HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Jumat, 30 Desember 2011

Pelanggaran HAM masa lalu harus diselesaikan

Jum'at,  30 Desember 2011  −  08:22 WIB

Pelanggaran HAM masa lalu harus diselesaikan

Sindonews.com - Kondisi penegakan hak asasi manusia (HAM) pada 2011 tidak banyak kemajuan. Sepanjang tahun itu, pemerintah bahkan dinilai abai menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjalankan komitmen politik untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM di masa lalu.

“Pemerintah masih menolak pertanggungjawaban pelanggaran HAM di masa lalu denganterus-menerusmengingkari konstitusi (UUD 1945),” ujar Wakil Koordinator Kontras Indria Fernida di Jakarta, kemarin.

Kondisi seperti ini, menurut Indria, berlangsung dari tahunke tahun.Jaksa AgungBasrief Arief tak kunjung melakukan penyidikan terhadap kasuskasus pelanggaran HAM berat yang telah diserahkan oleh Komnas HAM dengan berbagai alasan yang cenderung dibuatbuat.

Sikapinibahkandiperkuat dengan terus mengabaikan rekomendasi DPR tahun 2009 atas penyelesaian kasus penghilangan orang secara paksa periode 1997–1998.

Akibatnya, berbagai kasus pelanggaran HAM berat, di antaranya kasus Trisakti, Semanggi I dan II (1998 dan 1999), Mei 1998, penculikan dan penghilangan orang secara paksa 1997–1998, Talangsari 1989, dan Wasior-Wamena,Papua (2001 dan 2003) masih terparkir di Kejaksaan Agung.

Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mendesak Presiden segera mengeluarkan keputusan tentang pembentukan pengadilan HAM.Lembaga peradilan ini bersifat ad hoc, bekerja hanya pada kasus-kasus tertentuyangberkaitandengan HAM.  

 


http://nasional.sindonews.com/read/549183/13/pelanggaran-ham-masa-lalu-harus-diselesaikan-1325208169

Rabu, 07 Desember 2011

Univ. Hamburg Kaji Film “Plantungan” tentang Testimoni Eks Tapol Gerwani/PKI


December 7, 2011 -  by: Mathias Hariyadi 



BANYAK orang di Indonesia barangkali tidak ngeh bahwa ada sebuah film bertitel sama dengan nama tempatnya yakni Plantungan. Ini adalah sebuah wilayah perbukitan di sekitaran Sukorejo di Weleri Selatan, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Film Plantungan menjadi menarik diperbicangkan, lantaran film ini bertutur kata mengenai testimoni  para mantan tahanan politik perempuanyang pernah disekap di Penjara Plantungan, tak lama setelah G30S/PKI meletus di 

Film yang boleh dikatakan semi-dokumenter ini menurut rencana akan dibahas di Pusat Kajian Asia-Afrika di Universitas Hamburg, Jerman, 7 Desember ini.

Sekali waktu, saya berkesempatan melihat dari dekat Penjara Plantungan ini tahun 1989. Lahan permukiman khusus untuk tahanan politik berkelamin perempuan ini berada di sebuah kawasan bertekstur perbukitan, sedikit agak jauh dari permukiman penduduk. Sebagian gedungnya sudah rusak dimakan usia, namun sisa-sisa  aroma  “kebengisan” sebuah penjara khusus tahanan politik masih bergema kuat manakala menatap kisi-kisi besi yang sudah mulai berkarat.

Bekas sanatorium

Penjara Plantungan di Sukorejo awalnya merupakan sebuah rumah sakit khusus para pasien penderita lepra. Sanatorium ini kemudian disulap rezim Orde Baru menjadi penjara bagi para perempuan Indonesia anggota atau simpatisan PKI.

Kelompok perempuan PKI yang kemudian populer disebut Gerwani ini dituduh telah ikut menelanjangi dan mengiris-iris tubuh para jenderal Pahlawan Revolusi saat dieksekusi di Lubang Buaya, Halim, Jakarta Timur, akhir September 1965.


Tak ada proses peradilan yang pernah dilakukan untuk membuktikan kebenaran tuduhan itu.

Film Plantungan besutan penyair Putu Oka Sukanta dan Fadillah Vamp Saleh ini seakan menjadi “juru bicara” atas kebisuan para mantan tahanan politik itu atas kejamnya kehidupan di balik jeruji besi di Plantungan.

Melalui media film, maka berbicaralah sejumlah pelaku peristiwa di Plantungan. Mereka itu adalah Suci Danarti, Siti Duratih, Pujiwati, Mujiati dan Sp, Tican yang pernah mendiami bilik-bilik kecil Plantungan tanpa pernah tahu apa kesalahan mereka hingga harus meringkuk di balik jeruji besi.

Putu Oka Sukanta sendiri merupakan alumnus tahanan politik di Pulau Buru kurun waktu 1986-1976.

Film Plantungan ini menyertakan subtitel bahasa Inggris.
Di bawah ini, kami  sertakan press release tentang diskusi film ini di Universitas Hamburg:

Ein bewegender Film über das berüchtigte Gefangenenlager Plantungan, eingerichtet für politisch inhaftierte Frauen in einem abgelegenen Gebiet von Zentral-Java. Das Wort Plantungan wird oft mit der Insel Buru in Verbindung gebracht, die uns die Vorstellung von einem Ort vermittelt, an dem Menschen vertrieben wurden und an welchem sie als Insassen inhaftiert wurden. Selbst lange Zeit nach der Lager-Schließung war das Wort Plantungan noch immer mit der Kommunistischen Partei Indonesiens (PKI) verknüpft. So gibt es bis heute viele Erinnerungen, die bei den Opfern Leid und angsterfüllte Gefühle hervorrufen. 

Der Film porträtiert die langfristigen und anhaltenden Auswirkungen des New Order-Regimes und seine Bemühungen, die Frauenorganisatione n und -bewegungen zu zerstören, die für eine Verbesserung der Rechte der Frauen eintraten. Dieser Film ist einer von mehreren Dokumentationen über die erschütternden Ereignisse, die Suhartos gewaltsame Machtübernahme 1965/1966 begleiteten. 

Diese Reihe wurde von einem der führenden unabhängigen Filmproduzenten und Autoren Indonesiens, Putu Oka Sukanta, produziert, welcher selbst von 1966 – 1976 ein Gefangener auf der Insel Buru war.
Ort / Zeit: Universität Hamburg, Asien-Afrika- Institut, R.221
Mittwoch, den 7. Dezember 2011 - 18.00 Uhr

Sabtu, 26 November 2011

Seandainya PKI Berhasil (2)

Sabtu, 26 November 2011
Oleh: Bung Samdy*

yasirmaster.blogspot.com
Tapi dapat diduga, dalam keadaan yang begitu rancak secara teoritis tesebut, tidak ada lagi yang namanya kebebasan individu. Hak pribadi ditiadakan berganti “hak komunal”. Praktis, hak untuk berdemonstrasi dibatasi, apalagi jika untuk mengkritik pemerintah. Perjuangan dianggap usai karena kaum proletar sudah memimpin.  
Itulah gambaran singkat dari perbandingan dengan negara komunis yang pernah hidup.  
Tapi sejak Bolshewik yang dipimpin Lenin berhasil menguasai Rusia pada tahun 1917; yang kemudian diikuti keberhasilan Mao Zedong (Cina), Kim Il Sung (Korea Utara), Castro (Kuba), Ho Ci Minh (Vietnam) dll., semua impian dari Doktor Karl Marx tidak pernah bisa diwujudkan di muka bumi. Apa yang gampang diidelakan sangatlah sulit penerapannya. Buruknya kondisi perekonomian di negara-negara tersebut memancing rakyat menoleh pada liberalisme yang bisa membuat hidup (tampak) bahagia.

Para pemimpin negara komunis pun sadar diri. Di antaranya pemimpin Partai Komunis Uni Sovyet ex officio (merangkap) presiden, Mikhail Gorbachev, mereformasi negaranya pada 1980-an. Tembok Berlin runtuh tahun 1989, dan kemudian Uni Sovyet dan rezim-rezim komunis di Eropa jatuh. Sebaliknya, di benua Asia dan Amerika partai komunis tetap berkuasa namun penerapan doktrin baku Marxisme telah “binasa”. Kita lihat apa yang terjadi di Cina dan Vietnam sekarang. Kedua negara ini telah berkembang menjadi negara kapitalis dengan membuka penanaman modal asing. Satu-satunya ciri komunisme tinggallah “kediktatoran proletar” dan pengekangan kebebasan individu.
Sejarah menunjukkan bahwa kegagalan bukanlah monopoli dari ideologi tertentu. Sebagian orang beragama mengatakan dengan enteng bahwa komunisme hancur karena anti-Tuhan sehingga tidak diperkenan-Nya. Padahal di masa silam, negara-negara yang mentasnamakan Tuhan pun hancur pula berkeping-keping. Apakah dapat dengan enteng kita katakan bahwa Tuhan pun ternyata tidak suka namanya dibawa-bawa dalam politik?
Kita boleh saja mengaitkan dengan dimensi spiritual. Tapi fakta mengatakan kegagalan-kegagalan itu terutama terjadi karena adanya pengingkaran atas kemanusiaan. Tatkala sebuah rezim komunis meniadakan hak individu maka sang manusia sesungguhnya bukan manusia lagi. Begitu pula manusia yang “diorientasikan untuk akhirat” sehingga hak duniawinya dibatasi dalam pemerintahan teokrasi yang menatasnamakan kedaulatan Tuhan.  
Padahal, manusia punya kebebasan dan yang satu ini adalah paling hakiki. Manusia boleh memilih mau jadi bodoh atau pintar; apakah mau masuk neraka atau surga; mau miskin atau kaya; dan lain sebaginya. Bahwa agak aneh ada orang yang mau jadi bodoh atau lebih suka masuk neraka dan lain sebagainya; itu adalah hak dari seorang manusia di muka bumi dan tak boleh diganggu gugat oleh siapapun.
Kelemahan rezim komunis terdahulu disebabkan keangkuhan bahwa mereka paling tahu keinginan manusia. Seolah-olah dengan mengenyahkan kaum kapitalis/borjuis atau orang-orang kaya, maka kebahagiaan didapat. Dan semua itu tolak ukurnya adalah uang dan materi—atau alat produksi. Dengan menghilangkan para penghisap seakan-akan telah sirnalah penindasan. Padahal bukan itu.
Bukan Materi
Saya teringat sebuah film berjudul “Enemy at the Gates” yang ditayangkanTrans TV beberapa minggu lalu. Film berlatar perang Sovyet-Jerman di Perang Dunia II itu mengisahkan pertemanan seorang perwira politik Tentara Merah—angkatan bersenjata Uni Sovyet—bernama Danilov dan seorang prajurit sniper bernama Vasely Zeitsev. Danilov ditugaskan oleh atasannya, Nikita Kurshchev (kelak jadi pemimpin Uni Sovyet yang bersahabat dengan Bung Karno), untuk membuat pamflet propaganda yang mengumbar kehebatan Zeitsev supaya membangkitan semangat pasukan lain menghadapi tentara Jerman.  
Dikisahkan keduanya mencintai perempuan yang sama. Namun sayang, dalam sebuah penyerbuan, Danilov mendapati gadis yang dicintainya tertembak dan menduga ia telah meninggal (walaupun kemudian diketahui selamat). Danilov lalu menemui Zeitsev yang sedang mengintai musuh, seorang sniper Jerman. Dalam keadaan putus asa, dia menyampaikan kata-kata yang menyentuh hati. Terjemaahan Bahasa Indonesianya kira-kira begini:
Kita (Uni Sovyet) mendamba menciptakan masyarakat yang setara supaya tidak ada lagi yang iri pada (kekayaan) tetangga. Padahal, itu tidak mungkin. Akan selalu ada yang kaya dan miskin. Kaya memberi, miskin menerima; kaya dalam cinta, miskin dalam cinta.
Saya tidak tahu apakah kata-kata itu rekaan dan dramatisasi dari sutradara Holywood; atau memang nyata pernah diucapkan. Yang pasti, setelah mengatakannya, Danilov menjadikan dirinya sebagai umpan musuh dan mati tertembak. Dia mati bukan demi komunisme melainkan mati karena tiadanya lagi harapan lantaran sang kekasih telah pergi. Dia mati untuk apa yang paling sederhana dalam hidup: cinta!
Kita tentu percaya bahwa cinta—pada apapun—adalah sesuatu yang bersifat sangat peribadi dan tidak bisa didefinisikan dan ditentukan orang lain. Dengan kata lain cinta bersifat otonom. Filsuf Imannuel Kant menyebut bahwa moral bersifat otonom; tapi kita pernah mendengar “moral kata kiai”, “moral dibilang pendeta”, dan “moral menurut pemerintah”; sehingga tidak lagi otonom sifatnya. Tapi kita pasti percaya bahwa cinta itu mutlak berasal dari seorang individu. Karena cinta kita bisa melawan orang tua, mengkhianati negara, ataupun mengingkari agama.
Yang ingin saya katakan adalah sesuatu yang sifatnya paling azasi takkan pernah bisa ditentukan oleh pihak yang paling berkuasa sekalipun. Yang dibutuhkan manusia adalah kebebasan. Manusia tidak semata-mata butuh materi atau mendasari kecemburuannya hanya pada materi. Dengan terjaminnya kebebasan, manusia dapat memilih sendiri apa yang paling diinginkannya. Mengekang kebebasan akan menjerumuskan kekuasaan tiran pada kejatuhannya.
Karena itu, seandainya pun PKI berhasil berkuasa, akhirnya hnya akan mengikuti jejak partai komunis lain—jatuh atau paling tidak menjadi kapitalis. Tanpa perlu mengaitkan dengan kondisi sosio-religius masyarakat Indonesia, saya yakin dengan sendirinya PKI akan jatuh digantikan oleh pemerintahan yang menjamin kebebasan manusia.
Hal itu memang tidak pernah terjadi. Tapi toh sejarah berkata bahwa sesudah PKI dilarang, rezim Soehato mengalami apa yang mungkin bakal terjadi pada PKI seandainya berkuasa. Pemerintahan Orba, kemudian Aljazair, Mesir, Libya adalah serupa dengan kediktatoran model komunis. Semuanya runtuh!
Namun, di luar konteks politik, sesungguhnya kita akan terus menemukan manusia-manusia yang menginginkan keadilan dan persamaan dalam materi. Sebagaimana seorang Ibu Aminah dalam reportase Langkah Awal edisi sebelumnya yang cemburu pada banyaknya orang kaya sementara dia hidup dalam kemiskinan. Dia justru menghendaki agar sekiranya orang hidup melarat semua.
Seandainya Ibu Aminah tahu bahwa keinginannya juga salah satu impian dari komunisme, barangkali pandangannya pada partai itu akan berubah. Ini merupakan kecenderungan manusia-manusia Indonesia kini yang mudah iri melihat orang lain bergelimang harta sedangkan dirinya tidak.
Tapi dari Danilov kita mendapati bahwa seandainya pun tiada lagi miskin dan kaya, pada akhirnya materi bukanlah keinginan terdalam dari seorang manusia. Dan PKI tidak perlu sampai berkuasa supaya kita dapat menyadarinya!
*Samdysara Saragih-Teknik Fisika ITS
Sumber: Langkah Awal 

Rabu, 23 November 2011

Sisi Kelam Sejarah III: Di Balik Berita Purwodadi

Historia.Id 

Selasa, 22 November 2011

Sisi Kelam Selarah II: Orde Baru Tutupi Skandal Purwodadi




SEJAK diungkapnya kasus Purwodadi oleh Poncke Princen, muncul berbagai pendapat pro dan kontra. Menurut Poncke, jumlah korban pembantaian mencapai dua ribu orang yang tersebar di beberapa daerah di wilayah Grobogan. Bahkan menurutnya dalam satu malam pernah terjadi pembunuhan terhadap 850 orang sekaligus. Banyak pihak yang meragukan keterangan Poncke, namun tak sedikit pula yang berada di pihaknya.

Sebagian aktvis di luar negeri, khususnya di Belanda, mengutuk keras aksi kejahatan itu. Prof. Jan Pluvier, guru besar sejarah Asia Tenggara, kolega Wertheim dalam wawancara pada Maret 2007 lampau di kediamannya di Heideweg No 5, Soest, Belanda mengatakan keterlibatannya dalam gerakan menentang Orde Baru berangkat dari solidaritasnya kepada rakyat Indonesia yang ditindas oleh Suharto. 
“Saya mendengar berita tentang pembunuhan massal itu dan saya menentang Suharto yang menginjak-injak kemanusiaan,” kata dia.
Berbeda dengan Jan Pluvier, Wertheim dan para Indonesianis lain yang umumnya mengecam rezim Orde Baru, Presiden World Veteran Federation (WVF) W. Ch. J.M. van Lanschot justru memperlihatkan sikap mendukung Orde Baru. Ia datang ke Indonesia disertai dua orang redaktur majalah Elsevier, Martin W. Duyzings dan Drs. A. Hoogendijk. Dalam kunjungannya itu, mereka menemui Menteri Penerangan Budiardjo. Mereka sepakat bahwa tidak ada gunanya membesar-besarkan kasus Purwodadi.

Dunia Barat, pascapergolakan politik 1965 dan transisi kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto, semakin gencar mendekati Indonesia. Ekonomi yang porak-poranda akibat situasi politik dalam negeri yang tidak stabil selama tahun-tahun terakhir kekuasaan Sukarno menjadi alasan utama bagi pemerintah Soeharto untuk mengundang investasi luar negeri ke Indonesia.
Undang-undang Penanaman Modal Asing No. 1/1967 diberlakukan untuk melempangkan jalan masuk modal asing. Tim ekonomi yang dipimpin oleh Menko Ekuin Sri Sultan Hamengkubuwono IX gencar melakukan lobi ke luar negeri.

Sebuah iklan di koran The New York Times edisi 17 Januari 1969, sebulan sebelum terungkapnya peristiwa Purwodadi, berbunyi: “5 Years From Now You Could Be Sorry You Didn’t Read This Ad”. Iklan yang ditandatangani oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX tersebut mempromosikan Indonesia sebagai negeri yang terbuka terhadap investasi sekaligus menjamin investor Amerika Serikat untuk menanamkan modalnya di Indonesia. “Untuk membuat investasi di negeri kami semakin bergairah, kami telah meloloskan sebuah undang-undang penanaman modal asing yang menawarkan beberapa insentif seperti pembebasan pajak perusahaan dan pajak atas deviden selama lima tahun,” demikian kata iklan itu. 
Salah satu perusahaan Amerika Serikat yang memanfaatkan Undang-Undang tersebut adalah Freeport yang beroperasi sejak 1967 di Papua.

Peristiwa Purwodadi menjadi batu sandungan pertama di kala pemerintah Soeharto berbenah, merias wajah Indonesia yang baru dan bebas dari komunisme. Berbagai cara dilakukan untuk meredam eskalasi berita pembantaian massal di Purwodadi. Tak lama setelah terungkapnya pembunuhan massal di Purwodadi, penguasa militer di Jawa Tengah bersikap reaktif dengan mengawasi setiap pendatang ke ibukota Kabupaten Grobogan itu. Setiap orang luar yang hendak memasuki kota harus mendapat izin dari tentara. 
Mengenai hal ini, Harian Sinar Harapan, edisi 9 Maret 1969 melaporkan: Ketika memasuki daerah itu para wartawan diwajibkan terlebih dahulu melapor ke Penerangan Kodam VII/ Diponegoro. Sesudah itu harus pula minta ijin pada Asisten I dan diberikan surat. Kemudian baru melaporkan diri pada Komandan Kodim setempat. Ketika para wartawan tersebut memasuki kota Purwodadi, kelihatannya masyarakat Purwodadi nampak suasana ketakutan.

Meningkatnya pengawasan membuat situasi kota Purwodadi makin mencekam. Masyarakat tak leluasa menjalankan aktivitasnya, lebih-lebih pada malam hari. Mereka khawatir dituduh tentara sebagai anggota Gerilya Politik (Gerpol) PKI atau “PKI Malam”.

Panglima Kodam (Pangdam) VII/Diponegoro Mayor Jenderal Surono membantah terjadinya pembantaian massal dalam kasus Purwodadi. Dia mengatakan berita tersebut tidak benar. Dia curiga kabar tersebut menjadi bagian perang urat syaraf yang dilancarkan oleh “PKI Malam”. Dia malah balik menuding bahwa semua tuduhan itu semata-mata ditujukan untuk mengganggu stabilitas keamanan yang sedang dibangun oleh pemerintah Orde Baru.

Sementara itu Gubernur Jawa Tengah Munadi langsung mengundang seluruh wartawan baik luar maupun dalam negeri untuk hadir dalam konferensi pers yang digelar pada 4 Maret 1969 di Restoran Geliga, Jakarta. Pada pertemuan itu, dia membantah temuan Princen, bahkan menuduh Princen sebagai komunis (Kompas, 5 Maret 1969 dan Indonesia Raya, 6 Maret 1969). 
Dalam keterangan persnya Munadi mengatakan,“yang dipersoalkan sekarang adalah tahun 1968. karena tahun 1965 tidak terkontrol. Saya minta supaya dibatasi pada tahun 1968 saja. Kalau orang itu ditembak berjejer itu tidak mungkin.Tapi kalau dalam operasi ada orang yang ditangkap, tapi kemudian coba-coba lari dan diberi peringatan tapi tidak mengindahkan, mungkin saja ditembak.” (Kompas, 5 Maret 1969).

Bantahan Munadi didukung oleh Frank Palmos dari Melbourne Herald dan Judy Williams dari New York Times yang mengatakan tidak ditemukan adanya tanda-tanda telah terjadi pembunuhan massal di daerah Kuwu-Purwodadi dan daerah sekitarnya. Munculnya berita yang memperkuat pernyataan Munadi, membuat Princen kian tersudut dan semakin santer diberitakan bahwa dia seorang komunis.

Merasa dirugikan oleh Munadi, Poncke menggugatnya ke Kejaksaan Agung dan mendaftarkan kasusnya sebagai pencemaran nama baik. Kepada wartawan Poncke mengatakan bahwa dia rela dituduh komunis, asalkan dapat membantu orang-orang tak berdosa. Akhirnya Poncke ditahan dan interogasi oleh Kopkamtib dengan tuduhan terlibat dalam gerakan komunis. Kepadanya ditanyakan tentang hubungannya dengan kaum komunis, baik di negeri Belanda maupun di Indonesia. Menjawab pertanyaan wartawan seusai interogasi, ia mengatakan, “Saya hanya mengkonstatir adanya suatu penyelewengan yang perlu ditindak. Hal ini segera saya telah sampaikan kepada Presiden Soeharto sekembalinya dari Jawa Tengah sebagai seorang patriot. 
Kami bukanlah seorang sentimentalis naif, tapi sebenarnya justru dengan terjadinya pembunuhan-pembunuhan bergelombang di Purwodadi telah lebih menguntungkan kaum komunis”. (Sinar Harapan, 7 Maret 1969)

Poncke juga mengatakan bahwa dia sangat jengkel pada orang-orang yang menuduhnya komunis. Mereka seolah lupa bahwa di “zaman Nasakom” mereka itulah yang justru paling getol bekerjasama dengan komunis. Tidak jelas siapa yang dimaksudkan Poncke dengan “orang-orang” yang menuduhnya sebagai komunis, mengingat hanya ada satu orang yang menyebut dirinya sebagai komunis, yakni Gubernur Jawa Tengah Munadi.

Sementara itu beberapa tokoh yang memiliki kedekatan secara pribadi dengan Poncke berusaha membelanya dengan menjelaskan siapa Poncke sebenarnya. Wartawan Belanda Henk Kolb meyakini bahwa pembunuhan massal di Purwodadi itu memang benar, dan dia yakin keterangan Poncke tidak memuat kepentingan apa pun selain demi kemanusiaan. Dia juga menjelaskan bahwa berita yang dimuat di korannya di Belanda bukanlah rekayasa. Selain Henk Kolb, Mayor Jenderal Kemal Idris, Panglima Komando Antar Daerah Indonesia Timur yang juga bekas atasan Princen, juga memberikan pembelaan dengan mengatakan bahwa Princen bukan komunis seperti yang dituduhkan Munadi (Indonesia Raya, 8 Maret 1969).

Panglima Angkatan Darat (Pangad) Jenderal M. Panggabean, seusai Rapat Komando Angkatan Darat pada 7 Maret 1969 mengatakan persoalan Purwodadi bisa diselesaikan “tanpa perlu rame-rame.” Dia juga menolak dengan tegas jika ada yang mengatakan kalau Angkatan Darat tukang bunuh orang. Jika memang ada jatuh korban, itu konsekuensi dari operasi militer yang sedang dilakukan oleh Kodam VII/Diponegoro (Sinar Harapan, 9 Maret 1969). Selanjutnya Panggabean menyatakan bahwa Kopkamtib sedang menyusun sebuah tim untuk menyelidiki kasus Purwodadi.

Sehubungan dengan rencana kunjungan Soeharto ke luar negeri pada medio 1969 dan untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan selama kunjungannya maka dia meminta Menteri Penerangan Budiardjo meninjau langsung ke Purwodadi. Soeharto mulai terusik dengan adanya berita-berita pembunuhan massal itu. Seperti laporan sebelumnya, Budiardjo pun melaporkan tidak ada bukti pembunuhan massal di Purwodadi.

Di tengah kesimpang-siuran berita yang tak menentu, para wartawan mendesak agar diizinkan melihat langsung kondisi di Purwodadi. Desakan itu ditanggapi Pangdam VII/ Diponegoro, Mayjen. Surono dengan mengundang beberapa wartawan, baik dari luar maupun dalam negeri, “Silahkan menceknya sendiri” ujar Pangdam. Namun kenyataan di lapangan tidak demikian, beberapa wartawan dari Jakarta dipaksa untuk pulang setelah sempat melakukan liputan.

Tidak seperti yang sering tersiar bahwa operasi pembasmian komunis dilancarkan kepada mereka yang tak bertuhan, di Purwodadi beberapa guru Katolik kena getahnya. Kalangan umat Katolik Jawa Tengah yang dipimpin oleh Brigjen. dr. Soerojo berupaya keras untuk menyelamatkan tujuh guru agama Katolik yang ditahan dalam penggerebekan di Pastoran Purwodadi, mereka adalah Drs. Ngaini Imam Marsudi, Siswadi, B.A, Sutiono, B.A, Harnold, B.A, Djaswadi, Sumarta, Sri Mulyono, Pardan, Imam Sutikno, Rusdiono, Bambang Dasdiun, Bakri, dan Limaran (tewas). Soerojo mengirim sebuah dokumen penting kepada Presiden Soeharto yang dititipkan melalui wartawan New York Times, Judy Williams. Namun tidak diketahui apa isi dokumen itu.

Pemerintah tak bertikad menuntaskan kasus pembunuhan Purwodadi yang dibongkar oleh Poncke. Yang terjadi sejak akhir Februari sampai dengan akhir Maret 1969 hanya berhenti sebagai kontroversi tanpa pernah diketahui mana yang benar. 
Terhitung sejak tanggal 1 April 1969 atau bertepatan dengan dimulainya Repelita I, koran-koran tak lagi menurunkan berita tentang pembunuhan massal PKI di Purwodadi, menandai ditutupnya kasus tersebut. 
“Seperti biasa, kasusnya hilang begitu saja,” kata Goenawan Mohamad, yang pernah menulis kasus Purwodadi ketika bekerja di harian KAMI.

Senin, 21 November 2011

Jane Foster II : Agen Ganda

Kamis, 17 November 2011

"MESUJI BERDARAH " PEMBANTAYAN SADIS YANG MENEWAS KAN "SATU KAMPUNG" INI LAH KRONOLoGIS NYA..!!!

16 Nov 2011

illustrasi: Korban pembantaian politik di Filipina

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) memaparkan penyebabnya insiden pembantaian petani di Kabupaten Mesuji, Lampung, dan Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Kemuring Ilir (OKI), Sumatera Selatan.

Menurut Kepala Departemen Advokasi Walhi Mukri Friatna, pembunuhan warga yang dipicu sengketa tanah dengan penguasaha perkebunan kelapa sawit sejatinya bukan sekedar berlangsung di Kabupaten Mesuji, Lampung dan OKI, Sumsel, tetapi di banyak daerah lain dalam kurun saat berbeda. Meski, kata dia, motifnya hampir sama.

Mukri menuturkan, masalah Tempat di Daftar 45 Way Buaya, di dusun Pelita Jaya Desa Talang Batu Kecamatan Mesuji Timur, Kabupaten Mesuji, Lampung mencuat mulai sejak awal 2002 hingga 6 NOvember 2010.

Perseteruan bermula dari Daftar 45 yang disebut tempat rutinitas desa Talang Batu seluas 7 ribu hektar yang diklaim ke Hutana Tanaman Industri Daftar 45 yang dikuasai oleh PT Inhutani V serta PT Silva Lampung Kekal. Awal mulanya berdasar pada SK Menhut No. 688/Kpts-II/1991 luas Reg. 45 yaitu 32. 600 hektare. Lalu 17 Februari 1997 Menhut keluarkan SK No. 93/Kpts-II/1997 mengenai memberi uas Hak Pengelolaan lokasi HTI jadi 43. 100 Hektare. Menjawab usul orang-orang kebiasaan tentang klaim tanah selas 7000 hektare. Lalu diterbitkan kembali surat No. 1135/MENHUTBUN-VIII/2000. Dasarnya cuma menyepakati tempat seluas 2. 600 Hektare.

Perseteruan lain di Mesuji berlangsung pada 1994, waktu PT BSMI memperoleh Ijin Tempat serta 1997 serta memperoleh HGU dengan kuas ruang 17 ribu hektare. Pembagiannya 10 ribu hektare diberikan pada perusahaan untuk dikeloa entrepreneur serta 7 ribu hektare meruakan tanah Plasma diberikan pada warga untuk mengelola serta memperoleh keuntungan hasil tanaman.

 " Khusus untuk masalah PT BSMI yang ada Mesuji Lampung aksi keji pembunuhan berlangsung bukanlah karena ada bentrokan seperti yang di beritakan di tv. Ke-2 korban Indra Safei (20) serta pamannya bernama Tutul (21) tengah melitas di ruang perkebunan sawit untuk beli obat pembunuh hama, mendadak dicegat oleh oknum yang disadari Tutul yaitu Brimob serta preman bayaran untuk mengamankan ruang perkebunan. Lihat Safei dianiya sampai tewas, Tutul lari tetapi akhirya tertembak serta ditikam pisau yang diduga punya anggota Brimob, " terang Mukri di Kantor Walhi, Jakarta, Jumat (16/12/2011).

Menurut Mukri, kekerasan pada petani memanglah telah lama berlangsung di wiayah Mesuji, baik Lampung ataupun Sumatera Selatan. Dia juga menekan pemerintah cepat merampungkan masalah ini serta menarik polisi yang ngepos disana, lantaran mereka adalah centeng perusahaan yang senantiasa menganiaaya warga.

Sesaat masalah PT SWA versi Desa Sei Sodong, Kecamatan Mesuji, OKI, Mukri menyampaikan, berlangsung pada 1997. Waktu itu terbangan hubungan kerja pada PT. SWA/PT Trekreasi Margamuya untuk bangun kemitraan pembangunan kebun sawit diatas tempat seluas 1. 068 Hektare di luar milik H Saefei seluas 533 Hektare.

Dalam kesepakatan diterangkan orang-orang bakal memperoleh keuntungan yang tercantum dengan cara nominal dari tahun pertama sampai kesepuluh. “Tapi kenyataannya itu tak dibayarkan pada warga yang memiliki tempat, ” itu lah kronologis nya terjadi pembantayain yang kejam.

http://www.duniahealth.com/2016/02/mesuji-berdarah-pembantayan-sadis-yang.html?utm_source=dlvr.it&utm_medium=facebook



Sabtu, 29 Oktober 2011

Mas Marco Kartodikromo Dan Cerita Kaum Komunis Di Boven Digoel



Senin, 24 Oktober 2011, saya menulis kisah tentang sebuah kota kecil di Spanyol, Marinaleda, yang sukses menjalankan miniatur masyarakat sosialistik. Tiba-tiba, seusai menulis kisah sukses kota yang dianggap “oase komunis” di Spanyol itu, saya teringat dengan seorang pejuang besar dan salah satu karya terakhirnya.

Ya, saya teringat dengan Mas Marco Kartodikromo, seorang jurnalis besar dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Pada bulan Juni 1927, sebagai akibat dari pemberontakan PKI yang gagal, Mas Marco termasuk dalam rombongan “orang-orang yang dibuang ke Digoel”.

Dari sinilah, saat ia merasa ketidakbebasan dan keterbatasan, ia masih sempat-sempatnya menulis sejumlah karangan. Nah, beberapa karangannya itu juga masih sempat dikirimkan dan disebarluaskan melalui koran-koran. Salah satunya melalui harian “Pewarta Deli”, yang memuat karangan Mas Marco dari tanggal 10 Oktober sampai 9 Desember 1931 dalam 51 angsuran.

Tahun 2002 lalu, Koesalah Soebagyo Toer mengumpulkan semua karangan itu dan menyuntingnya lagi, dan akhirnya diterbitkan (oleh KPG) dengan judul “Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel”. Memang, sudah banyak cerita tentang Digoel yang ditulis, baik oleh para pelaku maupun para peneliti sejarah. Sebut saja dua yang terkenal; “Cerita Dari Digoel” karya Pramoedya Ananta Toer dan “Kisah-Kisah Dari Tanah Merah” karya Tri Ramidjo.

***

Mas Marco tiba di Boven Digoel pada tanggal 21 Juni 1927. Ia disambut oleh kondisi para tahanan politik di Digoel yang sangat memprihatinkan.
“Sembilan puluh persen dari orang-orang itu sebagian badannya di perban atau diplester. Sedang orang-orang yang tidak sakit Malaria diharuskan makan tablet kina 6 biji seminggu,” kata Mas Marco menggambarkan kondisi orang-orang di sana.

Orang-orang yang dibuang di Digoel harus siap menderita. Pemerintah Belanda hanya memberi modal awal yang sangat terbatas: 1 kelambu kecil, 1 tikar kecil, 1 selimut kecil, 1 parang tumpul, 1 kapak yang belum bertangkai, 1 cangkul belum bergagang, dan 1 sekop yang juga belum bergagang. Dengan modal inilah orang dipaksa hidup survival.

Selain itu, seperti diceritakan Mas Marco, setiap orang diberi ransum berupa 9 kg beras, ikan kering, dendeng tengik, garam, gula jawa, kacang ijo, dan teh. Semuanya itu, jika diuangkan, senilai f 6,30.

Setiap orang juga disediakan ruangan seluas 2 x 2 meter untuk tidur dan 2 x 2 meter untuk barang. Sedangkan yang sudah berkeluarga disediakan ruangan seluas 4 x 2 meter (hal. 3). fasilitas-fasilitas publik juga banyak didirikan.

Konon, kehidupan di Boven Digoel masih lebih baik ketimbang Pulau Buru-nya Orde Baru. Tetapi itu pendapat orang. Saya sendiri tidak mengalami keduanya. Tetapi, pada tahun 1934, ketika Sjahrir dibuang ke sana, ia bercerita bahwa Digoel itu seperti Europeschewijk (pemukiman Eropa). Ada bioskop, kamar-bola (ballroom), rumah sakit, sekolah, masjid, dan gereja. Pertunjukan seni dan olahraga digalakkan.

Tetapi, perlu diketahui, Sjahrir tiba di Digoel setelah 7 tahun Mas Marco dan orang-orang PKI berjuang mati-matian di sana. Ia tidak merasakan masa-masa sulit ketika rumah baru dibangun dan hutan baru dibuka.

***

Mas Marco juga bercerita banyak soal kehidupan orang PKI di Digoel. Dengan gaya berceritanya yang sederhana, Ia seolah mengantar kita seperti hidup di tengah-tengah orang PKI di Digoel jaman itu.

Ia misalnya bercerita tentang orang-orang PKI yang berubah sikap: dari anti penjajahan menjadi bersedia bekerjasama dengan penjajah. Diceritakan pula tentang perseteruan tanpa ujung antara orang-orang PKI perihal kegagalan pemberontakan 1926/27.

Seorang PKI dari Bandung, Sanoesi, menjadi motor dari sebuah gerakan untuk mendakwa pimpinan pusat (Hoofdbestuur) PKI perihal kegagalan pemberontakan. Sanoesi dan kawan-kawannya menuding Hoofdbestuur PKI sengaja membuat pemberontakan itu menjadi sebuah kegagalan. Mereka bahkan menuding Sardjono, salah satu pucuk pimpinan PKI, sudah berkolaborasi dengan kaum reaksi (kolonial Belanda).

Bahkan, untuk menghakimi Hoofdbestuur PKI, Sanoesi dan kawan-kawannya mendirikan “Comite Pertanyaan” —selanjutnya berubah menjadi CK (Comite Kebesaran). Tetapi, menurut penuturan Mas Marco, banyak orang yang tidak termakan oleh propaganda busuk CK tersebut.

Situasi pun kemudian berbalik: kelompok Sanoesi dianggap telah menyebabkan perpecahan di kalangan orang buangan. Ia pun dianggap spion (mata-mata) pemerintah Belanda. Karena itu, Sanoesi pun harus berusaha keras untuk membersihkan nama baiknya.

Suatu hari, Ali Archam, salah satu tokoh PKI berpengaruh, merasa kesal juga dengan perilaku orang-orang CK itu. Terjadilah pertengkaran antara Ali Archam dan Sanoesi. Sebuah bogem mentah pun mendarat di muka Sanoesi. “Untung sekali Sanoesi tidak berani melawan. Umpama berani, ia pasti masuk liang kubur, paling tidak diangkut ke rumah sakit,” kata Marco menceritakan pertengkaran itu.

Selain soal pertikaian diantara orang PKI, Marco juga menyinggung soal orang-orang PKI yang mengalami penurunan semangat (demoralisasi). Salah satunya adalah seorang anggota PKI bernama Gondhojoewono. Gondho adalah salah satu contoh orang PKI yang mengalami kehidupan berat di Digoel.
Menariknya, demi menyemangati kawan-kawannya yang mengalami demoralisasi, orang-orang PKI sering mengutip kisah Leo Tolstoy, seorang graaf kaya Rusia yang memilih hidup melarat. Tentu, maksud dari cerita-cerita itu adalah memberi dukungan moral, bahwa pengorbanan memang diperlukan dalam perjuangan.

****

Berhadapan dengan kondisi alam, keterbatasan, dan tekanan pemerintah kolonial, orang-orang PKI tidak pasrah begitu saja. Mereka berusaha mengorganisir diri dan bergotong-royong membangun kampung.
Pada saat itu, ada tawaran kolonial untuk membentuk sistim lurah. Tetapi tawaran itu ditolak mentah-mentah oleh orang kampung. Orang kampung ingin mengurus kampunya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Dibentuklan semacam Majelis Kampung dengan fungsi yang sangat luas.

Majelis kampung inilah yang merespon setiap persoalan rakyat kampung. Setiap persoalan juga didiskusikan secara bersama dan keputusan diambil secara demokratis. Majelis kampung juga mewakili orang buangan melawan berbagai keputusan-keputusan kolonial yang merugikan. Hampir semua keputusan diambil melalui rapat akbar (vergadering).

Seringkali, untuk menjalankan tata-sosial kehidupan kampung, orang-orang PKI merujuk pada teori-teori sosialistik yang dibacanya di buku-buku. Itulah usaha untuk menerapkan masyarakat “Sama rata, sama rasa”.

Pada januari 1928, seluruh Majelis Kampung itu diwadahi oleh organ bernama “Centrale Raad Digoel (CRD)–Dewan Pusat Digoel”. Aliarcham merupakan peraih suara terbanyak dalam pemilihan anggota CRD dengan 515 suara. Sedangkan Mas Marco meraih 305 suara.

Meskipun didorong oleh orang-orang komunis, tetapi CRD sendiri berdiri untuk seluruh golongan rakyat di Digoel. Makanya, Anggaran Dasar CRD sangat memperhatikan kenyataan: tidak semua orang Digoel adalah orang komunis, tidak semua orang Digoel terpelajar, dan tidak semua orang Digoel adalah buangan politik. Tetapi, CRD ini hendak mengorganisir suatu masyarakat yang sejahtera tanpa kapitalisme.

Dan melalui buku “Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel”, saya menjadi faham kenapa orang-orang komunis mampu bertahan di tempat yang berawa-rawa dan menjadi sarang malaria itu. Jawabannya: kolektifisme (gotong-royong) dan keteguhan ideologi.

Rabu, 26 Oktober 2011

Seandainya PKI Berhasil (1)

Rabu, 26 Oktober 2011
Oleh: Bung Samdy*



Sudah 46 tahun berlalu, tapi peristiwa itu masih sulit dilupakan. Kita sebagai generasi muda pun pasti masih ingat masa-masa pemutaran filmPengkhianatan G30S/PKI yang menambah rasa benci pada Partai Komunis Indonesia.
Di sekolah dasar maupun menengah, buku sejarah menggambarkan sadis dan kejamnya PKI. Partai ini begitu buruk rupa karena tega membunuh enam jenderal dalam satu malam untuk merebut kekuasaan dan mendirikan negara komunis Indonesia. Seandainya terwujud, Indonesia tidak lagi ber-Tuhan. Kegagalan PKI membuktikan bahwa Tuhan masih mendengar doa orang Indonesia dan tentu saja: saktinya Pancasila.
Begitulah cerita-cerita Orba yang mencuci otak generasi muda. Setelah rezim tersebut runtuh, kita menemukan fakta ilmiah dari para ahli bahwa PKI bukan satu-satunya pihak yang “terindikasi” terlibat G30S tahun 1965. Ada yang mengatakan murni konflik internal TNI-AD; keterlibatan CIA; permainan Soeharto; atau yang paling tak logis: keinginan Bung Karno sendiri. Saya tidak perlu menjelaskan satu-persatu fakta-fakta dari segala skenario tersebut. Namun yang pasti, kita melihat hingga kini, tidak ada satu anggota DPR yang berkartu anggota Partai Komunis; pun menteri dari partai yang sama. Partai ini, semua ormasnya, dan ideologi komunisme/Marxisme-Leninisme, dilarang di bumi Indonesia untuk selama-lamanya. 
Tapi, marilah kita berandai-andai, bagaimana jadinya jika G30S berhasil, dan PKI berkuasa. Benarkah Pancasila tidak ada lagi? Apakah Indonesia masih tetap “sambung-menyambung menjadi satu” dari Sabang hingga Merauke?
Pada tahun 1960, Partai Nasional Indonesia (PNI) menerbitkan sebuah analisa tentang partai-partai pesaingnya. Mengenai PKI, dokumen PNI menuliskan:
PKI merupakan bagian dari gerakan internasional dengan basis di luar Indonesia…Pada masa lalu PKI mengharamkan nasionalisme tetapi sekarang sangat aktif menggunakan lambang-lambang nasionalisme itu sendiri untuk memperoleh pengaruh…Jika PKI memperoleh kekuasaan, kelompok kanan [seperti Masyumi, NU, partai Protestan/Katolik, dan nasionalis] akan mengobarkan perang saudara dengan bantuan penuh blok Barat. Akibatnya negara kita akan terbagi seperti Vietnam atau Korea.
Begitulah bunyi dokumen yang dikeluarkan Departemen Penerangan dan Propaganda PNI yang dikutip Rocamora dalam bukunya, Nasionalisme Mencari Ideologi: Bangkit dan Runtuhnya PNI 1946-1965.
Katakanlah, apa yang menjadi kekhawatiran PNI tersebut benar adanya. Negara yang dibangun dengan darah dan air mata ini, terpecah gara-gara ideologi. Merujuk pada pemilu 1955, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat merupakan lumbung suara bagi PKI. Di luar Jawa, Masyumi berhasil “menghijaukan” Indonesia dengan menang di hampir semua provinsi. Sedangkan di provinsi yang mayoritas penduduknya Kristen, merupakan basis Parkindo dan Partai Katolik.
Dari komposisi seperti itu, kita bisa menduga, andaikata PKI merebut kekuasaan di Jakarta, maka daerah-daerah akan memilih memisahkan diri. PKI  tentu saja tidak tinggal diam melihat kondisi tersebut. Tentara—dengan asumsi bisa dikuasai—akan dikerahkan untuk menghentikan segala pemberontakan di daerah.
Tapi, merujuk perkiraan PNI, maka segera Amerika Serikat dan sekutunya membantu perjuangan daerah. Amerika bisa saja mengirim senjata M-16, tank, uang atau tentara seperti Rambo demi menghindari serangan pemerintah (PKI). Indonesia pun akan seperti Vietnam. Bahkan bisa lebih buruk karena tidak terpecah menjadi dua negara saja, melainkan banyak negara baru.
Saya tidak bisa bayangkan kalau hal yang seperti itu sampai terjadi. Namun bagaimana sekiranya dugaan PNI keliru, di mana PKI berhasil menciptakan negara komunis seperti halnya Uni Soviet, Cina, dan Kuba?
Negara Indonesia pun akan berganti nama menjadi Republik Sosialis Rakyat Indonesia atau Republik Demokratik Indonesia atau Republik Rakyat Indonesia. PKI akan memberangus partai-partai yang ada sehingga melahirkan sistem satu partai. Pemimpin tertinggi PKI akan otomatis menjadi pemimpin negara. Tentu saja, Undang-undang Dasar 1945 diganti dan asas negara sesuai ajaran Marxisme/Leninisme.
Dalam bidang ekonomi, negaralah yang berkuasa sepenuhnya. Semua perusahaan asing otomatis dinasionalisasi. Tentu tidak ada yang namanya kontrak karya yang merugikan bangsa Indonesia. Di negeri yang kaya raya ini semuanya dikelola negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyatnya. Di bidang sosial pun begitu. Semua sekolah dinegerikan, tidak ada—atau dibatasi—yang namanya sekolah swasta. Konsekuensinya, si miskin tidak perlu takut untuk melanjutkan sekolah atau kuliah di perguruan tinggi. Kenaikan biaya SPP pun tak mungkin karena ditanggung oleh negara.
Semua itu adalah konsekuensi logis dari pemerintahan “proletar” yang mengenyahkan si “kapitalis”. Pemerintahan itu betujuan membentuk masyarakat sosialis yang mana “tiap orang memberi berdasar kemampuan dan menerima berdasar pekerjaan”; untuk nantinya terciptalah masyarakat komunis yang “tiap orang memberi berdasar kemampuan dan menerima berdasarkan kebutuhan”. Kalau sudah sampai ke taraf ini, tidak perlu lagi namanya negara.
Siapapun yang merasa tertindas pasti merasa bak dihembuskan angin surga apabila mendengarnya. Itu pula yang barangkali dirasakan oleh manusia Indonesia yang hidup sepanjang tahun 1960-an. Kalau orang miskin di zaman ini saja masih berjibun jumlahnya, apalagi saat itu di mana Indonesia nyaris tidak memiliki apapun.(Bersambung…)
*Samdysara Saragih-T Fisika ITS
Sumber: LangkahAwal