantung diri.
Brooks merupakan salah seorang tahanan yang telah menjalani hukumannya selama berpuluh tahun. Lamanya jangka waktu yang ia alami telah menyebabkannya terinstitusionalisasi dengan lingkungan penjara sehingga ia merasa lebih nyaman untuk hidup di sana. Brooks merupakan bukti bahwa hegemoni dan kekuasaan dapat berpengaruh terhadap kesadaran seseorang hingga sejauh itu.
***
Keberpihakan media pada sebuah wacana maupun ideologi tertentu bukanlah persoalan baru. Menurut Peter D. Moss, sebagaimana dikutip oleh Deddy Mulyana dalam salah satu pengantarnya, wacana media massa merupakan hasil konstruk kultural yang dihasilkan ideologi karena ia menggunakan suatu kerangka untuk memahami realitas sosial. Melalui narasinya, ia menawarkan pandangan-pandangan tertentu mengenai kehidupan manusia yang cenderung bersifat “oposisi-biner” seperti menentukan siapa kawan dan siapa lawan, siapa pahlawan dan siapa penjahat, apa yang baik dan apa yang buruk bagi rakyat, tindakan apa yang disebut perjuangan (demi membela kebenaran dan keadilan) dan pemberontakan atau terorisme, dan solusi apa yang harus diambil atau ditinggalkan.[12]
Melalui bahasa sebagai mediumnya, media dapat memberikan aksen tertentu terhadap suatu peristiwa atau tindakan misalnya dengan menekankan, mempertajam, mengagungkan, melecehkan, membelokkan, atau mengaburkan peristiwa dan tindakan tersebut. Pendek kata, berita yang dimuat di media dapat dikatakan sebagai suatu cara untuk membentuk realitas yang diinginkan mengenai peristiwa, kelompok, atau seseorang yang dilaporkan.[13] Setelah melewati tahap-tahap pemilahan, berita surat kabar kemudian diklaim sebagai objektif oleh pihak media dan dapat diterima sesuai pandangan umum meskipun di balik itu terdapat kepentingan maupun tujuan-tujuan ideologis yang terselubung.
Oleh sebab itu, ketika hasil reportase Marcel Beding hanya menampilkan sebagian realitas yang terjadi di pulau Buru serta menanggalkan sebagian lainnya, dengan disadari atau tidak, proses tersebut telah memberikan efek signifikan dalam merepresentasikan kembali kenyataan yang terjadi di sana sekaligus memberi petunjuk ke arah mana ia berpihak.
Dalam hal ini, hasil reportasenya bisa dikatakan sebagai instrumen yang berfungsi untuk melanggengkan ideologi Orde Baru. Hasil reportase itu, meminjam terminologi Althusser,[14] merupakan alat propaganda untuk menanamkan ideologi kelas dominan (negara) kepada kelas subordinat yang disebutnya sebagai Aparatus Ideologis Negara (Ideological State Aparatuses) dalam wilayah komunikasi dan budaya.
Tak mengherankan bila ia kemudian menutup hasil reportasenya dengan kalimat demikian: “Saja sudah melihat Buru. Saja bertemu dan berbitjara dengan tapol2 jang hidup di sana. Dan memang: Buru bukan surga, tetapi djuga bukan neraka!” ***

Penulis adalah alumnus Universitas Islam Negeri Yogyakarta
Artikel ini sebelumnya pernah dimuat di Padepokan Kromo. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.
________
[1] Johan Galtung, Cultural Violence dalam Journal of Peace Research, vol. 27, no. 3, 1990, hlm. 291.
[2] Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme melalui Seni dan Sastra (Tangerang: Marjin Kiri, 2015), cet. II, hlm. 37.
[3] Ibid, hlm. 103.
[4] Sebagaimana ulasan Iswara N. Raditya di laman blog-nya, yang juga dapat ditilik dalam Muhidin M. Dahlan (ed). 2008: Seabad Press Kebangsaan (1907-2007) terbitan Indonesiabuku, majalah Selecta merupakan majalah yang terbit dua kali sebulan dan hadir perdana di akhir 1958. Sajian yang dihadirkan oleh majalah tersebut, menurut Isawara, nyaris semuanya bersifat hiburan meskipun memang ada beberapa halaman khusus yang mengupas hal-hal serius semisal ihwal kebudayaan. Simak lebih lanjut ulasan tersebut dalam https://dejavaraditya.wordpress.com/2009/08/18/selecta-majalah-gosip-yang-digebuk-tirani/ diakses pada tanggal 21-01-2018.
[5] Mars Noersmono, Bertahan Hidup Di Pulau Buru (Bandung: Ultimus, 2017), cet. I, hlm. 3.
[6] Ibid, hlm. 9.
[7] Ibid, hlm. 10.
[8] Ibid, hlm. 5.
[9] Ibid, hlm. 349.
[10] Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-Modernisme (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), cet. II, hlm. 150.
[11] Yesmil Anwar Adang, Pembaruan Hukum Pidana: Reformasi Hukum (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm. 142.
[12] Deddy Mulyana, Analisis Framing: Suatu Pengantar dalam Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media (Yogyakarta: LKiS, 2012), hlm. x.
[13] Ibid, hlm. xiii.
[14] Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965…, hlm. 43.
Sumber: IndoProgress.Com 

Admin Muslim Cyber Army Menyesal dan Minta Maaf

 
Enam pelaku yang diduga admin dari grup WhatsApp ‘The Family Muslim Cyber Army (MCA)’ mengaku menyesal dan meminta maaf postingannya telah menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
Keenam admin tersebut adalah M Luth (39), Rizki Surya (34), Ramdani Saputra (38), Yuspiadin, Romi Chelsea, dan Tara Arsih. Mereka ditangkap jajaran Direktorat Siber Bareskrim Polri secara serentak di enam kota berbeda pada Senin 26 Februari 2018 lalu.
Mereka diduga telah melakukan provokasi berupa ujaran kebencian dan berita bohong alias hoaks.
Salah satu pelaku, M Luth yang ditangkap di Jakarta, mengungkapkan penyesalannya atas perbuatannya tersebut.
“Terutama bangsa Indonesia, yang dipimpin oleh jajaran paling tertinggi, kepada Mabes juga yang ada di sini, cyber crime. saya mengakui telah menyesal, dan tadi juga sepakat teman-teman diatas mengakui juga kepada saya, menyesal mereka semua,” kata M Luth, di Kantor Bareskrim, Cideng, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (28/2).
“Lalu dengan penyesalan ini, kami sebagai cyber, kami semua minta maaf kepada yang terkait dengan berita hoaks dari kami dan kami janji tidak akan mengulanginya lagi,” lanjutnya.
M Luth mengaku baru sadar setelah diberitahu oleh seorang anggota Polri bahwa tindakan yang mereka lakukan adalah salah.
“Karena beda mungkin pandangan sebagai jurnalis, kami dibilang hoaks atau bohong, karena kami tersangka. ada perbedaan yang telah disampaikan oleh salah satu kepolisian, yang saya enggak tahu pangkatnya yang inisialnya S merekalah yang menyadarkan kami semua di sini. Itu adalah segi daripada yang namanya analis kalau dalam Islam itu qiyas, dalam akidah. gitu aja,” pungkasnya.
Jurnal Indonesia 

Dosen Anggota MCA Sudah Sebarkan 150.000 Postingan Hoaks di Facebook

Kontributor Bandung: Agie Permadi | 28/02/2018, 16:01 WIB

Direskrimsus Polda Jabar Kombes Umar Surya Fana, tengah menjelaskan terkait beberapa kasus yang tengah ditabganinya. di Mapolda Jabar, Jalan Soekarno Hatta, Kota Bandung, Rabu (28/2/2018)(KOMPAS.com/AGIE PERMADI)

BANDUNG - Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jabar, Kombes Umar Surya Fana mengaskan bahwa pelaku TAW (40), dosen penyebar hoaks itu adalah anggota Muslim Cyber Army (MCA). 

Hal itu disampaikan Umar berdasarkan pengakuan dari tersangka. 
"Iya memang betul yang bersangkutan anggota MCA," tegas Umar di Mapolda Jabar, Jalan Soekarno Hatta, Kota Bandung, Rabu (28/2/2018). 
Dijelaskan, TAW ini merupakan dosen dari salah satu universitas di Yogyakarta. 
"Pengakuannya Dosen UII Yogyakarta. Nomor induk dosen negara 055220502 Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, terdata UII Yogya dosen bahasa atau sastra Inggris," jelasnya. 
Mengetahui hal itu, Polda Jabar mendalami peran dosen wanita tersebut dengan berkoordinasi ke rektorat UII di Yogyakarta.  

Dalam pelaksanaanya, lanjut Umar, pelaku sudah menyebarkan hoaks kasus pembunuhan di Majalengka yang dibuat seolah korban adalah muazin (juru azan). Tak hanya itu, tersangka juga sudah menyebarkan belasan ribu postingan tersebut di beberapa daerah. 
"Tersangka TAW ini juga menyebarkan 150.000 postingan di Facebook tentang muazin dibunuh di Majalengka. Postingan itu juga diterima oleh masyarakat di Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Majalengka," jelasnya. 
Berdasarkan pengakuan TAW, kata Umar, pelaku hanya ikut-ikutan memposting berita hoaks tersebut berdasarkan grup di aplikasi WhatsApp. "Pengakuannya hanya mendapatkan info dari grup WA lalu diposting di Facebook. TAW melakukan mirroring. sedangkan IP address-nya berada di Majalengka," jelasnya.  

Menurut Umar, pelaku ini bisa membagikan artikelnya dalam waktu satu jam di tiga kota sekaligus. Artikel TAW pun dapat dibaca oleh warga Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Majalengka. 
"Ini yang masih didalami bahwa TAW bisa share artikel di tiga kota sekaligus dalam waktu satu jam," katanya. Kelompok ini diduga menyebarkan isu-isu provokatif hingga menyebarkan virus yang dapat merusak perangkat komputer.
Sumber: Kompas.Com 

Dosen Penyebar Hoaks Sudah 5 Tahun Jadi Anggota The Family MCA

Penulis : Kontributor Bandung, Agie Permadi Editor : Caroline Damanik


Pelaku penyebaran isu provokatif dan ujaran kebencian yang terorganisir dengan nama The Family Muslim Cyber Army saat rilis di Bareskrim Polri, Jakarta, Rabu (28/02/2018). Modus kelompok tersebut ialah menyebar ujaran kebencian dan konten berbau SARA, MCA juga menyebarkan konten berisi virus kepada pihak tertentu yang bisa merusak perangkat si penerima.(MAULANA MAHARDHIKA)

BANDUNG, KOMPAS.com - Polisi mengungkapkan fakta baru tentang tersangka TAW (40), oknum dosen penyebar hoaks tentang pembunuhan muazin oleh orang gila di Majalengka. TAW ternyata sudah bertahun-tahun menjadi anggota The Family Muslim Cyber Army (MCA). 
"Pengakuannya baru saja bergabung, hanya saja kami tidak percaya tanpa alat bukti. Kami eksplor dari dia dan mendapatkan gadget yang dia punya. Kalau berdasarkan gadget, mungkin dia sudah empat sampai lima tahun gabung di situ (MCA)," ujar Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jabar Kombes Umar Surya Fana di Mapolda Jabar, Jalan Soekarno Hatta, Kota Bandung, Rabu (28/2/2018).  
Umar pun menyebutkan bahwa pelaku ini sudah mengerti sistem IT sebab saat menyebarkan berita hoaks tersebut, pelaku menggunakan sistem mirror link. Berdasarkan informasi yang dihimpun sistem mirror link ini merupakan teknologi yang memungkinkan pengguna ponsel pintar berbasis Android, iOS, atau Symbian untuk terhubung pada head unit (HU). 

Bahkan dengan teknologi internet, bisa terkoneksi di berbagai perangkat komputer. "Dalam satu jam dia bisa reposisi dari Yogya, Jakarta, Bandung dan Sumedang. Dalam satu jam". 

Kalau secara fisik enggak mungkin reposisi Yogya, Jakarta dan Bandung dalam satu jam. Nah itulah dunia maya," katanya. Menurut dia, cara ini cukup menyulitkan penyidik melacak atau menangkap permasalahannya. 
"Penyidik jadi terbarier (terhalangi) menangkap ke permasalahannya," tambahnya. (Baca juga: Dosen Anggota MCA Sudah Sebarkan 150.000 Postingan Hoaks di Facebook) Sebelumnya diberitakan, polisi menangkap seorang perempuan berinisial TAW yang merupakan dosen di salah satu universitas di Yogyakarta. Penangkapan pelaku bermula saat adanya informasi di Facebook yang ditulis akun Tara Dev Sams pada Sabtu (17/2/2018). 
Isi tulisan berita bohong ini soal muazin dianiaya oleh seseorang yang diduga mengidap gangguan jiwa. Dari hasil penyidikan, polisi memastikan tidak adanya korban muazin dan pelaku yang mengidap gangguan jiwa tersebut. Unggahan ini telah membuat resah warga Majalengka. Mendapatkan informasi itu, polisi kemudian memburu pengunggah dan menangkap TAW.   

Saat ini, polisi masih menyelidiki pihak atau organisasi yang menggunakan jasa MCA.

Sumber: Kompas.Com 

MCA: dari Anti Ahok ke Isu Kebangkitan PKI

Reporter: Felix Nathaniel | 28 Februari, 2018

Ilustrasi hoax. Getty Images/iStockphoto
  • MCA diduga tidak terorganisir dan tidak dikomandoi oleh satu orang sebagai sentral pergerakan.
MCA mulai dikenal warganet saat hiruk pikuk Pilkada DKI 2017. Kelompok ini terkenal lantaran menjadi oposan dari petahana Gubernur Basuki Tjahaja Purnama-Wakil Gubernur Djarot Saiful Hidayat.

Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menangkap 14 anggota grup WhatsApp The Family of MCA, Senin (26/2/2018) dan Selasa (27/2/2018). Penangkapan ke-14 orang ini diduga terkait dengan jaringan penyebar ujaran kebencian yang diduga beroperasi di wilayah siber.

Grup ini mengasosiasikan diri dengan MCA, istilah yang dikenal warganet sebagai akronim dari Muslim Cyber Army—. MCA mulai dikenal warganet saat hiruk pikuk Pilkada DKI 2017, kelompok ini terkenal lantaran menjadi oposan dari petahana Gubernur Basuki Tjahaja Purnama-Wakil Gubernur Djarot Saiful Hidayat.

Peneliti dari Departemen Komunikasi dan Informasi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Savic Ali menyebutkan tiga hal yang khas dari kelompok MCA: anggotanya anonim, biasa menyebarkan informasi tidak benar, dan berusaha menjatuhkan kredibilitas Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
“Dulu belum ada nama. Mereka urusannya nyerang Ahok saja,” kata Savic saat dihubungi Tirto, Selasa (27/2/2018).
Temuan ini diperoleh Savic dari hasil studinya meneliti kemunculan situsweb dan grup komunitas Islam di dunia siber. Savic menduga kelompok ini tidak terorganisir dan tidak dikomandoi oleh satu orang sebagai sentral pergerakan. Meski begitu, ia menyakini banyak faksi dalam kelompok ini jika ditelusuri lebih lanjut.

Cara kerja kelompok ini, kata Savic, dengan menggunakan isu agama. Isu ini dipilih lantaran agama adalah cara tercepat agar mempengaruhi rakyat Indonesia. Kemudian, kata dia, mereka memakai sumber tidak jelas untuk membuat informasi yang keliru. Apapun yang mereka sampaikan adalah sesuatu untuk menjatuhkan pemerintah, meski isinya tidak benar.
“Semangatnya memusuhi pemerintah dan orang-orang yang mendukung pemerintah [sekarang],” ucap alumnus STF Driyarkara ini.

Dekat dengan Jonru

Setelah Ahok kalah dalam pilkada, Savic menyebut sasaran kelompok ini beralih ke pemerintahan Joko Widodo. Anggota grup ini belakangan diketahui memainkan isu kebangkitan PKI dalam insiden penyerangan ulama. Menurut Savic isu ini merugikan pemerintah.
“[Karena] Waktu Jokowi kampanye [dalam Pilpres 2014], dia di-black campaign oleh Jonru [Jon Riah Ukur Ginting] dan kawan-kawan sebagai PKI,” kata Savic.
Ihwal kedekatan Jonru dengan MCA terungkap dalam postingan Jonru di akun facebook-nya pada 29 Mei 2017. Jonru pernah mengunggah keterangan soal MCA yang ia sebut “Bukanlah suatu organisasi lembaga, komunitas, yayasan, parpol, perusahaan, ataupun organisasi masyarakat. Namun, siapapun yang menyuarakan dakwah membela kebenaran di media sosial adalah bagian MCA.”

Jonru diketahui merupakan orang yang acap mengkritik Presiden Joko Widodo. Pada 3 April 2015, Jonru mengunggah tulisan berjudul “5 Alasan Jokowi Tidak Layak Jadi Presiden” di beranda Facebooknya.

Humas Persaudaraan Alumni 212, Novel Bamukmin menilai, MCA yang ditangkap polri bukanlah MCA yang terlibat dalam demonstrasi penentang Ahok saat Pilkada DKI 2017. Menurut Novel, MCA yang menyebarkan hoax adalah MCA palsu.
“MCA sangat berakhlaq, kerjanya hanya melawan hoax rezim ini,” ucap Novel.

Partisan Politik?

Dari riset yang dilakukan Savic selama tiga bulan dan melibatkan lebih dari 350 ribu cuitan di twitter,—belum termasuk unggahan Facebook dan Instagram—, kebanyakan ujaran kebencian berasal dari partisan politik, sebagian lainnya terafiliasi atau mengklaim sebagai MCA.

Di Twitter, akun MCA memang cukup banyak. Tidak satu pun diketahui mana yang asli. Di Facebook, ada salah satu akun MCA yang memiliki anggota 1,1 akun.

Savic menyebut, riset yang dia lakukan masih belum tuntas. Ia tidak mau membeberkan simpatisan partai mana yang menjadi pendonor paling banyak soal ujaran kebencian.
“MCA ini bukan kelompok tunggal. Saya duga memang ada kelompok lain yang lebih lihai memainkan [mereka],” kata Savic.
Soal afiliasi politik anggota grup The Family of MCA, polisi belum mau berkomentar. Mereka beralasan akan menjelaskan secara lengkap dalam rilis penangkapan anggota grup yang akan dilaksanakan Rabu siang, (28/2/2018).

Karo Penmas Mabes Polri, Brigjen Mohammad Iqbal juga belum tahu afiliasi politik 14 tersangka ini dengan grup Facebook dan akun twitter MCA. Ia juga belum mau memberikan jawaban ketika ditanya soal peran masing-masing pelaku.

Terpisah, Kasubsit I Dirtipidsiber Bareskrim Polri Kombes Irwan Anwar mengatakan penangkapan terhadap 14 orang ini tidak ada hubungan dengan tahun politik. Menurut Irwan, penangkapan ini murni dilakukan lantaran pelaku kerap menyebar konten berisi ujaran kebencian.
“Mereka ‘kan ditangkap karena ramai menyebarkan hoaks penyebaran ulama itu,” terangnya.
Sementara Novel merasa penangkapan ini menunjukkan rezim Jokowi sedang membungkam oposisi politiknya. Ia juga menyayangkan sikap kepolisian yang dinilainya sudah tidak netral.
“Polisi sudah tidak netral dan sudah secara tidak langsung berpolitik karena menjadi kepanjangan tangan penguasa saat ini dengan membabi buta menangkapi orang yang justru memberantas PKI,” tegas Novel.
Sumber: Tirto.Id 

Selasa, 27 Februari 2018

The Family MCA 'Goreng' Isu PKI dan Penganiayaan Tokoh Agama

Martahan Sohuturon, CNN Indonesia | Selasa, 27/02/2018 14:33 WIB


Aksi warga membakar bendera PKI, di Taman Apsari, Surabaya, 2017. Polri menyebut, kelompok The Family MCA menggarap isu penyerangan terhadap tokoh agama dan kebangkitan PKI. (Foto: ANTARA FOTO/Didik Suhartono)
Jakarta -- Kepala Subdirektorat I Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Kombes Irwan Anwar, mengatakan grup percakapan daring The Family MCA merupakan kelompok yang 'menggoreng' isu penyerangan terhadap sejumlah tokoh agama dan rumah ibadah.

"Iya (The Family MCA) adalah pelaku penggoreng isu ulama diserang orang gila," ujar Irwan saat dikonfirmasi Selasa (27/2).


Irwan pun mengonfirmasi The Family MCA sebgai penyebar isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI), penculikan ulama, dan pencemaran nama baik presiden, pemerintah, serta tokoh-tokoh tertentu.


Para pelaku pun diduga menyebarkan virus yang dapat merusak perangkat elektronik pihak penerima.

Penyidik telah menangkap sebanyak enam orang anggota kelompok Muslim Cyber Army yang tergabung dalam grup 'The Family MCA' tersebut di enam provinsi berbeda.

Mereka adalah ML (40), yang ditangkap di Jakarta Utara, RSD (35) ditangkap di Bangka Belitung, RA (39) ditangkap di Bali, dan YUS ditangkap di Jawa Barat.


Sementara, dua tersangka lainnya masih dalam proses pendataan identitas. Mereka ditangkap di Sulawesi Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. (arh)


Sumber: CNN Indonesia 

Senin, 26 Februari 2018

Teror Kiai di Ponpes Kediri Hoax, Ini Cerita Sebenarnya

Senin 26 Februari 2018, 22:31 WIB | Andhika Dwi Saputra


Riyanto Gempol (tengah baju biru peci putih)/Foto: Andhika Dwi Saputra

Kediri - Penyebar informasi bohong bahwa telah terjadi teror dan pengancaman di Pondok Pesantren Al Falah, Ploso Mojo Kabupaten Kediri akhirnya terbongkar. Adalah Riyanto Gempol (50) warga asal Ngawi, Jawa Timur yang melakukannya. 

Riyanto adalah seorang pengunjung ponpes yang hendak bersilaturahmi dengan salah seorang kiai pengasuh ponpes. Tiba-tiba saja Riyanto memberikan kabar dan informasi kepada polisi serta petugas keamanan pondok bahwa dirinya telah di ancam dan disandera oleh 3 orang tak dikenal dengan menggunakan senjata tajam pada Senin (19/2/2018).

Riyanto mengaku khilaf saat mengarang cerita tersebut. Tetapi kekhilafan Riyanto telah membawa korban. Seorang pria bernama Abdul Aziz asal Situbondo sempat diamankan polisi.

"Saya tidak bermaksud melakukan hal-hal di luar batas dan terus terang saya khilaf atas berita dan kabar bohong ini," kata Riyanto di hadapan para pengasuh Pondok Pesantren Al Falah, Ploso, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri. Senin, (26/2/2018).
Riyanto meminta maaf atas kelakuannya yang telah membuat laporan palsu ke polisi. 

"Saya minta maaf pada semua pengurus pondok, umat muslim, dan juga bapak polisi yang sudah repot menyelidiki kasus teror di ponpes Al- Falah. Semua keterangan yang saya berikan ke polisi pada awal laporan saya adalah tidak benar dan itu tidak terjadi pada saya," imbuh Riyanto sambil sesekali mengusap air mata.
Menurut perwakilan Pondok Pesantren Al Falah, Ploso, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri, Muhammad Thoif, pihaknya bersyukur dengan sikap Riyanto yang mengakui informasi yang ia sampaikan bohong dan tidak benar.

Riyanto Gempol Meminta maafRiyanto Gempol Meminta maaf (Foto: Andhika Dwi Saputra)
"Saya bersyukur semuanya sudah clear dan beres terkait masalah teror ini," jelas Gus Thoif.
Gus Thoif juga menambahkan jika persoalan ini tidak akan diperpanjang dan dipermasalahkan lagi, karena Riyanto memang awalnya hanya sebagai pengunjung pondok, bukan santri maupun alumni santri.
"Kami sudah dengar bersama apa yang dikatakan pak Riyanto, atas informasi yang merisaukan tersebut adalah tidak benar, dan kami tidak memperpanjang persoalan tersebut," kata Gus Toif.
Berdasar pantauan detikcom di lokasi, dalam press release yang digelar di Ponpes Ploso Kediri tersebut Riyanto berkali-kali menyeka air mata dan meminta maaf dengan menciumi tangan pada keluarga besar Ponpes Ploso atas tindakan yang telah dilakukannya. 

Detikcom berusaha mengkonfirmasi pengakuan Riyanto Kapolresta Kediri AKBP Anthon Haryadi. Namun Anthon belum bisa dihubungi.

Dugaan teror penyerangan kiai di Ponpes Al Falah, Desa Ploso, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri terjadi pada Senin (19/2/2018) lalu. Riyanto saat itu sedang berkunjung sebagai tamu ke Ponpes Al Falah Ploso untuk menemui salah seorang kiai.

Dia mengarang cerita bohong kepada pihak keamanan pondok, bahwa baru saja dia didatangi tiga orang pria berbadan kekar. Dua diantara pelaku melumpuhkannya dengan cara menodongkan pisau dan menarik tangannya ke belakang. Sedangkan satu pelaku mengawasi.

Para pelaku mencari salah satu kiai untuk dibunuh. Tetapi, tiba-tiba pelaku mengibaskan sapu tangan ke arah Riyanto, sekejap mereka menghilang. Keterangan palsu ini ternyata juga disampaikan Riyanto saat di BAP (Berita Acara Pemeriksaan) oleh pihak kepolisian. 

Akibat keterangan palsu Riyanto ini, pihak keamanan ponpes akhirnya mengamankan salah seorang pria yang kebetulan ingin bertemu dengan kiai. Pria tersebut adalah Abdul Azis, asal Situbondo. Penangkapan Azis ini menjadi viral karena foto-fotonya dikirimkan ke berbagai media sosial. 

Polda Jatim telah memeriksa kejiwaan Aziz selama dua hari di RS Bhayangkara Polda Jtaim. Dan hasilnya, Aziz tidak gila. 
"Iya hasilnya sudah keluar, dia (Aziz) dinyatakan tidak gila," ujar Barung saat dihubungi detikcom beberapa waktu lalu. 
(iwd/iwd)

Sumber: NewsDetik.Com 

Penyerangan kiai Ponpes Al Falah Kediri hoaks, pelaku minta maaf sambil menangis

Senin, 26 Februari 2018 21:24 | Reporter : Imam Mubarok

Pelaku penyebar hoaks Riyantono Gempol. ©2018 Merdeka.com/Imam Mubarok

Isu teror yang menyebutkan adanya penyerangan kepada Kiai di Ponpes Al Falah Ploso Mojo, Kediri Senin (19/2) lalu ternyata palsu alias hoaks. Pihak pondok berhasil membongkar dalangnya.

Pelaku adalah Riyantono Gempol, warga Ngawi Jawa Timur. Riyanto telah mengarang cerita fiktif tentang pengancaman terhadapnya yang dilakukan oleh tiga orang sosok pria berbadan kekar yang ingin membunuh salah seorang kiai.
Keterangan palsu ini terbongkar setelah pihak pondok memanggilnya. Pria bertubuh tambun ini pulang ke rumahnya Desa Katikan RT 01 / RW 02 Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi, pascamembuat onar.
Riyantono Gempol mengaku, khilaf telah mengarang cerita fiktif yang membuat gempar. Dia meminta maaf kepada seluruh keluarga besar Ponpes Al Falah Ploso, khususnya para kiai dan Masyayyih serta masyarakat Indonesia.
"Saya memohon maaf atas kekeliruan yang sifatnya disengaja atau tidak disengaja. Kepada seluruh keluarga pondok pesantren, kepada masyarakat Indonesia dan kepolisian, dalam hal ini Polresta Kediri. Kesalahan ini mudah-mudahan menjadi pengalaman umat muslim yang saat ini sedang ramai dengan isu-isu yang sangat menegangkan," jelas Riyantono Gempol sambil berurai air mata, di Ponpes Al Falah, Senin petang (26/2).
Riyantono tidak memiliki motivasi apapun dalam menyebarkan informasi yang tidak benar, melainkan hanya sekedar khilaf dan spontanitas. Sore itu, Minggu (19/2) dia sedang berkunjung sebagai tamu ke Ponpes Al Falah Ploso untuk menemui salah seorang kiai.
Dia mengarang cerita bohong kepada pihak keamanan pondok, bahwa baru saja didatangi tiga orang pria berbadan kekar. Dua diantara pelaku melumpuhkannya dengan cara menodongkan pisau dan menarik tangannya ke belakang. Sedangkan satu pelaku mengawasi.
Para pelaku mencari salah satu kiai untuk dibunuh. Tetapi, tiba-tiba pelaku mengibaskan sapu tangan ke arah Riyantono, sekejap mereka menghilang. Keterangan palsu ini juga disampaikan Riyantono saat di BAP (Berita Acara Pemeriksaan) oleh pihak kepolisian.
Akibat keterangan palsu Riyantono Gempol ini, pihak keamanan Ponpes akhirnya mengamankan salah seorang pria yang kebetulan ingin bertemu dengan kiai. Pria tersebut adalah Abdul Azis, asal Situbondo. Penangkapan Azis ini menjadi viral karena foto-fotonya dikirimkan ke berbagai media sosial. Dimana yang sebenarnya Abdul Aziz hanyalah tamu dan bukan pelaku teror.
Keluarga Ponpes Al Falah menghargai sikap terus terangnya Riyantono Gempol. Pihak ponpes menerima permintaan maaf tersebut dan tidak akan melakukan penuntutan.
"Pernyataan dari Bapak Riyantono mengenai kejadian yang telah membuat keresahan seluruh nusantara dan teman alumni dan santri. Itu tidak benar dan Bapak Riyantono sudah mengakuinya. Itu spontanitas dan kekhilafan. Kami mewakili ponpes, menyampaikan banyak terima kasih kepada jajaran kepolisian, Polresta Kediri yang sudah baik, cepat, dan luar biasa," ungkap Gus Thoif perwakilan keluarga.
Gus Thoif menerangkan, Riyantono adalah tamu pengunjung di pondok, bukan santri maupun alumni. "Beliau kebetulan berkunjung dan mengadakan hal-hal di luar kendali beliau sendiri," jelasnya.
Keluarga besar Ponpes Al Falah mendukung penuh upaya kepolisian dalam menyelesaikan masalah ini sesuai Undang-undang.
"Sikap pondok sudah sepakat seluruh keluarga, yang namanya kekhilafan kami tidak akan menuntut dan tidak memperpanjang masalah ini. Karena beliau sudah minta maaf, kami yakin beliau tidak memiliki niat jahat atau niat yang kurang baik. Tidak ada melakukan penuntutan apa-apa," ujarnya.
Dalam konferensi pers ini dihadiri para gus Ponpes Al Falah. Di antaranya, Gus Reisy (putra Gus Tajuddin ), Gus Makmun (Ketua PCNU Kabupaten Kediri, Gus Thoif, Gus Kautsar, Gus Fahim dan Gus Fickri. [rzk]
Sumber: Merdeka.Com