HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Jumat, 31 Maret 2017

YPKP 65: Lokasi Kuburan Massal Korban 65 Bertambah


Jumat, 31 Mar 2017 21:14 WIB - Arie Nugraha



Ada indikasi penghilangan kuburan massal korban pelanggaran HAM 65

Seminar Pengungkapan Kebenaran dan Jalan Berkeadilan Bagi Korban 1965-1966 dan sesudahnya, digelar di Kampus Universitas Parahyangan, Bandung, Jumat, 31 Maret 2017. (Arie Nugraha/KBR)

KBR, Bandung- Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965 menyebut jumlah kuburan massal kejahatan HAM 65 bertambah dari 121 menjadi 130 titik sepanjang Pulau Sumatera hingga Jawa Timur. Lokasi baru kuburan massal itu terdapat di Cianjur, Sukabumi dan Kabupaten Bandung. Sedangkan daerah lainnya di luar Jawa Barat adalah Purwodadi. Sementara jumlah korbannya diperkirakan mencapai menjadi 14.500 orang dari jumlah awal yang dilaporkan ke pemerintah sebanyak 13.999 orang.

Menurut Ketua YPKP 1965 Bedjo Untung, temuan baru itu belum akan dilaporkan ke Menkopolhukam dan Komnas HAM karena masih berupa data kasar. Namun YPKP menargetkan kajian itu rampung tahun ini. 
"Jadi sampai sekarang ini YPKP sedang menyusun laporan secara menyeluruh yaitu jumlah korban, korban yang dibunuh, korban yang diculik, kemudian yang ditahan, yang dipekerjakan secara paksa. Itu sudah masuk mengalir dari berbagai cabang YPKP seluruh Indonesia dan ini memang kami mengalami kesulitan karena begitu banyaknya korban," kata Bedjo Untung saat ditemui dalam diskusi Pengungkapan Kebenaran dan Jalan Berkeadilan Bagi Penyintas, di Bandung, Jumat (31/3/2017).
Ketua YPKP 1965 Bedjo Untung mengatakan, selain jumlah korban serta lokasi kuburan massal dalam buku data jumlah korban kejahatan HAM yang tengah disusun itu, juga dicantumkan lokasi penyiksaan dan penahanan.

Bedjo menegaskan data terkini yang diperolehnya dianggap sangat penting bagi penelitian. Hal itu disebabkan, seluruh data yang diperoleh dari korban. "Kami sebenarnya tidak bisa mengklaim berapa juta yang dibunuh tetapi hanya bisa melaporkan data dari teman-teman yang di daerah," tambahnya lagi.

YPKP 1965 mengaku dalam pendataan ini ditemui adanya penghapusan lokasi kejahatan HAM, seperti yang terjadi di Pati, Jawa Tengah. Di sana ada indikasi lokasi kuburan massal akan dihilangkan.


Sementara itu Redaktur Pelaksana Jurnal Prisma, Harry Wibowo, mengatakan Komnas HAM harus melakukan penyelidikan lanjutan berdasarkan testimoni korban. Alasannya adalah sebagian data yang sebelumnya yang diperoleh otoritas kemanusiaan tersebut belum tercakup didalamnya.

Harry menyebutkan sebanyak 100an korban 65 diproteksi bersama lokasi kuburan massal tetapi bersikukuh tidak mau melakukan penyelidikan. 
 "YPKP 65 sudah mendatanya untuk kuburan massal," kata Harry.

Ada Korban Bukan Anggota Partai


Jurnalis senior Tosca Santoso dalam diskusi itu menjelaskan korban 1965 tidak sepenuhnya merupakan anggota partai yang dilarang oleh pemerintah. Berdasarkan penelusurannya di daerah Cianjur yang diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Cerita Hidup Rosidi, korban penghilangan paksa rezim tidak tahu-menahu soal adanya pergerakan yang dituding makar.
"Saya tanya pada salah seorang korban, 'kenal dengan Aidit?' Dia menjawab dukunnya Soekarno," kata Santoso.
Kasus kejahatan HAM 65/66 sebelumnya sudah diputuskan dalam sidang Mahkamah Rakyat Internasional di Den Haag Belanda pada 10-13 November 2015. Hakim Zak Yacoob yang memimpin jalannya persidangan menyatakan aparat negara pada masa itu bertanggung jawab atas berbagai elemen kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk dugaan atas kejahatan genosida. 

Hasil sidang itu telah diumumkan melalui rekaman video pada tanggal 20 Juli 2016 di Jakarta. 


YPKP 65: Lokasi Kuburan Massal Korban 65 Bertambah

Arie Nugraha | Jumat, 31 Mar 2017 21:14 WIB


Seminar Pengungkapan Kebenaran dan Jalan Berkeadilan Bagi Korban 1965-1966 dan sesudahnya, digelar di Kampus Universitas Parahyangan, Bandung, Jumat, 31 Maret 2017. (Arie Nugraha/KBR)

Ada indikasi penghilangan kuburan massal korban pelanggaran HAM 65

Bandung- Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965 menyebut jumlah kuburan massal kejahatan HAM 65 bertambah dari 121 menjadi 130 titik sepanjang Pulau Sumatera hingga Jawa Timur. Lokasi baru kuburan massal itu terdapat di Cianjur, Sukabumi dan Kabupaten Bandung. Sedangkan daerah lainnya di luar Jawa Barat adalah Purwodadi. Sementara jumlah korbannya diperkirakan mencapai menjadi 14.500 orang dari jumlah awal yang dilaporkan ke pemerintah sebanyak 13.999 orang.

Menurut Ketua YPKP 1965 Bedjo Untung, temuan baru itu belum akan dilaporkan ke Menkopolhukam dan Komnas HAM karena masih berupa data kasar. Namun YPKP menargetkan kajian itu rampung tahun ini. 


"Jadi sampai sekarang ini YPKP sedang menyusun laporan secara menyeluruh yaitu jumlah korban, korban yang dibunuh, korban yang diculik, kemudian yang ditahan, yang dipekerjakan secara paksa. Itu sudah masuk mengalir dari berbagai cabang YPKP seluruh Indonesia dan ini memang kami mengalami kesulitan karena begitu banyaknya korban," kata Bedjo Untung saat ditemui dalam diskusi Pengungkapan Kebenaran dan Jalan Berkeadilan Bagi Penyintas, di Bandung, Jumat (31/3/2017).

Ketua YPKP 1965 Bedjo Untung mengatakan, selain jumlah korban serta lokasi kuburan massal dalam buku data jumlah korban kejahatan HAM yang tengah disusun itu, juga dicantumkan lokasi penyiksaan dan penahanan.

Bedjo menegaskan data terkini yang diperolehnya dianggap sangat penting bagi penelitian. Hal itu disebabkan, seluruh data yang diperoleh dari korban. "Kami sebenarnya tidak bisa mengklaim berapa juta yang dibunuh tetapi hanya bisa melaporkan data dari teman-teman yang di daerah," tambahnya lagi. 

YPKP 1965 mengaku dalam pendataan ini ditemui adanya penghapusan lokasi kejahatan HAM, seperti yang terjadi di Pati, Jawa Tengah. Di sana ada indikasi lokasi kuburan massal akan dihilangkan. (Baca: Komnas HAM Akan Cek Kuburan Massal 65/66 yang Dirusak)

Sementara itu Redaktur Pelaksana Jurnal Prisma, Harry Wibowo, mengatakan Komnas HAM harus melakukan penyelidikan lanjutan berdasarkan testimoni korban. Alasannya adalah sebagian data yang sebelumnya yang diperoleh otoritas kemanusiaan tersebut belum tercakup didalamnya.

Harry menyebutkan sebanyak 100an korban 65 diproteksi bersama lokasi kuburan massal tetapi bersikukuh tidak mau melakukan penyelidikan. "YPKP 65 sudah mendatanya untuk kuburan massal," kata Harry.

Ada Korban Bukan Anggota Partai
Jurnalis senior Tosca Santoso dalam diskusi itu menjelaskan korban 1965 tidak sepenuhnya merupakan anggota partai yang dilarang oleh pemerintah. Berdasarkan penelusurannya di daerah Cianjur yang diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Cerita Hidup Rosidi, korban penghilangan paksa rezim tidak tahu-menahu soal adanya pergerakan yang dituding makar.

"Saya tanya pada salah seorang korban, 'kenal dengan Aidit?' Dia menjawab dukunnya Soekarno," kata Santoso.

Kasus kejahatan HAM 65/66 sebelumnya sudah diputuskan dalam sidang Mahkamah Rakyat Internasional di Den Haag Belanda pada 10-13 November 2015. Hakim Zak Yacoob yang memimpin jalannya persidangan menyatakan aparat negara pada masa itu bertanggung jawab atas berbagai elemen kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk dugaan atas kejahatan genosida. Hasil sidang itu telah diumumkan melalui rekaman video pada tanggal 20 Juli 2016 di Jakarta.
 
Editor: Dimas Rizky
Sumber: KBR.ID 

Kamis, 30 Maret 2017

Indonesia Ajukan Diri Dievaluasi Dewan HAM PBB


Rabu, 29 Maret 2017

LPSK Kekurangan Dana untuk Bantu Pengobatan Korban 65

, CNN Indonesia

Jumat, 24 Maret 2017

Sofyan Baraqbah; Sayid Komunis yang Diburu Tentara Baret Merah

Reporter: Petrik Matanasi | 24 Januari, 2017

Kampanye Partai Komunis Indonesia pada September 1955. LIFE/Howard Sochurek
Sayid Ahmad Sofyan Baraqbah asal Banjarmasin adalah anggota parlemen di era Sukarno dan menjadi gerilyawan buruan ABRI di masa Orde Baru. Dia salah satu keturunan Nabi atau yang biasa disebut sebagai sayid.

tirto.id - Siang 12 Januari 1974 itu, Sofyan dan A Siong sedang menikmati makan siang. Sofyan, laki-laki berkumis dan berjanggut itu, duduk dengan senapan AK di paha. Dia tidak sadar ada 12 orang pasukan komando sedang mengintainya dari belakang. Begitupun kawannya A Siong alias Ramang, yang menyandang senapan getmi.

Dari jarak 10 meter dari pasukan penyergap itu, terlihat Ramang dan Sofyan sedang duduk makan siang berhadapan di antara 3 pohon besar. Letnan Satu Sutiono dari Kopassandha (kini kopassus) Baret Merah, masih ingat perintah Mayor Sutarno: "Usahakan tembak kakinya." Ketika itu, sialnya kaki Sofyan tak terlihat. Tubuhnya saja yang nampak.

"Kalau terpaksa menembak, tembaklah Sofyan dulu. Jangan si Ramang!" bisik Sutiono kepada bawahannya. Sebab, target utama mereka adalah Sofyan. Tepat pukul 13.05 dari celah-celah daun belukar, dalam jarak 10 meter, sebutir peluru AR yang ditembakkan Sutiono meluncur. Peluru itu meluncur melalui belakang kepala Sofyan hingga menembus dahinya. Tembakan-tembakan lain segera menyusul. Sementara itu, dengan hanya berkolor, Ramang mengambil langkah seribu. Namun, getmi miliknya tertinggal.

Itulah makan siang terakhir Sayid Ahmad Sofyan Baraqbah. Ia adalah buruan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia selama bertahun-tahun di rimba Kalimantan Barat. Cerita penyergapan Sofyan di sekitar Hutan Terentang dan Sungai Kalabau itu diwartakan Tempo (09/02/1974).

Setelah penembakan, pasukan itu fokus mengurus Sofyan yang sudah menjadi mayat. Tidak mudah menggotong Sofyan dari hutan. Mereka harus bersampan, membawa mayat Sofyan yang sudah terbungkus plastik. Setelah laporan soal Sofyan diterima pihak militer di Pontianak, helikopter pun menuju Terenteng, zona pendaratan helikopter untuk menjemput mayat Sofyan.

Menjelang senja keesokan hari, barulah mayat Sofyan bisa didaratkan di depan Skodam XII/Tanjungpura, Pontianak. Dari sana, mayatnya diusung ke kamar mayat Kesdam XII/Tanjungpura yang jaraknya hanya 75 meter. Orang-orang yang pernah mengenal turunan sayid ini diminta mengidentifikasi. Kenalan Sofyan seperti M. Ali AS, Soewardi Poespoyo, M. Jusuf Suib, H. Abdussyukur, dan Abubakar Mansyur, membenarkan bahwa mayat itu adalah Sayid Ahmad Sofyan Baraqbah. 

Selama hidupnya, Sofyan tak asing dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), juga Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) kemudian. Namanya juga tercantum dalam Dokumen-dokumen Kongres Nasional Ke-VI Partai Komunis Indonesia, 7-14 September 1959. Menurut catatan Tempo, Sofyan meninggal di usia 48 tahun. 

Dia lahir di Banjarmasin. Ajaran komunis dikenalnya di Medan, di mana dia juga bertemu istrinya, Nani Sumarni, di kota itu. Di Medan, Sofyan sudah menjadi Ketua Serikat Buruh Kiri Sarbupri/SOBSI Medan pada 1950. Dia kembali ke Banjarmasin pada 1954, menjadi tokoh PKI dan anggota parlemen di sana. 

Di tahun 1959, Sofyan pindah lagi ke Pontianak. Di sana dia menjadi anggota Comite Daerah Besar Kalimantan Barat . Dia juga anggota Front Nasional. Sebagai insan partai komunis terpandang, Sofyan ikut menjadi dosen di sekolah partai yang terletak di Gang Nurdin, Pontianak.

Baraqbah, nama belakang laki-laki yang lahir kira-kira tahun 1926 ini, adalah salah satu marga keturunan Nabi Muhammad. maka, ia bergelar sayid. Selain Sayid Ahmad Sofyan Baraqbah, ada sayid lain yang juga komunis. Dari Kalimantan Timur ada Sayid Fahrul Baraqbah yang menjadi pimpinan CDB Kalimantan Timur dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Setelah 1965, Fahrul ditangkap, tapi Sofyan tidak. Sofyan bergerilya. 

Setelah G30S gagal dan lanskap politik Indonesia terhadap konfrontasi malaysia berubah, banyak sukarelawan Dwikora yang tergabung dalam PGRS enggan berhenti berkonfrontasi. Mereka pun disikat ABRI. Dengan mantan PGRS itu, Sofyan bersekutu. Menurut catatan A.M. Hendropriyono yang ikut serta penumpasan PGRS, "PKI gaya baru" pimpinan Sofyan dengan sisa PGRS melahirkan kekuatan yang disebut Barisan Rakyat (Bara) yang beroperasi sejak 1966 hingga 1974. Dalam pasukan PGRS itu terdapat trio Lim Fo Kui, Bong Kie Chock, dan Bong Hon yang bergerilya di hutan belukar perbatasan RI-Malaysia di Kalimantan,

”Ini kita (TNI) melatih Tentara Nasional Kalimantan Utara dan PGRS di Surabaya, Bogor, dan Bandung. Akhirnya, setelah pergantian pemerintah, Presiden Soeharto memutuskan berdamai dengan Malaysia dan gerilyawan tersebut diminta meletakkan senjata. Karena PGRS tidak menyerah, terpaksa kita sebagai guru harus menghadapi murid dengan bertempur di hutan rimba Kalimantan,” kata A.M. Hendropriyono yang menulis Operasi Sandi Yudha: Menumpas Gerakan Klandestin (2013).

Sayid Komunis yang Diburu Tentara Baret Merah


Sofyan menjadi orang yang dianggap berbahaya di masa-masa itu. “Tahun 1967, Barisan Rakyat atau Bara yang merupakan fusi antara PGRS dan CDB PKI Kalimantan Barat di bawah pimpinan Ahmad Sofyan, menyerang gudang senjata AURI di Pangkalan Udara Sanggau Ledo atau Sintang II,” tulis Hendro Subroto dalam biografi Sintong Pandjaitan yang berjudul Sintong Panjaitan, perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009).

Sofyan menjadi otak dari gerakan itu, sedangkan "serangan dipimpin oleh Ju Lie, seorang China Komunis di Singkawang.” 

Setelah melakukan serangan, posisi pemberontak semakin menguntungkan. “Mereka berhasil menjarah 133 pucuk senjata yang sebagian besar terdiri dari senapan Cung buatan RRC, senapan serbu Heckler & KochG3, dua senapan mesin berat degtyarev DshK-38 kaliber 12m7mm, dan peti-peti amunisi dari berbagai jenis. Jumlah senjata yang dirampas itu dapat mempersenjatai pasukan berkekuatan satu kompi. Gedung senjata AURI yang dikuasai oleh gerombolan komunis, kemudian dibakar habis.”

Sebagai pemimpin gerilya, Sofyan “membagi Kalimantan Barat menjadi dua komite, yaitu komite daerah Kapuas untuk sektor timur dan komite daerah pantai untuk sektor Barat yang menjadi daerah operasi kopassandha.... Sofyan melakukan operasi Klandestein di daerah belakang dan daerah penyangga sesuai strategi PKI, yaitu melakukan penggarapan massa, menyusun organisasi partai di bawah tanah dan melakukan perjuangan bersenjata.”

Selama bertahun-tahun, Sofyan menjadi buruan ABRI, termasuk Kopassanda. Tim yang dipimpin Letkol Sutarno itu diberi tugas khusus untuk mendapatkan Sofyan, hidup atau mati. 

“Sebenarnya Sofyan sudah hampir kita tangkap. Tapi pengejaran Sofyan dalam ruang gerak yang semakin sempit terpaksa berhenti, karena satgas ditarik dari Kalimantan Barat kembali ke basis,” aku Sintong dalam buku biografinya. 
(tirto.id - pet/msh)
https://tirto.id/sayid-komunis-yang-diburu-tentara-baret-merah-chz3

Selasa, 21 Maret 2017

Eks Menteri Kehakiman Desak Pemerintah Selesaikan Kasus HAM

Aulia Bintang , CNN Indonesia | Selasa, 21/03/2017 04:51 WIB

Eks Menteri Kehakiman Desak Pemerintah Selesaikan Kasus HAMMantan Menteri Kehakiman Muladi menyebut penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang tersendat akan menimbulkan ketidakadilan baru bagi para korban. (ANTARAFOTO/Reno Esnir)
Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan Menteri Kehakiman Muladi meminta pemerintah mengambil sikap yang pasti terkait berbagai kasus pelanggaran HAM berat. Menurutnya, pemerintah harus berani menyelesaikan kasus-kasus yang tidak memenuhi unsur pelanggaran HAM.

"Sekarang ini perlu ketegasan pemerintah, kalau tidak memenuhi syarat untuk masuk kriteria pidana, ya pemerintah jawab saja," kata Muladi di Jakarta, Senin (20/3).

Muladi mengatakan, saat ini setidaknya terdapat sembilan kasus HAM yang masih menggantung, antara lain Peristiwa 1965, Talangsari, dan kerusuhan Mei 1998. Muladi berkata, jika pemerintah tidak kunjung mengambil sikap, para korban tidak akan pernah mendapatkan keadilan.


"Jika tak diteruskan ke pengadilan, DPR pasti tidak merekomendasikan, presiden tidak mengeluarkan keppres, maka kasus itu tak bisa diadili karena dasar pengadilan ad hoc adalah keppres atas usulan DPR," ucapnya.


Lebih dari itu, Muladi menentang usulan penyelesaian melalui cara non-yudisial karena akan memunculkan impunitas. Kalaupun penegak hukum menyatakan deponerring, ia berkata, keputusan itu harus didasarkan pada alasan yurudis.

Muladi mengatakan, perkara HAM masa lalu sulit dibuktikan karena mayoritas pelaku dan korban telah meninggal dunia. Saksi untuk kasus-kasus itu, kata dia, sulit dicari.

Senin siang tadi, Muladi diundang Menko Polhukam Wiranto untuk mengikuti rapat kasus kejahatan HAM masa lalu. Jaksa Agung Prasetyo dan perwakilan Kementerian Hukum dan HAM turut hadir pada pertemuan itu.

Usai rapat, Prasetyo menolak berkomentar tentang progres penyelesaian kasus-kasus HAM.


Sumber: CNN Indonesia 

Senin, 20 Maret 2017

Politikus Senior Golkar Minta Pemerintah Tegas Soal Kasus HAM


Penyelesaian Kasus 1965: Menuntut Keseriusan Komnas HAM

Reporter: Windu Jusuf | 20 Maret, 2017

Pengunjung sedang mengamati karya

Temuan dan bukti-bukti pelanggaran HAM berat 1965 harus ditindaklanjuti Komnas HAM.

tirto.id - Upaya menuntut lembaga negara menindaklanjuti temuan-temuan terkait tragedi 1965 terus bergulir. Komnas HAM didesak untuk secara serius menindaklanjuti berbagai temuan dan bukti-bukti pembantaian 1965.

“Setelah pembacaan putusan IPT (International People's Tribunal), kami membangun komunikasi yang intens dengan Komnas HAM. Kami mendesak Komnas HAM untuk mengambil langkah-langkah untuk melakukan proteksi menyeluruh terhadap temuan-temuan kuburan massal,” demikian Harry Wibowo, anggota panitia persiapan Kongres IPT 1965, membuka jumpa pers peluncuran buku kesaksian IPT65 di gedung Komnas Perempuan, Minggu (19/03/17). 

Pada akhir 2015, International People’s Tribunal (IPT65) diselenggarakan di Den Haag Belanda dan mendesak Pemerintah Indonesia agar meminta maaf kepada korban, melakukan penyidikan dan mengadili semua pelanggaran HAM. IPT, atau Pengadilan Rakyat Internasional, tidak memiliki kapasitas hukum untuk mengeksekusi keputusan tersebut.

April 2016, pemerintah menggelar “Simposium Nasional: Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan” di Hotel Aryaduta. Selain perwakilan pemerintah, simposium tersebut dihadiri perwakilan penyintas dan korban kekerasan, eks-tapol '65, akademisi, serta para pegiat HAM. Usai simposium, pernyataan Presiden Jokowi memerintahkan penyelidikan atas dugaan keberadaan kuburan massal korban 1965, adapun Luhut Panjaitan yang menjabat Menkopolhukam saat itu meminta masyarakat menyerahkan bukti-bukti keberadaan kuburan massal 

“IPT berfungsi merajut temuan-temuan yang ada dan meletakkannya dalam standar-standar hukum internasional. Selanjutnya IPT memberi proyeksi bentuk keadilan yang tepat ketika harapan korban sudah habis," ujar Mariana Amiruddin, wakil dari Komnas Perempuan. 

Mariana juga menyinggung fakta-fakta tentang pemerkosaan dan perbudakan seksual terhadap pada korban dan penyintas peristiwa. “Ini menjadi perhatian Komnas Perempuan. Tapi kami tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan,” demikian Mariana. 

Sesuai Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 yang disahkan untuk memberikan ruang bagi pengusutan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, Komnas HAM berwenang melakukan penyelidikan. Pemerintahan Jokowi telah memasukkan pokok-pokok mengenai penyelesaian pelanggaran HAM ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Namun setelah simposium April, langkah untuk memenuhi sasaran salah satu pokok dalam RPJMN itu kelihatan jalan di tempat. 

Temuan-Temuan Baru


Memproduksi pengetahuan tentang 1965 adalah satu hal. Mengamankan sumber pengetahuan dan mendistribusikan kontennya adalah hal lain. Pada Juli 2012, Komnas HAM mengeluarkan laporan setebal 800 halaman yang menyatakan peristiwa 1965 sebagai pelanggaran HAM berat (gross human rights violation). 

Sejak saat itu belum ada tindak lanjut dari laporan tersebut. Materi yang tebal itu pun tidak diolah ke dalam bentuk pokok-pokok ringkas yang bisa diakses publik.

Konferensi pers pada Minggu itu pun akhirnya menyinggung penemuan kuburan-kuburan massal baru pasca simposium April. “Di beberapa daerah ditemukan 120 titik kuburan massal, dengan perkiraan jumlah jenazah yang bervariasi,” ujar Harry Wibowo. 

Keberadaan kuburan massal memiliki nilai penting sebagai bukti-bukti untuk mendukung proses pengungkapan kebenaran, sebuah syarat mutlak sebelum berbicara lebih lanjut tentang rekonsiliasi. Tanpa proteksi Komnas HAM, kuburan-kuburan tersebut rawan dirusak orang. Sialnya, penyelidikan yang lebih mendalam terkait bukti-bukti berupa situs itu pun tidak bisa dilakukan tanpa instruksi Komnas HAM. 

“Di beberapa tempat, ada inisiatif warga sekitar yang bahkan didukung oleh pemerintah setempat untuk melindungi kuburan massal. Sekarang keputusan ada di tangan Komnas HAM,” demikian Harry. 

Ketika banyak pihak mulai membicarakan rekonsiliasi, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana pengungkapan kebenaran bisa dilakukan. Dengan pembentukan Dewan Kerukunan Nasional, prospek pengungkapan kebenaran diduga semakin suram.

Tikungan Curam Komnas HAM


Pada 5 Januari 2017, Menkopolhukam Wiranto menyatakan pemerintah akan membentuk Dewan Kerukunan Nasional (DKN) untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. “Karena kita mengadopsi undang-undang dari Eropa maka kalau ada masalah, kasus yang ada di masyarakat maka kita larikan ke proses peradilan, proses projustisia," ujar Wiranto seperti dikutip Antara. 

DKN dirancang untuk mengedepankan prinsip musyawarah sebagaimana, dalam klaim Wiranto, dilakukan oleh lembaga-lembaga adat di Indonesia ketika menyelesaikan masalah. "Yang berlaku sekarang ini yang masuk dulu adalah Komnas HAM, karena Komnas HAM memiliki peran menyelidiki permasalahan, menyelidiki kasus untuk dibawa ke peradilan.” 

Wiranto diangkat sebagai Menkopolhukam pada Juli 2016. Pada 2003, ia didakwa oleh pengadilan PBB bersama enam perwira militer lainnya sbagai pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan atas tindak pembunuhan, deportasi, dan penganiayaan warga sipil pasca-Jajak Pendapat di Timor Leste pada 1999. Enam pelaku lainnya adalah Mayjen Zacky Anwar Makarim, Mayjen Adam Rachmat Damiri, Kol. Suhartono Suratman, Kol. Mohammad Noer Muis and Letkol Yayat Sudrajat, dan Mayjen Kiki Syahnakri. 

Pada juni 2016, Kiki Syahnakri mengetuai Simposium Nasional Anti-PKI yang digelar sebagai reaksi atas simposium di Hotel Aryaduta beberapa bulan sebelumnya. Dalam simposium tersebut, Kiki mengatakan simposium itu diselenggarakan untuk menyatukan komponen bangsa untuk mencegah berbagai upaya membangkitkan PKI 

Jumat (13/03/17), Komnas HAM mengunjungi Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) untuk berkonsultasi tentang penyelesaian masalah HAM tahun 1965. Kiki Syahnakri, sebagai ketua umum PPAD menolak jalur yudisial untuk menyelesaikan tragedi 1965. Jalur pengadilan, menurut Kiki, “membuka luka lama dan bahkan berpotensi menimbulkan pertumpahan darah baru.” Kiki juga menambahkan, “Kalaupun non yudisial, prosesnya panjang. Bisa-bisa buntu.” 

(tirto.id - win/zen)
https://tirto.id/penyelesaian-kasus-1965-menuntut-keseriusan-komnas-ham-ck63

"Pak Jokowi, Peristiwa 1965 Itu Benar Adanya"

LB Ciputri Hutabarat 
Senin, 20 Maret 2017 | 09:59



Anggota Komnas Perempuan Mariana Amirudin/MI/Usman Iskandar

Metrotvnews.com, Jakarta: Sidang Mahkamah Rakyat Internasional bagi kejahatan serius 1965-1966 atau International People's Tribunal (IPT) memutuskan ada 9 unsur kejahatan manusia dalam pemerintahan Indonesia 1965-1966. Sidang yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda pada 10-13 November tersebut bahkan menyimpulkan adanya kejahatan genosida pada masa itu.

Melalui hasil sidang tersebut, anggota Komisi Nasional Perempuan Mariana Amiruddin meminta pemerintah membuka mata lebar-lebar terhadap peristiwa keji tersebut. Dia meminta Presiden Joko Widodo peduli dan menegakkan keadilan bagi korban 1965-1966.

"Pak Presiden Joko Widodo, peristiwa (kejahatan) 1965 itu benar adanya," tegas Mariana di Komnas HAM, Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat, Minggu 19 Maret 2017.

Mariana berusaha meyakinkan pemerintah. Pasalnya, hingga kini pemerintah dinilai suam-suam kuku menindaklanjuti permasalahan tersebut. Hingga kini, pemerintah masih meminta bukti terjadinya kejahatan pada 1965.

"Padahal sudah jelas ditemukan adanya 120 titik kuburan massal di sejumlah daerah di Indonesia. Namun kami tak memiliki wewenang untuk menyelidiki lebih lanjut kuburan tersebut," terang dia.


Manipulatif

Sementara itu, perwakilan Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI), Rahmah beranggapan, pemerintah berusaha membelokkan kejelasan peristiwa itu dengan membentuk Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Pembentukan dewan ini dianggap sebagai langkah menghilangkan kebenaran sesungguhnya.

"DKN menjadi sebuah lembaga yang memanipulasi langkah-langkah rekonsiliasi menjadi kerukunan dan menyingkirkan tahap penting pengungkapan kebenaran," terang Rahmah, kemarin.



Sementara posisi Komnas HAM dalam hal ini pun dianggap mandul. Rahmah mengatakan tak satu pun Petisi 2 Mei 2016 yang dijalankan Komnas HAM. Beberapa di antaranya ialah penyelidikan kuburan massal sebagai bukti kejahatan dan memproteksi bukti kuburan massal tersebut agar tidak dirusak.

"Tapi tak satu pun rekomendasi dilakukan. Negara bergeming dengan pelanggaran HAM yang terjadi," tegas Rahmah.


Kongres IPT '65

Merespons kondisi ini, Organisasi IPT '65 di Indonesia berencana menggelar Kongres IPT '65. Kongres ini dilakukan untuk terus mendesak negara setidak-tidaknya berani buka suara terkait kejahatan peristiwa 1965.

"Kami akan mendesak peristiwa ini melebih simposium. Kami akan bawa ke Kongres IPT untuk memperjuangkan ketidakadilan yang dirasakan para korban (peristiwa 1965)," kata panitia Kongres IPT '65 Dolorosa Sinaga.

Dolorosa mengatakan, pihakya akan melakukan pra-kongres yang dilaksanakan di 9 kota. Pra-kongres akan diisi pembelajaran buku Laporan Akhir IPT '65 dari Sidang di Den Haag, Belanda. Tujuannya agar masyarakat punya referensi lebih terkait kasus ini.

"Sebenarnya tidak ada yang baru dalam kasus ini. Tapi kita perlu ada strategi baru untuk membongkar kasus ini. Kita perlu masukan yang lebih substansial," tegas Dolorosa.



Editor : Githa Farahdina

http://www.metrotvnews.com/amp/ZkeW747N-pak-jokowi-peristiwa-1965-itu-benar-adanya

Komnas HAM Akan Cek Kuburan Massal 65/66 yang Dirusak

Yudi Rakhman, Eli Kamilah | Senin, 20 Mar 2017 08:18 WIB


Kuburan Massal 65/66. (Foto: KBR/Yudha S.)

"Berdasarkan laporan si A ini adalah kuburan massal korban 1965 atau 1948. Nanti itu kita sampaikan kepada misalnya pemerintahan desa untuk menjaga itu"

Jakarta- Komisi Hak Asasi Manusia akan mengecek keberadaan kuburan massal korban pelanggaran 1965 dan 1958. Menurut Anggota Komnas HAM Siti Noor Laila, pengecekan di lapangan untuk mengetahui kebenaran laporan yang masuk. 
Kata dia, setelahnya  Komnas HAM akan memberikan surat keterangan kepada pihak yang berwenang agar menjaga lokasi yang diduga kuburan massal tersebut.
"Yang paling memungkinkan membuat surat keterangan bahwa berdasarkan pengaduan si A atau berdasarkan laporan si A ini adalah kuburan massal korban 1965 atau 1948. Nanti itu kita sampaikan kepada misalnya pemerintahan desa untuk menjaga itu, misalnya begitu, atau kepolisian setempat. Atau nanti kita lihat siapa yang diberi mandat oleh Komnas HAM," jelas Anggota Komnas HAM Siti Noor Laila kepada KBR, Minggu (19/3/2017).

Anggota Komnas HAM Siti Noor Laila menambahkan, untuk tahap verifikasi, Komnas HAM sudah meminta kepada Kejaksaan Agung agar melakukan verifikasi dan menggali kuburan massal tersebut. Namun hingga kini, Kejaksaan Agung tidak pernah turun ke lapangan dan memverifikasi lokasi yang diduga kuburan massal tersebut.
"Itu harus ada perintah dari Kejaksaan Agung terkait pembongkaran kuburan. Sejauh Kejagung tidak memberikan perintah, Komnas HAM tidak bisa melakukan pembongkaran kuburan. Mungkin dengan keterbatasan kewenangan, apakah mungkin Komnas HAM mengeluarkan surat keterangan pihak siapa yang nantinya surat keterangan itu kepada kepala desa atau pemerintah terkait untuk menjaga itu sampai nanti ada perintah dari Kejaksaan Agung," katanya.

Siti mengklaim sudah menindaklanjuti laporan kuburan massal tersebut. Bahkan, Komnas HAm sudah membawa laporan tersebut dalam rapat di Kantor Menkopolhukam.
"Kalau menindaklanjuti ke Kejaksaan Agung sudah dilakukan termasuk dengan Menkopolhukam waktu itu masih pak Tedjo, sudah dikoordinasikan. Inikan belum ada kesamaan, ada sebagian yang bisa menerima dan melakukan rekonsiliasi. Ada yang sebagian meminta proses yudisial. Keinginan pemerintah dalam kasus 1965 maunya rekonsiliasi," ujarnya.

Sebelumnya Komnas HAM   dituding enggan membuka penyelidikan baru soal kasus pembunuhan massal 1965-1966. Penyelidikan baru itu, kata Aktivis Indonesia People's Tribunal (IPT) 1965, Harry Wibowo, didasarkan pada laporan 120an kuburan massal kepada Komnas, 2 Mei tahun lalu. Namun hingga kini tidak ada niat lembaga itu untuk menindaklanjuti dan melakukan perlindungan terhadap kuburan massal tersebut.

Harwib mengaku heran dengan sikap diam Komnas HAM, padahal pengadilan awal soal pengungkapan kebenaran tragedi 65 berada dalam wewenangnya. 

"Kesimpulannya adalah komnas Ham tidak mau membuka penyelidikan lanjutan dan proteksi kuburan massal yang merupakan kewenangan di bawah UU Nomor 26 tentang pengadilan HAM," ungkapnya.

Harwib   sudah menjalin dialog berkali-berkali soal penyelesaian kasus 65-66 dan bagaimana tindaklanjut dari rekomendasi pengadilan IPT 65 di Den Hag Belanda, 10-13 November 2015. Dalam rekomendasinya disebutkan negara harus bertanggungjawab atas berbagai kejahatan kemanusian, termasuk kemungkinan terjadinya Genosida. Namun, pertemuan-pertemuan itu nihil.

"Kami melakukan advokasi, dan komunikasi, dengan Komnas Ham, Istana, Watimpres, Lemhanas, kami berdialog terus, tapi tidak ada niatan untuk penyelesaian itu," tuturnya.

Para penyintas baik korban, maupun sahabat IPT, tutur Harwib juga menyesalkan langkah pemerintah yang menjawab desakan korban dengan pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN). DKN hanya memanipulasi langkah rekonsiliasi  dan menghilangkan unsur pengungkapan kebenaran.

Senada dengan Harwib, Dolorosa Sinaga yang merupakan Panitia IPT 65, menyebut negara tak punya nyali untuk memgungkap tragedi 65. Padahal berbagai rekomendasi dan upaya sudah dilakukan, semisal IPT dan simposium 65 menunjukan ada kejahatan kemanusiaan.

Dia pun memprotes hasil rekomendasi simposium di Aryaduta, yang hingga kini tidak dibuka ke publik. 

Itu Sebab, ujar Dolorosa,  akan menggelar Kongres IPT 65. Kongres ini untuk menanggapi kebungkaman dan keenggan pemerintah dalam pembantaian massal itu. Kongres yang rencananya digelar tahun ini tetap akan mendesak negara bertanggung jawab merekonsiliasi para korban politik 65/66

"Untuk itulah kami berkumpul dan sepakat untuk meneruskan perjuangan ini dalam organisasi yang lebih besar, yakno Kongres IPT 65, yakni pertemuan akbar yang akan menyatakan kepada negara, yang menyatakan bahwa seluruh rakyat Indonesia mendesak negara bertanggungjawab," ujarnya.

"Setelah simposium, negara belum berani mempublikasikan kepada publik apa rekomendasinya, mereka tidak mau membuka itu," tuturnya di Komnas Perempuan Jakarta.

Dolorosa menambahkan sebagai langkah awal, kongres akan menghimpun berbagai masukan dari sembilan daerah di Indonesia soal penyelesaian 65. Salah satunya di Semarang, Banda Aceh dan Ambon.

"Prakongres tujuannya adalah untuk memperoleh masukan yang substansial dari setiap kota," ungkapnya.
Kuburan Rusak
Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965 menyebut ada puluhan kuburan massal korban 65/66 dalam kondisi rusak. Ketua YPKP 65, Bedjo Untung mengatakan kuburan itu tersebar di berbagai titik di Indonesia. Semisal di Purwodadi, Grobogan  yang nisannya banyak yang hilang, dan di Pati yang ditemukan upaya penggalian ilegal terhadap makam-makam tersebut.

"Di Purwodadi yang laporan dari Nursyahbani, ditemukan kuburan massal di hutan jati itu sudah hilang. Ini satu bukti ada upaya negara untuk menghilangkan jejak," ungkapnya kepada KBR di Gedung Komnas Perempuan Jakarta, Minggu (19/3/2017).

Bedjo menambahkan, tak hanya kuburan yang rusak, banyak tempat yang menjadi bukti tragedi 65, yakni kamp kerja paksa, juga sudah berubah bentuk dan fungsinya. Tempat-tempat itu, kata Bedjo kini berubah menjadi tempat wisata, pertokoan dan juga perhotelan.

Salah satu temuan baru kamp kerja paksa ini, ujar Bedjo berada di Tanggerang, Banten, Jawa Barat.

"Itu luasnya ada 115 hektar. Itu ada area 1 dan 2. Itu sudah berubah menjadi pertokoan, perkantoran dan hotel. Namun memang masih ada sawah di situ yang menjadi bukti," ujarnya.

Dia pun menyebut, 120an titik kuburan massal yang dilaporkan kepada Komnas HAM maupun Menkopolhukam, masih bisa bertambah. Laporan itu, ujar Bedjo merupakan data kuburan massal yang berada di Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali dan Sulawesi.

"120 titik yang saya laporkan itu ada ada di Jawa Barat, Sukabumi, Bandung. Magetan, Purwodadi, Bali dan Sulawesi. 122 itu baru titik awal, berikutnya sudah 130," ungkapnya.  
Editor: Rony Sitanggang
Sumber: KBR.ID  

Minggu, 19 Maret 2017

Kinerja Komnas HAM Soal Tragedi 1965 Mengecewakan Korban

Patricia Saraswati, CNN Indonesia 
Minggu, 19/03/2017 ; 20:18

Para korban Tragedi 1965. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
JakartaCNN Indonesia -- Korban pelanggaran hak asasi manusia pada Tragedi 1965 kecewa dengan kinerja Komnas HAM. Salah satu korban sekaligus Ketua Yayasan Penelitan Kasus Pembunuhan (YPKP) 1965/1966, Bedjo Untung menilai komisoner Komnas HAM saat ini tidak mampu melanjutkan rekomendasi periode sebelumnya.

Dia kecewa dengan pernyataan salah satu komisioner Komnas HAM yang menyatakan Tragedi 1965 secara pro justicia sudah selesai.

“Yang disebut pro justicia itu kan hukum, memang benar hasil penyelidikan soal 1965 sudah direkomendasikan ke jaksa agung tapi belum ditindaklanjuti,” kata Bedjo, Sabtu (18/3).

Jaksa agung, menurut Bedjo, dengan berbagai macam dalih selalu menyatakan bukti yang diajukan Komnas HAM tidak cukup kuat sehingga proses hukum tidak bisa dilanjutkan. Menurutnya, bukti kejahatan HAM di masa Orde Baru sudah cukup dan valid untuk bisa diproses hukum.
Bedjo berharap komisioner Komnas HAM periode selanjutnya bisa benar-benar menjalankan fungsi sebagai pengawal HAM yang baik.

“Komisoner akan datang harus benar-benar menjalankan fungsi sebagai pengawal HAM, itu enggak boleh main-main,” ucapnya.

Sementara itu, Komisioner Komnas HAM Nur Kholis mengatakan Bedjo tidak bisa membandingkan kinerja komisioner begitu saja. Nur Kholis yang juga menjabat komisioner di periode sebelumnya mengatakan, Komnas HAM periode sekarang sedang mencari alternatif baru dalam penyelesaian Tragedi 1965.

Meski begitu, lanjut Nur Kholis, sampai saat ini Komnas HAM belum mendapatkan hasil akhir soal pilihan alternatif penyelesaian kasus tersebut.

"Kami sudah mencoba melakukan simposium kemudian juga terus berkomunikasi dengan pihak korban seperti apa model penyelesaiannya dan seterusnya, tapi memang belum selesai," ujarnya.


Menurutnya, komisioner Komnas HAM telah menyelesaikan penyelidikan Tragedi 1965. Namun hasil penyelidikan tersebut sampai sekarang belum bisa diproses secara hukum karena kendala di kejaksaan agung.

"Kami menyelesaikan penyelidikan tetapi kemudian penyelidikan itu di kejaksaan agung sangat lambat prosesnya, berbagai hambatan terjadi di kejaksaan agung" kata Nur Kholis.

Pegiat Human Rights Working Group (HRWG) Muhammad Hafiz mengatakan Komnas HAM periode saat ini tidak bisa bekerja secara maksimal karena beberapa faktor. Salah satunya karena problem internal, seperti pergantian kepemimpinan dan kendala birokrasi.

Konflik antarkomisioner, lanjut Hafiz juga menjadi penyebab kinerja Komnas HAM tidak efektif jika dibandingkan dengan periode sebelumnya.

Komisioner Komnas HAM.Komisioner Komnas HAM. (CNN Indonesia/M Andika Putra)

Pilihan Pragmatis

Hafiz berpendapat, lambatnya penyelesaian Tragedi 1965 bukan hanya terkendala faktor internal. Faktor eksternal juga memberikan pengaruh besar terhadap pilihan politik Komnas HAM.

Dia menyebut faktor itu adalah perubahan struktur kabinet yang terjadi di Indonesia, di mana sejumlah purnawirawan TNI Angkatan Darat bergabung ke pemerintahan.

"Itu jadi faktor tantangan eksternal yang tidak bisa dipisahkan atau dihindari oleh Komnas HAM, sehingga pilihan politik Komnas HAM menjadi pragmatis," kata Hafiz.

Komnas HAM, lanjut Hafiz, dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, Komnas HAM tetap pada standar maksimal dalam menyelesaikan kasus 1965 pada prosedur pengadilan. Kedua, menerima tawaran pemerintah dalam menyelesaikan kasus dengan cara rekonsiliasi.


Penilaian kinerja Komnas HAM, menurut Hafiz harus dilihat dari dua sisi. Di satu sisi mereka ingin segera menyelesaikan kasus tersebut, namun di sisi lain ada rintangan yang begitu kuat dari pemerintah sehingga lembaga itu tidak bisa berbuat banyak.

"Memang kinerja internal mereka (Komnas HAM) tidak begitu efektif karena berbagai masalah, tapi di satu sisi faktor dari luar juga kuat," ujar Hafiz.

Kurangnya koordinasi antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung juga menjadi penyebab proses hukum Tragedi 1965 terbengkalai. Hafiz menyeut kedua lembaga saling lempar berkas. Kejaksaan Agung menganggap hasil penyelidikan Komnas HAM memiliki kekurangan. Sementara Komnas HAM merasa hasil penyelidikan tersebut sudah lengkap.

Dia berpendapat, Komnas HAM harus mengambil inisiatif untuk bisa menyelesaikan kasus tersebut. Hal itu bisa dilakukan dengan membuat satu proses pengungkapan kebenaran sendiri. Cara lain, lembaga tersebut tetap bersikukuh dengan proses yudisial.

"Sebagian komisioner ada semacam dilema. Kami dalam lima tahun terakhir ini tidak menghasilkan apa-apa terkait pelanggaran HAM masa lalu, sementara untuk mendorong proses yudisial sudah enggak mungkin," tutur Hafiz.

Terkait dengan penyelesaian kasus 1965, menurutnya, Komnas HAM lebih proaktif mengajak korban berdiskusi. Sehingga keputusan soal penyelesaian kasus yang dikeluarkan oleh Komnas HAM tidak hanya satu arah, tapi benar-benar menyuarakan suara korban dan untuk kepentingan korban.

"Kalaupun misalkan ada kritik pedas terhadap Komnas HAM terkait proses penyelesaian yang diambil, Komnas HAM punya legitimasi kuat ini suara korban, dan korban butuh sikap yang kuat dari negara untuk menyelesaikan," ujar Hafiz. (pmg)


http://www.cnnindonesia.com/nasional/20170319142944-12-201165/kinerja-komnas-ham-soal-tragedi-1965-mengecewakan-korban/

Menanti Langkah Konkret Pemerintah soal Penuntasan Tragedi 1965

Kristian Erdianto
Kompas.com - 19/03/2017, 19:43 WIB
 
Perwakilan dari International Peoples Tribunal (IPT) 1965, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Komnas Perempuan kembali mempertanyakan komitmen pemerintah dalam menyelesaikan kasus peristiwa 1965 dalam konferensi pers di kantor Komnas Perempuan, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (19/3/2017).(KOMPAS.com/Kristian Erdianto)
 
JAKARTA, KOMPAS.com - International People's Tribunal (IPT) 1965, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Komnas Perempuan kembali mempertanyakan komitmen pemerintah dalam menyelesaikan kasus peristiwa 1965.

Pasalnya, hingga saat ini pemerintah dinilai belum membuat langkah konkret terkait penuntasan kasus 1965.

Padahal, janji tersebut tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019 melalui pembentukan Komite Kepresidenan untuk Pengungkapan Kebenaran dan Reparasi Korban 1965.

Hari Wibowo dari IPT 1965 mengatakan, sejak putusan Sidang Mahkamah Rakyat Internasional bagi kejahatan kemanusiaan 1965-1966 pada Juli 2016, ada dua tuntutan yang sudah disampaikan kepada Komnas HAM.

Dua tuntutan itu yakni melakukan penyelidikan lanjutan atas fakta yang diungkap dalam persidangan dan memproteksi 120 titik kuburan massal yang berhasil ditemukan.

"Kami berikan data itu kepada Komnas HAM dengan harapan mereka mengambil langkah untuk memproteksi secara menyeluruh dan melakukan penyelidikan lanjutan terhadap kasus HAM masa lalu, termasuk kasus peristiwa 1965," ujar Hari dalam konferensi pers di kantor Komnas Perempuan, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (19/3/2017).

"Logika hukumnya temuan baru harus ditindaklanjuti. Harus ada penyelidikan lanjutan oleh Komnas HAM," ucapnya.

Pada kesempatan yang sama Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin mengatakan, dalam kasus peristiwa 1965 telah terjadi kekerasan berbasis gender yang dialami oleh kaum perempuan.

Suara korban, khususnya kaum perempuan yang mengalami pemerkosaan, nyaris tidak terdengar. Sebab, sejak 1965 korban selalu mendapat tekanan dari negara, sehingga mereka tidak bisa mengungkapkan kekerasan yang dialami selama puluhan tahun.

Oleh karena itu, Mariana mendesak pemerintah segera menuntaskan kasus peristiwa 1965 melalui pengungkapan kebenaran dan pemulihan hak-hak korban.

"Suara mereka nyaris tidak terdengar. Pengungkapan kebenaran harus dilakukan oleh negara," ucap Mariana.

Sementara itu, aktivis perempuan sekaligus perwakilan IPT 1965, Dolorosa Sinaga menilai, pasca-Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 yang diselenggarakan oleh Kemenko Polhukam, pemerintah tidak berani menyelesaikan kasus 1965 secara tuntas.

Hal tersebut, kata Dolorosa, terlihat dari keengganan pemerintah mengumumkan hasil rekomendasi simposium nasional.

"Setelah simposium, negara tidak berani mengungkapkan hasil rekomendasi. Hingga saat ini hasil simposium berupa rekomendasi tidak kunjung diumumkan," ujar Dolorosa.

Jalan panjang 

Proses penuntasan kasus peristiwa 1965 mulai diinisiasi oleh pemerintah saat menyelenggarakan Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 di Jakarta, pada 18 hingga 19 April 2016 lalu.

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan yang menjadi penyelenggara saat itu dijabat oleh Luhut Binsar Pandjaitan.

Dalam simposium tersebut muncul berbagai fakta yang diungkapkan, baik oleh korban, keluarga korban, para pakar, dan pendamping korban.

Menurut para pakar yang hadir sebagai panelis, tragedi 1965 bukan merupakan hasil dari konflik horizontal melainkan konflik vertikal di mana negara memiliki tanggung jawab di dalamnya.

Menurut akademisi Ariel Heryanto, terlihat dari tiga indikator, yakni rentang waktu peristiwa pembunuhan massal 1965 yang berlangsung selama berbulan-bulan, jumlah korban yang begitu banyak, dan wilayah peristiwa yang meluas.

Dari sejumlah testimoni korban terungkap bahwa teror kepada korban dan keluarga korban masih terus berlangsung hingga saat ini. Selama berpuluh tahun korban dan keluarganya terus hidup dalam ketakutan dan perasaan tidak aman.

Selain itu, perlakuan diskriminatif juga kerap diterima oleh korban, baik secara sosial dan kultural. Akibatnya, hak-hak sebagai warga negara yang seharusnya merea rasakan tidak bisa dinikmati secara utuh.

Melalui simposium itu pula mereka mengajukan tuntutan kepada pemerintah agar hak-hak dasar mereka dipenuhi.

Ilham Aidit, anak dari petinggi PKI Dipa Nusantara Aidit, mengatakan bahwa jika pemerintah berniat menyelesaikan persoalan tragedi 1965 melalui jalur rekonsiliasi, maka harus melakukan empat hal.

Ia menegaskan setidaknya ada pengakuan resmi dari pemerintah atas pembunuhan massal yang terjadi terkait dengan pelurusan sejarah, permintaan maaf, pemenuhan hak-hak korban atas rehabilitasi dan reparasi, serta jaminan tidak berulangnya peristiwa serupa di masa depan.

"Jika meminta maaf itu hal yang sangat susah, paling tidak rehabilitasi sudah pantas diberikan kepada korban. Paling tidak kami bisa katakan bahwa kami bukan orang-orang yang salah, tapi orang-orang yang dipersalahkan. Selama ini kami dianggap orang berdosa dan bersalah sepanjang hidupnya. Itu berat sekali," ujar Ilham.

Namun, hingga kini hasil rekomendasi simposium nasional tersebut belum diumumkan oleh pemerintah sebagai pijakan dari upaya rekonsiliasi.
Penantian para keluarga korban dan korban terhadap tuntutan mereka pun terasa semakin bertambah panjang.  

Penulis: Kristian Erdianto
Editor: Bayu Galih
 
http://nasional.kompas.com/read/2017/03/19/19430971/menanti.langkah.konkret.pemerintah.soal.penuntasan.tragedi.1965