HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Senin, 05 November 2001

Berhilir pada Sastra, Berhulu pada Politik

Mon, 5 November 2001
Wilson

Credit Foto: CNN
PADA April 2000 Sidney Morning Herald menulis, 
Kolaborasi antara Max Lane dan Pramoedya telah mempengaruhi takdir sejarah keduanya.
Kalimat ini mungkin lebih tepat untuk Lane.
PADA April 2000 Sidney Morning Herald menulis, “Kolaborasi antara Max Lane dan Pramoedya telah mempengaruhi takdir sejarah keduanya.” Kalimat ini mungkin lebih tepat untuk Lane. Bagi Pramoedya Ananto Toer, novelis Indonesia yang secara internasional mungkin paling terkenal, takdir hidupnya sebagai pengarang tak akan dilupakan orang, baik sebelum maupun sesudah mengenal Max Lane. Namun, bagi Lane, nasibnya sebelum dan sesudah bertemu Pramoedya jelas sangat berbeda.

Sebelum bertemu Pramoedya, mungkin pria ini akan berkarier bagus sebagai diplomat AustraliaMax Lane kini berusia 50 tahun. Dengan tubuh tambun dan senyum menawan ia sosok yang tak mudah dilupakan. Pria penggemar rujak ini sudah lama punya keterikatan dengan Indonesia. Istrinya orang Indonesia. Mereka bertemu di Yogyakartapada 1970-an,  saat Lane dekat dengan penyair W.S. Rendra. Pernikahan mereka membuahkan seorang putri.

Sejak remaja Lane menunjukkan minat besar pada Indonesia. Berbeda dengan kebanyakan teman sebayanya di SidneyAustralia, yang lebih suka belajar bahasa Cina atau Jepang, ia justru memilih belajar bahasa Indonesia. Setiap minggu Lane menempuh perjalanan ke konsulat Indonesia di daerah Rose Bay untuk kursus bahasa Indonesia.

Lulus dari sekolah menengah pertama, Lane kuliah di jurusan studi Malaysia dan Indonesia di Universitas Sidney dan lulus pada l972. Setelah itu ia bekerja di sebuah kantor dagang Australia di Jakarta pada 1973. Tapi ia tak betah. Lane mengundurkan diri, karena tak sepakat dengan kebijakan atasannya yang hendak memberikan “saham gratis” kepada para pejabat dan beberapa orang jenderal Indonesia.

Saat itu iklim ekonomi dan politik di Indonesia memberikan hak istimewa kepada para perwira militer dan pejabat negara untuk mendapatkan saham gratis sebagai jaminan stabilitas industri. Persekutuan antara pemodal dan pejabat negara inilah yang mendorong pertumbuhan ekonomi semu di Indonesia. Krisis ekonomi yang dimulai pada l997 membuktikan bangunan ekonomi konglomerasi yang penuh korupsi, kolusi, dan nepotisme tersebut tak ubahnya bangunan pasir yang menunggu waktu untuk runtuh.

Setelah keluar dari kantor dagang, Lane menetap di Yogyakarta dan berkenalan dengan Aini Chalid, seorang aktivis mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada, dan penyair W.S. Rendra.

Ketika demonstrasi mahasiswa antimodal asing meletus pada Januari l974, Aini Chalid ditangkap. Dalam surat dakwaan jaksa nama Max Lane disebut-sebut. Ia dituduh sebagai “mahasiswa Australia penganut ajaran Marx.” Lane tak terima dan menemui Yap Thiam Hiem dari Lembaga Bantuan Hukum untuk jadi pembelanya, dan minta dipertemukan dengan sang jaksa. Lane menyatakan akan menuntut jaksa tersebut ke pengadilan bila tak segera mencabut tuduhannya.

“Saya belum merasa penganut ajaran Marx pada saat itu dan karena tuduhan tersebut secara tidak adil memberatkan Aini,” kata Max Lane pada saya.

Jaksa hanya mengubah tuduhan itu menjadi: “Orang yang mengerti bahwa di masyarakat ada yang bermodal dan yang tidak bermodal.”

Bagaimana hubungannya dengan Rendra? Saat itu Rendra termasuk seniman kritis yang tak begitu disukai penguasa Orde Baru. Rendra sempat ditahan sembilan bulan pada l978. Pementasan drama dan pembacaan puisinya sempat diawasi atau dilarang beberapa kali, karena dianggap mengritik pemerintah.

“Kumpulan puisinya Pamflet Penyair seharusnya masih harus dibaca dan dihargai oleh rakyat Indonesia,” ujar Lane. Ia juga menerjemahkan drama Rendra yang berjudul Perjuangan Suku Naga ke dalam bahasa Inggris.

Pada l995, Rendra bersama para seniman yang dipimpin wartawan-cum-sastrawan Mochtar Lubis mengeluarkan petisi yang menolak pemberian Ramon Magsaysay Award kepada Pramoedya Ananta Toer. Lubis bahkan mengembalikan piagam yang pernah diberikan panitia Ramon Magsaysay Award kepadanya. Max Lane berada di kubu yang berseberangan dengan mereka. Ia jadi pembela Pramoedya yang gigih menghadapi lawan-lawannya, baik melalui tulisan, pernyataan, maupun kegiatan politik lain.

”Saya tidak tahu bagaimana penilaian W.S. Rendra sekarang ini, kami sudah lama tidak saling berkomunikasi,” katanya, lagi.

Pertemanan Lane dengan para aktivis di Yogyakarta dan Rendra membawanya kepada Hariman Siregar, ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia. Siregar sempat ditangkap dan ditahan oleh sebuah lembaga militer yang paling ditakuti saat itu. Siregar dituduh bertanggung jawab atas kerusuhan yang meledak di Jakarta setelah demonstrasi menentang perdana menteri Jepang, Tanaka, dan kebobrokan pemerintah Orde Baru pada l5 Januari l974.

Sampai hari ini, Lane tetap berteman dengan Hariman Siregar, meski secara politik mereka berbeda pandangan. Setiap kali ke Jakarta, ia selalu menyempatkan menemui Siregar. Di balik perbedaan politik mereka, ternyata keduanya mempunyai kesamaan dalam selera sastra. Lane dan Siregar penggemar karya-karya Pramoedya. Ketika serial roman dari Pulau Buru mulai diterbitkan Hasta Mitra pada l980-an, Siregar datang langsung ke kantor penerbit itu di Jalan Duren Tiga, Jakarta Selatan, dan memborong ratusan novel untuk dibagikan kepada teman-temanya.

Pada l980 Lane bergabung dengan Departemen Luar Negeri Australia dan dikirim ke Jakarta sebagai staf kedutaan Australia dengan jabatan sekretaris dua pada seksi Bantuan Pembangunan. Namun, pada 1983 ia tak lagi bekerja di kedutaan dan bersama Pat Walsh dan John Waddingham menerbitkan Inside Indonesia. Di majalah ini Lane jadi editor. Ia juga banyak menulis artikel politik di dalamnya.

Tapi pada awal 1990-an Lane memutuskan meninggalkan Inside Indonesia. Ia menganggap visi majalah tersebut tak mengikuti perkembangan gerakan demokrasi yang terjadi di Indonesia. “Mulai pada pertengahan tahun l980-an Inside Indonesia perlahan-lahan tertinggalkan oleh perkembangan di Indonesia,” katanya.

Menurut Lane, pada pertengahan l980-an kekuatan-kekuatan yang menjadi pelopor gerakan demokrasi di Indonesia tak dapat dilepaskan dari peran lembaga swadaya masyarakat dan figur-figur seperti ulama Abdurrahman Wahid, pengacara Todung Mulya Lubis, atau W.S. Rendra. Namun, menjelang akhir l980-an peran ini diambil alih oleh gerakan massa.

“Inside Indonesia tidak mengikuti perkembangan ini. Artinya tidak menjadi partner prioritas dari gerakan aksi massa pelopor di Indonesia. Sejak itu peranan solidaritas Inside Indonesia makin tipis dan lebih menjadi majalah untuk memenuhi selera para pengamat Indonesia. Karena fokus saya sejak Inside Indonesia berdiri, adalah fokus solidaritas dengan gerakan, pergerakan dan perjuangan, saya semakin tidak terlibat di dalam Inside Indonesia,” jelas Lane dalam sebuah email pada saya.


LANE pertama kali bertemu dengan Pramoedya Ananta Toer pada pertengahan l980-an. Dengan menggunakan mobil berpelat nomor kedutaan Australia ia mengunjungi rumah Pramoedya Ananta Toer di Jakarta Timur. Saat itu Pramoedya baru kembali ke tengah-tengah keluarganya setelah l4 tahun diasingkan di Pulau Buru tanpa pengadilan. Tak banyak orang yang berani mendatangi Pramoedya. Sebagai mantan narapidana politik dari Partai Komunis Indonesia yang selalu diawasi tak urung membuat Pramoedya terasing.

Pertemuan tersebut meninggalkan kesan di hati Lane. Pramoedya melawan ketakadilan dengan suara lantang, tanpa rasa takut. Pramoedya juga percaya bahwa generasi baru kaum muda Indonesia akan muncul menentang ketakadilan, dengan cara-cara modern untuk membangun masyarakat yang demokratis.

“Seluruh pertemuan dengan Pramoedya pada saat itu mempunyai pengaruh besar pada kesadaran politik saya. Anda dapat mengatakan Pramoedya telah merekrut saya secara tidak langsung,” kata Lane.

Pada l981 penerbit Hasta Mitra yang didirikan tiga serangkai Hasyim Rachman, Joesoef Isak, dan Pramoedya berencana menerbitkan karya Pulau Buru.

Naskah pertama yang disiapkan adalah Bumi Manusia. Semula kisah ini diceritakan Pramoedya secara lisan kepada teman-temannya sesama tahanan politik dalam pembuangan, sebagai pemberi semangat hidup. Pramoedya berupaya mengumpulkan seluruh berkas yang berhasil ia selamatkan dari Pulau Buru. Dalam waktu tiga bulan ia berhasil menjalin dan merajutnya kembali. Joesoef Isak, mantan pemimpin redaksi harian Merdeka, menyunting naskah tersebut.

Pada Juli l980 naskah Bumi Manusia dicetak oleh percetakan Aga Press. Dua belas hari setelah keluar dari percetakan, 5.000 eksemplar habis terjual. Penerbit bahkan kewalahan melayani pesanan yang datang bukan hanya dari Indonesia, tapi juga dari berbagai penjuru dunia. Bahkan ada yang sampai menunggu di luar kantor percetakan dan kantor Hasta Mitra sekadar memastikan bahwa mereka tak akan kehabisan Bumi Manusia. Pada November 1980, cetakan ketiga Bumi Manusia terjual l0 ribu eksemplar. Rekor penjualan yang banyak dan dalam waktu singkat ini belum terpecahkan dalam sejarah penerbitan komersial di Indonesia.

Obsesi Hashim Rachman untuk memberikan “hal baik” pada dunia diterjemahkan Joesoef Isak dengan mengupayakan penerbitan Bumi Manusia ke dalam bahasa Inggris.

“Saya ingin Hasta Mitra juga mengantar karya Pramoedya menjadi karya dunia,” ujarnya.

Joesoef nekat pergi ke luar negeri, meski berstatus tahanan luar dengan stempel “eks-tahanan politik peristiwa l965” yang wajib lapor sebulan sekali. Kebebasannnya terhalang. “Jangankan ke luar negeri untuk pindah alamat atau bepergian ke luar kota saja harus lapor dan dapat izin dahulu,” kata Joesoef, mengingat masa lalunya.

Ia mengunjungi Belanda, Jerman, Inggris, dan Prancis untuk menyerap ilmu yang menyangkut manajemen penerbitan, selain mencari masukan nama dari berbagai kalangan untuk menjadi penterjemah karya-karya Pramoedya ke dalam edisi bahasa Inggris.

Dari perjalanan tersebut Joesoef Isak mengantongi dua nama, John McGlynn dari Amerika Serikat atas rekomendasi Prof. Benedict Anderson dari Universitas Cornell, dan Barbara Hatley dari Inggris. Nama Barbara Hatley didapat setelah Joeosef Isak bertemu dengan Carmel Budiarjo dari organisasi advokasi Tapol di London.

Joesoef belum menentukan pilihannya, ketika tiba-tiba di suatu siang yang terik pada 1982 seorang staf kedutaan Australia datang ke rumahnya.

“Saya tidak pernah bertemu muka dengan bule tersebut sebelumnya, bahkan belum pernah mendengar namanya,” tutur Joesoef, mengenang pertemuan pertama dengan Lane.

Laki-laki berkulit putih dan bertubuh tambun itu berbicara dengan Joesoef Isak dalam bahasa Inggris.

“Anda sudah mendapatkan penterjemah buku-buku Pramoedya?” tanya Lane, sambil sibuk mengeluarkan novel Bumi Manusia dari tas kerjanya.

Joesoef Isak terkejut dan berkata dalam hati, “Dari mana orang ini tahu soal proyek terjemahan, karena pihak penerbit dan saya sendiri belum pernah kenal dan menghubungi orang bule ini.”

“Nama saya Max Lane, dari Kedutaan Australia di Jakarta,” kata Lane, menunjukkan halaman-halaman Bumi Manusia yang berada di tangannya.

Joeseoef Isak takjub, karena hampir di tiap margin halaman penuh coretan tangan.

“Saya sudah membaca buku ini berkali-kali,” ujar Lane, ringan.

Lantaran di awal perjumpaan sudah menanyakan soal penerjemahan dan mengatakan sudah membaca Bumi Manusia berkali-kali, Joesoef Isak menduga orang asing yang berdiri di hadapannya ini tentunya bisa berbahasa Indonesia.

Joesoef mengalihkan percakapan ke dalam bahasa Indonesia, “Bung bisa berbahasa Indonesia?”

”Saya bisa berbahasa Indonesia,” jawab Lane. Dialog pun berlanjut dalam bahasa Indonesia.

Setelah berbicara dengan Lane dan melihat-lihat novel Bumi Manusia yang penuh coretan tersebut Joesoef Isak membuat keputusan.

“Saya sudah putuskan dengan mantap mengangkat Max Lane sebagai penterjemah Bumi Manusia,” kisah Joesoef pada saya.

Pilihannya jatuh pada Max Lane bukan lantaran ia menguasai bahasa Indonesia saja.

“Saya menganggap Max Lane punya pandangan sosiologis yang tajam tentang budaya mentalitas Jawa, mengerti sejarah politik Indonesia kontemporer maupun sejarah kolonialisme.”

Namun, keputusan itu belum final. Pihak Hasta Mitra meminta Lane mengirim beberapa halaman dari bab pertama Bumi Manusia yang ia terjemahkan. Dua minggu kemudian Lane datang menemui Joesoef Isak, membawa beberapa halaman contoh terjemahannya.

Hasta Mitra mengirimkan halaman-halaman terjemahan Lane itu kepada Ben Anderson, seorang ahli politik Indonesia yang bukunya Imagined Communities termasuk buku klasik tentang nasionalisme, sekaligus pengagum karya-karya Pramoedya. Anderson membuat banyak sekali komentar dan coretan di dalamnya.

Joesoef Isak dan pihak penerbit Hasta Mitra mengevalusi hasil koreksi Anderson, lalu membuat pertemuan berikutnya dengan Lane.

“Saya mengatakan kepada Max Lane, silakan baca dan pertimbangkan apa yang dikemukakan oleh Ben Anderson. Pakailah kalau bung setuju, tetapi tidak usah dipusingkan bila bung punya pendapat sendiri yang berbeda,” ujar Joesoef.

Akhirnya Hasta Mitra dan Joesoef sepakat menyerahkan proyek penerjemahan Bumi Manusia pada Max Lane.

Sebenarnya, ini bukan karya pertama Pramoedya yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Cerita Dari Blora diterjemahkan dalam bahasa Rusia pada l956.

Menerjemahkan karya Pramoedya Ananta Toer bukanlah sekadar memindahkan bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris, tapi. memerlukan seperangkat pengetahuan yang bersifat sosiologis-budaya untuk memahami masyarakat Jawa dan masyarakat kolonial, juga pengetahuan sejarah untuk memahami konteks dari masyarakat, zaman, dan tokoh-tokoh di dalam novelnya serta pengetahuan politik agar bisa memahami hubungan-hubungan kekuasaan dalam sistem kolonial.

Bagi Max Lane sendiri proses menerjemahkan karya Pramoedya memerlukan dua kemampuan pokok.

“Pertama, penterjemah harus bisa menangkap jiwa, karakter, makna, dan tujuan sosial-politik yang tertuang di dalam karya sastra tersebut dan secara bulat mengandung bayangan historis dari si pengarang. Persoalan ini menyangkut pada pemahaman politik dan budaya. Kedua, seorang penterjemah harus mampu mentransfer kekhasan bahasa pengarang yang berkaitan dengan jiwa penulisan ke dalam bahasa Inggris. Terjemahan bahasa Inggris tidak akan mungkin bisa mendekati keahlian seperti yang dimiliki pengarang,” tutur Lane, panjang lebar.

Selama penerjemahan berlangsung, Lane membentuk sebuah kolektif kerja yang bertugas memberi kritik dan masukan pada proses dan hasil terjemahannya. Kerry Groves, sarjana studi Asia di Australian National University dan istrinya, Carolyn, seorang pengarang dan guru bahasa Inggris, diminta Lane untuk memberi saran dan komentar. Lane juga meminta pendapat penyair R.F.X. Brissended dari Australia. Selain itu, ia juga menghubungi De’Alpuguet, seorang novelis Australia, untuk membaca terjemahannya. Seorang kritikus sastra Australia, Geof Blunden, selalu ia dengar kritik dan sarannya. Tentu saja, Lane juga berhubungan dengan para editor profesional dari Penguin Book Australia.

“Penterjemah dan pengarang seringkali tenggelam dalam kata-kata yang dia buat, karena itu setiap pengarang dan penterjemah membutuhkan editor,” kata Lane.

Ternyata, Lane tak sekadar menerjemahkan, ia juga mencari penerbit sebelum Hasta Mitra sempat melakukannya. Kali ini Lane memilih Penguin Book Australia. Menurut Lane, ia sangat mengenal lingkungan Australia dan yakin buku terjemahan Pramoedya akan disambut baik oleh publik Australia. Keyakinannya terbukti. This Earth of Mankind atau Bumi Manusia menjadi salah satu buku best seller pada l982. Setelah itu berturut-turut terbit edisi bahasa Inggris Child of All Nations (l984), Footsteps (l990), dan House of Glass (l992). Lane memerlukan waktu dua tahun ketika menerjemahkan Child of All Nations. Footsteps hampir enam tahun dan House of Glass sekitar dua tahun.

Penguin Book Amerika baru tertarik menerbitkan karya Pulau Buru beberapa tahun setelah terbitnya terjemahan Max Lane, tepatnya setelah nama Pramoedya melejit dalam pentas sastra dunia dan diisukan sebagai kandidat pemenang hadiah Nobel kesastraan pada l995. Penguin Book Amerika menghubungi Hasta Mitra dan minta izin Penguin Book Australia untuk menerbitkan serta melakukan revisi atas terjemahan sebelumnya.

“Saya setuju terjemahan edisi Penguin Book Australia direvisi oleh Penguin Book Amerika, tapi saya tidak setuju bila orang yang merevisi bukan saya sendiri,” ujar Lane, yang memiliki hak pengarang untuk terjemahan bahasa Inggris.

Tetralogi Pulau Buru akhirnya diterbitkan antara l996 dan l997 oleh Penguin Book Amerika dalam edisi paperback yang murah harganya. Sambutan publik Amerika luar biasa. Bila di Indonesia Bumi Manusia naik cetak sebanyak 10 kali dalam setahun, maka edisi di Amerika mengalami lima kali cetak ulang dalam waktu yang sama. Selain faktor momentum, harga, dan kualitas novel tersebut, perkembangan sosial-politik di Indonesia juga menjadi daya tarik bagi pembaca untuk membeli karya Pramoedya.

Pentingnya momentum dalam penjualan kuartet Pulau Buru berhubungan erat dengan bisnis penerbitan buku. Ini terlihat saat penerbit William Morrow meluncurkan tetralogi Pulau Buru sebelum l995. Penjualan This Earth of Mankind pada l991, Child of All Nation pada l993, dan Footsteps pada l994 tidaklah sehebat ketika nama Pramoedya dikaitkan hampir memperoleh hadiah Nobel pada l995. Penyebab lainnya tentu saja edisi sampul tebal dari penerbit William Morrow lebih mahal ketimbang edisi paperback yang dikeluarkan Penguin Book. Sebagai contoh, House of Glass edisi paperback harganya US$ 11,20, sedang sampul tebal US$ 26.

Max Lane telah menerjemahkan mahakarya tetralogi secara lengkap hampir selama satu dekade. Terjemahan edisi Inggrisnya terus direvisi.

“Bahkan setelah hampir 20 tahun edisi perdana This Eart of Mankind,” ujar Lane.

Berbagai edisi bahasa asing tetralogi ini—kecuali Belanda—merupakan hasil terjemahan dari edisi bahasa Inggris karya Max Lane. Alan Ryan, pemenang Lowell Thomas Travel Journalism, dalam resensinya di The Washington Post atas buku House of Glass pada 1996 menulis pada alinea terakhir, ” Jika ada hadiah Nobel untuk penerjemahan, maka Max Lane pantas mendapatkannya.”

Penerbitan Tetralogi Pulau Buru Karya Pramoedya Ananta Toer dalam Edisi Berbahasa Inggris
Judul Buku
Penterjemah
Penguin Book Australia
Penguin Book Amerika
William Morrow, Amerika
This Earth Of Mankind
Max Lane
1982
1996
199l
Child of All Nations
Max Lane
1984
1996
1993
Footsteps
Max Lane
1990
1996
1994
House of Glass
Max Lane
1992
1997
1996


KETIKA Lane sedang menerjemahkan Bumi Manusia, pemerintah Orde Baru secara mendadak melarang peredaran novel Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Lane melapor kepada atasannya, duta besar Australia Fred Dalrymple, bahwa ia penggemar karya-karya Pramoedya dan di luar jam kerjanya ia tengah menyiapkan terjemahan novel yang dilarang pemerintah Indonesia tersebut. Pemerintah Australia yang secara politik pro-Jakarta cukup kaget dan gusar mendengarnya.

Tak berapa lama Dalrymple memberi ultimatum. Lane harus kembali ke Australia sesegera mungkin sambil menunggu proses untuk menentukan statusnya pada jajaran diplomatik di Jakarta. Lane tak terima. Ia mengadukan peristiwa ini pada Departemen Luar Negeri di Canberra. Lane memperoleh jawaban. Ia diberi waktu satu bulan untuk berkemas dan kembali ke Australia. Sebelum masa jabatannya berakhir, ia sudah dipecat. Karier diplomatiknya tamat.

Tom Krausse menulis dalam World Press Review, pada Agustus l982 tentang ini, “Max Lane diusir dari pos diplomatik Australia karena menerjemahkan apa yang sering digambarkan sebagai novel terbaik dan terindah dalam sejarah kesastraan modern Indonesia. Dia dipecat dari Jakarta pada akhir September, karena terjemahan novel terlaris saat itu hingga dilarang oleh pemerintah Indonesia.”

Dalrymple sendiri, sesudah pensiun, membantah bahwa ia memecat Max Lane akibat aktivitas Lane menerjemahkan karya Pramoedya.

“Buku Pramoedya buku yang bagus dan saya sudah membacanya di Indonesia,” kata Dalrymple dalam wawancaranya dengan Sidney Morning Herald. “Pemerintah Indonesia sangat jelas menyatakan mereka tidak dapat menerima seseorang yang merupakan perwakilan diplomatik harus bertanggung jawab atas terjemahan buku yang dilarang tersebut,” ujarnya, berargumentasi.

Bagi Lane, esensi dari semua karya Pramoedya tentang makna revolusi, sebagai suatu proses perjuangan untuk menciptakan suatu sistem yang baru sama sekali tentang Indonesia di luar kerangka feodalisme, kapitalisme, atau imperialisme. Karya Pramoedya bukanlah sebatas materi pengetahuan untuk dunia akademis, melainkan apa yang disebut Lane, “Bagaimana proses perjuangan untuk membentuk masyarakat dan manusia yang sama sekali baru secara kualitatif.”

“Bumi Manusia adalah hasil seni sastra yang bisa mengintegrasikan aspek psikologis berbagai watak lapisan masyarakat; aspek psikologis, gender, aspek sosial dan politik, dan budaya dari bahasa. Bumi Manusia secara gemilang menggambarkan bagaimana satu jenis manusia terlahirkan dalam suatu proses yang revolusioner, yaitu Minke. Jejak Langkah dan Rumah Kaca menjelaskan bahwa penuntasan revolusi demokratik di Indonesia tidak bisa dipelopori oleh kaum borjuis modern karena mereka dikalahkan oleh rezim kolonial Belanda. Dengan mulai munculnya figur-figur gerakan buruh, Rumah Kaca menunjukkan revolusi demokratik harus dicari kepeloporannya, yaitu pada gerakan buruh,” kata Lane.


LANGIT mendung menggantung di atas penginapan kecil di daerah Sawangan, yang terletak di pinggir selatan Jakarta. Pada Jumat, 8 Juni 200, pukul 15.30 sekitar 100 orang peserta seminar Asia Pacific Solidarity sedang mengikuti diskusi pleno tentang dampak neoliberalisme di negara-negara maju. Tiba-tiba puluhan polisi masuk ke ruangan dan mengarahkan moncong senjata mereka ke arah para peserta.

Seorang komandan polisi menyerukan pembubaran diskusi itu lewat pengeras suara, karena dianggap ilegal dan para peserta asing akan diperiksa status visanya.

Setelah lama berdebat tentang hal-hal formal, pihak kepolisian malah memutuskan menangkap seluruh peserta asing.

Max Lane, sebagai salah seorang peserta, menjelaskan situasi yang berkembang serta menenangkan semua peserta asing. Kemudian Lane berdialog dengan komandan polisi yang memimpin penyerbuan.

Kehidupan politik Lane, mau tak mau, membuat dirinya terpaksa banyak berurusan dengan aparat polisi dan militer.

Solidaritas internasional merupakan napas kehidupan Max Lane sekarang. Partainya, Democratic Socialist Party (DSP) banyak membangun jaringan, forum, kontak, dan penerbitan yang berkaitan dengan gerakan progresif dan revolusioner di seluruh dunia. Suratkabar DSP, Green Left Weekly, yang terbit mingguan menjadi media untuk mengorganisasi dan melancarkan propaganda tentang pentingnya internasionalisme.

Namun, internasionalisme DSP, berbeda dengan internasionalisme kaum Trotzskiis, yang tidak memperdulikan kekhasan kondisi sejarah, sosial, dan politik sebuah masyarakat dalam mengupayakan perubahan. Ini internasionalisme yang kontekstual.

Di wilayah Asia Pasifik, Lane terlibat dalam pembentukan Asia Pacific Coalition for East Timor (APCET) yang berpusat di Manila pada l995. APCET mendukung perjuangan rakyat Timor Timur di masa rezim Presiden Soeharto. Beberapa acara APCET dibubarkan secara paksa dan banyak pesertanya ditolak masuk ke suatu negara.

Pada 1994, Lane, sebagai perwakilan DSP tentunya, bersama para aktivis kiri dari Asia, Australia, Amerika, Eropa, dan Afrika memprakarsai terbitnya buletin LINKS sebagai alat tukar-menukar informasi dan perdebatan teoritis dalam praktik perjuangan menentang neoliberalisme. Lane menjadi anggota dewan redaksi.

Ketika gerakan mahasiswa dan perlawanan rakyat mulai merebak di berbagai wilayah Indonesia pada awal 1990-an, pemerintah Soeharto menjalankan apa yang disebut “politik keterbukaan.” Konsesi-konsesi politik terpaksa diberikan penguasa atas tuntutan kebebasan sipil.

Saya pertama kali bertemu Max Lane di saat “politik keterbukaan” itu tengah berlangsung, sekitar 1991. Saat itu saya magang di sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berkantor di daerah Kalibata, Jakarta Selatan.

Suatu siang saya melihat seorang pria sibuk memberi petunjuk mengoperasikan program Amipro pada sebuah laptop. Lane tengah membantu kawan-kawan Indonesianya menerbitkan media perjuangan bernama Progres. Beberapa aktivis duduk dan berdiri di kiri kanannya, memperhatikan dengan seksama. Keringat mengucur deras di wajah pria ini karena kantor kami tak memiliki pendingin ruangan.

Dalam Progres, Max Lane berperan sebagai salah seorang penulis artikel politik. Progres bukan hanya melahirkan sekumpulan propagandis dan agitator, tetapi juga sekumpulan organisatoris.

Dari terbitan ini pula mulai dibangun wadah-wadah kota dan sektoral untuk memperkuat basis perlawanan menentang kediktatoran dan eksploitasi kapitalisme. Pada November l993 hasil pengorganisasian Progres menunjukkan bentuknya dalam presidium nasional Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID).

SMID mulai mendapatkan bentuk dengan melakukan pengorganisasian di sektor buruh dan tani. Pengorganisasian tersebut melahirkan organisasi massa sektoral seperti Pusat Perjuangan Buruh Indonesia yang diketuai Dita Indah Sari dan Serikat Tani Nasional. Pada Mei l994, seluruh sektor dan organisasi ini dihimpun dalam sebuah organisasi payung yang dinamai Persatuan Rakyat Demokratik (PRD).

Max Lane dan beberapa aktivis serta intelektual di Australia memandang perlu membangun gerakan kampanye internasional untuk mendukung gerakan demokrasi di Indonesia ini. Pada awal l990-an terbentuk AKSI, sebuah organisasi yang melakukan kampanye di Australia melalui selebaran, diskusi, jumpa pers, seminar, dan sesekali melakukan aksi di konsulat atau kedutaan Indonesia bila terjadi represi terhadap rakyat di Indonesia.

Pada l994 AKSI mengubah namanya menjadi Action in Solidarity with Indonesia and East Timor (ASIET). Lane terpilih menjadi koordinatornya. ASIET bertujuan melakukan tekanan maksimal terhadap pemerintah Australia agar menjalankan politik luar negeri yang prorakyat. Organisasi ini mengirim petisi, menyelenggarakan seminar, membuat film, mengadakan makan malam solidaritas dan aksi-aksi, serta kampanye nasional dalam rangka itu.

Peranan penting ASIET juga sangat terasa saat para pemimpin PRD ditangkapi dan dikirim ke penjara yang diiringi pembubaran PRD serta ormas-ormasnya oleh pemerintah Soeharto pascakerusuhan 27 Juli l996. Dengan dukungan DSP dan ASIET, dibangunlah suatu gerakan kampanye internasional.

Lane melalui ASIET berinisiatif membangun situs web ASIET dan PRD yang bisa diakses dari seluruh penjuru dunia, tanpa mengenal batas wilayah. Boleh dikatakan PRD merupakan partai pertama di Indonesia yang menggunakan situs web sebagai media kampanye politik mereka. Sejak l998 ASIET juga menerbitkan buletin Indonesia-East Timor Campaign Watch, sebagai media kampanye.

Lane orang yang suka rela mendukung tiap tindakan yang berkaitan dengan perjuangan kemanusiaan. Pada l998 ia membantu Jill Hickson, seorang produser film alternatif, membuat film semi dokumenter tentang PRD, Only One Word: Resist, judul yang diadopsi dari bait puisi penyair Widji Thukul. Ia juga membantu Hickson membuat film semi dokumenter tentang perjuangan demokrasi di Indonesia, Indonesia in Revolt: Democracy or Dead, pada 1999. Pada 2000 Lane bekerja sama dengan produser film dokumenter terkenal, John Pilger, membuat film dokumenter tentang globalisasi dan dampaknya bagi rakyat Indonesia. Ia juga mendukung produser film dokumenter dari televisi SBS Australia, Mike Carey, untuk membuat film tentang perburuhan pada l994 dan film tentang penggalian kembali tragedi l965.

Pria ini telah menyerahkan lebih dua dekade hidupnya untuk mendukung gerakan progresif di Indonesia.

Berbagai media politik dan perjuangan telah ia coba terapkan. Dari cara-cara klasik seperti koran, selebaran demonstrasi damai, pemogokan hingga petisi, sampai menggunakan media modern seperti internet dan film.

Tak heran bila Gil Scrine, seorang pembuat film dokumenter, menjuluki Lane dengan “one of the unsung heroes of the revolution.” Lane tak pernah muncul di depan layar perjuangan, namun kehadirannya terasa dalam tiap langkah gerakan progresif di Indonesia.

Ketika Soeharto sedang berkuasa, Lane sering mengingatkan para aktivis agar membaca novel Rumah Kaca dari tetralogi Pramoedya.

”Dengan membaca Rumah Kaca kita dapat mengetahui bagaimana mekanisme kerja penguasa otoriter untuk mengontrol, mengawasi, menindak, dan memberangus gerakan perlawanan,” katanya. Dengan mengetahui cara kerja musuh, maka kaum pergerakan dapat menerapkan taktik dan strategi yang tepat dalam perjuangannya

Pramoedya pernah menulis seberapa berbahayakah sebuah novel ketika menyambut hadiah Magsaysay pada l995. Jawabannya amat berbahaya, bila orang seperti Max Lane yang membacanya.*

http://www.pantau.or.id/?%2F=d%2F83%2F%3F%2Fd%2F83

Senin, 01 Oktober 2001

Sukitman, Seorang Saksi Peristiwa G30S-PKI

Liputan6 | 01 Okt 2001, 20:40 WIB


Liputan6.com, Jakarta: Letnan Kolonel purnawirawan Sukitman, seorang saksi sejarah peristiwa pengkhianatan Pancasila, mengaku khawatir setelah melihat penganiayaan yang dilakukan anggota Partai Komunis Indonesia terhadap para Pahlawan Revolusi, 30 September 1965. Hal itu diungkapkan Sukitman saat berada di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur, Ahad (30/9). 

Ahad malam tadi, Sukitman bersama sejumlah warga mengunjungi Lubang Buaya untuk mengenang kembali peristiwa Gerakan 30 September, 36 tahun silam. Saat itu, Sukitman yang berpangkat agen polisi tingkat 2 atau setingkat barada polisi sekarang mengungkapkan, dirinya diciduk gerombolan PKI ketika sedang berpatroli dengan sepeda di sekitar Jalan Iskandarsyah, Jakarta Selatan. Saat itu, tak ada yang bisa dilakukan Sukitman, selain berpasrah diri kepada Yang Maha Kuasa. Apalagi, setelah melihat jelas seorang perwira berbintang dua dimasukkan ke dalam lubang sempit yang disusul dengan rentetan tembakan. Perwira tersebut akhirnya diketahui adalah Mayor Jenderal S. Parman. 

Sukitman akhirnya selamat dari peristiwa mencekam itu setelah berhasil meloloskan diri. Kemudian, pasukan dari TNI melakukan penyergapan ke daerah Lubang Buaya setelah mendapat laporan dari kakek yang kini memiliki lima cucu. Beberapa hari setelah peristiwa itu, Sukitman mengaku sangat ketakutan terhadap keselamatan jiwanya. Ia juga menyatakan bahwa aksi yang dilakukan gerombolan tersebut sangat biadab.(PIN/Christiyanto dan Amar Sujarwadi)


http://news.liputan6.com/read/20953/sukitman-seorang-saksi-peristiwa-g30s-pki

Minggu, 29 Juli 2001

Deplu AS Tarik Laporan Keterlibatan CIA Dalam Penumpasan G-30S PKI

 2001, July 29

Departemen Luar Negeri Amerika telah menarik kembali semua kopi laporan yang mengungkapkan secara rinci perannya dalam penumpasan komunis di Indonesia tahun 1960-an. Para pejabat Departemen Luar Negeri Amerika menyalahkan kantor percetakan pemerintah atau US Government Printing Office merilis laporan itu tanpa izin lebih dulu. Tetapi kantor berita Associated Press mengutip para pejabat percetakan mengatakan mereka telah mendapat persetujuan Departemen Luar Negeri Amerika pada bulan April. 

Dokumen itu berisi catatan mengenai bantuan Amerika Serikat kepada angkatan bersenjata Indonesia yang berlanjut dengan penggulingan Presiden Sukarno, bapak pendiri negara itu, ayah presiden Indonesia yang sekarang, Megawati Sukarnoputri. 


The National Security Archive, organisasi swasta yang mengumpulkan dan menerbitkan dokumen-dokuman yang baru dikeluarkan dari daftar rahasia - mengatakan, badan intelijen Amerika CIA berusaha hendak menyembunyikan catatan mengenai keterlibatan Amerika dalam kampanye menumpas komunis itu. Organisasi independen itu telah memuat laporan tersebut di Internet.

Sumber: VoA Indonesia 

Kamis, 10 Mei 2001

Menuju Rekonsiliasi Nasional


THURSDAY, 10 MAY 2001


Judul Buku: Pergulatan Muslim Komunis (Otobiografi Hasan Raid)
Penulis : Hasan Raid
Penyunting: M. Imam Aziz (dkk.)
Penerbit: LKPSM-Syarikat, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Februari 2001
Tebal: x + 558 halaman
____

Dendam terhadap kaum komunis (baca: PKI) belum juga sirna. Dalam beberapa peristiwa politik yang melibatkan aksi kekerasan, orang-orang komunis kerapkali dituding sebagai pelakunya. Beberapa elemen gerakan mahasiswa sempat diteror oleh sekelompok orang yang mengaku hendak menumpas habis komunisme di Indonesia.

Akankah dendam politik terhadap PKI tidak akan pernah luntur, kecuali menghabisi mereka tanpa ampun, tanpa proses pengadilan, tanpa menghargai mereka sebagai manusia yang menjadi bagian dari sejarah panjang bangsa Indonesia? Akankah agama akan tetap dijadikan dalih untuk membenarkan sikap anarkis terhadap PKI?

Buku ini menawarkan suatu perspektif menarik tentang salah seorang tokoh PKI yang sempat dipenjara selama hampir 13 tahun. Hasan Raid, aktivis PKI kelahiran Silungkang Sumatera Barat ini, adalah sosok unik yang sanggup mematahkan kebuntuan paradoks agama dan komunisme.

Dalam otobiografinya ini Hasan Raid menjelaskan bahwa alasannya memilih masuk Partai Komunis Indonesia pertama-tama adalah karena PKI merupakan partai yang dalam programnya berjuang untuk menghapuskan penghisapan manusia atas manusia.

Program ini, menurut Hasan Raid, memiliki kesesuaian dengan semangat agama (Islam) yang ia yakini. “Ajaran Pokiah Yakub, guru Sekolah Diniyah di Silungkang, yang paling berkesan bagi saya adalah ajaran beliau tentang surat al-An`am ayat 145, tentang hukum haram memakan darah yang mengalir,” kata Hasan Raid. “Tidakkah penghisapan sesama manusia itu adalah persamaan dari terminologi al-Qur’an, memakan darah mengalir?,” lanjut Hasan Raid. Islam menurut Hasan Raid jelas-jelas memiliki banyak kesesuaian dengan program PKI yang ingin menuntas habis kaum kapitalis. Al-Qur’an surat al-Humazah ayat 1-3 mengutuk keras orang yang menumpuk-numpuk harta—itulah kaum kapitalis.

Kaum tertindas menurut Hasan Raid harus mengorganisasi diri melawan struktur penindasan yang menjepit dan menindih kehidupan mereka. Itulah maksud ayat 11 surat al-Ra`d yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum kecuali jika mereka merubah keadaan diri mereka sendiri.”

Hasan Raid dilahirkan pada tahun 1923 dan secara resmi menjadi anggota PKI pada tahun 1945. Selang beberapa kemudian, Hasan Raid terlibat aktif dalam salah satu penerbitan PKI, yakni Majalah Bintang Merah yang dipimpin Aidit. Selain itu, Hasan Raid juga sempat menjadi anggota DPRDP (DPRD Peralihan) Jakarta Raya (1954-1964) serta menjadi salah seorang pengajar di Akademi Ilmi Sosial Aliarcham (AISA), sebuah lembaga pendidikan tempat penggodokan para intelektual PKI.

Suka duka yang dialami Hasan Raid selama di PKI berjalan seiring dengan roda sejarah perkembangan bangsa Indonesia, hingga akhirnya meletuslah peristiwa Gerakan 30 September, yang lebih populer disebut dengan G-30-S.

Pada bagian ini, tampak sosok Hasan Raid yang teguh dengan pendirian dan keyakinannya, serta tidak segan-segan melakukan otokritik terhadap kebijakan-kebijakan partai (PKI). Ketika diinterogasi Kodim Jalan Air Mancur Jakarta Raya selepas peristiwa G-30-S Hasan Raid jelas-jelas mengutuk peristiwa itu. “G-30-S adalah ‘kudeta’, bukan revolusi. Sebab kudeta asing bagi marxisme,” kata Hasan Raid.

Berdasarkan data-data yang berhasil dikumpulkan Hasan Raid kemudian, muncullah suatu kesimpulan bahwa menurutnya G-30-S bukan merupakan pemberontakan PKI. Bila itu adalah pemberontakan PKI, berarti PKI memberontak kepada pemerintahan Presiden Soekarno, presiden yang jelas-jelas mendukung pemikiran dan keberadaan PKI. Apalagi, menurut keputusan Kongres Nasional V PKI 1954 dikatakan bahwa untuk mencapai demokrasi rakyat PKI akan menempuh jalan demokratis dan parlementer, bukan dengan pemberontakan atau perjuangan bersenjata.

Karena itu, sampailah Hasan Raid pada kesimpulan bahwa ada pihak-pihak tertentu yang menunggangi peristiwa G-30-S. PKI menurut Hasan Raid telah terjebak dalam isu Dewan Jenderal sehingga kemudian harus memilih antara didahului atau mendahului. Keterjebakan PKI ini jelas merugikan PKI sendiri, hingga ujungnya melahirkan tragedi besar berupa pembantaian anggota PKI serta dijebloskannya anggota PKI yang lain ke penjara.

Hasan Raid adalah termasuk orang yang dijebloskan ke dalam penjara beberapa minggu sesudah peristiwa G-30-S. Selanjutnya, kisah Hasan Raid adalah kisah kepedihan kehidupan di penjara. Hampir separuh bagian dari buku ini menceritakan suka-duka kehidupan di penjara yang dijalaninya selama hampir 13 tahun di bawah rezim Orde Baru, mulai dari Rumah Tahanan Chusus Salemba, hingga kemudian dipindahkan ke Nusakambangan.

Perlakuan buruk di penjara bagi para tahanan politik mungkin sudah menjadi cerita lama yang tidak menarik diceritakan. Yang cukup mengharukan pula adalah bagaimana setelah Hasan Raid bebas dari penjara pada tahun 1978 menjalani kehidupannya sehari-hari. Penderitaan dan ketidakadilan masih saja membuntutinya.

Seiring dengan kontrol kuat rezim Orde Baru terhadap gejolak-gejolak politik dan ideologi, maka para bekas tahanan politik mendapat pengawasan ekstra-ketat dari negara. Ruang publik menjadi tempat yang cukup pengap sehingga menghadapkan Hasan Raid pada sebuah pergulatan keras untuk survive. Pada bagian ini, ada banyak sisi kemanusiaan yang mengemuka dalam otobiografi ini.

Buku ini adalah suara lain dari pihak yang dibungkam oleh Orde Baru selama lebih dari 32 tahun. Citra buruk terhadap para mantan aktivis PKI masih belum sirna. Ironisnya, label PKI masih cukup laku dalam kamus politik di era reformasi ini. Politik kambing hitam yang mengusung semangat dendam politik berkepanjangan masih tak usai dipertontonkan.

Tidak adakah jalan lain yang bisa ditempuh untuk mengakhiri dendam kecuali harus dengan permusuhan dan pemusnahan? Tidak bisakah kita berdamai dengan sejarah dan memulai hidup baru yang lebih damai? Tidak bisakah kita hidup lebih rasional terhadap sejarah yang selama ini dimitoskan dan menjadi ajang pembenaran untuk mengumbar dendam?

Buku ini mengajarkan banyak kearifan tentang kehidupan politik yang saat ini kehilangan wajahnya yang manusiawi. Ada pesan bijak buat para elti politik yang terselip dalam buku ini: sudah saatnya dendam dan kebencian yang didorong oleh ambisi kekuasaan dienyahkan jauh-jauh, digantikan dengan sikap arif, jernih, dan rasional. Maksud dari semua ini cukup sederhana: menuju rekonsiliasi nasional. 

Sumber: RinduPulang