Selasa, 20 Februari 2018

Mengenal Orde Baru: ET

Dhianita Kusuma Pertiwi | 

Ada potongan yang menarik dalam wacana sejarah modern Indonesia, yakni dengan kemunculan gagasan para petinggi negara untuk menciptakan label tertentu bagi lapisan masyarakat tertentu. Lapisan masyarakat yang ‘terpilih’ itu adalah para eks-tapol yang dilepaskan dari tahanan pada periode tahun 1977-1979. Label tersebut singkat namun mudah diingat dan mudah untuk ditemukan, yakni ‘ET’.

KTP dengan label ET (dokumentasi keluarga Tan Tik Soe)
Setelah mendapatkan tekanan internasional, pemerintah Orde Baru pada akhirnya melakukan pelepasan terhadap para tahanan politik yang sudah berkelana hampir satu dekade lebih dari satu penjara ke penjara lain. Mereka berduyun-duyun berjalan keluar dari lembaga pemasyarakatan kota atau daerah. Yang lain meniti tangga turun dari kapal yang membawa mereka kembali ke tanah kelahiran dari pulau-pulau yang dijadikan lokasi pemenjaraan.
Saya tidak bisa membayangkan betapa senang dan leganya perasaan mereka menyadari bahwa kungkungan sel dan kerja paksa yang telah mereka hadapi selama bertahun-tahun tanpa proses peradilan akhirnya berakhir. Namun rupanya pemerintah Indonesia tidak semudah itu membiarkan para eks-tapol itu menikmati kehidupannya.
Label ‘ET’ yang merupakan akronim dari ‘eks-tapol’ diciptakan dan disematkan di kartu penduduk para mantan tahanan politik Orde Baru. Tentu saja penempatannya bukannya tanpa alasan filosofis yang digagas oleh pemerintah Orde Baru. Selain filosofis, penyematan label ET juga bersifat fungsional. Yakni untuk memudahkan identifikasi terhadap mantan tahanan politik yang dianggap sudah berkeliaran di dunia bebas setelah dilepaskan dari penjara. Dan tentu saja itu bukanlah berita yang baik bagi para eks-tapol.
Label tersebut diawali dengan Intruksi Menteri Dalam Negeri No 32 tahun 1981 yang memerintahkan kepada Lurah/Kepala Desa untuk melakukan pengawasan terhadap bekas tawanan dan bekas tahanan G-30-S/PKI. Dengan turunnya instruksi tersebut, para pekerja administrasi di daerah-daerah pun melakukan pendataan yang kemudian dikirimkan ke pusat agar bisa diterbitkan kartu identitas khusus bagi eks-tapol.
Dengan adanya label ET yang disematkan pada kartu penduduk, para eks-tapol mengalami diskriminasi dalam hal administratif. Contohnya dengan dirampasnya hak mereka untuk bekerja di ranah profesional, terutama yang dikelola oleh negara. Mereka kehilangan pekerjaan mereka yang sebelumnya, dan tidak diizinkan untuk kembali atau memulai karier yang baru. Sebagai konsekuensinya, para eks-tapol menggantungkan nasibnya pada pekerjaan yang bersifat partikelir dan tidak membutuhkan syarat persuratan seperti berdagang, bertani dan lain sebagainya.
Yang menarik adalah bagaimana label tersebut pada kenyataannya kemudian tidak hanya digunakan untuk membatasi hak dasar eks-tapol, namun juga keluarganya, terutama anggota keluarga yang dekat seperti anak dan saudara kandung. Selama rezim Orde Baru, ditetapkan peraturan bagi warga Indonesia untuk memiki surat keterangan bersih diri sebagai persyaratan untuk mendaftar sekolah atau bekerja di lembaga negeri. Dan tentu saja para keturunan eks-tapol tidak bisa mendapatkan surat keterangan tersebut karena dianggap sebagai keturunan yang ‘tidak bersih’.
Hal tersebut dialami sendiri oleh beberapa anggota keluarga saya yang pada akhirnya harus mengubur cita-cita mereka untuk lulus berkuliah dan mendapatkan pekerjaan sesuai yang telah mereka rencanakan. Kenyataan tersebut harus mereka hadapi hanya karena menjadi keturunan atau keluarga dari seseorang yang memiliki label ET di kartu identitasnya. Strategi dosa turunan yang diciptakan Orde Baru pada akhirnya tidak hanya berakibat pada kerugian individu atau kelompok, namun juga negara.
Karena dengan dibatasinya hak-hak eks-tapol dan keluarganya untuk bekerja di ranah-ranah yang dianggap terlarang untuk mereka masuki, semakin besar kesempatan terjadinya korupsi dan nepotisme di hampir semua lini pemerintahan. Yang dianggap bersih adalah orang-orang terdekat penguasa, memudahkan mereka masuk ke dalam dinasti kekuasaan dan kekayaan.
Sehingga singkatnya, label singkat ET tersebut terbukti berhasil tidak hanya menyiksa rakyat, namun juga membentuk budaya korupsi yang mendapatkan singgasana sendiri sampai saat ini.
Saat ini, memang label ET tidak lagi disematkan pada kartu identitas siapa pun, namun masih ada ketidakjelasan terkait isu ini. Karena sampai saat ini belum pada pernyataan resmi dari pemerintah bahwa ketentuan bersih diri dan hal-hal yang berkaitan dengan label tersebut telah dicabut.
Dhiandharti.Com 

0 komentar:

Posting Komentar