HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Selasa, 30 April 2019

Sejarah Nasakom: Upaya Sukarno Menyatukan Tiga Kekuatan Politik

Oleh: Iswara N Raditya - 30 April 2019


Presiden Indonesia Sukarno (kanan), memegang pundak Ketua Partai Komunis Indonesia D. N. Aidit ketika Sukarno memuji Aidit saat rapat umum di Stadion Olahraga Merdeka Jakarta, 23 Mei 1965. Mereka merayakan ulang tahun PKI, Partai Komunis Indonesia. AP Photo 


Mohammad Hatta mengundurkan diri dari jabatan wapres karena Sukarno menghendaki Demokrasi Terpimpin dan Nasakom.

Konsep Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom) dicetuskan oleh Sukarno. Rumusan ini mewakili tiga pilar utama yang menjadi kekuatan politik bangsa Indonesia, sejak era pergerakan nasional hingga pasca-kemerdekaan.

Beberapa waktu lalu, Hanum Rais sempat menyinggung mengenai Nasakom melalui akun media sosialnya. Putri Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) ini mengomentari pemberitaan tentang Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dengan istilah tersebut. 
"Partai NasaKom. Bukan Nasional Komunis lho. Tapi Partai Nasib Satu Koma," cuit Hanum di Twitter, Kamis (24/4/2019).
Nasakom sendiri menjadi ciri khas era Demokrasi Terpimpin yang berlangsung pada 1959 hingga 1965. Namun, gagasan ini ternyata sudah dipikirkan oleh Sukarno jauh sebelum itu, yakni pada 1926. Dalam artikelnya di surat kabar Soeoleh Indonesia Moeda, Sukarno menulis:
“Dengan jalan yang kurang sempurna, kita mencoba membuktikan bahwa paham Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme itu dalam negeri jajahan pada beberapa bagian menutupi satu sama lain,” tulis Sukarno.
“Nasionalisme, Islam, dan Marxisme, inilah asas-asas yang dipegang teguh oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi rohnya pergerakan-pergerakan di Asia. Rohnya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia kita ini,” lanjutnya.
Sukarno muda menilai ada tiga aliran politik yang menjadi pilar pergerakan nasional dalam kehidupan bangsa pada zaman kolonial Hindia Belanda kala itu. Pertama adalah kelompok nasionalis yang diwakili Indische Partij (IP), kedua golongan muslimin yang mewujud dalam Sarekat Islam (SI), dan ketiga Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan ideologi marxisme.

Tiga dekade berselang, tepatnya 1956 atau 11 tahun setelah Indonesia merdeka, Bung Karno mengumandangkan kembali gagasan yang pernah dilontarkannya pada 1926 itu. Ia mengkritik sistem Demokrasi Parlementer yang dianggapnya tidak cocok diterapkan di Indonesia. 

Dikutip dari buku Demokrasi untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta (2010) karya Zulfikri Suleman, Demokrasi Parlementer melindungi sistem kapitalisme –karena menurut Sukarno, parlemen dikuasai oleh kaum borjuis– dan oleh karenanya tidak akan bisa memakmurkan rakyat.
Tak hanya itu, Bung Karno juga menganggap sistem Demokrasi Parlementer juga bisa membahayakan pemerintahan.
“Di dalam Demokrasi Parlementer, tiap-tiap orang bisa menjadi raja, tiap-tiap orang bisa memilih, tiap-tiap orang bisa dipilih, tiap-tiap orang bisa memupuk kekuasaan untuk menjatuhkan menteri-menteri dari singgasananya,” sebutnya.
Maka, pada Februari 1956, Sukarno mengusulkan konsep baru yang disebutnya Demokrasi Terpimpin dengan berpondasi kepada tiga pilar utama: Nasakom.

Rosihan Anwar dalam In Memoriam: Mengenang yang Wafat (2002) mengungkapkan, konsep Demokrasi Terpimpin dan Nasakom ditentang oleh Mohammad Hatta, sang wakil presiden.

Menurut Rosihan, Nasakom berarti bekerja sama dengan PKI dan Hatta kurang cocok dengan itu.

Bagi Hatta, Demokrasi Terpimpin membuat kekuasaan negara kian terpusat kepada sosok presiden, dan itulah yang memang terjadi. Syafii Maarif dalam Demokrasi dan Nasionalisme: Pengalaman Indonesia (1996) menyebut, Hatta mundur dari kursi wakil presiden karena Sukarno semakin otoriter.

Dwitunggal pun akhirnya tanggal. Dua sosok proklamator berpisah jalan.
Hatta menepi, Sukarno semakin kokoh di puncak kekuasaan. Taktik Politik Sukarno Sepeninggal Hatta, Sukarno semakin leluasa mengkampanyekan konsep Nasakom-nya.

Dengan sistem Demokrasi Terpimpin, Bung Karno menyatukan tiga kekuatan politik dengan tujuan untuk semakin memperkuat posisinya. Nasakom memang menjadi tiga faksi utama dalam perpolitikan Indonesia kala itu.

Ada partai-partai politik berhaluan nasionalis terutama Partai Nasional Indonesia (PNI) besutan Sukarno, termasuk kalangan militer, ada kelompok Islam macam Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU), serta golongan kiri yang dimotori PKI. Tak berhenti di situ. Sukarno bahkan menyatakan bahwa Nasakom merupakan perwujudan Pancasila dan UUD 1945 dalam politik.

Dalam pidatonya pada peringatan hari kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1961, sang penguasa berucap lantang: 
“Siapa yang setuju kepada Pancasila, harus setuju kepada Nasakom; siapa yang tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada Pancasila,” seru Sukarno dikutip dari buku Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (2004) yang ditulis oleh Jan S. Aritonang.
Sukarno melanjutkan, “Sekarang saya tambah: Siapa setuju kepada Undang-Undang Dasar 1945, harus setuju kepada Nasakom; Siapa tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada Undang-Undang Dasar 1945.”

Kampanye Nasakom bahkan dibawa Bung Karno hingga ke forum internasional. Dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 30 September 1960 di New York, Amerika Serikat, Sukarno menyampaikan pidato bertajuk “To Build The World a New”.
“Sukarno menawarkan sebuah konsep tata dunia yang baru. Sukarno ketika itu merangkum konsepsi politiknya sebagai Nasakom: Nasionalisme, Agama, Komunisme,” sebut Bernhard Dahm, periset senior yang telah banyak meneliti tentang sejarah Asia Tenggara dan Indonesia, dalam wawancara dengan dw.com.
“Pemahaman Komunisme di sini adalah sebagai Sosialisme, karena dasar pemikirannya adalah prinsip keadilan sosial, yang juga menjadi dasar pemikiran politik Karl Marx,” imbuh profesor berdarah Jerman kelahiran Sumatera ini.
“Jadi, Sukarno yakin bahwa perbedaan dan perpecahan dunia dalam persaingan ideologis saat itu bisa dijawab dengan menghormati nasionalisme, agama dan prinsip sosialisme,” tambah Dahm.
Selanjutnya, dalam Sidang Panca Tunggal Seluruh Indonesia yang digelar di Istana Negara, Jakarta, tanggal 23 Oktober 1965, Sukarno lagi-lagi menegaskan tentang pentingnya Nasakom. 
“Ik ben nasionalist, ik ben islamiet, socialist. Tiga in one. Three in one [... ] Aku adalah perasan daripada Nasakom,” kata Bung Karno.
Ini disampaikan Sukarno bahkan ketika pengaruhnya mulai luruh dan pamor PKI hancur akibat Gerakan 30 September (G30S) 1965. Tapi, sekuat apapun Bung Karno mempertahankan Nasakom-nya, rumusan ini akhirnya kandas juga seiring peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru pimpinan Soeharto yang sangat anti-komunis.

Penulis: Iswara N Raditya Editor: Nuran Wibisono


Bung Karno menyatukan tiga kekuatan politik dengan tujuan untuk semakin memperkuat posisinya

Source: Tirto.Id 

Kisah Holocaust untuk Generasi Media Sosial


Oleh Isabel Kershner* - 30 April 2019

Sebuah papan iklan di Tel Aviv untuk "Eva Stories," sebuah proyek pendidikan Holocaust. KreditKreditDan Balilty untuk The New York Times

JERUSALEM - Posting Instagram remaja ini mulai dengan cukup menyenangkan. Eva Heyman, yang baru saja mendapatkan tumit pertama untuk ulang tahunnya yang ke-13, memfilmkan dirinya makan es krim di taman. Ada juga remaja yang naksir.

Tapi semuanya dengan cepat berubah menjadi gelap.

Akun Instagram Eva, berdasarkan buku harian yang disimpan oleh Eva Heyman yang asli pada tahun 1944, akan ditayangkan Rabu sore untuk dimulainya Hari Peringatan Holocaust Martir dan Peringatan Heroes di Israel.

Dalam 70 episode singkat, seorang aktris Inggris yang memerankan Eva mengajak pengikut dalam perjalanan Holocaust-nya: kehidupan praperang borjuis yang bahagia terganggu oleh invasi Nazi ke kota asalnya di tempat yang dulu Hongaria; keluarganya dipaksa pindah ke kekacauan sempit ghetto; dan kereta penuh yang akhirnya membawanya ke Auschwitz, kamp kematian Nazi yang darinya dia tidak pernah kembali.

Sebuah ciptaan Mati Kochavi, seorang eksekutif teknologi Israel, dan putrinya Maya, " Eva Stories " adalah upaya inovatif, jika provokatif, untuk melibatkan para milenium pasca-kait dalam pendidikan Holocaust dan kenangan sebagai generasi terakhir dari para korban yang sekarat. . Kochavis mengatakan, proyek itu menelan biaya beberapa juta dolar untuk diproduksi.
"Memori Holocaust di luar Israel menghilang," kata Mr Kochavi dalam sebuah wawancara. “Kami pikir, mari kita lakukan sesuatu yang sangat mengganggu. Kami menemukan jurnal itu dan berkata,
"Mari kita asumsikan bahwa alih-alih pena dan kertas Eva punya telepon pintar dan mendokumentasikan apa yang terjadi padanya. "Jadi kami membawa smartphone ke 1944.”
Buzz di sekitar proyek sangat intens. Bahkan sebelum akun Instagram fiksi diaktifkan, ia memiliki lebih dari 200.000 pengikut, hasil dari kampanye pemasaran yang agresif yang melibatkan papan iklan dan promosi online oleh para influencer media sosial selebriti. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mendukung proyek ini pada hari Senin.

Tetapi badai kritik telah muncul di Israel atas penggunaan apa yang disebut budaya selfie dan bahasa visualnya - penuh dengan tagar, stiker dan emoji - untuk mencoba menyampaikan kengerian Holocaust, di mana enam juta orang Yahudi dibunuh.

Daring, beberapa warga Israel menuduh Kochavis menyepelekan dan merendahkan Holocaust, menyebut versi Instagram sebagai penghinaan terhadap kecerdasan anak muda masa kini. Mengolok-olok konsep itu, banyak yang bertanya bagaimana Eva - yang, dalam buku hariannya, mendokumentasikan malam-malam gelap di ghetto tanpa listrik - mungkin mengisi daya teleponnya.
"Pertama-tama, kita berbicara tentang tampilan rasa tidak enak," Yuval Mendelson, seorang musisi dan guru kewarganegaraan, menulis dalam sebuah op-ed di surat kabar Haaretz.  
“Kedua, dan jauh lebih buruk, akan ada konsekuensinya. Jalan dari 'Eva's Story' ke selfie-taking di gerbang Auschwitz-Birkenau pendek dan curam, dan pada akhirnya semua tut-tutters dan head shaker akan bergabung untuk memberi tahu kami tentang pemuda yang hilang dan terputus, tanpa nilai. dan tak tahu malu. "
Yad Vashem, pusat peringatan resmi Holocaust Israel, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka tidak memiliki pengetahuan tentang proyek selain yang diterbitkan oleh kampanye pemasarannya.
"Yad Vashem percaya bahwa penggunaan platform media sosial untuk memperingati Holocaust adalah sah dan efektif," katanya dalam sebuah pernyataan.
"Yad Vashem aktif dan melibatkan masyarakat dalam berbagai saluran media sosial termasuk Instagram meskipun dengan gaya dan cara yang berbeda," pernyataan itu melanjutkan.  "Posting Yad Vashem tidak hanya berisi materi otentik dan fakta berdasarkan sejarah, kami memastikan bahwa isinya relevan dengan publik sekaligus menghormati topik tersebut."

Mati Kochavi, seorang eksekutif teknologi Israel, pusat, dan putrinya Maya, di kantor mereka di Herzliya, Israel. KreditDan Balilty untuk The New York Times

Dalam presentasinya sendiri untuk Hari Peringatan Holocaust, Yad Vashem telah mengunggah pameran online yang disebut " Surat Terakhir Dari Holocaust: 1944 ," sebuah pilihan korespondensi akhir korban Holocaust dengan keluarga dan teman.

Mr Kochavi, yang mengatakan dia telah menginvestasikan "kurang dari $ 5 juta" dalam proyek nirlaba, mengatakan dia telah memutuskan dimuka untuk tidak melibatkan pemerintah atau lembaga resmi. 
"Karena di Israel, Holocaust adalah topik suci," katanya. "Saya tidak ingin menghadapi mereka dengan proyek ini dan meminta mereka mengatakan tidak."
Menanggapi kritik terhadap penggunaan Instagram untuk menceritakan kisah Eva, dia berkata: 
"Mengapa tidak sopan? Begitulah cara orang berkomunikasi. Saya tidak ragu dalam pikiran saya bahwa orang-orang muda di seluruh dunia ingin memiliki konten serius dan terhubung dengan cara yang benar. "
Ms Kochavi, yang tinggal di New York dan Tel Aviv, mengatakan "banyak gerakan serius terjadi di media sosial." Dia mengatakan dia dan ayahnya telah bekerja keras untuk membuat pengalaman Instagram otentik dan nyata, dengan tagar dan keterangan, sambil berusaha untuk "menjaga rasa hormat."

Eva Heyman dilahirkan dalam keluarga sekuler kelas menengah di Nagyvarad, sebuah kota yang kemudian memiliki 100.000 penduduk, seperlima dari mereka adalah orang Yahudi. Dia tinggal bersama kakek-neneknya setelah orang tuanya bercerai. Dia menjadi subjek yang sempurna untuk proyek Instagram: Dia bermimpi menjadi seorang fotografer berita dan mulai menulis buku hariannya pada hari ulang tahunnya yang ke-13, 13 Februari 1944.

The Kochavis membaca sekitar 30 buku harian yang ditulis oleh para remaja selama Holocaust sebelum menyelesaikan Eva, karena ada "sesuatu yang sangat modern dan menyenangkan" tentangnya, kata Mr Kochavi.

Holocaust terjadi terlambat dan cepat di Hongaria, dengan hanya tiga bulan antara invasi Jerman pada tahun 1944 dan deportasi massal lebih dari 400.000 orang Yahudi ke Auschwitz - tragedi bersejarah yang ditelusuri dalam teleskop menjadi lebih dari 100 hari.

"Eva Stories" difilmkan selama tiga minggu di Ukraina, dan 400 orang terlibat dalam produksi. The Kochavis bersumber dari tank, truk dan motor dari periode untuk adegan invasi. Mereka mengembangkan kamera yang bisa dipegang oleh aktris itu seperti telepon.

Dalam buku hariannya, Eva memberikan ekspresi jelas pada rahasia, harapan, dan ketakutannya saat dunianya menyusut. Segera setelah invasi Jerman, orang-orang Yahudi dipaksa untuk memakai bintang kuning dan hanya diizinkan keluar selama satu jam sehari, antara jam 9 pagi dan jam 10 pagi.

Ketika polisi datang ke rumah Eva untuk mengirim keluarganya ke ghetto, dia menulis: "Segala sesuatu terjadi seperti di film." Sesampainya di sana, dia menggambarkan pemberitahuan yang ditempel di setiap rumah dengan aturan dan larangan.
"Sebenarnya," tulisnya, "semuanya dilarang, tetapi yang paling mengerikan dari semuanya adalah hukuman untuk semuanya adalah kematian."
Buku harian Eva berakhir pada 30 Mei 1944, beberapa hari sebelum deportasinya. Kochavi mengatakan, kisah-kisah Instagram dari kereta didasarkan pada deskripsi yang didengar Eva di ghetto dan dimasukkan dalam jurnalnya.

Eva terbunuh di Auschwitz pada 17 Oktober 1944, satu dari 1,5 juta anak yang terbunuh dalam Holocaust. Ibunya, Agnes Zsolt, selamat dari Holocaust dan menemukan buku harian itu ketika dia kembali ke Nagyvarad. Dia akhirnya bunuh diri.

Pada hari Kamis pagi, ketika sirene meraung-raung di seluruh Israel, membuat negara itu terhenti di saat kenangan dan duka bersama, kisah Instagram Eva akan berakhir.

Versi artikel ini muncul di media cetak 1 Mei 2019, Pada Halaman A 4 dari edisi New York dengan judul: Holocaust Cerita untuk Media Generasi Sosial 

Senin, 29 April 2019

Pelajar SMK Produksi Film Pendek Tragedi ‘65


Senin, 29 April 2019 22:15


Banjarnegara, NU Online - Pelajar di bawah fasilitasi Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga kembali memproduksi film bertema tragedi ’65. Tahun ini SMK HKTI 2 Purwareja Klampok, Kabupaten Banjarnegara.

Di bawah bendera ekstrakulikuler sinematografi Hika Production memproduksi fiksi pendek berjudul Buruyang pengambilan gambarnya dilaksanakan pada Sabtu-Ahad, 27-28 April 2019 di wilayah Kecamatan Susukan dan Purwareja Klampok.

Sutradara Supangat mengatakan, selain harus mempelajari literasi dan referensi tentang sejarah Indonesia tahun 1965, ia dan teman-temannya juga menyiapkan set film dengan latar tahun 1979. 
“Berat memang, tapi kami jadi berkesempatan belajar banyak hal, yang bahkan tidak kami pelajari di sekolah,” ujar siswa kelas X jurusan Teknik Komputer Jaringan (TKJ).
Film Buru yang saat ini sedang masuk paskaproduksi berkisah tentang pemuda bernama Kodri. Selain dikenakan wajib lapor sepekan dua kali ke Koramil, pemuda yang sempat menjadi anggota organisasi Pemuda Rakyat, setelah bebas dan pulang dari Pulau Buru masih diawasi, dicurigai, bahkan disepelekan.

Sebelum diasingkan ke Pulau Buru, Maluku, Kodri rajin beribadah dan mengajar anak-anak mengaji. Pun setelah pulang dari Pulau Buru, bedanya, ia mengajar mengaji anak-anak di langgar sambil diawasi tentara.

Sampai akhirnya, Kodri yang hanya tinggal bersama ibunya, bertemu Daryo, teman lama sesama bekas tahanan politik di Koramil saat wajib lapor. Bahkan Daryo meminta Kodri menikahi Sri, adiknya. Kodri tak menolak tawaran Daryo setelah mendapat restu ibunya.

Meski semestinya hidup bahagia dengan Sri yang sedang mengandung, namun hidup Kodri tampak semakin berat. Bukan karena beban ekonomi, tapi kekhawatiran dan kecemasan yang terus membayangi sebagai eks-tapol. 

Menurut Taufik Setyo Pambudi, dalam memerankan tokoh Kodri, ia juga harus ikut membaca literasi yang dipelajari para kru selain menonton beberapa film pendek tema ’65 yang memang tidak banyak. “Pada dasarnya, saya senang dunia akting, makanya ketika lolos casting, saya menjadikan peran ini sebagai tantangan,” ujar pria yang pernah belajar teater saat SMA.

Produser yang juga guru pembina ekskul sinema Anggiriani Agustin Puspitasari mengatakan skenario film ini ditulis dari kisah nyata seorang mantan tapol dari Purbalingga. 
“Ketika saya tawarkan pada anak-anak, mereka antusias dan menyatakan berani memfilmkan. Ya masa saya takut? Lagi pula, sekolah juga mendukung,” tutur guru pengampu pelajaran seni tari ini.
Film yang direncanakan berdurasi 15 menit ini, dipersiapkan untuk diikutkan pada program Kompetisi Pelajar se-Banyumas Raya Festival Film Purbalingga (FFP) 2019 yang akan digelar pada 6 Juli – 3 Agustus 2019. (Red: Abdullah Alawi)

May 2019: Satukan Kekuatan Rakyat, Lawan Politik Oligarki, Bangun Alat Politik Rakyat


Penulis Redaksi KSN - April 29, 2019

Konferensi Pers GEBRAK di Gedung LBH (29/04). Foto: GEBRAK, 2019

Siaran Pers: Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK)

Pada tanggal 1 MEI 2019 nanti, 20 ribu massa GEBRAK di Jabotabek dan Banten (dan ratusan ribu buruh lainnya di seluruh Indonesia) akan turun ke jalan, memperingati Hari Buruh Internasional. Di Jakarta, aksi ini akan dimulai dari Bundaran Hotel Indonesia dan long march menuju Istana Negara.

Nining Elitos, Ketua Umum KASBI mengatakan “ MAY DAY 2019 adalah momentum yang sangat penting untuk menyatukan kekuatan rakyat. Di mana saat ini, kaum buruh dan rakyat Indonesia sedang terpecah oleh sentimen-sentimen rasis dan fanatisme selama proses pemilu kemarin. Padahal, siapa pun pemenang pemilu presiden dan siapa pun yang mendominasi pemilu legislatif, tak akan membawa perubahan besar bagi rakyat. Kita secara tegas menolak sentimen-sentimen rasisme, mengecam tindakan-tindakan pemaksaan kehendak berdasar isu-isu Agama atau Ras.”

Pernyataan Nining Elitos ini didasarkan pada kenyataan, bahwa kedua kubu yang terlibat dalam pemilihan Presiden, komposisi kekuatan politik yang paling menentukan adalah kekuatan politik pemodal, dan bahkan banyak di antaranya yang bisnisnya saling berhubungan walaupun berbeda kubu politik pilpres ataupun berbeda partai politiknya. Juga berdasarkan kenyataan, semakin maraknya, pemaksaan kehendak sekelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat lainnya dengan menggunakan isu SARA, bahkan dengan dalih UU.

Nining juga menegaskan “bahwa kaum buruh di Indonesia adalah bagian dari kaum buruh dan rakyat dunia. Oleh karena itu, penting bagi kaum buruh Indonesia untuk memberikan dukungan dan solidaritas bagi perjuangan rakyat di belahan dunia lain. Kita harus memberikan dukungan bagi perjuangan Rakyat Palestina dalam melawan penjajahan Israel.

Demikian juga, kita harus memberikan dukungan bagi Rakyat Venezuela yang sedang berjuang melawan Intervensi Amerika Serikat dan sekutunya.“
Lebih jauh, mantan buruh pabrik ini menyatakan “Dalam situasi krisis kapitalis dunia, peperangan di berbagai tempat dan ancaman perang baru yang diprovokasi oleh kekuatan-kekuatan imperialis, maka kaum buruh dan rakyat sedunia harus semakin mempererat solidaritas, memperkuat persatuannya dan bersama-sama menyerukan hentikan perang yang mengorbankan rakyat.“

Sementara itu, Ilhamsyah, Ketua Umum KPBI dalam kesempatan yang sama menyatakan “ Selama lima tahun pemerintahan Jokowi, tidak terlihat kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi yang membela kepentingan kaum buruh dan rakyat kecil. Di pihak oposisi pun, tak ada yang sungguh-sungguh berjuang bersama kaum buruh dan rakyat kecil. PHK massal semakin marak terjadi dan ke depan.”

Terkait itu, Ilhamsyah menambahkan bahwa “menjelang Idul Fitri, biasanya akan terjadi lagi gelombang PHK massal yang dilakukan pengusaha untuk menghindari pembayaran THR. Sementara Pemerintah, DPR, Partai Politik, Aparat Penegak Hukum hanya diam saja.”

Dalam bulan-bulan belakangan ini, aksi-aksi buruh menolak PHK massal memang banyak terjadi. Seperti aksi Awak Mobil Tanki Pertamina ( AMT Pertamina), aksi buruh PT Freeport, aksi buruh PT Dada Purwakarta, aksi buruh PT SI Tuban. PHK akibat relokasi pun marak terjadi. Misalnya yang terjadi di Sukabumi, yaitu PT Prima Sukses, PT Sentosa Utama Garmindo, PT PT Star Comgistik Indonesia, PT Anugrah dan PT Muara Griya Lestari.

Aktivis 98 tersebut, yang hingga kini masih terus berada dalam barisan perjuangan rakyat, juga menambahkan, “selain PHK massal, kesejahteraan kaum buruh Indonesia pun semakin menurun. Penggunaan hubungan kerja fleksibel seperti outsourcing, sistem kerja kontrak berkepanjangan dan sistem magang telah memukul hak-hak buruh untuk mendapatkan kesejahteraannya.

Lebih lanjut, Ia menjelaskan bahwa “bersamaan dengan itu, PP 78/2015 tentang upah minimum juga telah menekan upah buruh Indonesia secara drastis. Oleh karena itu, dalam MAY DAY 2019 ini, kita pun semakin keras menyuarakan tuntutan-tuntutan terkait kesejahteraan buruh tersebut.“
MAY DAY 2019, rupanya bukan saja menjadi momentum bagi kaum buruh saja untuk menyuarakan tuntutan-tuntutannya, sebab dalam barisan Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) terlibat juga barisan kaum tani.

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria, Dewi Kartika–yang juga merupakan salah seorang panelis dalam debat Capres ke II, menyatakan “bahwa persoalan-persoalan kaum buruh, erat kaitannya dengan persoalan kaum tani, demikian juga sebaliknya. Salah satu penyebab kenapa kaum buruh semakin rendah posisi tawarnya adalah akibat semakin banyak perampasan tanah di desa-desa yang dilakukan negara dan atau perusahaan-perusahaan besar.

Dewi Kartika menambahkan, bahwa “rakyat di desa, banyak yang kemudian ke kota–bersaing dengan angkatan kerja lainnya, untuk menjadi buruh. Selain itu, tingkat kesejahteraan petani di desa yang tak bisa menjamin masa depan kaum tani, juga membuat para pemuda desa untuk migrasi ke kota-kota besar.“

Lebih jauh menurut Dewi, “akan hadir sekitar 1000 petani dari wilayah Jabotabek dan Banten dalam MAY DAY nanti. Dan bersama-sama dengan kaum buruh, kami juga akan menyuarakan agar perampasan tanah, konflik agraria dan kriminalisasi kaum tani untuk segera dihentikan.“

Selain kaum tani, ratusan pelajar dan mahasiswa juga akan turut bergabung. Salah satu kelompok pelajar yang akan turun adalah Aliansi Pelajar Jakarta (APJ). Perwakilan APJ, menyampaikan “sebagai pelajar, adalah penting untuk mulai terlibat dalam gerakan perlawanan. Apalagi ini adalah MAY DAY, Hari Buruh Internasional.”

Menurut Perwakilan APJ tersebut, “orang tua kami adalah pekerja, dan mereka harus bekerja sangat keras agar kami bisa sekolah karena biaya sekolah kami mahal, sementara gaji orang tua kami tidak banyak. Kami juga sekarang ini, didorong untuk ikut dalam program magang, yang kelihatannya sebagai program pelatihan, tapi kenyataannya banyak teman-teman kami yang malah bekerja layaknya buruh, tapi tidak mendapatkan hak layaknya para buruh “

Di samping persoalan-persoalan di atas, Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) juga mengeluarkan satu seruan bersama, bahwa untuk mengubah keadaan Indonesia, untuk mengubah keadaan kaum buruh dan rakyat kecil, maka rakyat harus membangun organisasinya sendiri.

Perlawanan akan jauh lebih kuat, jika semua lapisan rakyat kecil membentuk organisasi-organisasi perlawanan. Lebih lanjut GEBRAK juga menyerukan kepada seluruh kekuatan rakyat yang saat ini sudah terorganisir, untuk segera menyatukan diri dalam sebuah agenda pembangunan kekuatan politik rakyat, sebuah partai politik rakyat.

Setelah MAY DAY, GEBRAK akan mengupayakan sebuah agenda konsolidasi antar gerakan rakyat, untuk bersama-sama membicarakan rencana kerja-kerja pembangunan alat politik rakyat ini, sebab jika kekuatan oligarki telah mendominasi semua kekuatan politik hari ini, menguasai lembaga-lembaga negara, menguasai aparatus penegak hukum dan bahkan militer, maka tidak ada jalan lain, rakyat Indonesia pun harus bersatu dalam satu alat politik bersama untuk merebut negara dari cengkeraman oligarki.

Jakarta, 29 April 2019

Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK)
KPBI, KASBI, KSN, SGBN, SPBP JARKOM PERBANKAN, SP DANAMON, SP JHONSON, PERGERAKAN PELAUT INDONESIA (PPI), FPPI, LMND, AKMI, FMK,  SMI, GPPI, SEMAR UI, APJ (Aliansi Pelajar Indonesia), GPMJ, LBH JAKARTA, YLBHI, KIARA, KPA, KPO PRP, MAHARDIKA, BEM JENTERA, BEM ESA UNGGUL, GMNI PRESIDIUM, LIPS, KONTRAS, TURC, SEMPRO, WADAH PEGAWAI WP-KPK, KOMITE PEKERJA FREEPORT,

Juru Bicara :
– Nining Elitos: 0813 1733 1801
– Ilhamsyah: 0812 1923 5552
– Yahya: 0813 1672 4952

Minggu, 28 April 2019

Membaca Kembali Sejarah Gerwani


by Dhianita Kusuma Pertiwi - April 28, 2019

Judul: Gerwani bukan PKI: Sebuah Gerakan Feminisme Terbesar di Indonesia
Penulis: Hikmah Diniah
Tahun: 2017
Penerbit: Carasvati Books
Jumlah halaman: 236

Sebagian besar dari kita, masyarakat Indonesia, terlepas dari angkatan kelahiran tahun berapa, rasanya sudah hapal betul dengan narasi besar tentang Gerwani. Narasi besar yang dimaksud dalam hal ini adalar narasi yang dibentuk dan disokong oleh buku-buku sejarah Nasional dan diajarkan di sekolah-sekolah. Itu merupakan narasi yang sama yang dapat kita dapatkan dengan menonton film Pengkhianatan G30S/PKI. Dan tulisan ini akan membahas sebuah buku yang menawarkan hal yang berbeda dari narasi besar tersebut.

Salah satu poin utama yang ditekankan dari buku ini sejak awal adalah bahwa Gerwani tidak sama dengan PKI. Anggapan yang menyetujui kesamaan atau kemesraan di antara kedua organisasi tersebut tentu saja dibentuk oleh narasi sejarah nasional yang dicecarkan oleh pemerintah melalui berbagai media. Gerwani dan PKI ditempatkan di kubu yang sama, yakni pengkhianat negara yang berupaya menanggalkan keajegan Pancasila dengan tindakan yang keji. Bahkan Gerwani mendapatkan persekusi yang lebih substansial karena narasi Orde Baru menyinggung isu seksualitas dari perkumpulan yang memang dibentuk untuk perempuan tersebut.

Buku ini menyadarkan pembaca bahwa Indonesia sebenarnya pernah memiliki sejumlah organisasi perempuan dengan gerakan yang cukup progresif. Sejak akhir abad ke-19, telah bermunculan tokoh-tokoh perempuan yang menjadi pelopor pembentukan gerakan dengan tujuan yang sangat kontekstual. Tokoh-tokoh tersebut antara lain Dewi Sartika, Rohana Kudus, dan R.A. Kartini. Mereka adalah para perempuan yang sadar dengan permasalahan yang dihadapi kaumnya pada kurun waktu tertentu dan latar belakang budaya tertentu.

Periode tahun 1920-an dan 1930-an yang dibarengi dengan perkembangan pergerakan nasionalis untuk melawan kolonialisme menunjukkan peningkatan pada kemunculan organisasi-organisasi perempuan. Salah satunya adalah Istri Sedar yang nantinya secara ideologis akan menjadi cikal bakal berdirinya Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) yang kemudian berganti nama menjadi Gerwani. Penjabaran lini masa sejarah organisasi perempuan yang pernah ada di Indonesia dalam buku ini disajikan dengan ringkas dan mudah untuk dipahami.

Sejumlah organisasi perempuan memainkan peran penting dalam perjuangan pencapaian kemerdekaan Indonesia. Organisasi-organisasi tersebut kebanyakan membentuk sekolah-sekolah partikelir yang dibuka untuk masyarakat lokal. Pemerintah kolonial pada saat itu menetapkan aturan-aturan yang membatasi masyarakat Indonesia bersekolah. Oleh karena itu, organisasi perempuan memainkan peran penting dalam mendorong pendidikan masyarakat Indonesia sampai kemerdekaan.

Sayangnya dua dekade kemudian, keadaan tersebut berubah drastis dikarenakan peristiwa ’65–’66. Ketetapan pemerintah untuk membubarkan partai komunis dan kelompok-kelompok lainnya yang berafiliasi dengan paham komunisme memberikan imbas kepada pergerakan dan organisasi perempuan. Gerwani merupakan salah satu organisasi perempuan yang terkena imbas paling besar dari peristiwa tersebut karena tuduhan afiliasinya dengan partai komunis. Organisasi tersebut dilarang untuk beraktifitas dan beberapa anggotanya ditangkap serta dipenjara sebagai tahanan politik.

Peristiwa tersebut dinilai dalam buku ini sebagai momentum yang bersifat sangat destruktif terhadap perjalanan pergerakan perempuan di Indonesia. Hal ini dikarenakan Gerwani sempat menjadi organisasi perempuan yang progresif pada masanya. ‘Perlawanan’ yang dilakukan oleh Gerwani menyasar sejumlah isu yang terjadi di masyarakat, terutama yang memosisikan perempuan dalam tempat yang kurang menguntungkan, antara lain: praktik poligami, harga kebutuhan rumah tangga yang tinggi, dan pernikahan di usia muda. Pelarangan terhadap organisasi Gerwani disertai dengan stigma komunis oleh pemerintah Orde Baru yang menempatkan kelompok tersebut berafiliasi langsung dengan partai komunis.

Hal tersebut yang ingin dikaji ulang oleh buku ini dengan menjelaskan kembali sejarah dan aktivitas keorganisasian Gerwani. Selain itu, buku ini juga berupaya mematahkan stigma Orde Baru yang sangat kuat terkait partisipasi organisasi perempuan tersebut dalam peristiwa G30S.
Propaganda Orde Baru menarasikan Gerwani sebagai organisasi perempuan sayap kiri yang berafiliasi langsung dengan PKI, atau kelompok perempuan dari partai politik tersebut. Padahal Gerwani tidak terbentuk di bawah PKI dan relasi keduanya sebagai dua organisasi besar sebelum G30S tersebut tidak seperti yang dinarasikan dalam buku-buku sejarah nasional.

Melalui penelusuran arsip-arsip organisasi yang tidak banyak dibahas dalam literatur lain, buku ini memaparkan sejarah dan ideologi Gerwani tanpa embel-embel bersifat menuduh yang selama ini dipropagandakan dan dipelihara sampai hari ini. Oleh karena itu, buku ini merupakan bacaan yang tepat bagi pembaca yang ingin mengetahui hubungan antara PKI dengan Gerwani dan juga aktivitas kelompok tersebut pada masa kejayaannya.

Jumat, 26 April 2019

Sejarah Hidup J.C. Princen, Desertir Belanda yang Mendirikan LBH


Oleh: Petrik Matanasi - 26 April 2019

Hidup J.C. Princen penuh romantika di zaman Revolusi. Dia memilih desersi dari ketentaraan Belanda dan berpihak pada Republik.

Johannes Cornelis Princen. tirto.id/Lugas

Pelarian Princen menyeberang ke kubu Republik adalah kisah terbesar dalam sejarah desersi tentara Belanda di Indonesia. Dan dia merasa bukan satu-satunya desertir di keluarga besarnya. Kakek buyutnya, yang jadi idola Princen, juga desersi dari ketentaraan Belanda.

Sedari belia Johannes Cornelis Princen alias Poncke adalah pemuja kebebasan dan tidak begitu menyukai penderitaan orang lain. Orang semacam dirinya tentu saja membenci wajib militer. Princen pernah kabur ke Perancis dari negaranya demi menghindari tugas-tugas jorok yang menguntungkan politikus dan elite kolonial. Namun akhirnya Poncke terjebak pula dalam pekerjaan kotor itu.

Bersama pemuda lain, Poncke dikapalkan. Salah satu orang yang bersamanya adalah Piet van Straveren, pemuda komunis yang benci pada politik negaranya dan justru mencintai Indonesia. Poncke begitu salut terhadap Piet—yang belakangan punya nama Jawa, Pitojo.

Menyesuaikan Diri dengan Cara Hidup Orang Indonesia Suatu kali, ketika sudah berada di Indonesia, Poncke ada janji pada malam hari dengan seorang perempuan Indonesia di seberang Kebun Raya. Poncke membawakannya sekaleng kornet, karena sedang tidak ada uang.
Setelah 30 menit bertemu, mereka pulang ke tempat masing-masing. Sepulangnya ke barak, terdengar suara tembakan. Bersama kawannya, Poncke ambil Sten gun. Setelah masuk ruangan di barak, Poncke terkejut tapi tidak bisa memperlihatkan apa-apa di hadapan kawan-kawan serdadu Belandanya.
“Kami masuk ke ruangan dan melihat terbaring seorang perempuan bersimbah darah. Ini adalah cewek yang baru saja aku kencani,” aku Poncke dalam autobiografinya, Kemerdekaan Memilih (1995: 62).
Hatinya tersayat-sayat melihat Asmuna, gadis itu. Pemandangan tersebut sangat memilukan dan Poncke merasa betapa menjijikannya kawan-kawan serdadunya. Polisi militer, yang diberitahu bahwa Poncke “ada main” dengan perempuan itu, pun menjemputnya. Salah satu anggota polisi militer bilang, “Hei kamu lebih baik periksakan dirinya. Apa kamu tahu dia berpenyakit sifilis?”
Setelah beberapa waktu di Indonesia, Poncke harus menjalani hukuman penjara karena desersi yang pernah dilakukannya pada 1946. Dia dipenjara di Cipinang (Jakarta Timur) dan Poncol (Cimahi). Ketika di Cimahi, pada 1947, Poncke dengar kabar luar biasa: Piet sudah menyeberang ke Republik.
 Poncke mengaku belum terpikir untuk menyeberang. Setelah bebas, Poncke jadi supir pembantu di Bogor. Selama di Bogor, Poncke mulai bergaul dengan orang-orang Indonesia dan belajar bahasa Indonesia.

Suatu pagi pada 26 September 1948, Poncke ke Jakarta dari Sukabumi dengan menebeng jip militer. Ketika berhenti di Jakarta, Geert Verbeek, si supir, percaya bahwa Poncke hendak menyambangi pacarnya. Poncke rupanya mendatangi kantor Balai Pustaka untuk mencari tahu ke mana dia harus pergi untuk kabur ke pihak Republik. Sri Murtioso, yang merasa Poncke sudah gila, akhirnya memberi dua alamat di Semarang dan uang 25 gulden.

Poncke pun naik kereta ke Semarang. Di alamat pertama, Poncke melihat keragu-raguan, dan akhirnya ke alamat kedua, seorang perempuan anggota Palang Merah. Setelah tinggal bersama di rumah keluarga perempuan ini, Poncke nekat mencari kontak sendiri. Akhirnya dia menemukan pemuda Republik bersenjata, yang membawa Poncke berjalan setengah hari ke pos gerilya. Seorang perwira Republik yang bisa bahasa Belanda pun memeriksanya.

Di sekitar Kudus-Pati, Poncke sempat berada di tengah-tengah perseteruan antara milisi komunis dengan tentara pemerintah, sebelum akhirnya Batalyon Kala Hitam pimpinan Mayor Kemal Idris menguasai keadaan. Poncke pun bebas. Kemal Idris lalu mengirim Poncke ke Kolonel Gatot Subroto di Solo. Gatot Subroto mempercayainya dan akhirnya Poncke diizinkan ke Yogyakarta, seperti yang diinginkannya.

Di Yogyakarta, Poncke melapor ke Mokoginta—yang tidak percaya pada Poncke dan mengerangkengnya. Ketika keadaan kacau karena Belanda menyerbu, Princen bertemu lagi dengan Kemal Idris, yang sekali lagi membebaskannya dari Penjara Wirogunan.
Tak lupa Idris memberinya dua pilihan, “ikut kami (gerilya) di Jawa Tengah atau kembali ke tentara kamu sendiri?” Poncke ikut pilihan pertama. “Ia mulai menyesuaikan diri dengan cara hidup orang Indonesia,” aku Kemal Idris dalam autobiografinya, Bertarung Dalam Revolusi (1997: 114).
Dengan segera Poncke dijadikan perwira batalion. Poncke yang berwajah bule dimanfaatkan untuk mengelabui orang-orang Belanda, demi mendapatkan senjata dari Belanda, salah satunya dengan menyerang penjaga perkebunan. Bahkan Kemal Idris pernah menugaskannya masuk ke Jakarta untuk mengontak orang-orang Republik. Di mata Kemal Idris, Poncke orang yang kocak. Waktu lewat sungai berkali-kali terpeleset. Kemal geli melihat Poncke memaki-maki Tuhan dalam bahasa Belanda karena kesulitan yang dihadapinya.

Di dalam perjalanan gerilyanya, Poncke lagi-lagi terlibat asmara. Kali ini dengan Nyi Odah. Mereka bahkan menikah. Odah ikut bergerilya. Poncke sebentar bahagia bersama Odah, sebab istrinya itu harus mati muda, terbunuh oleh peluru tentara Belanda.

Setelah gencatan senjata, Poncke yang sudah kehilangan istri akhirnya menulis surat ke ibunya. Menceritakan pelariannya dari kesatuan tentara Belanda dan memilih bergabung dengan tentara Republik. Juga tentang tentara Belanda yang mengejarnya. Tak lupa, Poncke menuliskan nama barunya, Sasmita Atmadja. Dirinya ikut serta dalam menangkal Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) pimpinan Westerling.


Dari Politikus sampai Pendiri LBH Setelah Tentara Belanda angkat kaki, Poncke memilih keluar dari TNI. Dia jadi orang bebas lagi. Dia berkelana dengan sepeda motor BSA. Sebagai jomblo.
“Menurut kebiasaan seorang laki-laki ganteng tak bisa terus menerus hidup melajang,” aku Poncke dalam autobiografinya (hlm. 142).
Setelah itu kawinlah dia dengan Eddah. Lalu dia dapat pekerjaan sebagai kepala screening tentara Belanda yang ingin tinggal di Indonesia. Usai Pemilu 1955, dia terpilih menjadi anggota parlemen sebagai wakil golongan asing. Saat itu dia aktif di partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) atas ajakan A.H. Nasution.

Sejak zaman Sukarno, Poncke jadi orang kritis kepada penguasa. Baik di Orde Lama maupun Orde Baru. Meski dikenal sebagai sosok yang anti-komunis, Poncke masih punya hati dan begitu risih dengan pembantaian massal pasca-1965 di Purwodadi. Poncke lalu menulis laporan soal pembantaian tersebut.

Laporan itu bukannya diseriusi, tapi membuat Poncke dituduh komunis. Sudah menjadi “hukum tak tertulis Orde Baru” bahwa semua yang berseberangan dan menjelek-jelekan Orde Baru maka dia akan dicap komunis. Sebelum tutup usia pada 2002, Poncke dikenal sebagai aktivis HAM. Dia menjadi salah satu pembela orang-orang yang dianggap bersalah dalam kasus Tanjung Priok.
“Dalam bidang advokasi hukum, Princen juga meletakkan peran rintisan. Pada masa awal Orde Baru, 1971, bersama sejumlah tokoh, Princen mendirikan LBH (Lembaga Bantuan Hukum),” tulis R. Eep Saefulloh Fatah dalam Membangun oposisi: agenda-agenda perubahan politik masa depan (1999: 79).
Penulis: Petrik Matanasi Editor: Ivan Aulia Ahsan

“Saya Bukan Kriminal”


Oleh: Andre Barahamin | 26 April 2019

Ilustrasi pembantaian 1965 (Andreas Iswinarto)

Seorang anak muda, dipenjara dengan semena-mena dan mesti menjalani hidup penuh diskriminasi karena terseret pusaran pembantaian manusia Indonesia di tahun 1965

RAMBUT JOSEPH KALENGKONGAN hampir semuanya ditutupi uban saat saya menemuinya di tahun 2006. Kami sudah kenal lebih dari dua tahun. Mulai akrab sekitar delapan bulan terakhir ketika saya lebih sering menemuinya.

Senyum laki-laki ini ramah. Genggaman tanggannya erat. Ia memperlakukan saya seperti anak sendiri. Meski bertutur dengan topik yang melompat-lompat, tapi Kalengkongan memiliki fisik mumpuni untuk tahan berdialog. Penuh semangat. Bercerita dengan menatap mata. Pandangannya lekat kepada lawan bicara.

Laki-laki ini adalah satu di antara sedikit yang mau bicara dan mengusir ketakutan. Alasannya, ia ingin menjaga asa tentang pemulihan hak-hak ekonomi, sosial dan politik yang pernah direnggut darinya. Kalengkongan merasa dirinya menjadi korban. Hak asasi-nya dirampas secara sepihak ketika kudeta militer pada 1 Oktober 1965 terjadi.

Kami sering berjumpa dan berbincang di rumahnya yang terletak di simpang tiga tak jauh dari pasar Ranotana. Rumah itu kini terbagi dua bagian. Bagian depan disewa oleh sebuah lembaga non pemerintah yang bergerak di bidang konseling dan misi agama di penjara-penjara. Kalengkongan mengaku dekat dengan orang-orang tersebut.

Di masa lalu, ia sempat bergabung dengan mereka setelah bebas dari masa tahanan. Mengunjungi bilik-bilik tahanan dan menyapa penghuninya. Bertukar cerita, saling menguatkan lalu ditutup dengan berdoa. Kalengkongan merasa berbagi nasib dengan orang-orang tersebut.
“Tapi saya bukan kriminal. Saya tahanan politik. Dipenjara karena soal ideologi.”
Nada suaranya masih kencang. Penuh letupan. Saya membayangkan laki-laki ini di masa muda. Besar kemungkinan ia penuh cita-cita dan raganya diliputi semangat revolusi yang jadi tren zaman itu.

Pertengahan dekade 60-an, Kalengkongan adalah seorang guru muda yang berdinas di SMP Kristen Ranotana, Manado. Ia mengajar mata pelajaran Civic. Dua topik ajar utamanya seputar Pancasila dan Manipol Usdek -kepanjangan dari Manifesto Politik: Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945), Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia. Dua topik ini cukup unik. 
“Kita dapat mengetahui posisi ideologi orang lain dengan cara mendengarkan cara dia menjelaskan arti Pancasila dan Manipol USDEK.” 
Saya hanya mengangguk pelan mendengar pernyataan tersebut.

***

Kalengkongan lahir di Motoling pada 6 April 1937. Kini desa ini telah dimekarkan menjadi sebuah kecamatan setelah sebelumnya dibelah menjadi beberapa desa. Terletak di Kabupaten Minahasa Selatan, Motoling terkenal sebagai salah satu sentra penghasil minuman keras lokal hasil destilasi dengan metode sederhana. Orang mengenal luas dengan nama Cap Tikus.

Pada masa sebelum 1 Oktober 1965, Kalengkongan adalah seorang aktivis di sebuah organisasi profesi guru yang bernama Persatuan Guru Republik Non Vaksentral (PGRI NV). Organisasi pecahan dari PGRI setelah konflik yang memuncak di Kongres X yang dilaksanakan pada tahun 1962 di Jakarta. Banyak pihak menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) berada di balik perpecahan ini.

Menurutnya, tuduhan itu tidak berdasar. Alasan di balik perpecahan itu adalah soal interpretasi terhadap Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi Ajaran Revolusi Soekarno. PGRI-NV merupakan himpunan guru-guru yang secara radikal menolak sikap antipati terhadap politik Soekarno yang menjadi sikap PGRI.
“Ini soal siapa yang Soekarnois dan siapa yang tidak.”
Sejarah memang kemudian membuktikan di kemudian hari. PGRI menautkan dirinya kepada tentara. Organisasi ini secara aktif ikut terlibat pembersihan terhadap PGRI-NV dengan bantuan aktif tentara. Tahun 1965-1967, PGRI memasuki masa paling kelam dalam sejarah keorganisasiannya.

 Mereka yang tergabung dalam PGRI-NV dianggap berseberangan dan menjadi duri dalam lembaga. Nama-nama utama dalam kelompok tersebut kemudian menjadi incaran. Bersama tentara, PGRI menyerahkan kawan-kawan sendiri kepada maut, kegelapan nurani dan dendam tanpa alas kaki.

Selain bergabung dalam PGRI-NV, Pemuda Rakyat adalah organisasi lain yang jadi tempat Kalengkongan juga mempelajari politik dan hal-hal mengenai kepemudaan. Keaktifan dan militansi tinggi yang ditunjukkan selama bergiat di kedua organisasi massa tersebut membuat Kalengkongan ditarik untuk bertugas sebagai salah satu staf. Tugasnya membantu para pengurus partai di Committee Daerah Besar (CDB) Sulawesi Utara Tengah (Sulutteng). Kini provinsi tersebut telah menjadi tiga wilayah administratif berbeda: Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah.

Masa itu, provinsi Sulutteng meliputi dua kotapraja: Manado dan Gorontalo, serta delapan kabupaten: Sangihe Talaud, Bolaang Mongondow, Minahasa, Gorontalo, Buol Toli-Toli, Donggala, Poso, dan Luwuk-Banggai.

Gubernur provinsi dijabat oleh Letnan Kolonel (Letkol) F. J. Tumbelaka yang resmi memimpin sejak 16 Juni 1962. Tumbelaka ditunjuk Soekarno menggantikan A. A. Baramuli yang tunai periode. Ketika kudeta militer terjadi, Tumbelaka lalu digantikan oleh Brigadir Jendral (Brigjend) Soenandar Prijosoedarmo yang saat itu sedang memangku posisi sebagai Panglima Komando Daerah Militer (Kodam) XIII Merdeka. Pada pemilihan umum 1955, Partai Nasional Indonesia (PNI) tampil sebagai pemenang di daerah ini. Di belakangnya menyusul PKI.

***

Pagi hari, 1 Oktober 1965, Kalengkongan seperti biasa melakukan tugasnya sebagai seorang pengajar. Kedatangannya di sekolah adalah awal mula ia mendapat kabar tentang gonjang ganjing peristiwa di Jakarta. Beritanya soal Kolonel Untung yang berupaya untuk menyelamatkan Pemimpin Besar Revolusi, Soekarno.

Informasi ini didengarnya dari percakapan dengan sesama rekan pengajar. Kalengkongan masih ingat betul, bisik-bisik Tampaguma, Padeiroth dan Alex Lapian soal apa yang baru terjadi di pusat kekuasaan. PKI jadi tertuduh dan dianggap sebagai dalang yang ingin mengambil alih kekuasaan dari tangan Bung Besar.

Ia gelisah. Kalengkongan yakin ada yang tidak beres. Dalam pikirannya, tidak mungkin PKI melakukan kudeta tanpa persiapan yang matang. Sebagai orang yang bertugas di Kantor Besar Wilayah, Kalengkongan tidak mendengar kasak-kusuk soal ini. Orang-orang CDB justru sedang bersiap untuk menyambut pemilu. PKI cukup yakin bahwa mereka akan bisa mengungguli PNI di pemilihan mendatang.

Kalengkongan tak jadi menyelesaikan tugasnya untuk berada di sekolah hingga jam pelajaran usai. Awalnya ia berniat untuk langsung pulang ke rumahnya yang terletak di Ranotana Jaga IIB. Hari ini, orang Manado mengenal kawasan tersebut dengan nama Karombasan Utara. Tapi urung dilakukan. Kalengkongan muda tidak sanggup menahan diri.

Digelayuti berbagai tanya, tentang apa yang terjadi di Jakarta, Kalengkongan berinisiatif mendatangi figur yang dianggapnya lebih punya akses informasi ke Jakarta dan mungkin lebih tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Tujuan pertama adalah menemui Herman Siwu di rumahnya yang berlokasi di Jalan Bethesda, Kleak. Siwu adalah pimpinan wilayah PNI Suluttenggo. PNI dan PKI adalah dua partai pendukung Soekarno dan front Nasakom-nya. Saat itu, Siwu juga menjabat sebagai anggota parlemen mewakili PNI dalam Dewan Perwakilan Rakyat – Gotong Royong (DPR-GR).

Jaraknya tidak jauh dari sekolah di mana Kalengkongan mengajar. Siwu ada di rumah.

Kalengkongan berhasil menemuinya tapi tak mendapatkan apa yang ia cari. Jawaban dari Siwu tak memuaskan dan masih penuh tanda tanya. Kepada pemuda tersebut Siwu mengaku masih belum tahu apa-apa tentang detil peristiwa yang terjadi di Jakarta. Sebagai salah seorang pimpinan partai di daerah, Siwu juga tampak panik menurut Kalengkongan.

Tidak ada instruksi. Sama seperti yang lain, Siwu masih menunggu klarifikasi atau pemberitahuan dari pengurus PNI di Jakarta tentang apa yang sebenarnya terjadi. Tidak ingin merumitkan situasi, Siwu menyuruh Kalengkongan pulang saja ke rumah.
“Kau tunggu saja komando selanjutnya.” Kalengkongan menirukan perintah terakhir Siwu kepadanya.
Tapi, Kalengkongan merasa belum puas. Ia enggan pulang dengan tangan kosong. Pemuda ini kemudian memutuskan pergi menemui Ketua Wilayah Sulutteng Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Jhon Umboh, seorang sarjana hukum lulusan Universitas Sam Ratulangi. Kalengkongan mengenang Umboh sebagai seorang macan panggung.
“Bagus sekali kalau pidato. Semua orang pasti mendengar. Terkesima. Jhon itu persis Soekarno, tapi dalam versi Minahasa.”
Umboh, menurut Kalengkongan adalah seorang kader PKI yang cerdas dan berwibawa. Juga disukai banyak orang karena peragainya yang sopan dan penuh senyum. Mereka berdua mulai akrab sejak Kalengkongan muda magang kerja di kantor CDB PKI yang terletak di pusat kota, tepat di samping Taman Kesatuan Bangsa (TKB). Hari ini, gedung itu sudah beralih fungsi jadi kantor wilayah Bank Negara Indonesia (BNI).

Dari Bethesda, Kelengkongan mendatangi Umboh di rumahnya yang terletak di Ranotana, Manado berharap mendapatkan titik terang mengenai kejadian di Jakarta. Namun Umboh juga memberikan jawaban yang hampir sama seperti yang telah ia dengar dari Siwu. Belum ada berita lebih lanjut dari Committee Central.

Umboh juga masih menunggu dan menyarankan agar Kalengkongan melakukan hal yang sama. Pulang ke rumah, lakukan kegiatan seperti biasa sembari menunggu komando dari Jakarta tentang apa yang sebenarnya yang harus dilakukan oleh seluruh kader partai. Sebagai kader partai yang taat dan loyal, Kalengkongan melakukan saran Umboh.

Keesokan harinya ia tetap pergi untuk mengajar. Semuanya berlangsung normal sampai tanggal 5 Oktober 1965.

***

Pada 5 Oktober, sudah mulai terjadi gelombang demonstrasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang mengaitkan peristiwa yang terjadi di Jakarta dan PKI sebagai pihak yang bertanggung jawab. Menurut Kalengkongan, yang paling menonjol adalah dari Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia atau IPKI.

Beberapa karib kerja Kalengkongan seperti Pandeiroth dan Alex Lapian menjadi bagian dari kelompok ini. Demonstrasi terus berlangsung pada besok hari dan akhirnya memuncak pada penyerbuan, pengambilalihan, penjarahan lalu pembakaran gedung kantor CDB PKI Suluteng.

Penyerangan dimotori oleh tentara dan dibantu dengan berbagai milisi sipil pemuda seperti Gerakan Pemuda Anshor (GP-Anshor), Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI), Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), dan Pemuda Pancasila. Kabar ini diterima Kalengkongan dari ibunya yang baru saja pulang berbelanja di pusat kota.

Berita ini mengusik rasa tenang Kalengkongan yang beberapa hari terakhir ini terus menanti konfirmasi berita dari CC PKI atau dari sumber lain semisal petinggi PNI di Jakarta. Tak ingin ada hal buruk menimpa dirinya, Kalengkongan segera mengungsi sembunyi. Istrinya tak diikutkan dalam rute pelariannya.

Dengan berat hari ia menyarankan agar istrinya pulang ke kampung halaman orang tuanya. Kalengkongan tahu dengan pasti, jika mereka tertangkap bersama maka hal yang lebih buruk akan terjadi. Pukul 15.00 WITA adalah moment perpisahan yang tak akan pernah bisa dilupakan Kalengkongan. Dengan diburu rasa takut, segera ia menuju kebun-kebun di daerah pinggiran Manado karena tak ingin diamuk massa yang sudah terlanjur kalap dibakar emosi.

Di kemudian hari, Kalengkongan mendapatkan informasi bahwa rumahnya diserbu dan diobrak-abrik oleh milisi pemuda dari berbagai ormas. Salah seorang anggota Pemuda Rakyat Manado, Jack Aer menjadi saksi mata kejadian ini.

Di persembunyian, tak disangka Kalengkongan bertemu dengan beberapa temannya sesama kader PKI yang juga dalam pelarian antara lain Siwu dan Jhon Umbo. Turut juga dalam rombongan tersebut adalah Sam Solang, ketua Pemuda Rakyat Suluteng, Wellem Tan, salah satu aktifis teras BAPERKI dan Alo Rembet seorang aktifis PKI.

Terjepit dalam kondisi yang sama, mendorong mereka menjadi satu kelompok pelarian yang berpindah-pidah tempat dari satu kebun ke kebun yang lain agar tak tertangkap. Rombongan ini kemudian menemui jalan buntu pada tanggal 18 Oktober 1965.

Sekitar jam enam sore, mereka akhirnya berhasil disergap oleh kelompok pemuda di yang dibantu tentara dibawah komando Komanda Komando Rayon Militer (KORAMIL) Letnan TNI Ngantung dan Kepala Polisi Sektor (POLSEK) kecamatan Pineleng, Inspektur Polisi Wollah. Penyergapan ini terjadi di sekitar area persawahan sekitar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Seminari Pineleng ketika mereka bermaksud menuju pegunungan Lolombulan yang terletak di daerah Minahasa Selatan hari ini.

Seluruh anggota kelompok pelarian politik ini kemudian dibawa ke kantor Komando Distrik Militer (KODIM) Manado.

***

Oleh Kodim Manado, mereka langsung dijebloskan ke penjara Manado. Perintah tersebut datang dari Letnan Kolonel Rauf Moo selaku komandan KODIM. Di penjara Kalengkongan menjumpai belasan tentara yang sedang menjalani hukuman kasus pidana biasa.

Tentara-tentara ini sudah ditugaskan oleh Bagian Intel Komando Daerah Militer (KODAM) XIII Merdeka, Sulawesi Utara Tengah untuk melakukan penyiksaan pada semua kader ataupun simpatisan PKI yang sudah tertangkap dan dibawa ke penjara. Hari ini, penjara tempat Kalengkongan dan kawan-kawannya disekap telah berubah menjadi bangunan yang disebut Gedung Joeng 45.

Letaknya di pusat kota Manado, dari gedung pusat Bank Daerah Sulawesi Utara. Sekitar 150 meter dari gedung bekas kantor CDB PKI Suluteng.
Sejak malam 18 Oktober 1965 hingga 24 jam berikutnya, Kalengkongan dan kawa-kawannya menjalani interogasi tanpa henti yang juga disertai dengan pelbagai jenis penyiksaan yang tak manusiawi.

Selain disuruh berlari mengelilingi lapangan, mereka juga harus menghadapi hantaman kayu pada tulang-tulang rawan seperti tulang kaki, tangan, dan juga masih mendapatkan menu tambahan seperti tamparan dan tinju yang sering mampir di wajah dan perut mereka. Mata Kalengkongan juga menjadi saksi bagaimana kawannya yang bernama Dirk Wondal, anggota Committee Sub Seksi Kecamatan Tomohon harus direndam dalam tinja manusia hingga setinggi dagu.

Maraton interogasi dan penyiksaan di Penjara Manado berakhir pada tanggal 20 Oktober 1965 ketika akhirnya Kalengkongan dan enam kawannya yang lain kemudian dipindahkanke markas Resimen Tim Pertempuran (RTP) I Sulawesi Utara yang terletak di ruas jalan Sam Ratulangi. Ruas jalan itu kini membentang dari kecamatan Sario hingga kecamatan Wenang kota Manado. Markas RTP I juga adalah markas Komando Operasi Tertib Wilayah I yang meliputi Sulawesi bagian Utara dari Talaud, Sangihe, Minahasa, Manado, Bolaang Mongondow dan Gorontalo.

Di tempat baru ini, Kalengkongan bersama dengan keenam kawannya mendapatkan fasilitas inap dalam sebuah WC yang berukuran 1,5 X 1,5 M. Mereka harus tidur tanpa alas di lantai WC yang dingin. Saat tidur mereka bertujuh tak sendiri. Ada ulat-ulat WC yang datang mengerubungi mereka. Selama ditahan, Kalengkongan dan teman-temannya hanya mendapatkan jatah makan satu kali dalam sehari.

Empat bulan harus dihabiskan oleh Kalengkongan di RTP I ini. Selama itupula mereka harus menjalani pemeriksaan meski tidak setiap hari. Namun satu yang tak berubah sejak dari Penjara Manado yaitu mereka harus mengalami penyiksaan fisik dan pelecehan seksual dari para interogator. Selain pukulan, Kalengkongan juga mengalami penyetruman yang dilakukan dengan cara melilitkan kabel di kedua telunjuk tangan. Di antara sela-sela jari, ada pensil yang menjepit.

Kalengkongan juga menyaksikan bagaimana para tentara yang bertindak selaku interogator melakukan pelecehan seksual kepada seorang perempuan suatu ketika dalam ruang pemeriksaan yang sama. Gadis muda tersebut adalah anggota Pemuda Rakyat disiksa dalam kondisi setengah telanjang tanpa baju, tanpa kutang dan hanya menggunakan rok. Oleh para tentara, Kalengkongan yang kedapatan sempat memalingkan wajah dipaksa harus melihat bagaimana sekujur tubuh gadis tersebut diraba-raba oleh salah seorang interogator. Tentara berpangkat kopral bernama Iman adalah orang yang memegang kepala Kalengkongan agar tidak bergerak dan tetap mengikuti ritual penyiksaan.
“Saya sampai sangat kesal. Akhirnya karena tidak tahan, saya teriak. Saya bilang kalau kami semua yang berada di ruangan itu dilahirkan oleh perempuan. Jadi tidak layak kalau kita memperlakukan perempuan dengan buruk seperti itu.” 
Wajah laki-laki tua itu tampak sumringah. Jelas bahwa ada rasa bangga dalam dirinya karena bisa melawan tindakan tidak manusiawi macam itu.

Tapi, jawaban heroik tersebut berbalas pukulan di perut dan beberapa kali tamparan di wajah Kalengkongan. Mulutnya sobek. Darah mengucur dari sela bibir bawah dan rasa ngilu bukan kepalang di tulang rahang pipi. Kejadian malam itu membuatnya mengingat betul beberapa nama tentara yang pernah melakukan interogasi sembari menyiksanya.

“Namanya Letnan Sangit, Sersan Mayor Saragih dan Letnan Kolonel Supomo.”
***

Kerasnya hidup di RTP I dijalani dengan tabah oleh Kalengkongan hingga pemindahan pada tanggal 30 Januari 1966.

Siang hari di tanggal tersebut, Kalengkongan kembali ke Penjara Manado. Belum sempat mendapatkan interogasi lanjutan, ia mendengar sebuah pengumuman terkait pemanggilan beberapa nama. Ada empat puluh tujuh nama yang dipanggil. Kalengkongan hanya mampu mengingat beberapa nama diantaranya. Semua yang namanya dipanggil langsung diharuskan melewati portir penjara langsung dan naik mobil yang sudah disiapkan oleh militer.

Sekitar bulan Februari 1966, Kalengkongan mendapatkan informasi bahwa daftar nama tersebut telah dieksekusi secara sepihak di kantor Resimen Induk KODAM XIII Merdeka (RINDAM) oleh sebuah kesatuan Zeni Tempur (ZIPUR) yang dipimpin oleh Kapten Kosim. Orang ini dikemudian hari sempat menjabat Komandan KODIM (Dandim) di Madiun, Jawa Timur dengan pangkat Letnan Kolonel.

Beberapa anggota keluarga korban yang sempat datang menjenguk Kalengkongan mengatakan bahwa semua keluarga mendapatkan sebuah surat dari Letnan Kolonel Ichdar selaku Komandan Komando Tertib (KOTIB I) KODAM XIII Merdeka saat itu. Surat itu berisi pemberitahuan bahwa telah terjadi kecelakaan yang pada akhirnya menenggelamkan kapal yang membawa empat puluh tujuh orang yang dimaksud ketika hendak menuju sebuah pulau pengasingan di daerah Sangir Talaud. Itu sebab kematian versi tentara.

Tapi banyak yang tidak percaya. Keluarga korban meyakini bahwa 47 orang tersebut dieksekusi. Informasi tersebut misalnya didapatkan dari Heri Maloring, anak laki-laki dari Gad Maloring. Ayah Heri adalah mantan ketua CGMI Suluteng. Selepas periode jabatannya, Gad kemudian aktif sebagai anggota CDB PKI Suluteng hingga 1 Oktober meletus. Nama Gad Maloring termasuk salah satu di antaranya. Ada sumber yang mengatakan bahwa tempat eksekusi sekarang sudah menjadi kantor Pemerintah Kota Tomohon.
Kalengkongan menjalani hukuman tanpa pernah disidang di Penjara Manado hingga tahun 1979.

Ia lalu dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Manado yang baru selesai dibangun di daerah Tuminting. Di tempat baru, Kalengkongan menginap hingga tahun 1980.

Selama jadi pesakitan di penjara Manado, Kalengkongan masih beberapa kali dipanggil untuk diperiksa di kantor POM. Tim pemeriksa adalah Teperda Laksusda KODAM XIII Merdeka. Pimpinannya Mayor CPM Bimo, yang kala itu menjabat sebagai Kabag Ops Teperda Laksusda Suluteng. Kejadiannya sekitar bulan Juli 1969, Selain rutin menerima pukulan, tamparan, tendangan selama interogasi, Kalengkongan juga masih harus menerima setrum melalui kabel yang dililit di alat kelaminnya.
“Saya sempat beberapa kali pingsan.”
Pada tahun 1977, Kalengkongan akhirnya dihadapkan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun berdasarkan PERPRES 11/63.
“Saya dituduh merusak mental generasi muda. Buktinya sebagai guru mata pelajaran Civic, saya terbukti menjadikan Manipol-USDEK sebagai mata pelajaran.”
Padahal menurut Kalengkongan, ia mengajarkan topik tersebut seturut dengan petunjuk bahan ajar sesuai ketentuan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan saat itu. Gelora revolusi yang terus menerus dilantangkan oleh presiden Soekarno adalah salah satu sebabnya. Mata pelajaran Civic kira-kira menyerupai mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila yang ditambah sedikit dengan pengetahuan soal ketatanegaraan.

Civic diajarkan dari tingkat SD hingga universitas sebagai salah satu cara pemerintah Indonesia saat itu untuk mengajarkan semangat revolusi ala Soekarno.

***

Alam kebebasan dinikmatinya pada tahun 1980, namun Kalengkongan masih harus menjalani sebuah kewajiban lainnya. Yaitu harus melakukan wajib lapor minimal satu kali dalam sebulan ke kantor KORAMIL Manado Selatan dengan membawa hadiah untuk para petugas berupa uang berkisar antara Rp. 10.000 hingga Rp. 50.000, bahan baku seperti semen, rokok, minuman ringan jenis Coca Cola dan beberapa kebutuhan pokok seperti gula dan beras. Hukuman luar dan wajib upeti ini dijalani hingga tahun 1999.

Kalengkongan hanya ingat satu nama yang sering jadi penadah semua upeti darinya ketika melapor. Tentara tersebut bernama Letnan Maksum. Sebagai ganti semua seserahan tersebut, Kalengkongan mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bertanda ET (Eks Tahanan Politik) yang berlaku hingga tahun 2000.

Bebas bukan berarti semuanya serta merta selesai.
Masih ada banyak diskriminasi yang harus dijalani oleh Kalengkongan dan ikut berimbas kepada anak dan istrinya. Misal, anak Kalengkongan tidak dapat menjadi Pegawai Negeri Sipili (PNS) mengingat ayahnya adalah seorang mantan tahanan politik. Kalengkongan dan istrinya juga dilarang berdoa di tempat-tempat umum ketika acara pesta syukuran dan sejenisnya.

Satu hal lain yang juga tak akan mungkin bisa dilupakan oleh Kalengkongan semenjak ia bebas adalah ketika waktu Pemilihan Umum (PEMILU) berlangsung. Sebagai eks tapol, Kalengkongan dipaksa harus memilih Golongan Karya jika tak ingin lagi kembali ke dalam penjara. 
“Setelah Soeharto jatuh, saya berhenti wajib lapor dan bayar upeti.” Itu kata terakhir Kalengkongan yang saya ingat.
Di tahun 2018, pada 20 Juni, saya mendapatkan kabar bahwa ia meninggal dunia dua hari sebelumnya. Terkubur bersama jenazahnya adalah harapan tentang keadilan yang belum juga terwujud. (*)

Editor: Denni Pinontoan